Jakarta, 2007
S. Dloyana Kusumah
i
DAFTAR ISI
PENGANTAR.....................................................................................I
DAFTAR ISI.................................................................................... II
ABSTRAK………………………………………..........................iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................ 1
1.2. Permasalahan ............................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................ 3
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ........................................... 4
1.5. Kerangka Pemikiran .................................................... 5
1.6. Metode Penelitian ....................................................... 7
1.7. Terminologi ................................................................. 8
1.8. Output Penelitian ...................................................... 11
1.9. Outcome Penelitian ................................................... 11
BAB II PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA:
STRATEGI ADAPTASI DI MATARAM, NUSA TENGGARA
BARAT ............................................................................ 13
2.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................... 13
2.2. Asal-usul Kesukuan ................................................. 19
2.3. Model-model Interaksi ............................................... 22
2.4. Simbol-simbol Budaya Yang Dimaknai Bersama ...... 28
2.5. Simbol Yang Dimaknai Bersama Sebagai Alat
Komunikasi Antarsukubangsa................................... 31
2.6. Ruang Publik Sebagai Arena yang Menyatukan
Kepentingan Bersama .............................................. 32
BAB III PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA:
STRATEGI ADAPTASI DI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA ............................................................... 35
3.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................... 35
3.2. Asal – Usul Kesukuan ............................................... 39
3.3. Model-model Interaksi ............................................... 41
3.4. Simbol-simbol Budaya yang Dimaknai Bersama ....... 46
ii
3.5. Ruang Publik Sebagai Arena Yang Menyatukan
Kepentingan Bersama .............................................. 47
BAB IV PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA:
STRATEGI ADAPTASI DI KUPANG, NUSA TENGGARA
TIMUR ............................................................................. 48
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................... 48
4.2. Asal Usul Kesukuan .................................................. 56
4.3. Model-model Interaksi ............................................... 58
4.4. Simbol-simbol Budaya yang Dimaknai Bersama
(Simbol Budaya Suku Bangsa/Etnis) ........................ 67
4.5. Simbol-Simbol yang Dimaknai Bersama sebagai Alat
Komunikasi Antarsuku bangsa/etnis ......................... 68
4.6. Ruang Publik Sebagai Arena Yang Menyatukan
Kepentingan Bersama .............................................. 69
BAB V PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA:
STRATEGI ADAPTASI DI KOTA BANDUNG PROVINSI
JAWA BARAT ................................................................. 71
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................... 71
5.2. Asal-usul Kesukuan .................................................. 77
5.3. Model-model Interaksi ............................................... 78
5.4. Simbol-simbol Budaya yang Dimaknai Bersama ....... 83
5.5. Ruang Publik Sebagai Arena yang Menyatukan
Kepentingan Bersama .............................................. 85
BAB VI ANALISIS ........................................................................ 88
BAB VII KESIMPULAN ................................................................ 97
7.1. Kearifan yang Terkandung
Dalam Budaya Sukubangsa ..................................... 99
7.2. Nilai Budaya yang Menjadi Pedoman Penduduk
Daerah Yang Didatangi........................................... 102
7.3. Peran Institusi/ lembaga Kebudayaan
Di Daerah Dalam Pengelolaan
Keragaman Budaya ................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 108
iii
ABSTRAK
PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA
“STRATEGI ADAPTASI”
iv
Kearifan lokal dapat menjadi alat yang mampu menyikapi
masalah keanekaragaman budaya yang terdapat di suatu kawasan.
Nilai-nilai budaya yang mereka dukung dijadikan pedoman untuk
bergaul dengan lingkungan masyarakat yang beragam. Seluruh
suku bangsa yang menetap di lokasi penelitian selain
mempertahankan nilai budaya dan tradisi sebagai identitas
kesukuannya, juga mendukung nilai-nilai yang disepakati bersama
dalam pergaulan sosial dengan warga dari berbagai suku bangsa
yang lain.
v
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2. Permasalahan
Sesungguhnya keberadaan suatu etnis di tempat atau
daerah baru, memiliki sejarah tersendiri, khususnya berkaitan
dengan status yang dimiliki oleh suatu etnis dalam hubungannya
dengan etnis lain. Suatu etnis pendatang biasanya berinteraksi
dengan etnis lain asal di suatu tempat, secara alami akan
menempatkan pendatang dalam posisi yang relatif lemah. Meski
sesungguhnya etnis tersebut memiliki status yang relatif seimbang
dengan etnis lain pada saat mereka bersama-sama berstatus
sebagai pendatang dalam lingkungan sosial baru.
Permasalahan pokok lain yang tidak kalah pentingnya
adalah, setiap sukubangsa di Indonesia mempunyai hak yang sama
atas wilayah Indonesia. Migrasi dari suatu daerah ke daerah lainnya
dengan berbagai kepentingan akan menjadi persoalan persepsi dan
interpretasi dari segala aspek budaya yang dihadapi. Stigma akan
menjadi penghambat bagi masyarakat untuk melakukan hubungan
sosial. Merujuk pada permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan
sebagai berikut.
a. Adakah public space atau ruang publik sebagai arena yang bisa
mempertemukan berbagai kepentingan etnis?
b. Bagaimana berbagai kelompok etnis yang ada di suatu tempat
mengembangkan pola hubungan sosial dalam rangka
membangun keserasian hidup, khususnya dalam komunitas
permukiman?
c. Simbol-simbol apakah yang berfungsi dan dimaknai sebagai alat
komunikasi antaretnis?
6
1.6. Metode Penelitian
Dalam realitasnya Bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang heterogen atau majemuk. Kemajemukan tersebut harus
senantiasa diperhitungkan, artinya dalam mengambil kebijakan dan
keputusan tidak menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak
yang lain. Langkah pertama untuk melakukan penelitian ini adalah
studi kepustakaan, dengan menelaah tulisan-tulisan untuk
memahami realita bahwa keragaman hendaknya dapat dijadikan
kerangka dasar dalam pengembangan kebudayaan Indonesia.
Langkah berikutnya adalah melakukan observasi atau
pengamatan terlibat dengan komunitas yang dijadikan sampel
penelitian, yakni suatu permukiman atau arena yang memiliki
keragaman etnis dan budaya yang didukungnya. Untuk memperoleh
data dan informasi yang diperlukan, dilakukan metodologi
eksploratif melalui teknik wawancara dengan informan yang dipilih
melalui metode random sampling, dengan asumsi bahwa informan
terpilih dapat mewakili seluruh kalangan dalam komunitasnya.
Mereka terdiri dari informan kunci, tokoh masyarakat, tokoh adat,
wakil kelompok kepemudaan, kelompok kedaerahan dan perwakilan
dari satuan lainnya yang dinilai memahami keragaman budaya di
daerahnya. Sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan
kebijakan pemerintah, informan dipilih dari kalangan pejabat di
lingkungan instansi terkait.
Langkah lain yang digunakan untuk memperoleh data yang
lebih valid dan akurat adalah melalui pelaksanaan Focus Group
Discussion (FGD). Kegiatan ini dilangsungkan dengan mengundang
partisipasi para ahli di bidang kebudayaan khususnya yang
mendalami budaya setempat. Hasil sementara yang diperoleh
melalui wawancara dan observasi didiskusikan dengan pakar
setempat, dan berbagai masukan baru akan memperkaya hasil
penelitian.
Hasil dari studi kepustakaan, observasi, wawancara dan
FGD kemudian diolah dan dianalisis untuk dituangkan menjadi
naskah laporan penelitian.
7
1.7. Terminologi
1.7.1. Penjelasan Judul Penelitian
Kegiatan yang dilaksanakan adalah Penelitian Pengelolaan
Keragaman Budaya: Strategi Adaptasi. Untuk mempertajam
pemahaman perlu dilakukan penjelasan secara rinci berkenaan
dengan terminologi judul kegiatan.
a. Pengelolaan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI,1996), berasal dari kata kelola yang berarti
mengendalikan, menyelenggarakan suatu kegiatan. Jika
ditambah awalan pe, dan akhiran an, menjadi pengelolaan yang
berarti suatu proses untuk melakukan kegiatan tertentu, atau
proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan suatu
tujuan organisasi serta memberikan pengawasan pada semua
hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan tersebut.
b. Keragaman budaya, mengandung pengertian budaya yang
berjenis-jenis atau berbeda-beda. (KBBI,1996). Dengan
demikian Pengelolaan Keragaman Budaya mengandung arti,
suatu proses yang dilakukan oleh suatu organisasi untuk
merumuskan kebijaksanaan berkaitan dengan aspek budaya
yang berbeda-beda.
c. Strategi, di sini dimaksudkan sebagai suatu proses dalam
rangka mewujudkan etika dalam berbudaya suatu masyarakat
sukubangsa ke dalam suatu wujud nyata atau tindakan.
