Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN LIKUID SEMISOLID

PERCOBAAN 4
EMULSI

DisusunOleh :

Kelompok 5/B

Siti Nurhalizah 10060318090


Muhammad Fadhil Safari 10060318091
Sylvie Kurniasih 10060318092
Nabila Fitri Handayani 10060318093
Rosa Afriliani 10060318095
Vini Nur Alfaeni 10060318096
Temi Regina Yuliani 10060318097
Mayang Fitriani Sukma D 10060318100

Asisten : Neneng Indah Nurazizah, S.Farm


Tanggal Praktikum : 20 Oktober 2020
Tanggal Laporan : 27 Oktober 2020

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020 M / 1441 H
MODUL IV
EMULSI

I. Teori Dasar
1.1. Pengertian Emulsi
Emulsi (Emulsion) adalah suatu sistem koloid yang fase terdispersi dan
medium pendispersinya berupa cairan yang tidak dapat bercampur. Misalnya
benzena dalam air, minyak dalam air, dan air susu. Mengingat kedua fase tidak
dapat bercampur, keduanya akan segera memisah. Untuk menjaga agar emulsi
tersebut mantap atau stabil, perlu ditambahkan zat ketiga yang disebut
emulgator atau zat pengemulsi (Emulsifying Agent). (Sumardjo, 547).
1.2. Tujuan Pemakaian Emulsi
Emulsi dibuat untuk mendapatkan preparat atau sediaan yang stabil dan
merata atau homogen dari campuran dua cairan yang saling tidak bisa
bercampur.
Tujuan pemakaian emulsi adalah :
1. Untuk dipergunakan sebagai obat dalam atau per oral. Umumnya tipe
emulsi tipe O/W
2. Untuk dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O,
tergantung pada banyak faktor, misalnya sifat atau efek terapi yang
dikehendaki. (Syamsuni, 2007)
1.3. Tipe – tipe Emulsi
Tipe-tipe emulsi menurut Gennaro (1969: 298), yaitu:
1. M/A (minyak/air) Suatu emulsi dimana minyak terdispersi sebagai
tetesan-tetesan dalam fase air dan diistilahkan emulsi minyak
dalam air.
2. A/M (air/minyak) Jika air adalah fase terdispersi dan minyak
adalah medium pendispersi, maka emulsi disebut emulsi air dalam
minyak.
Emulsi Ganda Dikembangkan berdasarkan pencegahan pelepasan bahan
aktif. Dalam tipe emulsi ini dihadirkan 3 fase yang disebut bentuk emulsi
A/M/A atau M/A/M atau disebut “emulsi dalam emulsi”.Emulsi mana yang
terjadi, tergantung dari emulgatornya. Jika emulgator larut dalam air, maka
terbentuk emulsi O/W. Jika emulgator larut dalam minyak maka terbentuk
emulsi W/O.
Sedangkan tipe-tipe emulsi menurut Lachman (1994: 1030) adalah Jika
tetesan-tetesan minyak didispersikan dalam fase air, fase kontinyu, maka
emulsi disebut minyak dalam air (M/A). Jika minyak merupakan fase kontinyu,
emulsi merupakan tipe air dalam minyak (A/M). Telah diamati bahwa emulsi
M/A kadang-kadang berubah menjadi emulsi A/M atau sebaliknya (inversi).
Dua tipe emulsi tambahan yang digolongkan sebagai emulsi ganda, tampaknya
diterima oleh para ahli kimia. Secara keseluruhan memungkinkan untuk
membuat emulsi ganda dengan karakteristik minyak dalam air dalam minyak
(M/A/M) atau air dalam minyak dalam air (A/M/A).
1.4. Emulgator
Semua emulgator bekerja dengan membentuk film (lapisan) di
sekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan film ini berfungsi agar
mencegah terjadinya koalesen dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase
terpisah (Anief.. 2010).
Syarat emulgator adalah molekul-molekulnya mempunyai afinitas
terhadap kedua cairan yang membentuk emulsi. Daya afinitasnya harus parsial
atau tidak sama terhadap kedua cairan tersebut. Salah satu ujung emulgator
larut dalam cairan yang satu, sedangkan ujung yang lain hanya membentuk
lapisan tipis (selapis molekul) di sekeliling atau diatas permukaan cairan yang
lain (Sumardjo. 2009). Beberapa zat pengemulsi yang sering digunakan adalah
gelatin, gom akasia, tragakan, sabun, senyawa ammonium kwartener, senyawa
kolesterol, surfaktan, atau emulgator lain yang cocok. Untuk mempertinggi
kestabilan dapat ditambahkan zat pengental, misalnya tragakan, tilosa, natrium
karboksimetilselulosa (Depkes RI.)
1.5. Cara Membedakan Tipe Emulsi
1.5.1. Dengan Pengenceran Fase

