Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

SISTEM IMUN (LUPUS ERITEMATOSUS)

PADA AN.Z DI RSI A.YANI SURABAYA

DISUSUN OLEH :
ANIK FATIMATUR RUSDIYAH (1130017166 / 8B)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan Keperawatan Medikal Bedah (KMB) pada pasien

dengan gangguan sistem imunitas (Lupus Eritematosus), saya buat sebagai bukti

telah mengikuti praktik Keperawatan Medikal Bedah (KMB). Pada tanggal 22

Maret – 09 April 2021 di RSI A. Yani Surabaya.

Surabaya, 23 Maret 2021

Anik Fatimatur Rusdiyah

1130017166

Mengetahui,

Pembimbing Akademik

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Chilyatiz Zahro S.Kep.,Ns.,M.Kep


BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Lupus Eritematosus Sistemik
1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan
(Isbagio dkk, 2009).

LES adalah suatu penyakit multi system yang berkaitan dengan sejumlah
kelainan imunologik, termasuk pembentukan autoantibodi,
hipergamaglobulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar
komplemen serum, dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah
(Harrison, 2012).

Lupus adalah penyakit sistemik yang menampilkan spektrum yang luas


dari manifestasi klinis dan imunologi. Penyakit ini disebabkan oleh satu set
kompleks interaksi antara gen, hormon dan lingkungan, yang mengakibatkan
kelainan utama dari sistem kekebalan tubuh (Koroma A, 2012).

LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan
vaskular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).

LES merupakan kelainan reumatik autoimmune dengan etiologinya yang


belum jelas benar dengan gambaran klinik yang sangat bervariasi dari
kelainan berupa rash (kemerahan) pada kulit, anemia, trombositopenia,
glomerulonephritis dan dapat mengenai organ lainnya dalam tubuh. (Suntoko,
2015).

Perjalanan penyakitnya LES bersifat episodik (berulang) yang diselingi


periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan
dan organ yang berbeda-beda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan,
tergantung dari jumlah dan jenis antibody yang muncul dan organ yang
terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan
kematian. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor
dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.

B. Klasifikasi
Klasifikasi lupus eritematosus menurut Myers SA and Mary HE, (2011)
lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu : pertama Chronic
Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe
Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi kembali dalam tiga subtipe yang
jarang terjadi, palmar-palmar lupus erythematosus, oral discoid lupus
erythematosus dan lupus erythematosus panniculitis dan subtype kedua dari
CCLE adalah Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE). Kedua Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang jarang
terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE). Ketiga Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dan yang terakhir Drug-induced Lupus Erythematosus
(DILE).
C. Etiologi
Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti, ada dugaan melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara hormone, variasi genetik
dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan paling penting dalam
predisposisi penyakit ini. Banyak kasus LES yang terjadi secara sporadic
tanpa identifikasi dari tanda dan gejala, ada juga kasus dimana seseorang
terkena LES yang sembuh dengan sendirinya (Isbagio dkk, 2009). Penelitian
epidemiologis telah dilakukan pada hampir semua penyakit autoimmune
mengarah pada kerentanan genetic paling penting berada pada
histokompabilitas mayor (major histocompability complex) MHC,
merupakan suatu seri gen kromosom 6 yang mengkode untuk antigen,
termasuk system human leukocyte antigen (HLA) (Grennstein & Wood,
2010).
Serangan pertama kali LES pada wanita jarang terjadi pada usia
prepubertas dan setelah menopause, LES lebih banyak menyerang wanita
usia produktif antara 15-45 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat
adanya hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem
imun (Suarjana, 2015). Salah satu peranan penting estrogen dalam kehidupan
seorang wanita adalah selama masa pubertas. Selama periode ini,
peningkatan kadar estrogen mendorong perkembangan karakteristik seksual
pada wanita. Estrogen atau hormone wanita juga dapat meningkatkan
autoimmunity dan secara tidak langsung menimbulkan peradangan serta
meningkatkan resiko terjadinya LES. Sifat estrogen berkebalikan dengan
hormone androgen atau hormone pria yang berfungsi untuk menekan
autoimmunity (Wallace DJ, 2007) dan (Mansjoer dkk, 2009). Konsenstrasi
testosterone plasma yang rendah dan meningkatnya luitenizing hormone (LH)
ditemukan pada laki-laki, estrogen yang berlebihan dengan aktifitas androgen
yang tidak adekuat pada laki-laki dan perempuan ditengarai bertanggung
jawab terhadap perubahan proses imun. Estrogen diproduksi oleh ovarium
selama maturasi folikel, dan menstimulasi proliferasi kelenjar pada bagian
dalam atau endometrium uteri dengan cara FSH (follicle stimulating
hormone) yang memacu pertumbuhan folikel dan menginduksi reseptor LH
(luteinizing hormone) selanjutnya menstimulasi produksi estrogen
(Grennstein & Wood, 2010). Hormone estrogen selain berfungsi sebagai
pendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita, estrogen juga
berfungsi untuk mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (Murray & May, 2003).
Selain itu estrogen juga memperburuk penderita LES dengan memperpanjang
hidup sel-sel autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel T dan
menstimulus sel B untuk memproduksi autoantibodi (Suarjana, 2015)
Persentase kejadian LES yang juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada
kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%),
peningkatan frekuensi LES pada keluarga penderita LES dibandingkan
dengan control sehat dan peningkatan prevalensi LES pada kelompok etnik
tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam
pathogenesis LES (Suarjana, 2015). Menurut Hahn dalam Isselbacher dkk
(2012) frekuensi terjadinya LES akan semakin besar apabila pasien memiliki
lebih dari satu anggota keluarga berpenyakit serupa dan korelasi gen tertentu
juga mempengaruhi, terutama dengan penyakit dan autoantibodi.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada banyak sekali gen (lebih
dari 100 gen) yang berperan, terutama pada gen yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Dugaan yang berhubungan dengan gen respons imun spesifik
pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 (ras
Asia/Jepang) dan HLA-DR3 (ras Kaukasia) serta dengan komponen
komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (C1q,
C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan
adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Mok &
Lau, 2003 dan Wachjudi dkk, 2006). LES ditandai oleh banyaknya gangguan
dalam system imun yang meliputi sel B, SEL T dan turunan dari sel-sel
monositik yang mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah
sel inilah yang memproduksi antibody, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi dan pembentukan kompleks imun (Suarjana, 2015).
Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm(small nuclear ribonuclear protein)
dan anti-nRNP (nuclear ribonuklear protein) muncul hanya dalam beberapa
bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada
dipertengahan antara kedua kelompok autoantibodi tersebut (Isbagio dkk,
2009 dan Suarjana, 2015).
Sifat sel T pertama kali diperlihatkan dengan jelas adalah sifat yang
membantu sel B untuk membentuk autoantibodi. Bantuan oleh sel T
diperlukan untuk sekresi sebagian besar antibody oleh sel B, salah satunya
adalah untuk mengaktivasi makrofag guna membunuh pathogen intraselular
(Playfair & Fair, 2012). Ditemukan juga bukti bahwa aktivasi sel B oleh sel
T pada penderita LES lebih sensitive terhadap efek stimulasi dari sitokin
seperti IL-6 (mediator penting dalam respon fase akut inflamasi)
dibandingkan dengan sel B bukan penderita LES, sitokin sangat berperan
penting dalam regulasi aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang
berbeda pada LES (Suarjana, 2015).
Faktor lingkungan juga dapat menjadi pemicu pada penderita lupus,
seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, bahan kimia, bakteri dan
virus. Ada keterkaitan erat antara lupus dan sinar matahari. Matahari
memancarkan sinar ultraviolet dalam tiga berkas yang dikenal dengan A, B,
dan,C. dua yang pertama, ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) sangat
berbahaya bagi penderita lupus. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika
berkas-berkas sinar ultraviolet tersebut mangenai kulit, mereka bisa merusak
lapisan atas DNA (Wallace, 2007).
Simard JF (2011) dalam Suntoko (2015) mengatakan paparan sinar UV
akan mencetuskan flare up penyakitnya termasuk didalamnya foto
sensitifitas, demam, dan gejala sistemik lainnya. Hahn (2012) dalam
Isselbacher dkk (2012) juga menuturkan bahwa radiasi sinar UV bisa
mencetuskan dan mengekserbasi ruam fotosintesis pada LES, telah
ditemukan bukti bahwa sinar UV memang dapat merubah struktur DNA yag
menyebabkan terbetuknya autoantibodi sinar UV juga bisa menginduksi
apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan blebs nuclear dan
autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel (Suarjana, 2015).
Aromatic amine atau amino lipogenik aromatik adalah perantara kimia
yang dapat menyebarkan atau memeprburuk penyakit pada LES, termasuk
didalamnya adalah asap rokok, pewarna rambut, dan tartazine (pewarna
makanan atau bahan pengawet makanan. Sifat dari aromatic amine yang
mudah melebur di dalam tubuh melalui sebuah proses yang dinamakan
acetylation. Mekanisme pasti dimana aromatic amine menyebabkan reaksi
imunologis kurang dipahami dan hanya sebagian kecil orang yang terkena
aromatic amine mengalami penyakit kekebalan klinis (Wallace, 2007).
Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita
lupus. NSAIDS (Nonsteroidal Anti inflammatory Drugs) tertentu membuat
pemakainya sesnsitif dengan sinar matahari dan radiasi racun telah
dilaporkan dalam beberapa kasus. Berhati-hatilah terhadap penggunaan
piroxicam (feldene), senyawa phenylbutazone dilaporkan telah menyebabkan
reaksi hipersensitif pada pasien lupus, yang mungkin mengakibatkan
kekambuhan (Wallace, 2007). Penderita LES juga harus diingatkan untuk
menghindari pemakaian antibiotika tertentu seperti sulfonamide, Echinacea
(obat flu alternative yang berupa stimulant system imun) karena dapat
menimbulkan flare up (Wachjudi, 2006).
D. Patofisiologi
Autoantibodi yang diproduksi oleh sel plasma akan beredar dalam darah
dan mulai menyerang antigen tubuh penderita. Autoantibodi yang menangkap
antigen yang beredar dalam darah, hasil apopotsis, juga akan membentuk
kompleks antigen antibodi. Autoantibodi ini akan mengaktivasi sistem
inflamasi sehingga kemudian akan menyebabkan kerusakan organ yang
ditargetkannya.
Kerusakan organ dan sel yang terjadi akan semakin menambah
dilepaskannya antigen ke dalam darah. Antigen yang beredar ini akan
menginduksi sel B memori dan kemudian dengan cepat membelah dan
membentuk lebih banyak sel plasma. Sel plasma ini kemudian akan
memproduksi lebih banyak lagi autoantibodi sehingga reaksi peradangan dan
gejala SLE semakin berat.
Adakalanya ketika SLE sudah mereda, kerusakan yang dipicu misalkan
terkena sinar matahari atau terkena infeksi virus akan menyebabkan apoptosis
baru. Apoptosis ini kemudian membangunkan kembali sel B memori dan
timbulah flare atau kekambuhan dari penyakit lupus atau SLE.
Pathway (WOC)