(KBBI,1996). Diharapkan akan melahirkan suatu kondisi yang
sesuai antara tindakan dengan pandangan hidup, nilai, norma,
pengetahuan hidup, etika yang terkandung dalam kebudayaan
yang dipedomani oleh masyarakat yang bersangkutan.
Masih dalam konteks strategi, juga berarti rencana yang cermat
mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Dalam
kegiatan ini sasaran tersebut dimaksudkan adalah kondisi ideal
yang dibangun oleh berbagai sukubangsa di suatu wilayah
dengan mendukung keragaman budayanya.
d. Adaptasi, menurut KBBI 1996, berarti suatu upaya penyesuaian
terhadap lingkungan. Dalam konteks penelitian ini, adaptasi
dimaknai sebagai usaha yang dilakukan oleh suatu komunitas
sukubangsa yang beragam untuk menyesuaikan diri dengan
8
komunitas lain khususnya penduduk asli setempat. Penyesuaian
yang dimaksudkan meliputi berbagai tindakan yang disesuaikan
dengan nilai budaya, norma, dan aturan setempat. Untuk
sampai pada tingkat yang kondusif dan ideal menurut norma
yang berlaku, pada umumnya diperlukan suatu sikap yang
toleran, mengedepankan dialog, serta pengendalian diri dalam
menyikapi banyak masalah.
9
budayanya. Dalam banyak kesempatan kekayaan budaya asal
daerah juga menjadi ikon untuk dipergelarkan. Secara
antropologis, bisa dikatakan sebagai transformasi nilai baik
kepada sesama suku maupun pembelajaran tentang keragaman
budaya kepada warga lain suku.
d. Tokoh-tokoh masyarakat. Yang dimaksudkan dengan tokoh
tersebut bisa berasal dari kalangan agama ( Islam, Nasrani,
Hindu atau Budha), bisa juga adalah orang tua yang dipandang
sebagai tokoh karena memiliki kharisma, tahu banyak tentang
masalah kemasyarakatan, dan bijaksana dalam menyikapi
semua keluhan warga. Dalam upaya membangun kerukunan,
diketahui bahwa peranan tokoh masyarakat tersebut sangat
besar, bukan saja dalam konteks kerukunan tetapi juga
menentramkan kehidupan beragama warga setempat. Seorang
tokoh yang dihormati, tidak selalu berasal dari penduduk asli,
seperti dalam banyak kasus di beberapa daerah dijumpai tokoh
yang berasal dari sukubangsa pendatang. Yang penting tokoh
tersebut memiliki kemampuan yang tinggi dalam memahami
nilai-nilai budaya, dan norma kemasyarakatan serta harus
didukung oleh warganya.
e. Di kalangan birokrat, khususnya mereka yang bekerja di instansi
pemerintah, banyak dijumpai pegawai yang berasal dari
sukubangsa-sukubangsa yang berbeda. Namun dalam aktivitas
sehari-hari mereka jalani dengan harmonis. Hubungan yang
terjalin dengan baik ini bisa menjadi rujukan ketika pegawai
tersebut kembali ke kediamannya dan bergaul dengan warga
yang lainnya.
10
sukubangsa yang berbeda, untuk kemudian dituangkan dalam
tulisan dengan teknik deskriptif analitis.
Yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan penelitian
ini adalah penggunaan instrumen penelitian berupa pedoman
wawancara. Setiap pertanyaan yang terangkum dalam pedoman
tersebut digunakan untuk mengetahui berbagai tindakan
masyarakat/informan dalam rangka melakukan adaptasi
berdasarkan nilai budaya yang didukungnya. Instrumen penelitian
ini juga digunakan untuk menggali nilai-nilai budaya yang
diaplikasikan oleh pendukungnya dalam kehidupan sehari-hari.
12
BAB II
PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA:
STRATEGI ADAPTASI DI MATARAM,
NUSA TENGGARA BARAT
13
2.1.2. Kependudukan
Wilayah Kota Mataram hingga tahun 2004 dihuni oleh
1.343.402 jiwa penduduk, yang berasal dari macam-macam etnis
antara lain:
Orang Sasak berjumlah : 952.070 jiwa
Orang Bima : 121 750 Jiwa
Orang Sumbawa : 78 789 jiwa
Orang Bali : 64 743 jiwa
Orang Dompu : 25 009 jiwa
Orang Jawa (Tengah,Timur) : 44 826 jiwa
Orang Donggo : 401 jiwa
Orang Bugis/Makassar : 5604 jiwa
Lainnya : 50 210 jiwa
15
Abad ke-16 merupakan masa keemasan Islam di Lombok,
terutama dengan adanya pengaruh Demak yang dibawa oleh Sunan
Prapen. Menurut catatan sejarah, di masa itu infra struktur seperti
jalan dan fasilitas pelabuhan di Lombok sudah ada dan dalam
kondisi yang bagus. Infra struktur tersebut digunakan untuk
melancarkan arus perdagangan rempah-rempah, beras, dan
tembakau yang dikenal sangat istimewa. Selain komoditi pertanian,
Lombok juga dikenal dengan peternakan kuda dan sapi, yang
hingga kini masih belum terkalahkan oleh daerah lainnya di
Indonesia.
Abad ke 18 pengaruh Kerajaan Karang Asem mulai masuk
dan menjadi penanda kehadiran orang Bali di Lombok. Pendatang
lain yang datang kemudian adalah orang-orang Cina yang dikenal
sangat eksis dalam sistem perekonomian di Lombok, demikian juga
dengan orang-orang Arab dan India. Bukti bahwa orang-orang
keturunan ini sangat besar pengaruhnya dalam aspek perdagangan
bisa dilihat dari jumlah pengusaha/pedagang yang ada pusat-pusat
pertokoan di kota Mataram.
Pulau Lombok yang beribukota Mataram, kini boleh
dikatakan sebagai “melting pot” yakni, tempat di mana warga dari
macam-macam sukubangsa berkumpul dan saling berinteraksi
dalam berbagai aspek kehidupan. Namun demikian, kondisi Kota
Mataram sangat kondusif dan semua warga yang memiliki latar
belakang budaya dan tradisi berbeda itu merasa senang dan
nyaman tinggal di kota ini.
Situasi yang kondusif tadi sudah barang tentu tercipta
karena adanya keterbukaan dari penduduk asli/setempat/orang
Sasak yang memiliki sikap sebagai berikut.
a. Sikap kolektif orang Sasak di Ampenan khususnya dalam
komunitas Perumnas yang memegang teguh nilai budaya Bani
Besande atau sikap yang selalu ingin menyenangkan tamu,
familiar dan ramah.
b. Orang Sasak juga mempunyai sikap yang cukup terbuka dan
toleran, dalam banyak hal mereka mau kompromi, kecuali jika
sudah berkaitan dengan akidah keagamaan (Islam) prinsip
akan dipegang teguh.
c. Orang Sasak juga memiliki nilai dasar tindih yakni sebagai insan
kamil yang wajib melakukan kebaikan dengan sesamanya.
16
Idiom tindih tadi kemudian dijabarkan ke dalam Peraturan
Daerah (Perda) yang intinya ada 3 point dan menjadi pedoman
masyarakat Sasak, yakni: patut yang diartikan layak, pantas
dalam bersikap, patuh diartikan taat kepada aturan adat dan
agama, pacu artinya wajib meningkatkan etos kerja. Seorang
budayawan asal Lombok menambahkan bahwa orang Sasak
juga kaya dengan peribahasa, salah satunya yang menjadi
pedoman untuk kerukunan hidup yakni saling ajinin yang secara
harfiah berarti saling menghormati, reme, rapah, regen yang
berarti suka memberi, memilih situasi ama damai dan
mendukung toleransi.
18
2.2. Asal-usul Kesukuan
Seperti telah dipaparkan di atas, Perumnas Tanjung Karang
dihuni oleh beranekaragam etnis seperti Sasak, Jawa, Bali, Sunda,
Padang, Batak, Bugis-Makassar, Kalimantan, Dompu, Bima dan
sebagian kecil lainnya adalah warga keturunan Cina dan Arab.
Sejak dibangun tahun 1980, dan secara berangsur-angsur dihuni
oleh macam-macam etnis, Perumnas Tanjung Karang yang juga
terbesar di Pulau Lombok ini memperlihatkan perkembangan yang
pesat. Perkembangan dimaksud bukan hanya dilihat dari jumlah
hunian yang terus meningkat, tetapi juga fasilitas untuk kepentingan
penghuninya terus dikembangkan.
