Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH BUDIDAYA PAKAN ALAMI

Produksi Nannochlorpsis Oculata

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :
MULI DEA PRATIWI
4520034012
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
FAKULTAS PERTANIAN
PRODI BUDIDAYA PERAIRAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"Produksi Nannochlorpsis Oculata " dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Budidaya Pakan
Alami. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
Budidaya Pakan Nannochlorpsis Oculata bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir.Sri Mulyani,MM
selaku Dosen Mata Kuliah Budidaya Pakan Alami Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Walaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh....

Maros, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1latar belakang ............................................................................ 1
1.2tujuan ......................................................................................... 2
1.3manfaat ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nannochlropsis oculate ............................................................ 3
2.2 Biologi Nannochloropsis oculata ............................................
2.3 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis oculate ................ 3
2.4 Pertumbuhan Nannochloropsis oculate .................................... 3
2.5 Kultur Nannochloropsis oculata Skala Laboratorium .............. 4
2.6 Kultur Nannochloropsis oculata Skala Intermediate ................ 5
2.7 kultur skala massal ................................................................... 13
2.8 pemanenan ................................................................................ 14
2.9 Analisis Kualitas Air ................................................................ 14
2.10 Kepadatan Nannochloropsis oculate ...................................... 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 19
B. Saran .......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Mikroalga merupakan komponen penting dalam akuakultur, karena
mikroalga sebagai produsen primer berfungsi sebagai awal aliran energi
dalam rantai makanan di perairan. Hal ini menjadikan semua bentuk
kehidupan hayati sangat bergantung kepada mikroalga. Pemanfaatan
mikroalga sebagai pakan alami belum dapat digantikan oleh pakan
buatan pada beberapa ikan laut atau udang yang baru menetas. Mikroalga
mengandung enzim pencernaan yang sangat dibutuhkan untuk stadia
larva ikan dikarenakan pada saluran pencernaannya belum sempurna
(masih berbentuk tabung) dan belum dilengkapi atau kandungan enzim
pencernaan masih sangat sedikit, enzim ini tidak dipunyai oleh makanan
buatan (Cahyaningsih dan Subyakto,2009).
Nannochloropsis oculata merupakan salah satu jenis dari mikroalga
yang telah banyak dibudidayakan dan digunakan sebagai pakan alami
dalam usaha budidaya. N. oculata merupakan sel berwarna kehijauan,
tidak motil, dan tidak berflagela. Selnya berbentuk bola berukuran
sedang dengan diameter 2-4 μm, tergantung spesiesnya, dengan
khloroplas berbentuk cangkir. N. oculata melimpah di sepanjang pantai
dan estuari di atas zona fotik dengan konsentrasi 102-104 sel/cm3 (Hu
and Gao, 2003). Fitoplankton ini dapat tumbuh baik pada kisaran pH 7-9
tetapi tumbuh rendah pada pH 10,08 (Elzenga et al.,2000).
N. occulata sendiri mengandung karbohidrat, protein, beta karoten,
lipid dan klorofil. Kandungan klorofil dan lipid dapat menjadi parameter
pertumbuhan dalam menentukan biomassa mikroalga. Salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi biomassa mikroalga adalah komposisi media
kultur. Menurut Sriharti dan Carolina (1995), konsentrasi nitrogen dan
fosfat yang terdapat dalam media dapat mempengaruhi kandungan lipid
pada mikroalga, sedangkan 2 konsentrasi besi (Fe) dan magnesium (Mg)
dapat mempengaruhi pembentukan klorofil mikroalga. Kandungan
nutrien yang berbeda pada media dapat memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap kandungan sel mikroalga tertentu.
Proses kultur mikroalga dapat dilakukan melalui tiga tahap meliputi
kultur laboratorium, semi-masal (intermediate), dan kultur massal. Kultur
laboratorium ialah kulutr mikroalga mulai dari agar, test tube,

1
Erlenmeyer, dan carboy. Tahapan selanjutnya adalah kultur semi massal
atau intermediate yaitu kultur pada bak 100 liter dan Kultur conicel 500
liter – 1 ton. Kultur massal merupakan kultur didapatkan dari kultur
bertingkat sejak dari agar, test tube, Erlenmeyer, carboy dan
intermediate. Kultur massal dilakukan pada bak atau kolam ukuran 4- 5
ton (BPBAP Situbondo, 2014).
Untuk menyediakan makanan alami dalam jumlah yang cukup, tepat
waktu dan berkesinambungan, pengetahuan tentang manajemen kultur
fitoplankton yang baik mutlak diketahui oleh mereka yang bergerak di
bidang usaha perikanan baik dalam skala besar maupun kecil. Mengingat
pentingnya pakan alami tersebut sebagai salah satu faktor penentu
keberhasilan usaha pembenihan ikan dan udang, maka penulis
berpendapat perlu dilakukan pengamatan kultur fitoplankton N. oculata
secara intensif untuk memperkaya pengetahuan dalam rangka
sumbangsih ilmu pengetahuan di bidang perikanan.

1.2Tujuan
 Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang produksi
budidaya Nannochloropsis Oculata dalam tekhnik budidaya semi
outdoor/intermediate dan budidaya semi massal hingga waktu
pemanenan

1.3Kegunaan
 Menambah pengetahuan, wawasan tentang pertumbuhan dan kultur
Nannochloropsis Oculata dalam tekhnik budidaya semi
outdoor/intermediate dan budidaya semi massal hingga waktu
pemanenan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nannochloropsis Oculata
Nannocloropsis oculata merupakan mikroalga dengan yang hidup di
lautan dan juga terdapat di air tawar dan air payau. Mikroalga N.oculata
memiliki beberapa kandungan pigmen seperti astaxanthin, zeaxanthin,
dan canthanxantin. Mikroalga N.oculata terbukti cocok sebagai penghasil
biofuel karena memiliki kadar lipida 28,7 % dari berat kering terutama
asam lemak tak jenuh. N.oculata merupakan mikroalga laut uniseluler
yang memiliki peranan sebagai sumber makanan penting dan zat aditif
untuk orgnanisme laut. N.oculata mengandung protein karbohidrat dan
kadar klorofil yang tinggi (Qian, dkk 2013 ).