Hormonal Lingkungan (sinar Genetik


ultraviolet) luka
termal
Pengeluaran hormon Perubahan gen:
prolaktin MHC dan
komponen
komplemen
Merangsang respon
imun

Tenaga pendorong
abnormal/pada sel T CD+

Hilangnya toleransi sel T pada


sel anti gen

Sel T autoreaktif

Induksi dan ekspansi sel B

Gangguan auto atibodi

SLE

Stimulus antigen Leukositosis

Monosit dan limposit aktif Mk : Keletihan

Terbentuk kompleks imun

Fagositosis kompleks imun

Reaksi inflamasi
Ginjal Kulit (lesi Sendi (nyeri Paru GI
(proteinuria, sistemik) otot, nyeri (pneumonitis)
piuria sendi) Penurunan
buruknya peristaltik
bersihan esofagus
kreatinin) MK : Gangguan
integritas kulit Dismotilitas
esofagus
Gangguan citra
tubuh
Disfagia

MK : prubahan
nutrisi

E. Manifestasi Klinis
Penyakit LES atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki
manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan yaitu sekitar
80% melibatkan persendian, kulit, dan darah, sekitar 30-50% melibatkan
ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri
dan vena (Manzi S, 2001). Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam
dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenai sebagai LES. Hal ini dapat
terjadi karena manifesati klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi
secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan
nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian
diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosintesitas dan sebagainya
yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES. Gambaran klinis
keterlibatan sendi atau musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus LES,
walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini yaitu :
1. Gejala konstitusional
Gejala seperti demam, lesu, nafsu makan turun, dan penurunan berat
badan adalah kondisi yang dialami pasien LES pertama kali dan
sangat sering dijumpai (Wallace, 2007). Keluhan demam pada pasein
LES menurut Dubois (2011) dalam Suntoko (2015) berkiar antara 41-
83%, kasus-kasus LES yang dikumpulkan selama periode tahun 1950-
1980an terlihat kecenderungan demam semakin menurun pada tiap
dekede ini dikarenakn kemampuan dokter dalam memahami penyakit
dan kesempatan menggunakan obat anti inflamasi non steroid
(OAINS). Keluhan lainnya pada penderita LES adalah atralgia (pegal
dan linu di dalam sendi) bisa juga terjadi artritis akut pada dua atau
lebih sendi perifer, biasanya berlangsung selama beberapa hari, lokasi
terjadinya artritis biasanya pada sendi tangan, pergelangan tangan,
lutut dan biasanya simetris pada satu tubuh (Mansjoer dkk, 2000).
Kelelahan dan malaise (rasa tidak enak badan) sering timbul bila
keadaan penyakitnya yang masih aktif, penderita cepat lelah dan tidak
enak badan merupakan proses dari inflamasinya yang sedang berjalan
(Isbagio dkk, 2009 dan Suntoko, 2015)
2. Manifestasi muskuloskeletal
Hampir 90% pasien LES memiliki keluhan nyeri sendi, sendi kaku,
dan encok pada pinggang (Wallace, 2007). Kekakuan sendi pada
pasien LES banyak muncul pada pagi hari (Smeltzer dkk, 2008).
Keluhan nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan
suatu artitis dimana tampak jelas adanya bukti inflamasi sendi (Isbagio
dkk, 2009). Keluhan ini sering kali dianggap sebagai manifestasi
artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris
(D’Cruz dkk, 2010). Hanh (2005) dalam Isselbacher dkk (2012) dan
Sukanto (2015) mengungkapkan bahwa 10% pasien LES mengalami
deformitas leher angsa (swan neck) hal ini terjadi bukan karena
kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi yang
mengalami kekenduran jaringan ikat sendi. Nyeri yang muncul karena
adanya inflamasi sendi, paling sering mengenai sendi antarfalang
proksimal (AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan,
pergelangan tangan dan lutut biasa disebut dengan fusiform joint. Pada
pemeriksaan radiologi tidak dijumpai kelainan erosi dan destruksi
pada sendi meskipun inflamasi sudah berlangsung lama hingga
bertahun-tahun.
3. Manifestasi kulit
Gejala yang paling khas yang diderita lebih dari 50% pasien LES
adalah kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES yaitu
fotosensitivitas, butterfly rash, lesi discoid serta lesi mukokutan pada
mulut (Smeltzer dkk, 2008). Kelainan kulit paling ringan adalah
fotosensitivitas dimana dapat dirasakan langsung oleh penderita
seperti rasa terbakar. Paparan langsung sinar matahari juga dapat
menmunculkan rash atau ruam pada kulit terkhusus pada wajah, mulai
dari pipi hingga ke pangkal hidung terkadang meluaas ke dagu dan
telinga, ruam tidak menimbulkan jaringan parut tapi dapat
menimbulkan talangiektasia, ruam akan berkurang sampai hilang
setelah paparan sinar matahari dihindari (Sukanto, 2015). Menurut
Hanh (2005) dalam Isselbacher dkk (2012), lesi discoid yang diderita
oleh penderita LED (lupus Eritematosus DIskoid) merupakan ruam
kronis yang dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak tertangani
secara tepat, lesi ini terjadi pada sekitar 20% penderita LES. Lesi
discoid mempunyai ciri khusus berbentuk lingkaran berwarna
kemerahan dan ditandai oleh batas eritematosus yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan talangiektasia. Lesi ini bisa muncul
di kulit kepala, telinga, wajah, dan bagian terpajan dari wajah, leher,
kulit belakang kepala, lengan, punggung, dan dada. Lesi discoid dapat
menyebabkan pembentukan jaringan parut dan perubahan pigmentasi
kulit (Smeltzer dkk, 2008). Lesi kulit pada penderita LES yang lebih
jarang adalah vaskulitis, eritema, tromboplebitis, petekie, purpura,
psoriasis, bulae, urtikaria, ulkus kaki, alopesia, dan sklerodaktili
(Wallace, 2007, Siregar, 2013 dan Sukanto, 2015).
4. Manifestasi paru

Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus,


pneumonitis (radang interstitial parenkim paru), perdarahan paru,
emboli paru dan hipertensi pulmonal. Pleuritis merupakan manifestasi
tersering pada penderita LES sekitar 41-56%, ciri khas gejala adanya
demam, batuk, sesak, nyeri dada baik pada satu atau pada kedua sisi,
umumnya akan menjadi efusi pleura (Sukanto, 2015). Penyebab
tersering terjadinya infiltrate paru pada pasien LES adalah infeksi.
Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara
kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak,
batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di daerah basal paru. Keadaan
ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau
pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak (Isbagio,
2009). Perdarahan pada paru sebenarnya terjadi karena adanya
vaskulitis yang massif pada kapiler paru dan arteri kecil paru.
Meskipun jarang dilaporkan kasus pada penderita LES tetap saja
perdarahan paru merupakan keadaan yang sangat serius dan
merupakan salah satu penyebab kematian 50-90% pada penderita LES,
meskipun tidak signifikan perdarahan paru pada penderita LES
ditandai dengan sesak secara mendadak, batuk, demam dan ronkhi
menyeluruh pada lapang paru serta hemoglobin yang turun dengan
cepat disebabkan adanay perdarahan intraalveolar masif. (Smeltzer
dkk, 2008) dan (Sukanto, 2015). Hanh dalam Isselbacher dkk (2012)
dan Kasron (2012), Hipertensi pulmonal mengakibatkan hipertropi
serabut otot jantung yang pada akhirnya akan meningkatkan beban
kerja jantung, hipertensi pulmonal merupakan manifestasi yang paling
berat dan paling jarang terjadi pada penderita LES, namun mempunyai
angka mortalitas yang tinggi karena menyebabkan distress pernapasan
pada penderita. Sepertiga pasien lupus juga memiliki antibodi
antiphospolipid, dan sepertiga dari jumlah tersebut memiliki gumpalan
atau fase thrombolytic selama masa penyakit mereka gumpalan darah
yang bergerak melalui pembuluh darah di paru disebut sebagai
pulmonary emboli atau emboli paru, dilaporkan bahwa 5-10%
penderita LES akan mengalami emboli paru. Manifestasi klinik dari
pasien yang mengalami emboli paru akan mengeluhkan sesak napas,
sianosis, dan nyeri dada akut, dalam beberapa hari akan menunjukan
adanya infarction (jaringan sel yang mati) (Wallace, 2007).
5. Manifestasi kardiologi
Kelainan kardiovaskular pada LES dapat mengenai pericardium,
miokardium, system kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh
darahnya (Sukanto, 2015). Pericarditis merupakan gejala yang paling
banyak muncul pada penderita LES dengan berupa perikarditis ringan,
efusi perikardial sampai penebalan pericardial. Pada pericarditis,
cairan pericardial mngandung ribuan sel darah putih dan pada
beberapa bagian membrane menunjukan bahwa limfosit dan sel
plasma muncul di jaringan sel pericardial, pemeriksaan dengan
menggunakan auskultasi dokter bisa mendengar adanya suara gesekan
(Wallace, 2007).
Hanh dalam Isselbacher dkk (2012) menjelaskan bahwa trombosis
pada pembuluh darah dengan segala ukuran dapat menimbulkan
masalah serius, ada penelitian yang menunjukan vaskulitis merupakan
penyebab dasar dari thrombosis. Perubahan degenerative pada
pembuluh darah setelah bertahun - tahun terpajan kompleks imun
dalam darah bisa menimbulkan arteri coroner degenerative. Dalam
penelitain yang dilakukan oleh Diaz dkk (2012) mengatakan coronary
artery calcifications (pengerasan pembuluh darah arteri coroner) bisa
menyerang siapa saja baik laki-laki maupun wanita penderita LES,
wanita yang sudah mengalami post menopaused merupakan kelompok
paling beresiko tinggi. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai
pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark
miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak
dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang
panjang serta penggunaan steroid jangka panjang (Isbagio dkk, 2009).
6. Manifestasi renal
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk
menilai keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi
ginjal. Namun demikian adanya proteinuria, piuria serta buruknya
bersihan kreatinin dapat diakibatkan sebab lain seperti infeksi,
glomerulonephritis, efek toksik obat pada ginjal (Isbagio dkk, 2009).
Ciri khas lupus pada ginjal adalah adanya pembengkakan ringan pada
pergelangan kaki, para pasien mungkin mengeluhkan bengkak yang
tidak nyaman pada keaki mereka. Pemeriksaaan laboratoirum protein
pada urine penderita LES dalam 24 jam terjadi kenaikan 3,5 gram,
pemeriksaan lain yang menandakan seseorang terkena syndrome
nefrotik adalah kadar albumin yang jatuh di bawah 2,8 gram
perdesiliter (Wallace, 2007).
7. Manifestasi gastrointestinal
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus,
mesenteric valkulitis, inflamantory bowel syndrome (IBS), pankreatitis
dan penyakit hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak
spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan
hepatitis autoimun (Isbagio dkk, 2009). Pada beberapa kekeluhan
nyeri abdomen ditemukan pre-rektum baik pada usus besar maupun
usus halus dan bila ini terjadi diperlukan investigasi lebih seksama
untuk mencegah terjadinya perforasi (Kasjmir dkk, 2015). Wallace
(2007 menambahkan 1% dari penderitaa LES mengalami malabsorpsi
nutrisi, diare serius dengan jumlah serum protein (albumin) yang
sangat rendah jarang dialami pasien LES, akan tetapi bila ini terjadi
dan tidak segera di obati pasien tersebut akan menderita protein losing
enteropathy (protein hilang melalui malabsorpsi).
8. Manifestasi hematologik
Anemia akibat penyakit kronik terjadi pada sebagian penderita LES
yang aktif dibuktikan dengan Coombs test (pemeriksaan antibody pada
sel darah merah) menunjukan hasil positif. Leukopenia juga sering
ditemukan tetapi jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak
memerlukan terapi ditandai dengan penurunan leukosit <4.000/mm 3.
Trombositopenia ringan sampai berat disertai perdarahaan dan purpura
terjadi pada 5% pasien, ditandai dengan penurunan trombosit dibawah
100.000/mm3, dan harus dilakukan terapi glukokortikoid dosis tinggi,
untuk perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian
globulin gama intravena (Hahn dalam Isselbracher, 2012) dan
(Wahjudi 2007). Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah
(LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang
terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik,
gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50- 80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang
mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP),
seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan
gambaran LES yang lain (D’Cruz dkk 2010).
Diperkirakan sepertiga pasien LES memiliki antibodi antiphospolipid
karena adanya faktor-faktor kecenderungan yang unik itulah
menyebabkan penggumpalan abnormal pada penderita LES, sepertiga
dari mereka juga mengalami komplikasi akibat antibody ini, karena
antibody ini bisa menyebabkan penggumpalan darah dulu penyakit ini
disebut sindrom anticardiolipin. Antibodi antiphospolipid dan lupus
anticoagulant bisa menyebabkan penggumpalan darah dan
penggumpalan darah bisa terjadi di bagian tubuh mana saja,
khususnya pada pembuluh darah vena dan arteri. Jika gumpalan terjadi
di otak bisa mengakibatkan stroke (Wallace, 2007).
9. Manifestasi neuropsikiatrik
Manifestasi neurologi pada LES yang sering adalah disfungsi kognitif
(gangguan daya ingat, abstrak, dan pengambilan keputusan) hal ini
cukup seering terjadi pada pasien lupus, untuk mengetahuinya bisa
dilakukan tes batere neuropsikologi. Stroke juga menjadi salah satu
manifestasi neurologi pada penderita LES, stroke pada penderita LES
disebabkan oleh suatu antibody antiphospolipid beberapa literature
menyebutkan kebanyakan serangan stroke ini muncul dalam lima
tahun pertama penyakit (Smeltzer dkk, 2008). Wijaya (2015) juga
menyebutkan manifestasi lain yaitu kejang terjadi pada 10-20%
pasien, kejang yang terjadi dapat berupa kejang umum dan parsial
kejang dapat merupakan manifestasi awal lupus atau dapat muncul
dalam perjalanan penyakitnya, penyebab kejang sangat bervariasi
dapat diakibatkan oleh adanya inflamasi atau kerusakan jaringan
cerebri. Nyeri kepala, gangguan neuropati, psikosis adalah gangguan
proses berpikir yang aneh diiringi dengan sering munculnya delusi
atau halusinasi (Wachjudi, 2007).

