Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH BUDIDAYA PAKAN ALAMI

Produksi Nannochlorpsis Oculata

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

MULI DEA PRATIWI


4520034012

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR


FAKULTAS PERTANIAN
PRODI BUDIDAYA PERAIRAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Produksi
Nannochlorpsis Oculata " dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Budidaya Pakan Alami.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Budidaya Pakan
Nannochlorpsis Oculata bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir.Sri Mulyani,MM selaku
Dosen Mata Kuliah Budidaya Pakan Alami Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Walaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh....

Maros, Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1latar belakang
1.2tujuan
1.3manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nannochlropsis oculata
2.2 Biologi Nannochloropsis oculata
2.3 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis oculata
2.4 Pertumbuhan Nannochloropsis oculata
2.5 Kultur Nannochloropsis oculata Skala Intermediate
2.6 kultur skala massal
2.7 pemanenan
2.8 Analisis Kualitas Air
2.9 Kepadatan Nannochloropsis oculata
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Mikroalga merupakan komponen penting dalam akuakultur, karena mikroalga
sebagai produsen primer berfungsi sebagai awal aliran energi dalam rantai
makanan di perairan. Hal ini menjadikan semua bentuk kehidupan hayati sangat
bergantung kepada mikroalga. Pemanfaatan mikroalga sebagai pakan alami belum
dapat digantikan oleh pakan buatan pada beberapa ikan laut atau udang yang baru
menetas. Mikroalga mengandung enzim pencernaan yang sangat dibutuhkan untuk
stadia larva ikan dikarenakan pada saluran pencernaannya belum sempurna (masih
berbentuk tabung) dan belum dilengkapi atau kandungan enzim pencernaan masih
sangat sedikit, enzim ini tidak dipunyai oleh makanan buatan (Cahyaningsih dan
Subyakto,2009).
Nannochloropsis oculata merupakan salah satu jenis dari mikroalga yang telah
banyak dibudidayakan dan digunakan sebagai pakan alami dalam usaha budidaya.
N. oculata merupakan sel berwarna kehijauan, tidak motil, dan tidak berflagela.
Selnya berbentuk bola berukuran sedang dengan diameter 2-4 μm, tergantung
spesiesnya, dengan khloroplas berbentuk cangkir. N. oculata melimpah di
sepanjang pantai dan estuari di atas zona fotik dengan konsentrasi 102-104 sel/cm3
(Hu and Gao, 2003). Fitoplankton ini dapat tumbuh baik pada kisaran pH 7-9 tetapi
tumbuh rendah pada pH 10,08 (Elzenga et al.,2000).
N. occulata sendiri mengandung karbohidrat, protein, beta karoten, lipid dan
klorofil. Kandungan klorofil dan lipid dapat menjadi parameter pertumbuhan
dalam menentukan biomassa mikroalga. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi biomassa mikroalga adalah komposisi media kultur. Menurut
Sriharti dan Carolina (1995), konsentrasi nitrogen dan fosfat yang terdapat dalam
media dapat mempengaruhi kandungan lipid pada mikroalga, sedangkan 2
konsentrasi besi (Fe) dan magnesium (Mg) dapat mempengaruhi pembentukan
klorofil mikroalga. Kandungan nutrien yang berbeda pada media dapat
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kandungan sel mikroalga tertentu.
Proses kultur mikroalga dapat dilakukan melalui tiga tahap meliputi kultur
laboratorium, semi-masal (intermediate), dan kultur massal. Kultur laboratorium
ialah kulutr mikroalga mulai dari agar, test tube, Erlenmeyer, dan carboy. Tahapan
selanjutnya adalah kultur semi massal atau intermediate yaitu kultur pada bak 100
liter dan Kultur conicel 500 liter – 1 ton. Kultur massal merupakan kultur
didapatkan dari kultur bertingkat sejak dari agar, test tube, Erlenmeyer, carboy dan
intermediate. Kultur massal dilakukan pada bak atau kolam ukuran 4- 5 ton
(BPBAP Situbondo, 2014).
Untuk menyediakan makanan alami dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan
berkesinambungan, pengetahuan tentang manajemen kultur fitoplankton yang baik
mutlak diketahui oleh mereka yang bergerak di bidang usaha perikanan baik dalam
skala besar maupun kecil. Mengingat pentingnya pakan alami tersebut sebagai
salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan ikan dan udang, maka
penulis berpendapat perlu dilakukan pengamatan kultur fitoplankton N. oculata
secara intensif untuk memperkaya pengetahuan dalam rangka sumbangsih ilmu
pengetahuan di bidang perikanan.

