Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

“TEORI DAN APLIKASI TEORI PEMBELAJARAN DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS”

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Dosen pengampu:

Prof. Dr. Drs. Ekawarna, M.Psi.


Disusun Oleh :

kelompok 3 :

1. Dina Alintia (A1C420037)


2. Lusi Rahmadani (A1C420005)
3. Miska Dewi (A1C420018)
4. Pradita Tiara Handayani (A1C420040)
5. Rejil Kholiq Pranata (A1C420090)

PROGRAM STUDI PENDIDKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Psikologi Pendidikan yang berjudul”TEORI
DAN APLIKASI TEORI PEMBELAJARAN DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS” Sholawat beriring
salam semoga tetap bercurah pada nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya serta para
pengikutnya yang selalu istiqomah menjalankan sunnah-sunnah beliau.

Penulis berharap makalah ini dapat digunakan sebagai penambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam terselesainya makalah ini.

Penulis juga sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penulisan makalah ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang
bersifat membangun guna menyempurnakan makalah selanjutnya.

Jambi, November 2020


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................ii

Daftar Isi ..................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1

1.1 latar Belakang......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1

1.3 Tujuan Masalah...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................

        2.1.      Types Exeptionalities ........................................................................................2

            2.2.      Intelecctual Disabilities……… ............................................................................2

2.3 Hyperactivity.....................................................................................................2

2.4 Speech or Language..........................................................................................2

2.5 Emotional And Behavior Disorder....................................................................4

2.6 Autism Spectrum Disoerder.............................................................................8

2.7 Special Education..............................................................................................9

2.8 Pendidikan Inklusif

BAB III PENUTUP

            Kesimpulan ..................................................................................................................10

Saran............................................................................................................................10

Daftar Pustaka .......................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami sesama
manusia, dengan tujuan dapat memperlakukannya dengan lebih cepat. Karena itu
pengetahuan psikologis mengenai anak didik dalam proses pendidikan adalah hal
yang penting dan penting bagi setiap pendidik. Karakteristik spesifik anak
berkebutuhan khusus pada umumnya berkaitan dengan tingkat perkembangan
fungsional. Karakteristik spesifik tersebut meliputi tingkat perkembangan sensorik
motor, kognitif, kemampuan berbahasa, keterampilan diri, konsep diri, kemampuan
berinteraksi social, serta kreatifitasnya.Adanya perbedaan karakteristik setiap peserta
didik berkebutuhan khusus, akan memerlukan kemampuan khusus guru. Guru dituntut
memiliki kemampuan beraitan dengan cara mengombinasikan kemampuan dan bakat
setiap anak dalam beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut meliputi kemampuan
berpikir, melihat, mendengar, berbicara, dan cara besosialisasikan. Hal-hal tersebut
diarahkan pada keberhasilan dari tujuan akhir pembelajaran, yaitu perubahan perilaku
kearah pendewasaan.

.   2.RUMUSAN MASALAH

A. Bagaimana menguasai teori dan aplikasi teori pembelajaran dengan kebutuhan


Khusus.

3.TUJUAN MASALAH

Untuk mengetahui teori aplikasi dan teori pembelajaran dengan kebutuhan khusus.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Types Exeptionalities
1. Hambatan Kecerdasan
Hamabatan kecerdasan atau sering dikenal dengan sebutan tunagrahita adalah
kondisi anak yang tingkat kecerdasannya jauh dibawah rata – rata yang ditandai
oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi sosial. Kondisi
yang dimulai sebelum usia 18 tahun yang meliputi rendahnya inteligensi dan
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari (Santrock,
2009: 255). Anak tunagrahita dengan keterbatasan kecerdasan yang diamiliki
sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa, oleh karena itu anak
terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni
disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Karakteristik umum yang dimiliki seorang anak yang mengalami hambatan
kecerdasan atau tunagrahita meliputi tiga hal, diantaranya adalah:

1.Keterbelakangan Intelegensi

Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan


sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-
ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi
kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif,
dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi
kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan (Maria,
2007:28). Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut.
Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti
belajar berhitung, menulis, dan membaca juga terbatas.

2. Keterbatasan Sosial

Di samping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga


memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena
itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman
dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap orang tua
sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab social dengan bijaksana,
sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah
dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

Hambatan kecerdasan yang dialami anak tunagrahita tidak semata-


mata terjadi begitu saja, namun ada beberapa faktor penyebab tejadinya
hambatan kecerdasan bagi setiap anak-anak. Faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Faktor Genetik (Keturunan)


Faktor genetik merupakan faktor utama yang menyebabkan
anak mengalami hambatan kecerdasan. Ada dua sindrum yang
diidentifikasi sebagai penyebab anak memiliki hamabatan
kecerdasan, pertama Sindrum Down (Down syndrome) anak yang
menderita sindrom ini mempunyai wajah yang bulat, tengkorak
yang rata, tambahan lipatan kulit diklopak mata, tubuh pendek dan
keterbelakangan mental serta motoriknya. Kedua Fragile X
syndrome, syndrome ini diturunkan secara genetic melalui
keromoson X yang abnormal, mengakibatkan retardasi mental
ringan sampai berat.
2. Kerusakan Sistem Otak
Kerusakan otak disebabkan dari calon ibu hamil yang terinfeksi
rubela, sifilis, herpes dan AIDS yang dapat menyebabkan
keterbelakangan pada anak. Infeksi tersebut menyebabkan
peradangan di otak dan menyebabkan kerusakan sistem otak
3. Faktor Lingkungan
Hal-hal berbahaya dilingkungan yang menyebabkan hamabatan
kecerdasan anak meliputi, pukulan dikepala, malnutrisi,
keracunan, luka pada saat kelahiran, dan alkoholisme atau
kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol yang parah oleh ibu
hamil (Santrock, 2009: 257-258).
2. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar atau gangguan belajar (learning disorder) adalah gangguan
belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang signifikan
antara taraf intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya
dicapai.Anak berkesulitan belajar adalah salah satu dari mereka yang berada
dalam kelompok anak berkebutuhan khusus (children with special needs).
Mereka adalah anak yang memiliki disfungsi minimum otak (DMO), sehingga
menyebabkan tercampur aduknya sinyal-sinyal di antara indera otaknya atau
terjadi gangguan dalam neurobiologistyang menimbulkan gangguan berbagai
perkembangan, misalnya:

a. Disleksia, adalah satu kategori yang ditunjukan bagi individu yang memiliki
kelemahan serius dalam kemampuan untuk membaca dan mengeja.

b. Disgrafia, adalah kesulitan belajar yang ditandai dengan adanya kesulitan


dalam mengungkapkan pemikiran dalam komposisi tulisan.

c. Diskalkulia, adalah kesulitan belajar dalam perhitungan matematika.


(Santrook, 2009: 248)

3. ADHD (Attention Deficit Hypercactivity Disorder)


ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik
anak-anak hingga menyebabkan perilaku anak yang berlebihan(hiperaktif) dan
tidak lazim yang ditandai dengan gangguan pemusatan perhatian dan gangguan
konsentrasi(in attention), berbuat dan berbicara tanpa memikirkan
akibat(impulsif). ADHD adalah suatu kondisi yang pernah dikenal sebagai
Attention Deficit Disorder (sulit memusatkan perhatian), Kejadian ADHD di
seluruh dunia bisa mencapai 3-5% dan kebanyakan penderita ADHD adalah laki-
laki.

Cara menanggulangi ADHD pada Anak

1. Terapi Perilaku (Behavioral Therapy)

Terapi perilaku membantu anak untuk lebih bisa mengontrol perilaku dan
mengendalikan tindakan mereka.Diharapkan anak mampu mengendalikan
reaksi berlebihan, kemarahan, serta menjadikannya lebih tenang.

2. Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)

Terapi perilaku kognitif ditujukan untuk membantu seseorang mengendalikan


pikiran dan emosi yang akan mewujud pada perilaku yang lebih positif. Terapi
ini akan melatih anak dengan ADHD untuk berpikir terlebih dahulu sebelum
bertindak.

3. Terapi Membaca (Literary Therapy)

Terapi membaca ditujukan membuat seseorang memahami masalah yang


dihadapinya secara mendalam dengan mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya perihal masalah tersebut.Informasi yang diberikan juga harus
disertai dengan solusi untuk mengendalikan masalah hiperaktif

4. Terapi Bicara

Melalui terapi bicara, orang tua didorong untuk selalu berkomunikasi dengan
anak serta membicarakan apa yang dirasakan anak. Terapi bicara didasarkan
pada prinsip bahwa ADHD dapat disembuhkan, jika anggota keluarga
menunjukkan dukungan, cinta dan perhatian dengan memberikan waktu untuk
mendengarkan anak (Rini, dkk, 2013: 35)

4. Physical disabilities
Physical disabilities atau biasa disebut dengan tunadaksa adalah istilah untuk
anak yang memiliki cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi seperti cerebral
palsy dan serangan mendadak (biasanya strok atau epilepsy). Orthopedic
mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan
demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan
persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada
pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian. Termasuk didalamnya
cerebral palsy adalah penyakit yang meliputi kurangnya koordinasi otot,
gemetar,atau cara cara berbicara yang tidak jelas. Dan juga gangguan kejang
seperti epilepsy yang disebabkan gangguan neurologis dengan ciri khas adanya
serangan sensomotorik yang berulang-ulang atau kejang-kejang. (Santrok, 2009:
259)
5. Visual Disabilities
Visual disabilities atau tunanetra digunakan untuk menggambarkan anak yang
mengalami tingkatan kerusakan atau gangguan penglihatan yang berat sampai
pada yang sangat berat, yang dikelompokkan secara umum menjadi buta dan
kurang lihat. Sebagian ahli mengelompokkannya menjadi kurang lihat (low
vision), buta (blind), dan buta total (totally blind). Perlu anda pahami bahwa
kerusakan yang terjadi pada organ penglihatan (mata) dapat meliputi kerusakan
yang ringan sampai yang sangat berat. Anak yang memilki kerusakan ringan
pada penglihatannya (seperti myopia dan hypermetropia) masih dapat dikoreksi
dengan menggunakan kacamata dan bisa mengikuti pendidikan seperti anak yang
lainnya, secara umum tidak dikelompokkan pada tunanetra (Wardhani, 2007:
45).

