Anda di halaman 1dari 25

CASE 3

”Mr. Joko”

KELOMPOK : 13

TUTOR : R. Varidianto Yudo T., dr., M. Kes

BLOK : Kegawat-daruratan Medis

KETUA : Michael Bramantya M. Kusuma Atmadja 20170410159

SEKRETARIS PAPAN : Shofura Lisfi Rosadiana Navaly 20170410125

SEKRETARIS BUKU : Dewi Indira Wecaputri 20170410148

ANGGOTA : Michelle Madeline Maydavania Satya 20160410125

Cyntya May Liana Rusdianti 20170410006

Nindiya Putri Berliana 20170410023

Nurlaili Istiqomah 20170410144

Jihan Delima Harvina 20170410061

Nur Shafiyyah 20170410119

Yulis Aprilla Azahra 20170410146

Risma Anjana Bimantri 20170410153

Monike Saptyani A. M. 20170410196


Problem Hipotesis Mekanisme More info IDK LI
- Laki-laki, 48 th - Syncope 1. Bagaimana definisi Anatomi
KU : - Sudden Hipotesis Ilmu
Tiba-tiba tidak cardiac death 2. Bagaimana Anatomi penyakit
sadarkan diri 5 menit dengan jantung (suplai arterial Jantung
sebelum sampai ventricular table) Fisiologi
puskesmas tachycardi 3. Bagaimana Definisi sudden Farmakolo
RKS : - CAD cardiac death i
- Menjadi tidak - Koma 4. Bagaimana Fisiologi EKG
sadarkan diri Diabetikum elektrycal jantung dan
saat sedang - Koma arterial coroner
bermain hipoglikemi 5. Bagaimana Etiologi sudden
bulutangkis. cardiac death
- Merasa tidak 6. Bagaiamana Epidemiologi
nyaman pada sudden cardiac death
dadanya 7. Bagaimana Pathogenesis
sesaat sudden cardiac death
sebelum tidak 8. Bagaimana cara diagnosa?
sadarkan diri. 9. Bagaimana ECG sudden
- Riwayat cardiac death
trauma (-) 10. Bagaimana BCLS (Basic
RPD : Cardiac Life Support)?
- Tdk pernah 11. Bagaimana AED
ada riwayat (Automatic External
keluhan Defibrilation) ?
seperti itu 12. Bagaimana Prognosis dan
sebelumnya. preventif sudden cardiac
- Riwayat DM death?
sejak 4 th lalu 13. Bagaimana ventricular
tanpa takikardi?
pengobatan 14. Bagaiamana ventricular
- Riwayat fibrilasi?
memiliki 15. Bagaimana Manajemen
kadar sudden cardiac death?
kolesterol yg 16. Bagaiamana ACLS
tinggi sejak 4 (Advance Cardiac Life
th lalu tanpa Support)?
pengobatan. 17. Bagaimana manajemen
- Riwayat farmakologi sudden
hipertensi, cardiac death (epineprin
stroke dan dan dopamine)?
penyakit ginjal
(-)
RPK :
- Saudara laki-
lakinya
meninggal th
lalu akibat
CAD.
- Tdk ada
anggota
keluarga lain
yang memiliki
keluhan yg
sama.
Sosek :
- Tidak konsumsi
alcohol
maupun
makanan
beralkohol dan
obat-obatan
terlarang.
- Perokok berat
10 batang per
hari sejak SMP

P fisik :
TB : 160 cm
BB : 85 kg
GCS : 1-1-1
- Pulse: tdk ada
carotid pulse
- Blood pressure:
tidak terukur
- Temperature: -
- RR : apneu
- Kepala/Leher : DBN
- Jantung : DBN
- Paru : apneu
(Inspeksi)
- Abdomen : DBN
- Ekstremitas : akral
dingin +/+
Sianotik +/+

Pemeriksaan
penunjang

- CPR dilakukan
oleh tim dan
dilanjutkan
dengan
monitor ECG.
- Monitor ECG :
Takikardi
ventrikular
200 bpm
- AED/DC shock
dan electrical
shock
diberikan dan
kermudian
CPR
dilanjutkan
- Monitor ECG :
ritme sinus
kembali
normal
- Carotid pulse
teraba
- RR (+)
 Airway : tdk
ada obstruksi
jalan napas
 Breathing :
spontan,
20x/menit
adequate
 Circulation :
BP 70/50
mmHg , Pulse:
120x/menit
 Cardiac
ECG : sinus rhytme
120x/minutes,
anterior acute
myocardial
infarction
 Disability:
GCS 2-2-2

RO : Pemberian Iv
fluid NaCl 0.9 %,
dopamine dan
setelah itu pasien
dirujuk ke RS tipe A
1. Anatomi Arteri Coroner
Arteri koroner, itu cabang pertama aorta, mensuplai miokardium dan epikardium. Arteri
koroner kanan (RCA) dan kiri (LCA) muncul dari sinus aorta di bagian proksimal aorta asendens,
tepat di atas katup aorta, dan melewati sekitar trunkus pulmonary. Arteri koroner mensuplai
atrium dan ventricle.
Arteri Koroner Kanan (RCA)
• Arteri koroner kanan (RCA) muncul dari kanan sinus aorta dari aorta asendens dan
mengalir ke sisi kanan trunkus pulmonary, berjalan di sulkus koroner.
• RCA biasanya mengeluarkan cabang nodal sinu-atrium ascendens, yang mensuplai SA
Node.
• RCA kemudian turun di sulcus koroner dan membentuk cabang marginal kanan, yang
menyuplai pinggir kanan dari jantung namun tidak mencapai apex. Lalu RCA bercabang
ke kiri dan berlanjut di sulkus koroner posterior jantung membentuk cabang AV Node. SA
dan AV Node adalah bagian dari sistem konduksi jantung.