1.2Tujuan
 Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang produksi budidaya
Nannochloropsis Oculata dalam tekhnik budidaya semi outdoor/intermediate
dan budidaya semi massal hingga waktu pemanenan

1.3Kegunaan
 Menambah pengetahuan, wawasan tentang pertumbuhan dan kultur
Nannochloropsis Oculata dalam tekhnik budidaya semi outdoor/intermediate
dan budidaya semi massal hingga waktu pemanenan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nannochloropsis Oculata
Nannocloropsis oculata merupakan mikroalga dengan yang hidup di lautan dan
juga terdapat di air tawar dan air payau. Mikroalga N.oculata memiliki beberapa
kandungan pigmen seperti astaxanthin, zeaxanthin, dan canthanxantin. Mikroalga
N.oculata terbukti cocok sebagai penghasil biofuel karena memiliki kadar lipida
28,7 % dari berat kering terutama asam lemak tak jenuh. N.oculata merupakan
mikroalga laut uniseluler yang memiliki peranan sebagai sumber makanan penting
dan zat aditif untuk orgnanisme laut. N.oculata mengandung protein karbohidrat
dan kadar klorofil yang tinggi (Qian, dkk 2013 ).

2.2 Biologi Nannochloropsis oculata


Biologi Nannochloropsis oculata yang dibahas meliputi klasifikasi dan
morfologi, dan pertumbuhan. Adanya pertumbuhan dalam kultur fitoplankton
ditandai dengan bertambahnya ukuran sel fitoplankton dan bertambah besarnya
ukuran sel. Genus Nannochloropsis meliputi laut dan spesies air tawar, meskipun
bioteknologi dari alga ini pada saat ini terbatas pada spesies laut (Bold and Wynne,
1985).

2.3 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis oculata


Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun
secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil sehingga dapat melakukan
fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Menurut Hibberd (1981), klasifikasi
Nannochloropsis oculata ialah sebagai berikut :
Kingdom : Protista
Sub Kingdom : Eukaryotes
Phylum : Chromophyta
Class : Eustigmatophyceae
Ordo : Eustigmatales
Family : Monodopsidaceae
Genus : Nannochloropsis
Spesies : Nannochloropsis oculata
N. oculata lebih sering dikenal dengan nama Chlorella laut. Fitoplankton ini
berbentuk bulat menyerupai bola berukuran 2-4 mikron, berwarna hijau dan
memiliki dua flagella (heterokontous) (Tjahjo, 2002).
Nannochloropsis oculata

Watanabe (1979) menyatakan, N. oculata memiliki kloroplas dan nucleus yang


dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma (bintik mata) yang bersifat sensitive
terhadap cahaya. N. oculata dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil. Ciri
khas N. oculata adalah memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen selulosa.
N. oculata bersifat kosmopolit dengan salinitas optimum untuk pertumbuhannya
adalah 25-35 ppt, suhu 25-30oC merupakan kisaran suhu yang optimal (Isnansetyo
dan Kurniastuti, 1995). Fitoplankton ini dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8-9,5
dan intensitas cahaya 100-10000 lux (Hirata et al, 1981).

2.4 Pertumbuhan Nannochloropsis oculata


Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty, (1995) dalam Prabowo (2009) Selama
pertumbuhannya mikroalga dapat mengalami beberapa fase pertumbuhan, yaitu:
(1) Fase Lag (istirahat)
Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat pada ukuran sel karena
secara fisiologis mikroalga menjadi sangat aktif. Proses sintesis protein baru juga
terjadi dalam fase ini. Metabolisme berjalan tetapi pembelahan sel belum terjadi
sehingga kepadatan sel belum meningkat karena mikroalga masih beradaptasi
dengan lingkungan barunya.

