Agus Setiawan FITK
Agus Setiawan FITK
KI HADJAR DEWANTARA
Skripsi
Oleh:
Agus Setiawan
NIM. 1112011000056
2017 M/1438
ABSTRAK
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT
yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat
kesehatan yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta seluruh keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang senantiasa
mengikuti ajarannya sampai akhir zaman.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungannya baik secara moril dan materil, sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, sebagai Ketua Jurusan Pendidikan
Agama IsIam (PAI), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu
memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama
penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.
3. Marhamah Saleh, Lc., M.A, sebagai Sekretaris Jurusan PAI
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memberikan
bimbingan dan dukungan kepada penulis untuk segera merampungkan
skripsi.
4. Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum, sebagai dosen pembimbing dengan penuh
kesabaran dan keikhlasannya telah membimbing, memberikan saran dan
iii
masukan serta mengarahkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
5. Staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberi kemudahan pembuatan
surat-surat serta sertifikat.
6. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur
yang dibutuhkan.
7. Orang tua tercinta, Bapak Warsito, dan Ibu Subtiah yang tidak henti-hentinya
mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan
materil kepada penulis. Serta adik saya Rifqi Maulaaya Ramadhan yang terus
memberikan semangat untuk penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Annisa Nur Utami yang tidak hentinya memberikan dukungan dan semangat,
serta bantuan yang sangat berarti kepada penulis dalam menyusun skripsi.
9. Sahabat seperjuangan penulis, Abdul Fattah, Afrizal Haqqul Yaqqin, Ahmad
Ray Fuad Zeins, Jeis Adli Ribhan, dan M. Dhiya Habibi yang memberikan
dukungan motivasi dan doa serta menemani mengisi hari-hari yang telah
dilalui penulis.
10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012
khususnya Sahabat-sahabat PAI B 2012, atas kebersamaan dan bantuan yang
sangat berarti bagi penulis selama masa perkuliahan.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat berdoa mudah-mudahan
bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang telah diberikan
menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat.
Amin yaa robbal ‘alamin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif, namun
dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat
iv
untuk semua pihak, minimal bagi penulis sendiri. Akhirnya hanya kepada Allah
jua segala sesuatu penulis kembalikan. Wallahu A’lam Bishawab.
Agus Setiawan
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
vi
D. Prosedur Penelitian ........................................................................... 37
E. Sumber Data ...................................................................................... 38
F. Analisis Data ...................................................................................... 39
G. Teknik Penulisan ............................................................................... 40
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 67
B. Saran ................................................................................................... 68
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bidang akademik, guru harus memiliki pengetahuan yang luas agar
menjadi pemicu peserta didik untuk meningkatkan prestasinya. Sedangkan
secara sikap, guru dituntut memiliki sopan santun, akhlak yang baik, kepatuhan
dalam beribadah, dan sebagainya, agar dapat menjadi tauladan bagi peserta
didik. Tugas guru bukan hanya menyampaikan suatu pelajaran atau materi saja,
melainkan berperilaku yang baik agar peserta didik dapat mencontoh perilaku
guru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila seorang
guru berperilaku yang tidak baik di kesehariannya, maka bukan tidak mungkin
peserta didik akan mencontoh apa yang dilakukan oleh guru, karena itu adalah
sebagian dari pendidikan secara tidak langsung dari sang guru.
Belajar dari kisah yang dialami Jepang, ketika kota Hiroshima dan
Nagasaki dibom oleh Sekutu, sang prajurit melapor kepada pimpinannya. Hal
yang pertama kali ditanyakan oleh pimpinan negara tersebut adalah berapa
orang guru yang selamat. Baginya, begitu pentingnya peran guru bagi
kemajuan negaranya kelak. Dewasa ini, jika melihat dari fenomena yang ada,
banyak sekali polemik yang terjadi pada pendidikan Indonesia. Seperti halnya
yang marak dibicarakan akhir-akhir ini, misalnya: kurangnya guru profesional,
minimya guru yang memahami hakekatnya sebagai guru, soal UN yang bocor,
hingga pengulangan Ujian Nasional karena mengalami kebocoran seperti yang
terjadi tahun lalu. Entah siapa yang pantas dan harus disalahkan pada polemik
kali ini, yang jelas itu semua tidak terlepas dari peran pendidik dalam
pembelajaran. Pendidiklah yang setiap hari bertatap muka dengan dan
mengetahui perkembangan apa saja yang dialami peserta didik.
Ada banyak sekali tokoh pendidikan di Indoneisa. Akan tetapi Bapak
Pendidikan Nasional yang sudah kita kenal dan paling kita kenang, adalah Ki
Hadjar Dewantara. Salah satu filosofi beliau dalam dunia pendidikan adalah
sebuah semboyan yang berbunyi “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (di depan memberi teladan, di tengah
memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Maksudnya ialah bahwa
seorang pendidik haruslah menjadi teladan bagi para peserta didik, menjadi
pembimbing yang baik, dan juga dapat mendorong dalam arti mensupport
3
peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas dan berguna bagi nusa,
bangsa, dan agama.
