Askep Sistem Imun (Le)
Askep Sistem Imun (Le)
DISUSUN OLEH :
ANIK FATIMATUR RUSDIYAH (1130017166 / 8B)
dengan gangguan sistem imunitas (Lupus Eritematosus), saya buat sebagai bukti
1130017166
Mengetahui,
Pembimbing Akademik
LES adalah suatu penyakit multi system yang berkaitan dengan sejumlah
kelainan imunologik, termasuk pembentukan autoantibodi,
hipergamaglobulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar
komplemen serum, dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah
(Harrison, 2012).
LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan
vaskular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).
B. Klasifikasi
Klasifikasi lupus eritematosus menurut Myers SA and Mary HE, (2011)
lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu : pertama Chronic
Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe
Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi kembali dalam tiga subtipe yang
jarang terjadi, palmar-palmar lupus erythematosus, oral discoid lupus
erythematosus dan lupus erythematosus panniculitis dan subtype kedua dari
CCLE adalah Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE). Kedua Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang jarang
terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE). Ketiga Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dan yang terakhir Drug-induced Lupus Erythematosus
(DILE).
C. Etiologi
Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti, ada dugaan melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara hormone, variasi genetik
dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan paling penting dalam
predisposisi penyakit ini. Banyak kasus LES yang terjadi secara sporadic
tanpa identifikasi dari tanda dan gejala, ada juga kasus dimana seseorang
terkena LES yang sembuh dengan sendirinya (Isbagio dkk, 2009). Penelitian
epidemiologis telah dilakukan pada hampir semua penyakit autoimmune
mengarah pada kerentanan genetic paling penting berada pada
histokompabilitas mayor (major histocompability complex) MHC,
merupakan suatu seri gen kromosom 6 yang mengkode untuk antigen,
termasuk system human leukocyte antigen (HLA) (Grennstein & Wood,
2010).
Serangan pertama kali LES pada wanita jarang terjadi pada usia
prepubertas dan setelah menopause, LES lebih banyak menyerang wanita
usia produktif antara 15-45 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat
adanya hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem
imun (Suarjana, 2015). Salah satu peranan penting estrogen dalam kehidupan
seorang wanita adalah selama masa pubertas. Selama periode ini,
peningkatan kadar estrogen mendorong perkembangan karakteristik seksual
pada wanita. Estrogen atau hormone wanita juga dapat meningkatkan
autoimmunity dan secara tidak langsung menimbulkan peradangan serta
meningkatkan resiko terjadinya LES. Sifat estrogen berkebalikan dengan
hormone androgen atau hormone pria yang berfungsi untuk menekan
autoimmunity (Wallace DJ, 2007) dan (Mansjoer dkk, 2009). Konsenstrasi
testosterone plasma yang rendah dan meningkatnya luitenizing hormone (LH)
ditemukan pada laki-laki, estrogen yang berlebihan dengan aktifitas androgen
yang tidak adekuat pada laki-laki dan perempuan ditengarai bertanggung
jawab terhadap perubahan proses imun. Estrogen diproduksi oleh ovarium
selama maturasi folikel, dan menstimulasi proliferasi kelenjar pada bagian
dalam atau endometrium uteri dengan cara FSH (follicle stimulating
hormone) yang memacu pertumbuhan folikel dan menginduksi reseptor LH
(luteinizing hormone) selanjutnya menstimulasi produksi estrogen
(Grennstein & Wood, 2010). Hormone estrogen selain berfungsi sebagai
pendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita, estrogen juga
berfungsi untuk mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (Murray & May, 2003).
