Anda di halaman 1dari 9

1

HUKUM MEROKOK MENURUT TINJAUAN

FATWA ULAMA DAN KAIDAH SYARI’AH

Athallah Abel Gibrani Henarwanto

ABSTRAK

Merokok hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dalam ayat Al-


Qur’an dan As-Sunnah serta logika yang benar. Dalil Al-Qur’an dalam firman-Nya
surah Al-Baqarah ayat 195, janganlah kamu melakuka sebab yang menjadi
kebinasaanmu. Aspek pendalilan dari ayat tersebut adalah merokok merupakan
perbuatan mencampakkan diri kedalam kebinasaan. Sedangkan dalil dari As-Sunnah
adalah Hadits yang berasal dari Rasulullah secara Shahih, mengatakan bahwa beliau
melarang menghambur-hamburkan harta. Makna dari manghambur-hamburkan harta
adalah menggunakan harta kita untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana
menggunakan harta kita untuk membeli rokok merupakan penggunaaan harta untuk
hal yang tidak bermanfaat bahkan untuk hal yang didalamnya terdapat kemudharatan.

Kata kunci : Merokok menurut tinjauan Fatwa ulama dan kaidah syari’ah

A. PENDAHULUAN

Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al-Sanad dalam bukunya yang berjudul


Nashihah al-Insan ala Isti’mal Al-Dukhan, rokok dikenal oleh bangsa Eropa sekitar
tahun 915 H atau 1518 M ketika sekelompok pakar mereka menemukan tumbuhan
“aneh” di Tobaco (Meksiko). Lalu mereka membawa benihnya dan dari sana tersebar
ke daerah-daerah lain, termasuk ke wilayah negeri-negeri Islam. Itu sebabnya tidak
ditemukan pendapat ulama masa lalu tentang hukum merokok.

Namun, melalui pemahaman tentang maqashid al syari’ah (tujuan agama),


kita dapat mengetahui hukum merokok dan persoalan-persoalan baru lainnya. Tujuan
tuntunan agama ialah untuk memelihara lima hal pokok, yaitu ajaran agama, jiwa,
akal, harta, dan keturunan.1 Setiap aktivitas yang menunjang salah satunya, pada
prinsipnya dibenarkan atau ditoleransi oleh Islam dan sebaliknya pun demikian.
Pembenaran itu bisa mengambil hukum wajib, sunah, atau mubah. Sedangkan tingkat
1
Abdul Aziz Syaikh bin Abdullah bin Baz, Tim Darul Haq. “ Fatwa-fatwa Terkini”, Penerjemah : Musthofa
‘Ami, Lc, Penerbit Darul Haq, Jakarta 1999, Halaman 321.
2

larangan ada dua, yaitu makruh dan haram. Imam al-Tirmizi dan Ibn Majah telah
meriwayatkan hadis yang serupa, tetapi redaksi akhirnya adalah “Dan ada pula hal-
hal yang didiamkannya bukan karena lupa, melainkan karena kasih sayang-Nya,
yang demikian adalah hal-hal yang dibolehkan-Nya”.

Ulama-ulama kontemporer banyak yang merujuk kepada para pakar untuk


mengetahui unsur-unsur rokok, serta dampaknya terhadap manusia. Atas dari
informasi itu, mereka lalu menetapkan hukumnya.

Imam Besar Al-Azhar Mesir, Syekh Mahmud Syaltut, yang menilai dan
menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh, bahkan haram, lebih dekat kepada
kebenaran dan lebih kuat argumennya. Ada tiga alasan pokok yang dijadikan
pegangan untuk ketetapan hukum ini.2 Pertama, sabda Rasulullah Saw. Yang
diriwayatkan oleh Imam Ahamaddan Abu Dawud dari Ummi Salamah “Terlaranglah
segala sesuatu yang memabukkan dan melemaskan atau menurunkan semangat”.
Sepeti yang kita ketahui, seorang perokok akan kecanduan dengan rokok.

Kedua, merokok dinilai oleh banyak ulama sebagai salah satu bentuk
pemborosan. Hal ini bukan hanya oleh orang yang membeli sebatang dua batang,
melainkan pabrik-pabrik rokok yang mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
membuat hal yang tidak bermanfaat. Dan juga pada biaya pengobatan bagi mereka
yang menderita penyakit akibat merokok. Agama melarang segala bentuk
pemborosan, jangankan hal buruk atau tidak bermanfaat, dalam hal baik pun ada
larangannya3 “Tiada pemborosan dalam kebaikan dan tiada kebaikan dalam
pemborosan”, sabda Rasulullah Saw.