• Dominasi sistem arteri koroner ditentukan oleh arteri mana yang muncul pada cabang
interventricular (IV) posterior (arteri descendens posterior). Dominasi RCA tipikal (sekitar
67%); RCA menimbulkan cabang interventricular posterior besar, yang mengalur turun di
IV posterior menuju apex jantung.
• Cabang ini menyuplai area yang berdekatan dari kedua ventrikel dan mengirimkan
cabang septal interventrikular ke dalam septum IV. Cabang terminal (ventrikel kiri) dari
RCA kemudian berlanjut untuk jarak pendek di sulkus coroner. Jadi, dalam pola distribusi
yang paling umum, RCA memasok permukaan diafragma jantung (Fig. D).
• Biasanya, RCA menyuplai :
(1) Atrium kanan, (2) Sebagian besar ventrikel kanan, (3) Bagian dari ventrikel kiri
(permukaan diafragma), (4) Bagian dari septum IV, biasanya sepertiga posterior, (5) SA
Node (pada sekitar 60% orang), (6) AV node (pada sekitar 80% orang).
Arteri Koroner Kiri (LCA)
• Left Coroner Artery (LCA) muncul dari sinus aorta kiri dari aorta asendens, melewati
antara auricula kiri dan sisi kiri trunkus pulmonary, dan berjalan di sulkus coroner (Fig. B)
• Pada sekitar 40% orang, cabang SA Node muncul dari cabang cirkumflexa LCA dan naik
pada permukaan posterior atrium kiri ke SA node.  
• Saat memasuki sulkus koroner, di ujung superior dari alur anterior IV, LCA terbagi menjadi
dua cabang, cabang antertor IV dan cabang cirkumflexa (Fig. A & C).
• Cabang IV anterior melewati alur IV ke apex jantung. Di sini ia berputar mengelilingi batas
inferior jantung dan biasanya beranastomosis dengan cabang IV posterior RCA (Fig. B &
C).

• Cabang anterior IV memasok bagian yang berdekatan dari kedua ventrikel dan, melalui
cabang IV septal , dua pertiga anterior dari IV septal (Fig. C).
• Pada banyak orang, cabang IV anterior menimbulkan cabang lateral (arteri diagonal),
yang turun ke permukaan anterior jantung (Gbr. 1.59A).
• Cabang cirkumflexa yang lebih kecil dari LCA mengikuti sulkus koroner di sekitar batas
kiri jantung ke permukaan posterior jantung.
• Cabang marginal kiri dari cabang cirkumflexa mengikuti margin kiri jantung dan
mensuplai ventrikel kiri.
• Paling umum, cabang cirkumflexa dari LCA berakhir di sulkus koroner pada aspek
posterior jantung sebelum mencapai crux jantung (Fig. B), tetapi di sekitar sepertiga dari
jantung itu terus mensuplai cabang yang berjalan di atau berdekatan dengan alur IV
posterior (B)
• Biasanya, LCA menyuplai :
- Atrium kiri.
- Sebagian besar ventrikel kiri.
- Bagian dari ventrikel kanan.
- Sebagian besar IVS (biasanya dua pertiga anterior), termasuk bundel AV dari sistem
konduksi jantung, melalui cabang septum IV yang berlubang.
- Node SA (pada sekitar 40% orang).

2. Fisiologi Coroner
Aliran darah koroner rata-rata pada manusia sewaktu istirahat adalah 70 ml/menit/100 g
berat jantung, atau sekitar 225 ml/menit, yang merupakan sekitar 4-5% dari total cardiac
output.
Selama kerja fisik yang berat, jantung seorang dewasa muda akan meningkatkan
cardiac output 4-7x lipat, dan memompa darah ini melawan tekanan arteri yang lebih tinggi
daripada normal. Akibatnya, hasil kerja jantung pada keadaan ekstrem dapat meningkat enam
sampai sembilan kali lipat. Pada saat bersamaan, aliran darah koroner meningkat tiga sampai
empat kali lipat guna menyediakan makanan tambahan yang diperlukan oleh jantung. Kenaikan
ini tidak sebesar kenaikan beban kerja, yang berarti bahwa rasio pemakaian energi oleh jantung
terhadap aliran darah koroner meningkat.
Dengan demikian, "efisiensi" pemakaian energi oleh jantung meningkat guna menutup
kekurangan suplai darah koroner relatif.

3. Teori Kekurangan Oksigen untuk Pengaturan Aliran Darah Lokal


Meskipun teori vasodilator diterima secara luas, beberapa fakta kritis telah menyebabkan
ahli faal lain lebih menyukai teori lainnya, yang dapat disebut sebagai teori kekurangan oksigen
atau, lebih tepatnya, teori kekurangan zat nutrisi (karena selain oksigen, zat nutrisi lain juga
terlibat). Oksigen (dan zat nutrisi lainnya) diperlukan sebagai zat nutrisi metabolik untuk
menimbulkan kontraksi otot vaskular. Oleh karena itu, bila oksigen tidak cukup tersedia, cukup
beralasan untuk menganggap bahwa pembuluh darah akan mengalami relaksasi dan karena itu,
secara alamiah akan berdilatasi. Selain itu, peningkatan penggunaan oksigen di jaringan sebagai
akibat peningkatan metabolisme, secara teoretis dapat menurunkan ketersediaan oksigen ke
serat otot polos di pembuluh darah setempat. Hal tersebut juga akan menyebabkan vasodilatasi
setempat.

Suatu mekanisme yang menerangkan kerjanya teori kekurangan oksigen ditunjukkan


pada gambar. Gambar di atas memperlihatkan sebuah unit jaringan, yang terdiri atas metarteriol
dengan sebuah lengan sisi kapiler dan jaringan di sekitarnya. Di tempat asal kapiler tersebut
terdapat sfingter prekapiler, dan di sekeliling metarteriol terdapat beberapa serat otot polos
lainnya. Pengamatan jaringan ini di bawah mikroskop contohnya, pada sayap kelelawar terlihat
bahwa sfingter prekapiler normalnya dalam keadaan terbuka total atau tertutup total. Jumlah
sfingter prekapiler yang terbuka setiap saat secara kasar sebanding dengan kebutuhan jaringan
akan zat nutrisi. Sfingter prekapiler dan metarteriol membuka dan menutup secara berirama
beberapa kali per menit, dengan lama fase pembukaan yang sebanding dengan kebutuhan
metabolik jaringan akan oksigen. Siklus pembukaan dan penutupan ini disebut vasomotion.