Nama asli Ki Hadjar Dewantara adalah R.M. Suwardi Suryaningrat. Ia
seorang putera keturunan bangsawan. Ia dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889
(yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional) di Yogyakarta
sebagai cucu dari Sri Paku Alam Ke III, anak dari Pangeran Suryaningrat,
putera sulung dari permaisuri dan Sri Paku Alam ke III tersebut.3 Suwardi yang
sejak berusia 40 tahun berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, sampai
akhir hayatnya menjadi pemimpin Umum Persatuan dan Perguruan Taman
Siswa.4
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak. Adapun pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.5 Mendidik adalah menuntun atau mengarahkan peserta
didik agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan mencapai tujuannya
menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Peran guru yang
diinginkan oleh beliau ialah seorang guru menjadi teladan bagi anak didiknya
lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan,
dan dapat mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada Undang-Undang Guru dan
Dosen nomor 14 tahun 2005 bahwa pendidik profesional dengan tugas utama:
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi, peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan
menegah.6 Artinya tugas seorang guru bukan hanya mengajar dan mendidik
peserta didiknya, akan tetapi juga harus membimbing dan mengarahkan
mereka kepada jalan yang benar, melatih kemampuan mereka agar dapat
3
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan Kawan-kawan, (Jakarta:
PT. Gunung Agung, 1980), h. 3.
4
ibid., h. 4.
5
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,
2011), cet. 4, h. 20.
6
Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
4
7
Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar
Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 29.
5
diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif.8
Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan guru, pelatihan, maupun
belajar mandiri atau otodidak dengan memanfaatkan sumber belajar yang
tersedia.
Kompetensi yang harus dimiliki setiap guru yaitu: kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Kompetensi pedagodik merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki guru
yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar. Lalu kompetensi
kepribadian berkaitan dengan tingkat laku pribadi guru itu sendiri yang kelak
harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.9
Selanjutnya kompetensi sosial merupakan kompetensi yang berhubungan
dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk
sosial. Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berhubungan dengan
penyelesaian tugas-tugas keguruan. Keempat kompetensi tersebut sesuasi
dengan apa yang diharapkan Ki Hadjar Dewantara terhadap guru dalam
melaksanakan tugasnya.
Dari semua pemaparan di atas telah jelas, seberapa pentingnya peran para
guru dalam pendidikan. Dengan memahami peran dirinya sebagai pendidik,
dengan melihat dan mendalami perjuangan tokoh pendidikan pada masa
perjuangan dahulu, maka para guru dapat meneruskan perjuangan para
pahlawan, khususnya yang berjuang di bidang pendidikan dan membantu
memajukan bangsa. Oleh karna itu, setiap pendidik haruslah memahami dan
mengerti bagaimana peran dan hakekat pendidik dalam hal ini adalah guru,
sehingga menjadi pendidik yang profesional yang diharapkan oleh para
pendahulunya. Dengan menjelaskan semua hal tersebut, penulis membuat
skripsi berjudul: Peran Guru Menurut Perspektif Ki Hadjar Dewantara.
8
Kusnandar, Guru Profesional; Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 55.
9
Fachruddin Sudagar dan Ali Idrus, Pengembangan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2011), cet. 3, h. 42.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dijelaskan, maka dalam hal ini
diperoleh beberapa masalah di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Masih terdapat guru yang kurang sadar dalam memahami peran dirinya di
dunia pendidikan;
2. Masih adanya guru yang belum memaknai dan meresapi pandangan Ki
Hadjar Dewantara tentang peran seorang guru dalam dunia pendidikan.
3. Adanya pendidik yang belum mengaplikasikan perannya sebagai guru
sebagaimana yang diinginkan atau dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
C. Batasan Masalah
D. Perumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian
Setiap karya ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Begitu
juga dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan permasalahan-permasalahan
yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan yang diharapkan tercapai dari
skripsi ini adalah untuk mengetahui peran guru menurut perspektif Ki Hadjar
Dewantara
7
F. Manfaat Penelitian
A. Pengertian Peran
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 854.
2
Wahjosumijo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
155.
3
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 210.
8
9
B. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhana komunitas manusia memerlukan
pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dan komunitas tersebut
akan ditentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan
secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.7
4
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h.
235.
5
Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 88.
6
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17.
7
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 28.
10
8
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 5.
9
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 11.
10
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 7.
11
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 1.
12
Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 29.
11
13
Syaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h. 43.
14
M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 7.
15
Djunaidatul Munawwaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2003), h. 5.