2.2 Biologi Nannochloropsis oculata


Biologi Nannochloropsis oculata yang dibahas meliputi klasifikasi
dan morfologi, dan pertumbuhan. Adanya pertumbuhan dalam kultur
fitoplankton ditandai dengan bertambahnya ukuran sel fitoplankton dan
bertambah besarnya ukuran sel. Genus Nannochloropsis meliputi laut dan
spesies air tawar, meskipun bioteknologi dari alga ini pada saat ini
terbatas pada spesies laut (Bold and Wynne, 1985).

2.3 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis oculata


Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal
walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil sehingga
dapat melakukan fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Menurut Hibberd
(1981), klasifikasi Nannochloropsis oculata ialah sebagai berikut :
Kingdom : Protista
Sub Kingdom : Eukaryotes
Phylum : Chromophyta
Class : Eustigmatophyceae
Ordo : Eustigmatales
Family : Monodopsidaceae
Genus : Nannochloropsis
Spesies : Nannochloropsis oculata

3
N. oculata lebih sering dikenal dengan nama Chlorella laut.
Fitoplankton ini berbentuk bulat menyerupai bola berukuran 2-4 mikron,
berwarna hijau dan memiliki dua flagella (heterokontous) (Tjahjo, 2002).

Nannochloropsis oculata

Watanabe (1979) menyatakan, N. oculata memiliki kloroplas dan


nucleus yang dilapisi membran. Kloroplas memiliki stigma (bintik mata)
yang bersifat sensitive terhadap cahaya. N. oculata dapat berfotosintesis
karena memiliki klorofil. Ciri khas N. oculata adalah memiliki dinding
sel yang terbuat dari komponen selulosa.
N. oculata bersifat kosmopolit dengan salinitas optimum untuk
pertumbuhannya adalah 25-35 ppt, suhu 25-30oC merupakan kisaran
suhu yang optimal (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Fitoplankton ini
dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 100-
10000 lux (Hirata et al, 1981).

2.4 Pertumbuhan Nannochloropsis oculata


Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty, (1995) dalam Prabowo (2009)
Selama pertumbuhannya mikroalga dapat mengalami beberapa fase
pertumbuhan, yaitu:
(1) Fase Lag (istirahat)
Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat pada ukuran sel
karena secara fisiologis mikroalga menjadi sangat aktif. Proses sintesis
protein baru juga terjadi dalam fase ini. Metabolisme berjalan tetapi
pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel belum meningkat
karena mikroalga masih beradaptasi dengan lingkungan barunya.

4
(2) Fase Logaritmik (log) atau Eksponensial
Fase ini dimulai dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan
yang meningkat secara intensif. Pada fase ini merupakan fase terbaik
untuk memanen mikroalga untuk keperluan pakan ikan atau industri.
Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 4-6 hari.

(3) Fase Penurunan Laju Pertumbuhan


Pembelahan sel tetap terjadi pada fase ini, namun tidak seintensif fase
sebelumnya, sehingga laju pertumbuhan juga mengalami penurunan
dibandingkan fase sebelumnya.

(4) Fase Stasioner


Pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama.
Penambahan dan pengurangan jumlah mikroalga seimbang sehingga
kepadatannya relatif tetap (stasioner).

(5) Fase Kematian


Fase ini ditandai dengan laju kematian yang lebih besar daripada laju
reproduksi sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik.

Menurut Hermanto (2011), komponen vitamin yang ditambahkan


bersamaan dengan pupuk Walne dapat mempercepat pertumbuhan sel.
Selain itu, kondisi lingkungan juga berpengaruh terhadap perkembangan
sel N. oculata yang dikultur, yang antara lain suhu, iluminasi cahaya, pH,
dan konsentrasi nutrient dalam media. Pada media kultur, yang
berkembang bukan hanya sel N. oculata, melainkan juga berbagai sel
mikroalga lainnya. Meski begitu, pengamatan hanya dibatasi satu sel,
yaitu N. oculata. Selain mikroalga yang merupakan plankton,
zooplankton juga banyak tumbuh di dalam media kultur.

2.5 Kultur Nannochloropsis oculata Skala Laboraturium


Dalam kegiatan kultur N. oculata skala Laboratorium terbagi menjadi
2 bagian yaitu Kultur Murni I dan Kultur Murni II. Kegiatan pada Kultur
Murni I meliputi penyediaan bibit starter melalui kultur dengan media
isolate agar dan kultur tabung reaksi. Sedangkan untuk Kultur Murni II