Oleh karena otot polos memerlukan oksigen untuk tetap berkontraksi, kita dapat
menganggap bahwa kekuatan kontraksi sfingter prekapiler akan meningkat bersama dengan
kenaikan konsentrasi oksigen. Akibatnya, ketika konsentrasi oksigen di jaringan meningkat sampai
di atas nilai tertentu, sfingter prekapiler dan metarteriol diduga akan menutup sampai sel-sel
jaringan menggunakan kelebihan oksigen. Namun ketika kelebihan oksigen sudah habis terpakai
dan konsentrasi oksigen menurun cukup banyak, sfingter akan membuka lagi untuk memulai
siklus kembali.

Jadi, berdasarkan data yang tersedia, baik teori zat vasodilator maupun teori kekurangan
oksigen dapat menjelaskan pengaturan akut aliran darah lokal sebagai respons terhadap
kebutuhan metabolik jaringan. Kebenaran mungkin terletak pada kombinasi dari kedua
mekanisme tersebut.

4. Definisi dan Epidemioogi Sudden Cardiac Death


Kematian jantung mendadak (SCD) menggambarkan kematian alami yang tidak terduga
akibat penyebab jantung dalam waktu singkat setelah timbulnya gejala pada seseorang tanpa
kondisi sebelumnya yang akan segera terlihat fatal. Hal ini paling sering disebabkan oleh
takiaritmia ventrikel berkelanjutan (takikardia ventrikel [VT] dan fibrilasi ventrikel [VF]). Meskipun
banyak gangguan kardiovaskular meningkatkan risiko SCD, penyakit kardiovaskular yang sudah
ada sebelumnya tidak diperlukan, dan SCD mungkin merupakan manifestasi pertama dari
penyakit jantung yang nyata. Gejala prodromal, seperti palpitasi, nyeri dada, atau dispnea,
mungkin menunjukkan etiologi kardiovaskular seperti aritmia, iskemia, atau gagal jantung
kongestif, tetapi tidak spesifik.

SCD menyumbang antara 180.000 dan lebih dari 450.000 kematian setiap tahun di
Amerika Serikat, dengan angka pastinya bergantung pada sumber data dan definisi SCD yang
digunakan. Di Amerika Serikat, beberapa penelitian berbasis populasi telah mendokumentasikan
penurunan tingkat SCD yang disesuaikan dengan usia lebih dari 8% selama 15 tahun terakhir.1
Tingkat SCD di negara maju lainnya sebanding dengan yang ada di Amerika Serikat: The World
Health Organisasi melaporkan kejadian tahunan SCD sebesar 1,9 per 1.000 orang pada pria dan
0,6 per 1.000 orang pada wanita.15 Angka SCD di negara berkembang jauh lebih rendah, sejajar
dengan tingkat penyakit jantung iskemik, substrat yang paling umum untuk SCD di negara maju.
Studi berbasis populasi yang mengevaluasi kejadian SCD dan faktor risiko di negara berkembang
sedang berlangsung.

5. Etiologi Sudden Cardiac Death


Penyebab Umum Sudden Cardiac Death
 Penyakit Jantung Iskemik
- Infark miokardium (termasuk NSTEMI)
- Anomalous coronary origin
- Spasme coroner
 Channelopathy Herediter
- Sindroma QT panjang / long QT syndrome
- Sindroma QT pendek / short QT syndrome
- Sindroma Brugada
- Sindroma repolarisasi dini
- Catecholaminergic polymorphic ventricular tachycardia
 Kardiomiopati
- Alkoholik
- Terkait obesitas
- Fibrosis
- Hipertrofi
- Arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy
- Miokarditis
 Gagal Jantung
- Left ventricular ejection fraction <35%
 Penyakit Kongenital
- Tetralogy of Fallot
 Penyakit Katup Jantung
- Stenosis aorta
 Penyebab Lain
- Gangguan elektrolit berat
- Embolus paru massif
- Aktivitas berat pada individu yang tidak banyak bergerak /sedentary
- Stres psikososial dan ekonomi akut

6. Patogenesis Sudden Cardiac Death


Ventricular tachycardia atau fibrillation diduga menjadi penyebab umum tersering
henti jantung di luar rumah sakit, menyebabkan sekitar 3/4 kasus, 25% sisanya disebabkan oleh
bradiaritmia atau asystole. Studi terbaru menyarankan bahwa angka kejadian ventricular
fibrillation atau pulseless ventricular tachycardia sebagai irama pertama yang terekam pada henti
jantung di luar rumah sakit telah menurun hingga kurang dari 30% dalam beberapa dekade
terakhir. Pulseless electrical activity (disosiasi elektromekanis) dan asystole merupakan
mekanisme yang lebih sering dibanding VT / VF, data terbaru menunjukkan angka kejadian 19 -
23%, dan sisanya (sekitar 50%) mengalami asystole. Namun, mayoritas pasien yang selamat
berada pada sub-kelompok orang-orang yang irama awalnya adalah ventricular fibrillation atau
pulseless ventricular tachycardia. Ventricular fibrillation merupakan penyebab henti jantung, dan
jika tidak dirawat, aritmia yang terjadi biasanya fatal, tapi pemulihan spontan menjadi irama sinus
telah didata. Mekanisme non-aritmia seperti ruptur miokardial atau ruptur aneurisma aorta juga
dapat menyebabkan SCD.

7. Gambaran EKG yang ditemukan pada henti jantung


Mekanisme listrik dari henti jantung/cardiac arrest terbagi menjadi peristiwa
tachyarrhytmic dan bradyarrhythmic / PEA-asystolic. Tachyarrhythmia meliputi VF dan pulseless
atau sustained VT, dimana aliran darah yang adekuat tidak dapat dipertahankan dan perfusi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Peristiwa asystolic meliputi bradyarrhythmia berat :
denyut jantung cukup lambat untuk menghambat perfusi jaringan yang adekuat dan
ketidakmampuan untuk menghasilkan suatu peristiwa mekanis karena tidak adanya aktivitas
listrik sama sekali (asystole) atau ada disosiasi antara aktivitas listrik spontan yang abnormal dan
fungsi mekanis (aktivitas listrik pulseless).