Setiap emulsi dapat diencerkan dengan fase eksternalnya. Emulsi tipe


O/W dapat diencerkan dengan air dan tipe W/O dapat diencerkan dengan
minyak
1.5.2. Dengan Pengecatan Atau Pewarnaan
Zat warna akan tersebar merata dalam emulsi jika zat tersebut larut
dalam fase eksternal emulsi tersebut. Larutan sudan III (merah) pada emulsi
tipe W/O. larutan metilen biru (biru) pada emulsi tipe O/W
1.5.3. Dengan Kertas Saring Atau Kertas Tisu
Jika emulsi diteteskan pada kertas saring terdapat noda minyak, berarti
emulsi tersebut tipe W/O, tetapi jika terjadi basah merata berarti emulsi
tersebut tipe O/W
1.5.4. Dengan Konduktivitas Listrik
Alat yang dipakai yaitu kawat dan stop kontak, kawat dengan K ½ watt
dan neon ¼ watt, semua dihubungkan secara seri. Lampu neon akan menyala
jika elektroda dicelupkan kedalam cairan emulsi tipa O/W, dan akan mati jika
dicelupkan pada emulsi W/O (Syamsuni.2007)
1.6. Kestabilan Emulsi
Emulsi dikatakan tidak stabil jika mengalami hal-hal seperti di bawah ini :
1.6.1 Creaming
Terpisahnya emulsi menjadi 2 bagian, yaitu satu bagian mengandung
fase disper lebih banyak daripada lapisan yang lain. Creaming bersifat
reversible, artinya jika dikocok perlahan akan terdispersi kembali
1.6.2. Koalesensi dan cracking (breacking)
Pecahnya emulsi karena film yang meliputi partikel rusak dan butir
minyak berkoalesensi atau menyatu menjadi fase tunggal yang memisah.
Emulsi ini bersifat ireversible (tidak dapat diperbaiki kembali). Hal ini terjadi
karena peristiwa kimia (penambahan alkohol, perubahan pH, penambahan
elektrolit CaO/CaCl2 eksikatus), peristiwa fisika (pemanasan, penyaringan,
pendinginan, pengadukan), peristiwa biologis (fermentasi bakteri, jamur, atau
ragi)
1.6.1. Inversi Fase
Peristiwa berubahnya tipe emulsi O/W menjadi W/O secara tiba-tiba
atau sebaliknya. Emulsi ini bersifat irreversible (Syamsuni. 2007).

II. DATA PREFORMULASI ZAT AKTIF


2.1 Paraffin cair
- Pemerian : cairan kental, transparan, tidak berflouresensi; tidak
berwarna; hampir tidak berbau; hampir tidak mempunyai rasa
(DEPKES RI, 1979: 474)
- Polimerfisme : -
- Ukuran partikel : -
- Kelarutan : praktis tidak larut air dan dalam etanol (95%) P;
larut dalam kloroform P dan dalam eter P (DEPKES RI, 1979: 474)
- Titik lebur/titik didih : 500-570C ((DEPKES RI, 1979: 475)
- pKa/pKb : -
- Bobot jenis : 0,84-0,89 g/cm3 (DEPKES RI, 1979: 474)
- pH larutan : -
- Stabilitas : Parafin stabil, meskipun pelelehan dan penggumpalan
berulang dapat mengubah sifat fisiknya. Parafin harus disimpan pada
suhu tidak melebihi 408C dalam wadah tertutup baik (Raymond et
al, 2009: 475).
- Inkompabilitas : -
- Khasiat : laktasivum (DEPKES RI, 1979: 474)