Ketiga, dari segi dampaknya terhadap kesehatan. Mayoritas dokter telah


mengakui dampak buruk ini, sehingga seandainya tidak ada teks keagamaan (ayat
atau hadis) yang bersangkutan dengan larangan merokok, maka dari segi maqashid al
syari’ah sudah cukup sebagai argumentasi larangannya.

Tiga dasar pemikiran diatas mengantarkan banyak ulama kontemporer kepada


kesimpulan haram atau makruh hukum merokok.

2
M. Shihab Quraish “Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama”, Diterbitkan oleh Penebit Mizan Anggota IKAPI,
Bandung 1999, halaman 44.
3
Bachtiar, Harsya, “Islam dan Nestapa Manusia Modern” Terjemahan Anas Mahyuddin dari Islam and the
Plight of Modern Man”, Penerbit : Bandung Pustaka, 1983, halaman 94
3

Sebuah majalah kesehatan di Inggris menerangkan bahwa merokok itu


penyakit, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami oleh
kebanyakan orang, dan juga kebiasaan yang dapat menurunkan kehormatan
seseorang. Jumlah orang yang mati berlipat ganda. Mereka juga menyimpulkan asap
rokok lebih berbahaya daripada asap kendaraan bermotor dan dokter memberi nasihat
bahwa orang yang merokok tidak aman saat menjalankan tugasnya. Di Indonesia,
orang yang meninggal akibat rokok mencapai 200 ribu jiwa hingga 400 ribu jiwa.
Pajak rokok sebanyak 180 triliun diperoleh dari orang yang membeli rokok, tetapi
sumbangan dari perusahaan atau industri rokok kepada perokok hanyalah asap
rokoknya saja dan tidak ada manfaatnya.

Tumbuhan yang dikenal dengan nama “ad-dukhan” atau tembakau ini baru
dikenal pada akhir abad ke-10 H. Semenjak digunakan oleh manusia, para ulama pada
saat masa itu dituntut untuk membicarakannya menurut keterangan hukum syara’.
Ada yang berpendapat haram; ada yang berpendapat makruh; dan ada sebagian yang
berpendapat mubah (boleh), dan sebagian lagi tidak membicarakan hukum secara
mutlak, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci.4

B. PEMBAHASAN
1. Dalil-dalil Golongan yang Mengharamkan

Memabukkan

Mereka mengatakan bahwa merokok itu memabukkan, sedangkan tiap-tiap


yang memabukkan itu hukumnya haram. Yang dimaksud dengan memabukkan ialah
segala sesuatu yang dapat menutup akal, meskipun hanya sebatas tidak ingat. Artinya,
merokok bisa membuat pikirannya kacau, menghilangkan pertimbangan akalnya,
menjadikan nafasnya sesak bahkan dapat teracuni. Mabuk dalam hal ini bukan mabuk
karena lezat, dan bukan karena menggigil.

Sedangkan sebagian dari mereka tidak memperbolehkan orang yang merokok


itu menjadi imam.5 Mereka berkata “Kalaupun merokok itu tidak sampai
4
Nurcholis Majdid, “Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masala Keimanan dan
Kemodernan”, Penerbit : Yayasan Paranmadina, 1992, halaman 110.
5
Amidhan, “Dilema Kesejahteraan Umat dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern”, Penerbit
Mediacita, Jakarta, 2000, halaman 180. Dalil as-Sunnah Hadis Rasulullah Saw yang berbunyi Tidak boleh
(menimbulkan) bahaya dan juga tidak membahayakan orang lain. Jadi menimbulkan (haram) adalah ditiadakan
(tidak berlaku) dalam syari’at, baik bahayanya terhadap badan ataupun harta. Sebagaimana pula bahwa merokok
4

memabukkan, minimal perbuatan itu dapat menyebabkan tubuh menjadi lemah. Dari
Ummu Salamah r.a : “Bahwa Rasulullah Saw melarang segala sesuatu yang
memabukkan dan melemahkan” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Menimbulkan Mudharat

 Mudharat pada badan, menjadikan badan lemah, wajah pucat, batuk-batuk,


bahkan dapat menimbulkan penyakit paru-paru.
 Mudharat pada harta, maksudnya adalah bahwa merokok itu menghamburkan
harta, yakni menggunakannya untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bagi
badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia maupun di akhirat. 6 Sedangkan
Rasulullah Saw telah melarang membuang-buang harta, Allah Swt Berfirman :
“…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara berlebih.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara dari setan
dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra (17) ayat 26-27).