8. Algoritma BCLS
9. AED
AED (AUTOMATED EXTERNAL DEFIBRILLATOR)
Untuk mempercepat waktu dilakukannya defibrilasi awal, direkomendasikan untuk
melakukan defibrilasi awal oleh personil non-medis sebelum EMS / Emergency Medical
Services tiba. Automated External Defibrillators (AEDs) telah meningkatkan ketersediaan
defibrilasi awal dalam banyak situasi masyarakat secara signifikan, dalam beberapa kasus
terdapat peningkatan survival SCD (Sudden Cardiac Death) jelas.
Suatu studi yang menilai penggunaan AEDs di kasino menunjukkan tingkat survival
setinggi 74% pada mereka yang menerima defibrilasi pertama tak lebih dari 3 menit setelah
kolaps yang disaksikan orang lain dan 49% pada mereka yang menerima defibrilasi pertama
setelah lebih dari 3 menit. Peningkatan dalam situasi lain, seperti di pesawat, juga telah tercatat.
Di daerah Piacenza, Italia, 114 orang dilatih mengenai penggunaan AED, dan tingkat
survival hingga keluar RS setelah henti jantung meningkat dari 3,3% sampai 10,5%. Demikian juga,
suatu penelitian multicenter besar di Amerika Utara menemukan adanya peningkatan tingkat
survival hingga keluar RS setelah henti jantung dari 14% menjadi 23% ketika pelatihan
penggunaan AED ditambahkan ke program edukasi RJP tradisional untuk orang awam.
Walaupun ada kesuksesan-kesuksesan ini, AED tidak meningkatkan survival dalam semua
situasi: percobaan acak yang baru saja selesai dilakukan terhadap survivors infark miokardial yang
tidak dapat diklasifikasikan menggunakan ICD gagal menunjukkan adanya manfaat melakukan
AED di rumah pasien terhadap tingkat survival.

10. Algoritma ACLS


11. Ventricular Tachycardia
Ventricular tachyarrhythmias, meliputi VT monomorfik, VT polimorfik, dan VF,
menyebabkan hingga 80% SCD. VT didefinisikan sebagai 3 atau lebih komples qrs
berturut-turut yang berasal dari ventrikel pada kecepatan melebihi 100 bpm.
PRESENTASI KLINIS
● Presentasi VT bervariasi dan bergantung pada situasi klinis, denyut jantung, adanya
penyakit jantung yang mendasari dan kondisi medis lainnya. Beberapa pasien tidak
bergejala atau memiliki gejala minimal, sedangkan lainnya bisa datang dengan sinkop
atau kematian mendadak.
● Hilangnya sinkroni AV normal dapat menyebabkan gejala pada pasien dengan penurunan
fungsi jantung dibawah baseline. Denyut jantung < 150 bpm anehnya ditoleransi dengan
baik dalam jangka pendek, bahkan pada pasien yang paling terkompromisasi. Paparan
terhadap kecepatan denyut jantung ini selama lebih dari beberapa jam cenderung
berkaitan dengan gagal jantung pada pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk,
sedangkan pasien dengan fungsi ventrikel normal bisa menoleransi periode peningkatan
denyut jantung ini lebih lama.
● Rentan 150-200 bpm ditoleransi secara bervariasi, berdasarkan faktor-faktor yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Begitu denyut jantung mencapai dan melebihi 200 bpm, gejala
muncul pada hampir semua pasien. NSVT ( Non-Sustained Ventricular Tachycardia)
umumnya didefinisikan sebagai suatu VT dengan durasi < 30 detik. Kecepatan dan
penampakan VT umumnya teratur, walaupun bisa tampak polimorfik, kecepatannya
sedikit ireguler, dan bisa terdapat capture dan atau fusion beats didalamnya

TERAPI
● Terapi VT dapat meliputi DCC ( Direct Current Cardioversion), penghentian obat-obatan
pro-aritmik yang mengganggu, terapi antiaritmik spesifik dengan obat, koreksi
ketidakseimbanagn elektrolit, alat tanam/ implan, ablasi, revaskularisasi, dan bedah.
Pemilihan terapi yang tepat dibantu oleh penilaian pasien, suatu pemahaman
mengenai etiologi dan mekanisme VT, pengetahuan mengenai kondisi medis apapun
yang mengalami eksaserbasi yang berkontribusi terhadap VT, dan rasio risk-to-benefit
dari terapi yang tersedia.
12. Ventricular Fibrillation
VF merupakan irama ventrikular kacau yang mencerminkan tidak adanya aktivitas
listrik teratur dan oleh karena itu tidak ada cardiac output dari ventrikel. Irama ini tidak
memiliki elemen khas yang membentuk kompleks listrik yang biasanya muncul dari aktivitas
ventrikular. Irama ini merupakan irama yang fatal dalam waktu cepat, dan jika resusitasi tidak
dimulai dalam 5-7 menit, kematian hampir pasti terjadi. VF seringkali didahului oleh VT. Hampir
semua faktor risiko dan kondisi penyebab VT berlaku untuk VF. VF dapat terjadi tanpa irama atau
peristiwa jantung yang memicu.

PERJALANAN PENYAKIT
● Dari semua pasien yang mengalami henti jantung diluar RS, 75% memiliki VF sebagai
irama jantung awalnya. Dari pasien yang berhasil diresusitasi, 75% memiliki PJK yang
signifikan dan 20-30% mengalami infark transmural.
● Pasien tanpa etiolgi iskemik memiliki peningkatan risiko episode kematian mendadak
lebih lanjut, sedangkan pasien yang mengalami infark miokardial yang berkaitan dengan
kematian mendadak memiliki tingkat rekurensi 1 tahun sebesar 2%. Infark miokardial
anterior yang terkomplikasi oleh VF mewakili suatu sub-kelompok yang berisiko tinggi
mengalami rekurensi kematian mendadak.
● Prediktor SCD meliputi bukti adanya iskemia, penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri, 10
atau lebih PVC (Premature Ventricular Contraction) per jam pada telemetri, VT
inducible atau spontan, hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri, merokok, jenis kelamin
pria, obesitas, peningkatan kolestrol, usia lanjut, dan penggunaan alkohol berlebihan.