5
meliputi kegiatan kultur pada Erlenmeyer menggunakan aerasi dan kultur
pada Carboy.
2.5.1 Kultur Murni I (Monospesies)
1. Sterilisasi Alat dan bahan
Pada dasarnya persiapan untuk kultur berbagai jenis fitoplankton
adalah sama, yaitu sterilisasi alat dan bahan yang bertujuan untuk
membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan (Cahyaningsih et al,
2009). Pada Skala Laboratorium di BPBAP Situbondo keadaan steril
sangat diutamakan karena hasil akhir yang diharapkan adalah
monospesies, sehingga perlu dilakukan sterilisasi. Sesuatu yang akan
disterilisasi dibersihkan terlebih dahulu atau dicuci.
Peralatan seperti petri disk, test tube, erlemeyer, gelas ukur, pipet
tetes, dan yang lainnya dicuci terlebih dahulu menggunakan sabun dan
dibilas dengan air tawar. Tujuannya adalah agar sisa-sisa kotoran yang
ada sebelumnya dapat hilang. Peralatan yang sudah bersih diletakkan di
rak-rak, dibiarkan sampai mengering. Kemudian alat – alat tersebut
dibilas lagi menggunakan HCL dan dibilas air tawar lagi. Setelah alat-
alat tersebut kering kemudian ditutup menggunakan aluminium foil
sebagai persiapan untuk di autoclave.
Sterilisasi yang selama ini dilakukan pada kultur murni I untuk
sterilisasi bahan yang akan digunakan yaitu dengan menggunakan
autoclave. Bahan yaitu media dan pupuk dimasukan dalam
erlenmeyer/beakerglass kemudian ditutup dengan alumunium foil dan
plastik, lalu diikat dengan karet gelang. Setelah itu dilanjutkan dengan
sterilisasi alat secara fisika dengan meggunakan autoclave dengan suhu
1210C dan tekanan 1 atm selama 30 menit. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Isnansetyo dan Kurniastuti (1995), sterilisasi dengan
autoclave pada dasarnya menggunakan uap air bertekanan.
2. Kultur Nannochloropsis oculata
a) Teknik Isolasi Menggunakan Media Agar
Starter murni di BPBAP Situbondo diperoleh dari alam dan dari
lembagalembaga penelitian di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya
diperbanyak dengan membuat kultur pada media agar. Tahapan teknik
isolasi dengan media agar adalah sebagai berikut :
 Agar bacto sebanyak 1,5 gram dilarutkan ke dalam air laut yang telah
dipupuk dengan salinitas 33 ppt yang sudah steril sebanyak 100 ml.

6
 Kemudian dipanaskan dan diaduk sampai larutan agar mendidih,
diangkat dan ditutup dengan aluminium foil. Selanjutnya disterilisasi
menggunakan autoclave.
 Media agar yang sudah didisterilisasi dibiarkan sebentar kemudian
dituang ke petridish ¾ bagian. Setelah beku dapat diinokulasi dengan
bibit alga menggunakan jarum ose yang sebelumnya disterilisasi
dengan dibakar lampu Bunsen sampai merah.
 Media agar yang sudah digores dengan bibit, ditutup dan diberi
isolasi lalu disimpan di rak dalam ruangan yang dilengkapi pendingin
dan lampu. Inokulasi akan berkembang setelah 3-4 minggu.
b) Kultur pada Tabung Reaksi
Setelah diperbanyak dengan menggunakan kultur murni pada
media agar selanjutnya diperbanyak pada tabung reaksi lainnya. Tahapan
dalam kultur tabung reaksi adalah sebagai berikut :
 Menyiapkan air yang sudah steril yang sudah dipupuk (pupuk walne
dosis 1 ml/L) , tiap tabung reaksi diisi media ¾ bagian sebanyak 25
ml
 Air yang sudah steril diberi pupuk dituang hingga setengah bagian
tabung reaksi. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk walne. Dosis pupuk
yang digunakan adalah 1:1 dengan media kultur, maka pupuk yng
digunakan sebanyak 25 ml.
 Starter diambil dari kultur media agar yang sudah mencapai puncak
pertumbuhannya, starter diambil dengan jarum ose yang sudah
dipanaskan diatas bunsen untuk sterilisasi dan diinokulasi ke media
secukupnya.
 Kultur pada tabung reaksi baru dapat dipindahkan ke kultur toples
tanpa aerasi setelah berumur satu hingga dua minggu. Untuk kultur
fitoplankton dalam ruang kultur murni I (monospesies) semua
dilakukan tanpa aerasi. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan
pertumbuhan yang natural dari fitoplankton yang dikultur.

2.5.2 Kultur Murni II


1. Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi alat dan bahan adalah perlakuan untuk menjadikan suatu
alat atau bahan bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan
(Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Sterilisasi yang dilakukan pada ruang

7
kultur murni II untuk peralatan seperti wadah toples, carboy, selang
aerasi, batu aerasi, dan lain-lain dilakukan dengan pencucian dengan
sabun sampai bersih. Kemudian untuk carboit, selang dan batu aerasi
setelah dicuci dilakukan perendaman dengan kaporit yang bertujuan
membunuh sisa plankton setelah kegiatan kultur.
Sterilisasi media kultur murni II terbagi menjadi dua untuk kultur
pada Erlenmeyer menggunakan aerasi dan untuk carboy. Untuk media
Erlenmeyer menggunakan aerasi sterilisasi dilkukan dengan perebusan
air laut hingga mendidih. Lalu air yang sudah mendidih langsung
dimasukan dalam erlenmeyer yang akan dikultur. Sedang sterilisasi
media untuk carboy dilakukan dengan pemberian kaporit dengan dosis 10
ppm pada tandon air laut dalam ruang kultur murni II. Pemberian kaporit
bertujuan untuk mensterilkan air dari mikroorganisme yang merugikan
sehingga diharapkan tidak terjadi kontaminasi. Selanjutnya air diberi Na-
Thiosulfat sebagai penetralisir kandungan kaporit dengan dosis 5 ppm.
2. Kultur Nannochloropsis oculata
a) Kultur Erlenmeyer menggunakan aerasi
Wadah kultur yang telah berisi air laut steril diberi aerasi dan
dipupuk (Walne dosisi 1 ml/L) kemudian diberi stater sebanyak 20-30 %.
Inkubasi dilakukan pada suhu 200C dengan lampu TL 40 watt. . Pupuk
yang digunakan adalah pupuk walne.
Tahapan yang dilakukan dalam kultur Erlenmeyer 5 L adalah sebagai
berikut:
 Rak yang akan digunakan untuk erlenmeyer dibersihkan dahulu
dengan menggunakan alkohol untuk menghindari kontaminasi.
 Erlenmeyer diisi air media sebanyak 3-4 L dengan salinitas 33 ppt.
 Kemudian dilakukan penetralan dengan Na-Thiosulfat 5 ppm, untuk
mengecek apakan netral atau belum, gunakan Chlorine tes untuk
memastikan bahwa air sudah netral.
 Kemudian diberi pupuk walne dan vitamin B12 dengan dosis 1ml/L
air media.
 Starter atau bibit N. oculata didapatkan dari ruang kultur murni I
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer menggunakan aerasi sebesar 20-
30% dari wadah.
 Kemudian Erlenmeyer menggunakan aerasi ditutup dengan plastik
untuk menjaga agar tidak terjadi kontaminasi.