Gejala lain seperti ansietas dan depresi juga sering muncul pada
penderita LES terutama pada mereka yang belum bisa menerima
penyakit tersebut. Depresi dan kecemasan akan merefleksikan reaksi
atau pandangan pasien terhadap penyakit kronis dan konsekuensi yang
akan dia hadapi dalam hidupnya, keterbatasan gaya hidup yang harus
dijalani, ketegantungan dengan orang lain, termasuk kesulitan
kehamilan, mudah lelah, keterbatasan dengan dengan paparan sinar
matahari serta pemikiran untuk minum obat setiap hari seumur hidup.
ODAPUS (orang dengan lupus) biasanya akan membaik dalam kurun
waktu 1 tahun, tentu saja dengan dukungan dari keluarga, pemberian
informasi mengenai dari dokter, perawat dan petugas kesehatan
lainnya (Wallace, 2007) dan (Isbagio dkk, 2009).
F. Komplikasi
Jika tidak ditangani, lupus dapat menyebabkan beragam komplikasi, antara
lain :
1. Kerusakan ginjal, salah satunya berujung pada gagal ginjal
2. Gangguan pada sistem saraf atau otak, misalnya kejang
3. Gangguan pada darah, seperti peradangan pembuluh darah (vaskulitis)
4. Gangguan pada paru-paru, seperti pleuritis
5. Gangguan pada jantung, seperti perikarditis
6. Rentang mengalami penyakit infeksi
7. Avaskular nekrosis atau kematian jaringan tulang
G. Penatalaksanaan
1. Keperawatan
a. Manajemen Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan
peradangan, mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan
rasa sakit dan peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai dengan
nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga
digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi,
ruam kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu
memberitahu orang tua yang kadang-kadang memakan waktu lama
sebelum terapi efek obat antimalaria yang jelas.

Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid.


Kortikosteroid diberikan kepada anak ketika anak tidak merespon
NSAID atau obat antimalaria. Kortikosteroid sangat efektif dalam
mengurangi peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki
efek samping yang serius dari imunosupresi. Selama periode
eksaserbasi, kortikosteroid dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah
gejala di bawah kontrol, dosisnya adalah meruncing ke terendah
tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk memberitahu orang tua bahwa
steroid harus perlahan meruncing ketika saatnya untuk menghentikan
obat.

Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika
penyakitnya sudah mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda
parah dan gejala yang hadir. Agen Imunosupresif juga dapat
ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari kortikosteroid.
Keputusan untuk menggunakan immunosuppressives membutuhkan
pertimbangan serius karena efek samping signifikan, terutama yang
berkaitan dengan imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif
digunakan dalam pengobatan SLE termasuk azathioprine
(Imuran), siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate
(Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan serius seperti
depresi sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus
memperkuat informasi tentang aksi obat sebagai serta efek samping
dengan orangtua sebelum pemberian obat ini Selain obat-obatan ,
asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan
memberikan dukungan psikososial . Sekarang penting bahwa
mempertahankan gizi anak yang baik , istirahat dan berolahraga ,
menghindari matahari , dan mendorong ekspresi perasaan tentang
kondisi tersebut. Meskipun tidak ada yang spesifik, Diet untuk SLE
adalah diet rendah garam.

Istirahat dan latihan termasuk periode di mana anak aktif selama


remisi dan beristirahat selama eksaserbasi . Penghindaran dari paparan
sinar matahari ditekankan karena fotosensitif ruam yang terjadi dengan
SLE . Penggunaan tabir surya kegiatan di luar ruangan yang penting ,
dan perencanaan di bawah naungan atau tinggal di dalam rumah
mungkin diperlukan . Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan
bagi anak dan keluarga untuk mengatasi dan mengerti, mendorong
ekspresi perasaan atau bergabung dengan kelompok pendukung
didorong . orangtua harus memberitahu guru, pelatih , dan orang lain
tentang anak mereka kondisi sehingga mereka dapat membantu
memantau anak dan memperoleh pengobatan yang diperlukan jika
diperlukan . Merupakan perawat tanggung jawab untuk membantu
anak dan keluarga mengidentifikasi kemungkinan pemicu , seperti
sinar matahari dan stres emosional, dan membantu keluarga untuk
menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward, Susan L and Hisley,
Shelton M. 2009).

b. Paparan sinar Matahari

Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam


lupus dan juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan.
Ada laporan bahwa pasien yang secara teratur menggunakan tabir
surya (SPF 15 atau lebih) telah secara signifikan lebih rendah
keterlibatan ginjal, trombositopenia dan rawat inap, dan membutuhkan
treatment siklofosfamid yang menurun. Semua anak dengan SLE
harus disarankan untuk memakai tabir surya setiap hari untuk semua
kulit yang terbuka (termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah
karena awan tidak menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete;
Tekano, Jenny. 2007).
c. Diit dan Latihan
Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid-
diinduksi berat badan, makanan tinggi kalori dan garam harus
dihindari. Latihan harus didorong. Cukup banyak anak berpartisipasi
di sekolah penuh waktu, kecuali selama periode penyakit aktif berat.
Kegagalan untuk menghadiri sekolah harus diwaspadai tim kesehatan
untuk kemungkinan masalah psikososial. Komunikasi dengan guru
sekolah diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan
keterlibatan tim klinis jika diminta (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007)
d. Fatique dan Tidur

Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini
biasanya akan membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa
orang tua merasa sulit selama ini untuk memungkinkan anak-anak
mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Terapis okupasi dan fisik
dapat sangat membantu dalam membantu untuk mengembangkan
kegiatan yang lebih baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-
anak bisa berubah pada awal SLE. Hal ini biasanya berhubungan
dengan kortikosteroid. Beberapa anak menjadi hiperaktif dan murung,
dan mengalami kesulitan tidur. Hal ini dapat ditingkatkan dengan
mengambil dosis kortikosteroid sore hari lebih awal. Beberapa anak
pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang air kecil beberapa kali di
malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk tidur. Keterkaitan
dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit masalah
(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
e. Dampak SLE untuk Anak dan Keluarga
Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan
dukungan sangat diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah
pertama dalam membantu keluarga merasa bahwa mereka memiliki
kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk tidak terlalu membebani
keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah diagnosis. Perawat
dapat memainkan peran kunci dalam membantu mereka dengan belajar
tentang penyakit dengan sering telepon tindak lanjut dan kunjungan.
Informasi tertulis dan review dari penyakit dan efek samping
pengobatan yang sering diperlukan(Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).