III. DATA PREFORMULASI BAHAN TAMBAHAN


3.1. Aquades
- Pemerian : cairan jernih, tidak berwarna; tidak berbau; tidak
mempunyai rasa (DEPKES RI, 1979: 96)
- Polomorfisme : -
- Ukuran partikel : -
- Kelarutan : -
- Titik lebur/ titik didih : 1000C (DEPKES RI, 1979: 96)
- pKa/pKb : 8,4 (DEPKES RI, 1979: 96)
- Bobot jenis : 1 g/cm3 atau 1 g/mL (DEPKES RI, 1979: 96)
- pH larutan : 7 DEPKES RI, 1979: 96)
- Stabilitas : stabil di udara (DEPKES RI, 1979: 96)
- Inkompanilitas : -
- Khasiat : pelarut (DEPKES RI, 1979: 96)
3.2. CMC-Na
- Pemerian : serbuk; putih hingga hampir putih higroskopis setelah
pengeringan tidak berbau; tidak berasa (Raymond et al, 2009: 148)
- Ukuran partikel : -
- Kelarutan : mudah terdispersi dakan air membentuk larutan koloid,
tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut organik lain
(Raymond et al, 2009:148)
- Titik lebur/titik didih : 2270-2520C (Raymond et al, 2009:148)
- pKa/pKb : 4,3 (Raymond et al, 2009:148)
- Bobot jenis : 0,52 g/cm3 (Raymond et al, 2009:148)
- pH larutan : 2-10 (Raymond et al, 2009: 148)
- Stabilitas : (Raymond et al, 2009: 148)
- Inkompabilitas : inkompatibel dengan larutan asam kuat dan dengan
larutan garam dari beberapa logam, pengendapan terjadi pada pH 2
dan pada saat pencampuran dengan etanol 95%, dan membentuk
kompleks dengan gliserin dan pektin (Raymond et al, 2009:148)
- Khasiat : suspending agent (Raymond et al, 2009: 2009: 148).
3.3. Setil Alkohol
- Pemerian : terbentuk sebagai lilin, serpihan putih, butiran, kubus,
atau coran (Raymond et al, 2009: 155)
- Polimorfisme : -
- Ukuran partikel : -
- Kelarutan : larut dalam etanol (95%) dan eter, kelarutan meningkat
dengan meningkatnya suhu; praktis tidak larut dalam air. Dapat larut
bila dilebur dengan lemak, parafin cair dan padat, dan isopropil
miristat (Raymond et al, 2009: 155)
- Titik lebur/titik didih : 316-3440C (Raymond et al, 2009:155)
- pKa/pKb : -
- Bobot jenis : 0,908 g/cm3 (Raymond et al, 2009:155)
- pH larutan : -
- Stabilitas : Setil alkohol stabil dengan adanya asam, basa, cahaya,
dan udara; itu tidak menjadi tengik. Ini harus disimpan dalam wadah
tertutup baik di tempat yang sejuk dan kering (Raymond et al,
2009:156)
- Inkompabilitas : Kompatibel dengan oksidator kuat. Setil alkohol
bertanggung jawab untuk menurunkan titik leleh ibuprofen, yang
menghasilkan kecenderungan lengket selama proses pelapisan film
kristal ibuprofen (Raymond et al, 2009:156)
- Khasiat : pengembang (Raymond et al, 2009:155)
3.4. Span 80
- Pemerian : cairan kental; berwarna kuning; rasa pahit; bau khas
(Raymond et al, 2009: 675)
- Polimorfisme : -
- Ukuran partikel : -
- Kelarutan : Pada umumnya larut/terdispersi dalam minyak, larut
dalam pelarut organik, praktis tidak larut dalam air (Raymond et al,
2009:675)
- Titik lebur/titik didih :-
- pKa/pKb : -
- Bobot jenis : 1,01 g/cm3 (Raymond et al, 2009: 675)
- pH larutan : ≤ 8 (Raymond et al, 2009: 675)
- Stabilitas : Perlahan-lahan akan membentuk busa dengan adanya
asam kuat dan basa stabil terhadap asam lemah dan basa lemah.
Dapat di simpan dalam wadah tertutup baik di tempat kering dan
dingin (Raymond et al, 2009: 675)
- Inkompabilitas : -
- Khasiat : suspending agent (Raymond et al, 2009:675)
3.5. Tween 80
- Pemerian : cairan seperti minyak; jernih berwarna kuning muda; bau
khas lemah; rasa pahit dan hangat (Raymond et al, 2009: 549)
- Polimorfisme : -
- Ukuran partikel : -
- Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air; larut dalam etanol; tidak
larut dalam minyak mineral (Raymond et al, 2009:549)
- Titik lebur/titik didih : -
- pKa/pKb : -
- Bobot jenis : 1.065–1.095 g (Raymond et al, 2009: 549)
- pH larutan : 6-8 (Raymond et al, 2009:549)
- Stabilitas : Stabil terhadap elektrolit dan dan dalam asam serta
basalemah perlahan-lahan akan terbentuk saponifikasi dengan asam
kuat dan basa kuat (Raymond et al, 2009: 549)
- Inkompabilitas : Dapat terjadi pengendapan dan pelunturan warna
dengan beberapa zat khususnya fenol, tannin, tar seperti
metanial,aktivitas anti mikroba oleh bahan pengawet paraben dengan
menurunkan konsentrasi polysorbate (Raymond et al, 2009: 549)
- Khasiat : suspending agent (Raymond et al, 2009:549)
IV. Alat dan Bahan

V. Perhitungan dan Penimbangan

5.1 Perhitungan

 Emulsi CMC Na 1% (Emulgator Alam)


30
1. Paraffin Cair 30% = 100 𝑥 100 mL = 30 gram
1
2. CMC Na 1% = 100 𝑥 100 mL = 1 gram

3. Air untuk CMC Na = 20 x 1 = 20 mL air panas


4. Aquadest = ad. 100 mL
 Emulsi Tween 80 dan Span 80 + 10% Setil alkohol (Emulgator
Sintesis)
30
1. Paraffin Cair 30% = 100 𝑥 100 mL = 30 gram

2. Tween 80 dan Span 80 10%


- HLB Tween 80 = 15
- HLB Span 80 = 4,3
- HLB Butuh = 12
Perhitungan Cara Aligasi
Span 80 4,3 3
12
7,7
Tween 80 15 +
10,7
3
- Span 80 = 10,7 x 10 g = 2,80 gram
7,7
- Tween 80 = 10,7 x 10 g = 7,20 gram
10
3. Setil Alkohol 10% = 100 x 100 mL = 10 gram