Selain itu estrogen juga memperburuk penderita LES dengan memperpanjang
hidup sel-sel autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel T dan
menstimulus sel B untuk memproduksi autoantibodi (Suarjana, 2015)
Persentase kejadian LES yang juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada
kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%),
peningkatan frekuensi LES pada keluarga penderita LES dibandingkan
dengan control sehat dan peningkatan prevalensi LES pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam
pathogenesis LES (Suarjana, 2015). Menurut Hahn dalam Isselbacher dkk
(2012) frekuensi terjadinya LES akan semakin besar apabila pasien memiliki
lebih dari satu anggota keluarga berpenyakit serupa dan korelasi gen tertentu
juga mempengaruhi, terutama dengan penyakit dan autoantibodi.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada banyak sekali gen (lebih
dari 100 gen) yang berperan, terutama pada gen yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Dugaan yang berhubungan dengan gen respons imun spesifik
pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 (ras
Asia/Jepang) dan HLA-DR3 (ras Kaukasia) serta dengan komponen
komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (C1q,
C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan
adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Mok &
Lau, 2003 dan Wachjudi dkk, 2006). LES ditandai oleh banyaknya gangguan
dalam system imun yang meliputi sel B, SEL T dan turunan dari sel-sel
monositik yang mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah
sel inilah yang memproduksi antibody, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks imun (Suarjana, 2015).
Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm(small nuclear ribonuclear protein)
dan anti-nRNP (nuclear ribonuklear protein) muncul hanya dalam beberapa
bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada
dipertengahan antara kedua kelompok autoantibodi tersebut (Isbagio dkk,
2009 dan Suarjana, 2015).
Sifat sel T pertama kali diperlihatkan dengan jelas adalah sifat yang
membantu sel B untuk membentuk autoantibodi. Bantuan oleh sel T
diperlukan untuk sekresi sebagian besar antibody oleh sel B, salah satunya
adalah untuk mengaktivasi makrofag guna membunuh pathogen intraselular
(Playfair & Fair, 2012). Ditemukan juga bukti bahwa aktivasi sel B oleh sel
T pada penderita LES lebih sensitive terhadap efek stimulasi dari sitokin
seperti IL-6 (mediator penting dalam respon fase akut inflamasi)
dibandingkan dengan sel B bukan penderita LES, sitokin sangat berperan
penting dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang
berbeda pada LES (Suarjana, 2015).
Faktor lingkungan juga dapat menjadi pemicu pada penderita lupus,
seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, bahan kimia, bakteri dan
virus. Ada keterkaitan erat antara lupus dan sinar matahari. Matahari
memancarkan sinar ultraviolet dalam tiga berkas yang dikenal dengan A, B,
dan,C. dua yang pertama, ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) sangat
berbahaya bagi penderita lupus. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika
berkas-berkas sinar ultraviolet tersebut mangenai kulit, mereka bisa merusak
lapisan atas DNA (Wallace, 2007).
Simard JF (2011) dalam Suntoko (2015) mengatakan paparan sinar UV
akan mencetuskan flare up penyakitnya termasuk didalamnya foto
sensitifitas, demam, dan gejala sistemik lainnya. Hahn (2012) dalam
Isselbacher dkk (2012) juga menuturkan bahwa radiasi sinar UV bisa
mencetuskan dan mengekserbasi ruam fotosintesis pada LES, telah
ditemukan bukti bahwa sinar UV memang dapat merubah struktur DNA yag
menyebabkan terbetuknya autoantibodi sinar UV juga bisa menginduksi
apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan blebs nuclear dan
autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel (Suarjana, 2015).
Aromatic amine atau amino lipogenik aromatik adalah perantara kimia
yang dapat menyebarkan atau memeprburuk penyakit pada LES, termasuk
didalamnya adalah asap rokok, pewarna rambut, dan tartazine (pewarna
makanan atau bahan pengawet makanan. Sifat dari aromatic amine yang
mudah melebur di dalam tubuh melalui sebuah proses yang dinamakan
acetylation. Mekanisme pasti dimana aromatic amine menyebabkan reaksi
imunologis kurang dipahami dan hanya sebagian kecil orang yang terkena
aromatic amine mengalami penyakit kekebalan klinis (Wallace, 2007).
Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita
lupus. NSAIDS (Nonsteroidal Anti inflammatory Drugs) tertentu membuat
pemakainya sesnsitif dengan sinar matahari dan radiasi racun telah
dilaporkan dalam beberapa kasus. Berhati-hatilah terhadap penggunaan
piroxicam (feldene), senyawa phenylbutazone dilaporkan telah menyebabkan
reaksi hipersensitif pada pasien lupus, yang mungkin mengakibatkan
kekambuhan (Wallace, 2007). Penderita LES juga harus diingatkan untuk
menghindari pemakaian antibiotika tertentu seperti sulfonamide, Echinacea
(obat flu alternative yang berupa stimulant system imun) karena dapat
menimbulkan flare up (Wachjudi, 2006).
D. Patofisiologi
Autoantibodi yang diproduksi oleh sel plasma akan beredar dalam darah
dan mulai menyerang antigen tubuh penderita. Autoantibodi yang menangkap
antigen yang beredar dalam darah, hasil apopotsis, juga akan membentuk
kompleks antigen antibodi. Autoantibodi ini akan mengaktivasi sistem
inflamasi sehingga kemudian akan menyebabkan kerusakan organ yang
ditargetkannya.
Kerusakan organ dan sel yang terjadi akan semakin menambah
dilepaskannya antigen ke dalam darah. Antigen yang beredar ini akan
menginduksi sel B memori dan kemudian dengan cepat membelah dan
membentuk lebih banyak sel plasma. Sel plasma ini kemudian akan
memproduksi lebih banyak lagi autoantibodi sehingga reaksi peradangan dan
gejala SLE semakin berat.
Adakalanya ketika SLE sudah mereda, kerusakan yang dipicu misalkan
terkena sinar matahari atau terkena infeksi virus akan menyebabkan apoptosis
baru. Apoptosis ini kemudian membangunkan kembali sel B memori dan
timbulah flare atau kekambuhan dari penyakit lupus atau SLE.
Pathway (WOC)
Tenaga pendorong
abnormal/pada sel T CD+
Sel T autoreaktif
SLE
Reaksi inflamasi
Ginjal Kulit (lesi Sendi (nyeri Paru GI
(proteinuria, sistemik) otot, nyeri (pneumonitis)
piuria sendi) Penurunan
buruknya peristaltik
bersihan esofagus
kreatinin) MK : Gangguan
integritas kulit Dismotilitas
esofagus
Gangguan citra
tubuh
Disfagia
MK : prubahan
nutrisi
E. Manifestasi Klinis
Penyakit LES atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki
manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan yaitu sekitar
80% melibatkan persendian, kulit, dan darah, sekitar 30-50% melibatkan
ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri
dan vena (Manzi S, 2001). Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam
dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenai sebagai LES. Hal ini dapat
terjadi karena manifesati klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi
secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian
diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosintesitas dan sebagainya
yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES. Gambaran klinis
keterlibatan sendi atau musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus LES,
walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini yaitu :
1. Gejala konstitusional
Gejala seperti demam, lesu, nafsu makan turun, dan penurunan berat
badan adalah kondisi yang dialami pasien LES pertama kali dan
sangat sering dijumpai (Wallace, 2007). Keluhan demam pada pasein
LES menurut Dubois (2011) dalam Suntoko (2015) berkiar antara 41-
83%, kasus-kasus LES yang dikumpulkan selama periode tahun 1950-
1980an terlihat kecenderungan demam semakin menurun pada tiap
dekede ini dikarenakn kemampuan dokter dalam memahami penyakit
dan kesempatan menggunakan obat anti inflamasi non steroid
(OAINS). Keluhan lainnya pada penderita LES adalah atralgia (pegal
dan linu di dalam sendi) bisa juga terjadi artritis akut pada dua atau
lebih sendi perifer, biasanya berlangsung selama beberapa hari, lokasi
terjadinya artritis biasanya pada sendi tangan, pergelangan tangan,
lutut dan biasanya simetris pada satu tubuh (Mansjoer dkk, 2000).