8
 Untuk kultur yang didapat langsung dari kultur murni I di beri label
dengan tanda bintang, yang menandai bibit yang digunakan masih F1.
Sedang bibit yang diperoleh biakan dalam toples (F2), hanya ditulis
nama spesies dan tanggal.
 Setelah 6-7 hari N. oculata dapat dipindahkan ke kultur carboy.
Hal ini sesuai dengan penelitian Bambang (2009), yang
menyebutkan bahwa pada hari kultur ke 7 kultur mengalami perubahan
warna dari hijau bening menjadi hijau pekat. Setelah sampai 7 hari
dipecah lagi ke volume yang lebih besar.
b) Kultur pada Carboy
Pada tahap ini tempat kultur berupa carboit 10 L. Inkubasi
dilakukan pada suhu 200C dengan lampu TL 40 watt. Untuk kultur N.
oculata menggunakan air laut yang sudah steril dengan kaporit 10 ppm.
Pupuk yang digunakan adalah pupuk walne.
Tahapan kegiatan kultur pada carboy 10 L adalah sebagai berikut:
 Langkah awal yaitu menyiapkan carboy dan selang aerasi yang akan
digunakan.
 Kemudian masukkan air yang telah netral dari tandon air ke dalam
carboy sebanyak 7-8 L dan letakan carboy pada rak kultur yang
tersedia dalam ruang kultur murni II.
 Selanjutnya tambahkan pupuk walne dan vitamin B12 dengan dosis
1ml/L.
 Starter atau bibit N. oculata didapat dari Erlenmeyer menggunakan
aerasi ruang kultur murni II dimasukkan ke carboy sebanyak 20-30%.
 Kemudian carboy ditutup untuk menjaga agar tidak terjadi
kontaminasi.
 Setelah 6-7 hari N. oculata dapat dipindahkan ke kultur skala
Intermediate.

Kegiatan kultur skala laboraturium yang dijalankan pada Lab. Pakan


Alami BPBAP Situbondo telah sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan
Kusniastuty (1995), yang menyatakan bahwa kultur skala laboratorium
dimulai dari volume 0,5 sampai 3 dan 5 liter. Air laut dengan salinitas
tertentu dimasukkan ke dalam wadah. Air laut yang dimasukkan terlebih
dahulu disterilkan sebelum inokulum dimasukkan sebanyak 1/3 bagian,

9
media kultur dipupuk terlebih dahulu. Setelah diberi aerasi dan kultur
diletakkan pada rak kultur dengan pencahayaan lampu TL.
2.5.3 Pupuk Kultur Skala Laboratorium
Pupuk diberikan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara bagi
pertumbuhan plankton. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk media
walne. Pada skala laboratorium pupuk yang digunakan adalah tingkat
“Pro Analyse” atau yang biasa disebut dengan PA. Pupuk dengan tingkat
“Pro Analyse” ini sangat baik bagi pertumbuhan fitoplankton karena
pupuk ini tidak terdapat campuran – campuran bahan lain. Komposisi
nutrien yang lengkap dan konsentrasi nutrien yang tepat menentukan
produksi biomassa dan kandungan gizi mikroalga. Jenis pupuk yang
banyak dipilih masyarakat dalam kultur mikroalga adalah jenis PA (Pro
Analisis) yang sudah distandarkan seperti pupuk Walne, Guillard, dll
(Amanatin, et al., 2014)
Proses pembuatan pupuk walne untuk skala laboraturium dilakukan
dengan cara merebus air tawar hingga mendidih menggunakan kompor
listrik, kemudian setelah mendidih bahan diatas dimasukan satu-persatu
kecuali FeCl3. Untuk memasukan FeCl3 dalam panci perubusan
dilakukan penngenceran terlebih dahulu dengan cara mengabil sebagian
air yang sedang direbus dalam beakerglas lalu masukan FeCl3 dalam
beakerglas tersebut dan aduk merata. Setelah itu barulah larutan FeCl3
dalam beakerglas dimasukan dalam panci perebusan dan diaduk hingga
merata.

2.6 Kultur Nannochloropsis oculata Skala Intermediate


Kultur skala intermediate (semi-masal) dilakukan di ruangan semi
terbuka. Atap dalam ruangan tersebut menggunakan atap fiber, sehingga
cahaya matahari dapat masuk secara tidak langsung. Kultur skala
intermediate dilakukan pada bak fiber ukuran 500L-1000L.