TERAPI
Seperti yang sudah dijelaskan, VF merupakan irama yang sangat cepat menjadi fatal, yang
hampir tidak pernah berhenti spontan. RJP harus dimulai segera dan DCC (Direct Current
Cardioversion) asinkron cepat harus segera diberikan secepatnya. Satu kejutan tunggal dengan
kekuatan 200 - 360 J (alat bifasik, 200 J ; alat monofasik, 360 J) harus diberikan di awal lalu RJP
harus segera dilanjutkan selama 2 menit sebelum memeriksa denyut. Jika VF / pVT tetap ada,
kejutan listrik kedua (alat bifasik, ≥ 200 J ; alat monofasik, 360 J) harus diberikan segera dan
diikuti oleh pemberian vasopressor (1 mg Epinefrin tiap 3 - 5 menit ; Vasopressin 40 IU dosis
tunggal dapat menggantikan dosis Epinefrin pertama atau kedua). Jika VF / pVT tetap ada
setelah 2 atau 3 kejutan listrik, RJP, dan satu vasopressor, pemberian antiaritmia sebaiknya
dipertimbangkan (Amiodarone lebih disukai dan Lidocaine sebagai alternatifnya). Yang harus
ditekankan adalah melakukan RJP berkualitas tinggi dengan interupsi selama kompresi dada
hanya dilakukan untuk ventilasi (sampai advanced airway terpasang), periksa irama (periksa
denyut hanya jika ada irama teratur), dan syok.
13. Asistol dan PEA
 Asystolic Arrest
Presentasi klinis
Asystole didefinisikan sebagai tidak adanya aktivitas listrik miokardial. Hal ini
harus dikonfirmasi dengan menukar beberapa lead atau mengubah posisi
defibrillation paddles.
- Sebagian besar pasien dengan asystole datang dalam suatu code situation.
Orang-orang di luar RS yang ditemukan mengalami asystole oleh tim
penolong pertama biasanya asystole tersebut disebabkan oleh iskemia
miokardial berat. Kemungkinan hasil akhir yang baik dalam situasi seperti
ini sangatlah kecil.
- Sedangkan pasien MRS yang dimonitor dengan telemetri dapat memiliki
hasil akhir yang lebih baik.

Etiologi
Asystole dapat terjadi akibat supresi oleh saraf parasimpatis terhadap aktivitas
atrial dan ventrikular, berhentinya miokardium akibat defibrilasi listrik, sumbatan
jantung total, atau iskemia miokardial berkepanjangan. Selain itu, banyak
penyebab PEA juga dapat mengakibatkan asystole sehingga diperkenankan untuk
mencari penyebab yang jelas dan dapat segera ditangani.

Terapi
Manajemen terdiri atas RJP efektif,perlindungan jalan napas, dan algoritma
manajemen yang sama dengan algoritma manajemen PEA.
- Kejutan listrik rutin sangat tidak dianjurkan. Kejutan listrik belum
menunjukkan adanya manfaat dalam manajemen asystole dan justru
dapat menyebabkan berhentinya miokardium, lalu menunda kembalinya
irama jantung.
- Pacing untuk asystole masih kontroversial. Agar pacing dapat berefek,
pacing harus dilakukan sedini mungkin. Pasien dengan asystole karena
iskemia miokardial cenderung tidak merespon terhadap pacing, tetapi
pasien dengan asystole karena penyebab lain mungkin merespon.
- Sama seperti revisi panduan manajemen PEA tahun 2010, atropin tidak lagi
direkomendasikan untuk penggunaan rutin dalam resusitasi pasien
asystolic.

 Pulseless Electrical Activity (PEA)


PEA didefinisikan sebagai tidak adanya denyut atau tekanan darah yang dapat
diukur dengan metode biasa namun disertai adanya aktivitas listrik jantung.
Etiologi.
- PEA bisa berasal dari berbagai gangguan irama, seperti disosiasi
elektromekanis, irama idioventrikular, dan ventricular tachycardias.
Ketika aktivitas listrik teratur dan dalam rentang fisiologis, digunakan
istilah disosiasi elekromekanis.
- Berbagai situasi klinis juga berkaitan dengan PEA, dan merupakan
suatu kondisi yang kemungkinan dapat ditangani jika segera dilakukan
tindakan tertentu.

Terapi

 Manajemen spesifik dari penyebab yang mendasari paling mungkin menghasilkan


hasil akhir yang baik.
 Intervensi darurat harus segera dimulai, meliputi hal-hal berikut ini :
A. RJP dan manajemen jalan napas yang efektif
B. Epinefrin, 1 mg IV tiap 3 - 5 menit
C. Vasopressin 40 IU IV, satu kali, dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
Epinefrin selama tahap pertama atau kedua dari ACLS
D. Atropin tidak lagi direkomendasikan diberikan secara rutin selama ACLS untuk
PEA (berlaku sejak panduan ACC / AHA tahun 2010)
E. Penemuan dan koreksi penyebab PEA yang mendasari tetap merupakan hal
yang penting bersamaan dengan melakukan RJP efektif. "H" dan "T"
(hipoksia, hipovolemia, hipotermia, hiperkalemia, asidosis / "hyper-H",
tension pneumothorax, trombosis koroner atau pulmonal, tamponade cordis,
dan toksin) harus dipertimbangkan dan ditangani secepat mungkin.