Kelelahan dan malaise (rasa tidak enak badan) sering timbul bila
keadaan penyakitnya yang masih aktif, penderita cepat lelah dan tidak
enak badan merupakan proses dari inflamasinya yang sedang berjalan
(Isbagio dkk, 2009 dan Suntoko, 2015)
2. Manifestasi muskuloskeletal
Hampir 90% pasien LES memiliki keluhan nyeri sendi, sendi kaku,
dan encok pada pinggang (Wallace, 2007). Kekakuan sendi pada
pasien LES banyak muncul pada pagi hari (Smeltzer dkk, 2008).
Keluhan nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan
suatu artitis dimana tampak jelas adanya bukti inflamasi sendi (Isbagio
dkk, 2009). Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi
artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris
(D’Cruz dkk, 2010). Hanh (2005) dalam Isselbacher dkk (2012) dan
Sukanto (2015) mengungkapkan bahwa 10% pasien LES mengalami
deformitas leher angsa (swan neck) hal ini terjadi bukan karena
kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi yang
mengalami kekenduran jaringan ikat sendi. Nyeri yang muncul karena
adanya inflamasi sendi, paling sering mengenai sendi antarfalang
proksimal (AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan,
pergelangan tangan dan lutut biasa disebut dengan fusiform joint. Pada
pemeriksaan radiologi tidak dijumpai kelainan erosi dan destruksi
pada sendi meskipun inflamasi sudah berlangsung lama hingga
bertahun-tahun.
3. Manifestasi kulit
Gejala yang paling khas yang diderita lebih dari 50% pasien LES
adalah kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES yaitu
fotosensitivitas, butterfly rash, lesi discoid serta lesi mukokutan pada
mulut (Smeltzer dkk, 2008). Kelainan kulit paling ringan adalah
fotosensitivitas dimana dapat dirasakan langsung oleh penderita
seperti rasa terbakar. Paparan langsung sinar matahari juga dapat
menmunculkan rash atau ruam pada kulit terkhusus pada wajah, mulai
dari pipi hingga ke pangkal hidung terkadang meluaas ke dagu dan
telinga, ruam tidak menimbulkan jaringan parut tapi dapat
menimbulkan talangiektasia, ruam akan berkurang sampai hilang
setelah paparan sinar matahari dihindari (Sukanto, 2015). Menurut
Hanh (2005) dalam Isselbacher dkk (2012), lesi discoid yang diderita
oleh penderita LED (lupus Eritematosus DIskoid) merupakan ruam
kronis yang dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak tertangani
secara tepat, lesi ini terjadi pada sekitar 20% penderita LES. Lesi
discoid mempunyai ciri khusus berbentuk lingkaran berwarna
kemerahan dan ditandai oleh batas eritematosus yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan talangiektasia. Lesi ini bisa muncul
di kulit kepala, telinga, wajah, dan bagian terpajan dari wajah, leher,
kulit belakang kepala, lengan, punggung, dan dada. Lesi discoid dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut dan perubahan pigmentasi
kulit (Smeltzer dkk, 2008). Lesi kulit pada penderita LES yang lebih
jarang adalah vaskulitis, eritema, tromboplebitis, petekie, purpura,
psoriasis, bulae, urtikaria, ulkus kaki, alopesia, dan sklerodaktili
(Wallace, 2007, Siregar, 2013 dan Sukanto, 2015).
4. Manifestasi paru
Gejala lain seperti ansietas dan depresi juga sering muncul pada
penderita LES terutama pada mereka yang belum bisa menerima
penyakit tersebut. Depresi dan kecemasan akan merefleksikan reaksi
atau pandangan pasien terhadap penyakit kronis dan konsekuensi yang
akan dia hadapi dalam hidupnya, keterbatasan gaya hidup yang harus
dijalani, ketegantungan dengan orang lain, termasuk kesulitan
kehamilan, mudah lelah, keterbatasan dengan dengan paparan sinar
matahari serta pemikiran untuk minum obat setiap hari seumur hidup.