Seorang ulama berkata bahwa apabila seseorang sudah mengakui bahwa ia


tidak menemukan manfaat rokok sama sekali, maka seharusnya rokok itu
diharamkan, bukan dari segi penggunaanya saja, tetapi dari segi pemborosan.7
Karena menghambur-hamburkan harta itu tidak ada bedanya, apakah dengan
membuangnya ke laut, atau dengan membakarnya atau merusaknya.8

2. Alasan Golongan yang Memakruhkan


1. Bahaya, merokok itu tidak lepas dari bahaya, lebih-lebih jika terlalu bahaya
melakukannya. Sedangkan sesuatu yang sedikit itu bila diteruskan akan
menjadi banyak.

adalah berbahaya terhadap badan dan harta, adapun dalil dari I’tibar (logika) yang benar menunjukkan
keharaman merokok adalah keras (dengan perbuatan itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri kedalam hal
yang berbahaya, rasa lemas dan keletihan jiwa.
6
Lubis, Nur. A. Fadli “Kesehatan dan Mental”, Penerbit Grafiti PRESS, Jakarta, 1989, halaman 79.
7
Rakhmat, Jalaludin, dan Abdullah M. Amin, “Kesehan dan Islam Alternatif”, Penerbit : Wacana Mulia,
Bandung, Mizan, 1991, halaman 63. Orang yang berakal tentu tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri.
Alangkah tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok itu bila dirinya tidak menghisapnya. Alangkah
berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu menghalangi dirinya dari merokok.
Bahkan alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak mungin mereka
membiarkan asap rokok ada dihadapannya.
8
Al-Mawardi Al-Imam, “Kenikmatan Kehidupan Dunia dan Agama”, Penerjemah Kamaluddin, Penerbit : Dar
Ibn Katsir, Beirut. Judul Asli “Adabud Dun ya Wad Din”. Penulis Al-Iman Al-Muhammad, Cetakan Pertama,
Maret 2001, Jakarta, halaman 481
5

2. Mengurangi harta, dapat mengurangi harta yang dapat digunakan untuk hal-
hal yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.
3. Bau dan asapnya menggangu orang yang tidak merokok.
4. Menurunkan harga diri atau wibawa bagi orang yang memiliki kedudukan
sosial yang terpandang.
5. Dapat melalaikan seseorang untuk beribadah secara sempurna.
6. Bagi perokok, akan membuat pikirannya kacau saat ia tidak merokok.

Syekh Abu Sahal Muhammad bin Al Wa’izh Al Hanafi berpendapat


bahwa makruh bagi perokok disebabkan menjadikan pelakunya sombong,
memutuskan hak dan keras kepala. Selain itu, segala sesuatu yang baunya
menggangu orang lain adalah makruh,9 sama halnya dengan memakan bawang.
Maka asap rokok yang memiliki dampak negatif ini lebih utama untuk dilarang,
dan perokoknya lebih layak dilarang masuk masjid serta menghadiri pertemuan.

3. Alasan Golongan yang Memperbolehkan

Golongan ini berpegang pada kaidah bahwa asal segala sesuatu itu boleh,
sedangkan anggapan bahwa rokok itu memabukkan atau menjadikan lemah itu
tidak benar. Memang benar bahwa orang yang tidak biasa merokok akan merasa
mual bila saat pertama kali mencobanya, tetapi hal ini tidak menjadikan haram.
Syekh Mushtafa As-Suyuthi Ar-Rabbani berkata, “Setiap orang yang mengerti
tentang pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, yang mau bersikap objektif,
apabila sekarang ia ditanya tentan hukum merokok setelah rokok dikenal banyak
orang serta banyaknya anggapan yang mengatakan bahwa rokok dapat
membahayakan, niscaya ia akan memperbolehkannya. Sebab asal segala sesuatu
yang tidak membahayakan dan tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka
hukumnya halal dan mubah.”10

4. Golongan yang Merinci Pendapatnya

Golongan ini berpendapat bahwa sesungguhnya tumbuhan (tembakau) ini


pada dasarnya adalah suci, tidak memabukkan, tidak berbahaya dan tidak kotor.