2.5.1 Sterilisasi Alat dan Bahan


Sterilisasi peralatan yang ada pada kultur skala intermediet dilakukan
dengan memberikan kaporit. Pertama-tama bak fiber setelah kegiatan
kultur dicuci dengan cara disikat dan disabun. Bak yang sudah sudah
bersih langsung dikaporit baknya dengan dosis 10 ppm. Dimana kaporit
diberikan dengan cara diencerkan dengan air dalam gayung lalu diaduk

10
merata. Setelah larutan kaporit jadi disiramkan ke seluruh permukaan
bagian dalam bak fiber. Sterilisasi untuk selang aerasi dan batu aerasi
sama dengan sterlisasi pada lab kultur murni II.
Sterilisasi air untuk dilakukan dengan penyaringan menggunakan
filter bag dan pemberian larutan kaporit. Penyaringan dilakukan agar
pasir atau berbagai kotoran yang terdapat dalam air dapat tersangkut pada
saringan sehingga nantinya tidak mengganggu proses budidaya. Air yang
telah disaring diberi larutan kaporit. Larutan kaporit dibuat dengan
melarutkan kaporit dengan dosis 10 ppm. Homogenisasi dilakukan
dengan pengadukan tanpa proses pemanasan. Dosis yang digunakan
untuk kaporit air adalah 10 ppm. Penetralan air media dilakukan dengan
memberikan Na-Thiosulfat dengan dosis 5 ppm. Kemudian menyalakan
aerasi sehingga kadar chlorine dapat berkurang dan menjadi netral.
Pengecekan kenetralan dilakukan setelah 15-20 menit aerasi dinyalakan.
Pengecekan kadar chlorine dilakukan dengan cara mengambil sampel air
media menggunakan tabung reaksi kedian ditambahkan 1 tetes
Chlorine/Bromine test. Sampel yang berubah warna menjadi kuning
berarti belum netral dan sampel yang tetap berwarna bening berarti telah
netral dan siap digunakan untuk kultur fitoplankton.

2.5.2 Kultur pada Bak Fiber/Conicel


Pada tahap ini kultur dilakukan dengan menggunakan bak fiber 500
L atau 1000 L. Bibit yang digunakan berasal dari ruan kultur murni II
dari kultur di carboy. Untuk kultur bak 500 L bibit yang digunakan 1
carboy atau 5 L bibit N. oculata. Dosis bibit yang digunakan adalah 20-
30 % dari wadah kultur Tahapan kegiatan kultur pada bak fiber 500 L
adalah sebagai berikut:
 Langkah awal yaitu menyiapkan bak fiber dan selang aerasi yang
akan digunakan.
 Kemudian mengisi bak fiber dengan air laut yang disaring dengan
menggunakan filter bag, setelah penuh air diberi kaporit sebanyak 10
ppm.
 Selanjutnya tambahkan pupuk walne dengan dosis 1ml/L atau 500 ml.
 Starter N. oculata didapat dari carboy ruang kultur murni II
dimasukkan ke bak fiber sebanyak 20-30%.

11
 Kemudian diamati perkembangannya (perubahan warna, adanya
gelembung/berbusa) selama kultur, karena ruangan yang digunakan
semi terbuka sehingga lebih rentan terjadi kontaminasi .
 Setelah usia kultur 6-7 hari N. oculata dapat dipanen, namun apabila
sebelum waktunya terjadi perubahan warna atau berbusa maka segera
dilakukan pemanenan.
Bibit starter yang digunakan untuk kegiatan kultur skala Intermediet
sesuai telah sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kusniastuty (1995),
yang menyatakan kegiatan kultur skala intermediet menggunakan air laut
dengan salinitas tertentu dimasukkan ke dalam bak-bak kultur.
Selanjutnya dilakukan pemupukan dan diberi aerasi. Inokulen
dimasukkan sebanyak 1/10 bagian sebagai bibit.

2.5.3 Pupuk Kultur Skala Intermediate


Pupuk TG yang digunakan pada kultur skala intermediate tidak
berbeda jauh dengan yang digunakan pada skala laboratorium. Hanya
terdapat perbedaan pada komposisi bahan yang digunakan. Pertumbuhan
mikroalga dengan kultur dapat mencapai optimum dengan
mencampurkan air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air
laut tersebut. Nutrien tersebut terdiri dari makro nutrien (natrium dan
fosfat) dan mikronutrien yang berasal dari pupuk dasar, yang umumnya
berupa pupuk Walne yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Faktor lainnya adalah Intensitas cahaya (Matakupan, 2009). Dimana
bahan untuk pembuatan pupuk pada kultur skala intermediate dapat
dilihat pada Tabel

Tabel . Bahan pupuk Walne untuk Skala Intermediate.


Bahan Dosis
Air 1 Ltr
KNO3 1000 gr
NaH2PO4 100 gr
FeCl3 13 gr
EDTA 100 gr

12
Proses pembuatan pupuk walne (TG) untuk skala intermediate
dilakukan dengan cara merebus air tawar hingga mendidih dalam panci,
kemudian setelah mendidih bahan diatas dimasukan satu-persatu kecuali
FeCl3. Untuk memasukan FeCl3 dalam panci perubusan dilakukan
penngenceran terlebih dahulu dengan cara mengabil sebagian air yang
sedang direbus dalam beakerglas lalu masukan FeCl3 dalam beakerglas
tersebut dan aduk merata. Setelah itu barulah larutan FeCl3 dalam
beakerglas dimasukan dalam panci perebusan dan diaduk hingga merata.
Pada skala intermediet dilakukan pada aquarium volume 100 liter
dan fiber glass volume 500 liter.Tahap ini merupakan lanjutan dari skala
laboratorium. Dan pada tahap ini sudah tidak menggunakan penerangan
lampu akan tetapi dari cahaya sinar matahari. Ruangan atapnya diberi
fiber tembus cahaya.

