Mengutip buku Al Quran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Perspektif Integratif oleh
Azhari Akmal dkk, dijelaskan bahwa ayat tersebut memberi isyarat bagi muslim tentang
larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan (membunuh) diri mereka
sendiri. Larangan tersebut tidak lain karena kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.
Mengutip buku Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh, seorang mufti asal Arab
mengatakan, "Saya pernah ditanya tentang hukum yang sering dihirup oleh orang-
orang yang belum paham tentang haramnya rokok. Maka kami jawab bahwa kami dari
kalangan ulama dan syaikh-syaikh kita yang dahulu, para ahli ilmu, para iman dakwah,
ahli Nejed dulu sampai sekarang menghukumi bahwa rokok itu haram berdasarkan
nash yang shahih dan akal yang waras, serta penelitian para dokter yang mahsyur."
Selain itu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di juga mengatakan bahwa segala
sesuatu yang mengundang bahaya pada diri manusia, baik, dari segi mana, fisik, atau
bertanya tanpa ada manfaatnya, maka hukumnya haram.
Halal atau haramnya rokok masih diperdebatkan karena belum ditemukan nash yang
berisi penjelasan Nabi SAW terhadap hal tersebut.
Itulah beberapa pendapat ulama berkaitan dengan hukum merokok dalam Islam
beserta sebab-sebab mengapa hukum tersebut muncul.
dari Ibnu Abbas, Nabi Saw. Bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Allah mengharamkan
upah (hasil jual belinya).” [HR: Ad-Daruqutni]
Artinya: “Sesungguhnya jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia
pun melarang upah (hasil penjualannya).”[HR: Ahmad]
Pendapat Halal
Ahmad Sarwat, Lc, MA, dalam bukunya berjudul “Halal Haram Rokok” menulis, kata yang
digunakan dalam kitab-kitab fiqih klasik untuk mengacu pada rokok yaitu ‘tabagh’, yang
bermakna tembakau. Jadi bukan ‘dukhan’ yang bermakna ‘rokok’.
Ulama-ulama dari empat mazhab populer ada yang berpendapat tembakau itu halal. Siapa saja
ulama-ulama itu?
Ulama bermazhab Hanafiyah yang menghalalkan tembakau, yaitu Abdul Ghani An Nablusy (w
1143 H), Al Hashkafi (w 1088 H), dan Al Hamawi (w 1056 H).
Sedangkan ulama bermazhab Malikiyah, yakni Ali Al Ajhuri (w. 1066 H), Ad Dasuqi (w. 1230
H), Ash Shawi (w 1241 H), Al Amir (w 1232 H), dan Muhammad bin Ali bin Al Husain (w 1114
H).
Kemudian, ulama bermazhab Syafi’iyah yang menghalalkan tembakau ialah Ar-Rasyidi (w 1096
H), Asy-Syubramalisi (w 1087 H), dan Al Babili (w 1077 H). Dan satu ulama dari mazhab
Hanabilah yaitu Mar’i Al Karimi (w 1033 H).
Selain ulama tersebut, ulama kondang seperti Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H), yang dikenal
melalui kitab Nailul Authar dan Tafsir Fathul Qadir, pun termasuk yang menghalalkan
tembakau. Lantas apa argumentasi ulama yang menghalalkan tembakau?
Ahmad Sarwat juga menjelaskan bahwa, ulama penghalal tembakau mengacu pada kaidah fiqih
yaitu hukum asal segala sesuatu adalah boleh, sampai datangnya nash yang mengharamkan.
Dalam hal ini, tidak ada nash yang mengharamkan tembakau, kecuali ijtihad sebagian kalangan.
Dan ijtihad, menurut ulama-ulama klasik penghalal tembakau, bukan nash syariah.
Asap tembakau bagi ulama yang mengharamkannya mengandung mudharat dan berbahaya.
Namun, bagi ulama yang menghalalkan, mudharat dan berbahayanya asap tembakau itu tidak
bersifat massal.
Dengan demikian, menurut mereka, boleh diharamkan untuk orang-orang yang bermasalah
dengan asapnya. Tetapi, untuk yang tidak terkena dampaknya, tidak bisa diharamkan.
Kendati demikian, semua ulama telah menyepakati, bahwa orang yang setelah menghisap
tembakau hukumnya makruh mendatangi masjid. Karena asap bau rokok menimbulkan bau tak
sedap.
Makruh adalah sesuatu yang jika ditinggalkan lebih baik daripada dilakukan. Para ulama sangat
menjaga diri dari hal-hal makruh. Jangankan yang haram, yang makruh saja mereka tinggalkan.
Perokok di dunia menghabiskan sekitar 5,7 triliun batang rokok setiap tahun, demikian data yang
dihimpun The Tobacco Atlas. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The
Lancet pada April 2017 mengatakan persentase orang yang menggunakan tembakau setiap hari
telah menurun dalam 25 tahun.
Satu dari empat pria dan satu dari 20 perempuan merokok setiap hari pada tahun 2015. Angka itu
turun dari jumlah sebelumnya, satu dari tiga pria dan satu dari 12 perempuan pada 1990.
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa soal rokok. Dalam
Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI ke III, 24-26 Januari 2009 di Sumatera Barat, ditetapkan
bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan merokok di tempat-tempat umum.
Sebagai bentuk keteladanan, diharamkan bagi pengurus MUI untuk merokok dalam kondisi yang
bagaimanapun. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan mencelakakan diri
sendiri. Merokok lebih banyak madaratnya ketimbang manfaatnya (muhakbaru min naf`ih).