Remaja sering memberikan tantangan yang unik karena mereka dapat


menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme koping. Hal ini tidak
selalu mekanisme buruk, tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota
keluarga. Sbagian besar anak mampu bersekolah penuh waktu. Banyak
yang memilih untuk tidak memberitahu teman- teman atau guru
tentang penyakit mereka. Seringkali remaja akan melanjutkan semua
kegiatan mereka sebelumnya karena mereka tidak ingin berbeda dari
yang lain(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga


atau anak hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis.
Saat ini, meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat
dan hanya sedikit obat yang diperlukan, dukungan dan pendidikan
yang lebih lanjut diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana seorang
anak dapat berjalan dengan baik selama beberapa tahun dan kemudian
memiliki flare dari penyakit mereka, sangat menegangkan. Hal ini
kembali memperkuat kronisitas SLE dan keluarga mungkin memiliki
waktu yang lebih sulit menghadapi flare penyakit daripada di
diagnosis asli. Sebuah hubungan saling

2. Medis
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan, pilar pengobatan yang bisa dilakukan :
a. Edukasi dan konseling

Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang


benar dan dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya.
Pasien memerlukan informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi
atau mencegah kekambuhan misalnya dengan cara melindungi
kulit dari sinar matahari dengan menggunakan tabir surya atau
pakaian yang melindungi kulit, serta melakukan latihan secara
teratur. Pasien juga memerlukan informasi tentang pengaturan diet
agar tidak mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis, atau
dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada pasein
adalah:
1) Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya
2) Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe
penyalit SLE
3) Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan
terutama yang terkait dengan pengobatan steroid seperti
osteoporosis, kebutuhan istirahat, pemakaian alat bantu,
pengaturan diet, serta cara mengatasi infeksi
4) Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa leleah, stres, emosional, trauma psikis,
masalah terkait dengan hubungan dengan keluarga, serta
cara mengatasi nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama
pemberian, dan yang lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin
dan mineral.
6) Kelompok pendukung bagi penderita SLE

Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis


akibat adanya anggota keluarga yang menderita SLE
b. Program rehabilitasi

Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan


kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat mengakibatkan
penurunan massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi, dan teknis
pelaksanaan program rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik dan yang lainnya
c. Pengobatan medika mentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasien SLE adalah :
1) OAINS
2) Kortikosteroid
3) Klorokuin
4) Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia diindonesia)
5) Azatioprin
6) Siklofosfamid
7) Metotreksat
8) Siklosporin A
9) Mikofenolatmotefil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid
yang dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun,
penggunaan kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara
mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid adalah
dengan mengurangi dosis obatnya segera setelah penyakit
terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan dengan hati-hati
untuk menghindari aktivitas penyakit muncul kembali dan
terjadinya defisiensi kortikol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis yang
dilakuakn secara bertahap akan memberikan pemulihan terhadap
fungsi adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat
diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid
dan mengobtrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agen kortokosteroid adalah azatioprin,
mikofenolat mofenil, siklofosfamid, danmetotrexate.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam


eritematous. Plak eritematous pada kulit dengan skuama yang
melekat dapat terlihat pada kulit kepala, muka atau leher. Inspeksi
kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala alopesia, dan
inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan
gangguan gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat
pembengkakan sendi.

2) Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar


friction rub perikardium yang dapat menyertai miokarditis dan
efusi pleura. Efusi pleura serta infiltrasi mencerminkan insufisiensi
respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru yang abnormal.
3) Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan,
dan sendi yang terasa hangat.
b. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan Lab
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi
antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita
lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada penyakit
lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus
dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA
rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini
hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus
memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur
kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem
kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin
perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya
penyakit.
b) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
2) Radiology
a) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1.) Identitas pasien : hal -hal yang perlu dikaji
pada bagian ini yaitu antara lain nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, agama, suku, keluarga/orang
terdekat, alamat, nomor registrasi.
2.) Riwayat penyakit sekarang : mengkaji data
subjektif yaitu data yang diperoleh dari pasien,
meliputi alasan masuk rumah sakit, keluhan utama.
3.) Riwayat penyakit dahulu : mengkaji apakah
sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama
atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini
diderita.
4.) Riwayat penyakit keluarga : mengkaji apakah
keluarga pasien ada atau tidak yang mengalami penyakit
yang sama.
b. Pengkajian B1-B6
1.) B1 (breathing) : kaji pernafasan pasien
2.) B2 (blood) : kaji tekanan darah, nadi pasien
3.) B3 (brain) : kaji tingkat kesadaran pasien
(GCS)
4.) B4 (bladder) : kaji sistem urologi
5.) B5 (bowel) : kaji sistem pencernaan pasien
6.) B6 (bone) : kaji sistem muskuluskeletal pasien
c. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan TTV : Tekanan Darah, Nadi, Suhu,
Pernapasan
2) Kepala : kaji keadaan kulit kepala, bersih atau tidak,
ada benjolan atau tidak, simetris atau tidak, warna
rambut
3) Mata : kaji kesimetrisan mata, conjungtiva anemis atau
tidak, sclera ikterik atau tidak
4) Hidung : biasanya ada sekret, hidung tampak kemerahan,
adanya pembengkakan mukosa hidung
5) Mulut dan Tenggorokan : kaji keadaan mulut bersih atau
tidak, keadaan gigi bersih atau tidak
6) Telinga : kaji telinga pasien simetris atau tidak,
terdapat sekret atau tidak, teraba hangat atau tidak
7) Leher : kaji keadaan leher apakah ada pembesaran
kelenjar atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak,
adanya bendungan vena jugularis atau tidak
8) Dada : kaji bentuk dada pasien simetris atau tidak,
ada nyeri tekan atau tidak, kaji pergerakan nafas
pasien
9) Abdomen : kaji bentuk abdomen pasien simetris atau
tidak, ada nyeri tekan atau tidak
10) Genitalia : kaji keadaan genitalia pasien bersih
atau tidak
11) Ektremitas : kaji kekuatan otot pasien
12) Integumen : kaji keadaan kulit pasien, ada
iritasi atau tidak
2. Diagnosa Keperawatan
a. Keletihan
b. Gangguan integritas kulit
c. Gangguan citra tubuh
d. Perubahan nutrisi
3. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa SLKI SIKI
Kode Kriteria Hasil Kode Kriteria Hasil
o. Keperaw
atan
1. Kategori L.141 Setelah dilakukan I.113 Perawatan integritas
: 25 tindakan 53 kulit
Lingkun keperawatan selama Observasi :
gan 2x24 jam diharapkan a. Identifikasi
Subkate Gangguan integritas penyebab
gori : kulit menurun gangguan
Keamana dengan kriteria integritas kulit
n dan hasil : Terapeutik :
Proteksi Kerusakan lapisan a. Ubah posisi tiap
Kode : kulit 2 jam jika tirah
D.0192 a. Keluhan baring
Masalah nyeri dari b. Gunakan produk
: skala 2 berbahan ringan
Ganggua (cukup atau alami dan
n meningkat) hipoalergik pada
Integritas menjadi skala kulit sensitif
Kulit 4 (cukup c. Hindari produk
menurun) berbahan dasar
b. Pigmintasi alkohol pada
abnormal dari kulit kering
skala 2 Edukasi :
(cukup a. Anjurkan minum
meningkat) air yang cukup
menjadi skala b. Anjurkan
4 (cukup meningkatkan
menurun) asupan nutrisi
c. Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur
2. Kategori L.090 Setelah dilakukan I.093 Promosi citra tubuh
: 67 tindakan 05 Observasi :
Psikologi keperawatan selama a. Identifikasi
s 2x24 jam diharapkan harapan citra
Subkate gangguan citra tubuh tubuh
gori : membaik dengan berdasarkan
Integritas kriteria hasil : tahap
Ego a. Melihat perkembangan
Kode : bagian tubuh b. Monitor
D. 0083 dari skala 3 frekuensi
Masalah (sedang) pernyataan kritik
: menjadi terhadap diri
Ganggua skala 4 sendiri
n Citra (cukup c. Monitor apakah
Tubuh membaik) pasien bisa
b. Respon non melihat bagian
verbal pada tubuh yang
perubahan berubah
tubuh dari Terapeutik :
skala 3 a. Diskusikan
(sedang) perubahan tubuh
menjadi dan fungsinya
skala 4 b. Diskusikan
(cukup perbedaan
membaik) penampilan fisik
terhadap harga
diri
c. Diskusikan
presepsi pasien
dan keluarga
tentang
perubahan citra
tubuh
Edukasi :
a. Anjurkan
menggunakan
alat bantu
b. Latih fungsi
tubuh yang
dimiliki
c. Latih
peningkatan
penampilan diri
3. Kategori L.030 Setelah dilakukan I.031 Manajemen nutrisi
: 30 tindakan 19 Observasi :
Fisiologi keperawatan selama a. Identifikasi
s 2x24 jam diharapkan status nutrisi
Subkate defisit nutrisi b. Identifikasi
gori : membaik dengan makanan yang
Nutrisi kriteria hasil : disukai
dan a. Indeks massa c. Monitor asupan
Cairan tubuh (IMT) makanan
Kode : dari skala 2 Terapeutik :
D. 0019 (cukup a. Lakukan oral
Masalah memburuk) hygine sebelum
: Defisit menjadi skala makan
Nutrisi 4 (cukup b. Berikan makanan
membaik) tinggi kalori dan
b. Nafsu makan tinggi protein
dari skala 3 c. Berikan
(sedang) suplemen makan
menjadi skala Edukasi :
4 (cukup a. Anjurkan posisi
membaik) duduk
b. Ajarkan diet
yang
diprogramkan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi
pemberian
medikasi
sebelum makan
b. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien
yang dibutuhkan

