Anda di halaman 1dari 8

Aku “Bermain-Matematika” (Ber-Matematika), maka Aku “Berteologi”

Menemukan Allah dalam proses Ber-Matematika

Pernahkah kamu mendengar nama seorang filsuf dan juga matematikawan dari abad pencer-
ahan yang bernama René Descartes (1596-1650)? Ia menelurkan suatu diktum yang apabila
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia berarti “Aku Berpikir, maka aku Ada” (cogito ergo
sum). Descartes ingin menyatakan bahwa eksistensi atau keberadaan seorang manusia diten-
tukan ketika seorang manusia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang berpikir.
Dengan menggunakan ide ini, saya ingin menyatakan bahwa ketika seseorang ber-matematika
atau “bermain-matematika,” sejatinya seorang manusia sedang berteologi. Ber-matematika
atau “Bermain matematika” yang saya maksud pada tulisan ini adalah suatu proses penger-
jaan soal-soal matematika atau problem solving. Pada tulisan ini pun, teologi dapat dimaknai
sebagai iman yang mencari pengertian (fides quarrens intellectum), suatu diktum terkenal yang
diutarakan oleh St. Anselmus dari Canterbury (1093-1109).
Saya akan memulai pembahasan lewat kata bermain, lalu saya akan membahas manu-
sia sebagai gambar dan rupa Allah sang pencipta yang ternyata juga “bermain” di dalam
proses penciptaan. Lebih lanjut lagi, saya juga akan membahas kasus mengenai perhitungan
kuadrat di dalam bagian yang terakhir. Namun, sebelum saya membahas perihal-perihal ini,
ada baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu mengenai rumus persamaan kuadrat dari dua
bilangan.

Landasan Konsep yang Digunakan

Sebagai konsep awal yang penting, ada dua perihal sebagai jembatan untuk mengerti
apa yang akan saya jelaskan berikutnya. Pertama, terdapat rumusan yang disebut persamaan
kuadrat yang menyatakan hasil kuadrat dari pertambahan dua bilangan yang dapat dilihat

1
lewat persamaan ini:

(a + b)2 = (a + b) · (a + b)

= a · (a + b) + b · (a + b)

= a2 + ab + ba + b2

= a2 + 2ab + b2

Persamaan kuadrat di atas sebenarnya menyatakan luas dari suatu persegi yang apabila digam-
barkan dapat dilihat seperti gambar di bawah ini. Dengan demikian persamaan tersebut dapat
dilihat demikian:

a+b
a b
b

a a+b

Gambar 1: Melihat Persamaan Kuadrat di dalam konsep bangun ruang

Lewat penggambaran ini, (a + b)2 = a2 + b2 + 2ab dapat diterjemahkan sebagai suatu ban-
gun persegi (a + b)2 yang terdiri dari satu persegi a2 dan satu persegi b2 dan dua persegi ab.
Sebenarnya dengan cara yang sama, kita akan mencari nilai dari (a + b + c)2 atau (a + b +
c + d)2 . Bagaimana caranya? Tentunya, hal ini saya tinggalkan untuk pembaca sekalian untuk
melakukannya. Saya ingin membahas lebih lanjut mengenai kata “bermain,” terutama secara
teologis.

Definisi Kata “Bermain”

Apakah makna dari kata bermain? James H. Evans, Jr., di dalam buku Playing, meny-
atakan bahwa bermain dapat didefiniskan sebagai suatu “kumpulan aktivitas-aktivitas atau
latihan-latihan yang muncul di dalam ruang perpaduan antara kebebasan dan struktur, an-