Aquadest = ad. 100 mL


5.2 Penimbangan
5.2.1 Emulsi CMC Na 1% (Emulgator Alam)

5.2.2 Emulsi Tween 80 dan Span 80 + 10% Setil alkohol (Emulgator


Sintesis)
VI. Prosedur pembuatan Sediaan dan Evaluasi
6.1 Emulsi dengan emulgator CMC-Na 1% (metode basah)
Disiapkan alat dan bahan lalu ditimbang semua bahan yang akan
digunakan. Kemudian didihkan aquades dan dikembangkan CMC-Na dengan
aquades yang telah dipanaskan sebanyak 20 mL dimortir dan digerus ad
mucilago. Ditambahkan parafin cair sedikit demi sedikit dan digerus ad
terbentuk korpus emulsi. Lalu dimasukkan ke dalam matkan dan ditambahkan
aquades ad 100 mL kemudian diaduk dengan stirer dengan kecepatan 300 rpm.
Setelah itu dimasukan kedalam tabung sedimentasi dan dilakukaan evaluasi
sediaan.
6.2 Emulsi dengan emulgator CMC-Na 1% (metode kering)
Disiapkan alat dan bahan lalu ditimbang semua bahan yang akan
digunakan. Kemudian didihkan aquades dan dimasukkan parafin cair dan
CMC-Na ke dalam mortir dan digerus ad homogen. Ditambahkan 20 mL air
panas dan digerus ad terbentuk korpus emulsi. Kemudian dimasukkan ke
dalam matkan dan ditambahkan 100 mL aquades. Lalu diaduk dengan stirer
dengan kecepatan 300 rpm. Setelah itu dimasukkan ke dalam tabung
sedimentasi dan dilakukan evaluasi sediaan.
6.3 Emulsi dengan emulgator sintesis tween 80 dan span 10% (+) setil
alkohol 10%
Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian dimasukkan
span 80, setil alkohol, parafin cair ke dalam cawan. Lalu dipanaskan ditangan
air (fase minyak) hingga suhu 60-70oC. Setelah itu dimasukkan tween 80 ke
dalam cawan lain yang berisi 10 mL aquades dan dipanaskan ditangan air (fase
air) hingga suhu 60-70oC. Kemudian dicampurkan fase minyak dan fase air ke
dalam matkan dan ditambahkan aquades ad 100 mL. Stirer selama 5 menit
dengan kecepatan 300 rpm. Kemudian dimasukkan ke dalam tabung
sedimentasi dan dilakukan evaluasi sediaan.
6.4 Prosedur Evaluasi
1. Organoleptic
Diamati warna, bau, rasa partikel dan juga diuji kejernihan dari
sediaan
2. Tipe emulsi
a) Uji kertas saring
Kertas saring disiapkan lalu tumpahkan sedikit emulsi ke
kertas tersebut dan diamati
b) Uji pengenceran
Emulsi dan air dicamlurkan kemudian diaduk sampai
homogen, jika larut dalam air artinya emulsi minyak dalam
air
3. Bobot jenis
Pastikan piknometer dalam keadaan bersih dan kering kemudian
ditimbang pikonmeter kosong lalu dicatat hasilnya (W1),
piknometer diisi aquadest sampai penuh dan ditimbang, hasil
penimbangan dicatat sebagai (W2), selanjutnya masukan sedikit
sampai penuh, ditimbang dan dicatat sebagai (W3)
4. Volume sedimentasi
Emulsi dimasukan ke tabung sedimen 100ml kemudian didiamkan
hingga terbentuk sedimentasi, lalu dibandingkan tinggi lapisan
seperti susu (Hu) dengan tinggi seluruh sediaan (Ho).
5. Uji Viskositas
Tekan tombol on pilih no spindle yang sesuai, lalu dipasangkan
pada alat. Tekan tombol on/0ff dan atur kecepatan putaran spindle
lalu turunkan spindle hingga tercelup seluruhnya lalu tekan tombol
on/off dan amati. Ulangi uji dengan menggunakan spindle yang
berbeda.
VII. Hasil Pengamatan dan Pengolahan Data

 Data Bobot Jenis


- Piknometer kosong = 14,4660 g
- Piknometer + air = 26,1692 g
- Piknometer + F1 = 26,2682 g
- Piknometer + F2 = 25,1272 g
- Piknometer + F3 = 26,2790 g
 Perhitungan Bobot Jenis
 BJ1
𝑊3−𝑊1
= 𝑊2−𝑊1
26,2682−14,4660
= 26,1692−14,4660