(2) Fase Logaritmik (log) atau Eksponensial


Fase ini dimulai dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang
meningkat secara intensif. Pada fase ini merupakan fase terbaik untuk memanen
mikroalga untuk keperluan pakan ikan atau industri. Chlorella sp. dapat mencapai
fase ini dalam waktu 4-6 hari.

(3) Fase Penurunan Laju Pertumbuhan


Pembelahan sel tetap terjadi pada fase ini, namun tidak seintensif fase
sebelumnya, sehingga laju pertumbuhan juga mengalami penurunan dibandingkan
fase sebelumnya.
(4) Fase Stasioner
Pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama. Penambahan dan
pengurangan jumlah mikroalga seimbang sehingga kepadatannya relatif tetap
(stasioner).

(5) Fase Kematian


Fase ini ditandai dengan laju kematian yang lebih besar daripada laju
reproduksi sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik.

Menurut Hermanto (2011), komponen vitamin yang ditambahkan bersamaan


dengan pupuk Walne dapat mempercepat pertumbuhan sel. Selain itu, kondisi
lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan sel N. oculata yang dikultur,
yang antara lain suhu, iluminasi cahaya, pH, dan konsentrasi nutrient dalam media.
Pada media kultur, yang berkembang bukan hanya sel N. oculata, melainkan juga
berbagai sel mikroalga lainnya. Meski begitu, pengamatan hanya dibatasi satu sel,
yaitu N. oculata. Selain mikroalga yang merupakan plankton, zooplankton juga
banyak tumbuh di dalam media kultur.

2.5 Kultur Nannochloropsis oculata Skala Intermediate


Kultur skala intermediate (semi-masal) dilakukan di ruangan semi terbuka.
Atap dalam ruangan tersebut menggunakan atap fiber, sehingga cahaya matahari
dapat masuk secara tidak langsung. Kultur skala intermediate dilakukan pada bak
fiber ukuran 500L-1000L.

2.5.1 Sterilisasi Alat dan Bahan


Sterilisasi peralatan yang ada pada kultur skala intermediet dilakukan dengan
memberikan kaporit. Pertama-tama bak fiber setelah kegiatan kultur dicuci dengan
cara disikat dan disabun. Bak yang sudah sudah bersih langsung dikaporit baknya
dengan dosis 10 ppm. Dimana kaporit diberikan dengan cara diencerkan dengan air
dalam gayung lalu diaduk merata. Setelah larutan kaporit jadi disiramkan ke
seluruh permukaan bagian dalam bak fiber. Sterilisasi untuk selang aerasi dan batu
aerasi sama dengan sterlisasi pada lab kultur murni II.
Sterilisasi air untuk dilakukan dengan penyaringan menggunakan filter bag dan
pemberian larutan kaporit. Penyaringan dilakukan agar pasir atau berbagai kotoran
yang terdapat dalam air dapat tersangkut pada saringan sehingga nantinya tidak
mengganggu proses budidaya. Air yang telah disaring diberi larutan kaporit.
Larutan kaporit dibuat dengan melarutkan kaporit dengan dosis 10 ppm.
Homogenisasi dilakukan dengan pengadukan tanpa proses pemanasan. Dosis yang
digunakan untuk kaporit air adalah 10 ppm. Penetralan air media dilakukan dengan
memberikan Na-Thiosulfat dengan dosis 5 ppm. Kemudian menyalakan aerasi
sehingga kadar chlorine dapat berkurang dan menjadi netral. Pengecekan
kenetralan dilakukan setelah 15-20 menit aerasi dinyalakan. Pengecekan kadar
chlorine dilakukan dengan cara mengambil sampel air media menggunakan tabung
reaksi kedian ditambahkan 1 tetes Chlorine/Bromine test. Sampel yang berubah
warna menjadi kuning berarti belum netral dan sampel yang tetap berwarna bening
berarti telah netral dan siap digunakan untuk kultur fitoplankton.