Kini setelah hampir 26 tahun, Perumnas Tanjung Karang
menjadi kawasan yang menampilkan sosok Indonesia dalam bentuk
mini. Artinya, warga yang ada di dalamnya hidup berdampingan
dalam perbedaan budaya dan tradisi karena mereka berasal dari
berbagai etnis. Keterangan yang dapat dihimpun selama penelitian,
baik berupa data dan informasi hasil wawancara dengan warga
maupun penjelasan pejabat pemerintah yang berkaitan dengan
masalah kehidupan budaya, memperkuat asumsi bahwa warga
Perumnas Tanjung Karang dapat dijadikan contoh tentang
keberhasilan mereka mengelola keragaman budaya. Dari hasil
pencarian data dan wawancara dengan informan terpilih, diperoleh
data berikut ini:
Orang Jawa adalah etnis kedua terbesar setelah Sasak yang
menjadi tuan rumah di kawasan Ampenan. Mereka berasal dari
berbagai daerah baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Dari
Jawa Tengah umumnya berasal dari Solo, Tegal, Semarang ,dan
sebagainya, sementara dari Jawa Timur berasal dari Surabaya,
Malang, Madiun dan sebagainya. Kedatangan mereka,
sesungguhnya jauh lebih lama dari sukubangsa lainnya. Menurut
sejarahnya, kebudayaan tulis dan baca di Pulau Lombok ini lahir
dan berkembang, ketika ke pulau tersebut datang orang-orang Jawa
yang memperkenalkan aksara dan sastra Jawa Kuno. Dengan
demikian, tradisi yang hidup di Pulau Lombok, juga di kawasan
Perumnas Tanjung Karang ini, dapat dikatakan sebagai tradisi
berlanjut. Informan yang berasal dari Jawa mengatakan bahwa
mereka adalah generasi kedua, atau generasi yang menetap di
Mataram dan tahun 1981 pindah ke Perumnas Tanjung Karang.
19
Sekalipun berasal dari Jawa mereka tidak merasa ada perbedaan
perlakuan, dan membuat warga dari Etnis Jawa tersebut merasa
nyaman tinggal di Perumnas. Demikian juga warga yang berasal
dari Jawa Timur, sekalipun kedatangan mereka ke Perumnas lebih
belakangan dari warga Jawa Tengah, mereka merasa aman-aman
saja dan diterima dengan baik.Karakteristik orang Jawa Timur yang
dikenal agak keras, sedikit-demi sedikit terkikis karena harus
menyesuaikan diri dengan sifat penduduk asli.
Sesungguhnya, orang Sunda adalah sukubangsa yang
kurang suka merantau dan memilih hidup berdekatan dengan
keluarga di kampung halamannya, Tatar Sunda. Namun anggapan
seperti itu, kini mulai menipis dengan dijumpainya komunitas Sunda
di Kota Mataram dan sebagian kecil di Perumnas Tanjung Karang.
Jika orang Jawa yang berdatangan ke Pulau Lombok umumnya
untuk berdagang, orang Sunda biasanya disebabkan alasan lain
seperti karena alih pekerjaan, ikut keluarga atau karena menikah.
Untuk sementara mereka merasa senang tinggal di Perumnas,
namun dalam jangka waktu tertentu misalnya jika sudah pensiun,
mereka akan kembali ke Tatar Sunda. Demikian juga banyak di
antara mereka yang menjadi pejabat dan bertahan hingga selesai
masa jabatannya, ketika pensiun pulang ke tanah kelahiran.
Sementara itu, orang Padang dari Sumatera Barat yang
dikenal menjadi perantau ulung, memang nampak sangat eksis.
Bukan hanya betah di Perumnas atau di Pulau Lombok, tetapi juga
usahanya maju dan berkembang. Sudah banyak rumah makan
Padang di Kawasan Perumnas, bahkan hampir di seluruh Pulau
Lombok. Hal ini menandakan bahwa orang Padang dimanapun
berada selalu berhasil seperti moto hidup mereka di mana bumi
dipijak, disana langit dijunjung, artinya di manapun berada orang
Padang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Orang Batak dari Sumatera Utara tidak jauh berbeda dengan
orang Padang, datang ke Pulau Lombok selain untuk meningkatkan
taraf hidup dan mencari pekerjaan yang lebih baik, di antaranya ada
juga yang karena kawin mawin dengan Suku Sasak dan kemudian
membentuk keluarga di Kota Mataram. Beberapa informan yang
terdiri dari orang Batak menunjukkan sikap yang jauh lebih halus
dan bicara lebih lembut. Sikap keras orang Batak yang terkenal,
kelihatannya sudah terkikis, dengan intensnya pergaulan mereka
dengan sukubangsa lainnya. Di Mataram orang-orang Batak banyak
20
dijumpai sebagai pengusaha angkutan kota atau menjadi sopir dan
pengusaha bengkel.
Orang-orang Bali yang sudah ada di Lombok sejak abad ke
18, seiring dengan masuknya pengaruh Kerajaan Karang Asem,
menjadi warga yang lumayan dominan di Perumnas. Sikap orang
Bali yang agak lembut dan pendiam, ditengarai menjadi katarsis
bagi pihak-pihak yang temperamental. Orang Bali yang ada di
Perumnas umumnya menjadi warga yang paling mudah diketahui
keberadaannya. Hal ini disebabkan model rumah tinggal mereka
yang selalu dilengkapi dengan berbagai komponen kebudayaan dan
tradisi Bali, khususnya yang erat kaitannya dengan kegiatan ritual
mereka. Ketekunan orang Bali dalam menjalankan agamanya
kiranya menjadi contoh yang baik bagi warga lainnya.
Orang Bima, adalah sukubangsa yang juga menjadi
penghuni Perumnas Tanjung Karang. Jika banyak orang Bima di
kawasan tersebut, tidaklah mengherankan mengingat jarak tempuh
dari tempat asalnya ke Pulau Lombok sangat dekat dan mudah
dicapai. Orang Bima bekerja dalam berbagai sektor dan dikenal
mempunyai ikatan persatuan yang sangat kuat dan agak eksklusif.
Demikian juga orang Sumbawa mempunyai ikatan yang kuat
dengan orang Sasak, kedua etnis itu susah dibedakan, hanya saja
orang Sumbawa dikenal sangat suka berkesenian khususnya
musik. Dalam berbagai kesempatan orang Sumbawa selalu
kelihatan ceria dan hangat.
Orang Sasak sendiri, sebagai penduduk asli sangat toleran,
rendah hati dan selalu ingin menyenangkan orang lain. Kepada
orang tua, atau yang dituakan mereka sangat hormat dan mau
berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Sifat itu juga yang menjadi
daya tarik bagi sukubangsa-sukubangsa lain untuk menetap di
Lombok. Banyak informan yang mengaku telah dianggap saudara
oleh orang Sasak, hingga kini ikatan kekeluargaan itu terus dibina.
Komunitas lain yang ada di Perumnas Tanjung Karang
adalah Bugis-Makassar, Ambon dan Manado. Sekalipun pada
awalnya dikenal agak temperamental dan agak keras, namun sifat-
sifat tersebut kemudian melembut seiring dengan semakin
intensifnya pergaulan dengan sukubangsa yang lain. Adapun orang
Banjar yang berasal dari Kalimantan, tidak ubahnya dengan orang
Melayu yang berhati lembut dan kuat beragamanya. Sedangkan
warga dari Etnis Madura, dikenal agak keras, temperamental namun
21
sangat ulet dalam berusaha. Pada umumnya orang-orang Madura
berusaha dalam sektor informal seperti menjadi pedagang sate,
soto, atau bahan bangunan/besi.
Seluruh sukubangsa yang berasal dari tempat berbeda,
memiliki latar belakang budaya, bahasa dan tradisi berbeda pula,
kini hidup dalam satu kawasan yang sama yaitu Perumnas Tanjung
Karang. Dalam banyak hal sifat-sifat kolektif yang sebelumnya bisa
menjadi pemicu konflik mulai dikikis dan berusaha semaksimal
mungkin menerima perbedaan agar tercipta kerukunan hidup, dan
itulah yang selalu diusahakan oleh seluruh warga Perumnas. Selain
mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan, ada beberapa nilai
budaya yang tanpa disadari telah menjadi pemersatu seluruh etnis
yang ada di Perumnas Tanjung Karang. Nilai budaya tersebut
antara lain: mengembangkan sikap toleransi jika dihadapkan
pada persoalan yang berkaitan dengan perbedaan, tenggang rasa
yakni kesediaan untuk menempatkan diri pada posisi yang kurang
menguntungkan, pengendalian diri, artinya setiap etnis berusaha
meredam hasrat, emosi yang dinilai akan menimbulkan konflik
misalnya menahan perasaan marah dan memperbanyak sabar.
Menyadari hidup di tengah-tengah komunitas yang beragam,
mengharuskan warga bersedia menerima perbedaan dan
keberadaan orang yang mempunyai latar belakang budaya
berbeda, mengedepankan dialog untuk mencari solusi atas
masalah yang timbul di antara warga. Yang paling menarik adalah
amalgamasi yakni suatu situasi yang memungkinkan adanya ikatan
antara dua individu yang berasal dari sukubangsa yang berbeda,
dengan satu catatan hal yang prinsip (agama) tetap dipertahankan.