11,8022
= 11,7032

= 1,0084 g/mL

 BJ2
𝑊3−𝑊1
= 𝑊2−𝑊1
25,1272−14,4660
= 26,1692−14,4660

10,6612
= 11,7032

= 0,9109 g/mL
 BJ3
𝑊3−𝑊1
= 𝑊2−𝑊1
26,2790−14,4660
= 26,1692−14,4660

11,813
= 11,7032

= 1,0093 g/Ml

 Data Tinggi Sedimentasi

VIII. Pembahasan (Usulan Formula)


Pada percobaan kali ini dilakukan pembuatan sediaan liquid berupa
emulsi. Emulsi yaitu suatu sistem yang secara termodinamika tidak stabil dan
mengandung paling sedikit dua cairan yang tidak bercampur, dimana salah satu
cairan terdispersi (fase terdispersi) dalam cairan lainnya (fase
kontinu/pendispersi) dalam bentuk globul-globul dan distabilkan oleh
emulgator. Dibuat emulsi karena zat aktif yang digunakan pada praktikum kali
ini adalah paraffin cair yang merupakan asam lemak dan tidak dapat bercampur
dengan air. Paraffin cair akan mengalami oksidasi ketika dipanaskan dan
terkena sinar atau cahaya sehingga jika dilakukan pemanasan dalam proses
pembuatannya suhu pada pencampuran paraffin tidak boleh terlalu panas.
Paraffin berkhasiat laksativum atau sebagai pencahar (DEPKES RI, 1979).
Pembuatan emulsi dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap disrupsi dan
tahap stabilisasi. Tahap disrupsi adalah pemecahan fase minyak menjadi
globul-globul kecil sehingga fasa terdispersi lebih mudah terdispersi dalam
fasa pendispersi dan tahap stabiliasai adalah stabilisasi globul-globul yang
terdispersi dalam medium pendispersi dengan menggunakan emulgator dan
bahan pengental. Ada dua macam emulsi yaitu emulsi A/M (air dalam minyak)
dan M/A (minyak dalam air), namun kali ini akan dibuat tipe emulsi minyak
dalam air (M/A) yang bertujuan untuk menutupi rasa minyak yang tidak enak,
lebih mudah dicerna dan diabsorbsi karena ukuran minyak diperkecil agar
ketersediaan hayati lebih baik karena sudah dalam bentuk terlarut.
Pada percobaan ini digunakan emulgator alam berupa CMC Na dengan
dua cara yaitu metode basah dan metode kering, perbedaannya terletak pada
cara kering tidak mengembangkan emulgator terlebih dahulu namun cara basah
dilakukan pengembangan emulgator terlebih dahulu serta menggunakan
emulgator sintetis berupa tween 80, span 80, dan setil alkohol. Fungsi
emulgator sendiri yaitu untuk mencegah penggabungan kembali globul-globul
terdispersi dengan cara membentuk lapisan film pada permukaan globul.
8.1 Emulsi dengan emulgator CMC Na 1% (Metode Basah)
Pada pembuatan formula ini, zat aktif yang digunakan adalah parafin
cair. Parafin cair merupakan cairan kental yang transparan, tidak berflourensi,
tidak berwarna, hampir tidak berbau dan hampir tidak berasa (DIRJEN RI,
1979). Emulgator merupakan komponen yang paling penting dalam pembuatan
sediaan emulsi yang stabil. Emulgator yang digunakan adalah emulgator yang
termasuk dalam golongan emulgator alam yaitu berupa CMC Na 1% dengan
menggunakan metode pembuatan cara basah. CMC Na digunakan sebagai
emulgator karena mampu mengikat air sehingga molekul-molekul air
terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk CMC Na.
Pada metode basah ini emulgator yang digunakan terlebih dahulu
dikembangkan. Sebelum dilakukan pengembangan, terlebih dahulu aquadest
dididihkan dengan tujuan untuk meningkatkan kelarutan bahan yang akan
dibuat emulsi. CMC Na perlu dilakukan pengembangan dengan tujuan agar
terbentuk mucilago yang nantinya digunakan sebagai pengemulsi. Penggerusan
yang dilakukan dengan kuat bertujuan untuk mencegah pemecahan atau
pemisahan antara air dan minyak sehingga diperoleh emulsi yang baik dan
tidak pecah. Pada proses pengadukannya digunakan stirrer, tujuannya agar
sediaan dapat homogen dengan sempurna karna diaduk dengan kecepatan
konstan.
Dari hasil evaluasi sediaan emulsi yang dilakukan, diketahui bahwa uji
organoleptis sediaan emulsi cara basah dengan emulgator CMC Na memiliki
warna putih keruh, tidak berbau dan rasanya pahit. Prinsip dari evaluasi
organoleptis ini yaitu pemeriksaan dengan panca indera. Emulsi yang baik
seharusnya memiliki warna putih susu dengan tidak ada pemisahan antara fase
minyak dan fase air, sedangkan pada emulsi ini diperoleh warna yang keruh,
hal itu dikarenakan CMC Na kurang baik untuk dijadikan emulgator zat aktif
paraffin cair dan sediaan emulsi yang dibuat juga tidak memiliki rasa dan bau
karena pada saat pembuatan tidak menggunakan flavouring agent.
Homogenitasnya diketahui homogen. Tujuan dilakukan evaluasi homogenitas
yaitu untuk mengetahui apakah sediaan sudah terdispersi dengan sempurna
atau belum. Selanjutnya dilakukan evaluasi tipe emulsi dengan menggunakan
uji pengenceran dan uji kertas saring.
Uji pengenceran yang dilakukan yaitu dengan mencampurkan sediaan
emulsi dalam aquadest dimana prinsipnya yaitu suatu emulsi akan bercampur
dengan fase luarnya, jika larut dalam air artinya tipe M/A, sedangkan uji kertas
saring dilakukan dengan meneteskan sedikit sediaan emulsi diatas kertas saring
kemudian diamati kecepatan menyebarnya, dimana prinsip dari uji kertas
saring yaitu suatu emulsi diteteskan pada kertas saring, jika cepat menyebar
maka artinya tipe M/A. Diketahui berdasarkan kedua uji yang dilakukan bahwa
sediaan emulsi ini memiliki tipe emulsi minyak dalam air karena hasilnya
sediaan dapat larut dalam air dan dapat dengan cepat menyebar dipermukaan
kertas saring.
Selanjutnya dilakukan evaluasi bobot jenis sediaan emulsi untuk
mengetahui apakah parafin cair sudah terdispersi dengan baik atau belum,
pengukuran bobot jenis ini dilakukan dengan menggunakan piknometer dimana
prinsipnya yaitu membandingkan bobot zat uji diudara terhadap bobot air
dengan volume dan suhu yang sama, pada emulsi ini diperoleh bobot jenis
sebesar 1,0085, sediaan emulsi ini menggunakan pembawa berupa air maka BJ
yang dihasilkan umumnya lebih dari 1, bobot jenis yang lebih dari 1
menandakan bahwa zat aktif dan zat tambahan pada emulsi ini sudah
bercampur dan terdispersi. Kemudian dilakukan evaluasi volume sedimentasi
dilihat dari pembentukan lapisan seperti susu dan melihat kestabilan pada
emulsi secara fisik dengan berdasarkan prinsip perbandingan harga Ho (tinggi
seluruh sediaan) dan Hu (tinggi lapisan seperti susu) , pada emulsi ini diperoleh