14. Manajemen Post Cardiac Arrest Resuscitation


Perawatan untuk korban cardiac arrest harus dilanjutkan post resusitasi untuk
mengoptimalkan keadaan pasien. Algoritme perawatan pasca cardiac arrest mencakup
langkah-langkah berikut:
 Verifikasi ROSC.
 Kelola jalan nafas dan berikan nafas setiap 5-6 detik. Menggunakan kapnografi waveform
kuantitatif, titrasi oksigen untuk mempertahankan PETCO2 pada 35-40 mm Hg. Jika tidak
ada akses ke mesin kapnografi waveform, titrasi oksigen untuk menjaga saturasi oksigen
korban> 94%.
 Masukkan dan pertahankan infus IV untuk pemberian obat. Pertahankan tekanan darah
di atas 90 mm Hg. Untuk tekanan darah rendah, pertimbangkan satu atau lebih terapi
berikut:
 Berikan 1 sampai 2 liter cairan IV saline atau Ringer's lactate.
 Mulai infus epinefrin IV untuk menjaga tekanan sistolik> 90 mmHg.
 Mulai infus dopamin IV
 Pertimbangkan norepinefrin untuk tekanan darah sistolik yang sangat rendah.
 Evaluasi H dan T untuk penyebab yang bisa diobati.
 Periksa status mental korban. Untuk penurunan tingkat kesadaran setelah resusitasi,
pertimbangkan untuk menginduksi hipotermia.
 Lakukan EKG 12 lead untuk menentukan apakah korban menderita infark miokard elevasi
segmen ST (STEMI) atau infark miokard non-STEMI.
 Jika dicurigai infark miokard, pertimbangkan intervensi koroner perkutan (PCI) untuk
membuka arteri koroner.
 Jika infark miokard tidak dicurigai, atau setelah PCI, pindahkan korban ke Unit Perawatan
Koroner untuk perawatan kritis lanjutan.

15. Manajemen Shock Cardiogenic


Syok kardiogenik adalah suatu kondisi klinis dimana terjadi perfusi jaringan yang
tidak adekuat akibat disfungsi jantung. Hal ini ditandai dengan penurunan curah jantung
(CO) meskipun tekanan pengisian cukup (filling pressure). Kriteria yang biasanya
digunakan untuk menentukan syok kardiogenik termasuk tekanan darah sistolik <90
mmHg selama minimal 30 menit atau kebutuhan vasopressor atau intra aortic balloon
support untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg, pulmonary capillary
wedge pressure (PCWP) > 15 mmHg, dan indeks jantung <2,2 L / menit / kg / m2

Curah jantung (CO) yang tidak efektif pada kondisi syok kardiogenik menyebabkan
hipotensi dan takikardia. Peningkatan kompensasi resistensi vaskuler sistemik dapat
terjadi melalui vasokonstriksi perifer dalam upaya mempertahankan tekanan darah dan
perfusi jaringan. Namun, data dari register SHOCK mengungkapkan bahwa banyak pasien
syok kardiogenik malah memiliki resistensi sistemik yang rendah, serupa dengan pasien
dengan syok septik. Sindrom seperti respons inflamasi sistemik dengan resistensi vaskular
sistemik yang rendah dapat ditemukan pada hingga seperlima pasien dengan MI akut
yang dipersulit oleh syok kardiogenik.

Prioritas terapi
Revaskularisasi dini sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan MI
akut dan syok kardiogenik. Manfaat dari strategi ini telah dibuktikan dalam uji coba
SHOCK. Revaskularisasi dini menyelamatkan 13 nyawa per 100 yang dirawat dalam 1
tahun dibandingkan dengan strategi stabilisasi medis dan revaskularisasi tertunda.
Strategi ini harus dipertimbangkan dengan kuat pada semua pasien berusia <75 tahun
jika tidak ada kontraindikasi; pasien yang lebih tua dengan status fungsional premorbid
yang baik juga memperoleh manfaat yang sama dari pendekatan ini. Akibatnya, pasien
dengan MI akut dengan komplikasi syok kardiogenik harus menjalani angiografi untuk
menentukan anatomi koroner. Revaskularisasi selanjutnya harus dipandu oleh
presentasi klinis, tingkat penyakit dan fungsi katup yang menyertai.

Vasopresor
Pasien mungkin memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan arteri
rata-rata yang efektif.
 Dopamin dimulai dengan 3 mikrogram / kg / menit dan dititrasi hingga
dosis maksimal 20 mikrogram / kg / menit.
 Norepinefrin dimulai dengan 2 mikrogram / menit dan dititrasi hingga
dosis maksimal 30 mikrogram / menit.
 Dopamin dapat dikaitkan dengan mortalitas yang lebih tinggi pada syok
kardiogenik daripada norepinefrin saat dititrasi untuk mempertahankan
tekanan arteri rata-rata yang efektif.

16. Dopamine
Nama dagang : generic, intropin ®

Kelas : Sympathomimetic, Catecholamine

Mekanisme aksi :

 Prekursor metabolik langsung dari norepinefrin.


 Pada dosis rendah (1-2 µg/kg/mnt) secara selektif mengaktifkan reseptor D1 di
beberapa vascular beds (misalnya ginjal) yang mengakibatkan vasodilatasi.
 Efek yang dimediasi D1 untuk meningkatkan aliran darah ginjal mungkin
bermakna secara klinis (misalnya dalam pengobatan syok).
 Aktivasi reseptor D2 presinaptik dapat menekan pelepasan norepinefrin.
 Pada dosis intermediet (5-10 µg/kg/mnt) dopamine mengaktifkan reseptor β1
dijantung.
 Pada dosis tinggi (>10 µg/kg/mnt) dopamine mengaktifkan reseptor α yang
menyebabkan vasokonstriksi, termasuk renal vascular bed.
 Dopamin dosis tinggi mungkin meniru cara kerja epinefrin.
 Dopamin juga merupakan neurotransmitter di area tertentu dari SSP, terutama di
saluran nigrostriatal, dan di beberapa saraf simpatis perifer.

Indikasi :

 Untuk koreksi ketidakseimbangan hemodinamik yang terjadi pada syok akibat


infark miokard, trauma, septikemia endotoksik, operasi jantung terbuka, gagal
ginjal, dan dekompensasi jantung kronis seperti pada gagal kongestif
 Penggunaan dopamin dalam pengobatan syok kardiogenik (misalnya setelah MI)
telah dikaitkan dengan lebih banyak efek samping dibandingkan dengan
penggunaan norepinefrin sebagai agen pressor dalam pengobatan syok. Thi
(DeBacker et al, 2010)

Kontraindikasi :

Tidak untuk digunakan oleh pasien dengan pheochromocytoma atau pasien dengan
takiaritmia tanpa koreksi atau ventrikular fibrilasi
Efek samping :

 Cardiac arrhythmias
 Dyspnea
 Nausea
 Vomiting
 Headache
Farmakokinetik :

Onset kerja dopamin terjadi dalam 5 menit setelah pemberian intravena, dan dengan
waktu paruh plasma dopamin sekitar 2 menit, durasi kerja <10 menit. Namun, jika
terdapat inhibitor monoamine oxidase (MAO), durasinya dapat meningkat menjadi 1 jam.

