PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen pengampu:
kelompok 3 :
Penulis berharap makalah ini dapat digunakan sebagai penambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam terselesainya makalah ini.
Penulis juga sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penulisan makalah ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang
bersifat membangun guna menyempurnakan makalah selanjutnya.
Daftar Isi ..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................
2.3 Hyperactivity.....................................................................................................2
Saran............................................................................................................................10
Daftar Pustaka .......................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami sesama
manusia, dengan tujuan dapat memperlakukannya dengan lebih cepat. Karena itu
pengetahuan psikologis mengenai anak didik dalam proses pendidikan adalah hal
yang penting dan penting bagi setiap pendidik. Karakteristik spesifik anak
berkebutuhan khusus pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan
fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan sensorik
motor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan
berinteraksi social, serta kreatifitasnya.Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta
didik berkebutuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut
memiliki kemampuan beraitan dengan cara mengombinasikan kemampuan dan bakat
setiap anak dalam beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut meliputi kemampuan
berpikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara besosialisasikan. Hal-hal tersebut
diarahkan pada keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku
kearah pendewasaan.
3.TUJUAN MASALAH
Untuk mengetahui teori aplikasi dan teori pembelajaran dengan kebutuhan khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Types Exeptionalities
1. Hambatan Kecerdasan
Hamabatan kecerdasan atau sering dikenal dengan sebutan tunagrahita adalah
kondisi anak yang tingkat kecerdasannya jauh dibawah rata – rata yang ditandai
oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Kondisi
yang dimulai sebelum usia 18 tahun yang meliputi rendahnya inteligensi dan
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari (Santrock,
2009: 255). Anak tunagrahita dengan keterbatasan kecerdasan yang diamiliki
sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa, oleh karena itu anak
terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni
disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Karakteristik umum yang dimiliki seorang anak yang mengalami hambatan
kecerdasan atau tunagrahita meliputi tiga hal, diantaranya adalah:
1.Keterbelakangan Intelegensi
2. Keterbatasan Sosial
a. Disleksia, adalah satu kategori yang ditunjukan bagi individu yang memiliki
kelemahan serius dalam kemampuan untuk membaca dan mengeja.
Terapi perilaku membantu anak untuk lebih bisa mengontrol perilaku dan
mengendalikan tindakan mereka.Diharapkan anak mampu mengendalikan
reaksi berlebihan, kemarahan, serta menjadikannya lebih tenang.
4. Terapi Bicara
Melalui terapi bicara, orang tua didorong untuk selalu berkomunikasi dengan
anak serta membicarakan apa yang dirasakan anak. Terapi bicara didasarkan
pada prinsip bahwa ADHD dapat disembuhkan, jika anggota keluarga
menunjukkan dukungan, cinta dan perhatian dengan memberikan waktu untuk
mendengarkan anak (Rini, dkk, 2013: 35)
4. Physical disabilities
Physical disabilities atau biasa disebut dengan tunadaksa adalah istilah untuk
anak yang memiliki cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi seperti cerebral
palsy dan serangan mendadak (biasanya strok atau epilepsy). Orthopedic
mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan
demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan
persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada
pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian. Termasuk didalamnya
cerebral palsy adalah penyakit yang meliputi kurangnya koordinasi otot,
gemetar,atau cara cara berbicara yang tidak jelas. Dan juga gangguan kejang
seperti epilepsy yang disebabkan gangguan neurologis dengan ciri khas adanya
serangan sensomotorik yang berulang-ulang atau kejang-kejang. (Santrok, 2009:
259)
5. Visual Disabilities
Visual disabilities atau tunanetra digunakan untuk menggambarkan anak yang
mengalami tingkatan kerusakan atau gangguan penglihatan yang berat sampai
pada yang sangat berat, yang dikelompokkan secara umum menjadi buta dan
kurang lihat. Sebagian ahli mengelompokkannya menjadi kurang lihat (low
vision), buta (blind), dan buta total (totally blind). Perlu anda pahami bahwa
kerusakan yang terjadi pada organ penglihatan (mata) dapat meliputi kerusakan
yang ringan sampai yang sangat berat. Anak yang memilki kerusakan ringan
pada penglihatannya (seperti myopia dan hypermetropia) masih dapat dikoreksi
dengan menggunakan kacamata dan bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang
lainnya, secara umum tidak dikelompokkan pada tunanetra (Wardhani, 2007:
45).
1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal
b) Glaukoma (Glaucoma)
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan
yang berlebihan pada bola mata.Hal itu terjadi karean struktur
bola mata yang tidak sempurna pada saat pembentukannya
dalam kendungan.Kondisi ini ditandai dengan pembesaran bola
mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata,
dan merasa silau.
d) Retinoblastoma
e) Kekurangan vitamin A
g) Kecelakaan
6. . HEARING DISABILITIES
7. COMMUNICATION DISORDERS
8. AUTISM
Istilah autism diperkenalkan pertama kali pada tahun 1943 oleh Dr.