30
2.5. Simbol Yang Dimaknai Bersama Sebagai Alat Komunikasi
Antarsukubangsa
31
Konon, di Perumnas Tanjung Karang, orang Jawalah yang
memelopori penggunaan hiasan janur ini, namun karena segi
estetikanya menarik dan mudah dibuat, pada perkembangan
selanjutnya diikuti oleh semua warga Perumnas.
Melengkapi simbol-simbol budaya di atas, dalam
kenyataannya selain memiliki sistem budaya daerah, Bangsa
Indonesia termasuk warga Perumnas Tanjung Karang mengakui
adanya simbol-simbol yang menjadi identitas bersama. Berbeda
dengan simbol budaya kedaerahan yang kemudian diadopsi
bersama, identitas nasional adalah suatu yang dikonstruksikan
melalui dikursus seperti dikatakan Stuart Hall “I use „identity‟ to refer
to the meeting point, of suture,between on the hand the discourses
and practices which attempt to „interpellate‟, speak to us or hail us
into place as the social subjects of particular discourse, and other
hand,the process which produce subjects which construct us
subjecttivities, which construct us as subject which can be „spoken‟.
(Stuart Hall dalam makalah M.Sastrapratedja, 2006).
Apa yang dikatakan Stuart di atas bagi warga Perumnas
Tanjung Karang tidak berbeda dengan masyarakat di seluruh
Indonesia yang mengakui secara mantap Pancasila, Bahasa
Indonesia, Bendera Merah Putih dan Lagu Kebangsaan Indonesia
Raya sebagai identitas nasional.
32
Tanjung Karang, dibangun sebuah plaza yakni gedung yang
berukuran besar dan luas. Sesuai fungsinya sebagai ruang publik,
plaza bisa digunakan oleh semua warga Perumnas, baik untuk
kepentingan pribadi (peristiwa adat meliputi upacara perkawinan,
khitanan atau kegiatan adat lainnya), atau digunakan untuk
kepentingan bersama yang melibatkan seluruh warga Perumnas.
Plaza juga menjadi arena untuk menyelenggarakan berbagai latihan
atau pertandingan berbagai cabang olahraga, pergelaran seni,
tempat upacara untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan RI,
bahkan digunakan juga sebagai tempat penyelenggaraan upacara
keagamaan jika dilaksanakan secara besar-besaran. Contohnya,
penyelenggaraan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW,
perayaan Natal atau hari raya umat Hindu. Selain melibatkan tokoh-
tokoh agama yang bersangkutan, acara tersebut umumnya dihadiri
oleh hampir seluruh warga Perumnas., hingga terkesan menjadi
ajang silaturahmi atau pertemuan warga.
Pertemuan lintas budaya yang terjadi dalam ruang publik
tadi, hasilnya sangat efektif dan luar biasa artinya terjadi suatu
interaksi langsung antaretnis yang berbeda. Kontak budaya bukan
hanya terjadi antargenerasi tua, tetapi juga terjadi di kalangan
generasi mudanya. Dalam berbagai aktivitas yang diselenggarakan,
acapkali lahir ide-ide komunal yang bisa menjembatani berbagai
perbedaan latar belakang budaya dan tradisi.
Lapangan olahraga, banyak dijumpai di seluruh kawasan
Perumnas Tanjung Karang. Pada umumnya berupa lapangan bola
voli atau badminton (bulutangkis). Kegiatan olahraga, selain
dilakukan di dalam plaza, untuk latihan rutin biasanya menggunakan
lapangan di tiap-tiap RT. Pada saat penelitian dilangsungkan, suatu
malam sejumlah anggota Karang Taruna RT 5, Jalan Kesra 7
sedang berlatih bola voli. Melalui tampilannya, dapat diketahui para
pemuda itu berasal dari macam-macam etnis, dan satu dengan
lainnya tampak demikian akrab, berlatih sambil sesekali bercanda
menggunakan idiom-idiom khusus Bahasa Sasak.
Di dalam kehidupan tradisi Sukubangsa Sasak dikenal
sebuah bangunan yang disebut berugag atau gazebo atau saung,
bisa juga disebut balai-balai karena dilengkapi dengan semacam
bangku untuk bersantai. Pada masyarakat Sasak, berugaq
diletakkan di halaman depan rumah dan berfungsi sebagai tempat
berkumpul orang dalam jumlah terbatas. Secara tradisional,
33
berugaq biasa digunakan sebagai tempat perundingan, menerima
tamu dalam jumlah terbatas bahkan untuk meletakkan jenasah
sebelum berangkat ke kubur. Di Perumnas Tanjung Karang
khususnya di Lingkungan Kesra, di setiap fasilitas olahraga selalu
dijumpai sebuah berugaq. Kini, berugaq difungsikan untuk
berkumpul warga dan membahas berbagai masalah seperti
kebersihan lingkungan, keamanan ataupun masalah lain yang
dibicarakan secara informal.
Pada perkembangan berikutnya, berugaq juga menjadi
tempat berkumpulnya ibu-ibu rumahtangga, para gadis dan pemuda
di kala sore hari, biasanya sambil bermain gitar dan bernyanyi lagu
daerah, bermain catur, atau mengasuh anak-anak balita. Yang
menggunakan tentu saja tidak hanya orang Sasak, tetapi seluruh
lapisan warga Perumnas.
Pasar tradisional, sekalipun hanya berwujud pasar tumpah
namun bagi warga BTN Tanjung Karang telah menjadi suatu arena
pertemuan sosial, khususnya kaum ibu yang setiap pagi berbelanja.
Secara tradisional, pasar tidak semata-mata menjadi arena jual beli
berbagai kebutuhan hidup, namun bisa menjadi ajang yang
mempertemukan berbagai hal termasuk sosialisasi nilai antarsuku.
Di pasar juga, berbagai informasi cepat tersebar, sehingga banyak
warga yang memperoleh pengetahuan justru dari lingkungan pasar.
Meskipun dalam jarak yang dekat terdapat pula sebuah
pusat perbelanjaan modern (Mall), namun kaum ibu BTN Tanjung
Karang, lebih memilih berbelanja di pasar tradisional. Alasannya
tidak lain agar bisa tawar menawar harga, dan jika beruntung bisa
berjumpa dengan orang-orang sesuku. Intensifnya hubungan timbal
balik antara penjual dan pembeli, yang acapkali berasal dari
macam-macam suku, telah memungkinkan dikenalnya bahasa, dan
tradisi sukubangsa lain oleh seseorang.
Di lingkungan pasar tradisional, dapat pula diketahui
penggolongan pedagang dan jenis komoditi yang diperdagangkan.
Contohnya, orang-orang Madura pada umumnya berjualan soto dan
sate, orang Padang membuka rumah makan Padang dengan lebih
permanen, orang Sasak berjualan kain tenun tradisional atau aneka
perhiasan dari mutiara, sementara warga keturunan lebih variatif
karena lebih banyak komoditi yang diperjualbelikan.
34
BAB III
PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA: STRATEGI ADAPTASI
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
38
3.2. Asal – Usul Kesukuan
39
dikenal ulet sebagai tukang kredit, sementara yang berdatangan
dari daerah lainnya terutama kalangan generasi muda adalah untuk
menuntut ilmu. Faktor jarak dan infra struktur yang cukup baik
antara Jawa Barat dan Jawa Tengah memungkinkan mobilitas yang
tinggi, setiap saat keluar dan masuk kedua wilayah ini. Beberapa di
antara mereka tinggal di BTN Condongcatur dan membaur dengan
warga lainnya. Pada umumnya mereka diterima dengan baik
apalagi orang Sunda memiliki kearifan tradisional berupa ungkapan
kudu bisa mihapekeun maneh, artinya, di mana pun berada harus
bisa menitipkan diri agar disukai oleh tuan rumah.
Orang Bali, di antara sekian banyak warga dari berbagai
etnis, orang Bali merupakan warga yang dikenal sangat taat
beragama, dan berperilaku sangat santun. Mereka berusaha di
berbagai bidang pekerjaan, dan sebagian lainnya adalah kalangan
muda pelajar dan mahasiswa.
Orang Padang, dapat dipastikan orang Padang selalu
ditemui di hampir seluruh daerah di Indonesia. Demikian juga di
kawasan BTN Condongcatur, sekalipun mereka berasal dari daerah
yang berbeda seperti Bukitinggi, Solok, Pariaman dan Kota Padang
sendiri, namun warga tetap menyebut mereka orang Padang.