volume sedimentasi berturut-turut dengan waktu 10’, 20’, 30’ dan 60’ sebesar
1 ; 0,88 ; 0,7 dan 0,65. Emulsi dikatakan stabil apabila perbandingan Hu/Ho =
1 atau mendekati 1. Sedangkan diketahui bahwa volume sedimentasi sediaan
emulsi ini mengalami penurunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sediaan
emulsi ini kurang stabil karena CMC Na tidak cukup bagus untuk dijadikan
emulgator. Kemudian dilakukan evaluasi uji viskositas menggunakan alat
viskositas brookfield, dimana prinsip dari alat ini yaitu pengukuran gaya
sebuah spindel yang dicelupkan kedalam sediaan, dimana semakin kuat putaran
spindel maka semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatan semakin besar.
Diketahui viskositas dari sediaan emulsi ini memenuhi syarat. Dan yang
terakhir yaitu dilakukan evaluasi pH sediaan, diketahui pH nya sebesar 5,911.
8.2 Emulsi dengan emulgator CMC Na 1% (Metode Kering)
Pada metode kering ini emulgator yang digunakan tidak perlu dilakukan
pengembangan, karena pada metode ini semua bahan yang digunakan akan
langsung dicampur. Sebelum dilakukan pencampuran, terlebih dahulu aquadest
dididihkan dengan tujuan untuk meningkatkan kelarutan bahan yang akan
dibuat emulsi. Parafin cair dan CMC Na yang dimasukkan kedalam mortir
digerus dengan kuat, penggerusan yang dilakukan dengan kuat ini bertujuan
untuk mencegah pemecahan atau pemisahan antara air dan minyak sehingga
diperoleh emulsi yang baik dan tidak pecah. Pada proses pengadukannya
digunakan stirrer, tujuannya agar sediaan dapat homogen dengan sempurna
karna diaduk dengan kecepatan konstan.
Dari hasil evaluasi sediaan emulsi yang dilakukan, diketahui bahwa uji
organoleptis sediaan emulsi cara kering dengan emulgator CMC Na memiliki
warna putih keruh, tidak berbau dan rasanya pahit. Prinsip dari evaluasi
organoleptis ini yaitu pemeriksaan dengan panca indera. Emulsi yang baik
seharusnya memiliki warna putih susu dengan tidak ada pemisahan antara fase
minyak dan fase air, sedangkan pada emulsi ini diperoleh warna yang keruh,
hal itu dikarenakan CMC Na kurang baik untuk dijadikan emulgator zat aktif
paraffin cair dan sediaan emulsi yang dibuat juga tidak memiliki rasa dan bau
karena pada saat pembuatan tidak menggunakan flavouring agent.
Homogenitasnya diketahui tidak homogen.
Tujuan dilakukan evaluasi homogenitas yaitu untuk mengetahui apakah
sediaan sudah terdispersi dengan sempurna atau belum, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sediaan emulsi cara kering ini tidak terdispersi dengan
baik. Selanjutnya dilakukan evaluasi tipe emulsi dengan menggunakan uji
pengenceran dan uji kertas saring. Uji pengenceran yang dilakukan yaitu
dengan mencampurkan sediaan emulsi dalam aquadest dimana prinsipnya yaitu
suatu emulsi akan bercampur dengan fase luarnya, jika larut dalam air artinya
tipe M/A, sedangkan uji kertas saring dilakukan dengan meneteskan sedikit
sediaan emulsi diatas kertas saring kemudian diamati kecepatan menyebarnya,
dimana prinsip dari uji kertas saring yaitu suatu emulsi diteteskan pada kertas
saring, jika cepat menyebar maka artinya tipe M/A.
Diketahui berdasarkan kedua uji yang dilakukan bahwa sediaan emulsi
ini memiliki tipe emulsi minyak dalam air karena hasilnya sediaan dapat larut
dalam air dan dapat dengan cepat menyebar dipermukaan kertas saring.
Selanjutnya dilakukan evaluasi bobot jenis sediaan emulsi untuk mengetahui
apakah parafin cair sudah terdispersi dengan baik atau belum, pengukuran
bobot jenis ini dilakukan dengan menggunakan piknometer dimana prinsipnya
yaitu membandingkan bobot zat uji diudara terhadap bobot air dengan volume
dan suhu yang sama, pada emulsi ini diperoleh bobot jenis sebesar 0,9109,
sediaan emulsi ini menggunakan pembawa berupa air maka BJ yang dihasilkan
umumnya lebih dari 1, bobot jenis yang lebih dari 1 menandakan bahwa zat
aktif dan zat tambahan pada emulsi ini sudah bercampur dan terdispersi,
sedangkan pada kenyataannya diperoleh bobot jenis kurang dari 1 yang
menandakan bahwa zat aktif dan zat tambahan tidak terdispersi dengan baik.
Kemudian dilakukan evaluasi volume sedimentasi dilihat dari pembentukan
lapisan seperti susu dan melihat kestabilan pada emulsi secara fisik dengan
berdasarkan prinsip perbandingan harga Ho (tinggi seluruh sediaan) dan Hu
(tinggi lapisan seperti susu) , pada emulsi ini diperoleh volume sedimentasi
berturut-turut dengan waktu 10’, 20’, 30’ dan 60’ sebesar 0 ; 0 ; 0 dan 0.
Emulsi dikatakan stabil apabila perbandingan Hu/Ho = 1 atau mendekati 1.
Sedangkan diketahui bahwa volume sedimentasi sediaan emulsi ini
tidak membentuk lapisan seperti susu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
sediaan emulsi ini kurang stabil karena CMC Na tidak cukup bagus untuk
dijadikan emulgator. Kemudian dilakukan evaluasi uji viskositas menggunakan
alat viskositas brookfield, dimana prinsip dari alat ini yaitu pengukuran gaya
sebuah spindel yang dicelupkan kedalam sediaan, dimana semakin kuat putaran
spindel maka semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatan semakin besar.
Diketahui viskositas dari sediaan emulsi ini memenuhi syarat. Dan yang
terakhir yaitu dilakukan evaluasi pH sediaan, diketahui pH nya sebesar 5,901.
8.3 Emulsi dengan emulgator Surfaktan dan Setil Alkohol
Selanjutnya dilakukan pembuatan emulsi menggunakan emulgator
sintesis berupa surfaktan dan setil alkohol. Surfaktan sendiri berfungsi sebagai
emulgator dengan cara membentuk lapisan film monomolekuler atau
monolayer pada permukaan globul fase terdispersi, selain itu surfaktan dapat
menurunkan tegangan permukaan atau antar permukaan minyak dan air
sehingga menurunkan energi bebas dan menstabilkan emulsi. Surfaktan yang
digunakan pada percobaan kali ini yaitu Tween 80 dan Span 80 yang
dikombinasikan agar didapatkan HLB Surfaktan yang mendekati atau sama
dengan HLB Minyak. Tween 80 dan Span 80 sendiri termasuk kedalam jenis
surfaktan non ionik. Selain itu digunakan pula emulgator setil alkohol yang
bersifat selain sebagai bahan pengemulsi, juga mampu menyerap air,
meningkatkan stabilitas dan meningkatkan konsistensi pada emulsi sehingga
viskositasnya pun meningkat. Setil alkohol akan membentuk suatu film yang
