Anda di halaman 1dari 6

ORGANIZATIONAL COMMUNICATION

FINAL TERM EXAMINATION


ANSWER SHEET

Name Devi Layla Avianti


NIM 19110230686
Class MMC 23-3 TP
Subject Organizational Communication
Lecturer Deddy Muharman, M. Si.

2. Dalam kaitannya dengan peranan wanita dalam pekerjaan, jelaskan pendapat anda
mengenai;
a) Keseimbangan peran antara seorang istri, seorang ibu, dan seorang wanita karir
Perkembangan zaman dari waktu ke waktu telah mendukung kemajuan bangsa
dan masyarakat dunia. Pergeseran nilai-nilai di masyarakat mengenai perempuan yang
bekerja dicatat mengalami kemajuan yang terus meningkat dari dekade sebelumnya.
Hal tersebut terlihat dari data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang dicatat
oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di tahun 1990 TPAK wanita berada di angka 38,79%,
di tahun 2014 angka tersebut mengalami kenaikan hingga 11,43% menjadi 50,22% dan
angka terus bertambah di tahun 2020 menjadi 67,77%. Kenaikan angka tersebut
menunjukkan perubahan yang cukup besar dalam perkembangan angkatan kerja
wanita.
Terlepas dari pekerjaannya, wanita memang memiliki peran lain dalam
kehidupannya yang disebut dengan peran ganda. Selain menjadi wanita karir, wanita
juga berperan sebagai seorang istri dan ibu. Secara praktis, banyak kondisi-kondisi
yang dihadapi oleh wanita ketika dihadapkan pada permasalahan dualism peran ganda
tersebut, Oleh karena itu, terdapat banyak tuntutan dan tantangan bagi wanita dalam
mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan rumah tangga. Salah satu tantangan
terbesar yang dihadapi oleh wanita karir adalah pembagian waktu antara pekerjaan dan
tanggung jawab rumah tangga, sehingga untuk mencapai keseimbangan di antara
keduanya dibutuhkan manajemen waktu yang baik.
Menurut penulis, wanita memang dapat menjalankan peran ganda yaitu sebagai
seorang wanita karir, seorang istri, dan seorang ibu. Akan tetapi, pada praktiknya tidak
dapat dipungkiri bahwa sangat sulit untuk mendapatkan keseimbangan dalam
menjalani peran-peran tersebut karena adanya permasalahan seperti banyaknya
deadline pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga. Hal tersebut membuat wanita
karir menjadi tidak optimal dalam menjalankan salah satu perannya, contohnya ketika
ia sibuk bekerja di kantor dari pagi hingga malam, maka akan sulit baginya untuk
menyeimbangkan peran sebagai seorang istri dan ibu sehingga perhatian yang ia
berikan untuk suami dan anaknya menjadi tidak optimal, begitupun sebaliknya.
Meskipun begitu, bukan berarti peran ganda seorang wanita sebagai seorang
wanita karir, istri, dan ibu rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik. Wanita karir
dapat menerapkan beberapa strategi untuk tetap menjaga keseimbangan perannya
sebagai istri dan ibu, seperti menjaga komunikasi dengan suami dan anak,
menghabiskan waktu liburan dan quality time bersama suami dan anak, serta
menyiapkan kebutuhan suami dan anak sebelum terlibat aktif pada pekerjaan di luar
rumah.

Referensi:
Miller, Katherine. 1994. Organizational Communication Approaches and Processes.
Stamford: Cengage Learning.
Nurlaila. Mohunggo, Yolanda. Persepsi Wanita Karier Terhadap Konflik Pekerjaan
dan Keluarga. Ternate Selatan: Universitas Khairun
Mayangsari, Marina Dwi. Amalia, Dhea. Keseimbangan Kerja-Kehidupan Pada
Wanita Karir. Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat.