Selain dikenal sebagai warga yang ulet dalam berusaha, sebagian
dari mereka khususnya yang berusia muda berada di lingkungan
tersebut kost atau mengontrak rumah secara beramai-ramai, untuk
menuntut ilmu. Yang menarik, merekapun bukan hanya aktif di
kampus tetapi ketika waktu luang acapkali berada di Malioboro atau
pusat perbelanjaan lain untuk mencari nafkah. Selain menjadi
pengamen, ada di antara mereka yang berjualan pakaian, atau
kelengkapan pakaian yang dijual dengan harga murah. Dengan
demikian, sejak awal mereka sudah tidak lagi mengandalkan
kiriman uang dari orang tuanya. Ungkapan tradisional di mana bumi
dipijak di situ langit dijunjung, artinya menyesuaikan diri dengan
lingkungan dimana berada, dipegang teguh sehingga dimanapun
juga orang Padang tampak eksis.
Orang Batak, seperti di daerah lain warga yang berasal dari
Provinsi Sumatera Utara ini dikenal sebagai pendatang yang ulet
mempertahankan hidup dengan berbagai aktivitas. Di antara
mereka ada yang menjadi pegawai negeri atau swasta namun
kebanyakan berusaha di sektor jasa seperti pengusaha angkutan
umum, bengkel dan usaha lainnya. Namun banyak juga kalangan
40
muda Batak yang rajin menuntut ilmu di berbagai institusi
pendidikan. Pergaulan yang akrab dengan berbagai orang dari etnis
yang berbeda khususnya dengan orang Yogyakarta sendiri,
berakibat sangat jelas kepada sikap dan perilaku mereka. Jika
semula temperamental, bicara keras, sedikit demi sedikit terkikis
dan menjadi lebih lembut, bahkan tidak jarang yang menjadi sangat
nJawani.
Adapun etnis lain dari Indonesia bagian Tengah dan Timur
seperti Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Maluku, NTB, NTT, bahkan Papua juga ditemui di kawasan
ini. Tidak berbeda dengan orang Batak yang mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan, merekapun bisa hidup rukun dengan etnis
lain. Pada umumnya, mereka berada di BTN Condongcatur selain
karena faktor ekonomi (pekerjaan), juga karena belajar, atau alasan
lain seperti karena perkawinan yang menyebabkan harus pindah
tempat tinggal.
Keberadaan etnis-etnis tersebut di BTN Condongcatur,
dapat segera dikenali bukan saja dari penataan rumah, simbol-
simbol etnis yang tetap dipertahankan, juga dari cara mereka
berbahasa. Namun dalam kehidupan sehari-hari, Bahasa Indonesia
menjadi simbol pemersatu yang diakui oleh semua warga terutama
sebagai alat komunikasi.
41
kegiatan adat juga merupakan salah satu cara yang digunakan oleh
warga, agar anak-anak terbiasa dan mau menerima tradisi
leluhurnya.
Semua cara dalam upaya transformasi nilai budaya daerah
di atas, dilakukan oleh semua etnis yang ada di BTN Condongcatur
dan disesuaikan dengan tradisi masing-masing. Tujuan utamanya
sudah pasti memperkuat identitas budaya sukubangsa, sekalipun
berada di tengah-tengah pergaulan global, karena pada umumnya
mereka meyakini nilai budaya daerah adalah solusi untuk
memecahkan banyak masalah hidup.
47
BAB IV
PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA: STRATEGI ADAPTASI
DI KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR
48
Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan
Fatululi
Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pasir
Panjang
Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Oeba.
51
hidup subur di lingkungan Perumnas. Menurut catatan di kelurahan,
rincian kepemelukan agama dapat dilihat sebagai berikut.
Agama Kristen Protestan dianut oleh : 1319 orang
Agama Kristen Katolik dianut oleh : 995 orang penduduk
Agama Islam dianut dianut oleh : 1198 orang penduduk
Agama Hindu dianut oleh : 17 orang penduduk
Agama Budha dianut oleh : 8 orang penduduk
Kehidupan keagamaan di Perumnas Nefo Naek tumbuh
subur dan berbagai aktivitas dijalani secara konsisten oleh masing-
masing umat. Untuk memenuhi kebutuhan setiap umat beragama,
pihak kelurahan dengan didukung Pemerintah Daerah setempat, di
lingkungan Perumnas Nefo Naek tersedia sarana peribadatan
berupa : gereja Protestan 1 buah, gereja Katolik 1 buah, masjid 1
buah. Adapun umat Hindu dan Budha yang akan melaksanakan
peribadatan bergabung dengan komunitasnya yang berada di
Kelurahan Oeba tidak jauh dari Perumnas Nefo Naek. Sementara
umat Budha menjalankan ritual keagamaan di Vihara yang ada di
pusat Kota Kupang. Sekalipun memeluk agama yang berbeda-
beda, warga Perumnas tidak merasakan adanya perbedaan karena
dalam berbagai peristiwa agama seperti Natal, Lebaran atau
perayaan di kalangan umat Hindu dan Budha semua warga saling
mengunjungi untuk mengucapkan selamat.
52
disebut ingu dan dipimpin oleh koka ana, sebagai pemimpin adat,
dan jalannya pemerintahan, mengatur upacara bahkan menjadi
mediator antara dunia gaib dan dunia nyata.
Prinsip keturunan yang dianut orang Kupang adalah
patrilineal (menarik garis keturunan ayah) dengan pola tempat
tinggal berada di lingkungan keluarga laki-laki. Orang Kupang
khususnya orang-orang Helong mengenal pelapisan sosial yang
didasari pada genealogis yaitu kemurnian darah dari kelompok
pembuka lahan dan kampung. Tingkatan sosial yang ada dapat
digolongkan ke dalam lapisan bangsawan (usif), lapisan pemegang
kekuasaan dan pemerintahan adat, yaitu keturunan langsung dari
cikal bakal si pembuka lahan dan kampung, dan kemudian lapisan
sosial rakyat biasa (tob).
Sekalipun secara tradisional orang Kupang memiliki prinsip
seperti tersebut di atas, namun dalam perkembangan kemudian
mereka lebih terbuka dan mau menerima kehadiran orang lain dari
luar sukunya. Kini berbagai akivitas kemasyarakatan telah mereka
ikuti bersama-sama dengan warga dari sukubangsa yang lain.
Selain kehidupan keagamaan yang subur, warga juga memiliki
berbagai kegiatan sosial yang acapkali tidak bisa dibedakan dengan
aktivitas keagamaan. Bagaikan dua sisi mata uang, setiap aktivitas
keagamaan baik yang dilakukan oleh semua umat pada akhirnya
akan menyentuh masalah sosial kemasyarakatan dan bermuara
pada kehidupan budaya warga Perumnas.
53
4.1.7. Mitologi dan Nilai Dasar
Mayoritas masyarakat Kupang menganut Agama Kristen
dan sebagian kecil beragama Islam atau agama lainnya. Namun
demikian, mereka juga terikat oleh adat istiadat yang menjadi
pandangan hidup orang Timor. Masyarakat Kupang juga mengenal
konsep wewiku wehali, menurut catatan sejarah yang diperoleh
dari tulisan Pigafetta, tahun 1522 dalam kunjungannya ke “batu
gede” Pigafetta membuat catatan tentang adanya empat kerajaan di
Timor yaitu Oibich, Lichsana, Suai, Cabanaza. Konon ada satu
rumpun sukubangsa yang terdiri dari empat bersaudara, suku yang
datang dari Sinamutin Malaka sebelum tahun 1500, dan empat
suku itu mendiami wilayah Belu Selatan sekarang. Mereka
membagi diri ke empat penjuru mata angin. Di selatan saudara
tertua mendirikan Kerajaan Wehali, saudara kedua mendirikan
Kerajaan Wewiku di sebelah timur, saudara ketiga mendirikan
kerajaan Hatimu di sebelah barat, dan saudara keempat menempati
wilayah Fatuaruin. Adat istiadat yang dianut kemudian dikenal
dengan nama wesei wehali , yang merupakan gabungan nama-
nama tempat maubesi–wehali. Keempat bersadara ini diyakini
sebagai turunan maromak oan yang bertempat tinggal di Wehali,
dan maromak oan menjadi tokoh legendaris yang menurunkan
Liurai Sonbai, Likuasaen, Suai, Kamanasa. Dalam
perkembangannya, dua Liurai memerintah di Timor bagian barat;
Wewiku Wehali, dan di Timor bagian Timur Suai dan Kamanasa.
Dari perjalanan sejarah tadi lahir tiga konsep : ada mitos,
maromak oan, ada ritus, persembahan upeti kepada maromak oan,
ada kultus, ikatan kekerabatan yang keramat dan dipersonifikasi
dalam diri maromak oan. Nama Wewiku Wehali menjadi sumber
pengikat untuk pemusatan mitos, ritus dan kultus. Selain nilai dasar
tadi, orang Kupang juga memiliki suatu konsep tentang kasih yang
dilandasi oleh nilai-nilai Kristiani yaitu: Agape. Dalam konsep
Kristiani agape mengandung pengertian sebagai berikut.