9
Ibid, halaman 66.
10
Al-Halawi Muhammad Abdul Aziz, “Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khattab, Enisklopedi Berbagai Persoalan
Fiqh”, Penerbit Risalah Gusti Cetakan Pertama, Diterjemahkan Wasmuka Ust. Zubair Suryadi Abdullah,
Sueabaya, 1999, halaman 419
6

Jadi, pada dasarnya adalah mubah, kemudian berlaku padanya hukum-hukum


syariat seperti berikut ini :

1. Barangsiapa yang menggunakannya tetapi tidak menimbulkan mudharat pada


badan atau akalnya, maka hukumnya jaiz (boleh).
2. Barangsiapa yang apabila menggunakannya dan menimbulkan mudharat,
maka hukumnya haram, seperti orang yang mendapatkan mudharat bila
menggunakan madu.
3. Barangsiapa yang memanfaatkannya untuk menolak mudharat, semisal
penyakit, maka wajib menggunakannya.

Jadi, hukum-hukum ini ditetapkan berdasarkan apa yang akan ditimbulkannya,


sedangkan pada asalnya adalah mubah, sebagaimana yang telah kita ketahui.

5. Pendapat Ulama Mutaakhirin

Syekh Hassanudin makhluf, mufti Mesir, yang menginventarisasikan


pendapat sebagian ulama sebelumnya berpendapat bahwa hukum rokok adalah
mubah. Beliau juga mengatakan bahwa makruh dan haram akan timbul apabila
ada faktor-faktor lain, seperti jika kita menimbulkan mudharat terhadap jiwa
maupun harta. Apabila terdapat unsur-unsur seperti ini, maka hukumnya menjadi
makruh atau haram, sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya. Sebaliknya, jika
tidak terdapat unsur-unsur tersebut, maka hukumnya halal.11

Syekh Muhammad Ibnu Mani’ (Ulama Arab Saudi), mengatakan di dalam


kitabnya ghayatul Muntaha, sebagai berikut : “Pendapat yang memperbolehkan
rokok adalah pendapat orang yang mengigau sehingga tidak perlu diharamkan.
Di antara mudharat yang ditimbulkannya ialah merusak badan, menimbulkan
bau yang kurang sedap dan menggangu orang lain, serta dapat menghambur-
hamburkan harta tanpa ada gunanya”. Maka janganlah kalian terperdaya oleh
perkataan orang-orang yang menggangapnya mubah. Sebab, setiap orang boleh

11
Dr. Budi Setiawan, “Fiqh Actual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer” Pengantar : Dr. H.M. Hidayat Nur
Wahid Penerbit GEMA INSANI PRESS Anggota IKAPI Cetakan Pertama Sya’ban 1424 H/ Oktober 2003,
halaman 209. Topik ini relatif menjadi wacana yang baru, sehingga belum ada ketetapan hukum syari’ah dan
para fuqaha klasik dalam berbagai mazhab, dan disamping itu belum sempurnanya gambaran tentang substansi
masalah dan dampak rokok berdasarkan riset kesehatan yang akurat. Maka wajar setelah itu terjadilah perbedaan
pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini. Sebagian berpendappat haram, sebagian berpendapat
makruh, sebagian lagi mengatakan boleh (mubah) dan terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsi dan
sebagian lagi yang tidak memberitahu hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci.
7

diambil atau ditolak perkataannya, kecuali Rasulullah Saw yang tidak boleh
ditolak perkataannya.

Mungkin pendapat yang paling shahih alasannya dalam masalah ini adalah
pendapat yang dikemukakkan oleh Al-Maghfur Syekhul Akbar Mahmud Syaltut,
Rektor Al-Azhar. Beliau berpendapat bahwa tembakau memang tidak
memabukkan dan tidak merusak akal, tetapi masih bisa menyebabkan mudharat
yang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang
tidak merokok. Para dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada
didalamnya diketahui mengandung racun. Oleh karena itu, maka tidak diragukan
lagi bahwa tembakau (merokok) dapat menimbulkan gangguan dan mudharat,
sedangkan hal ini merupakan sesuatu yang buruk dan terlarang menurut
pandangan Islam. Disisi lain, pengeluaran untuk membeli rokok ternyata lebih
banyak, padahal anggaran tersebut dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik
dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang ini merokok jelas dilarang dan tidak
diperbolehkan syara.

Perlu diketahui bahwa Syekh Syaltut Rahimahullah terkena cobaan berupa


kecanduan merokok yang dilakukannya sejak masih muda sehingga beliau tidak
dapat berhenti dari merokok. Tetapi karena kesadarannya, beliau menguatkan
pendapat yang mengharamkan rokok, sebab menerapkan kaidah-kaidah hukum
yang berlaku.