b) Diversity in Starbucks (America), baca dan pertimbangkan juga kasus-kasus


rasial yang mereka alami
Starbucks merupakan sebuah perusahaan kopi asal Amerika Serikat yang telah
mendunia dan merupakan salah satu perusahaan yang menjunjung tinggi inklusi,
keragaman, dan kesetaraan. Perusahaan kopi ini memiliki suatu tujuan yaitu untuk
melawan diskriminasi wanita dan minoritas dengan menciptakan dan memberikan
kesempatan yang sama bagi setiap orang, tanpa melihat gender, ras, dan etnisnya. Oleh
karena itu, Starbucks memberikan kesempatan yang sama untuk wanita dan pria dari
berbagai ras dan etnis dalam bekerja, dan memperlakukannya dengan setara. Hal
tersebut dapat terlihat dari data yang dirilis Starbucks melalui website-nya, dalam data
tersebut tercatat bahwa pekerja di Starbucks Amerika Serikat adalah 69% wanita, dan
47% merupakan orang berkulit hitam, pribumi, dan orang kulit berwarna atau yang
dikenal sebagai People of Color (BIPOC). Starbucks Amerika juga semakin
memperlihatkan nilai keragaman di perusahaannya dengan menunjuk Mellody Hobson,
seorang wanita berkulit hitam, sebagai ketua dewan direksi perusahaan.
Jika melihat data tersebut, Starbucks memang telah menerapkan inklusi dan
keragaman dalam perekrutan karyawannya. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kasus
rasial yang melibatkan pegawai Starbucks. Seperti kasus rasisme yang dilakukan
pegawai Starbucks di salah satu gerainya di Philadelphia, Amerika Serikat. Kasus ini
melibatkan dua pria berkulit hitam yang dituduh masuk tanpa izin dan menggunakan
toilet tanpa membeli apapun di gerai tersebut. Bukannya menegur atau bertanya secara
langsung, pegawai Starbucks di gerai tersebut memilih untuk langsung menelpon polisi
dan meminta kedua pria tersebut ditangkap. Kasus serupa juga terjadi pada seorang
wanita muslim yang dilecehkan pada saat memesan kopi di gerai Starbucks yang
terletak di Minnesota, Amerika Serikat. Salah satu pegawai Starbucks di gerai tersebut
menuliskan ‘ISIS’ pada gelas kopi pesanannya. Kasus-kasus tersebut tentunya sangat
tidak etis dan bertentangan dengan nilai keragaman yang dipromosikan oleh Starbucks.
Oleh karena itu, seperti yang dinyatakan oleh (Nye, 1998) bahwa penting bagi
organisasi untuk memberikan informasi yang jelas (tidak ambigu), objektif, dan publik
mengenai kualifikasi pekerjaan dan kinerja individu yang terkait dengan tindakan
afirmatif untuk meminimalisir dan menghilangkan masalah yang terkait dengan
stigmatisasi dan diskriminasi. Karena dengan merekrut pegawai yang tepat dan
berkomitmen dalam melakukan pengawasan serta pelatihan secara rutin kasus-kasus
diskriminasi ras yang dialami Starbucks dapat dicegah agar tidak terulang lagi.
Menurut penulis, inklusi dan keragaman yang diterapkan oleh perusahaan
Starbucks di Amerika Serikat merupakan hal yang sangat baik karena dapat membantu
menghapuskan diskriminasi seperti stereotyping dan stigma-stigma yang melekat pada
individu dengan latar belakang gender, ras, dan etnis yang beragam. Akan tetapi, akan
lebih baik jika Starbucks meningkatkan kualitas karyawannya agar kasus-kasus rasial
yang terjadi pada pelanggannya tidak terulang lagi karena hal tersebut dapat merusak
citra yang telah dibangun Starbucks sebagai perusahaan yang mempromosikan inklusi
dan keragaman.
Referensi:
Miller, Katherine. 1994. Organizational Communication Approaches and Processes.
Stamford: Cengage Learning.
Starbucks Stories: Workforce Diversity at Starbucks.
(https://stories.starbucks.com/stories/2020/workforce-diversity-at-starbucks/)
Artikel CNN Indonesia: Starbucks Tunjuk Pimpinan Direksi Wanita Kulit Hitam
Pertama. (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201210090224-92-
580339/starbucks-tunjuk-pimpinan-direksi-wanita-kulit-hitam-pertama)
Artikel Detik.com: Beli Kopi di Starbucks Wanita Muslim ini Disebut ISIS
(https://food.detik.com/info-kuliner/d-5085450/beli-kopi-di-starbucks-wanita-
muslim-ini-disebut-isis)