tidak larut di atas lapisan bawah yang sama dan setil alkohol juga dapat
meningkatkan viskositas sehingga dapat menstabilkan emulsi (Raymond et al,
2009).
Pertama-tama fase minyak yang terdiri dari span 80, setil alkohol, dan
paraffin cair dimasukkan ke cawan porselen kemudian dipanaskan ditangas air
hingga suhu 60°C – 70°C, hal yang sama dilakukan pada fase air yang terdiri
dari tween 80 dan aquadest. Pemanasan ini bertujuan untuk menurunkan
tegangan permukaan dan viskositas sehingga dapat bercampur dengan baik.
Kemudian fase minyak dan air dicampurkan dalam matkan lalu diaduk
menggunakan stirrer selama 5 menit dengan kecepatan 300 rpm, saat proses
pengadukan ditambahkan aquadest ad 100 mL. Pengocokan menggunakan
stirrer bertujuannya agar sediaan dapat homogen dengan sempurna karena
diaduk dengan kecepatan konstan, selain itu agar minyak dapat terdispersi
dalam air dengan baik serta emulgator dapat membentuk lapisan film pada
permukaan fase terdispersi dan agar globul-globul tidak kembali bergabung
dan menyebar, sehingga hal ini tidak mengakibatkan adanya endapan pada
awal dari pengadukan. Setelah itu dimasukkan kedalam tabung sedimentasi dan
evaluasi sediaan dilakukan.
Pada proses pencampuran dalam pembuatan sediaan emulsi merupakan
proses dispersi dari fase minyak dan air untuk membentuk emulsi yang baik.
Prinsip mekanisme pencampuran yaitu:
1. Bulk transport : terjadi dari gerakan sejumlah besar material dari
satu tempat ke tempat lain.
2. Turbulent mixing : terjadi dari gerakan secara acak dari molekul
yang dipaksa bergerak secara turbulen.
3. Molecular diffusion : merupakan analog dari diffusion mixing
dimana terjadi gerakan acak droplet secara individu, terjadi
terdistribusi droplet.
Evaluasi sediaan pertama yang dilakukan yaitu uji organoleptik, uji ini
memiliki prinsip pemeriksaan dengan panca indera. Hasil dari uji organoleptik
pada emulsi yang menggunakan emulgator sintetis yaitu berwarna putih susu,
memiliki bau seperti susu, dan pahit sehingga emulsi ini tergolong baik karena
memiliki warna putih susu dengan tidak adanya pemisahan antara fase minyak
dan fase air, sediaan emulsi yang dibuat tidak memiliki rasa karena saat
pembuatan tidak menggunakan flavouring agent. Homogenitasnya diketahui
homogen.
Tujuan dilakukan evaluasi homogenitas yaitu untuk mengetahui apakah
sediaan sudah terdispersi dengan sempurna atau belum, sehingga dapat
disimpulkan bahwa sediaan emulsi cara kering ini tidak terdispersi dengan
baik. Selanjutnya dilakukan evaluasi tipe emulsi dengan menggunakan uji
pengenceran dan uji kertas saring. Uji pengenceran dilakukan dengan
mencampurkan sediaan emulsi dalam aquadest dimana prinsipnya yaitu suatu
emulsi akan bercampur dengan fase luarnya, jika larut dalam air artinya tipe
M/A, sedangkan uji kertas saring dilakukan dengan meneteskan sedikit sediaan
emulsi diatas kertas saring kemudian diamati kecepatan menyebarnya, dimana
prinsip dari uji kertas saring yaitu suatu emulsi diteteskan pada kertas saring,
jika cepat menyebar maka artinya tipe M/A.
Diketahui berdasarkan kedua uji yang dilakukan bahwa sediaan emulsi
ini memiliki tipe emulsi minyak dalam air karena hasilnya sediaan dapat larut
dalam air dan dapat dengan cepat menyebar dipermukaan kertas saring.
Selanjutnya dilakukan evaluasi bobot jenis sediaan emulsi untuk mengetahui
apakah parafin cair sudah terdispersi dengan baik atau belum, pengukuran
bobot jenis ini dilakukan dengan menggunakan piknometer dimana prinsipnya
yaitu membandingkan bobot zat uji diudara terhadap bobot air dengan volume
dan suhu yang sama, pada emulsi ini diperoleh bobot jenis sebesar 1,0093,
sediaan emulsi ini menggunakan pembawa berupa air maka BJ yang dihasilkan
umumnya lebih dari 1, bobot jenis yang lebih dari 1 menandakan bahwa zat
aktif dan zat tambahan pada emulsi ini sudah bercampur dan terdispersi,
sehingga pada emulsi menggunakan emulgator sintetis zat aktif dan zat
tambahan telah terdispersi dengan baik. Kemudian dilakukan evaluasi volume
sedimentasi yang dilihat dari pembentukan lapisan seperti susu dan kestabilan
pada emulsi secara fisik berdasarkan prinsip perbandingan harga Ho (tinggi
seluruh sediaan) dan Hu (tinggi lapisan seperti susu), pada emulsi ini diperoleh
volume sedimentasi berturut-turut dengan waktu 10’, 20’, 30’ dan 60’ sebesar
1 ; 1 ; 1 dan 1. Emulsi dikatakan stabil apabila perbandingan Hu/Ho = 1 atau
mendekati 1. Sehingga dapat dikatakan emulsi dengan emulgator sintetis
termasuk stabil, emulsi ini juga membentuk lapisan seperti susu. Kemudian
dilakukan evaluasi uji viskositas menggunakan alat viskositas brookfield,
dimana prinsip dari alat ini yaitu pengukuran gaya sebuah spindel yang
dicelupkan kedalam sediaan, dimana semakin kuat putaran spindel maka
semakin tinggi viskositasnya sehingga hambatan semakin besar.
Diketahui viskositas dari sediaan emulsi ini memenuhi syarat. Dan yang
terakhir yaitu dilakukan evaluasi pH sediaan, diketahui pH nya sebesar 6,383.
Selama pengamatan tidak terjadi perubahan atau pemisahan dua fase yang
menunjukkan bahwa sediaan emulsi lebih stabil dengan emulgator surfaktan
yang ditambahan setil alkohol. Karena dengan penambahaan campuran antara
tween 80 dan span 80 dengan konsentrasi semakin tinggi hingga mencapai
10% akan meningkatkan kestabilan atau akan memperlambat proses
ketidakstabilan tersebut, serta penambahan setil alcohol selain sebagai bahan
pengemulsi juga mampu menyerap air, meningkatkan stabilitas dan
meningkatkan konsistensi pada emulsi sehingga viskositasnya pun meningkat.
Dapat disimpulkan dari seluruh formula yang digunakan formula yang
paling baik yaitu emulsi dengan emulgator sintetis berupa campuran tween 80
dan span 80 yang termasuk kedalam surfaktan serta setil alkohol karena
menghasilkan bobot jenis lebih dari 1 sehingga zat aktif telah terdispersi serta
dihasilkan nilai tinggi sedimentasi yaitu 1 untuk setiap waktu pengamatan yang
menandakan tidak terjadinya ketidakstabilan pada emulsi.
IX. USULAN FORMULA
Formula yang baik untuk emulsi adalah :
R/ Paraffin cair 30 %
Setil alkohol 4%
Tween 80 & span 80 10 %
Pewarna merah makanan q.s
Essence Strawberry q.s
Aquadest ad 100 mL