Penyebab Terjadinya Tunanetra

1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam


diri individu, yang sering disebut juga faktor keturunan.Faktor ini
kemungkinan besar terjadi pada perkawinan antarkeluarga dekat dan
perkawinan antartunanetra.

2. Faktor Eksternal

a) Penyakit rubella dan syphilis

Rubella atau campak Jerman merupakan penyakit yang


disebabkan oleh virus yang sangat berbahaya dan sulit
didiagnosis secara klinis. Apabila seoarng ibu terkena rubella
pada tri semester pertama (3 bulan pertama) maka virus
tersebut dapat merusak pertumbuhan sel-sel pada janin dan
merusak jaringan pada mata, telinga atau organ lainnya
sehingga kemungkinan besar anaknya lahir tunanetra atau tuna
rungu atau berkelainan lainnya. Demikian juga dengan
syphillis (penyakit yang menyerang alat kelamin), apabila
penyakit itu terjadi pada ibu hamil maka akan merambat
kedalam kandungan sehingga dapat menimbulkan kelainan
pada bayi yang dikandungnya atau bayi tersebut akan terkena
penyakit ini sewaktu dilahirkan.

b) Glaukoma (Glaucoma)
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan
yang berlebihan pada bola mata.Hal itu terjadi karean struktur
bola mata yang tidak sempurna pada saat pembentukannya
dalam kendungan.Kondisi ini ditandai dengan pembesaran bola
mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata,
dan merasa silau.

c) Retinopati diabetes (Diabetic retinopathy)

Retinopati diabetes merupakan suatu kondisi yang disebabkan


oleh adanya gangguan dalam siplai/aliran darah pada
retina.Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit diabetes.

d) Retinoblastoma

Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada


retina, dan sering ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat
dicurigai antara lain, menonjolnya bola mata, adanya bercak
putih pada pupil, strabismus (juling), glaukoma, mata sering
merah, atau penglihatannya sering menurun.

e) Kekurangan vitamin A

Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap


infeksi.Dengan vitamin A, tubuh lebih efisien dalam menyerap
protein yang dikonsumsi. Kekurangan vitamin A akan
menyebabkan kerusakan pada matanya, yaitu kerusakan pada
sensitifitas retina terhadap cahaya (rabun senja) dan terjadi
kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada celah
kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan pada epitel.
Pada saat mata bergerak, akan tampak lipatan [ada konjungtiva
bulbi. Dalam keadaan ini parah hal tersebut dapat merusak
retina, dan apabila dibiarkan akan terjadi ketunanetraan.

f) Terkena zat kimia

Di samping memberikan manfaat bagi manusia, zat-zat kimia


juga dapat merusak apabila penggunaanya tidak hati-hati. Zat
kimia tertentu, seperti zat etanol dan aseton, apabila mengenai
kornea, akan mengakibatkan mata kering dan terasa sakit.
Selain itu zat-zat lain, seperti asam sulfat dan asam tannat yang
mengenai kornea akan menimbulkan kerusakan bahkan
mengakibatkan ketunanetraan.

g) Kecelakaan

Kecelakaan menjadi salah satu faktor yang dapat


menyebabkan ketunanetraan apabila kecelakaan
tersebut mengenai mata atau saraf mata.Benturan keras
mengenai saraf mata atau tekanan yang keras terhadap
bola mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan
bahkan ketunanetraan.

6. . HEARING DISABILITIES

Hearing disabilities dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori, yang


pertama ialah hearing impairment (gangguan pendengaran), yang
menyarankan siswa untuk menggunakan alat bantu dan untuk mengajar cukup
dengan melalui saluran-saluran pendengar, kemudian untuk siswa yang tuli
(deaf) cukup dengan alat perasa lainnya, dengan biasa melihat, berkomunikasi
(Eggen dan Kauchak, 2004:147). Sementara itu Hallahan dan Kauffman,
1988 dalam Rini Hildayani menyatakan bahwa banyak sekali definisi dan
klasifikasi yang ada mengenai gangguan pendengaran. Dua diantaranya ialah
tuli dan kesulitan mendengar (hard of hearing). Gangguan pendengaran dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang yang berorientasi
fisiologis dan sudut pandang yang berorientasi edukasional.

7. COMMUNICATION DISORDERS

Communication disorders ialah sesuatu yang berhubungan dengan


kemampuan siswa untuk menerina dan memahami informasi dari orang lain
dan mengekspresikan ide-ide mereka. Communication disorders dapat di bagi
ke dalam dua bentuk (Berstein & Tiegerman-Farber, 2002), yang pertama
Speech disorders (expressive disorders) terkait masalah pembentukan dan
peruntunan suara, dan yang selanjutnya ialah language disorders (receptive
disorders) termasuk masalah-masalah dengan memahami bahasa atau
penggunaan bahasa untuk mengekspresikan ide-ide. Language disorders juga
sering berhubungan dengan masalah-masalah lain seperti gangguan
pendengaran, gangguan belajar, atau hambatan mental (Eggen & Kauchak.
2004: 145)

8. AUTISM
Istilah autism diperkenalkan pertama kali pada tahun 1943 oleh Dr.
Leo Kanner, seorang psikiater anak dari Universitas Johns Hopkins. Kanner
menyatakan bahwa pada sekelompok anak yang ditelitinya terlihat adanya
suatu gangguan mendasar di mana anak-anak tersebut sejak awal kehidupan
tidak mampu melakukan interaksi sosial terhadap orang lain atau situasi
tertentu seperti halnya anak yang normal (Neale, 1996 dalam Rini Hildayani,
dkk. 2013: 11.3)
9. GIFTED AND TALENTED
Gifted dan talented adalah individu yang memiliki kemampuan luar biasa
sehingga mampu menghasilkan unjuk kerja yang luar biasa yang meliputi tingkat
intelegensi umum, kemampuan akademik, kemampuan dalam bidang spesific,
kemampuan berpikir produktif, kreatifitas, kemampuan kepemimpinan, dan seni
(Kirk & Gallgher, 1986: 70).

10. INCLUSIVE EDUCATION

Inclusive education ialah sebuah pendekatan yang bertujuan


melibatkan semua anak-anak untuk proaktif, termasuk merangkul anak-anak
yang memiliki gangguan atau keterbatasan, anak ramah, dan pelayanan
pendidikan yang tidak diskriminasi. Inclusive education mengadopsi
kebutuhan belajar dan kecepatan setiap anak.

B. Intelectual Disabilities
Nama lain Kecacatan perkembangan intelektual (IDD), ketidakmampuan
belajar umum Seorang anak berlari melewati garis finisAnak-anak dengan disabilitas
intelektual dan kondisi perkembangan lainnya bersaing di Olimpiade Khusus .Khusus
Psikiatri , pediatric Frekuensi 153 juta (2015)
Kecacatan intelektual ( ID ), juga dikenal sebagai ketidakmampuan belajar
umum dan keterbelakangan mental ( MR ), adalah gangguan perkembangan saraf
umum yang ditandai dengan gangguan fungsi intelektual dan adaptif secara
signifikan. Ini ditentukan oleh IQ di bawah 70 , selain defisit dalam dua atau lebih
perilaku adaptif yang memengaruhi kehidupan sehari-hari dan umum.
Setelah berfokus hampir seluruhnya pada kognisi , definisi tersebut sekarang
mencakup komponen yang berkaitan dengan fungsi mental dan komponen yang
berkaitan dengan keterampilan fungsional individu dalam lingkungan sehari-hari.
Sebagai hasil dari fokus pada kemampuan seseorang dalam praktiknya, seseorang
dengan IQ yang sangat rendah mungkin masih tidak dianggap memiliki kecacatan
intelektual.
Kecacatan intelektual dibagi lagi menjadi kecacatan intelektual sindrom, di
mana terdapat defisit intelektual yang terkait dengan tanda dan gejala medis dan
perilaku lainnya, dan kecacatan intelektual non-sindrom, di mana defisit intelektual
muncul tanpa kelainan lain. Sindroma Down dan sindrom X rapuh adalah contoh dari
sindrom disabilitas intelektual.
Cacat intelektual mempengaruhi sekitar 2-3% dari populasi umum. Tujuh
puluh lima sampai sembilan puluh persen orang yang terkena dampak memiliki cacat
intelektual ringan. Kasus non-sindrom, atau idiopatik mencapai 30-50% dari kasus ini
Sekitar seperempat kasus disebabkan oleh kelainan genetik , dan sekitar 5% kasus
diturunkan dari orang tua seseorang . Kasus yang tidak diketahui penyebabnya
mempengaruhi sekitar 95 juta orang pada 2013

A.Tanda dan gejala

Kecacatan intelektual (ID) menjadi jelas selama masa kanak-kanak dan


melibatkan kekurangan dalam kemampuan mental, keterampilan sosial, dan aktivitas
inti kehidupan sehari-hari (ADL) bila dibandingkan dengan teman sebaya. [9]
Seringkali tidak ada tanda-tanda fisik dari bentuk ID yang ringan, meskipun mungkin
ada ciri-ciri fisik yang khas bila dikaitkan dengan kelainan genetik (misalnya, sindrom
Down).