Kasih terhadap Tuhan dan sesama manusia, kasih terhadap
keluarga (ibu kepada anak, anak kepada ibu dan seterusnya), kasih
seorang laki-laki kepada perempuan yang diberkati oleh Tuhan, dan
Storge atau kasih terhadap semua ciptaan Tuhan. Dengan
landasan agape, orang Kupang selalu menerima kehadiran
sukubangsa lain dengan senang hati.
54
4.1.8. Perumnas Nefo Naek, Kecamatan Kelapa Lima Dihuni
Oleh Berbagai Sukubangsa
Laju pertumbuhan penduduk di Kota Kupang sama halnya
dengan kota-kota besar lain di Indonesia, sangat cepat dan dalam
jumlah yang sangat besar. Percepatan pertumbuhan penduduk ini
jelas tidak seimbang dengan petumbuhan ekonomi dan fasilitas lain
termasuk sarana perumahan. Untuk menyikapi masalah tersebut,
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berkenaan dengan
program pembangunan perumahan rakyat seperti BTN, Perumnas,
Real Estate atau sejenisnya. Salah satu program pembangunan
perumahan rakyat di Kota Kupang adalah Perumnas Nefo Naek di
Kecamatan Kelapa Lima yang berlokasi di tengah-tengah Kota
Kupang itu sendiri.
Pada awalnya pembangunan Perumnas Nefo Naek di
Kecamatan Kelapa Lima diperuntukkan masyarakat Kupang dan
sekitarnya khusus bagi yang belum memiliki rumah sendiri. Namun
dalam perkembangan berikutnya berdatangan pula orang-orang
dari berbagai daerah di luar Kupang seperti, Pulau Jawa, Ambon,
Bugis Makassar dan lainnya. Di kemudian hari datang pula orang-
orang dari Buton, Bajo, warga keturunan Cina dan Arab.
Ada dugaan kedatangan orang Cina ke daerah ini atau ke
Nusa Tenggara Timur sejak awal Masehi untuk melakukan
perdagangan kayu cendana. Sedangkan warga keturunan Arab
datang ke Kota Kupang diperkirakan pada pertengahan abad ke-19
juga untuk berdagang. Sebagian dari warga keturunan itu kini
menetap di Perumnas Nefo Naek, Kecamatan Kelapa Lima dan
berbaur dengan berbagai sukubangsa lainnya. Boleh dikatakan
Perumnas Nefo Naek, Kecamatan Kelapa Lima kini menjadi
kawasan bernuansa kebangsaan, karena warganya terdiri dari
macam-macam suku dengan identitas yang berbeda.
Sudah barang tentu suatu kawasan yang dihuni oleh
macam-macam sukubangsa akan memiliki kompleksitas
permasalahan antara lain interaksi antar warga. Akan tetapi hingga
kini Perumnas Nefo Naek, Kecamatan Kelapa Lima menjadi suatu
hunian yang ideal karena semua warga merasa aman dan nyaman
tinggal di sana. Pencarian informasi pun dilakukan guna
menemukenali berbagai upaya warga dalam rangka melakukan
55
strategi adaptasi khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai
budaya masing-masing sukubangsa.
Kelurahan Nefo Naek tempat lokasi penelitian merupakan
salah satu dari 17 kelurahan yang berada dalam Kecamatan Kelapa
Lima Kota Kupang. Kelurahan Nefo Naek terletak 150 m dari garis
pantai Teluk Kupang dan memiliki luas 34 Ha, dengan batas-batas
wilayah antara lain:
Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pasir Panjang
Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Fatululi
Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Pasir Panjang
Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Oebe.
57
kependudukan, Kota Kupang sebagian besar wilayahnya
merupakan tempat tinggal Sukubangsa Helong.
Orang Sunda, sekalipun tidak sebanyak sukubangsa yang
lain, namun di Kupang banyak juga dijumpai orang Sunda yang
berasal dari berbagai kota di Jawa Barat. Mereka datang ke Kupang
umumnya karena pekerjaan (mutasi) atau alasan lain seperti ikut
keluarga. Orang Sunda di Perumnas Nefo Naek selain bekerja
sebagai pegawai negeri (PNS), ada juga yang berhasil dalam sektor
perdagangan. Perdagangan busana khususnya jeans dikuasai oleh
orang Sunda asal Bandung.
Orang Betawi, keberadaan mereka di Perumnas dan
wilayah lain di Kupang sangat mengejutkan, karena sukubangsa ini
dikenal bukan komunitas yang suka merantau. Di Perumnas dan
yang berada di Kupang bahkan sudah memiliki lahan untuk
pemakaman mereka di kemudian hari. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka merasa kerasan tinggal di Kupang. Pada umumnya mereka
bekerja di dunia perdagangan (membuka warung nasi), dan di
lembaga dakwah Islam.
59
- Interaksi Yang Dilakukan Melalui Peristiwa Adat (Upacara
Tradisional perkawinan, khitanan, Keagamaan atau
Kepercayaan Lainnya)
60
memiliki tanggungjawab terhadap keluarga, atau bersikap santun
terhadap sesama dan orang tua.
Usaha pembelajaran nilai budaya pada kalangan muda Kota
Kupang juga dilakukan dengan cara melibatkan anak-anak di dalam
berbagai kegiatan adat. Dengan demikian mereka tahu siapa
kerabat yang wajib dihormati dan dituakan. Makam mana yang
harus diziarahi atau betapa pentingnya memenuhi janji. Disiplin
pada janji juga menjadi salah satu ciri orang Kupang.
Dalam ritus keagamaan, para orang tua di Kota Kupang juga
selalu berusaha untuk melibatkan anak-anak mereka. Selain untuk
menanamkan nilai keagamaan khususnya Agama Kristen atau
Katolik, mereka mengharapkan dengan cara transformasi nilai
keagamaan yang dilakukan sejak dini, akan membentuk manusia
yang saleh dan berbudi pekerti yang baik. Dalam situasi dimana
perubahan terjadi demikian cepat, nilai keagamaan diharapkan bisa
menjadi filter yang akan menyeleksi berbagai nilai baru yang datang
dari luar. Dengan demikian, anak-anak yang akan menjadi pewaris
budaya Timor tetap memegang teguh kepribadian sesuai dengan
nilai budaya yang diwarisi dari leluhurnya. Sekolah minggu yang
banyak dilakukan masyarakat dan lingkungan gereja adalah salah
satu cara yang sangat tepat untuk menjadi agen pembaharu dalam
bidang keagamaan di Kota Kupang. Berbagai hari besar
keagamaan seperti Natal, Paskah dan sebagainya selalu dirayakan
dengan besar-besaran sebagai wujud ketaatan mereka terhadap
keyakinannya.
Apa yang dilakukan oleh orang Kupang, juga terjadi pada
sukubangsa lainnya seperti Orang Jawa, Padang, Batak atau Buton.
Menanamkan nilai budaya kepada anak-anak mereka dengan
menggunakan idiom kedaerahan, baik berupa mitologi yang
berkenaan dengan daerahnya, tatakrama yang harus selalu
diperhatikan dan bagaimana sikap yang harus dilakukan anak-anak
terhadap sesama, atau orang lebih tua. Bahasa yang digunakan
sudah tentu bahasa daerah yang bersangkutan. Dalam aspek
keagamaan, bagi komunitas Islam biasanya dilakukan dengan
melibatkan anak-anak dan keluarga dalam berbagai kegiatan
seperti salat berjamaah di masjid atau mushala, mengikutsertakan
anak-anak dalam pengajian warga dan melaksanakan upacara
dalam rangka peringatan hari besar keagamaan seperti Maulud
61
Nabi atau menyemarakkan Bulan Ramadhan dengan berbagai
aktivitas.
Selain untuk membentuk kepribadian anak agar mengetahui
asal-usul dan jati dirinya, pembelajaran tentang nilai budaya juga
sangat penting artinya untuk mendewasakan anak, agar ia mampu
menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan di lingkungan yang
lebih luas, tanpa melupakan asal-usul dirinya.
62
- Sosialisasi tradisi melalui upacara tradisional
(perkawinan atau adat lainnya) .
63
teman dari berbagai daerah, atau menjadi arena untuk
mempertunjukkan busana adat yang rata-rata sangat indah.
65
daerah, sebaliknya Bahasa Indonesia akan menjadi alat komunikasi
yang paling ampuh untuk menyatukan seluruh warga.
Biasanya dalam kegiatan olehraga bersama, masing-masing
lingkungan (RW,RT) akan menggunakan pakaian olahraga yang
sama/seragam sebagai tanda persatuan di antara warga.
Kerukunan antar warga dari berbagai sukubangsa di
Perumnas Nefo Naek, tidak terbatas dalam kegiatan yang diuraikan
di atas, melainkan juga jika menghadapi musibah seperti kematian.