12
C. Pendidik (Guru)
1. Pengertian Guru
Pendidik dapat diartikan secara luas dan sempit. Pendidik secara luas
adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak. Pendidik
secara arti sempit adalah orang-orang yang telah disiapkan secara sengaja
untuk menjadi guru dan dosen.17 Hal ini selaras dengan Undang-Undang
yang menyatakan, bahwa pendidik merupakan orang yang memiliki tugas
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan
menegah.18
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidik merupakan orang
yang berperan penting dalam pendidikan yang bertugas mendidik, mengajar
dan bertangung jawab atas keberhasilan peserta didik. Di Indonesia pendidik
biasa dikenal dengan sebutan guru di mana guru melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut kepada para siswanya.
16
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 17.
17
Made Pirdata, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 276.
18
Undang-Undang RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
13
ً س ُك ْم َوأ َ ْه ِل ْي ُك ْم و
َازا َ ُ قُ ْىا أ َ ْوف. . .
Artinya: “. . . Peliharalah dirimu dan anggota keluaragamu dari ancaman
neraka” (Q.S. at-Tahrim: 66)
Tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik,
yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi psikomotorik, kognitif, maupun afektif. Pengaruh pendidikan di
dalam rumah tangga terhadap perkembangan anak memang amat besar,
mendasar, mendalam. Akan tetapi, pada zaman modern ini pengaruh itu
boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif (sikap). Pengaruh
pendidikan di sekolah juga besar dan luas serta mendalam, tetapi hampir-
hampir hanya pada segi perkembangan aspek kognitif (pengetahuan) dan
psikomotor (keterampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah
hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Jadi, guru yang
dimaksud di sini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid
atau biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di
sekolah.19
19
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, PT Remaja
Rosydakarya, 2007), cet. 7, h. 74-75.
14
pendidik, yang dalam hal ini disebutkan sebagai guru. Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.20
Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai pendidik yaitu:
20
Kusnandar, op. cit., h. 54.
21
Aan Hasanah, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 23.
15
e. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitar untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama
terhadap pendidikan
22
Djaman Satori, dkk., Profesi Keguruan, (Jakarta: Kotak Pos, 2005), h. 120.
16
Kode etik seorang guru menjadi norma, aturan, dan landasan dalam
melakukan suatu kegiatan, baik itu kegiatan dengan lembaga pendidikan,
peserta didik, orang tua, masyarakat hingga lingkungan sekitar.
4. Kompetensi Guru
23
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruaan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), h. 34.
24
Jejen Musfah, op.cit., h. 27.
25
Kusnandar, op. cit., h. 51.
17
a. Kompetensi Pedagogik
Pedagogik adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang
lingkupnya terbatas pada interaksi edukatif antara pendidik dengan siswa.
26
Fachruddin Sudagar dan Ali Idrus, op. cit., h. 31.
27
Jejen Musfah, op. cit., h. 27.
28
Hanafiah dan Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2012), cet. 33, h. 103.
18
29
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 33.
30
Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2013),
h. 22.
31
Jejen Musfah, op. cit., h. 30-31.
19
b. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan dengan
tingkah laku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai
luhur sehingga terpantul dalam perilaku sehari-hari.32 Kompetensi ini
terdiri dari lima subkompetensi, yaitu kepribadian yang mantap dan
stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan berakhlak mulia.33
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal.
Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan
(yang harus di-gugu dan di-tiru). Sebagai seorang model guru harus
memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan
kepribadian (personal competencies), di antaranya:
1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama
sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya.
2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama
3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan
sistem nilai yang berlaku di masyarakat.
4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya
sopan santun dan tata krama.
5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaharuan dan kritik. 34
Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi yang melihat pada
pribadi seorang guru. Idealnya, seorang guru harus memiliki kepribadian
yang baik sehingga dapat menjadi contoh dan panutan bagi orang
sekitarnya, baik itu peserta didik bahkan masyarakat.
32
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 42.
33
Sudarwan Danim, op. cit, h. 23.
34
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. 3, h. 145.
20
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005, pada pasal 28 ayat 3, ialah kemampuan pendidik sebagai bagian
dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul ecara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali
peserta didik dan masyarakat sekitar.35
Kompetensi tersebut berhubungan dengan kemampuan guru sebagai
anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial. kompetensi ini
berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan
sebagai makhluk sosial, meliputi:
1) Kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman
sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional.
2) Kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap
lembaga kemasyarakatan.
3) Kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun
secara kelompok.
Kompetensi sosial memiliki tiga sub ranah. Pertama, mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Sub
kompetensi ini memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara efektif
dengan peserta didik. Kedua, mampu berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan. Ketiga, mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta
didik dan masyarakat sekitar.36
Dalam kompetensi sosial, guru dituntut dapat berinteraksi dengan
baik, komunikatif dan interaktif dengan orang-orang yang dijumpainya
baik di linkungan rumah, sekolah maupun masyarakat.
35
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus, op. cit, h. 63.
36
ibid, h. 24.
21
d. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berhubungan
dengan penyelesaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan
kompetensi yang sangat penting, karena langsung berhubungan dengan
kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang
guru dapat dilihat dari kompetensi ini, di antaranya:
1) Kemampuan untuk menguasai landansan kependidikan, misalnya
paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional,
tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran.
2) Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham
tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori
belajar, dan lain sebagainya.
3) Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang
studi yang diajarkan.
4) Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi
pembelajaran.
5) Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan
sumber belajar.
6) Kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
7) Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran.
8) Kemampuan dalam melaksanakan unsur-unsur penunjang, misalnya
paham akan administrasi sekolah, bimbingan, dan penyuluhan.
9) Kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk
meningkatkan kinerja.37
Kompetensi profesional terdiri dari dua ranah sub kompetensi.
Pertama, sub kompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait
dengan bidang studi memiliki indikator esensial: memahami materi ajar
yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan
metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan bahan ajar;
memahami hubungan konsep antarmata pelajaran terkait; dan
37
Wina Sanjaya, op. cit., h. 145-146.
22
38
ibid, h. 24.
39
Soetjipto dan Raflis Kosasi, op. cit., h. 42-43.
23
40
ibid., h. 44.
41
ibid., h. 45.
24
dengan bidang profesi. Di samping itu, secara informal guru dapat saja
meningkatkan mutu profesinya dengan mendapatkan informasi dari
media massa (surat kabar, majalah, radio, televisi, dan lain-lain) atau dari
buku-buku yang sesuai dengan bidang profesi yang bersangkutan.
42
ibid., h. 47.
25
tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh kepada
kehendak dan kemauan guru.43
Dalam berperilaku terhadap siswa, guru seharusnya memperlakukan
peserta didik bukan sebagai objek yang harus menerima apapun yang
disampaikan guru. Guru seharusnya memperlakukan siswa sebagai subjek
yang sama-sama dapat berfikir dan berkembang sehingga dapat
bekerjasama dalam mencapai suatu ilmu pengetahuan.
43
ibid., h. 50.
44
ibid., h. 50-51.
26
45
ibid., h. 52.
27
46
ibid., h. 53-54.
47
Sungkring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), h. 19.
28
48
ibid, h. 20
29
49
ibid, h. 81.
50
Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 43
51
ibid, h, 48
30
52
ibid, h. 47
31
ُطائِفَةَ َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمىُ ْىنَ ِليَ ْى ِف ُس ْوا َكافهةً فَلَ ْى ََل وَفَ َس ِم ْه ُك ِّل فِ ْسقَة ِم ْى ُه ْم
َِل َيتَفَقه ُهىا ِفي ال ِدّي ِْه َو ِليُ ْىر ُِز ْوا قَ ْى َم ُه ْم إِذَا َز َجعُ ْىا ِإلَ ْي ِه ْم لَ َعله ُه ْم َي ْحرَ ُز ْون
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Ayat tersebut adalah kewajiban untuk menuntut ilmu, kemudian
mengajarkannya dan memberi peringatan (pelajaran) kepada mereka yang tidak
menuntut ilmu. Islam sedemikian tinggi memberikan penghargaan kepada guru
53
Ahmad Tafsir, op. cit., h. 76.
54
Sungkring, op. cit., h. 82.
32
55
Sungkring, op. cit., h. 83.
33
Barat tidak memiliki nilai kelangitan tersebut. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila di Barat guru tidak lebih dari sekedar orang yang
pengetahuannya lebih banyak daripada murid. Hubungan guru dan murid juga
tidak lebih dari sekedar hubungan pemberi dan penerima. Maka wajarlah bila
di Barat hubungan guru dan murid adalah hubungan kepentingan antara
pemberi dan penerima jasa (ilmu pengetahuan). Karena itu, hubungan juga
diikat oleh pembayaran yang dilakukan berdasarkan perhitungan ekonomi.
Dalam sejarahnya, hubungan guru dengan murid dalam Islam ternyata
sedikit demi sedikit telah berubah, nilai-nilai ekonomi sedikit demi sedikit
mulai masuk. Misalnya seperti:
1. Kedudukan guru dalam Islam semakin merosot.
2. Hubungan guru dan murid semakin kurang berkurang nilai luhurnya,
penghargaan (penghormatan) murid terhadap guru semakin turun.
3. Harga karya mengajar semakin tinggi.56
Memang jika dilihat fenomena yang terjadi sekarang ini bahwa secara
tidak disadari budaya Barat telah masuk ke dalam dunia pendidikan. Dari
kurang ihtiramnya murid kepada gurunya, hingga perlakuan tidak terpuji yang
dilakukan oleh seorang guru pada muridnya atau sebaliknya. Juga ada pendidik
yang asal menyampaikan pelajaran di kelas, tetapi ketika di luar kelas ia seperti
lepas dari tanggung jawabnya sehingga melakukan apapun semaunya bahkan
perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang yang menjadi panutan
peserta didik. Karena kedudukannya sebagai guru hanya dianggap sebagai
profesi atau pekerjaan untuk mencari penghasilan. Padahal kedudukan seorang
guru lebih dari itu, lebih tinggi dari pekerjaan lainnya. Guru bukan saja ketika
di dalam kelas atau sekolah, tetapi menjadi guru yang bisa digugu dan ditiru
oleh orang lain di manapun ia berada.