Tingkat gangguan memiliki rentang keparahan untuk setiap orang. Beberapa


tanda awal dapat mencakup: [
 Penundaan pencapaian, atau kegagalan untuk mencapai tonggak perkembangan
keterampilan motorik (duduk, merangkak, berjalan)
 Kelambatan belajar berbicara, atau kesulitan melanjutkan berbicara dan keterampilan
bahasa setelah mulai berbicara
 Kesulitan dengan keterampilan swadaya dan perawatan diri (misalnya, berpakaian,
mencuci, dan makan sendiri)
 Kemampuan perencanaan atau pemecahan masalah yang buruk
 Masalah perilaku dan sosial
 Kegagalan untuk tumbuh secara intelektual, atau melanjutkan perilaku seperti anak
kecil
 Masalah mengikuti sekolah
 Kegagalan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan situasi baru
 Kesulitan memahami dan mengikuti aturan sosial

Pada masa kanak-kanak, ID ringan (IQ 50-69) mungkin tidak terlihat atau
diidentifikasi sampai anak mulai bersekolah. Bahkan ketika prestasi akademis yang
buruk diakui, mungkin diperlukan penilaian ahli untuk membedakan kecacatan
intelektual ringan dari ketidakmampuan belajar tertentu atau gangguan emosi /
perilaku. Orang dengan ID ringan mampu mempelajari keterampilan membaca dan
matematika hingga kira-kira setara dengan anak usia sembilan hingga dua belas tahun.
Mereka dapat belajar perawatan diri dan keterampilan praktis, seperti memasak atau
menggunakan sistem angkutan massal setempat. Saat individu dengan disabilitas
intelektual mencapai usia dewasa, banyak yang belajar untuk hidup mandiri dan
mempertahankan pekerjaan yang menguntungkan.

Identitas Sedang (IQ 35-49) hampir selalu terlihat dalam tahun-tahun pertama
kehidupan. Penundaan bicara adalah tanda-tanda ID sedang. Penyandang disabilitas
intelektual sedang membutuhkan dukungan yang cukup besar di sekolah, di rumah,
dan di masyarakat agar dapat berpartisipasi secara penuh. Meskipun potensi akademis
mereka terbatas, mereka dapat mempelajari keterampilan kesehatan dan keselamatan
sederhana dan berpartisipasi dalam kegiatan sederhana. Sebagai orang dewasa,
mereka mungkin tinggal bersama orang tua mereka, di rumah kelompok yang
mendukung, atau bahkan semi-mandiri dengan layanan dukungan yang signifikan
untuk membantu mereka, misalnya, mengelola keuangan mereka. Sebagai orang
dewasa, mereka mungkin bekerja di bengkel yang terlindung .

Orang dengan Parah (IQ 20-34) atau ID Mendalam (IQ 19 atau lebih rendah)
membutuhkan dukungan dan pengawasan yang lebih intensif untuk seluruh hidup
mereka. Mereka mungkin mempelajari beberapa ADL, tetapi kecacatan intelektual
dianggap parah atau mendalam ketika individu tidak dapat merawat dirinya sendiri
tanpa bantuan signifikan yang berkelanjutan dari pengasuh selama masa dewasa.
Individu dengan ID yang dalam sepenuhnya bergantung pada orang lain untuk semua
ADL dan untuk menjaga kesehatan fisik dan keselamatan mereka. Mereka mungkin
dapat belajar untuk berpartisipasi dalam beberapa kegiatan ini sampai tingkat tertentu.

B.Autisme dan cacat intelektual

Disabilitas intelektual dan gangguan spektrum autisme (GSA) memiliki


karakteristik klinis yang sama yang dapat menyebabkan kebingungan saat
mendiagnosis. Tumpang tindih kedua gangguan ini, meski umum, dapat merusak
kesejahteraan seseorang. Mereka dengan ASD yang memiliki gejala ID dapat
dikelompokkan ke dalam diagnosis bersama di mana mereka menerima pengobatan
untuk gangguan yang tidak mereka miliki. Demikian pula, mereka dengan ID yang
keliru menderita ASD dapat dirawat untuk gejala gangguan yang tidak mereka miliki.
Membedakan antara kedua gangguan ini akan memungkinkan dokter memberikan
atau meresepkan perawatan yang sesuai. Komorbiditas antara ID dan ASD sangat
umum; sekitar 40% dari mereka dengan ID juga memiliki ASD dan sekitar 70% dari
mereka dengan ASD juga memiliki ID. Baik ASD dan ID membutuhkan kekurangan
dalam komunikasi dan kesadaran sosial sebagai kriteria yang menentukan. Baik ASD
dan ID diklasifikasikan menurut tingkat keparahan: ringan, sedang, berat. Selain
ketiga level tersebut, ID memiliki klasifikasi keempat yang disebut sangat dalam.

C.Mendefinisikan perbedaan

Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2016 yang menyurvei 2816
kasus, ditemukan bahwa subset teratas yang membantu membedakan antara orang-
orang dengan ID dan ASD adalah, "... gangguan perilaku sosial non-verbal dan
kurangnya timbal balik sosial, dibatasi minat, kepatuhan yang ketat pada rutinitas,
perilaku motorik stereotip dan berulang, dan keasyikan dengan bagian-bagian objek ".
Penderita ASD cenderung menunjukkan lebih banyak kekurangan dalam perilaku
sosial non-verbal seperti bahasa tubuh dan pemahaman isyarat sosial. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 terhadap 336 individu dengan berbagai
tingkat ID, ditemukan bahwa mereka yang memiliki ID menampilkan lebih sedikit
contoh perilaku berulang atau ritualistik. Itu juga mengenali bahwa mereka dengan
ASD, jika dibandingkan dengan mereka yang menderita ID, lebih mungkin untuk
mengisolasi diri mereka sendiri dan membuat lebih sedikit kontak mata. Dalam hal
klasifikasi ID dan ASD memiliki pedoman yang sangat berbeda. ID memiliki
penilaian standar yang disebut Supports Intensity Scale (SIS), ini mengukur tingkat
keparahan pada sistem yang dibangun berdasarkan seberapa banyak dukungan yang
dibutuhkan seseorang. Sementara ASD juga mengklasifikasikan tingkat keparahan
berdasarkan dukungan yang diperlukan, tidak ada penilaian standar, dokter bebas
untuk mendiagnosis keparahan berdasarkan penilaian mereka sendiri.

D.Penyebab

Informasi lebih lanjut: Cacat intelektual terkait-X An eight-year-old boy

Sindrom Down adalah penyebab genetik kecacatan intelektual yang paling umum.

Di antara anak-anak, penyebab kecacatan intelektual tidak diketahui untuk


sepertiga hingga setengah kasus. [6] Sekitar 5% kasus diturunkan dari orang tua
seseorang. Cacat genetik yang menyebabkan kecacatan intelektual, tetapi tidak
diturunkan, dapat disebabkan oleh kecelakaan atau mutasi pada perkembangan
genetik. Contoh kecelakaan tersebut adalah perkembangan kromosom ekstra 18
( trisomi 18 ) dan sindrom Down , yang merupakan penyebab genetik paling umum
Sindrom Velocardiofacial dan gangguan spektrum alkohol janin adalah dua penyebab
paling umum berikutnya. Namun, ada banyak penyebab lainnya. Yang paling umum
adalah:

Kondisi genetik . Terkadang kecacatan disebabkan oleh gen abnormal yang


diwarisi dari orang tua, kesalahan saat gen bergabung, atau alasan lain. Kondisi
genetik yang paling umum termasuk sindrom Down , sindrom Klinefelter , sindrom
Fragile X (umum di antara anak laki-laki), neurofibromatosis , hipotiroidisme
kongenital , sindrom Williams , fenilketonuria (PKU), dan sindrom Prader-Willi .
Kondisi genetik lainnya termasuk sindrom Phelan-McDermid (22q13del) , sindrom
Mowat-Wilson , ciliopathy genetik , dan gangguan intelektual terkait-X tipe Siderius (
OMIM : 300263 ) yang disebabkan oleh mutasi pada gen PHF8 ( OMIM : 300560 ).
Pada kasus yang paling langka, kelainan pada kromosom X atau Y juga dapat
menyebabkan kecacatan. 48, XXXX dan 49, sindrom XXXXX mempengaruhi
sejumlah kecil gadis di seluruh dunia, sementara anak laki-laki mungkin terpengaruh
oleh 49, XXXXY , atau 49, XYYYY. 47, XYY tidak terkait dengan penurunan IQ
secara signifikan meskipun individu yang terkena dampak mungkin memiliki IQ yang
sedikit lebih rendah daripada rata-rata saudara kandung yang tidak terpengaruh.

Masalah selama kehamilan . Cacat intelektual bisa terjadi jika janin tidak
berkembang dengan baik. Misalnya, mungkin ada masalah dengan cara sel janin
membelah saat ia tumbuh. Seorang wanita hamil yang meminum alkohol (lihat
kelainan spektrum alkohol janin ) atau terkena infeksi seperti rubella selama
kehamilan mungkin juga memiliki bayi dengan disabilitas intelektual.

Masalah saat lahir. Jika bayi mengalami masalah selama persalinan dan
kelahiran, seperti tidak mendapatkan cukup oksigen , ia mungkin mengalami
gangguan perkembangan karena kerusakan otak.

Terpapar jenis penyakit atau racun tertentu . Penyakit seperti batuk rejan ,
campak , atau meningitis dapat menyebabkan cacat intelektual jika perawatan medis
tertunda atau tidak memadai. Paparan racun seperti timbal atau merkuri juga dapat
memengaruhi kemampuan mental.

Kekurangan yodium , mempengaruhi sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia,


adalah penyebab utama kecacatan intelektual yang dapat dicegah di wilayah negara
berkembang di mana kekurangan yodium endemik . Kekurangan yodium juga
menyebabkan gondok , pembesaran kelenjar tiroid . Lebih umum daripada kretinisme
penuh, sebutan untuk cacat intelektual yang disebabkan oleh kekurangan yodium
parah, adalah gangguan kecerdasan ringan. Penduduk di wilayah tertentu di dunia,
karena kekurangan alam dan kelambanan pemerintah, sangat terpengaruh oleh
kekurangan yodium. India memiliki 500 juta penderita defisiensi, 54 juta menderita
gondok, dan 2 juta menderita kretinisme. Di antara negara lain yang terkena
kekurangan yodium, Cina dan Kazakhstan telah melembagakan program yodium
garam yang luas. Tapi, pada 2006, Rusia belum melakukannya
Malnutrisi adalah penyebab umum berkurangnya kecerdasan di beberapa
bagian dunia yang terkena dampak kelaparan , seperti Ethiopia dan negara-negara
yang berjuang dengan periode peperangan berkepanjangan yang mengganggu
produksi dan distribusi pertanian.