Jika ada salah seorang warga yang meninggal, tanpa harus
menunggu pemberitahuan akan langsung mengunjungi rumah duka.
Bagi warga yang seiman, biasanya bantuan bukan hanya dalam
bentuk materi, tetapi juga turut melakukan ritus lainnya, seperti salat
mayit, tahlilan bagi umat Islam. Sedangkan bagi kalangan umat
Nasrani, bantuan dilakukan juga hingga beberapa tahapan ritus
disesuaikan dengan budaya setempat.
70
BAB V
PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA:
STRATEGI ADAPTASI
DI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT
5.1.2. Penduduk
Hingga akhir tahun 2006, dalam monografi penduduk
Kelurahan Cipadung Kidul tercatat sebanyak 12.659 jiwa dengan
rincian sebagai berikut.
Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 6.271 jiwa
Jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.388 jiwa
72
5.1.3. Matapencaharian Hidup
Berdasarkan rekapitulasi jumlah penduduk dan mata
pencaharian, dapat diketahui bahwa penduduk Kelurahan Cipadung
Kidul, termasuk warga negara asing memiliki mata pencaharian
hidup yang cukup bervariasi. Secara rinci dapat dilihat data per 1
Nopember 2006 sebagai berikut.
Pegawai Negeri berjumlah : 923 orang
ABRI/TNI/POLRI : 141 orang
Pegawai swasta : 1794 orang
Tani : 37 orang
Pedagang : 612 orang
Pelajar : 3978 orang
Mahasiswa : 891 orang
Pensiunan : 397 orang
Lain-lain : 3886 orang
Yang termasuk ke dalam kelompok lain-lain diantaranya
adalah sopir angkutan kota, tukang ojek motor, sektor jasa dan kuli
bangunan. Jika dilihat ada sejumlah warga yang
bermatapencaharian sebagai petani, hal ini disebabkan masih
adanya lahan pertanian yang dimiliki oleh warga. Jauh sebelum
wilayah tersebut dikembangkan sebagai hunian penduduk,
hamparan sawah dan ladang palawija tumbuh subur. Sejumlah
pemilik sawah yang dikenal sebagai orang kaya di wilayah
Cipadung Kidul menjadi tuan tanah yang berpengaruh kepada
warganya. Tahun 1980, ketika pemerintah melalui pihak
pengembang memiliki program perluasan wilayah ke arah Bandung
Timur, Kelurahan Cipadung Kidul yang relatif mempunyai
permukaan tanah yang datar, menjadi pilihan utama. Para pemilik
sawah kemudian menjual areal sawah dan ladang kepada
pengembang, dan kini wajah Cipadung Kidul berubah menjadi areal
permukiman eksklusif dan diperhitungkan sebagai perumahan yang
maju.
Rupanya tidak semua pemilik sawah menjual asetnya
kepada pengembang, karena di beberapa bagian pemukiman masih
dijumpai sawah atau kebun yang tetap dipelihara dengan baik
bahkan nampaknya masih menjadi tumpuan hidup pemiliknya.
73
5.1.4. Penduduk dan Pendidikan
Berdasarkan rekapitulasi penduduk berdasarkan pendidikan,
warga di Kelurahan Cipadung Kidul dapat dikatakan telah cukup
sadar pendidikan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tingginya
angka partisipasi penduduk dalam pendidikan. Hingga akhir bulan
Oktober 2006, di Kelurahan Cipadung Kidul tercatat:
Warga yang belum bersekolah : 1.177 orang
Tidak tamat Sekolah Dasar (SD) : 397 orang
Belum tamat SD : 1.685 orang
Tamat SD : 4.275 orang
Tamat Sekolah Lanjutan Pertama(SLTP) : 1.985 orang
Tamat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) : 1.759 orang
Sarjana Muda /D3 : 839 orang
Sarjana/S1 : 532 orang
Kesadaran warga akan pentingnya pendidikan juga didorong
dengan tersedianya lembaga-lembaga pendidikan seperti:
SD /sederajat sebanyak : 9 buah
SLTP /sederajat : 4 buah
SLTA /sederajat : 1 buah
Perguruan Tinggi : 2 buah
Pendidikan Keagamaan : 10 buah
74
Untuk memfasilitasi umat beragama, di Kelurahan Cipadung
Kidul dibangun 10 buah masjid, 3 buah surau /langgar/mushala.
Sementara bagi pemeluk Agama Nasrani hingga kini belum ada
gereja, oleh karena itu acapkali menggunakan salah satu rumah
untuk ritual ibadatnya, namun jika ingin beribadat di gereja mereka
bisa mengikutinya di wilayah lain tidak jauh dari Kelurahan
Cipadung Kidul. Demikian juga warga yang memeluk Agama Hindu
bisa beribadat dan melakukan upacara bersama di sebuah pura
yang ada di Kelurahan Cileunyi atau daerah lain yang terdapat
perkumpulan orang Bali (Banjar). Sementara pemeluk Agama
Budha biasanya melakukan ritual bersama di sebuah vihara yang
ada di pusat Kota Bandung. Tidak berbeda dengan komunitas lain,
sekalipun warga telah memeluk agama resmi dengan taat, tetapi
kepercayaan yang berakar kepada tradisi leluhur masing-masing
suku nampaknya hingga kini masih dijalankan, seperti upacara daur
hidup yang selain menjalankan perintah agama namun di dalamnya
masih sangat lekat dengan tradisi lokal. Demikian juga kepercayaan
terhadap berbagai gejala alam, masih ditemui pada sejumlah warga.
78
5.3.1. Interaksi Dalam Keluarga Dan Sesama Sukubangsa
Keluarga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat
sesungguhnya mempunyai peran yang sangat penting dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Sebelum seorang individu
melakukan interaksi dengan lingkungan di luar keluarganya, terlebih
dahulu ia akan memperoleh seperangkat nilai budaya yang diwarisi
dari orang tuanya. Dalam keluarga yang berlatarbelakang suku
yang sama tidak akan timbul masalah, karena perangkat
komunikasi bisa dilakukan melalui budaya yang sama, misalnya
berbahasa daerah yang sama, memakan hidangan yang sama,
bahkan berperilaku non-verbal yang sama pula. Tanpa
pembelajaran yang rumit masing-masing secara otomatis akan
berinteraksi berdasarkan pola tingkahlaku yang telah baku dalam
sistem budayanya. Orang tua pada Sukubangsa Sunda, akan
berbahasa Sunda kepada anak-anaknya atau kepada individu lain
yang mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Unsur budaya
lain seperti upacara tradisional, kesenian daerah dan atribut
kebudayaan daerah yang lain sudah pasti menjadi bagian dalam
proses sosialisasi anak dalam keluarga. Sebagai upaya
pembelajaran agar kalangan muda memahami kebudayaan dan
nilai budaya asalnya, para orang tua biasanya melibatkan anak-
anaknya dalam berbagai peristiwa adat. Penggunaan busana adat
menjadi keharusan, demikian upaya ini juga dilakukan oleh semua
sukubangsa lainnya.
Jika terjadi amalgamasi atau perkawinan campur, misalnya
perempuan Sunda menikah dengan pria dari Jawa, atau salah satu
warga dari suku lainnya, keduanya harus berusaha memahami nilai
budaya pasangannya. Pembelajaran dilakukan oleh kedua orang
tua dari sukubangsa yang berbeda tersebut. Dalam kenyataan,
kasus kawin campur yang terjadi di Kelurahan Cipadung Kidul tidak
pernah menimbulkan masalah atau konflik keluarga, semua berjalan
dengan harmonis.
Perkawinan campur bagi sebagian besar orang Sunda justru
dipandang sebagai suatu hal yang positif, artinya bisa menambah
besar jumlah kerabat dan mempermudah berbagai urusan yang
berkaitan dengan kemasyarakatan. Ada anggapan bahwa
silaturahim akan memperbanyak rezeki dan memanjangkan umur.
Oleh sebab itu, bagi penduduk asli Cipadung Kidul, tidak ada
79
batasan dengan siapa seseorang harus menikah, asal persyaratan
utama terpenuhi yakni kesamaan iman.
Bagi keluarga-keluarga yang berlainan sukubangsa, kini
telah lahir suatu model interaksi yang memadukan unsur pendidikan
formal dengan pendidikan informal, yakni orang tua mulai
menanamkan nilai-nilai budaya daerah asal kepada anak-anaknya.
Maksud pendidikan seperti itu tidak lain agar si anak kelak selain
memiliki kepekaan terhadap perbedaan sebagai suatu kenyataan
juga tetap berpijak pada kepribadian sukubangsanya. Hasil
pendidikan seperti itu, kini tampak di kalangan anak-anak muda di
Kelurahan Cipadung Kidul yang mampu bergaul dengan sesamanya
sekalipun berbeda latarbelakang budayanya. Banyak idiom-idiom
bahasa daerah yang dikuasai oleh anak-anak muda yang acapkali
terdengar ketika sedang berkomunikasi. Sudah tentu hal itu
diasumsikan bahwa sekat-sekat budaya mulai menipis.