Lalu mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam dan juga ahli
pendidikan Barat telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik
adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk
56
Ahmad Tafsir, op.cit., h. 77.
34
57
ibid, h. 78.
58
Sungkring, op.cit., h. 84.
35
METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
1
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2011), cet. 14, h. 2-3.
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosydakarya,
2010), cet. 28, h. 6.
36
37
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai peran guru menurut
perspektif Ki Hadjar Dewantara.
D. Prosedur Penelitian
3
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: IKAPI, 2013), cet. 5, h. 17.
4
ibid., h. 4.
38
E. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu:
5
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013), h. 31.
6
ibid, h. 24.
7
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89.
39
F. Analisis Data
8
ibid., h. 91.
9
Lexy. J. Moleong, op.cit., h. 220.
40
G. Teknik Penulisan
1
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 3.
41
42
4
Bambang S. Dewantara, op. cit., h. 80.
5
ibid., h. 82.
6
A. H. Harahap dan B. S. Dewantara, op. cit., h. 4.
44
7
Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Kanisius,
2013), h. 48.
8
ibid, h. 49.
45
Taman Siswa adalah satu badan perguruan yang sudah dilaras dengan
kepentingan dan keperluan rakyat, yang diserahkan kepada perhatian rakyat
umum pula. Sedangkan guru-gurunya adalah golongan anak bangsa sendiri,
yang rela dan keikhlasan hatinya bersedia dan menyerahkan diri untuk
keperluan rakyat dalam perkara pengajaran dan pendidikan.11
9
ibid, h. 52.
10
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 50.
11
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 10.
46
12
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 69.
47
14
Nursida Azhari Rumeon, “Relevansi Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan
Konsep Pendidikan Islam”, Skripsi pada Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011,
h. 19-20, tidak dipublikasikan.
50
15
Uyoh Sadulloh, dkk, op.cit., h. 5.
16
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 14.
17
ibid, h. 15.
18
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 20.
19
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 3.
51
oleh karenanya, maka hukuman yang tiada setimpal dengan kesalahannya pun
tidak akan peserta didik dapatkan.
Semua itu adalah syarat-syarat guru yang hendak berusaha mendatangkan
rakyat yang merdeka, dalam arti kata yang sebenar-benarnya yaitu lahirnya
tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri
karena kekuatan sendiri.20
Adapun pendidikan nasional merupakan pendidikan yang merujuk kepada
kebudayaan bangsa sendiri dan mengutamakan masyarakat. Oleh sebab
tersebut, Ki Hadjar Dewantara menawarkan sistem among yang menyokong
kodrat alam anak-anak didik, bukan dengan perintah dan larangan, tetapi
dengan tuntunan dan bimbingan, sehingga perkembangan batin anak dapat
berkembang dengan baik sesuai dengan kodratnya. Sistem among ini
didasarkan pada dua hal, yaitu:
1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menggerakkan dan menghidupkan
kekuatan lahir dan batin, sehingga dapat hidup merdeka
2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan
dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Untuk merealisasikan pemikirannya tersebut, maka didirikanlah perguruan
Taman Siswa. Pada kongres pertamanya tahun 1947, Ki Hadjar Dewantara
mempertegas pemikirannya dengan mengemukakan lima asas yang dikenal
dengan Panca Darma. Kelima asas tersebut adalah asas kemerdekaan, asas
kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan.
Ki Hadjar Dewantara juga melontarkan konsep belajar tiga dinding dalam
kelas. Filosofi yang digunakan bukanlah sembarangan. Ia beranggapan bahwa
selama ini kita belajar di kelas dengan empat dinding yang menjulang ke atas,
jendela yang begitu tinggi dan menyebabkan peserta didik tidak bisa melihat
alam secara bebas, ditambah lagi dengan pajangan para pahlawan yang
mimiknya begitu menyeramkan. Itu semua membuat batasan antara kita
sebagai manusia dan alam. Maka dari itu ia menyarankan untuk belajar tiga
dinding agar tidak ada perbedaan di antara kita. Mengingat filosofi yang
20
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 13-14.
53
dimiliki oleh orang Padang yaitu alam takamang, jadi guru di mana menjadikan
alam sebagai guru dalam kehidupan ini.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang hingga saat ini digunakan oleh
pendidikan Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun
Karso, Tut Wuri Handayani (di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyan tersebut ikut
mengantarkan Indonesia pada kemerdekaannya dan memberikan euforia yang
begitu besar bagi warga Indonesia. Semboyannya yang paling terkenal yaitu
“Tut Wuri Handayani” yang hingga saat ini selalu tertempel di topi, dasi, dan
tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMA.
Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara lebih mengedepankan pada
tiga ajaran pokok (tiga fatwa pendidikan Taman Siswa), yaitu:
1. Tetep, antep, dan mantep. Ketetapan pikiran dan batin itulah yang akan
menentukan kualitas seseorang. Dan jika tetep dan antep itu sudah ada,
maka mantep itu datang juga yakni tiada dapat diundurkan lagi.
2. Ngandel, kandel, dan bandel. Percaya akan memberikan pendirian yang
tegak. Maka kemudiannya kandel (berani) dan bandel (tidak lekas
ketakutan, tawakal) akan menyusul sendiri.
3. Neng, ning, nung, nang. Kesucian pikiran dan kebatinan yang didapat
dengan ketenangan hati, itulah yang mendatangkan kekuasaan. Dan kalau
sudah ada ketiga-tiganya itu, maka kemenangan akan jadi bahagia.21
21
Ki Hadjar Dewantara, op. cit., h. 14.
54
untuk menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan dapat
diibaratkan sebagai kendaraan yang mengantarkan seseorang pada kepercayaan
diri dan sikap pemberani. Istilah mantep adalah usaha yang ia lakukan untuk
menumbuhkan keyakinan pada guru dan murid bahwa pendidikan adalah
upaya yang menghantarkan seseorang untuk memajukan dirinya. Sehingga
memiliki orietasi yang jelas untuk meraih impian dan cita-citanya.
Dengan memiliki sikap yang tetep, antep, dan mantep maka Ki Hadjar
Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi
manusia-manusia yang memiliki kualitas lahir dan batin. Sehingga akan
memberikan manfaat besar bagi diri, keluarga dan masyarakat sesuai dengan
zaman yang dilaluinya.22
Lalu kedua, ngandel, kandel, dan bandel. Ngandel di sini Ki Hadjar
Dewantara maksudkan bahwa sistem pendidikan itu harus dapat berdiri tegak
di atas nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang bermartabat, tanpa ada campur
aduk dengan budaya-budaya Barat yang dipenuhi dengan kebebasan. Kandel
atau seseorang yang berpendirian tegak adalah mereka yang memiliki prinsip
yang kuat dalam hidupnya. Dengan memiliki kepribadian kandel, ia berharap
pendidikan yang diterapkan di Taman Siswa dapat membentuk murid maupun
gurunya untuk menjadi pribadi yang berani, memiliki kewibawaan dan
memiliki sikap ulet dalam memegang prinsip hidupnya. Dan bandel
maksudnya bahwa seseorang yang berpendidikan harus memiliki jiwa yang
tahan banting, tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan-kegagalan
dalam hidup.
Dengan memiliki sikap ngandel, kandel, dan bandel, maka Ki Hadjar
Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi
manusia-manusia yang unggul, berani memegang teguh kebenaran dan
memiliki nyali yang besar dalam menghadapi perubahan-perubahan hidup,
seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman.23
22
Haidar Musyafa, op. cit., h. 284.
23
ibid, h. 285.
55
Dan ketiga, neng, ning, nung, dan nang. Filosofi ini Ki Hadjar Dewantara
maksudkan bahwa pendidikan harus dilakukan dengan tujuan untuk
membentuk kepribadian yang religius. Sebab kepandaian dan kedalaman ilmu
seseorang tidak akan pernah memiliki makna jika tidak didasari dengan
keyakinan bahwa semua ilmu itu bersumber dari Gusti Allah. Oleh karenanya,
pendidikan harus diarahkan untuk memperoleh kesenangan hati dan jiwa
(neng), membuat seseorang semakin mengingat Sang Maha Kuasa, dalam
keheningan (ning), membuat seseorang memperoleh ketenangan hidup secara
lahir dan batin (nang), dan membuat seseorang semakin merenungi
kekurangan-kekurangan dirinya (nung).
Dengan menerapkan filosofi neng, ning, nung, dan nang maka Ki Hadjar
Dewantara berharap murid-murid Taman Siswa dapat tumbuh menjadi pribadi
yang tidak hanya berwawasan pikirannya. Tapi juga menjadi pribadi yang
memiliki kesucian pikiran, ketenangan batin, kepandaian melakukan evaluasi
diri, dan semakin dekat dengan Sang Maha Kuasa dengan kesediannya untuk
melakukan tirakat (mengingat-Nya dalam keheningan).24
Sedari dulu, Ki Hadjar Dewantara telah menyadari bahwa salah satu hal
terpenting untuk bangsa ini adalah pendidikan. Banyaknya gagasan yang ia
ciptakan tentang pendidikan merupakan bentuk kepedulian terhadap kemajuan
bangsa ini. Terbukti dengan terkenalnya pemikiran dia seperti sistem among
hingga terbentuknya Taman Siswa yang dikenal pula dengan lima asas atau
Panca Darma, konsep belajar tiga dinding, tiga fatwa pendidikan Taman Siswa
yang dikenal dengan tetep, antep, mantep, nganel, kandel, bandel dan neng,
ning, nang, nung. Serta yang sangat amat terkenal yaitu filosofi pendidikannya
yang dikenal dengan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan
Tut Wuri Handayani yang menjadi simbol pendidikan saat ini.