2.6 Kultur Skala Massal


Kultur skala massal diawali dengan pencucian bak kultur. Pengisian
air laut bersalinitas 30-32 ppt pada bak melalui pipa inlet yang diberi
filter bag berukuran 10 mikron sebagai penyaring air laut. Perbandingan
antara bibit dan media air laut yaitu 1:4. Pertama pengisisan air laut 10
ton ke dalam bak, kemudian bibit menggunakan pompa celup dan selang
spiral 1 inch sebanyak 2 ton sehingga volume total dalam bak 12 ton.
Treatment air laut dengan larutan kaporit 50 ppm, diaerasi kuat agar
kaporit tercampur merata sehingga dapat mematikan organisme-
organisme patogen, setelah 15 menit matikan aerasi agar chlor tidak
mudah menguap, biarkan selama 24 jam. Menetralkan kandungan kaporit
dalam media maka ditambahkan Natrium thiosulfat 25 ppm. Setelah 15
menit media netral dilakukan pemupukan. Media kultur yang telah netral
dari kandungan kaporit dapat digunakan untuk kultur.
Pada budidaya Nannochloropsis oculata untuk skala massal dapat
digunakan wadah berupa bak beton yang berbentuk persegi. Volume
wadah yang digunakan untuk budidaya Nannochloropsis oculata secara
massal berkisar antara 10 - 20 ton. Sedangkan untuk kedalaman air
dalam wadah kultur massal adalah 100 cm dan biasanya wadah yang
digunakan untuk skala massal ditempatkan di luar ruangan dan
mendapatkan cukup cahaya matahari.

13
2.7 Pemanenan
Pemanenan pada bak fiber pemanenan dapat dilakukan menjadi dua
produk yaitu berupa produk langsung dengan media menggunakan
pompa celup atau cair ataupun bubuk (powder). Tahapan pemanenan N.
oculata diawali dengan penambahan soda api 75-100 ppm agar N. oculata
mengendap. Setelah diberi soda api aerasi dimatikan setelah 2 jam,
kemudian dibiarkan agar N. oculata mengendap selam 24 jam. Setelah N.
oculata mengendap, air yang berada diatas permukaan endapan dibuang
seperti melakukan siphon hanya saja selang air tidak dibiarkan
menyentuh/mendekati endapan yang akan di panen. Jika panen yang
dilakukan adalah panen endapan, maka endapan dalam bak langsung
dipacking dengan plastik atau dimasukkan dalam botol mineral.
Jika panen yang dilakukan adalah panen bubuk maka dilanjutkan
dengan menyaring endapan yang tersisa dengan kain yang diletakkan
dalam keranjang kotak. Setelah itu dibiarkan 24 jam agar menggumpal.
Kemudian setelah menggumpal N. oculata dioleskan pada plastik dalam
nampan atau meja untuk penganginan akhir atau dengan oven ( suhu
berkisar 60ºC ). Setelah kering serpihan dari N. oculata diblender untuk
dijadikan bubuk N. oculata. Kemudian bubuk N. oculata dimasukan
dalam kantong-kantong plastik untuk ditimbang dengan timbangan
digital. Setelah itu bubuk N. oculata disimpan dalam rak penyimpanan.

2.8 Analisis Kualitas Air


Seperti halnya organisme lainnya, N. oculata membutuhkan beberapa
syarat agar dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Salah satu syarat
tersebut adalah kualitas air. Parameter yang digunakan untuk mengukur
kualitas air antara lain suhu, derajat keasaman, dan salinitas.

2.8.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga. Setiap mikrolga mempunyai suhu ideal yang
berbedabeda untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. N. oculata
dapat tumbuh baik pada kisaran suhu yang optimal 25-30 ºC (Isnansetyo
dan Kurniastuty, 1995). Sehingga kegiatan kultur N. oculata yang ada di
BPBAP Situbondo, dengan suhu berkisar antara 220C pada skala

14
laboratorium, dan suhu pada skala intermediate berkisar antara 260 –
290C telah sesuai untuk kebutuhan partumbuhan N. oculata.

2.8.2 Derajat Keasaman (pH)


Seperti halnya suhu, mikroalga memiliki kisaran toleransi pH yang
berbeda-beda untuk pertumbuhan yang optimal. Dalam budidaya N.
oculata yang 40 ada di BPBAP Situbondo, pH yang ada pada skala
laboratorium yaitu 8, sedangkan pada skala intermediate sebesar 8 – 8,5.
Menurut Tjahjo (2002) dan Cahyaningsih (2009), pH optimal bagi N.
oculata berkisar 8-8,5. Berdasarkan data tersebut terutama untuk kultur
murni sudah sangat memenuhi syarat untuk dapat tumbuh.

2.8.3 Salinitas
Salinitas merupakan salah satu sifat kimia air yang secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme termasuk N. oculata. Pada saat kultur, biasanya terjadi
kenaikan salinitas akibat dari adanya hasil metabolisme dan adanya
pengendapan. Dalam kultur N. oculata yang ada pada BPBAP Situbondo,
salinitas yang dipakai pada skala laboratorium berkisar 33 ppt, sedangkan
pada skala intermediate sebesar 34 ppt. Hal ini sesuai dengan pendapat
Tjahjo (2002), N. oculata dapat tumbuh pada salinitas 30-35 ppt.