4. Implementasi Keperawatan
Pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi
merupakan tahap proses keperawatan dimana perawat memberikan
intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap
klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses keperawatan yang
memungkinkan perawat untuk menentukan intervensi keperawatan
telah berhasil memungkinkan kondisi klien. Evaluasi
merupakan langkah terakhir dalam proses keperawtan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
An. Z berusia 13 tahun, datang berobat ke Rs A. Yani Surabaya pada tanggal 23
Maret 2021 dengan keluhan sedikit pucat disertai dengan timbul bintik
kemerahan. Orang tua pasien mengatakan bahwa anaknya tidak memiliki riwayat
penyakit apapun. Orang tua pasien mengatakan bahwa kondisi anaknya seperti ini
setelah demam lama tanpa penyebab yang jelas dan orang tua pasien tidak
mengetahui tentang penyakit yang dialami oleh An. Z. Berdasarkan hasil
pemeriksaan didapatkan hasil TTV: TD 90/60 mmHg, N 103x/menit, RR
40x/menit, Suhu 36,70C. An. Z merasa kesakitan pada bintik merah yang
ada di badannya. Kesadaran composmentis.
Pengkajian
Biodata :
Pasien : Penanggung :
Jawab
Nama : An. Z Nama : Ny. Y
Umur : 13 Tahun Umur : 32 Tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar Pekerjaan : Ibu rumah
tangga
Status : Belum menikah Status : Menikah
Pernikahan Pernikahan
Alamat : Surabaya Alamat : Surabaya
Diagnosa : Lupus Hubungan dengan : Orang tua
Medis Eritematosus klien
No. RM : 900xxx
Tgl. Masuk : 23 Maret 2021
1. Status Kesehatan Saat Ini
1) Keluhan utama : Klien pucat dan ada bintik
merah di badan
2) Lama keluhan : 1 hari lalu
3) Kualitas keluhan : 4 (sedang)
4) Faktor pencetus : Demam
5) Faktor pemberat : Saat melakukan aktivitas
6) Upaya yg. telah dilakukan: Sebelumnya sudah di bawa ke
puskesmas terdekat
2. Riwayat Kesehatan :
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Orang tua pasien mengatakan anaknya masih sedikit pucat dan
ada bintik merah di badannya. Keluhan yang dirasakan pasien
semakin lama semakin berat terutama jika saat melakukan
aktivitas. Pasien tampak lemah.
2) Riwayat Kesehatan Terdahulu :
1) Penyakit yang pernah dialami
a. Kecelaakan (jenis & waktu) : tidak ada
b. Pernah dirawat : pernah dirawat karena
demam
c. Operasi (jenis & waktu) : tidak pernah
d. Penyakit:
- Kronis : tidak ada
- Akut : tidak ada
e. Terakhir masuki RS : 5 tahun lalu
2) Alergi (obat, makanan, plester, dll) : tidak ada
3) Kebiasaan :
Jumlah/Lamanya Jenis
Frekuensi
Merokok tidak ada tidak ada
tidak ada
Kopi tidak ada tidak ada
tidak ada
Alkohol tidak ada tidak ada
tidak ada
4) Obat-obatan
Jenis Lamanya Dosis
tidak ada tidak ada
tidak ada
5) Riwayat Penyakit Keluarga :
1) Menurun : tidak ada
2) Menahun: tidak ada
6) Genogram

Psiko sosio budaya Dan Spiritual :


Psikologis :
a. Perasaan klien setelah mengalami masalah ini
adalah
An. Z merasa lemah, takut jika bintik merah yang di badannya
tidak bisa hilang
b. Cara mengatasi perasaan tersebut
Orang tua tetap memberikan semangat kepada An. Z dan
meyakinkan An. Z bahwa penyakit yang diderita akan sembuh
c. Rencana klien setelah masalah terselesaikan
adalah
An. Z ingin bermain bersama teman-temanya dan bisa melakukan
aktivitas seperti biasa
d. Jika rencana klien tidak dapat diselesaikan maka
Orang tua akan memeriksakan penyakit An.Z sampai sembuh
e. Pengetahuan klien tentang masalahah/penyakit yang
ada
Orang tua mengatakan tidak tahu mengenai penyakit yang
diderita An. Z
Sosial :
a. Aktivitas atau peran di masyarakat adalah :
Setiap hari sebelum sakit An. Z selalu bermain dengan anak-
anak disekitar rumah
b. Kebiasaan lingkungan yang tidak disukai adalah :
An. z tidak suka lingkungan yang kotor
cara mengatasinya : membersihkan rumah, menyapu dan mengepel
c. Pandangan klien tentang aktifitas sosial dilingkungannya :
An. Z mengatakan lingkungan rumahnya bersih
Budaya :
a. Budaya yang diikuti klien adalah budaya: Indonesia
b. Kebudayaan yang dianut merugikan kesehatannya: tidak ada
Spiritual :
a. Aktivitas ibadah sehari-hari : orang tua mengatakan anaknya
rajin sholat dan mengaji
b. Kegiatan keagamaan yang biasa di lakukan : setiap sore An. Z
mengaji di TPA dekat rumah
c. Keyakinan klien tentang peristiwa/masalah kesehatan yang
sekarang sedang dialami : An. Z merasa cemas, takut jika
bintik merahnya tidak hilang
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
Kesadaran : [] CM [ ] apatis [ ] somnolen [ ]sopor
[ ]coma
GCS : E : 4 V : 5 M : 6
Vital Sign : TD : 90/60 mmHg
Nadi : Frekuensi : 103 x/mnt
Irama : [] reguler [ ] ireguler
Kekuatan/isi : [ ] kuat [ ] sedang [ ] lemah
Respirasi : Frekuensi :40 x/mnt
Irama : [] reguler
[ ] ireguler
Suhu :36,70C
Masalah Keperawatan:
Gangguan integritas kulit, gangguan citra tubuh
4. BASIC PROMOTING PHYSIOLOGY OF HEALTH
1. Aktivitas dan latihan
Kemampuan ambulasi dan activity daily living
Rumah Rumah sakit
Makan/minum Mandiri Bantuan
Mandi Mandiri Mandiri
Berpakaian/berdandan Mandiri Mandiri
Toileting Mandiri Mandiri
Mobilitas di tempat Mandiri Mandiri
tidur
Berpindah Mandiri Mandiri
Berjalan Mandiri Mandiri
Naik tangga Mandiri Mandiri