Leo Kanner, seorang psikiater anak dari Universitas Johns Hopkins. Kanner
menyatakan bahwa pada sekelompok anak yang ditelitinya terlihat adanya
suatu gangguan mendasar di mana anak-anak tersebut sejak awal kehidupan
tidak mampu melakukan interaksi sosial terhadap orang lain atau situasi
tertentu seperti halnya anak yang normal (Neale, 1996 dalam Rini Hildayani,
dkk. 2013: 11.3)
9. GIFTED AND TALENTED
Gifted dan talented adalah individu yang memiliki kemampuan luar biasa
sehingga mampu menghasilkan unjuk kerja yang luar biasa yang meliputi tingkat
intelegensi umum, kemampuan akademik, kemampuan dalam bidang spesific,
kemampuan berpikir produktif, kreatifitas, kemampuan kepemimpinan, dan seni
(Kirk & Gallgher, 1986: 70).
B. Intelectual Disabilities
Nama lain Kecacatan perkembangan intelektual (IDD), ketidakmampuan
belajar umum Seorang anak berlari melewati garis finisAnak-anak dengan disabilitas
intelektual dan kondisi perkembangan lainnya bersaing di Olimpiade Khusus .Khusus
Psikiatri , pediatric Frekuensi 153 juta (2015)
Kecacatan intelektual ( ID ), juga dikenal sebagai ketidakmampuan belajar
umum dan keterbelakangan mental ( MR ), adalah gangguan perkembangan saraf
umum yang ditandai dengan gangguan fungsi intelektual dan adaptif secara
signifikan. Ini ditentukan oleh IQ di bawah 70 , selain defisit dalam dua atau lebih
perilaku adaptif yang memengaruhi kehidupan sehari-hari dan umum.
Setelah berfokus hampir seluruhnya pada kognisi , definisi tersebut sekarang
mencakup komponen yang berkaitan dengan fungsi mental dan komponen yang
berkaitan dengan keterampilan fungsional individu dalam lingkungan sehari-hari.
Sebagai hasil dari fokus pada kemampuan seseorang dalam praktiknya, seseorang
dengan IQ yang sangat rendah mungkin masih tidak dianggap memiliki kecacatan
intelektual.
Kecacatan intelektual dibagi lagi menjadi kecacatan intelektual sindrom, di
mana terdapat defisit intelektual yang terkait dengan tanda dan gejala medis dan
perilaku lainnya, dan kecacatan intelektual non-sindrom, di mana defisit intelektual
muncul tanpa kelainan lain. Sindroma Down dan sindrom X rapuh adalah contoh dari
sindrom disabilitas intelektual.
Cacat intelektual mempengaruhi sekitar 2-3% dari populasi umum. Tujuh
puluh lima sampai sembilan puluh persen orang yang terkena dampak memiliki cacat
intelektual ringan. Kasus non-sindrom, atau idiopatik mencapai 30-50% dari kasus ini
Sekitar seperempat kasus disebabkan oleh kelainan genetik , dan sekitar 5% kasus
diturunkan dari orang tua seseorang . Kasus yang tidak diketahui penyebabnya
mempengaruhi sekitar 95 juta orang pada 2013
Pada masa kanak-kanak, ID ringan (IQ 50-69) mungkin tidak terlihat atau
diidentifikasi sampai anak mulai bersekolah. Bahkan ketika prestasi akademis yang
buruk diakui, mungkin diperlukan penilaian ahli untuk membedakan kecacatan
intelektual ringan dari ketidakmampuan belajar tertentu atau gangguan emosi /
perilaku. Orang dengan ID ringan mampu mempelajari keterampilan membaca dan
matematika hingga kira-kira setara dengan anak usia sembilan hingga dua belas tahun.
Mereka dapat belajar perawatan diri dan keterampilan praktis, seperti memasak atau
menggunakan sistem angkutan massal setempat. Saat individu dengan disabilitas
intelektual mencapai usia dewasa, banyak yang belajar untuk hidup mandiri dan
mempertahankan pekerjaan yang menguntungkan.
Identitas Sedang (IQ 35-49) hampir selalu terlihat dalam tahun-tahun pertama
kehidupan. Penundaan bicara adalah tanda-tanda ID sedang. Penyandang disabilitas
intelektual sedang membutuhkan dukungan yang cukup besar di sekolah, di rumah,
dan di masyarakat agar dapat berpartisipasi secara penuh. Meskipun potensi akademis
mereka terbatas, mereka dapat mempelajari keterampilan kesehatan dan keselamatan
sederhana dan berpartisipasi dalam kegiatan sederhana. Sebagai orang dewasa,
mereka mungkin tinggal bersama orang tua mereka, di rumah kelompok yang
mendukung, atau bahkan semi-mandiri dengan layanan dukungan yang signifikan
untuk membantu mereka, misalnya, mengelola keuangan mereka. Sebagai orang
dewasa, mereka mungkin bekerja di bengkel yang terlindung .
Orang dengan Parah (IQ 20-34) atau ID Mendalam (IQ 19 atau lebih rendah)
membutuhkan dukungan dan pengawasan yang lebih intensif untuk seluruh hidup
mereka. Mereka mungkin mempelajari beberapa ADL, tetapi kecacatan intelektual
dianggap parah atau mendalam ketika individu tidak dapat merawat dirinya sendiri
tanpa bantuan signifikan yang berkelanjutan dari pengasuh selama masa dewasa.
Individu dengan ID yang dalam sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk semua
ADL dan untuk menjaga kesehatan fisik dan keselamatan mereka. Mereka mungkin
dapat belajar untuk berpartisipasi dalam beberapa kegiatan ini sampai tingkat tertentu.