2.9 Kepadatan Nannochloropsis oculata


Untuk mengetahui pertumbuhan N. oculata dalam budidaya maka
perlu dilakukan pengamatan. Pengamatan pertumbuhan dapat dilakukan
dengan melihat perubahan warna yang terjadi dari awal penebaran bibit.
Namun pengamatan paling baik adalah dengan melakukan perhitungan
kepadatan dengan menggunakan haemocytometer yang diamati dibawah
mikroskop. Pada perhitungan N. oculata alat yang digunakan untuk
perhitungan adalah Haemocytometer. Haemocytometer adalah sebuah
gelas preparat dari mikroskop. Akan tetapi bila dilihat dari samping, pada
bagian tengah permukaannya ada bagian yang agak rendah dibandingkan
dengan bagian di sebelah kanan dan kirinya. Perbedaan jarak antara
bagian yang rendah dengan permukaan gelasnya disebut kedalaman yang
tingginya 0,1 mm. Pada permukaan yang rendah itu terdapat garis-garis
yang bersilangan, sehingga terlihat berupa kotak-kotak bujur sangkar.

15
Ukuran kotak tersebut masing-masing terbagi-bagi lagi menjadi kotakan-
kotakan yang lebih kecil. Luas kotakan yang bergaris-garis tadi adalah 1
mm2, sedangkan ketinggian airnya sama dengan kedalaman dari
haemocytometer yaitu 0,1 mm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ekawati
(2005), bahwa volume dari air di dalam kotakan yang bersangkutan
adalah 0,1 mm3 atau 0,0001 cm3 atau 0,0001 ml. Sehingga jumlah sel
yang terdapat di dalam sebuah kotakan tadi setelah dihitung misalnya N
buah sel, ini berarti dalam 0,1 mm3 terdapat N sel. Jadi dalm 1 cm3 atau
1 ml, jumlah selnya adalah 10.000 x N sel. Tahapan yang dilakukan
untuk mengetahui dan menghitung kepadatan kepadatan N. oculata
adalah sebagai berikut :
 Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk pengamatan, antara
lain: mikroskop, haemocytometer, hand tally counter, cover glass,
pipet tetes, beaker glass 50 ml, botol film, tissue, aquades dan sampel
N. oculata.
 Sampel N. oculata diambil dengan menggunakan botol film
secukupnya.
 Sampel pada botol film diambil sebanyak 1 tetes diletakkan pada
haemocytometer.
 Apabila sampel terlalu padat dapat dilakukan pengenceran dengan
cara mengambil sampel dari botol film sebanyak 1 ml, diletakkan
pada beaker glass 50 ml. Kemudian di tambahkan aquades sebanyak
10- 50 ml tergantung pada kepadatan atau warna sampel. Selanjutnya
di homogenkan dan diteteskan sebanyak 1 tetes pada 42
haemocytometer, kemudian ditutup dengan cover glass tanpa ada
gelembung udara.
 Sampel pada haemocytometer diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 100 x sebanyak 3 kali pengamatan dan dihitung dengan
bantuan hand tally counter.
 Untuk mengetahui kepadatan N. oculata. jumlah sel (N) dalam
kotakkotak haemocytometer dihitung ke dalam rumus : Kepadatan :
N Sel
x 16 x 104.
4

16
Kepadatan plankton biasanya dinyatakan dengan satuan sel/ml dan
penghitungannya dengan menggunakan alat yang dinamakan
hemasitometer. Kepadatan plankton dihitung dengan cara mengambil
setetes air plankton menggunakan pipet dan meletakkannya di atas gelas
obyek ditutup dengan cover glas dan diamati di bawah mikroskop. Luas
kotakan yang bergaris – garis tadi adalah 1 mm2 , sedangkan tinggi
airnya sama dengan kedalaman hemasitometer, yaitu 0,1 mm. Volume air
di dalam kotakan adalah 0,1 mm3 terdapat N plankton. Dengan
demikian, 1cm3 atau 1 ml air jumlah planktonnya adalah 10.000 x N sel
(Mudjiman, 2004).
Dari hasil perhitungan kepadatan N. oculata yang dikultur dapat
diketahui bahwa pada awal pertumbuhannya peningkatan kepadatan sel
berjalan bertahap, hal ini sesuai dengan pendapat Fogg (1987) dalam
Bahua (2015), sel fitoplankton membutuhkan waktu untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Setelah mengalami fase lag,
pada hari ke- 4 sampai hari ke-6 diperkirakan memasuki fase
eksponensial (periode puncak) dimana perkembangan sel N. oculata
mengalami pertumbuhan puncak. Selanjutnya pada hari ke- 7 merupakan
fase kematian dimana terjadi penurunan jumlah populasi mikroalga.
Berdasarkan Pola pertumbuhan fitoplankton dapat diketahui usia yang
baik untuk panen. Panen ini dilakukan untuk dijadikan bibit dan pakan.
Bibit dan pakan umumnya dilakukan pada hari ke 5- 7. Menurut Sari
(2012) pemanenan harus dilakukan saat fitoplankton mencapai puncak
populasi atau fase akhir eksponensial. Hal ini sesuai dengan pertumbuhan
fitoplankton yang didapat.

17
Kepadatan awal kultur N. oculata skala intermediate adalah 80 x 104
sel/ml. Dan fase puncak pertumbuhan adalah pada hari ke 4 260 x 104
sel/ml. Hal ini didukung oleh Isnansetyo dan Kurniastuty (1995),
Pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah
besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Sampai saat
ini kepadatan sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan
mikroalga.