2.5.2 Kultur pada Bak Fiber/Conicel


Pada tahap ini kultur dilakukan dengan menggunakan bak fiber 500 L atau
1000 L. Bibit yang digunakan berasal dari ruan kultur murni II dari kultur di
carboy. Untuk kultur bak 500 L bibit yang digunakan 1 carboy atau 5 L bibit N.
oculata. Dosis bibit yang digunakan adalah 20-30 % dari wadah kultur Tahapan
kegiatan kultur pada bak fiber 500 L adalah sebagai berikut:
 Langkah awal yaitu menyiapkan bak fiber dan selang aerasi yang akan
digunakan.
 Kemudian mengisi bak fiber dengan air laut yang disaring dengan
menggunakan filter bag, setelah penuh air diberi kaporit sebanyak 10 ppm.
 Selanjutnya tambahkan pupuk walne dengan dosis 1ml/L atau 500 ml.
 Starter N. oculata didapat dari carboy ruang kultur murni II dimasukkan ke bak
fiber sebanyak 20-30%.
 Kemudian diamati perkembangannya (perubahan warna, adanya
gelembung/berbusa) selama kultur, karena ruangan yang digunakan semi
terbuka sehingga lebih rentan terjadi kontaminasi .
 Setelah usia kultur 6-7 hari N. oculata dapat dipanen, namun apabila sebelum
waktunya terjadi perubahan warna atau berbusa maka segera dilakukan
pemanenan.
Bibit starter yang digunakan untuk kegiatan kultur skala Intermediet sesuai
telah sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kusniastuty (1995), yang menyatakan
kegiatan kultur skala intermediet menggunakan air laut dengan salinitas tertentu
dimasukkan ke dalam bak-bak kultur. Selanjutnya dilakukan pemupukan dan
diberi aerasi. Inokulen dimasukkan sebanyak 1/10 bagian sebagai bibit.

2.5.3 Pupuk Kultur Skala Intermediate


Pupuk TG yang digunakan pada kultur skala intermediate tidak berbeda jauh
dengan yang digunakan pada skala laboratorium. Hanya terdapat perbedaan pada
komposisi bahan yang digunakan. Pertumbuhan mikroalga dengan kultur dapat
mencapai optimum dengan mencampurkan air laut dengan nutrien yang tidak
terkandung dalam air laut tersebut. Nutrien tersebut terdiri dari makro nutrien
(natrium dan fosfat) dan mikronutrien yang berasal dari pupuk dasar, yang
umumnya berupa pupuk Walne yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Faktor lainnya adalah Intensitas cahaya (Matakupan, 2009). Dimana bahan untuk
pembuatan pupuk pada kultur skala intermediate dapat dilihat pada Tabel

Tabel . Bahan pupuk Walne untuk Skala Intermediate.


Bahan Dosis
Air 1 Ltr
KNO3 1000 gr
NaH2PO4 100 gr
FeCl3 13 gr
EDTA 100 gr

Proses pembuatan pupuk walne (TG) untuk skala intermediate dilakukan


dengan cara merebus air tawar hingga mendidih dalam panci, kemudian setelah
mendidih bahan diatas dimasukan satu-persatu kecuali FeCl3. Untuk memasukan
FeCl3 dalam panci perubusan dilakukan penngenceran terlebih dahulu dengan cara
mengabil sebagian air yang sedang direbus dalam beakerglas lalu masukan FeCl3
dalam beakerglas tersebut dan aduk merata. Setelah itu barulah larutan FeCl3
dalam beakerglas dimasukan dalam panci perebusan dan diaduk hingga merata.
Pada skala intermediet dilakukan pada aquarium volume 100 liter dan fiber
glass volume 500 liter.Tahap ini merupakan lanjutan dari skala laboratorium. Dan
pada tahap ini sudah tidak menggunakan penerangan lampu akan tetapi dari cahaya
sinar matahari. Ruangan atapnya diberi fiber tembus cahaya.