Tidak adanya fasciculus arkuata .

E.Perbedaan dari kecacatan lainnya

Secara klinis , disabilitas intelektual adalah subtipe dari defisit atau disabilitas
kognitif yang mempengaruhi kemampuan intelektual , yang merupakan konsep yang
lebih luas dan mencakup defisit intelektual yang terlalu ringan untuk memenuhi syarat
sebagai disabilitas intelektual, atau terlalu spesifik (seperti pada ketidakmampuan
belajar tertentu ), atau diperoleh kemudian dalam kehidupan melalui cedera otak yang
didapat atau penyakit neurodegeneratif seperti demensia . Defisit kognitif dapat
muncul pada usia berapa pun. Kecacatan perkembangan adalah segala kecacatan yang
disebabkan oleh masalah pertumbuhan dan perkembangan . Istilah ini mencakup
banyak kondisi medis bawaan yang tidak memiliki komponen mental atau intelektual,
meskipun terkadang juga digunakan sebagai eufemisme untuk kecacatan intelektual.

C. Hyperactivity Disibilities
Gangguan hiperaktif merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada
gangguan perilaku anak. Namun dalam ADHD (Attention Deficit Hyperactive
Disorder) dimana hiperaktif (perilaku yang tidak terkontrol) sebagai symptom utamanya.
ADHD bisa disebut Gangguan Pemusatan Perhatian/hiperaktivitas (GPPH) merupakan
suatu sindrom neuropsikiatrik yang sering dijumpai dengan onset usia anak-anak.
Kondisi ini merupakan suatu gangguan heterogen dengan etiologi yang tidak diketahui.

ADHD ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk memusatkan


perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat singkat
waktunya dibandingkan anak lain seusianya. Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif
dan tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak
dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun komunikasi.

Beberapa bentuk perilaku yang nampak seperti : seorang anak yang tidak pernah
duduk tenang didalam kelas, dia selalu bergerak, atau anak yang melamun saja dikelas,
tidak dapat memusatkan perhatin pada proses belajar dan cenderung tidak bertahan lama
untuk menyelesaikan tugas, atau anak yang selalu bosan dengan tugas yang dihadapi dan
selalu bergerak ke hal lain, adalah bentuk perilaku umum lainnya yang menjadi ciri
khas dari ADHD.

Di Indonesia, nampaknya belum menunjukkan angka yang pasti berapa persen


kemungkinan anak-anak di Indonesia menyandang ADHD. Meskipun demikian
gangguan ini cukup banyak terjadi. Hal ini mungkin disebabkan banyak orang tua
ataupun tenaga pendidik yang belum mengetahui dengan pasti tentang ADHD.

Prevalensi ADHD sangat terkait dengan gender. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelitian Breton yang dilakukan pada 1999, menyatakan bahwa anak laki- laki lebih
banyak mengalami ADHD dengan estimasi 2-4 % untuk anak

perempuan dan 6-9 % untuk anak laki-laki usia 6-12 tahun (Baihaqi &
Sugiarmin,2006).

Seringkali seorang anak yang memiliki aktivitas yang berlebihan atau mengalami
gangguan ADHD mendapat “ label” sebagai anak nakal, bodoh, bandel, bahkan idiot
tanpa ada perhatian khusus. Sehingga anak-anak tersebut tidak mendapatkan
penanganan yang tepat, seperti kekerasan yang dilakukan orang tua maupun guru
kelasnya. Hal ini diakibatkan kurangnya perhatian dan pemahaman orang tua dan tenaga
pendidik tentang ADHD.

Pada penderita ADHD terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri dan
aktifitas yang berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak nekat dan impulsif,
kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain.
Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas
dalam mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan
daya konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah
marah, sulit bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya (Baihaqi & Sugiarmin,
2006).

Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai dengan adanya gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yag spesifik.
Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder. Mereka sering
menunjukkan tindakan antisosial dengan berbagai alasan sehingga orang tua, guru dan
lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.

Selain itu anak ADHD cenderung bertindak ceroboh, mudah tersinggung, lupa
pelajaran sekolah dan tugas rumah, kesulitan mengerjakan tugas disekolah maupun di
rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah,
sering keceplosan bicara, tidak sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan
bertindak berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan suka membuat keributan, dan
suka memotong dan ikut pembicaraan orang lain (Fanu, 2006).

Beberapa ahli, seperti Bradley, seorang dokter dari Amerika (dalam Fanu,2006)
menggunakan obat-obatan seperti Methylphenidate (Ritalin) dan Benzedrine yaitu obat
yang dipercaya dapat menurunkan hiperaktivitas, meningkatkan control perhatian anak,
mengontrol impulsivitas, mapu untuk mengerjakan tugas tanpa penolakan, dan
meningkatkan prestasi akdemik.

Stimulant therapy ini memiliki efek samping, seperti: perubahan kepribadian,


berkurangnya nafsu makan, tidur tidak nyenyak, sakit perut, dan sakit kepala yang
akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa minggu pengobatan diberikan. Apabila
efek ini masih terjadi setelah beberapa minggu pengobatan, berarti perlu dilakukan
perubahan waktu pemberian dosis, pemberian dosis yang diberikan, atau perubahan jenis
obat stimulan. Ada kemungkinan akan muncul efek-efek lainnya, biasanya terjadi setelah
pemberian obat dihentikan (Fanu, 2006).

Efek-efek negatif inilah yang mendasari bahwa dibutuhkan alternatif terapi yang
lain. Alternatif terapi yang bisa digunakan adalah modifikasi perilaku. Tidak seperti
terapi obat, yang terkadang anak enggan ataupun bosan jika setiap saat harus meminum
obat. Sedangkan dengan modifikasi perilaku, terapi yang sangat efektif diterapkan untuk
anak-anak karena tidak menimbulkan efek samping pada kesehatan. Modifikasi perilaku
adalah salah satu teknik yang didasarkan pada pendapat bahwa perilaku terbentuk
berdasarkan prinsip-prinsip operant- conditioning atau stimulus respon melalui modelling
diperkuat oleh reinforcement baik positif maupun negatif. Berdasarkan prinsip-prinsip
inilah, para ahli psikologi perilaku mencetuskan metode modifikasi perilaku ini untuk
meningkatkan efektivitas hidup seseorang. Metode ini lebih populer daripada psikoterapi,
karena dapat dilakukan sendiri oleh seseorang dan tidak harus tergantung pada
psikoterapis.

Modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses


belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada perilaku manusia
untuk mengubah perilaku dan emosi manusia yang tidak adaptif. Kebiasaan-kebiasaan
yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan, perilaku adaptif ditimbulkan dan
dikukuhkan.

Modifikasi perilaku menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk mengadakan


perubahan. Prinsip proses belajar ini dimanfaatkan untuk menangani perilaku- perilaku
menyimpang, dan masalah-masalah pribadi, seperti perilaku agresif, perilaku kejahatan,
fobia, kompulsif, obesitas, dan menghentikan merokok.

Konsep dari prosedur terapi ini adalah teori Skiner yakni Operant conditioning
yang lebih menekankan pada pengkondisian atau pembiasaan dimana setiap perilaku
yang diikuti oleh penguat (reinforcement) positif cenderung akan diulangi. Sedangkan
respon-respon yang diikuti oleh hukuman atau tidak diikuti oleh penguat cenderung
melemah untuk kemudian menghilang. Sebuah pembentukan terjadi karena proses
pembiasaan dan pengulangan- pengulangan.

Skiner (Dalam Slavin 1994), memusatkan hubungan antara tingkah laku dan
konsekwensinya. Jika tingkah laku seseorang diikuti oleh konsekwensi yang
menyenangkan maka orang itu akan mengurangi tingkah laku itu sesering mungkin.
Konsekwensi digunakan untuk mengontrol terjadinya tingkah laku. Konsekwensi adalah
kondisi yang mengikuti tingkah laku dan mempengaruhi tingkah laku yang akan datang.

Dalam penerapan prinsip operat conditioning telah terbukti berhasil dalam


menangani masalah manusia dalam sebuah organisasi atau perusahaan, seorang pimpinan
memberikan pujian dan voucher makan gratis kepada bawahannya (Reward sebagai
Positif Reinforcement) karena menyerahkan tugas lebih awal. Maka yang terjadi adalah
bawahan tersebut selalu mengulangi dan menyelesaikan tugas-tugas berikutnya lebih
awal. Selain itu juga metode ini telah diterapkan pada orang dengan cacat perkembangan
yang menunjukkan masalah yang serius seperti perilaku yang merugikan diri sendiri,
perilaku agresif, dan perilaku merusak. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku
ini sering dapat dikontrol atau dihilangkan dengan memberikan intervensi pada perilaku
(Barret, 1986; van Houten & Axelrod, 1993; Whitman, & Scibak 1983).