C.Mendefinisikan perbedaan
Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2016 yang menyurvei 2816
kasus, ditemukan bahwa subset teratas yang membantu membedakan antara orang-
orang dengan ID dan ASD adalah, "... gangguan perilaku sosial non-verbal dan
kurangnya timbal balik sosial, dibatasi minat, kepatuhan yang ketat pada rutinitas,
perilaku motorik stereotip dan berulang, dan keasyikan dengan bagian-bagian objek ".
Penderita ASD cenderung menunjukkan lebih banyak kekurangan dalam perilaku
sosial non-verbal seperti bahasa tubuh dan pemahaman isyarat sosial. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 terhadap 336 individu dengan berbagai
tingkat ID, ditemukan bahwa mereka yang memiliki ID menampilkan lebih sedikit
contoh perilaku berulang atau ritualistik. Itu juga mengenali bahwa mereka dengan
ASD, jika dibandingkan dengan mereka yang menderita ID, lebih mungkin untuk
mengisolasi diri mereka sendiri dan membuat lebih sedikit kontak mata. Dalam hal
klasifikasi ID dan ASD memiliki pedoman yang sangat berbeda. ID memiliki
penilaian standar yang disebut Supports Intensity Scale (SIS), ini mengukur tingkat
keparahan pada sistem yang dibangun berdasarkan seberapa banyak dukungan yang
dibutuhkan seseorang. Sementara ASD juga mengklasifikasikan tingkat keparahan
berdasarkan dukungan yang diperlukan, tidak ada penilaian standar, dokter bebas
untuk mendiagnosis keparahan berdasarkan penilaian mereka sendiri.
D.Penyebab
Sindrom Down adalah penyebab genetik kecacatan intelektual yang paling umum.
Masalah selama kehamilan . Cacat intelektual bisa terjadi jika janin tidak
berkembang dengan baik. Misalnya, mungkin ada masalah dengan cara sel janin
membelah saat ia tumbuh. Seorang wanita hamil yang meminum alkohol (lihat
kelainan spektrum alkohol janin ) atau terkena infeksi seperti rubella selama
kehamilan mungkin juga memiliki bayi dengan disabilitas intelektual.
Masalah saat lahir. Jika bayi mengalami masalah selama persalinan dan
kelahiran, seperti tidak mendapatkan cukup oksigen , ia mungkin mengalami
gangguan perkembangan karena kerusakan otak.
Terpapar jenis penyakit atau racun tertentu . Penyakit seperti batuk rejan ,
campak , atau meningitis dapat menyebabkan cacat intelektual jika perawatan medis
tertunda atau tidak memadai. Paparan racun seperti timbal atau merkuri juga dapat
memengaruhi kemampuan mental.
Secara klinis , disabilitas intelektual adalah subtipe dari defisit atau disabilitas
kognitif yang mempengaruhi kemampuan intelektual , yang merupakan konsep yang
lebih luas dan mencakup defisit intelektual yang terlalu ringan untuk memenuhi syarat
sebagai disabilitas intelektual, atau terlalu spesifik (seperti pada ketidakmampuan
belajar tertentu ), atau diperoleh kemudian dalam kehidupan melalui cedera otak yang
didapat atau penyakit neurodegeneratif seperti demensia . Defisit kognitif dapat
muncul pada usia berapa pun. Kecacatan perkembangan adalah segala kecacatan yang
disebabkan oleh masalah pertumbuhan dan perkembangan . Istilah ini mencakup
banyak kondisi medis bawaan yang tidak memiliki komponen mental atau intelektual,
meskipun terkadang juga digunakan sebagai eufemisme untuk kecacatan intelektual.
C. Hyperactivity Disibilities
Gangguan hiperaktif merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada
gangguan perilaku anak. Namun dalam ADHD (Attention Deficit Hyperactive
Disorder) dimana hiperaktif (perilaku yang tidak terkontrol) sebagai symptom utamanya.
ADHD bisa disebut Gangguan Pemusatan Perhatian/hiperaktivitas (GPPH) merupakan
suatu sindrom neuropsikiatrik yang sering dijumpai dengan onset usia anak-anak.
Kondisi ini merupakan suatu gangguan heterogen dengan etiologi yang tidak diketahui.
Beberapa bentuk perilaku yang nampak seperti : seorang anak yang tidak pernah
duduk tenang didalam kelas, dia selalu bergerak, atau anak yang melamun saja dikelas,
tidak dapat memusatkan perhatin pada proses belajar dan cenderung tidak bertahan lama
untuk menyelesaikan tugas, atau anak yang selalu bosan dengan tugas yang dihadapi dan
selalu bergerak ke hal lain, adalah bentuk perilaku umum lainnya yang menjadi ciri
khas dari ADHD.
Prevalensi ADHD sangat terkait dengan gender. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelitian Breton yang dilakukan pada 1999, menyatakan bahwa anak laki- laki lebih
banyak mengalami ADHD dengan estimasi 2-4 % untuk anak
perempuan dan 6-9 % untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun (Baihaqi &
Sugiarmin,2006).
Seringkali seorang anak yang memiliki aktivitas yang berlebihan atau mengalami
gangguan ADHD mendapat “ label” sebagai anak nakal, bodoh, bandel, bahkan idiot
tanpa ada perhatian khusus. Sehingga anak-anak tersebut tidak mendapatkan
penanganan yang tepat, seperti kekerasan yang dilakukan orang tua maupun guru
kelasnya. Hal ini diakibatkan kurangnya perhatian dan pemahaman orang tua dan tenaga
pendidik tentang ADHD.