ODAPUS (orang dengan lupus) biasanya akan membaik dalam kurun
waktu 1 tahun, tentu saja dengan dukungan dari keluarga, pemberian
informasi mengenai dari dokter, perawat dan petugas kesehatan
lainnya (Wallace, 2007) dan (Isbagio dkk, 2009).
F. Komplikasi
Jika tidak ditangani, lupus dapat menyebabkan beragam komplikasi, antara
lain :
1. Kerusakan ginjal, salah satunya berujung pada gagal ginjal
2. Gangguan pada sistem saraf atau otak, misalnya kejang
3. Gangguan pada darah, seperti peradangan pembuluh darah (vaskulitis)
4. Gangguan pada paru-paru, seperti pleuritis
5. Gangguan pada jantung, seperti perikarditis
6. Rentang mengalami penyakit infeksi
7. Avaskular nekrosis atau kematian jaringan tulang
G. Penatalaksanaan
1. Keperawatan
a. Manajemen Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan
peradangan, mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan
rasa sakit dan peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai dengan
nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga
digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi,
ruam kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu
memberitahu orang tua yang kadang-kadang memakan waktu lama
sebelum terapi efek obat antimalaria yang jelas.
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika
penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda
parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat
ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid.
Keputusan untuk menggunakan immunosuppressives membutuhkan
pertimbangan serius karena efek samping signifikan, terutama yang
berkaitan dengan imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif
digunakan dalam pengobatan SLE termasuk azathioprine
(Imuran), siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate
(Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan serius seperti
depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping
dengan orangtua sebelum pemberian obat ini Selain obat-obatan ,
asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan
memberikan dukungan psikososial . Sekarang penting bahwa
mempertahankan gizi anak yang baik , istirahat dan berolahraga ,
menghindari matahari , dan mendorong ekspresi perasaan tentang
kondisi tersebut. Meskipun tidak ada yang spesifik, Diet untuk SLE
adalah diet rendah garam.
Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini
biasanya akan membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa
orang tua merasa sulit selama ini untuk memungkinkan anak-anak
mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Terapis okupasi dan fisik
dapat sangat membantu dalam membantu untuk mengembangkan
kegiatan yang lebih baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-
anak bisa berubah pada awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan
dengan kortikosteroid. Beberapa anak menjadi hiperaktif dan murung,
dan mengalami kesulitan tidur. Hal ini dapat ditingkatkan dengan
mengambil dosis kortikosteroid sore hari lebih awal. Beberapa anak
pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air kecil beberapa kali di
malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk tidur. Keterkaitan
dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit masalah
(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
e. Dampak SLE untuk Anak dan Keluarga
Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan
dukungan sangat diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah
pertama dalam membantu keluarga merasa bahwa mereka memiliki
kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk tidak terlalu membebani
keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah diagnosis. Perawat
dapat memainkan peran kunci dalam membantu mereka dengan belajar
tentang penyakit dengan sering telepon tindak lanjut dan kunjungan.