Pada penyakit mental telah diterapkan pada pasien kronis untuk memodifikasi
perilaku tersebut sebagai keterampilam hidup sehari-hari, perilaku sosial, perilaku
agresif, kepatuhan pengobatan, perilaku psikotik, dan keterampilan kerja (Scotti,
mcMorrow, & Trawitzki, 1993). Dalam dunia pendidikan, metode ini telah digunakan
untuk meningkatkan teknik-teknik pengajaran dan meningkatkan pembelajaran siswa
(Michael, 1991). Dalam pendidikan khusus, yaitu pendidikan dengan orang-orang cacat
di dalamnya

modifikasi perilaku telah memainkan peran utama (Rusch, Rose, & Greenwood,
1988) dalam mengembangkan metode pengajaran, masalah pengendalian perilaku di
dalam kelas, meningkatkan perilaku sosial dan keterampilan fungsional ,
mempromosikan pengelolaan diri, dan pelatihan guru). Metode ini juga telah diterapkan
dalam self management, dalam hal ini pengelolaan diri untuk mengontrol kebiasaan
pribadi, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, perilaku profesional, dan
masalah-masalah pribadi (Bringham, 1989; Epstein, 1996; Watson & Tharp, 1993,
Yates, 1986). Dalam hal pencegahan anak, orang tua dan guru dapat mengatasi perialku
mengompol, menggigit kuku, marah- marah, ketidakpatuhan, perilaku agresif, perilaku
buruk, gagap, dan msalah umum lainnya (Watson & Gresham, 1998).

Dalam penerapan prinsip ini peneliti yang berperan sebagai terapis utama di
sekolah, dan orang tua berperan sebagai terapis di rumah. Sekolah merupakan tempat
dimana anak sering memunculkan perilaku mengganggunya bahkan mengganggu
didalam kelas yang seharusnya anak tersebut memperhatikan pelajaran. Dalam hal ini
guru juga ikut membantu dalam proses treatment, peneliti dan guru harus memberikan
rutinitas setiap harinya melalui perilaku yang baik. Sehingga akan menjadi sebuah
pembiasaan bagi anak dan nantinya anak tidak akan memunculkan perilaku maladaptif
lagi. Hal ini dimaksudkan karena guru memiliki pengaruh yang sangat penting pada masa
pertengahan dan akhir anak- anak. Guru merupakan simbol otoritas dan menciptakan
iklim kelas, kondisi- kondisi interaksi diantara murid-murid dan hakekat keberfungsian
kelompok. Karena dalam satu atau beberapa hal hampir semua kehidupan setiap orang
dipengaruhi oleh guru. Dalam studi baru-baru ini diketahui bahwa dukungan guru
memberi pengaruh yang kuat bagi prestasi murid-murid, (Santrock, 2004). Disini pihak
orang tua juga sangat berpengaruh terhadap proses treatment, sebagai significant other
dan sebagai orang terdekat subyek yang lebih mengetahui bagaimana bentuk perilaku
subyek setiap harinya. Tujuan melibatkan peran orang tua ini adalah untuk melanjutkan
proses treatment dari sekolah dan menerapkan kembali di rumah, agar proses treatment
dapat berjalan dengan maksimal.

D. Speech or leaguae
Pidato dan bahasa berbeda. Seseorang bisa memiliki masalah dengan salah
satu atau keduanya.
Pidato adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia melalui artikulasi suara
yang keluar dari mulut dan hidung kita (dengan bantuan saraf kranial, paru-paru, pita
suara, tenggorokan, langit-langit lunak, gigi, otot wajah dan leher serta lidah). Pidato
adalah salah satu cara kita mengekspresikan bahasa.
Bahasa adalah metode yang digunakan manusia untuk berkomunikasi satu
sama lain, sering kali melibatkan kata dan simbol yang digunakan secara sadar oleh
suatu kelompok dengan cara yang terstruktur atau konvensional.
Gangguan Bahasa dan Ucapan
Kita bisa mengalami masalah bicara, bahasa, atau keduanya. Kesulitan
memahami apa yang dikatakan orang lain adalah gangguan bahasa reseptif . Memiliki
masalah dalam berbagi pikiran, ide, dan perasaan adalah gangguan bahasa ekspresif .
Dimungkinkan untuk memiliki masalah bahasa reseptif dan ekspresif.
Contohnya
Maryam mengalami stroke. Dia hanya bisa mengucapkan satu atau dua kata
dalam satu waktu. Dia tidak bisa memberi tahu putranya apa yang dia inginkan dan
butuhkan. Dia juga kesulitan mengikuti petunjuk sederhana.
Maryam memiliki gangguan bahasa reseptif dan ekspresif . Dia tidak mengerti
apa arti kata-kata dan kesulitan menggunakan kata-kata untuk berbicara dengan orang
lain.

Beberapa karakteristik gangguan bahasa meliputi:

1. Penggunaan kata-kata dan artinya secara tidak benar,


2. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide,
3. Pola tata bahasa yang tidak tepat,
4. Mengurangi kosakata, dan
5. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.

Anak-anak mungkin mendengar atau melihat sebuah kata tetapi tidak dapat
memahami artinya. Mereka mungkin kesulitan membuat orang lain memahami apa
yang mereka coba komunikasikan. Gejala-gejala ini dapat dengan mudah
disalahartikan sebagai kecacatan lain seperti autisme atau ketidakmampuan belajar,
jadi sangat penting untuk memastikan bahwa anak tersebut menerima evaluasi
menyeluruh oleh ahli patologi wicara-bahasa bersertifikat.

Sebagian besar, jika tidak semua, siswa dengan gangguan wicara atau bahasa
akan membutuhkan layanan patologi wicara-bahasa. Layanan terkait ini didefinisikan
oleh IDEA sebagai berikut:

Dengan demikian, selain mendiagnosis sifat kesulitan bicara-bahasa anak, ahli


patologi wicara-bahasa juga menyediakan:

Terapi individu untuk anak;

a. Berkonsultasi dengan guru anak tentang cara paling efektif untuk


memfasilitasi komunikasi anak dalam pengaturan kelas; dan
b. Bekerja sama dengan keluarga untuk mengembangkan tujuan dan teknik terapi
yang efektif di kelas dan di rumah.
c. Terapi wicara dan / atau bahasa dapat berlanjut selama tahun-tahun sekolah
siswa baik dalam bentuk terapi langsung atau berdasarkan konsultan.

Teknologi bantuan (AT) juga dapat sangat membantu siswa, terutama mereka
yang kondisi fisiknya membuat komunikasi menjadi sulit. Setiap tim IEP siswa perlu
mempertimbangkan apakah siswa tersebut akan mendapat manfaat dari AT seperti
sistem komunikasi elektronik atau perangkat lain. AT sering kali merupakan kunci
yang membantu siswa terlibat dalam memberi dan menerima pemikiran bersama,
menyelesaikan tugas sekolah, dan mendemonstrasikan pembelajaran mereka

Tips untuk Guru

- Pelajari sebanyak mungkin tentang kecacatan khusus siswa. Gangguan bicara-bahasa


sangat berbeda satu sama lain, jadi penting untuk mengetahui gangguan spesifik dan
bagaimana pengaruhnya terhadap kemampuan komunikasi siswa.
- Sadarilah bahwa Anda dapat membuat perbedaan besar dalam kehidupan siswa ini!
Cari tahu apa kekuatan dan minat siswa tersebut, dan tekankan itu. Ciptakan peluang
untuk sukses.
- jika Anda bukan bagian dari tim IEP siswa, sk untuk salinan IEP-nya . Tujuan
pendidikan siswa akan dicantumkan di sana, serta layanan dan akomodasi kelas yang
akan dia terima.
- Pastikan bahwa akomodasi yang diperlukan disediakan untuk tugas kelas, pekerjaan
rumah, dan ujian. Ini akan membantu siswa belajar dengan sukses.
- Konsultasikan dengan orang lain (misalnya, pendidik khusus, SLP) yang dapat
membantu Anda mengidentifikasi strategi untuk mengajar dan mendukung siswa ini,
cara menyesuaikan kurikulum, dan cara menangani tujuan IEP siswa di kelas Anda.
- - Cari tahu apakah negara bagian atau distrik sekolah Anda memiliki bahan atau
sumber daya yang tersedia untuk membantu pendidik memenuhi kebutuhan belajar
anak-anak tunarungu atau gangguan bahasa. Sungguh menakjubkan betapa banyak
yang melakukannya!
- - Berkomunikasi dengan orang tua siswa . Bagikan informasi secara rutin tentang
keadaan siswa di sekolah dan di rumah.
Tips untuk orang tua

- Bertemu dengan sekolah dan kembangkan IEP untuk memenuhi kebutuhan anak
Anda. Jadilah pembela anak Anda. Anda paling mengenal putra atau putri Anda,
bagikan apa yang Anda ketahui.
- Dapatkan informasi lengkap tentang terapi wicara-bahasa yang diterima putra atau
putri Anda. Bicaralah dengan SLP, cari tahu bagaimana menambah dan memperkaya
terapi di rumah dan di lingkungan lain. Cari tahu juga apa yang tidak boleh dilakukan!
- Beri anak Anda tugas. Tugas membangun kepercayaan diri dan kemampuan. Ingatlah
usia, rentang perhatian, dan kemampuan anak Anda. Bagi pekerjaan menjadi langkah-
langkah yang lebih kecil. Jelaskan apa yang harus dilakukan, langkah demi langkah,
sampai pekerjaan selesai. Mendemonstrasikan. Berikan bantuan saat dibutuhkan. Puji
pekerjaan (atau bagian dari pekerjaan) yang dilakukan dengan baik.
- Dengarkan anak Anda. Jangan terburu-buru mengisi celah atau melakukan koreksi.
Sebaliknya, jangan memaksa anak Anda untuk berbicara. Sadarilah cara lain di mana
komunikasi terjadi di antara orang-orang.
- Bicaralah dengan orang tua lain yang anaknya memiliki gangguan bicara atau bahasa
yang serupa. Para orang tua dapat membagikan nasihat praktis dan dukungan
emosional. Lihat apakah ada orang tua di dekat Anda dengan mengunjungi program
Parent to Parent USA dan menggunakan peta interaktif.
- Tetap berhubungan dengan guru anak Anda. Tawarkan dukungan. Peragakan
teknologi pendukung yang digunakan anak Anda dan berikan informasi yang
dibutuhkan guru. Cari tahu bagaimana Anda dapat meningkatkan pembelajaran
sekolah anak Anda di rumah

E. Emotional and behavior disorder


Gangguan emosional dan perilaku mengacu pada klasifikasi kecacatan yang
digunakan dalam pengaturan pendidikan yang memungkinkan suatu lembaga untuk
memberikan pendidikan khusus dan layanan terkait pada seseorang yang memiliki
kemajuan sosial atau akademis yang buruk. Secara definitik anak dengan gangguan
emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan
bertingkah laku tidak sesuai norma-norma yang berlaku, sehingga merugikan dirinya
maupun orang lain dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi
kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya. Heward dan Orlansky mengatakan
seorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari
lima karakteristik berikut:
1. Ketidak mampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor
intelektualitas, indra, maupun kesehatan.
2. ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam
menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
3. tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
4. mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
5. kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau
6. ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan
pribadi atau sekolah.

Gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu
externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizing behavior memiliki
dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif,
membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri.
Internalizing behavior mempengaruhi siswa dengan berbagai macam gangguan seperti
kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan
kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama
buruknya terhadap kegagalan dalam belajar di sekolah (Hallahan & Kauffman, 1988;
Eggen & Kauchak, 1997).Lebih lanjut, Hallahan & Kauffman (1988) menjelaskan
tentang karakteristik anak dengan gangguan perilaku dan emosi, sebagai berikut:

a. Inteligensi dan Prestasi Belajar


Beberapa ahli, seperti dikutip oleh Hallahan dan Kauffman, 1988. menemukan
bahwa anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah normal (sekitar
90) dan beberapa di atas bright normal.
b. Karakteristik Sosial dan Emosi.
Agresif, acting-out behavior (externalizing)Conduct disorder (gangguan
perilaku) merupakan permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak dengan
gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul,
berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain,
menangis, merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi
tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami gangguan. Anak normal lain mungkin
juga melakukan perilakuperilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering
anak dengan conduct disorder.
c. Immature, withdrawl behavior (internalizing)
Anak dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku immature (tidak matang
atau kekanak-kanakan) dan menarik diri. Mereka mengalami keterasingan sosial,
hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan
kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersenang-senang.
Beberapa di antara mereka mengasingkan diri untuk berkhayal atau melamun,
merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya, mengeluhkan rasa sakit
yang sedikit dan membiarkan “penyakit” mereka terlibat dalam aktivitas normal. Ada
diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada tahap-tahap awal
perkembangan dan selalu meminta bantuan dan perhatian, dan beberapa diantara
mereka menjadi tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas

Dirjen PLB merumuskan ciri-ciri perilaku anak dengan gangguan emosi dan
perilaku dengan tipe externalizing behavior setidak-tidaknya memiliki empat ciri,
yaitu :

a) Bersikap membangkang.
b) Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah.
c) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d) Sering bertindak melanggar norma sosial/norma susila/hukum.

F. Austim Spectrum Disoerder


Autism spectrum disorder (ASD) adalah sebuah istilah untuk memayungi berbagai gangguan yang
terkait perkembangan otak dan saraf anak.

Gangguan perkembangan pada otak dan saraf (neurologis) dapat memengaruhi kemampuan anak
dalam berinteraksi, bersoliasisasi, berperilaku, dan berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal,
seiring ia bertumbuh besar.

Kondisi yang termasuk dalam spektrum ini antara lain autisme, sindrom Asperger, sindrom Heller,
dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS). Disebut sebagai “spectrum” karena kelainan ini
memiliki banyak variasi jenis penyakit, perwujudan gejala, dan tingkat keparahan kondisi yang
berbeda pada setiap orang.
Artinya, satu anak yang mengalami satu jenis autism spectrum disorder mungkin memiliki gejala
yang berbeda dengan anak lainnya; yang mungkin mengidap penyakit sama atau gangguan lainnya
dalam spektrum tersebut.

Sebagai contoh, ada beberapa anak yang memiliki tingkat kecerdasan rendah sehingga sulit untuk
belajar dan memahami. Di sisi lain, beberapa anak pengidap ASD mungkin memiliki kecerdasan luar
biasa dan cepat belajar. Namun, mereka kesulitan untuk berkomunikasi dan menerapkan
pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, serta sulit untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar.

Tanda dan gejala autism spectrum disorder (ASD)

Gangguan kemampuan sosial

Gangguan kemampuan sosial adalah gejala paling umum muncul pada semua jenis autism spectrum
disorder. Contoh masalah sosial yang umumnya dihadapi anak dengan ASD, yaitu:

Saat usia menginjak satu tahun, anak tampak tidak mampu memberi respons ketika berinteraksi;
misalnya segera menoleh ketika namanya dipanggil.

 Anak kerap kali menghindari kontak mata dengan orang lain.


 Si kecil lebih suka bermain sendiri dan tidak mau berbagi sesuatu dengan orang lain.
 Anak mungkin berinteraksi, namun terbatas pada hal-hal tertentu yang ia inginkan.
 Anak kesulitan mengekspresikan emosi dan memahami perasaan orang lain dengan baik.

Autism spectrum disorder juga membuat bayi sulit berinteraksi dengan orang lain, contohnya
menyalin kata-kata yang diucapkan orang lain atau mengikuti gerakan orang lain, seperti tepuk
tangan dan melambai.

Ketika ia bertambah besar, ia mungkin tidak mengerti bagaimana caranya menjalin pertemanan
karena ia sendiri cenderung tidak ingin melakukan kontak fisik dengan orang lain, seperti dipeluk
atau memeluk.

Gangguan keterampilan berkomunikasi

Anak dengan GSA juga cenderung memiliki keterampilan berkomunikasi yang terhambat ketimbang
anak-anak lain sepantaran. Satu studi bahkan mengungkapkan sekitar 40% anak dengan kondisi ini
tidak berbicara sama sekali (tapi tidak bisu).

Masalah berkomunikasi yang sering dihadapi anak dengan ASD, antara lain:

 Sering mengulang kata atau frasa berulang-ulang saat berbicara (echolalia).


 Kadang menjawab sesuatu yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.
 Saat berbicara, gerak tubuh kadang tidak mengikuti, contohnya mengucapkan selamat
tinggal tanpa melambaikan tangan.
 Nada ketika berbicara datar atau terkesan seperti bernyanyi.
 Tidak mengerti lelucon yang diutarakan orang lain, maupun melontarkannya sendiri.
 Alih-alih menjawab pertanyaan, anak kerap kali mengulang pertanyaan yang diajukan orang
lain.
 Tidak bisa memahami gerakan, bahasa tubuh, dan nada suara.
 Cenderung berbicara banyak mengenai sesuatu yang mereka sukai, ketimbang mengimbangi
percakapan dengan orang lain.
 Sering berdiri atau berhadapan terlalu dekat dengan seseorang yang mengajaknya bicara.

Minat dan perilaku yang tidak biasa

 Anak yang terkena autism spectrum disorder kadang menunjukkan perilaku dan minat yang
biasanya tidak dilakukan anak lain seusianya, seperti:

 Menyukai bagian tertentu dari suatu objek, seperti roda pada mobil mainan.
 Sering mengurutkan sesuatu benda, sangat rapi dan terorganisir
 Sering melakukan gerakan berulang yang melibatkan satu atau seluruh bagian tubuh.
Contohnya, mengepakkan tangan, berlari berputar-putar, mengayunkan tubuh ke sisi kanan
dan kiri.
 Melakukan suatu kegiatan berulang, seperti mematikan dan menyalakan lampu.
 Merasa kegiatan yang dilakukan harus berjalan lancar dan rutin. Jika ada kegiatan lain yang
tidak biasanya dilakukan ia akan marah, kesal, atau menangis.

Gejala lain yang mungkin terjadi

Selain kemampuan berkomunikasi dan sosial yang kurang baik, anak dengan autism spectrum
disorder juga menunjukkan gejala lainnya, seperti:

 Hiperaktif (sangat aktif) dan kadang bertindak tanpa berpikir panjang (impulsif)
 Mudah marah dan kadang melakukan hal yang bisa melukai diri sendiri
 Sangat sensitif dengan berbagai hal, seperti bau, suara, atau rasa yang dianggap normal oleh
orang lain
 Kadang memiliki kebiasaan makan yang tidak biasa, yakni makan tembok, rambut, atau
tanah
 Tidak takut pada hal-hal yang membahayakan atau sangat takut pada hal yang tidak
berbahaya

Penyebab autism spectrum disorder pada anak

Ilmuwan tidak mengetahui penyebab pasti dari autism spectrum disorder. Namun, mereka sepakat
bahwa perkembangan kelainan ini dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan sejak dalam
kandungan.
Rangkuman beberapa studi menyatakan bahwa autisme dapat menjadi hasil dari gangguan
pertumbuhan otak di awal masa perkembangan janin. Gangguan ini dapat merupakan efek dari
mutasi gen yang mengontrol perkembangan otak dan mengatur bagaimana sel otak berhubungan
antar satu sama lain.

Dalam tes pencitraan pada penderita autisme juga sempat ditemukan perbedaan pola
perkembangan beberapa area otak ketika dibandingkan dengan anak lain yang tidak memiliki
gangguan tersebut.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko ASD

 Jenis kelamin. Autisme terjadi 4 kali lebih sering pada anak laki-laki dibanding perempuan.
 Riwayat keluarga. Keluarga yang memiliki anak dengan GSA, memiliki risiko tinggi melahirkan
anak dengan kondisi serupa. Pada kasus jarang, kelainan ini diturunkan dari anggota
keluarga jauh.
 Penyakit lain. ASD cenderung terjadi lebih sering pada anak dengan genetik atau kondisi
kromosom tertentu, seperti sindrom fragile X, sklerosis tuberous, atau sindrom Rett
(lambatnya pertumbuhan kepala).
 Bayi prematur. Bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 26 minggu, berisiko besar mengalami
gangguan ini.
 Usia orangtua. Peneliti menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia orangtua
dengan anak autisme. Akan tetapi, dibutuhkan riset lebih lanjut untuk mengetahui hasilnya
lebih baik.