Pada penderita ADHD terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri dan
aktifitas yang berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak nekat dan impulsif,
kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain.
Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas
dalam mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan
daya konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah
marah, sulit bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya (Baihaqi & Sugiarmin,
2006).
Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai dengan adanya gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yag spesifik.
Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder. Mereka sering
menunjukkan tindakan antisosial dengan berbagai alasan sehingga orang tua, guru dan
lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.
Selain itu anak ADHD cenderung bertindak ceroboh, mudah tersinggung, lupa
pelajaran sekolah dan tugas rumah, kesulitan mengerjakan tugas disekolah maupun di
rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah,
sering keceplosan bicara, tidak sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan
bertindak berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan suka membuat keributan, dan
suka memotong dan ikut pembicaraan orang lain (Fanu, 2006).
Beberapa ahli, seperti Bradley, seorang dokter dari Amerika (dalam Fanu,2006)
menggunakan obat-obatan seperti Methylphenidate (Ritalin) dan Benzedrine yaitu obat
yang dipercaya dapat menurunkan hiperaktivitas, meningkatkan control perhatian anak,
mengontrol impulsivitas, mapu untuk mengerjakan tugas tanpa penolakan, dan
meningkatkan prestasi akdemik.
Efek-efek negatif inilah yang mendasari bahwa dibutuhkan alternatif terapi yang
lain. Alternatif terapi yang bisa digunakan adalah modifikasi perilaku. Tidak seperti
terapi obat, yang terkadang anak enggan ataupun bosan jika setiap saat harus meminum
obat. Sedangkan dengan modifikasi perilaku, terapi yang sangat efektif diterapkan untuk
anak-anak karena tidak menimbulkan efek samping pada kesehatan. Modifikasi perilaku
adalah salah satu teknik yang didasarkan pada pendapat bahwa perilaku terbentuk
berdasarkan prinsip-prinsip operant- conditioning atau stimulus respon melalui modelling
diperkuat oleh reinforcement baik positif maupun negatif. Berdasarkan prinsip-prinsip
inilah, para ahli psikologi perilaku mencetuskan metode modifikasi perilaku ini untuk
meningkatkan efektivitas hidup seseorang. Metode ini lebih populer daripada psikoterapi,
karena dapat dilakukan sendiri oleh seseorang dan tidak harus tergantung pada
psikoterapis.
Konsep dari prosedur terapi ini adalah teori Skiner yakni Operant conditioning
yang lebih menekankan pada pengkondisian atau pembiasaan dimana setiap perilaku
yang diikuti oleh penguat (reinforcement) positif cenderung akan diulangi. Sedangkan
respon-respon yang diikuti oleh hukuman atau tidak diikuti oleh penguat cenderung
melemah untuk kemudian menghilang. Sebuah pembentukan terjadi karena proses
pembiasaan dan pengulangan- pengulangan.
Skiner (Dalam Slavin 1994), memusatkan hubungan antara tingkah laku dan
konsekwensinya. Jika tingkah laku seseorang diikuti oleh konsekwensi yang
menyenangkan maka orang itu akan mengurangi tingkah laku itu sesering mungkin.
Konsekwensi digunakan untuk mengontrol terjadinya tingkah laku. Konsekwensi adalah
kondisi yang mengikuti tingkah laku dan mempengaruhi tingkah laku yang akan datang.
Pada penyakit mental telah diterapkan pada pasien kronis untuk memodifikasi
perilaku tersebut sebagai keterampilam hidup sehari-hari, perilaku sosial, perilaku
agresif, kepatuhan pengobatan, perilaku psikotik, dan keterampilan kerja (Scotti,
mcMorrow, & Trawitzki, 1993). Dalam dunia pendidikan, metode ini telah digunakan
untuk meningkatkan teknik-teknik pengajaran dan meningkatkan pembelajaran siswa
(Michael, 1991). Dalam pendidikan khusus, yaitu pendidikan dengan orang-orang cacat
di dalamnya
modifikasi perilaku telah memainkan peran utama (Rusch, Rose, & Greenwood,
1988) dalam mengembangkan metode pengajaran, masalah pengendalian perilaku di
dalam kelas, meningkatkan perilaku sosial dan keterampilan fungsional ,
mempromosikan pengelolaan diri, dan pelatihan guru). Metode ini juga telah diterapkan
dalam self management, dalam hal ini pengelolaan diri untuk mengontrol kebiasaan
pribadi, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, perilaku profesional, dan
masalah-masalah pribadi (Bringham, 1989; Epstein, 1996; Watson & Tharp, 1993,
Yates, 1986). Dalam hal pencegahan anak, orang tua dan guru dapat mengatasi perialku
mengompol, menggigit kuku, marah- marah, ketidakpatuhan, perilaku agresif, perilaku
buruk, gagap, dan msalah umum lainnya (Watson & Gresham, 1998).