Rumah Rumah sakit


Pekerjaan Sekolah Tidak sekolah
Olah raga rutin Tidak ada Tidak ada
Alat bantu jalan Tidak ada Tidak ada
Kemampuan melakukan Normal Normal
ROM
2. Istirahat tidur
Lama tidur : 5 jam
Tidur siang : Ya  Tidak
Kesulitan tidur di RS :  Tidak  Ya, alasan: terasa
nyeri dibagian bintik merah
Kesulitan tidur :
 Menjelang tidur
Mudah terbangun
Tidak segar saat bangun
3. Keamanan dan nyeri
Nyeri :paliatif : adanya bintik merah di badan
provokatif : saat terasa gatal
Quality : Gatal
Region :di badan
Scale :5 (sedang)
Time :hilang timbul (5-10 menit)
4. Nutrisi
Frekuensi makan : 3 kali
BB/TB/IMT : 35 kg / 150 cm / 23,3
BB 1 bulan terakhir :  tetap  turun 
meningkat
Jenis makanan : nasi
Pantangan/alergi : tidak ada
Nafsu makan :  baik  kurang baik
Masalah pencernaan :  mual  muntah  stomatitis
 nyeri telan
Riwayat operasi/trauma : tidak ada
Diet RS : nasi sedikit lembek
 habis  ½ porsi ¾ porsi  tidak
habis
Kebutuhan pemenuhan makan mandiri  tergantung
dengan bantuan
5. Cairan, elektrolit, dan asam basa
Frekuensi minum : 7-8 kali
Konsumsi air/hari : 1,5 liter
Turgor kulit : baik
Support IV line :  Ya  Tidak
Jenis: KA-EN 3B Dosis: 14 tpm
6. Oksigenasi
Sesak napas :  Ya  Tidak
Frekuensi : cepat, dalam
Kapan terjadinya : sejak 1 hari yang lalu
Faktor pencetus : Demam
Faktor pemberat : saat melakukan aktivitas
Batuk :  Ya  Tidak
Sputum :  Ya  Tidak
Nyeri dada :  Ya Tidak
7. Eliminasi
Eliminasi alvi
Frekuensi : 1 kali
Warna/konsistensi : kekuningan / lembek
Penggunaan pencahar :  Ya  Tidak
Gangguan eliminasi :  konstipasi  diare 
inkontinensia bowel
Kebutuhan pemenuhan eliminasi alvi:  mandiri 
tergantung  dengan bantuan
Eliminasi uri
Frekuensi : 5 kali
Warna/darah : jernih sedikit kekuningan / tidak ada
Riwayat penyakit :  penyakit ginjal  trauma
Penggunaan kateter :  Ya  Tidak
Kebutuhan pemenuhan eliminasi uri:  mandiri 
tergantung  dengan bantuan
5. Sistem tubuh
B1 (Breathing)
Hidung :
Normal, simetris, tidak ada polip, ada sekret
Trakea :
Tidak ada sputum, terdapat suara wheezing
 nyeri  dyspnea  orthopnea  cyanosis
 batuk darah  napas dangkal  retraksi dada 
sputum
 trakeostomi  respirator
Suara napas tambahan
 wheezing lokasi : tidak ada
 ronchi lokasi : tidak ada
 rales lokasi : tidak ada
 crackles lokasi : tidak ada
Bentuk dada
 simetris  tidak simetris
 lainnya, ________________________________
B2 (Bleeding)
 nyeri dada  pusing  sakit kepala
 kram kaki  palpitasi  clubbing finger
Suara jantung
 normal
 lainnya, _______________________________
Edema
 palpebra  anasarka  ekstremitas atas
 ascites
 ekstremitas bawah  tidak ada
 lainnya, bagian badan
Capillary Refill Time = ˂ 2detik
B3 (Brain)
 composmentis  apatis  somnolen  spoor
 koma  gelisah
Glasgow Coma Scale
E = 4 V = 5 M = 6 Nilai total = 15
Mata :
Sklera  putih  icterus  merah 
perdarahan
Konjungtiva  pucat  merah muda
Pupil  isokor  anisokor  miosis  midriasis
Leher :
Normal tidak ada pembesaran thyroid
Refleks (spesifik) :
Jika diberi rangsangan lansgung memberikan respon
Persepsi sensori
Pendengaran :
Kiri : normal
Kanan : normal
Penciuman :
Dapat mencium dengan normal
Pengecapan  manis  asin  pahit
Penglihatan :
Kiri : normal, dapat melihat tulisan jarak jauh tanpa
menggunakan alat bantu
Kanan : normal, dapat melihat tulisan jarak jauh tanpa
menggunakan alat bantu
Perabaan  panas  dingin  tekan
B4 (Bladder)
Produksi urine : 1500ml/hari Frekuensi : 5 kali/hari
Warna : jernih sedikit kekuningan Bau :
menyengat
 oliguria  poliuri  dysuria  hematuria 
nocturia
 nyeri  kateter  menetes  panas  sering
 inkotinen  retensi  cystotomi  tidak ada masalah
 alat bantu, tidak ada
Lainnya, __________________________
B5 (Bowel)
Mulut dan tenggorokan :
Mulut lembab, gigi bersih, tenggorokan normal tidak ada nyeri
telan
Abdomen (IAPP) :
Inspeksi : normal, tidak ascites
Auskultasi : normal, tidak hypertimpani dan tidak pekak
Palpasi : normal, tidak hepatomegali
Rectum : normal tidak ada hemoroid
BAB : 2 kali/hari Konsistensi : lembek
 diare  konstipasi  feses berdarah 
tidak terasa
 lavement  kesulitan  melena  colostomy
 wasir  pencahar  tidak ada masalah
 alat bantu, tidak ada  diet khusus, tidak
ada
B6 (Bone)
Kemampuan pergerakan sendi  bebas  terbatas
Parese :  ya  tidak
Paralise :  ya  tidak
Kekuatan otot : 4444
Extremitas atas :  patah tulang  peradangan 
perlukaan  tidak ada kelainan
Lokasi, ____________________________________
Extremitas bawah :  patah tulang  peradangan 
perlukaan  tidak ada kelainan
Lokasi, ____________________________________
Tulang belakang : normal
Warna kulit :  ikterik  cyanosis  pucat
 kemerahan  pigmentasi
Akral :  hangat  panas
 dingin basah  dingin kering
Turgor :  Baik  cukup  buruk/menurun
Sistem Endokrin
Terapi hormon : tidak ada
Karakteristik seks sekunder : tidak ada
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik :
 perubahan ukuran kepala, tangan, kaki pada saat dewasa
 kekeringan kulit atau rambut
 exopthalmus  polidipsi
 goiter  poliphagi
 hipoglikemia  poliuria
 intoleran panas  postural hipotensi
 intoleran dingin  kelemahan
Sistem Reproduksi
Laki – laki
Bentuk  normal  tidak
normal,______________________________
Kebersihan  bersih  kotor,
____________________________________

Perempuan
Payudara  simetris  asimetris  benjolan,
________________
Bentuk  normal  tidak normal,
_______________________________
Keputihan  tidak  ya,
_______________________________________
Siklus haid = _________ hari  teratur  tidak teratur

Masalah Keperawatan:
Gangguan Integritas Kulit

5. Pemeriksaan Penunjang :
(Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Radiology, EKG, USG, X-Ray
dll)
Tanggal/Jam Jenis Pemeriksaan & Hasil (Kesimpulan)
23 Maret Pemeriksaan darah lengkap
2021 / Hasil :
10:00 WIB An. Z mengalami demam dan bintikan merah di
badan disebabkan oleh lupus eritematosus

6. Terapi Medis :
Cara Nama Obat & Dosis Frekuensi
Pemberian
Intravena Metil prednisolone 5 hari
(IV) (30mg/kg BB/hari) &
360 mg/hari