Interaksi obat :

 Pasien yang telah diobati dengan inhibitor MAO dalam 2-3 minggu sebelum
pemberian dopamin HCl harus menerima dosis awal normal 1/10.
 Antidepresan trisiklik dapat mempotensiasi respons pressor terhadap agen
adrenergik
 Efek jantung dari dopamin ditentang oleh agen inhibitor beta-adrenergik
 Haloperidol dan obat-obatan seperti haloperidol menekan vasodilatasi ginjal
dopaminergik dan mesenterika yang diinduksi pada tingkat infus dopamin yang
rendah

17. Farmakologi Epinefrin


Nama dagang : Adrenalin, Epipen ®
Golongan : Katekolamin, simpatomimetik
Mekanisme Aksi :
1. Epinefrin menstimulasi subtipe reseptor α1 & α2 dan β1 & β2 pada sel efektor
simpatis.
2. Ketika diberikan i.v. epinefrin adalah vasokonstriktor dan stimulan jantung yang
sangat potent.
• Peningkatan tekanan darah sistolik disebabkan oleh peningkatan denyut jantung
dan kontraktilitas ventrikel yang dimediasi β1
• Peningkatan tekanan diastolik dihasilkan dari stimulasi vasokonstriksi yang
dimediasi reseptor α1 dan α2 di banyak vascular bed
• Epinefrin juga merangsang reseptor β2 yang ada di pembuluh darah otot rangka,
yang mengakibatkan dilatasi
 Pada dosis rendah, stimulasi reseptor β2 mendominasi stimulasi reseptor α,
resistensi perifer total dan tekanan diastolik dapat turun
 Dalam kondisi fisiologis, epinefrin yang dilepaskan dari kelenjar adrenal berfungsi
sebagai hormon dan, melalui aktivasi reseptor β2, berkontribusi pada peningkatan
aliran darah selama latihan.
 Stimulasi β2 akan menyebabkan bronkodilasi di paru-paru dan mengaktifkan
glikogenolisis di hati
Kontraindikasi : Epinefrin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
hipertiroidisme, hipertensi dan aritmia jantung.

Efek Samping :
 Gelisah
 Takikardia
 Sakit kepala
 Ketakutan dan palpitasi terjadi dengan dosis terapeutik sistemik
 Efek samping seperti aritmia jantung dan peningkatan tekanan darah yang
berlebihan juga dapat terjadi dengan dosis terapeutik atau overdosis yang tidak
disengaja.
 Efek samping lebih mungkin diamati pada individu hipertiroid
Farmakokinetik :
1. Rute administrasi tergantung pada indikasi penggunaannya. Dapat diberikan i.v.,
s.c., i.m., melalui tabung endotrakeal, atau injeksi langsung ke ventrikel kiri.
2. Durasi kerja yang relatif pendek dibandingkan dengan agonis selektif beta-2.
Interaksi Obat : Semua vasopresor harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang
memakai monoamine oxidase inhibitor (MAO).

18. Farmakologi Amiodaron


Farmakodinamika :
• Spektrum yang luas
• Blokade saluran K yang dominan
• Blokade saluran Na yang signifikan
• Blokade adrenergik beta yang lemah
• Blokade saluran kalsium yang lemah
• Amiodarone adalah senyawa yang mengandung yodium dengan kesamaan
struktural dengan tiroksin (mengakibatkan efek samping terkait tiroid).

Farmakokinetika :
• Administarsi oral atau i.v.
• Amiodarone sangat larut dalam lemak, dan terakumulasi dalam konsentrasi tinggi
di lemak, otot, hati, paru-paru, dan kulit.
• Dieliminasi oleh metabolisme hati (CYP3A4 & CYP2C8), dan ekskresi bilier.
• Struktur amiodarone mengandung dua molekul yodium, dan ketika dikonsumsi
dengan dosis terapeutik, terapi amiodarone menghasilkan asupan yodium
anorganik harian yang besar (asupan yodium harian normal ~ 0,3 mg, sedangkan
dosis pemeliharaan normal 200 mg melepaskan 6 mg yodium setelah
metabolisme hati).
• Metabolit amiodarone, desethylamiodarone (DEA) diketahui terakumulasi di
jaringan tubuh. Secara in vitro, DEA telah terbukti memiliki efek elektrofisiologis
yang signifikan, tetapi perannya dalam efek terapeutik amiodarone masih kurang
dipahami.
• Eliminasi kompleks paruh - setengah dieliminasi dengan paruh 3-10 hari dan
sisanya dengan paruh beberapa minggu. Waktu paruhnya yang panjang dianggap
sebagai akibat dari pelepasan obat yang lambat dari jaringan kaya lipid.
• Efek dipertahankan selama 1-3 bulan setelah penghentian obat, dan tingkat
jaringan dapat dideteksi hingga satu tahun.

Kontraindikasi :
• Pasien dengan disfungsi nodus sinus yang parah, menyebabkan bradikardia sinus;
blok atrioventrikular derajat kedua dan ketiga; dan ketika episode bradikardia
telah menyebabkan sinkop (kecuali jika digunakan bersama dengan alat pacu
jantung).
• Pasien dengan hipersensitivitas yang diketahui terhadap obat.