Dalam penerapan prinsip ini peneliti yang berperan sebagai terapis utama di
sekolah, dan orang tua berperan sebagai terapis di rumah. Sekolah merupakan tempat
dimana anak sering memunculkan perilaku mengganggunya bahkan mengganggu
didalam kelas yang seharusnya anak tersebut memperhatikan pelajaran. Dalam hal ini
guru juga ikut membantu dalam proses treatment, peneliti dan guru harus memberikan
rutinitas setiap harinya melalui perilaku yang baik. Sehingga akan menjadi sebuah
pembiasaan bagi anak dan nantinya anak tidak akan memunculkan perilaku maladaptif
lagi. Hal ini dimaksudkan karena guru memiliki pengaruh yang sangat penting pada masa
pertengahan dan akhir anak- anak. Guru merupakan simbol otoritas dan menciptakan
iklim kelas, kondisi- kondisi interaksi diantara murid-murid dan hakekat keberfungsian
kelompok. Karena dalam satu atau beberapa hal hampir semua kehidupan setiap orang
dipengaruhi oleh guru. Dalam studi baru-baru ini diketahui bahwa dukungan guru
memberi pengaruh yang kuat bagi prestasi murid-murid, (Santrock, 2004). Disini pihak
orang tua juga sangat berpengaruh terhadap proses treatment, sebagai significant other
dan sebagai orang terdekat subyek yang lebih mengetahui bagaimana bentuk perilaku
subyek setiap harinya. Tujuan melibatkan peran orang tua ini adalah untuk melanjutkan
proses treatment dari sekolah dan menerapkan kembali di rumah, agar proses treatment
dapat berjalan dengan maksimal.
D. Speech or leaguae
Pidato dan bahasa berbeda. Seseorang bisa memiliki masalah dengan salah
satu atau keduanya.
Pidato adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia melalui artikulasi suara
yang keluar dari mulut dan hidung kita (dengan bantuan saraf kranial, paru-paru, pita
suara, tenggorokan, langit-langit lunak, gigi, otot wajah dan leher serta lidah). Pidato
adalah salah satu cara kita mengekspresikan bahasa.
Bahasa adalah metode yang digunakan manusia untuk berkomunikasi satu
sama lain, sering kali melibatkan kata dan simbol yang digunakan secara sadar oleh
suatu kelompok dengan cara yang terstruktur atau konvensional.
Gangguan Bahasa dan Ucapan
Kita bisa mengalami masalah bicara, bahasa, atau keduanya. Kesulitan
memahami apa yang dikatakan orang lain adalah gangguan bahasa reseptif . Memiliki
masalah dalam berbagi pikiran, ide, dan perasaan adalah gangguan bahasa ekspresif .
Dimungkinkan untuk memiliki masalah bahasa reseptif dan ekspresif.
Contohnya
Maryam mengalami stroke. Dia hanya bisa mengucapkan satu atau dua kata
dalam satu waktu. Dia tidak bisa memberi tahu putranya apa yang dia inginkan dan
butuhkan. Dia juga kesulitan mengikuti petunjuk sederhana.
Maryam memiliki gangguan bahasa reseptif dan ekspresif . Dia tidak mengerti
apa arti kata-kata dan kesulitan menggunakan kata-kata untuk berbicara dengan orang
lain.
Anak-anak mungkin mendengar atau melihat sebuah kata tetapi tidak dapat
memahami artinya. Mereka mungkin kesulitan membuat orang lain memahami apa
yang mereka coba komunikasikan. Gejala-gejala ini dapat dengan mudah
disalahartikan sebagai kecacatan lain seperti autisme atau ketidakmampuan belajar,
jadi sangat penting untuk memastikan bahwa anak tersebut menerima evaluasi
menyeluruh oleh ahli patologi wicara-bahasa bersertifikat.
Sebagian besar, jika tidak semua, siswa dengan gangguan wicara atau bahasa
akan membutuhkan layanan patologi wicara-bahasa. Layanan terkait ini didefinisikan
oleh IDEA sebagai berikut:
Teknologi bantuan (AT) juga dapat sangat membantu siswa, terutama mereka
yang kondisi fisiknya membuat komunikasi menjadi sulit. Setiap tim IEP siswa perlu
mempertimbangkan apakah siswa tersebut akan mendapat manfaat dari AT seperti
sistem komunikasi elektronik atau perangkat lain. AT sering kali merupakan kunci
yang membantu siswa terlibat dalam memberi dan menerima pemikiran bersama,
menyelesaikan tugas sekolah, dan mendemonstrasikan pembelajaran mereka
- Bertemu dengan sekolah dan kembangkan IEP untuk memenuhi kebutuhan anak
Anda. Jadilah pembela anak Anda. Anda paling mengenal putra atau putri Anda,
bagikan apa yang Anda ketahui.
- Dapatkan informasi lengkap tentang terapi wicara-bahasa yang diterima putra atau
putri Anda. Bicaralah dengan SLP, cari tahu bagaimana menambah dan memperkaya
terapi di rumah dan di lingkungan lain. Cari tahu juga apa yang tidak boleh dilakukan!
- Beri anak Anda tugas. Tugas membangun kepercayaan diri dan kemampuan. Ingatlah
usia, rentang perhatian, dan kemampuan anak Anda. Bagi pekerjaan menjadi langkah-
langkah yang lebih kecil. Jelaskan apa yang harus dilakukan, langkah demi langkah,
sampai pekerjaan selesai. Mendemonstrasikan. Berikan bantuan saat dibutuhkan. Puji
pekerjaan (atau bagian dari pekerjaan) yang dilakukan dengan baik.