2
tara subjektivitas dan objektivitas, antara penciptaan dan juga peniruan (imitasi).”1 Dengan
demikian, via pembacaan definisi dari Evans, di dalam bermain minimal terdapat empat ide
ini: (1) Aktivitas, (2) Kebebasan dan stuktur, (3) Subjektivitas dan Objektivitas, dan (4)
Penciptaan dan peniruan.
Pertama, Evans mengatakan bahwa bermain berkaitan dengan aktivitas. Sebagai con-
toh, mari kita memikirkan beberapa permainan yang ada di Personal Computer (PC) atau
telpon genggam seperti Mobile Legend, Candy Crush, DOTA II, Starcraft II, ataupun permain-
permainan lainnya. Lebih jauh lagi, kita juga dapat memikirkan beberapa permainan tra-
disional seperti bermain kelereng, layangan, ataupun permainan lainnya. Dengan demikian,
berbicara mengenai kata bermain, terdapat suatu “ruang” dan waktu di mana setiap orang
mencurahkan waktu dan tenaganya untuk melakukan permainan tersebut.
Namun, kata bermain juga berbicara mengenai kebebasan dan struktur. Kebebasan
berarti bahwa setiap pemain yang bermain dapat dengan bebas melakukan apa saja di dalam
suatu aturan-aturan yang terikat di dalam permainan. Misalkan, di dalam Mobile Legend, sang
pemain dapat memikirkan “cara apapun” (kebebasan) untuk membunuh lawan dan menghan-
curkan markas lawan dengan “kemampuan dari para pahlawan” yang dimiliki (struktur).
Bermain juga melibatkan subjek dan objek dari permainan. Kembali lagi kepada con-
toh Mobile Legend di atas, subjek yang bermain, menggunakan suatu objek seperti karakter-
karakter “pahlawan” yang dapat dipilih secara sadar oleh sang subjek. Terakhir, bermain
sendiri memerlukan penciptaan dan juga proses peniruan. Dalam konteks penciptaan, ketika
seseorang bermain, ia memerlukan kemampuan imajinasi untuk menyelesaikan suatu tujuan-
tujuan tertentu. Katakanlah di dalam permainan Mobile Legend, sang subjek perlu “memikirkan”
cara dengan imajinatif bagaimana cara menundukkan lawan yang lain. Tidak hanya itu, di
dalam bermain, seorang manusia pun perlu belajar dari pemain yang lain untuk menemukan
langkah-langkah kreatif di dalamnya. Dengan demikian, empat aspek-aspek inilah yang dapat
menjadi bagian dari pengertian bermain.
1
James H Evans Jr., Playing, Compass: Christian Explorations of Daily Living (Ausburg: Fortress) 11;
Terjemahan oleh saya.

3
Allah yang Bermain dan Manusia sebagai Gambar Allah

Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1, TB-LAI).

Ayat ini merupakan pembukaan dari kisah penciptaan yang pertama pada Alkitab (Kej. 1:1-
2:4a).2 Di dalam kisah dari penciptaan yang pertama ini, konsep Allah yang digambarkan
dengan jelas adalah Allah yang maha kuasa, yang ternyatakan di dalam proses penciptaan
dunia. Kata unik yang penting pada ayat ini adalah kata menciptakan (Ibr. bara‘).
Jürgen Moltmann, di dalam buku Theology of Play, menyatakan bahwa Allah mempun-
yai sisi bermain di dalam diri-Nya. Bermain yang dimaksud di sini berhubungan dengan daya
kreativitas dari Allah. Moltmann melihat sisi yang terdapat dari Allah ini dengan melihat
kisah penciptaan lalu mengajukkan pertanyaan: “Mengapa dunia ini dapat ada dengan segala
perihal yang ada saat ini?” Moltmann, sebagai advokat dari konsep penciptaan dari ketiadaan
(Creatio ex Nihilo)3 , menyatakan bahwa daya kreasi Allah yang mencipta alam semesta, den-
gan segala keteraturannya, menunjukkan sisi bermain dari Allah. Bagaimana bisa? Sebelum
saya membahas pembahasan mengenai Allah yang bermain lewat konsep yang sudah digagas
oleh Evans di atas, saya ingin memberikan satu contoh.
Pada tahun 2009, dunia dibuat terkagum-kagum dengan film Avatar yang diasuh oleh
sutradara James Cameron. Film ini bercerita bagaimana kehidupan ekstra-terestial yang ada
di planet Pandora dalam sistem bintang Alpha Centauri. Tentu ada banyak hal yang sangat
menarik dari film tersebut. Namun, saya tertarik untuk mengamati bagaimana lingkungan
alam dan juga “makhluk manusia” Na‘vi yang hidup pada planet tersebut. Misalkan saja,
Na’vi ini mempunyai kulit yang bewarna biru, badan yang sangat tinggi, dan mempunyai ekor.
Na‘vi ini pun dapat berkomunikasi dengan saling pikiran satu dengan yang lainnya dengan
menempelkan bagian tubuh yang ada pada ujung rambutnya. Dunia dan ekologi yang ada
pada Pandora ini pun sangatlah menarik. Dimulai dari ada daratan yang melayang ataupun
binatang-binatang eksotik yang dapat terkoneksi dengan Na‘vi via bagian tubuh yang ada pada
ujung rambut mereka.
Apa yang ingin saya katakan di sini sebenarnya berhubungan dengan pertanyaan yang
2
Berdasarkan kesepakatan para ahli tafsir biblika, terdapat dua kisah penciptaan. Kisah yang pertama
adalah kisah
3
Creatio ex Nihilo merupakan tokoh