3. Pandemi menuntut karyawan untuk melakukan WFH (Work From Home). Jelaskan
bagaimana;
a) WFH mempengaruhi emosi dan mental karyawan
Di dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 yang jumlah kasusnya terus
bertambah ini terdapat berbagai macam peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk menekan laju kasus Covid-19. Salah satunya adalah kegiatan bekerja
yang harus dilakukan di rumah, yang dikenal dengan istilah Work From Home (WFH).
Perubahan ini kemudian memberikan pengaruh yang besar terhadap emosi dan mental
karyawan. Mengutip (Dessler, 2019), dalam dunia kerja emosi terbagi menjadi dua
kategori yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah suatu ekspresi yang
menunjukkan perasaan atau interpretasi yang baik atau positif terhadap suatu peristiwa.
Sedangkan emosi negatif adalah kebalikannya. Karena WFH menyebabakan
berkurangnya interaksi sosial, maka kebanyakan karyawan yang bekerja dari rumah
lebih banyak merasakan emosi negatif.
Terdapat berbagai faktor dari WFH yang mempengaruhi emosi dan mental
karyawan seperti berkurangnya interaksi sosial, rasa lelah dan jenuh saat bekerja di
rumah, dan waktu kerja yang tidak menentu. Ketika bekerja di kantor, karyawan dapat
meredakan rasa stress akibat pekerjaan dengan cara berinteraksi dengan pegawai
lainnya, sementara WFH menyebabkan keterbatasan komunikasi sehingga interaksi
dengan pegawai lainnya menjadi sulit dan jarang dilakukan. Bekerja di lingkungan
yang sama dalam jangka waktu yang lama pun dapat menimbulkan rasa jenuh,
ditambah dengan banyaknya gangguan di rumah yang dapat membuat karyawan
merasa kesulitan dalam berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Selain itu, minimnya
supervisi atau pengawasan dari atasan ketika WFH dapat memberikan tekanan bagi
karyawan karena untuk menunjukkan komitmen dengan pekerjaan, karyawan harus
bekerja lebih keras. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa lelah yang membuat
karyawan menjadi stress. Waktu kerja yang tidak menentu juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi emosi karyawan saat WFH. WFH membuat sebagian besar
karyawan merasa kesulitan dalam menentukan batasan waktu untuk bekerja, contohnya
adalah bekerja pada waktu istirahat karena adanya tekanan untuk mengejar deadline.
Selain faktor-faktor tersebut, faktor teknis juga dapat mempengaruhi emosi karyawan
seperti jaringan internet yang tidak stabil yang dapat memicu amarah karyawan.
Keadaan-keadaan yang dialami selama WFH tersebut akan mempengaruhi
emosi dan kemudian akan muncul rasa cemas, rasa bersalah, rasa putus asa, rasa takut,
dan rasa marah. Padahal, emosi-emosi negatif tersebut berbahaya bagi kesehatan
mental karyawan. Rasa cemas yang berlebihan misalnya, dapat menyebabkan penyakit
mental seperti depresi dan anxiety disorder.

Referensi:
Wijaya, Muhamad Fadh Dzaki. et al. 2021. Analisis Emosi dan Suasana Hati Akibat
Ancaman Pandemi Covid-19 Pada Pengambilan Keputusan Manajer. Bekasi:
President University.

b) Model/jenis WFH yang paling efektif


Bagi karyawan, agar kegiatan Work From Home (WFH) dapat menjadi lebih
efektif, maka diperlukan komitmen untuk melakukan beberapa hal seperti
mempertahankan jam kerja di rumah layaknya jam bekerja di kantor (8 jam sehari),
menciptakan suasana/lingkungan kerja yang nyaman di rumah agar terhindar dari rasa
jenuh, menetapkan target harian dalam bekerja, selalu berusaha untuk berkomunikasi
dan bertukar kabar dengan rekan kerja, dan yang paling penting adalah mempergunakan
waktu untuk beristirahat dengan sebaik mungkin.
Bagi perusahaan, salah satu model/jenis WFH yang paling efektif adalah
dengan melakukan meeting setiap hari sebelum memulai pekerjaan untuk memberikan
update mengenai progress pekerjaan masing-masing sehingga seluruh anggota tim
dapat mengetahui sejauh mana rekan kerjanya telah melakukan pekerjaannya. Model
WFH tersebut dapat membuat karyawan bekerja dengan lebih efektif di rumah karena
dengan adanya laporan harian, karyawan dapat mengetahui target hariannya dalam
bekerja.

Anda mungkin juga menyukai