2.6 Kultur Skala Massal


Kultur skala massal diawali dengan pencucian bak kultur. Pengisian air laut
bersalinitas 30-32 ppt pada bak melalui pipa inlet yang diberi filter bag berukuran
10 mikron sebagai penyaring air laut. Perbandingan antara bibit dan media air laut
yaitu 1:4. Pertama pengisisan air laut 10 ton ke dalam bak, kemudian bibit
menggunakan pompa celup dan selang spiral 1 inch sebanyak 2 ton sehingga
volume total dalam bak 12 ton. Treatment air laut dengan larutan kaporit 50 ppm,
diaerasi kuat agar kaporit tercampur merata sehingga dapat mematikan organisme-
organisme patogen, setelah 15 menit matikan aerasi agar chlor tidak mudah
menguap, biarkan selama 24 jam. Menetralkan kandungan kaporit dalam media
maka ditambahkan Natrium thiosulfat 25 ppm. Setelah 15 menit media netral
dilakukan pemupukan. Media kultur yang telah netral dari kandungan kaporit dapat
digunakan untuk kultur.
Pada budidaya Nannochloropsis oculata untuk skala massal dapat digunakan
wadah berupa bak beton yang berbentuk persegi. Volume wadah yang digunakan
untuk budidaya Nannochloropsis oculata secara massal berkisar antara 10 - 20 ton.
Sedangkan untuk kedalaman air dalam wadah kultur massal adalah 100 cm dan
biasanya wadah yang digunakan untuk skala massal ditempatkan di luar ruangan
dan mendapatkan cukup cahaya matahari.

2.7 Pemanenan
Pemanenan pada bak fiber pemanenan dapat dilakukan menjadi dua produk
yaitu berupa produk langsung dengan media menggunakan pompa celup atau cair
ataupun bubuk (powder). Tahapan pemanenan N. oculata diawali dengan
penambahan soda api 75-100 ppm agar N. oculata mengendap. Setelah diberi soda
api aerasi dimatikan setelah 2 jam, kemudian dibiarkan agar N. oculata mengendap
selam 24 jam. Setelah N. oculata mengendap, air yang berada diatas permukaan
endapan dibuang seperti melakukan siphon hanya saja selang air tidak dibiarkan
menyentuh/mendekati endapan yang akan di panen. Jika panen yang dilakukan
adalah panen endapan, maka endapan dalam bak langsung dipacking dengan
plastik atau dimasukkan dalam botol mineral.
Jika panen yang dilakukan adalah panen bubuk maka dilanjutkan dengan
menyaring endapan yang tersisa dengan kain yang diletakkan dalam keranjang
kotak. Setelah itu dibiarkan 24 jam agar menggumpal. Kemudian setelah
menggumpal N. oculata dioleskan pada plastik dalam nampan atau meja untuk
penganginan akhir atau dengan oven ( suhu berkisar 60ºC ). Setelah kering
serpihan dari N. oculata diblender untuk dijadikan bubuk N. oculata. Kemudian
bubuk N. oculata dimasukan dalam kantong-kantong plastik untuk ditimbang
dengan timbangan digital. Setelah itu bubuk N. oculata disimpan dalam rak
penyimpanan.

2.8 Analisis Kualitas Air


Seperti halnya organisme lainnya, N. oculata membutuhkan beberapa syarat
agar dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu syarat tersebut adalah
kualitas air. Parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas air antara lain
suhu, derajat keasaman, dan salinitas.

2.8.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga. Setiap mikrolga mempunyai suhu ideal yang berbedabeda untuk bisa
tumbuh dan berkembang dengan baik. N. oculata dapat tumbuh baik pada kisaran
suhu yang optimal 25-30 ºC (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Sehingga kegiatan
kultur N. oculata yang ada di BPBAP Situbondo, dengan suhu berkisar antara
220C pada skala laboratorium, dan suhu pada skala intermediate berkisar antara
260 – 290C telah sesuai untuk kebutuhan partumbuhan N. oculata.

2.8.2 Derajat Keasaman (pH)


Seperti halnya suhu, mikroalga memiliki kisaran toleransi pH yang berbeda-
beda untuk pertumbuhan yang optimal. Dalam budidaya N. oculata yang 40 ada di
BPBAP Situbondo, pH yang ada pada skala laboratorium yaitu 8, sedangkan pada
skala intermediate sebesar 8 – 8,5. Menurut Tjahjo (2002) dan Cahyaningsih
(2009), pH optimal bagi N. oculata berkisar 8-8,5. Berdasarkan data tersebut
terutama untuk kultur murni sudah sangat memenuhi syarat untuk dapat tumbuh.