Kesimpulan

Tampak diatas bahwa terdapat perbedaan ulama dari berbagai mazhab


sebagaimana yang telah dikutip diatas bukanlah terletak pada dalil-dalil yang
mereka kemukakan, tetapi dalam hal penerapannya. Artinya, mereka sepakat
bahwa apa saja yang menimbulkan mudharat pada akal atau badan hukumnya
haram, tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam menerapkan
hukum ini terhadap merokok. Apabila secara keseluruhan mereka menegaskan
adanya bahaya pada rokok, maka merekapun sepakat untuk mengharamkannya,
tanpa perdebatan.
8

Adapun jika ada sebagian orang yang mendapatkan keuntungan karena


merokok, maka hal ini bukanlah termasuk manfaat rokok, tetapi hanya karena
mereka ini telah terbiasa merokok dan kecanduan. Orang seperti inilah yang hanya
memikirkan kesenangan dan ketenangan tanpa mengetahui adanya bahaya
penyakit yang mengancam dirinya apalagi orang lain.

Imam Ibnu Hazim berkata, bahwa perbuatan insaf itu haram, maksud insaf
yaitu berbuat boros pada sesuatu yang tidak diperlukan, dan menghambur-
hamburkan harta secara sia-sia, meskipun dalam jumlah kecil. Allah Swt
berfirman:

“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesunggunya Allah tidak menyukai


orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am (06) ayat 141)12

C. PENUTUP
Syari’at Islam memang sudah seharusnya sesuai untuk setiap zaman dan
tempat, demikianlah keyakinan setiap orang muslim. Oleh karena itu, berbagai
persoalan baru yang muncul pasti ada penyelesaiannya di dalam syari’at Islam.
Meskipun persoalan-persoalan baru tersebut sebelumnya tidak pernah terlintas di
pikiran para pakar hukum Islam.

Pandangan Islam tentang merokok serta kategori apa yang ditempati dari
kelima kategori hukum diatas, ditentukan oleh sifat rokok serta dampaknya bagi
tujuan pokok agama. Sebagian ulama cenderung menilai merokok sebagai
perbuatan yang hukumnya mubah. Hal ini disebabkan karena mereka tidak atau
belum mengetahui dampak negatif dari rokok. Dalam hal ini, mereka berpegang
pada sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Daruqunthi dan Abu Nu’aim
bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-
kewajiban, maka jangan abaikan kewajiban itu. Dan (Allah) telah menetapkan
batas-batas, maka janganlah melampauinya. Serta (Allah) telah mengaramkan
banyak hal, maka jangan mendekatinya, dan meninggalkan (tidak menyebut) hal-
hal, bukan karena lupa, karena itu jangan kamu membahasnya.”

12
“Al-Qur’an dan Terjemahnya”, Op. Cit, halaman 307
9

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tohaputra, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Penerbit CV. As-Syifa, 2000
Abdullah Bin Baz Abdul Aziz Syaikh Bin, Tim Darul Haq, Fatwa-fatwa Terkini,
Penerjemah: Mushtofa ‘Aini, Lc, Penerbit Darul Haq, Jakarta, 1999.
Abdul Aziz Al-Halawi Muhammad, Fatwa dan Ijtihad Umar Bin Khattab Enisklopedi
Berbagai Persoalan Fiqh, Penerbit Risalah Gusti.
Harsya Bachtiar, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung, Bandung Pustaka, 1983.
Lubis, Nur. A. Fadli, Kesehatan dan Mental, Jakarta, Penerbit Grafiti PRESS, 1989

Al-Mawardi Al-Imam, Kenikmatan Kehidupan Dunia dan Agama, Penerjemah Kamaluddin,


Penerbit : Dar Ibn Katsir, Beirut. Judul Asli Adabud Dun ya Wad Din. Penulis Al-Iman Al-
Muhammad, Cetakan Pertama, Maret 2001, Jakarta.

Rakhmat, Jalaludin, dan Abdullah M. Amin, Kesehan dan Islam Alternatif, Peenerbit : Wacana Mulia,
Bandung, Mizan, 1991.

Amidhan, Dilema Kesejahteraan Umat dalam Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Penerbit
Mediacita, Jakarta, 2000.

Nurcholis Majdid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masala Keimanan
dan Kemodernan, Penerbit : Yayasan Paranmadina, 1992.

M. Shihab Quraish Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama, Diterbitkan oleh Penebit Mizan Anggota
IKAPI, Bandung 1999.

Dr. Budi Setiawan, Fiqh Actual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer Pengantar : Dr. H.M. Hidayat
Nur Wahid, Penerbit GEMA INSANI PRESS Anggota IKAPI, Cetakan Pertama Sya’ban 1424 H/
Oktober 2003.

Anda mungkin juga menyukai