Satu yang pasti dan sudah terbukti adalah, beberapa studi menunjukkan bahwa vaksinasi tidak akan
meningkatkan risiko autism spectrum disorder.

Cara mendiagnosis autism spectrum disorder (ASD)

 Mengamati kebiasaan anak dan caranya berinteraksi dan berkomunikasi selama perawatan.
 Menguji kemampuan anak dalam mendengar, berbicara, dan mendengarkan.
 Melakukan tes pencitraan untuk mengetahui adanya kelainan genetik yang menjadi faktor
risiko dari autism spectrum disorder.

Terapi dan pengobatan untuk autism spectrum disorder (ASD)

1. Terapi perilaku dan wicara

Anak-anak yang mengalami masalah dengan keterampilan ini akan direkomendasikan mengikuti
terapi perilaku dan komunikasi. Pada terapi ini, si kecil akan diajarkan keterampilan baru lewat
permainan tertentu. Dari permainan dan kegiatan tersebut, si kecil akan mempelajari cara bertindak
dalam situasi-situasi sosial dan melancarkan kemampuannya berkomunikasi dengan orang lain.

2. Terapi pendidikan
Anak-anak yang kesulitan menerima pelajaran di sekolah, bisa mengikuti terapi ini. Para pengajar
yang terlatih akan memberikan program pendidikan yang terstruktur , sehingga lebih mudah
diterima anak dengan autism spectrum disorder.

Tidak seperti kelas biasa, si kecil akan diberi satu pengajar khusus. Dengan begitu, pengajar dapat
mengerahkan perhatian sepenuhnya pada anak. Begitu juga anak dapat memusatkan konsentrasi
pada pengajar dengan lebih baik karena minimnya gangguan dari teman atau orang lain.

3. Terapi fisik dan indra

Pada beberapa kasus, anak dengan ASD membutuhkan terapi fisik. Biasanya ini direkomendasikan
pada anak yang sering kali melakukan gerakan berulang, sehingga membuatnya mudah terjatuh.

Pada terapi ini, terapis akan membantu meningkatkan keseimbangan si kecil dan membantunya
mengurangi gerakan berulang yang tidak perlu. Untuk mengasah keterampilan anak dalam
memproses sensorik, di kecil akan diberi mainan yang bisa merangsang indera, seperti squishy atau
trampolin.

Sementara untuk mengurangi sensitivitas anak dengan suara, ia akan diajarkan mengenal berbagai
bunyi bahkan memainkan alat musik.

4. Obat-obatan

Selain terapi, pemberian obat juga bisa membantu mengendalikan gejala. Obat ini biasanya
diberikan pada anak yang sangat hiperaktif dan mengalami cemas berlebihan. Dokter akan
meresepkan obat antipsikotik dan antidepresan sesuai dengan kebutuhan anak.

Pengobatan yang dijalani dapat bersifat tunggal, maupun kombinasi, tergantung dengan berbagai
gejala yang dialami anak. Perawatan yang dilakukan dapat berubah seiring waktu sesuai sejalan
dengan peningkatan kesehatan anak. Selalu konsultasi kesehatan si kecil sebelum memilih
pengobatan maupun selama menjalani perawatan.

Tips merawat anak dengan autism spectrum disorder (ASD)

1. Cari dokter dan ahli kesehatan tepercaya

2. Tingkatkan pengetahuan diri mengenai autisme

3. Lakukan kunjungan ke dokter secara rutin

4. Perlu luangkan waktu untuk anak dan diri sendiri

G. Special Education)
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang yang
disebut Pendidikan Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education), selama
beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi
oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan
pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan bahwa selama berabad abab di semua Negara di
dunia, individu yang keadaannya berbeda dari kebanyakan indivividu pada
umumnya (menyandang kecacatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh adanya anggapan anggota kelompok yang terlalu lemah
(penyanang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya.
Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan, tidak
mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna, keberadaan
penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
Di masa lalu, ketidaktahuan orang tua dan masyarakat mengenai hakekat
dan penyebab kecacatan menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga
berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul. Misalnya seorang ibu yang
melahirkan anak penyandanc cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa
nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lalu, anak-anak penyandang cacat sering
disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat
merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan barus
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak
penyandang cacat. Menyelatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi
penting karena dipandang sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju
dari sari suatu bangsa,
meskipun anak-anak penyandang cacat memerlukan perhatgian ekstra
(Miriam, 2001). Pandangan orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa
memelihara dan membesarkan anak merupakan investsi agar kelak anak dapat
membalas jasa orang tuanya menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu
mulai bediri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, dan panti social
yang secara khusus mendidik dan merawat anak penyandang cacat. Mereka yang
menyandang kecacatan dipandang memiliki karakteristik yang bebeda dari orang
kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan
metode khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu pendidikan anak-
anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak-
anak lainnya. Konsep pendidikan sepeti inilah yang disebut dengan Special
Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi Pendidikan Luar Biasa atau
Pendidikan Khusus), yang melahirkan system sekolah segregasi (Sekolah Luar
Biasa).
Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam
sistem pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek
karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang
khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah
khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan
tunadaksa). Layanan yang terpisah dari pendidikan biasa. pendidikan seperti ini
disebut dengan sistem pendidikan segregasi. Oleh karena itu terdapat dikotomi
antara pendidikan khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan
pendidikan biada/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
Dengan kata lain fokus utama dari Special Education/ PLB adalah label kecacatan
bukan anak sebagai indvidu yang unik.
Dalam paradigma pendidikan khusus/PLB (special education) melahirkan
layanan pendidikan yang bersifat segregasi dan layanan pendidikan integrasi.
Layanan pendidikan segregasi yaitu layanan pendidikan yang diberikan pada satu
jenis kecacatan tertentu dalam bentuk sekolah khusus seperti sekolah khlusus untuk
anak tunanetra, sekolah khusus untuk anak tunarungu, dst. Sementara itu, layanan
pendidikan yang dianggap lebih maju yaitu anak-anak yang menyandang
kecacatan layanan pendidikannya di satukan dengan anak bukan penyandang cacat
di sekolah biasa, dengan syarat anak-anak penyandang cacat dapat diterima di
sekolah biasa apabila dapat mengikuti ketentuan yang beralaku bagi anak-anak
bukan penyandang cacat.

a. Konsep Pendidikan Segregasi

Perkembangan sejarah pendidikan bagi penyandang cacat selama beberapa


dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu terjadi dalam hal kesadaran
dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan perubahan dalam konsep
yang digunakan. Sejarah menunjukkan pula bahwa selama-berabad-abad di
kebanyakan negara di dunia, individu yang berbeda atau menyimpang dari kebanyakan
dianggap sebagai yang tidak normal dan kehadiranya selalu ditolak oleh masyarakat
dan lingkungannya. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota
kelompok yang lemah (cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi. Mereka yang
berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan dan tidak memperoleh kasih
sayang dan kontak sosial yang bermakna. Pada waktu itu keberadaan individu
penyandang cacat tidak diakui keradaannya oleh masyarakat.
Ketidaktahuan masyarakat tentang hakekat dan penyebab kecacatan
menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan
tahayul. Misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat dianggap
sebagai hukuman atau kutukan bagi atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu
di masa lalu anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya,
sebab mempunyai anak penyandang cacat dianggap sebagai aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak
penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak penyandang cacat menjadi penting
karena dipandang sebagai symbol dari sebuah peradaban yang lebih maju (Miraiam,
2001). Pandangan orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa memelihara,
membesarkan dan mendidik anak-anak penyandang cacat merupakan investasi agar
kelak anak membalas jasa orang tuanya menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakuai keberadaannya dan oleh sebab itu mulai
berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan, panti-panti sosial yang
secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang
menyandang kecacatan dianggap memiliki karakteristik yang khusus dan berbeda dari
orang kebanyakan (normal), Sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan
pendekatan dan metoda yang sangat khusus sesuai dengan karakteristinya. Oleh
karena itu pendidikan bagi anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah
khusus) dari anak normal.
Berdasarkan alasan seperti itu munculah sekolah-sekolah khusus sesuai dengan
label kecacatan, seperi sekolah khusus bagi anak-anak yang mengalami gangguan
penglihatan, pendengaran, kecerdasan, dan bagi anak-anak yang mengalami gannguan
gerak/motorik. Perkembangan berdirinya sekolah-sekolah khusus yang terpisah
didasarkan oleh adanya anggapan (konsep) bahwa seorang anak yang mengalami
kecacatan tertentu akan memperoleh banyak keuntungan dari pendidikan yang terpisah
dari anak normal karena sangat memungkinkan mereka belajar dalam kelas dengan
jumlah murid yang sedikit, belajar bersama guru yang sangat spesialis dengan
menggunakan pendekatan, metoda, program dan alat-alat yang sangat khusus. Konsep
pendidikan seperti ini yang disebut dengan system pendidikan segregasi, yaitu
pendidikan khusus yang terpisah dari pendidikan anak normal. Sistem pendidikan
segregasi dilandasi oleh konsep special education.
Di Indonesia system pendidikan integrasi sudah berlangsung satu abad lebih,
sejak dimulainya pendidikan bagi anak tunanetra pada tahun 1901 Bandung. Dalam
konsep special education dan system pendidikan segregasi lebih melihat anak dari
label dan karakteristik kecacatannya sebagai dasar dalam memberikan layanan
pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antara pendidikan anak cacat di sekolah
khusus (segregasi) dengan sekolah biasa. Pendidikan khusus dan sekolah khusus
dipandang sebagai hal yang sangat berbeda dari sekolah biasa, yang seolah-olah
terdapat dua system pendidikan yang saling berlawanan.
Sistem pendidikan segregasi yang sampai saat ini di Indonesia eksisitensinya
masih sangat kuat, mengandung kelemahan-kelemahan baik bagi anak-anak
penyandang cacat itu sendiri maupun bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya.
Secara pedagogis, system pendidikan segregasi mengabaikan eksisitensi anak sebagai
individu yang unik dan holistic, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara
psikologis, system segregasi kurang memperhatikan hambatan belajar, perbedaan
individual dan kebutuhan anak. Ada kesan menyeragamkan layanan penddidikan
berdasarkan kecacatan yang disandangnya Secara filosofis pendidikan segregasi
menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal
sesungguhnya penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat (Smith, 1995).
Dari sudut pandang penelitian, tidak ada hasil penelitian yang membuktikan
bahwa sekolah khusus yang terpisah (segregasi) lebih baik dalam hal hasil belajar
anak baik secara akademik maupun sosial dibandingkan dengan sekolah integrasi
(Center & Cury, 1993).