24
ibid, h. 286.
56
Asas di atas direvisi pada tahun 1947 menjadi dasar-dasar Taman Siswa,
agar sesuai dengan tuntutan zaman yang baru. Dasar-dasar ini diberi nama
Panca Darma, dengan isi seperti berikut:
1. Kemanusiaan, yaitu berupaya menghargai dan menghayati sesama manusia
dan makhluk Tuhan lainnya. Meningkatkan kesucian jiwa dan cinta kasih.
2. Kebangsaan, ialah bersatu dalam suka dan duka, tetapi menghindari
chaufinistis. Dan tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan.
3. Kebudayaan, yaitu kebudayaan nasioanal harus dilestarikan dan
dikembangkan. Untuk ini Dewantara mengemukakan konsep Tri Kon, yaitu:
a. Kontinu, kebudayaan nasional harus dikembangkan secara terus-
menerus.
57
1. Sebutan Ki untuk laki-laki, Nyi untuk perempuan yang sudah kawin, dan Ni
untuk perempuan belum kawin. Panggilan-panggilan kasta dalam
maasyarakat feodal dihilangkan, agar bersifat demokratis.
2. Melenyapkan sikap majikan-buruh, dengan tidak memberikan gaji,
melainkan kebutuhan nyata serta sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
3. Sebutan bapak dan ibu kepada guru, sebagai lambang kekeluargaan yang
harmonis.
25
Made Pirdata, op. cit., h. 127-129.
26
Uyoh Sadulloh, dkk., op. cit., h. 3.
59
27
Oemar Malik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995), h. 9.
60
Bahkan dalam arti yang lebih luas, di mana sekolah merupakan atau
berfungsi juga sebagai penghubung antara ilmu dan teknologi dengan
masyarakat, di mana sekolah merupakan lembaga yang turut mengemban tugas
memodernisasi masyarakat dan di mana sekolah turut serta secara aktif dalam
pembangunan. Maka dengan demikian peranan guru menjadi lebih luas, yaitu
meliputi juga: guru sebagai penghubung (teacher as communicator), guru
sebagai modernisator, guru sebagai pembangun (teacher as constructor).28
1. Guru sebagai pengajar
Guru bertugas memberikan pengajaran di dalam sekolah (kelas). Ia
menyampaikan pelajaran agar peserta didik memahami dengan baik semua
pengetahuan yang telah disampaikan. Selain dari itu ia juga berusaha agar
terjadi perubahan sikap, keterampilan, kebiasaan, hubungan sosial,
apresiasi, dan sebagainya melalui pengajaran yang diberikannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, maka guru perlu memahami
sedalam-dalamnya pengetahuan yang akan menjadi tanggung jawabnya dan
menguasai dengan baik metode dan teknik.29
2. Guru sebagai pembimbing
Guru berkewajiban memberikan bantuan kepada peserta didik agar
mereka mampu menemukan masalahnya sendiri, memecahkan masalahnya
sendiri, mengenal diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Para peserta didik membutuhkan bantuan guru dalam hal mengatasi
kesulitan-kesulitan pribadi, kesulitan pendidikan, kesulitan memilih
pekerjaan, kesulitan dalam hubungan sosial, dan interpersonal. Dan harus
dipahami bahwa pembimbing yang terdekat dengan peserta didik adalah
guru itu sendiri.
3. Guru sebagai pemimpin
Sekolah dan kelas adalah suatu oraganisasi, di mana guru adalah
sebagai pemimpinnya. Guru berkewajiban mengadakan supervisi atas
28
Direktorat Jendral Kelembangaan Agama Islam, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga
Kependidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2005), h. 71.
29
ibid, h. 72.
61
30
ibid, h. 73.
31
ibid, h. 74.
62
32
ibid, h. 75.
33
ibid, h. 76.
34
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 105.
35
Haidar Musyafa, op, cit., h. 288.
36
Bartolomeus Samho, op, cit., h. 78.
63
37
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 106.
38
Haidar Musyafa, op, cit., h. 288.
39
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78.
40
Uyoh Sadulloh, dkk., op. cit., h. 105.
41
Haidar Musyafa, op. cit., h. 288.