4
Moltmann tanyakan di atas. Mengapa dunia tidak berbentuk seperti film Avatar tersebut?
Lebih jauh lagi, mengapa dunia tidak seperti model dunia yang digambarkan oleh imajinasi-
imajinasi lainnya. Tentu saya sadar bahwa film tersebut adalah suatu karya science fiction.
Namun, di sinilah justru terlihat bahwa Allah pun sejatinya sedang “bermain” dengan mencip-
takan dunia ini. Saya akan mengkaji klaim ini lewat pandangan Evans di atas.
Pertama, “ruang” beraktivitas Allah adalah ciptaan ini sendiri. Tentunya perihal ini
dapat didedahkan dengan konsep teologis cretio ex nihilo dan juga pemahaman kata mencipta
yang sudah saya utarakan di atas. Kedua, kebebasan dan struktur tersirat ketika realitas yang
ada saat ini justru berbentuk seperti saat ini dan bukan katakanlah realitas model film Avatar
di atas. Di dalam “ruang” aktivitas ciptaan inilah Allah dengan kebebasannya menciptakan
alam semesta dengan segala “struktur” alam semesta yang menyertainya.4 Berikutnya, subjek-
tivitas Allah juga berhubungan dengan penilaian yang ia nilai sebagai “baik” di dalam objek
ciptaan ini. Terakhir, konsep penciptaan di sini justru berhubungan dengan aktivitas pen-
ciptaan sendiri. Bagaimana dengan peniruan? Pengakuan bahwa Allah sebagai yang paling
berkuasa justru menjadikan bahwa Allah sebagai pribadi tertinggi. Dengan demikian, tidak
ada sisi peniruan ini.
Berdasarkan kesaksian Alkitab, manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah (Kej.
1:26). Secara sederhana, makna dari “gambar dan rupa Allah” itu dapat digambarkan sebagai
seorang pematung yang menciptakan suatu patung yang menggambarkan dirinya sendiri. Den-
gan demikian, patung tidak pernah dapat menjadi seorang pematung, walaupun “gambaran”
pematung ini tercermin di dalam diri patung ini. Mengaitkan ide ini dengan Allah sang pen-
cipta yang maha kuasa sebagai Allah yang bermain, maka dapat dilihat pula bahwa manusia
sebagai gambar dan rupa Allah pun sejatinya adalah “makhluk” yang senang bermain juga.
Apakah gambaran ini hanyalah suatu gambaran teologis semata?
Johan Huizinga (1875-1945), seorang sejarawan dan juga seorang teoritikus budaya, per-
nah mengoinkan istilah yang disebut sebagai Homo Ludens atau insan yang bermain. Huizinga
menggunakan istilah insan yang bermain ini sebagai pelengkap dari konsep Homo Faber (insan
yang bekerja) dan juga Homo Sapiens (insan yang berpikir). Artinya, seorang manusia mem-
punyai sisi bermain sebagai bagian dirinya, melengkapi sisi bekerja dan juga berpikir. Saya
tidak dapat mengelaborasi ide ini lebih jauh, namun poin utama yang ingin saya utarakan
4
penjelasan...

5
adalah bahwa di dalam konsep sosiologis pun, ide mengenai Allah yang bermain pun dapat
dipertanggungjawabkan. Sekarang, saya ingin menjelaskan konsep “Bermain-Matematika” se-
bagai suatu ruang bermain juga.

Ber-Matematika Sebagai Ruang Bermain

Pada bagian ini, saya ingin mengeksplorasi “ber-matematika” sebagai manifestasi dari
konsep bermain. Mari kita mengambil kasus dengan melihat barisan seperti berikut:

52 25
152 225
252 625
352 1225
452 2025
.. ..
. .