Informasi tertulis dan review dari penyakit dan efek samping
pengobatan yang sering diperlukan(Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
2. Medis
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan, pilar pengobatan yang bisa dilakukan :
a. Edukasi dan konseling
4. Implementasi Keperawatan
Pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi
merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat memberikan
intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang
memungkinkan perawat untuk menentukan intervensi keperawatan
telah berhasil memungkinkan kondisi klien. Evaluasi
merupakan langkah terakhir dalam proses keperawtan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
An. Z berusia 13 tahun, datang berobat ke Rs A. Yani Surabaya pada tanggal 23
Maret 2021 dengan keluhan sedikit pucat disertai dengan timbul bintik
kemerahan. Orang tua pasien mengatakan bahwa anaknya tidak memiliki riwayat
penyakit apapun. Orang tua pasien mengatakan bahwa kondisi anaknya seperti ini
setelah demam lama tanpa penyebab yang jelas dan orang tua pasien tidak
mengetahui tentang penyakit yang dialami oleh An. Z. Berdasarkan hasil
pemeriksaan didapatkan hasil TTV: TD 90/60 mmHg, N 103x/menit, RR
40x/menit, Suhu 36,70C. An. Z merasa kesakitan pada bintik merah yang
ada di badannya. Kesadaran composmentis.
Pengkajian
Biodata :
Pasien : Penanggung :
Jawab
Nama : An. Z Nama : Ny. Y
Umur : 13 Tahun Umur : 32 Tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar Pekerjaan : Ibu rumah
tangga
Status : Belum menikah Status : Menikah
Pernikahan Pernikahan
Alamat : Surabaya Alamat : Surabaya
Diagnosa : Lupus Hubungan dengan : Orang tua
Medis Eritematosus klien
No. RM : 900xxx
Tgl. Masuk : 23 Maret 2021
1. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama : Klien pucat dan ada bintik
merah di badan
2) Lama keluhan : 1 hari lalu
3) Kualitas keluhan : 4 (sedang)
4) Faktor pencetus : Demam
5) Faktor pemberat : Saat melakukan aktivitas
6) Upaya yg. telah dilakukan: Sebelumnya sudah di bawa ke
puskesmas terdekat
2. Riwayat Kesehatan :
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Orang tua pasien mengatakan anaknya masih sedikit pucat dan
ada bintik merah di badannya. Keluhan yang dirasakan pasien
semakin lama semakin berat terutama jika saat melakukan
aktivitas. Pasien tampak lemah.
2) Riwayat Kesehatan Terdahulu :
1) Penyakit yang pernah dialami
a. Kecelaakan (jenis & waktu) : tidak ada
b. Pernah dirawat : pernah dirawat karena
demam
c. Operasi (jenis & waktu) : tidak pernah
d. Penyakit:
- Kronis : tidak ada
- Akut : tidak ada
e. Terakhir masuki RS : 5 tahun lalu
2) Alergi (obat, makanan, plester, dll) : tidak ada
3) Kebiasaan :
Jumlah/Lamanya Jenis
Frekuensi
Merokok tidak ada tidak ada
tidak ada
Kopi tidak ada tidak ada
tidak ada
Alkohol tidak ada tidak ada
tidak ada
4) Obat-obatan
Jenis Lamanya Dosis
tidak ada tidak ada
tidak ada
5) Riwayat Penyakit Keluarga :
1) Menurun : tidak ada
2) Menahun: tidak ada
6) Genogram
Perempuan
Payudara simetris asimetris benjolan,
________________
Bentuk normal tidak normal,
_______________________________
Keputihan tidak ya,
_______________________________________
Siklus haid = _________ hari teratur tidak teratur
Masalah Keperawatan:
Gangguan Integritas Kulit
5. Pemeriksaan Penunjang :
(Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Radiology, EKG, USG, X-Ray
dll)
Tanggal/Jam Jenis Pemeriksaan & Hasil (Kesimpulan)
23 Maret Pemeriksaan darah lengkap
2021 / Hasil :
10:00 WIB An. Z mengalami demam dan bintikan merah di
badan disebabkan oleh lupus eritematosus
6. Terapi Medis :
Cara Nama Obat & Dosis Frekuensi
Pemberian
Intravena Metil prednisolone 5 hari
(IV) (30mg/kg BB/hari) &
360 mg/hari
ANALISA DATA
Nama klien : An. Z No. Register : 900xxx
Umur : 13 tahun Diagnosa Medis : Lupus Eritematosus
Ruang Rawat : Melati Alamat : Surabaya