2.8.3 Salinitas
Salinitas merupakan salah satu sifat kimia air yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme
termasuk N. oculata. Pada saat kultur, biasanya terjadi kenaikan salinitas akibat
dari adanya hasil metabolisme dan adanya pengendapan. Dalam kultur N. oculata
yang ada pada BPBAP Situbondo, salinitas yang dipakai pada skala laboratorium
berkisar 33 ppt, sedangkan pada skala intermediate sebesar 34 ppt. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tjahjo (2002), N. oculata dapat tumbuh pada salinitas 30-35 ppt.

2.9 Kepadatan Nannochloropsis oculata


Untuk mengetahui pertumbuhan N. oculata dalam budidaya maka perlu
dilakukan pengamatan. Pengamatan pertumbuhan dapat dilakukan dengan melihat
perubahan warna yang terjadi dari awal penebaran bibit. Namun pengamatan
paling baik adalah dengan melakukan perhitungan kepadatan dengan
menggunakan haemocytometer yang diamati dibawah mikroskop. Pada
perhitungan N. oculata alat yang digunakan untuk perhitungan adalah
Haemocytometer. Haemocytometer adalah sebuah gelas preparat dari mikroskop.
Akan tetapi bila dilihat dari samping, pada bagian tengah permukaannya ada
bagian yang agak rendah dibandingkan dengan bagian di sebelah kanan dan
kirinya. Perbedaan jarak antara bagian yang rendah dengan permukaan gelasnya
disebut kedalaman yang tingginya 0,1 mm. Pada permukaan yang rendah itu
terdapat garis-garis yang bersilangan, sehingga terlihat berupa kotak-kotak bujur
sangkar. Ukuran kotak tersebut masing-masing terbagi-bagi lagi menjadi kotakan-
kotakan yang lebih kecil. Luas kotakan yang bergaris-garis tadi adalah 1 mm2,
sedangkan ketinggian airnya sama dengan kedalaman dari haemocytometer yaitu
0,1 mm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ekawati (2005), bahwa volume dari air
di dalam kotakan yang bersangkutan adalah 0,1 mm3 atau 0,0001 cm3 atau 0,0001
ml. Sehingga jumlah sel yang terdapat di dalam sebuah kotakan tadi setelah
dihitung misalnya N buah sel, ini berarti dalam 0,1 mm3 terdapat N sel. Jadi dalm
1 cm3 atau 1 ml, jumlah selnya adalah 10.000 x N sel. Tahapan yang dilakukan
untuk mengetahui dan menghitung kepadatan kepadatan N. oculata adalah sebagai
berikut :
 Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk pengamatan, antara lain:
mikroskop, haemocytometer, hand tally counter, cover glass, pipet tetes, beaker
glass 50 ml, botol film, tissue, aquades dan sampel N. oculata.
 Sampel N. oculata diambil dengan menggunakan botol film secukupnya.
 Sampel pada botol film diambil sebanyak 1 tetes diletakkan pada
haemocytometer.
 Apabila sampel terlalu padat dapat dilakukan pengenceran dengan cara
mengambil sampel dari botol film sebanyak 1 ml, diletakkan pada beaker glass
50 ml. Kemudian di tambahkan aquades sebanyak 10- 50 ml tergantung pada
kepadatan atau warna sampel. Selanjutnya di homogenkan dan diteteskan
sebanyak 1 tetes pada 42 haemocytometer, kemudian ditutup dengan cover
glass tanpa ada gelembung udara.
 Sampel pada haemocytometer diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100 x sebanyak 3 kali pengamatan dan dihitung dengan bantuan hand tally
counter.
 Untuk mengetahui kepadatan N. oculata. jumlah sel (N) dalam kotakkotak
N Sel
haemocytometer dihitung ke dalam rumus : Kepadatan : 4 x 16 x 104.