Sebutlah barisan 5, 15, 25, 35, 45, . . . sebagai An dan barisan 25, 225, 625, 1225, 2025, . . . sebagai
Bn yang berkorespondensi satu-satu untuk setiap n anggota dari {0, 1, 2, . . .} (N) (Kita akan
menggunakan perhitungan ini nanti). Apabila perihal ini dilanjutkan, selalu akan ada “25”
pada bagian puluhan maupun satuan dari Bn . Pertanyaannya adalah, apakah klaim bahwa
25 selalu menjadi puluhan maupun satuan dari Bn dapat berlaku untuk setiap n anggota dari
{0, 1, 2, . . .}? Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah cara membuktikan hal ini? Mini-
mal, saya dapat memikirkan tiga cara.
Cara yang pertama adalah dengan menghitung semua nilai kuadrat dari barisan An .
Namun, permasalahan dari cara yang pertama ini adalah adanya frasa n anggota dari N. Ten-
tunya untuk nilai n yang sangat besar, perhitungan tersebut menjadi tidak masuk diakal lagi.
Sebagai contoh, berapakah nilai dari 1754352 ? Dengan bantuan kalkulator kita bisa mendap-
atkan nilai 30.777.439.225. Hanya saja, semakin besar angkanya, semakin sulit perhitungan ini
untuk dilakukan. Dengan demikian, perlu ada cara lain untuk melihat problema ini.
Cara yang kedua yang dapat dipikirkan adalah dengan menggunakan persamaan kuadrat
yang sudah kita jelaskan di awal, yaitu (a + b)2 = a2 + 2ab + b2 . Sekarang, definisikan

6
An = 10n + 5, sehingga Bn = (10n + 5)2 untuk setiap n anggota dari N. Dengan perhitungan
rumus kuadrat, di dapatkan hasil demikian:

Bn = (10n + 5)2

= 100n2 + 2 · 10n · 5 + 25

= 100n2 + 100n + 25

= 100(n2 + n) +25
| {z }
Cn

Dari perhitungan di atas, karena n adalah anggota bilangan asli (N), maka n2 pun adalah bilan-
gan asli, sehingga n2 + n adalah bilangan asli.5 Maksudnya, bilangan n2 + n akan selalu dapat
dinyatakan di dalam satu bilangan asli, dengan demikian, Cn akan selalu menjadi kelipatan
dari 100 untuk setiap n anggota dari N. Akibatnya, selalu akan ada “ruang” bagi puluhan
dan satuan 25 dalam Bn . Walaupun hasil ini meyakinkan, apakah ada cara lain untuk melihat
pembuktian ini? Tentu saja ada.
Cara terakhir untuk melihat kasus ini dapat dilakukan dengan melihat representasi bi-
langan kuadrat sebagai luas suatu persegi. Apabila Bn = (10n + 5)2 untuk setiap n anggota
dari N, kita akan mendapatkan gambar berikut:

10n + 5
10n 5
5

10n 10n + 5

Karena gambar ini berlaku untuk setiap n anggota dari N, persegi dengan nilai 25 akan selalu
ada di dalam persegi (10n + 5)2 . Dengan demikian, via gambar ini dapat dilihat bahwa selalu
ada ruang bagi nilai 25 berapapun n yang ada pada Bn .
Dari contoh di atas, terlihat bahwa ber-matematika ini memenuhi pemahaman bermain
5 2
n dapat dinyatakan sebagai n · n = n + · + n. Dengan demikian, apabila n adalah bilangan asli, n2 pun
| {z }
n
adalah bilangan asli.

7
yang diutarakan oleh Evans di atas. Pertama, terdapat aktivitas dari ber-matematika ini via
tiga kali proses penghitungan untuk menjawab problem di atas. Berikutnya, sisi kebebasan
dan struktur pun ternyatakan di dalam prose perhitungan tersebut. Kebebasan yang saya da-
patkan melibatkan proses pemilihan langkah-langkah kerja yang mau saya lakukan. Apakah
ada cara yang lain? Tentu saja ada. Misalkan dengan mencari wujud lain dari An ataupun
Bn , dan lain-lain. Struktur yang digunakan di sana juga berkaitan dengan “kaidah-kaidah”
yang digunakan dalam usaha untuk menjawab problem di atas, katakanlah hukum distribusi,6
luas dari bangun datar, barisan bilangan, ataupun konsep lainnya. Tidak hanya itu, di atas
sisi subjek dan objek pun terlihat dengan jelas. Terakhir, sisi penciptaan ternyatakan dengan
“banyaknya” cara yang digunakan dan penjelasan mengapa saya memilih cara tersebut. Sisi
peniruan juga terjadi ketika saya menggunakan konsep yang sudah saya utarakan pada bagian
landasan.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, saya dapat menyatakan bahwa sejatinya proses bermatematika
dapat diibaratkan sebagai suatu proses bermain. Ketika seorang manusia bermain (dalam hal
ini konteks matematika), sejatinya ia sedang menjadi gambar dan rupa Allah yang menjadikan
langit dan bumi, dengan segala kreativitasnya. Apabila Descartes berkata bahwa aku ada
karena aku berpikir, maka saya ingin menyatakan bahwa, ketika aku ber-matematika, maka
aku berteologi.

6
Hukum distribusi bilangan adalah a · (b + c) = ab + ac ...

Anda mungkin juga menyukai