Parrafin cair digunakan sebagai zat aktif pada sediaan emulsi. Karena
parrafin adalah suatu zat aktif yang praktis tidak larut dalam air dan dalam
etanol, maka dari itu paraffin cair dibuat menjadi sediaan emulsi. Setil alkohol
digunakan pula sebagai emulgator serta pengembang dan peningkat viskositas,
sehingga emulsinya stabil tidak terpisah. Menurut Raymond et al (2009), setil
alkohol paling baik digunakan dalam rentang 2% - 5%, jika penambahan
terlalu tinggi maka konsistensi emulsi semakin tinggi sehingga semakin sulit
untuk di tuangkan. Untuk menstabilkan emulsi, digunakan eksipien suatu
emulgator yaitu emulgator golongan surfaktan berupa tween 80 dan span 80,
yang dimana berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan. Untuk
menutupi penampilan emulsi, maka digunakan pewarna merah makanan
secukupnya. Dikarenakan formula ini memiliki rasa yang pahit, maka
digunakan essence strawberry untuk menutupi rasa pahit dari emulsi dengan
emulgator twen 80 dan span 80 ini sehingga membuat sediaan lebih mudah
diterima oleh pasien terutama anak-anak.

X. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengamatan secara organoleptis formula yang
menggunakan emulgator alam waranya lebih keruh dibandingkan
dengan formula yang menggunakan emulgator sintesis yang memiliki
warna putih susu.
2. Berdasarkan hasil evaluasi tipe emulsi uji kertas saring dan uji
pengenceran tipe sediaan emulsi yang dilakukan termasuk tipe minyak
dalam air.
3. Berdasarkan hasil evaluasi volume sedimentasi formula 2 merupakan
tipe emulsi yang baik karena memenuhi standar literatur tipe emulsi
pada umumnya.
4. Berdasarkan pH hasil pengukuran formula 2 memiliki pH yang paling
besar yaitu 6,383.
5. Berdasarkan pengukuran bobot jenis formulai 2 memiliki nilai bobot
jenis yang paling besar yaitu 1,0094.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L. V., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe


R. C., Sheskey, P. J., Queen, M. E., (Editor), London, Pharmaceutical
Press and American Pharmacists Assosiation, 697-699
Anief, Moh. 2010. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi
III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1978. Formularium Nasional Edisi
Kedua. Jakarta: Depkes RI.
Gennaro, A. R. 1990. Remingtons Pharmaceuticals Science 18th ed. Marc Public
Co. Easton
Lachman, L., et al. 1957. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: UI Press.
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa.
Jakarta: EGC.
Syamsuni. 2007. Ilmu Resep. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai