Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 2

Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Nama : Putu Devi Pradnya Sari


NIM : 859016474
Kode / Nama Mata Kuliah : PDGK4407/ Pengantar Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Hari, Tanggal Tugas : Senin, 31 Mei 2021

UPBJJ UNIVERSITAS TERBUKA DENPASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2021
Soal dan Jawaban
1. Adanya ketunanetraan menjadikan anak sulit mengikuti proses pembelajaran reguler. Oleh
karenanya, pendidik diharapkan mampu mendeteksi potensi dari karakteristik anak, untuk
selanjutnya menstimulasinya menjadi prestasi yang maksimal. Pada anak dengan tunanetra,
ada 3 modal kemampuan yang dapat distimulasi untuk mendukung belajar anak. Jelaskan apa
yang dimaksud dan berikan pula contohnya.
Jawaban:
Pada anak dengan tunanetra, ada 3 modal kemampuan yang dapat distimulasi untuk
mendukung belajar anak dengan memahami kemampuan anak dengan tunanetra untuk
memvisualisasikan lingkungannya, memanfaatkan persepsi obyek, dan menggunakan
ingatan kinestetik, akan membantu anda lebih memahami bagaimana individu tunanetra
dapat berfungsi dengan baik di dalam lingkungannya. Ke tiga modal kemampuan inilah yang
harus anak miliki ketika anak sudah mampu mengoptimalkan fungsi indra-indra lainnya.
Berikut ini sedikit uraian terkait ketiga kemampuan yang harus distimulasi kepada anak
dengan ketunanetraan:
a. Visualisasi
Seorang anak tunanetra untuk mendapatkan kenyamanan di dalam lingkungannya
dan membantunya bergerak secara mandiri adalah dengan menggunakan ingatan
visual (visual memory). Setelah berorientasi dengan baik dengan memanfaatkan
semua indera dengan sebaik-baiknya, individu tunanetra dapat menggambarkan
lingkungannya di dalam pikirannya. Visualisasi juga penting bila individu tunanetra
bertemu dengan orang lain dan bercakap-cakap dengannya. Sedapat mungkin,
individu tunanetra perlu memaksakan ingatan visualnya agar tetap waspada juga bila
sedang berjalan atau berkendaraan ke suatu tempat. Dia perlu tahu nama jalan tempat
berangkat, dan bila belok, dia perlu menanyakan persimpangan jalan yang dilaluinya
sehingga dia memiliki gambaran tentang cara mencapai tempat tujuannya, dan tahu
cara kembali ke tempat asalnya sesudah itu. Contoh : Sedapat mungkin, individu
tunanetra perlu memaksakan ingatan visualnya agar tetap waspada juga bila sedang
berjalan atau berkendaraan ke suatu tempat. Dia perlu tahu nama jalan tempat
berangkat, dan bila belok, dia perlu menanyakan persimpangan jalan yang dilaluinya
sehingga dia memiliki gambaran tentang cara mencapai tempat tujuannya, dan tahu
cara kembali ke tempat asalnya sesudah itu.
b. Proyeksi Obyek
Proyeksi obyek suatu kemampuan yang memungkinkan seorang tunanetra itu
menyadari bahwa suatu benda hadir di sampingnya atau di hadapannya meskipun dia
tidak memiliki penglihatan sama sekali dan tidak menyentuh benda itu. Fenomena ini
sebagian dapat dijelaskan bahwa dia mendengar gema langkah kakinya sendiri atau
bunyi lain yang ditimbulkannya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Kehadiran
benda itu juga dapat disadarinya melalui penginderaan yang dihantarkan oleh
kulitnya. Kemampuan persepsi obyek biasanya dikembangkan oleh mereka yang
buta total dan mungkin tidak dapat dimiliki oleh mereka yang mengalami gangguan
pendengaran. Contoh: seorang tunanetra menggunakan proyeksi obyek dengan baik
sehingga dia dapat melindungi dirinya dari menabrak benda-benda besar, dan
mendapatkan rasa aman bila berjalan di sepanjang pagar tinggi atau dinding
bangunan tanpa menyentuhnya dengan tangannya atau tongkatnya.
c. Ingatan Kinestetik
Ingatan kinestetik adalah ingatan tentang kesadaran gerak otot yang dihasilkan oleh
interaksi antara indra perabaan (tactile), propriosepsi dan keseimbangan (yang
dikontrol oleh sistem vestibular, yang berpusat di bagian atas dari telinga bagian
dalam. Sistem ini peka terhadap percepatan, posisi dan gerakan kepala). Ingatan
kinestetik hanya terbentuk sesudah orang melakukan gerakan yang sama di daerah
yang sama atau untuk kegiatan yang sama secara berulang-ulang. Contoh: orang
tunanetra berjalan dan tanpa terlihat mendeteksi dengan tongkatnya, dia belok pada
saat dan tempat yang tepat, memperlambat langkahnya tepat di depan tangga yang
akan dinaiki atau dituruninya yang merupakan sebuah hafalan.

2. Penjelasan tentang definisi edukasional/fungsional ketunanetraan berimbas terhadap


penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sebagai pendidik, bagaimana Anda dapat
menjelaskan dampak dari definisi tersebut terhadap pembelajaran anak dengan tunanetra?
Jawaban:
Definisi edukasional/fungsional didasarkan pada layanan pembelajaran yang dapat disediakan
bagi anak tunanetra sesuai dengan hambatan dan kebutuhan mereka. Definisi ketunanetraan
dari aspek edukasional yaitu seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan
pembelajarannya dia memerlukan alat bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik
tertentu sehingga mampu belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas.
Berdasarkan cara belajarnya, ketunanetraan ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu buta
(blind) atau tunanetra berat dan kurang awas (lov vision) atau tunanetra ringan.
Berdasarkan definisi edukasional ketunanetraan ini maka memberikan dampak yang
positif terhadap pembelajaran anak dengan dampak tunanetra misalnya
a. Anak dengan tunanetra berat (blind) sehingga pembelajaran yang diberikan kepada anak
tersebut menggunakan indra-indra nonpenglihatanya. Dia membaca menggunakan tulisan
Braille yang dibaca melalui ujung jari, atau rekaman audio yang dibaca melalui
pendengarannya.
b. Anak dengan tunanetra ringan atau kurang awas (low vision) belajar melalui penglihatan
dan indra-indra lainnya. Dia membaca menggunakan tulisan diperbesar atau kaca
pembesar, tetapi dia juga akan terbantu menggunakan Braille atau rekaman audio.

Dari sini terlihat definisi edukasional/fungsional memberikan dampak yang positif


mengenai kebutuhan penyandang ketunanetraan, tidak hanya terhadap perkembangan
kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya
dalam bidang membaca dan menulis. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak
tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan kemampuan membaca dan
menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.

3. Ana, seorang siswi kelas 4 SD yang memiliki ketunarunguan. Ana seringkali menyendiri dan
cenderung tidak punya teman. Guru mendapatkan informasi bahwa teman-temannya tidak
bersedia melibatkan Ana dalam kelompok belajar dikarenakan ia sulit diajak berkomunikasi.
Bagaimana Anda menganalisis kasus ini?
Jawaban:
Dari kasus diatas maka disinilah peran guru untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial
anak tunarungu. Jadi melihat kasus ini maka yang sebaiknya dilakukan guru adalah
a. Mengidentifikasi dan observasi
Dengan mengidentifikasi dan observasi apa permasalahan yang terjadi pada anak
tunarungu ini maka kita mengetahui apa yang menyebabkan Ana menyendiri dan
cenderung tidak punya teman . Disini yang diidentifikasi dan observasi adalah kontak
sosial, komunikasi, proses interaksi sosial serta hambatan yang dialami dalam
komunikasi dan interaksi sosial anak tunarungu ke anak normal ataupun anak normal ke
anak tunarungu. Apabila ketunarunguan ini mempengaruhi interaksi sosial Ana maka guru
(guru kelas dan guru pendamping khusus) harus mampu membangun lingkungan agar
siswa dapat berinteraksi dengan baik dan mendapat dukungan dari lingkungannya (anak
normal).

b. Pendekatan
Pendekatan kepada anak tunarungu dalam hal ini guru melakukan beberapa
prinsip dalam menangani anak tunarungu, selain itu juga melakukan kerjasama dengan
tenaga ahli, orang tua dan teman sebaya (anak normal).
Pendekatan kepada anak tunarungu dalam kasus ini Ana maka guru sebaiknya
mampu meningkatkan harga diri anak, menciptakan lingkungan bicara yang baik serta
contoh bicara yang baik sehingga dari apa yang dilakukan oleh guru siswa mempiliki
model dalam mengembangkan interaksi sosial dan komunikasinya.
Pendekatan atau kerja sama dengan tenaga ahli seperti terapi bicara untuk
keberhasilan anak yang mengalami gangguan komunikasi
Pendekatan atau kerja sama dengan orang tua, dengan kerja sama dengan
orang tua dan orang tua mengetahui masalah yang terjadi kepada anak disekolah maka
orang tua dapat sebagai mitra kerja yang efektif mampu mengembangkan kemampuan
interaksi sosial dan komunikasi anak.
Pendekatan dengan teman sebayanya yang normal, guru perlu memberikan
pemahaman dan mempengaruhi siswa agar timbul sikap positif pada diri mereka dalam
bergaul dengan Ana yang memiliki kebutuhan khusus ketunarunguan. Dengan timbulnya
sikap positif maka siswa mampu menjadi model pembicaraan yang baik bagi Ana
c. Peningkatan kemampuan interaksi sosial anak tunarungu
Guru sebaiknya melakukan beberapa upaya yang diyakini mampu meningkantan
meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi anak tunarungu seperti menempatkan
anak tunarungu untuk duduk dengan anak normal, melibatkan anak tunarungu dalam
proses kegiatan belajar mengajar, senantiasa memberikan pujian dan motivasi kepada
anak tunarungu, memberikan arahan pada anak-anak lain untuk memahami
kondisi Ana dengan tunarungu dan agar dapat berteman dengan baik. Lingkungan
psikososial yang dikembangkan secara positif dapat membantu anak tunarungu
merasa lebih nyaman dan percaya diri untuk melaksanakan proses interaksi sosial dengan
teman-temannya. Oleh karena itu penting bagi anak tunarungu untuk senantiasa
dibiasakan berhubungan (berinteraksi sosial) agar tidak terhambatnya
perkembangan sosial serta siap untuk dunia luar yang sarat perbedaan.