b. Pendidikan Integrasi

Pemahaman konsep tentang pendidikan anak penyandang cacat terus


berkembang sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Pada tahun delapan puluhan terjadi gerakan yang kuat terhadap
penyatuan pendidikan anak penyandang cacat bersama-sama dengan anak pada
umumnya di sekolah biasa yang disebut dengan integrasi. Integrasi adalah penyediaan
pendidikan yang berkualitas bagi siswa-siswa dengan kebutuhan kebutuhan khusus di
sekolah biasa.
Dalam system pendidikan integrasi anak-anak penyandang cacat mempunyai
kesempatan untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama anak-anak pada
umumnya. Akan tetapi kesempatan bagi anak penyandang cacat untuk mengikuti
pendidikan di sekolah biasa dibatasi oleh adanya patokan yaitu bahwa anak
penyandang cacat dapat diterima di sekolah reguler sepanjang anak ini dapat
menyesuaikan diri dengan system yang berlaku bagi anak pada umumnya. Artinya
anak penyandang cacat harus mampu menyesuaikan diri dengan system yang ada di
sekolah itu.
Istilah integrasi digunakan sebagai kata benda dalam menggambarkan usaha-
usaha untuk menghindari pemisahan dan isolasi pendidikan anak-anak penyandang
cacat. Di dalam deskripsi dari usaha-usaha integrasi tercermin makna organisasi
yang terstruktur dan mempunyai karakteristik yang khas. Di dalam sebuah studi
tentang integrasi (Lucas, 1981), menjelaskan bahwa organisasi pendidikan integrasi
sebagai berikut:

a. Sekolah reguler dan kelas reguler tanpa dukungan

Dalam organisasi ini anak penyandang cacat secara penuh berada di kelas
dan sekolah regular. Layanan pendidikan yang diperoleh oleh anak penyandang
cacat sama seperti yang diperoleh oleh anak pada umumnya. Artinya anak
penyandang cacat harus mengikuti standar yang berlaku bagi anak bukan
penyandang cacat dalam hal kurikulum, evalusai, dan dalam penggunaan fasilitas.

b. Kelas reguler ada dukungan untuk guru dan siswa

Dalam organisasi seperti ini anak penyandang cacat yang belajar di sekolah
regular memperoleh dukungan dalam hal-hal tertentu yang tidak mungkin
diperoleh secara bersama dengan yang bukan penyandang cacat. Misalnya seorang
anak tunanetra memperoleh dukungan ketika mengerjakan soal ujian, ada orang lain
yang membacakan soal-soal utuk dijawab. Demikian juga guru mendapat dukungan
dari guru khusus ketika harus memeriksa hasil ujian yang ditulis dalam tulisan
braille.
c. Kelas reguler full out support

Organisasisi integrasi full out support adalah anak penyandang cacat yang
belajar di sekolah reguler pada waktu-waktu tertentu dapat ditarik keluar dari
kelas untuk belajar bidang pelajaran tertentu yang dilakukan di tempat khusus
(ruang sumber). Setelah itu kembali lagi ke kelas regular.

H. PENDIDIKAN INKLUSI

      Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang


menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada
umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82),
pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi
lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Menurut
Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007;83), pendidikan inklusi adalah penempatan
anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas. Hal ini
menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak
berkelainan, apapun jenis kelainanya. Dari beberapa pendapat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan untuk peserta
didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang 12 kondisi fisik intelektual,
sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk bersama-sama
mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah regular ( SD, SMP, SMU, maupun
SMK).

Pendidikan inklusi berdasarkan obyek :


1.      inklusi tuna netra
Inklusi tunanetra adalah pendidikan inklusi bagi anak yang mengalami
gangguan penglihatan atau rusak penglihatannya (buta total) pendidikan
inklusi tunanetra ini peserta didik diberi alat bantu software JOS yang di
install pada PC atau laptop, sehingga semua tulisan dapat diubah menjadi
bunyi oleh software tersebut.
2.      inklusi tuna rungu
Inklusi tuna rungu adalah pendidikan inklusi untuk anak yang kehilangan
seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan
berkomunikasi secara verbal. Untuk alat bantu yang digunakan adalah
menggunakan bahasa mimic atau bahasa isyarat.
3.      inklusi tuna diaksa
Inklusi tuna diaksa adalah pendidikan inklusi untuk anak yang mengalami
cacat fisik berupa tidak memiliki anggota tubuh (tangan dan kaki) ataupun jika
punya kaki maupun tangannya tidak dapat berfungsi secara baik.
A.      TUJUAN PENDIDIKAN INKLUSI
a. Tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar
dalam inklusi antara lain adalah:
1) berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri
sendiri atas prestasi yang diperolehnya.
2) anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan
menerapkan pelajaran yang diperolehnya di sekolah ke dalam kehidupan
sehari-hari.
3) anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, guru,
sekolah dan masyarakat.
4) anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu
beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut.
b. Tujuan yang ingin dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanakan
pendidikan inklusi antara lain adalah:
1) guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dengan
setting inklusi.
2) terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang
memiliki latar belakang beragam.
3) mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan
kepada semua anak.
4) bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi
beragam.
5) mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta
mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak
dilingkungan sekolah dan masyarakat.
c. Tujuan yang akan dicapai bagi orang tua antara lain adalah:
1) Para orang tua dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana cara
mendidik dan membimbing anaknya lebih baik di rumah, dengan
menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.
2) mereka secara pribadi terlibat, dan akan merasakan keberadaanya
menjadi lebih penting dalam membantu anak untuk belajar.
3) orang tua akan merasa dihargai, merasa dirinya sebagai mitra sejajar
dalam memberikan kesempatan belajar yang berkualitas kepada anaknya.
4) orang tua mengetahui bahwa anaknya dan semua anak yang di sekolah,
menerima pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kempuan
masingmasing individu anak.
d. Tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh masyarakat dalam
pelaksanaan pendidikan inklusif antara lain adalah:
1) masyarakat akan merasakan suatu kebanggaan karena lebih banyak anak
mengikuti pendidikan di sekolah yang ada di lingkungannya.
2) semua anak yang ada di masyarakat akan terangkat dan menjadi sumber
daya yang potensial, yang akan lebih penting adalah bahwa masyarakat
akan lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan yang
lebih baik antara sekolah dan masyarakat ( Tarmansyah, 2007:112-113).
BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

1.     Psikologi pendidikan adalah studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor


yang berhubungan dengan pendidikan manusia.

2.     Johann Herbart adalah bapak psikologi pendidikan yang konon menurut sebagian ahli
masih disiplin ilmu psikologi lainnya.

3.     Perkembangan Psikologi Pendidikan pada permulaan abad ke-20 menyelidiki-penelitian


psikologi yang lebih khusus yang berdampak besar terhadap teori-teori dan praktek
pendidikan. Tokohnya antara lain adalah Termann, Thorndike, dan Jude.

4.     Metode-metode psikologi pendidikan, metode eksperimen, kuesioner, studi kasus,


penyelidikan klinis, dan metode observasi naturalistik.

5.     Manfaat pembelajaran psikologi antara lain: untuk mempelajari situasi dalam situs
pembelajaran serta penerapan prinsip-prinsip belajar mengajar.

B.   Saran

1.     Dalam penerapan metode pembelajaran terhadap peserta didik harus disesuaikan dengan
kondisi siswanya.

2.     Sebagai seorang yang dijadikan contoh haruslah perhatian penuh pertimbangan karena
sebagai figur anak-anak dan peserta didik.

3.     Sebaiknya bagi calon tenaga pendidik tidak menjadikan makalah ini sebagai satu-
satunya referensi dan bahan ajar.
DAFTAR PUSTAKA

Santrock J.W. 2009.Psikologi Pendidikan. Salemba Humanika; Jakarta.

Jamaris, Martini. 2010 Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan. Yayasan Penamas
Murni: Jakarta.

Eggen, Paul dan kauchak, Don. 2004. Educational Psychology. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.

http://santoson111.blogspot.com/2018/12/makalah-pengantar-psikologi-pendidikan.html?
m=1

https://sites.google.com/a/mhs.uinjkt.ac.id/intan-permata-sari/semester-2/7

https://translate.googleusercontent.com/translate_c?
client=srp&depth=1&hl=id&nv=1&prev=search&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt
4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Intellectual_disability&usg=ALkJrhjvnxOC1yfN
8oV9jhPFodNGi1XpDg

https://translate.googleusercontent.com/translate_c?
client=srp&depth=4&hl=id&nv=1&prev=search&rurl=translate.google.com&sl=en&sp=nmt
4&tl=id&u=https://en.m.wikipedia.org/wiki/Emotional_and_behavioral_disorders&usg=ALk
JrhiVz44XjB-VTVQrB7LOaJpL-62o6w

Jaschik, Scott. " Bahasa Protes ". Inside Higher Ed . 2015-11-02.

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241984031-
ZAENAL_ALIMIN/modul_1_UNIT_1_.pdf

Anda mungkin juga menyukai