Kepadatan plankton biasanya dinyatakan dengan satuan sel/ml dan


penghitungannya dengan menggunakan alat yang dinamakan hemasitometer.
Kepadatan plankton dihitung dengan cara mengambil setetes air plankton
menggunakan pipet dan meletakkannya di atas gelas obyek ditutup dengan cover
glas dan diamati di bawah mikroskop. Luas kotakan yang bergaris – garis tadi
adalah 1 mm2 , sedangkan tinggi airnya sama dengan kedalaman hemasitometer,
yaitu 0,1 mm. Volume air di dalam kotakan adalah 0,1 mm3 terdapat N plankton.
Dengan demikian, 1cm3 atau 1 ml air jumlah planktonnya adalah 10.000 x N sel
(Mudjiman, 2004).
Dari hasil perhitungan kepadatan N. oculata yang dikultur dapat diketahui
bahwa pada awal pertumbuhannya peningkatan kepadatan sel berjalan bertahap,
hal ini sesuai dengan pendapat Fogg (1987) dalam Bahua (2015), sel fitoplankton
membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang
baru. Setelah mengalami fase lag, pada hari ke- 4 sampai hari ke-6 diperkirakan
memasuki fase eksponensial (periode puncak) dimana perkembangan sel N.
oculata mengalami pertumbuhan puncak. Selanjutnya pada hari ke- 7 merupakan
fase kematian dimana terjadi penurunan jumlah populasi mikroalga.
Berdasarkan Pola pertumbuhan fitoplankton dapat diketahui usia yang baik
untuk panen. Panen ini dilakukan untuk dijadikan bibit dan pakan. Bibit dan pakan
umumnya dilakukan pada hari ke 5- 7. Menurut Sari (2012) pemanenan harus
dilakukan saat fitoplankton mencapai puncak populasi atau fase akhir
eksponensial. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan fitoplankton yang didapat.
Kepadatan awal kultur N. oculata skala intermediate adalah 80 x 104 sel/ml.
Dan fase puncak pertumbuhan adalah pada hari ke 4 260 x 104 sel/ml. Hal ini
didukung oleh Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Pertumbuhan mikroalga dalam
kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah
banyaknya jumlah sel. Sampai saat ini kepadatan sel digunakan secara luas untuk
mengetahui pertumbuhan mikroalga.
Kepadatan sel N. oculata mengalami penurunan pada hari ke 5 kultur di, hal
tersebut dikarenakan tempat kultur intermediate tidak dikontrol sepenuhnya dan
juga ketersediaan nutrient mempengaruhi keberlangsungan hidup N. oculata.
Ketersediaan nutrien yang terlalu sedikit akan mengakibatkan pertumbuhan lambat
dan melemahkan kondisi sel sehingga jumlah kepadatan sel menurun (Rizky,
2010). Kadar nutrisi yang rendah dalam media akan menurunkan produktivitas sel
alga. Sel yang telah mati akan terurai dan pecah dengan sendirinya, karena tidak
dapat mengatur tekanan osmosis.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mikroalga merupakan komponen penting dalam akuakultur, karena mikroalga
sebagai produsen primer berfungsi sebagai awal aliran energi dalam rantai
makanan di perairan. Hal ini menjadikan semua bentuk kehidupan hayati sangat
bergantung kepada mikroalga.
Nannochloropsis oculata merupakan salah satu jenis dari mikroalga yang telah
banyak dibudidayakan dan digunakan sebagai pakan alami dalam usaha budidaya.
N. oculata merupakan sel berwarna kehijauan, tidak motil, dan tidak berflagela.
N. occulata sendiri mengandung karbohidrat, protein, beta karoten, lipid dan
klorofil. Kandungan klorofil dan lipid dapat menjadi parameter pertumbuhan
dalam menentukan biomassa mikroalga.
Pada skala intermediate nilai suhu berkisar 260 – 290C. Nilai derajat keasaman
berkisar 7 – 8 sedangkan salinitas yang digunakan sebesar 32 – 35 ppt, dan
pencahayaan langsung dari cahaya matahari. Kepadatan tertinggi N. oculata terjadi
pada hari ke 4 yaitu sebesar 260 x 104 sel/ml.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada kegiatan kultur N. oculata yaitu perlunya
inovasi pada pemanfaatan ruang kultur skala intermediate dan tempat pengeringan
yang lebih intensif sehingga ruang yang ada saat ini dapat dimanfaatkan secara
efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Materi Dari : LAPORAN PRAKTEK KERJA MAGANG PROGRAM


STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN
SUMBERDAYA PERAIRAN
Penulis Oleh : Nico Rahman Caesar
Nim. 125080101111030

Cahyaningsih, S dan Subyakto, S. 2009. Kultur massal Scenedesmus sp. sebagai


upaya penyedia pakan rotifera dalam bentuk alami maupun konsentrat.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(2) : 143-147.

Hu H and Gao K. 2003. Optimization of growth and fatty acid composition of a


unicellular marine picoplankton, Nannochloropsis sp. with enriched carbon
sources. Biotechnology Letters. 25(5):421-425

Elzenga JTM, Prins HBA, and Stefels J. 2000. The role of extracellular carbonic
anhydrase activity in inorganic carbon utilization of Phaeocystis globosa
(Prymnesiophyceae): a comparison with other marine algae using the
isotopic disequilibrium technique. Limnology and Oceanography
45(2):372-380

Sriharti & Carolina, 1995, Kualitas Algae Bersel Tunggal Chlorella sp. pada
Berbagai Media, Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Puslitbang
Fisika Terapan-LIPI, Subang, Seminar Ilmiah Hasil Penelitian dan
Pengembangan Bidang Fisika Terapan

Bold, H.C. and Michael J.W. 1985. Introduction to The Algae, Prentice Hall.,
Inc.,New Jersey, USA, 720 pp.

Hibberd, B. 2000. Systema Nature Classification. http://taxonomicon.taxonomy.


nl/TaxonTree.aspx

Watanabe, T. 1979. Nutritional Quality of Living Feeds Used in Seed Production


of Fish. Proc. Japan-Soviet Joint. Symp Agriculture 7.

Isnansetyo, A. dan Kusniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplanton dan


Zooplankton. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Hirata, H., A. Ishak, dan S. Yamashaki. 1981. Effect of Salinity and Temperature
on The Growth of The Marine Phytoplankton Chlorella saccharophilla.
Journal of the Kagoshima Univ of Fisheries. Japan. 30(2) : 257-262.
Prabowo, Dadang. 2009. Optimalisasi Pengembangan Media Untuk Pertumbuhan
Chlorella sp pada Skala Laboratorium. SKRIPSI. Institut Pertanian Bogor :
Bogor. 95 hal.

Hermanto, M. B., Sumardi, La Choviya Hawa dan Siti Masithah F. 2011.


Perancangan Bioreaktor untuk Pembudidayaan Mikroalga. Jurnal
Teknologi Pertanian. 12(3) : 153-162

Matakupan, J. 2009. Study Kepadatan Tetraselmis chuii yang Dikultur Pada I


ntensitas Cahaya yang Berbeda. Jurusan Manajemen Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Patimura Ambon. Jurnal TRITON volume 5,
Nomor 2, Oktober 2009, hal 31- 35.

Tjahjo, W. L. Erawati dan Hanung, S. 2002. Biologi Fitoplankton dalam Budidaya


Fitoplankton dan Zooplankton. Balai Budidaya Laut, Direktorat
Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan.
Bandar Lampung.

Ekawati, A, W. 2005. Budidaya Makan Alami. Fakultas Perikanan Universitas


Brawijaya. Malang.

Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Bahua, H., Y. Hendrawan dan R. Yulianingsih. 2015. Pengaruh Pemberian Auksin


Sintetik Asam Naftalena Asetat Terhadap Pertumbuhan Mikroalga
(Nannochloropsis oculata). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan
Biosistem. 3(2) : 179-186

Sari IP, Abdul M. 2012. Pola pertumbuhan Nannochloropsis oculata pada skala
laboratorium, intermediet dan masal. Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
4(2) : 123-127.

Rizky NM. 2010. Optimasi Kultivasi Mikroalga Laut Nannochloropsis oculata


dengan Perlakuan Pupuk Urea untuk Produksi Lemat Nabati. Fakultas
Perikanan, Universitas Brawijaya, Malang

Anda mungkin juga menyukai