4. Anak dengan gagap (stuttering) menunjukkan arus bicara yang terganggu, yakni adanya
pengulangan atau perpanjangan bunyi kata atau suku kata. Apabila siswa dengan kategori ini
ada di kelas Anda, bagaimana intervensi yang akan diterapkan selanjutnya?
Jawaban:
Dari kasus diatas terlihat bahwa dari menunjukkan anak mengalami gagap (stuttering) tu
artinya sudah melalui analisis hasil asesmen sehingga terlihat anak tersebut gagap, ketika kita
sudah mengetahui tipe gangguan dari anak tersebut maka langkah selanjutnya adalah
a. Membuat program intervensi yang ditujukan kepada anak dengan gagap tersebut.
Program ini saya laksanakan diluar jam pembelajaran atau kalau bisa dilakukan dikelas,
bisa dilakukan dikelas dengan catatan anak tidak merasa minder atau kita tidak membuat
anak tersebut beban dan merasakan bahwa gagapnya tersebut merupakan masalah yang
besar. Program intervensinya dengan memperhatikan: tujuan intervensi, latihan yang akan
diberikan (terapi wicara) dan media yang digunakan
b. Pelaksanaan program intervensi
Pelaksanaan program intervensi dilakukan dengan memberikan terapi wicara sehingga
mampu memperbaiki kegagapannya. Terapi wicara akan dilakukan dengan beberapa
strategi untuk membantu kemampuan bicara, melalui:
Aktivitas Intervensi Bahasa
Saya (guru) akan berinteraksi dengan anak dengan bermain dan berbicara,
menggunakan gambar, buku, objek-objek tertentu, atau kejadian di sekitar.
Tujuanya, untuk menstimulasi perkembangan kemampuan bicara. Selain itu juga
bisa mencontohkan kosakata serta tata bahasa yang benar, dan menggunakan
latihan berulang, untuk membangun kemampuan berbicara pada anak.
Latihan Artikulasi
Latihan artikulasi atau cara pengucapan, dilakukan dengan mencontohkan cara
pengucapan kata dengan benar, per suku kata dan per kalimat, sambil bermain.
Permainan yang dilakukan sambil mencontohkan anak cara memproduksi suara
yang benar, dan menggerakkan lidah dalam memproduksi suara tertentu.
Latihan Makan dan Menelan
Guru bisa member masukan kepada orang tuanya untuk memberikan berbagai
latihan oral termasuk memijat wajah dan melatih lidah, rahang, serta bibir untuk
melatih kekuatan ototnya untuk makan, minum, dan menelan.

Selain latihan yang diberikan kepada anak secara khusus guru jg bisa menggunakan cara
berikut dikelas:
Memberikan anak kesempatan untuk berkomunikasi dalam suasana tenang,
nyaman dan santai, dengan tidak terlalu memperhatikan kegagapannya yang
kemudian membuat anak menyadari bahwa gagapnya itu adalah masalah besar.
Pada anak gagap yang kidal, perlu diberikan kebebasan untuk menggunakan
tangan kirinya secara dominan dalam berbagai aktivitas, jangan memaksanya
menggunakan tangan kanan secara dominan
Kesabaran dari orang yang diajak bicara untuk mau mendengarkan, tanpa
memotong pembicaraan anak sewaktu ia belum selesai berbicara
Lingkungan yang tidak banyak menuntut, agar tidak menimbulkan tekanan yang
akan memperberat kegagapannya

c. Penilaian dan tindak lanjut


Setelah selesai melaksanakan intervensi dalam jangka waktu tertentu, maka sebaiknya
melakukan penilaian/asesmen ulang untuk mengetahui kemajuan yang dicapai anak didik
yang mengalami gagap tersebut. Asesmen dilakukan dengan instrument yang sama,
kemudian dianalisis kembali seingga dapat diperoleh gambaran kemajuan yang dicapai.
Selanjutnya, merencanakan program lanjutan unruk mengintervensi tingkat kegagapan
yang masih ada atau progam pengembangan sebagai tindak lanjut.