Kepadatan sel N. oculata mengalami penurunan pada hari ke 5 kultur


di, hal tersebut dikarenakan tempat kultur intermediate tidak dikontrol
sepenuhnya dan juga ketersediaan nutrient mempengaruhi
keberlangsungan hidup N. oculata. Ketersediaan nutrien yang terlalu
sedikit akan mengakibatkan pertumbuhan lambat dan melemahkan
kondisi sel sehingga jumlah kepadatan sel menurun (Rizky, 2010). Kadar
nutrisi yang rendah dalam media akan menurunkan produktivitas sel
alga. Sel yang telah mati akan terurai dan pecah dengan sendirinya,
karena tidak dapat mengatur tekanan osmosis.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mikroalga merupakan komponen penting dalam akuakultur, karena
mikroalga sebagai produsen primer berfungsi sebagai awal aliran energi
dalam rantai makanan di perairan. Hal ini menjadikan semua bentuk
kehidupan hayati sangat bergantung kepada mikroalga.
Nannochloropsis oculata merupakan salah satu jenis dari mikroalga
yang telah banyak dibudidayakan dan digunakan sebagai pakan alami
dalam usaha budidaya. N. oculata merupakan sel berwarna kehijauan,
tidak motil, dan tidak berflagela.
N. occulata sendiri mengandung karbohidrat, protein, beta karoten,
lipid dan klorofil. Kandungan klorofil dan lipid dapat menjadi parameter
pertumbuhan dalam menentukan biomassa mikroalga.
Pada skala intermediate nilai suhu berkisar 260 – 290C. Nilai derajat
keasaman berkisar 7 – 8 sedangkan salinitas yang digunakan sebesar 32 –
35 ppt, dan pencahayaan langsung dari cahaya matahari. Kepadatan
tertinggi N. oculata terjadi pada hari ke 4 yaitu sebesar 260 x 104 sel/ml.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada kegiatan kultur N. oculata yaitu
perlunya inovasi pada pemanfaatan ruang kultur skala intermediate dan
tempat pengeringan yang lebih intensif sehingga ruang yang ada saat ini
dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Materi Dari : LAPORAN PRAKTEK KERJA MAGANG


PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Penulis Oleh : Nico Rahman Caesar
Nim. 125080101111030

Amanatin, D. R., Rofidah, E dan Rosady, S. D. N. 2014. Produksi


Protein Sel Tunggal (PST) Spirulina sp. sebagai Super Food
dalm Upaya Penanggulangan Gizi Buruk dan Kerawanan
Pangan di Indonesia. Jurusan Biologi. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya.

Cahyaningsih, S dan Subyakto, S. 2009. Kultur massal Scenedesmus sp.


sebagai upaya penyedia pakan rotifera dalam bentuk alami
maupun konsentrat. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. 1(2) : 143-147.

Hu H and Gao K. 2003. Optimization of growth and fatty acid


composition of a unicellular marine picoplankton,
Nannochloropsis sp. with enriched carbon sources.
Biotechnology Letters. 25(5):421-425

Elzenga JTM, Prins HBA, and Stefels J. 2000. The role of extracellular
carbonic anhydrase activity in inorganic carbon utilization of
Phaeocystis globosa (Prymnesiophyceae): a comparison
with other marine algae using the isotopic disequilibrium
technique. Limnology and Oceanography 45(2):372-380

Sriharti & Carolina, 1995, Kualitas Algae Bersel Tunggal Chlorella sp.
pada Berbagai Media, Balai Pengembangan Teknologi
Tepat Guna, Puslitbang Fisika Terapan-LIPI, Subang,
Seminar Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan
Bidang Fisika Terapan

20
Bold, H.C. and Michael J.W. 1985. Introduction to The Algae, Prentice
Hall., Inc.,New Jersey, USA, 720 pp.

Hibberd, B. 2000. Systema Nature Classification.


http://taxonomicon.taxonomy. nl/TaxonTree.aspx

Watanabe, T. 1979. Nutritional Quality of Living Feeds Used in Seed


Production of Fish. Proc. Japan-Soviet Joint. Symp
Agriculture 7.

Isnansetyo, A. dan Kusniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplanton dan


Zooplankton. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Hirata, H., A. Ishak, dan S. Yamashaki. 1981. Effect of Salinity and


Temperature on The Growth of The Marine
Phytoplankton Chlorella saccharophilla. Journal of the
Kagoshima Univ of Fisheries. Japan. 30(2) : 257-262.

Prabowo, Dadang. 2009. Optimalisasi Pengembangan Media Untuk


Pertumbuhan Chlorella sp pada Skala Laboratorium.
SKRIPSI. Institut Pertanian Bogor : Bogor. 95 hal.

Hermanto, M. B., Sumardi, La Choviya Hawa dan Siti Masithah F. 2011.


Perancangan Bioreaktor untuk Pembudidayaan
Mikroalga. Jurnal Teknologi Pertanian. 12(3) : 153-162

Matakupan, J. 2009. Study Kepadatan Tetraselmis chuii yang Dikultur


Pada I ntensitas Cahaya yang Berbeda. Jurusan Manajemen
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Patimura
Ambon. Jurnal TRITON volume 5, Nomor 2, Oktober
2009, hal 31- 35.

Tjahjo, W. L. Erawati dan Hanung, S. 2002. Biologi Fitoplankton dalam


Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Balai
Budidaya Laut, Direktorat Jendral Perikanan Budidaya
Departemen Kelautan dan Perikanan. Bandar Lampung.

21
Ekawati, A, W. 2005. Budidaya Makan Alami. Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang.

Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Bahua, H., Y. Hendrawan dan R. Yulianingsih. 2015. Pengaruh


Pemberian Auksin Sintetik Asam Naftalena Asetat
Terhadap Pertumbuhan Mikroalga (Nannochloropsis oculata).
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 3(2)
: 179-186

Sari IP, Abdul M. 2012. Pola pertumbuhan Nannochloropsis oculata pada


skala laboratorium, intermediet dan masal. Ilmiah
Perikanan dan Kelautan. 4(2) : 123-127.

Rizky NM. 2010. Optimasi Kultivasi Mikroalga Laut Nannochloropsis


oculata dengan Perlakuan Pupuk Urea untuk Produksi Lemat
Nabati. Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya,
Malang

22

Anda mungkin juga menyukai