Oral Prednison (0,5- 7 hari 1-1-


2mg/kg BB/hari) &12 0,5 Tablet
mg/hari

ANALISA DATA
Nama klien : An. Z No. Register : 900xxx
Umur : 13 tahun Diagnosa Medis : Lupus Eritematosus
Ruang Rawat : Melati Alamat : Surabaya

TGL/JAM DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM


23 Maret DS : Kulit (Lesi Gangguan
2021 / 1. An. Z mengatakan sistemik) integritas kulit
10:00 WIB bahwa badannya terasa
gatal karena bintik-
bintik di badannya
2. Orang tua mengatakan Gangguan
bahwa dari 1 hari yang integritas kulit
lalu anaknya
mengalami demam
DO :
1. An. Z tampak pucat
2. Merasakan gatal di
tubuhnya
3. TTV :
TD : 90/60 mmHg
N : 103x/menit
RR : 40x/menit
Suhu : 36,70C
23 Maret DS : Kulit (Lesi Gangguan citra
2021 / 1. An. Z mengatakan sistemik) tubuh
10:00 WIB bahwa bintik yang ada
pada badannya
menyebabkan gatal
2. An. Z mengatakan Gangguan citra
bahwa sering merasa tubuh
gatal pada bagian yang
berbintik
DO :
1. An. Z tampak meringis
kesakitan
2. Terdapat bintik merah
di badan
3. An. Z tampak kesulitan
untuk tidur jika terasa
perih pada bagian
bintik
4. TTV :
TD : 90/60 mmHg
N : 103x/menit
RR : 40x/menit
Suhu : 36,70C

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Ganguuan integritas kulit b/d adanya kulit (lesi sistemik)
2. Gangguan citra tubuh b/d adanya kulit (lesi sistemik)
RENCANA TINDAKAN
Nama Klien : An. Z No. Register : 900xxx
Umur : 13 tahun Diagnosa Medis : Lupus Eritematosus
Ruang Rawat : Ruang Melati Alamat : Surabaya
No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Gangguan Integritas kulit Setelah dilakukan tindakan Perawatan integritas kulit Observasi :
a. Untuk mengetahui
keperawatan selama 2x24 Observasi :
faktor apa yang
jam diharapkan Gangguan a. Identifikasi penyebab gangguan menyebabkan
gangguan integritas
integritas kulit menurun integritas kulit
kulit
dengan kriteria hasil : Terapeutik : Terapeutik :
a. Untuk memenuhi
Kerusakan lapisan kulit a. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
kebutuhan tidur
a. Keluhan nyeri dari baring pasien
b. Untuk
skala 2 (cukup b. Gunakan produk berbahan
mengantisipasi
meningkat) menjadi ringan atau alami dan terjadinya alergi
pada pasien
skala 4 (cukup hipoalergik pada kulit sensitif
c. Untuk membantu
menurun) c. Hindari produk berbahan dasar mencegah kerusakan
pada kulit
b. Pigmintasi alkohol pada kulit kering
Edukasi :
abnormal dari skala Edukasi : a. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan
2 (cukup a. Anjurkan minum air yang cukup
pasien
meningkat) menjadi b. Anjurkan meningkatkan asupan b. Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
skala 4 (cukup nutrisi
pasien
menurun) c. Anjurkan meningkatkan asupan c. Untuk memenuhi
kebutuhan serat
buah dan sayur
pasien
2 Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan tindakan Promosi citra tubuh Observasi :
a. Untuk mengetahui
keperawatan selama 2x24 Observasi :
perkembangan
jam diharapkan gangguan a. Identifikasi harapan citra tubuh harapan pasien
b. Untuk mengetahui
citra tubuh membaik berdasarkan tahap
harapan pada diri
dengan kriteria hasil : perkembangan pasien
c. Untuk mengetahui
a. Melihat bagian b. Monitor frekuensi pernyataan
apakah pasien sudah
tubuh dari skala 3 kritik terhadap diri sendiri bisa melihat
perubahan pada
(sedang) menjadi c. Monitor apakah pasien bisa
dirinya
skala 4 (cukup melihat bagian tubuh yang Terapeutik :
a. Untuk melihat
membaik) berubah
perubahan pada diri
Respon non verbal pada Terapeutik : pasien
perubahan tubuh dari skala b. Untuk mengetahui
a. Diskusikan perubahan tubuh
3 (sedang) menjadi skala 4 kepercayaan diri
(cukup membaik) dan fungsinya pada diri pasien
c. Untuk meningkatkan
b. Diskusikan perbedaan
pengetahuan pasien
penampilan fisik terhadap harga terhadap diri pasien
diri Edukasi :
a. Untuk membantu
c. Diskusikan presepsi pasien dan
pasien agar pasien
keluarga tentang perubahan aman
b. Untuk melatih fungsi
citra tubuh
tubuh pasien
Edukasi : c. Untuk meningkatkan
penampilan diri
a. Anjurkan menggunakan alat
pasien
bantu
b. Latih fungsi tubuh yang dimiliki
c. Latih peningkatan penampilan
diri
CATATAN PERKEMBANGAN
Nama Klien : An. Z No. Register : 900xxx
Umur :13 tahun Diagnosa Medis : Lupus Eritematosus
Ruang Rawat :Ruang Melati Alamat : Surabaya
No Dx Tanggal Jam Implementasi Evaluasi TTD
1 23 Maret 2021 12:00 WIB a. Mengidentifikasi penyebab S:
a. pasien mengatakan
gangguan integritas kulit
bahwa gatal dikulit
15.00 b. Mengubah posisi tiap 2 jam jika sedikit lebih berkurang
b. demam sudah berkurang
pasien tirah baring
O:
17.00 c. Menganjurkan meningkatkan a. Pasien nampak sedikit
tenang
asupan nutrisi
b. Pasien nampak rileks
c. TTV :
TD : 100/70 mmHg
N : 90x/menit
RR : 35x/menit
Suhu : 36,70C
A : Masalah teratasi sebagaian
P : Lanjutkan intervensi
2 24 Maret 2021 07.00 WIB a. Mengidentifikasi harapan citr S :
a. Pasien mengatakan sudah
tubuh berdasarkan tahap
lebih tenang dan rileks
09.00 perkembangan b. Pasien mengatakan bintik
di tubuh sudah berkurang
b. Memonitor frekuensi prnyataan
12.00 kritik terhadap diri sendiri O:
TTV :
c. Memonitor apakah pasien bisa
TD : 110/60 mmHg
melihat bagian tubuh yang N : 82x/menit
RR : 20x/menit
berubah
Suhu : 36,50C
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA

Greenstein, B & Wood, D. (2010). At a glance sistem endokrin. Edisi 2, alih


bahasa Yasmine, E., & Rachmawati, A.D. Jakarta : Erlangga
Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta : EGC
Koroma, A.F. (2012). Systemic lupus erythematosus : nurse and patient
education. Nursing standart. RCN publishing, 26 , 39, 49-57.
Mansjoer, A., et al. (2009). Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Playfair, J.H.L., & Chain, B. M. (2012). At a glance imunologi. Edukasi
kesembilan. Jakarta : Erlangga
Siregar, Syofian. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta : PT Fajar
Interpratama Mandiri
Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, dkk. (2009). Ostreoatritis. Dalam: Sudoyo W,
Setiyohadi B,Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing
Suarjana, I.N., (2015). Imunopatogenesis lupus eritematosus sistemik. Dalam :
Setiati, S. Setiyohadi, B., Alwi, I., dkk, editor. Ilmu penyakit dalam.
Edisi keenam. Jakarta : Interna Publishing
Suntoko, B. (2015). Gambaran Klinik dan Diagnosis lupus eritematosus sistemik.
Dalam : Setiati,S. Setiyohadi, B., Alwi, I., dkk, editor. Ilmu penyakit
dalam. Edisi keenam. Jakarta : Interna Publishing
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Wallace, D.J. (2007). The lupus book. Penterjemah bahasa Wiratama, C,
Yogyakarta B First

Anda mungkin juga menyukai