64
perlu dengan paksaan dan ketegasan apabila kebebasan yang diberikan kepada
para murid itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan
hidupnya.42
Jika dilihat lagi, konsep tut wuri handayani lebih dekat dengan aliran
konvergensi dari Willian Stren yang berpendapat bahwa perkembangan anak
ditentukan oleh interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki
anak dengan lingkungan, atau bimbingan (pendidikan) yang mempengaruhi
anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain watak atau karakter anak,
dalam perkembangannya ada yang ditentukan oleh pembawaannya dan ada
yang ditentukan oleh lingkungannya, tergantung kepada mana yang lebih
dominan dalam interaksi antara keduanya.43
Pendidikan menurut konsep Ki Hadjar Dewantara merupakan hasil
interaksi antara pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki anak, di
mana dalam proses interaksi tersebut pendidik memiliki peran aktif, tidak
menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya pendidik tidak
boleh dominan menguasai anak.44
Dan ketiga kalimat di atas juga mempunyai arti bahwa pendidik harus
dapat memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh, dan harus dapat
mengendalikan peserta didik. Dalam tut wuri terkandung maksud membiarkan
peserta didik menuruti bakat dan kodratnya sementara guru memperhatikan.
Dalam handayani berarti guru mempengaruhi peserta didik, dalam arti
membimbing atau mengajar. Dengan demikian membimbing mengandung arti
bersikap menentukan ke arah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang
berjiwa Pancasila, dan bukanlah mendikte peserta didik, apalagi memaksanya
menurut kehendak sang pendidik. Motto tut wuri handayani tersebut sekarang
telah diambil menjadi motto dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.45
Selanjutnya, metode pendidikan yang cocok untuk membentuk
kepribadian generasi muda di Indonesia adalah yang sepadan dengan makna
42
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78.
43
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., 105.
44
Uyoh Sadulloh, dkk., op.cit., h. 106.
45
Soetjipto dan Raflis Kosasi, op. cit., h. 50.
65
Dalam tugas mendidik dan mengajar oleh seorang guru, diperlukan pula
metode mengajar yang tepat yaitu dengan memberikan contoh atau menjadi
panutan bagi peserta didik sehingga apa yang diajarkan guru dapat dilihat dan
ditiru secara langsung oleh siswa. 46
Dengan demikian, keinginan Ki Hadjar Dewantara kepada semua pendidik
atau guru dengan metode momong, among, dan ngemong yaitu agar para guru
46
Bartolomeus Samho, op. cit., h. 78-79.
66
dapat mendidik peserta didik dengan cara mengasuh seperti anaknya sendiri.
Tetapi mengasuh di sini dengan memberi nilai-nilai yang positif dalam
kehidupan mereka. Dan bukan mengasuh dengan cara paksaan, melainkan
dengan memperhatikan dan menuntun agar peserta didik bebas untuk
mengembangkan dirinya masing-masing, supaya semua peserta didik dapat
merdeka batinnya, pikirannya, juga tenaga.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan hasil analisis sebagaimana telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa peran guru menurut perspektif Ki
Hadjar Dewantara adalah pendidik yang menjadi teladan bagi anak didiknya
lalu dapat mengarahkan dan menuntun dengan benar tanpa adanya paksaan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik agar mereka menjadi manusia yang
merdeka batinnya, pikirannya, serta tenaganya dan dengan pendidikan, mereka
dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, sehingga
bisa mengangkat derajat negaranya.
Pandangan beliau tentang peran guru yang baik atau ideal tercermin dari
semboyan-semboyan yang telah ia canangkan, misalnya ing ngarso sung
tulodo (apabila di depan memberi contoh), ing madyo mangun karso (apabila
di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (apabila di belakang
memberi dorongan). Ada pula momong, among, ngemong. Memiliki arti yaitu
agar para guru dapat mendidik anak muridnya dan cara mengasuh dengan
memberi nilai-nilai yang positif dalam kehidupan mereka. Bukan mengasuh
dengan cara paksaan, melainkan dengan memperhatikan dan menuntun atau
mengarahkan agar anak didiknya bebas untuk mengembangkan dirinya
masing-masing, lalu supaya semua peserta didik dapat merdeka batinnya,
pikirannya, juga tenaganya. Karena pendidikan bertujuan untuk memanusiakan
(memerdekakan) manusia itu sendiri.
Adapun pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan di Indonesia
dapat dilihat dari gagasannya dalam dunia pendidikan, seperti pada tiga fatwa
pendidikan yaitu: Tetep, antep, mantep. Ngandel, kandel, bandel. Dan neng,
ning, nung, nang. Pada intinya, pendidikan yang diinginkan oleh Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang
67
68
B. Saran
2. Untuk para guru yang sangat berperan penting dalam kemajuan bangsa
Indonesia dan mencetak generasi-generasi penerus bangsa, mulailah
memandang bahwa kedudukannya sebagai guru atau pendidik bukan hanya
sebagai sebuah profesi, akan tetapi sebagai seseorang yang layak dicontoh
dan menjadi teladan bagi para peserta didik. Juga memahami kembali dan
menerapkan keinginan pejuang Indonesia dalam dunia pendidikan yakni Ki
Hadjar Dewantara dalam mendidik muridnya dan mengembangkan potensi
yang dimiliki oleh mereka, agar anak didik menjadi seseorang yang
merdeka lahir dan batin. Dan pula, tanamkan dalam hati bahwa mendidik
adalah bertujuan untuk memanusiakan manusia.
69
DAFTAR PUSTAKA