- Dengarkan anak Anda. Jangan terburu-buru mengisi celah atau melakukan koreksi.
Sebaliknya, jangan memaksa anak Anda untuk berbicara. Sadarilah cara lain di mana
komunikasi terjadi di antara orang-orang.
- Bicaralah dengan orang tua lain yang anaknya memiliki gangguan bicara atau bahasa
yang serupa. Para orang tua dapat membagikan nasihat praktis dan dukungan
emosional. Lihat apakah ada orang tua di dekat Anda dengan mengunjungi program
Parent to Parent USA dan menggunakan peta interaktif.
- Tetap berhubungan dengan guru anak Anda. Tawarkan dukungan. Peragakan
teknologi pendukung yang digunakan anak Anda dan berikan informasi yang
dibutuhkan guru. Cari tahu bagaimana Anda dapat meningkatkan pembelajaran
sekolah anak Anda di rumah
Gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu
externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizing behavior memiliki
dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif,
membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri.
Internalizing behavior mempengaruhi siswa dengan berbagai macam gangguan seperti
kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan
kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama
buruknya terhadap kegagalan dalam belajar di sekolah (Hallahan & Kauffman, 1988;
Eggen & Kauchak, 1997).Lebih lanjut, Hallahan & Kauffman (1988) menjelaskan
tentang karakteristik anak dengan gangguan perilaku dan emosi, sebagai berikut:
Dirjen PLB merumuskan ciri-ciri perilaku anak dengan gangguan emosi dan
perilaku dengan tipe externalizing behavior setidak-tidaknya memiliki empat ciri,
yaitu :
a) Bersikap membangkang.
b) Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
c) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d) Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
Gangguan perkembangan pada otak dan saraf (neurologis) dapat memengaruhi kemampuan anak
dalam berinteraksi, bersoliasisasi, berperilaku, dan berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal,
seiring ia bertumbuh besar.
Kondisi yang termasuk dalam spektrum ini antara lain autisme, sindrom Asperger, sindrom Heller,
dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS). Disebut sebagai “spectrum” karena kelainan ini
memiliki banyak variasi jenis penyakit, perwujudan gejala, dan tingkat keparahan kondisi yang
berbeda pada setiap orang.
Artinya, satu anak yang mengalami satu jenis autism spectrum disorder mungkin memiliki gejala
yang berbeda dengan anak lainnya; yang mungkin mengidap penyakit sama atau gangguan lainnya
dalam spektrum tersebut.
Sebagai contoh, ada beberapa anak yang memiliki tingkat kecerdasan rendah sehingga sulit untuk
belajar dan memahami. Di sisi lain, beberapa anak pengidap ASD mungkin memiliki kecerdasan luar
biasa dan cepat belajar. Namun, mereka kesulitan untuk berkomunikasi dan menerapkan
pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, serta sulit untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar.
Gangguan kemampuan sosial adalah gejala paling umum muncul pada semua jenis autism spectrum
disorder. Contoh masalah sosial yang umumnya dihadapi anak dengan ASD, yaitu:
Saat usia menginjak satu tahun, anak tampak tidak mampu memberi respons ketika berinteraksi;
misalnya segera menoleh ketika namanya dipanggil.
Autism spectrum disorder juga membuat bayi sulit berinteraksi dengan orang lain, contohnya
menyalin kata-kata yang diucapkan orang lain atau mengikuti gerakan orang lain, seperti tepuk
tangan dan melambai.
Ketika ia bertambah besar, ia mungkin tidak mengerti bagaimana caranya menjalin pertemanan
karena ia sendiri cenderung tidak ingin melakukan kontak fisik dengan orang lain, seperti dipeluk
atau memeluk.
Anak dengan GSA juga cenderung memiliki keterampilan berkomunikasi yang terhambat ketimbang
anak-anak lain sepantaran. Satu studi bahkan mengungkapkan sekitar 40% anak dengan kondisi ini
tidak berbicara sama sekali (tapi tidak bisu).
Masalah berkomunikasi yang sering dihadapi anak dengan ASD, antara lain:
Anak yang terkena autism spectrum disorder kadang menunjukkan perilaku dan minat yang
biasanya tidak dilakukan anak lain seusianya, seperti:
Menyukai bagian tertentu dari suatu objek, seperti roda pada mobil mainan.
Sering mengurutkan sesuatu benda, sangat rapi dan terorganisir
Sering melakukan gerakan berulang yang melibatkan satu atau seluruh bagian tubuh.
Contohnya, mengepakkan tangan, berlari berputar-putar, mengayunkan tubuh ke sisi kanan
dan kiri.
Melakukan suatu kegiatan berulang, seperti mematikan dan menyalakan lampu.
Merasa kegiatan yang dilakukan harus berjalan lancar dan rutin. Jika ada kegiatan lain yang
tidak biasanya dilakukan ia akan marah, kesal, atau menangis.
Selain kemampuan berkomunikasi dan sosial yang kurang baik, anak dengan autism spectrum
disorder juga menunjukkan gejala lainnya, seperti:
Hiperaktif (sangat aktif) dan kadang bertindak tanpa berpikir panjang (impulsif)
Mudah marah dan kadang melakukan hal yang bisa melukai diri sendiri
Sangat sensitif dengan berbagai hal, seperti bau, suara, atau rasa yang dianggap normal oleh
orang lain
Kadang memiliki kebiasaan makan yang tidak biasa, yakni makan tembok, rambut, atau
tanah
Tidak takut pada hal-hal yang membahayakan atau sangat takut pada hal yang tidak
berbahaya
Ilmuwan tidak mengetahui penyebab pasti dari autism spectrum disorder. Namun, mereka sepakat
bahwa perkembangan kelainan ini dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan sejak dalam
kandungan.