Efek Samping :
Akut :
• Hipotensi bila diberikan i.v. (disebabkan oleh efek pemblokiran beta atau bahan
pelarutnya).
• Pasien dengan penyakit sinus atau AV nodal dapat mengalami bradikardia atau
blok jantung.
Kronis:
• Fibrosis paru
• Perubahan warna kulit menjadi biru keabu-abuan di area yang terpapar sinar
matahari (relatif jarang, tetapi "unik" untuk obat ini; amiodarone, yang
terakumulasi di kulit, bersifat fotosensitif)
• Endapan mikro kornea terjadi pada kebanyakan pasien. Microdeposit kornea
disebabkan oleh sekresi amiodarone oleh kelenjar lakrimal, dengan akumulasi di
permukaan kornea. Mereka biasanya tidak mengurangi ketajaman visual,
meskipun halos berkembang di bidang visual perifer pada beberapa pasien.
• Efek samping hipotiroid : pada pasien normal, kadar yodium tinggi yang terkait
dengan terapi amiodarone biasanya berkontribusi pada penghambatan sementara
sintesis hormon tiroid karena mekanisme pengaturan otomatis di dalam tiroid
(efek Wolff-Chaikoff).
• Efek samping hipertiroid : pada pasien yang kekurangan yodium, atau pasien
dengan penyakit Graves laten, kelebihan yodium dari amiodarone memberikan
peningkatan substrat, mengakibatkan peningkatan produksi hormon tiroid dan
hipertiroidisme.
• Eksaserbasi aritmia
• Liver injury serius yang jarang terjadi.
• Masalah neurologis (misalnya malaise).
• Keluhan GI (mual, muntah, konstipasi).
Interaksi Obat :
• Obat-obatan yang menghambat CYP3A4 (misalnya simetidin) atau memicunya
(misalnya rifampisin) akan mengubah kadar plasma amiodarone.
• Amiodarone menghambat sebagian besar enzim sitokrom lainnya & dapat
menyebabkan peningkatan kadar obat yang merupakan substrat untuk enzim ini
(misalnya warfarin).
• Pemberian bersama amiodaron diduga dapat menggandakan kadar digoksin
plasma karena penghambatan mekanisme P-glikoprotein yang disekresikan oleh
digoksin oleh tubulus ginjal.

19. Preventif
Studi pada populasi besar diperlukan untuk lebih menentukan kejadian SCD di seluruh
kelompok etnis / ras dan menjelaskan mekanismenya. Penemuan penanda risiko SCD pada
populasi umum, seperti faktor klinis, molekuler, dan genetik, akan memfasilitasi penargetan
evaluasi dan terapi bagi mereka yang membutuhkan. Penyakit arteri koroner (CAD) dan
konsekuensinya mencapai 80% dari SCD, sering kali muncul sebagai gejala awal CAD. Mengingat
kesulitan dalam mengidentifikasi mereka yang menderita penyakit subklinis yang tampaknya
berisiko rendah, fokus baru-baru ini beralih ke pencegahan primordial yaitu, pencegahan
pengembangan faktor risiko untuk CAD. Ini kemungkinan besar akan berdampak paling besar
pada SCD di tingkat populasi, tetapi pengaruhnya sulit diukur. Pada mereka yang berisiko,
penanda risiko yang lebih baik yang menyempurnakan pendekatan berbasis LVEF saat ini akan
memungkinkan penargetan yang lebih baik dari terapi ICD.

20. Prognosis
VF dan pulseless VT (shockable rhtym) merupakan irama awal pada sekitar ¼ pasien SCA
dan berkaitan dengan hasil akhir yang lebih baik daripada asystole atau PEA. Insiden VT/VF
berkurang sampai 10% tiap menit sejak onset SCA, jadi, kejadian SCA yang disaksikan orang lain
dan pengenalan kondisi secara segera serta defibrilasi berkaitan dengan peningkatan survival.
Hanya 1/3 pasien SCA yang mendapatkan RJP dari orang sekitarnya.
Laki-laki, 48 th
KU : Tiba-tiba tidak sadarkan
diri 5 menit sebelum sampai
puskesmas
RPS:
- Tidak sadarkan diri saat
sedang bermain bulutangkis.
- Merasa tidak nyaman pada
dadanya sesaat sebelum
tidak sadarkan diri.
RPD :
- Riwayat DM sejak 4 tahun
lalu tanpa pengobatan
- Riwayat memiliki kadar
kolesterol yang tinggi sejak 4
tahun lalu tanpa
pengobatan.
RPK :
- Saudara laki-lakinya
meninggal tajun lalu akibat
CAD.
Sosek :
- Perokok berat 10 batang per
hari sejak SMP
 Anatomi dan suplai arteri jantung
Pemeriksaan fisik:  Fisiologi sirkulasi koroner
TB : 160 cm
 Teori oxygen demand untuk pengendalian darah
BB : 85 kg
GCS : 1-1-1 lokal
- Pulse: carotid pulse (-)
- Blood pressure: tidak diukur
- Temperature: tidak diukur
- RR : apneu  Definisi SCD
- Kepala/Leher : DBN  Epidemiologi SCD
- Jantung : DBN
 Etiologi SCD
- Paru : apneu (Inspeksi)
- Abdomen : DBN
SCD  Patogenesis SCD
(Sudden
- Ekstremitas : akral dingin +/+  EKG SCD
cardiac
Sianotik +/+
death)
 Algoritma BCLS (ACLS 2015)
Pemeriksaan penunjang:
- CPR dilakukan oleh tim dan
 Definisi AED
dilanjutkan dengan monitor ECG.  Algoritma ACLS (ACLS 2015)
- Monitor ECG : Ventrikular  Definisi ventrikular takikardi
takikardia 200 bpm
- AED/DC shock dan electrical shock  Definisi ventrikular fibrilasi
diberikan dan kermudian CPR  Definisi asistol dan PEA
dilanjutkan
- Monitor ECG : ritme sinus kembali  Algoritma manajemen post resusitasi cardiac
normal arrest
- Carotid pulse teraba
 Manajemen cardiogenic shock
- RR (+)
 Airway : tdk ada obstruksi jalan  Farmakologi dopamine
napas  Farmakologi adrenaline
 Breathing : spontan, 20x/menit
adequate  Farmakologi amiodarone
 Circulation : BP 70/50 mmHg ,  Preventif SCD
Pulse: 120x/menit
 Cardiac
 Prognosis SCD
ECG : sinus rhytme 120x/minutes,
anterior acute myocardial
infarction
 Disability: GCS 2-2-2

RO : Pemberian Iv fluid NaCl 0.9 %,


dopamine dan setelah itu pasien
dirujuk ke RS tipe A

Anda mungkin juga menyukai