5. Anak dengan tunagrahita pada kategori ringan memiliki peluang untuk mampu mengikuti
kegiatan belajar di sekolah umum, namun tentu dengan beberapa penyesuaian. Jelaskan
penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan, jika kelas Anda menerima siswa baru dengan
tunagrahita ringan!
Jawaban:
Dari kasus tersebut anak tunagrahita memerlukan perhatian khusus sehingga peran guru
kelas sangat diperlukan. Peran yang dilakykan guru yaitu sebagai fasilitator, demonstrator,
pengelola kelas serta sebagai evaluator. Sedangkan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan
terhadap anak dengan tunagrahita ringan dilakukan agar anak dapat menyesuaikan diri
didalam kelompok, dapat mengembangkan kemampuan individu, sosial dan intelektual,
berpenampilan yang sesuai dengan lingkungan serta dapat memiliki kepuasan terhadap diri.
Penyesuaian-penyesuaian yang dapat saya lakukan sebagai guru adalah:
o Materi dan pemberian tugas yang diberikan kepada anak tunagrahita ada yang
sama dan ada juga yang berbeda dengan anak dikelasnya sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
o Metode yang akan digunakan adalah metode demonstrasi dan petunjuk visual
sebanyak mungkin dikelas dan dilaksanakan secara terstruktur dan konkret agar
siswa dengan tunagrahita mampu mengikuti pembelajaran dikelas
o Strategi pembelajaran yang diberikan dikelas
Strategi pengajaran yang diindividualisasikan dimana kedalaman dan
keluasan materi pelajaran yang diberikan berbeda sesuai demham
kemampuan dan kebutuhan anak (tunagrahita dan siswa normal). Saya juga
harus memperhatikan pengelompokan siswa, pengaturan lingkungan
belajar (baik kelompok atau menempatkan di bangku depan), dan
pengadaan pusat belajar. Selain itu juga saya meluangkan waktu untuk
memberi tambahan jam dan memberikan perhatian khusus untuk
menangani anak dengan tunagrahita setelah pelajaran berakhir
Strategi kooperatif, dimana dengan pembelajaran kooperatif anak yang
lebih pandai mampu mengarahkan dan membantu siswa yang lemah dan
tunagrahita dalam suasana yang akrab dan kekeluargaan. Saya akan
mengadakan penyesuaian kepada semua siswa dengan mengatur tempat
duduk, pengelompokan anak dan besarnya anggota kelompok sehingga
mampu meningkatkan sosialisasi antara anak tunagrahita dengan anak
normal, menumbuhkan penghargaan dan sikap positif, memungkinkan
harga diri anak tunagrahita meningkat, serta member kesempatan pada
anak tunagrahita untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin.
Saya juga memberikan arahan kepada siswa lain untuk bersikap responsif
dan mengajaknya dalam interaksi sosial agar ia merasa menjadi bagian dari
kelompoknya
Strategi modifikasi tingkah laku, dimana tujuan dari strategi ini adalah
mengubah, menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak baik
ke tingkah laku yang baik. Saya akan menegurnya jika menunjukkan
prilaku yang kurang sesuai (dalam hal perilaku dan penampilan),
memberikan motivasi dan pujian ketika berhasil melaksanakan suatu
pekerjaan dengan baik serta senantiasa mengingatkan teman-teman untuk
memperlakukan anak tunagrahita dengan baik
o Media yang digunakan dengan anak yang beranekaragam dimana dikelas terdapat
anak dengan tunagrahita maka saya haruslah kreatif untuk memanfaatkan sarana
dan prasarana yang ada, seperti memberikan banyak kesempatan agar anak
bereksperimen dan mempraktekkan konsep baru dengan materi yang konkret atau
situasi yang menstimulasi. Dengan memperhatikan juga (1) bahan tidak
berbahaya, (2) warna tidak mencolok dan tidak abstrak, (3) ukuran harus dapat
digunakan atau diatur penggunaannya oleh anak itu sendiri.
o Evaluasi, dimana evaluasi yang diterapkan dikelas hampir sama hanya saja dalam
waktu pelaksanaan evaluasi, alat evaluasi, criteria keberhasiilan dan pencatatan
hasil evaluasi memerlukan sedikit modifikasi untuk anak tunagrahita.

Anda mungkin juga menyukai