Sementara itu interaksi dengan warga sesama sukubangsa
umumnya berlaku dengan menggunakan idiom kedaerahan
misalnya, berbahasa daerah asal, saling mengirim makanan
daerah, atau menjadi anggota perkumpulan kedaerahan sebagai
upaya menjaga eksistensi sukunya. Di Kota Bandung tercatat
banyak sekali perkumpulan primordialisme seperti Kerukunan
Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), Paguyuban Timun Mas bagi
orang Jawa (Sragen dan sekitarnya), Banjar bagi orang Bali, Bundo
Kanduang bagi orang Padang, paguyuban yang berdasarkan nama
marga bagi orang Batak misalnya perkumpulan Tarigan atau
Simbolon dan sebagainya, kerukunan keluarga Banjar (Kalimantan),
dan paguyuban sukubagsa lain yang disesuaikan dengan nama
daerah masing-masing. Sementara itu orang Sunda sendiri
sekalipun tidak secara resmi mengikatkan diri dalam suatu
perkumpulan, namun untuk aktivitas berbudaya banyak ditampung
dalam berbagai sanggar, yang bernaung dalam Paguyuban
Pasundan, sebuah perkumpulan yang bernuansa kebudayaan
Sunda dan eksis hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Sekalipun warga dari berbagai sukubangsa tersebut aktif
dalam berbagai aktivitas perkumpulan, tidak berarti mereka bersikap
provinsialis, atau kesukuan. Menjadi anggota perkumpulan
kedaerahan umumnya dilakukan warga sebagai upaya menjaga
eksistensi atau nostalgia terhadap tradisi leluhur, yang secara
80
psikologis bisa menjadi obat penawar kerinduan kepada kampung
halamannya.
82
kelompok masyarakat di sekelilingnya secara bertahap dan
menyesuaikan diri dengan tradisi setempat (Sunda).
83
keagamaan lainnya. Kalangan umat Hindu yang didukung oleh
orang Bali, biasanya memiliki benda-benda spiritual yaitu
penunggun karang yaitu tempat penyimpanan sesajen atau
ongkara sebagai penolak bala. Umat Budha yang ada juga di
pemukiman memiliki altar pemujaan sebagaimana halnya orang
Cina dengan meletakkan macam-macam benda spiritual, sesajen
dan lilin.
87
BAB VI
ANALISIS
93
Tidak berbeda dengan Kota Yogyakarta, Kota Kupang yang
berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, selain menjadi tempat
penduduk aslinya yakni suku Helong, Sabu, Rote, Solor, juga dihuni
oleh warga dari berbagai sukubangsa lainnya seperti Jawa, Sunda,
Bugis Makassar, Padang, Batak, Betawi, Cina dan Arab. Sebagai
ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, sudah barang tentu Kota
Kupang menjadi mozaik budaya yang didukung oleh beragam suku
tersebut. Di kemudian hari berdatangan pula ke Kupang orang-
orang Buton dan Bajo. Kedatangan mereka ke Kupang dengan
banyak tujuan. Kedatangan orang dari berbagai suku tadi, selain
memberi warna pada kehidupan orang Kupang, tidak dapat
dipungkiri menjadi motivator yang menggerakkan roda
perekonomian di Kupang.
Apabila hingga kini mereka bisa hidup berdampingan, selain
nilai dasar setiap sukubangsa juga karena orang Kupang sebagai
warga dalam satuan budaya memiliki nilai-nilai budaya yang
berorientasi kepada kerukunan. Wewiku wehali, sebuah ungkapan
yang mengandung makna sebagai lambang pemersatu dan
kerukunan bagi orang yang hidup di Tana Timor.
Sebagai sukubangsa yang mayoritas memeluk Agama
Kristen, orang Kupang juga mempunyai pedoman nilai yang berakar
pada sistem keagamaan mereka yang disebut Kasih. Menurut
konsepsi Agama Kristen, prinsip kasih dapat dijabarkan dalam
empat katagorial, yakni:
1. Kasih agape, yang diberikan kepada Tuhan tanpa pamrih,
2. Kasih filial, yakni kasih dalam lingkungan keluarga misalnya
antara ibu dan anak, ayah dan anak, atau antara anak dengan
anak yang lainnya,
3. Kasih eros, yakni cinta kasih antara laki-laki dan perempuan
yang diberkati Tuhan,
4. Storge, kasih kepada semua ciptaan Tuhan.
96
BAB VII
KESIMPULAN
97
sejarah yang berbeda-beda, 2) masyarakat Indonesia yang
majemuk itu sedang mengalami pergeseran sistem nilai sebagai
dampak pembangunan yang pada hakekatnya merupakan proses
pembaharuan di segala sektor kehidupan, 3) adanya pengaruh
kebudayaan asing sebagai akibat perkembangan teknologi modern,
khususnya transportasi, sehingga memperlancar kontak-kontak
antarkebudayaan.
Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah sempitnya
pengertian tentang kebudayaan, antara lain anggapan bahwa
kebudayaan itu merupakan hasil karya manusia yang indah-indah
saja, atau dengan kata lain kebudayaan itu sama dengan kesenian.
Masih berkaitan dengan masalah keragaman budaya, kini
disinyalir telah lahir suatu faham baru yang dikenal dengan
Etnonationalism, yakni sebuah bentuk nasionalisme yang berbasis
identitas-identitas primordial, seperti etnis, suku, dan ras. Lebih jauh
seorang budayawan Bawono Kumoro menyatakan bahwa “ Dalam
pengertian yang lebih luas, ethnonationalism didefinisikan sebagai
doktrin yang melekat pada suatu kelompok masyarakat yang
merasa memiliki perbedaan budaya, sejarah maupun prinsip-prinsip
hidup tersendiri sehingga mereka merasa perlu memiliki sebuah
pemerintahan sendiri. Ethnonationalism dapat dibaca sebagai
bentuk hilangnya loyalitas dari satu kelompok masyarakat tertentu
terhadap sebuah ikatan yang lebih besar yakni bangsa dan negara”.
(Bawono Kumoro, Menyoal Nasionalisme Kita, Kompas, 6
September 2006),
Disamping banyak faktor yang menjadi hambatan dalam
upaya membangun kerukunan antar suku dalam kenyataannya
Bangsa Indonesia juga telah memiliki banyak peluang seperti
berikut.
Memiliki Perundang-undangan khususnya pasal 33 tentang
usaha pemerintah memajukan kebudayaan.
Kesadaran masyarakat akan arti pentingnya kebudayaan
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesadaran
ini nampak dalam banyak kegiatan masyarakat baik berupa
pengukuhan nilai budaya dan aktivitas lainnya sejalan
dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan simbol-
simbol status sosial.
98
Perkembangan media masa, juga merupakan sarana
pembinaan budaya yang paling efektif, melalui media masa
dengan mudah publik opini dibina dan diarahkan.
Keberhasilan pembangunan ekonomi, membantu
masyarakat menentukan pilihan bukan hanya kebutuhan
primer tetapi kebutuhan sekunder sebagai lambang identitas
status sosial yang mereka miliki.
104
Kesepakatan penggunaan ruang publik untuk arena
pergaulan antar sukubangsa, baik dalam lingkup adat
maupun nasional.
Selalu berusaha mengendalikan emosi dan
mengembangkan toleransi serta mengedepankan dialog
dalam berbagai masalah kemasyarakatan, sebagai upaya
menghindari perselisihan. Dalam bahasa keilmuan,
dikatakan sebagai manajemen konflik yang dilakukan oleh
setiap warga.
105
saling mempelajari nilai budaya sebagai upaya memahami
kebiasaan masing-masing.
Menutup seluruh uraian, ada sebuah cuplikan dari
pernyataan Bhikhu Parekh yang sangat sesuai dengan kondisi
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. “Bahwa kemajemukan itu
penting bagi bangsa Indonesia karena, kemajemukan
mempermudah kontak antarbudaya, kemajemukan budaya
memperluas lingkup pilihan dan kebebasan, karena kemajemukan
bisa membentuk identitas kelompok tetapi selalu dalam referensi
dengan “yang lain” , kemajemukan budaya juga memperluas
imajinasi dan simpati, mengembangkan sikap toleran, mendorong
kompetisi yang sehat antara berbagai cara hidup, menambah warna
dan memperkaya apresiasi kita terhadap hakekat dan kemungkinan
eksistensi manusia. Karena tidak ada kebudayaan manapun yang
mampu mewujudkan semua nilai, oleh karena itu berbagai
kebudayaan yang berbeda akan saling melengkapi dan mendorong
untuk berefleksi diri. (Bhikhu Parekh, dalam makalah
Sastrapratedja, Juli 2006).
107
DAFTAR PUSTAKA
109