Rangkuman beberapa studi menyatakan bahwa autisme dapat menjadi hasil dari gangguan
pertumbuhan otak di awal masa perkembangan janin. Gangguan ini dapat merupakan efek dari
mutasi gen yang mengontrol perkembangan otak dan mengatur bagaimana sel otak berhubungan
antar satu sama lain.
Dalam tes pencitraan pada penderita autisme juga sempat ditemukan perbedaan pola
perkembangan beberapa area otak ketika dibandingkan dengan anak lain yang tidak memiliki
gangguan tersebut.
Jenis kelamin. Autisme terjadi 4 kali lebih sering pada anak laki-laki dibanding perempuan.
Riwayat keluarga. Keluarga yang memiliki anak dengan GSA, memiliki risiko tinggi melahirkan
anak dengan kondisi serupa. Pada kasus jarang, kelainan ini diturunkan dari anggota
keluarga jauh.
Penyakit lain. ASD cenderung terjadi lebih sering pada anak dengan genetik atau kondisi
kromosom tertentu, seperti sindrom fragile X, sklerosis tuberous, atau sindrom Rett
(lambatnya pertumbuhan kepala).
Bayi prematur. Bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 26 minggu, berisiko besar mengalami
gangguan ini.
Usia orangtua. Peneliti menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia orangtua
dengan anak autisme. Akan tetapi, dibutuhkan riset lebih lanjut untuk mengetahui hasilnya
lebih baik.
Satu yang pasti dan sudah terbukti adalah, beberapa studi menunjukkan bahwa vaksinasi tidak akan
meningkatkan risiko autism spectrum disorder.
Mengamati kebiasaan anak dan caranya berinteraksi dan berkomunikasi selama perawatan.
Menguji kemampuan anak dalam mendengar, berbicara, dan mendengarkan.
Melakukan tes pencitraan untuk mengetahui adanya kelainan genetik yang menjadi faktor
risiko dari autism spectrum disorder.
Anak-anak yang mengalami masalah dengan keterampilan ini akan direkomendasikan mengikuti
terapi perilaku dan komunikasi. Pada terapi ini, si kecil akan diajarkan keterampilan baru lewat
permainan tertentu. Dari permainan dan kegiatan tersebut, si kecil akan mempelajari cara bertindak
dalam situasi-situasi sosial dan melancarkan kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain.
2. Terapi pendidikan
Anak-anak yang kesulitan menerima pelajaran di sekolah, bisa mengikuti terapi ini. Para pengajar
yang terlatih akan memberikan program pendidikan yang terstruktur , sehingga lebih mudah
diterima anak dengan autism spectrum disorder.
Tidak seperti kelas biasa, si kecil akan diberi satu pengajar khusus. Dengan begitu, pengajar dapat
mengerahkan perhatian sepenuhnya pada anak. Begitu juga anak dapat memusatkan konsentrasi
pada pengajar dengan lebih baik karena minimnya gangguan dari teman atau orang lain.
Pada beberapa kasus, anak dengan ASD membutuhkan terapi fisik. Biasanya ini direkomendasikan
pada anak yang sering kali melakukan gerakan berulang, sehingga membuatnya mudah terjatuh.
Pada terapi ini, terapis akan membantu meningkatkan keseimbangan si kecil dan membantunya
mengurangi gerakan berulang yang tidak perlu. Untuk mengasah keterampilan anak dalam
memproses sensorik, di kecil akan diberi mainan yang bisa merangsang indera, seperti squishy atau
trampolin.
Sementara untuk mengurangi sensitivitas anak dengan suara, ia akan diajarkan mengenal berbagai
bunyi bahkan memainkan alat musik.
4. Obat-obatan
Selain terapi, pemberian obat juga bisa membantu mengendalikan gejala. Obat ini biasanya
diberikan pada anak yang sangat hiperaktif dan mengalami cemas berlebihan. Dokter akan
meresepkan obat antipsikotik dan antidepresan sesuai dengan kebutuhan anak.
Pengobatan yang dijalani dapat bersifat tunggal, maupun kombinasi, tergantung dengan berbagai
gejala yang dialami anak. Perawatan yang dilakukan dapat berubah seiring waktu sesuai sejalan
dengan peningkatan kesehatan anak. Selalu konsultasi kesehatan si kecil sebelum memilih
pengobatan maupun selama menjalani perawatan.
G. Special Education)
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang yang
disebut Pendidikan Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education), selama
beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi
oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan
pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan bahwa selama berabad abab di semua Negara di
dunia, individu yang keadaannya berbeda dari kebanyakan indivividu pada
umumnya (menyandang kecacatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh adanya anggapan anggota kelompok yang terlalu lemah
(penyanang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya.
Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan, tidak
mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna, keberadaan
penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
Di masa lalu, ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hakekat
dan penyebab kecacatan menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga
berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul. Misalnya seorang ibu yang
melahirkan anak penyandanc cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa
nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lalu, anak-anak penyandang cacat sering
disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat
merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan barus
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak
penyandang cacat. Menyelatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi
penting karena dipandang sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju
dari sari suatu bangsa,
meskipun anak-anak penyandang cacat memerlukan perhatgian ekstra
(Miriam, 2001). Pandangan orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa
memelihara dan membesarkan anak merupakan investsi agar kelak anak dapat
membalas jasa orang tuanya menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu
mulai bediri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, dan panti social
yang secara khusus mendidik dan merawat anak penyandang cacat. Mereka yang
menyandang kecacatan dipandang memiliki karakteristik yang bebeda dari orang
kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan
metode khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu pendidikan anak-
anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak-
anak lainnya. Konsep pendidikan sepeti inilah yang disebut dengan Special
Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi Pendidikan Luar Biasa atau
Pendidikan Khusus), yang melahirkan system sekolah segregasi (Sekolah Luar
Biasa).
Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam
sistem pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek
karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang
khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah
khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan
tunadaksa). Layanan yang terpisah dari pendidikan biasa. pendidikan seperti ini
disebut dengan sistem pendidikan segregasi. Oleh karena itu terdapat dikotomi
antara pendidikan khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan
pendidikan biada/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
Dengan kata lain fokus utama dari Special Education/ PLB adalah label kecacatan
bukan anak sebagai indvidu yang unik.
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB (special education) melahirkan
layanan pendidikan yang bersifat segregasi dan layanan pendidikan integrasi.
Layanan pendidikan segregasi yaitu layanan pendidikan yang diberikan pada satu
jenis kecacatan tertentu dalam bentuk sekolah khusus seperti sekolah khlusus untuk
anak tunanetra, sekolah khusus untuk anak tunarungu, dst. Sementara itu, layanan
pendidikan yang dianggap lebih maju yaitu anak-anak yang menyandang
kecacatan layanan pendidikannya di satukan dengan anak bukan penyandang cacat
di sekolah biasa, dengan syarat anak-anak penyandang cacat dapat diterima di
sekolah biasa apabila dapat mengikuti ketentuan yang beralaku bagi anak-anak
bukan penyandang cacat.
b. Pendidikan Integrasi
Dalam organisasi ini anak penyandang cacat secara penuh berada di kelas
dan sekolah regular. Layanan pendidikan yang diperoleh oleh anak penyandang
cacat sama seperti yang diperoleh oleh anak pada umumnya. Artinya anak
penyandang cacat harus mengikuti standar yang berlaku bagi anak bukan
penyandang cacat dalam hal kurikulum, evalusai, dan dalam penggunaan fasilitas.
Dalam organisasi seperti ini anak penyandang cacat yang belajar di sekolah
regular memperoleh dukungan dalam hal-hal tertentu yang tidak mungkin
diperoleh secara bersama dengan yang bukan penyandang cacat. Misalnya seorang
anak tunanetra memperoleh dukungan ketika mengerjakan soal ujian, ada orang lain
yang membacakan soal-soal utuk dijawab. Demikian juga guru mendapat dukungan
dari guru khusus ketika harus memeriksa hasil ujian yang ditulis dalam tulisan
braille.
c. Kelas reguler full out support
Organisasisi integrasi full out support adalah anak penyandang cacat yang
belajar di sekolah reguler pada waktu-waktu tertentu dapat ditarik keluar dari
kelas untuk belajar bidang pelajaran tertentu yang dilakukan di tempat khusus
(ruang sumber). Setelah itu kembali lagi ke kelas regular.
H. PENDIDIKAN INKLUSI
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. Johann Herbart adalah bapak psikologi pendidikan yang konon menurut sebagian ahli
masih disiplin ilmu psikologi lainnya.
5. Manfaat pembelajaran psikologi antara lain: untuk mempelajari situasi dalam situs
pembelajaran serta penerapan prinsip-prinsip belajar mengajar.
B. Saran
1. Dalam penerapan metode pembelajaran terhadap peserta didik harus disesuaikan dengan
kondisi siswanya.
2. Sebagai seorang yang dijadikan contoh haruslah perhatian penuh pertimbangan karena
sebagai figur anak-anak dan peserta didik.
3. Sebaiknya bagi calon tenaga pendidik tidak menjadikan makalah ini sebagai satu-
satunya referensi dan bahan ajar.
DAFTAR PUSTAKA
Jamaris, Martini. 2010 Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan. Yayasan Penamas
Murni: Jakarta.
Eggen, Paul dan kauchak, Don. 2004. Educational Psychology. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
http://santoson111.blogspot.com/2018/12/makalah-pengantar-psikologi-pendidikan.html?
m=1
https://sites.google.com/a/mhs.uinjkt.ac.id/intan-permata-sari/semester-2/7
https://translate.googleusercontent.com/translate_c?
client=srp&depth=1&hl=id&nv=1&prev=search&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt
4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Intellectual_disability&usg=ALkJrhjvnxOC1yfN
8oV9jhPFodNGi1XpDg
https://translate.googleusercontent.com/translate_c?
client=srp&depth=4&hl=id&nv=1&prev=search&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt
4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Emotional_and_behavioral_disorders&usg=ALk
JrhiVz44XjB-VTVQrB7LOaJpL-62o6w
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241984031-
ZAENAL_ALIMIN/modul_1_UNIT_1_.pdf