Nomor Surat 56
Nama Surat Al-Waqi’ah
Arab ال َْواقِ َعة
Arti Hari Kiamat
Nama Lain Idza Waqa’at
Tempat Turun Mekkah
Urutan Wahyu 46
Juz Juz 27
Jumlah Ruku’ 3 Ruku’
Jumlah Ayat 96
Jumlah Kata 370
Jumlah Huruf 1756
Surah sebelumnya Surah Ar-Rahman
Surah Selanjutnya Al-Hadid1
2
Muhammad Mokhtar, Menyingkap Mukjizat Surah Al-Waqi’ah (Edisi Kemas Kini),
(Malaysia: PTS Publishing House Sdn. Bhd., 2019), h. 14.
3
Ade Gunawan, Multi Perspektif Surat Al-Waqi’ah, (Jakarta: Perpustakaan Universitas
Negeri Jakarta, 2018), h. 5.
4
Mas’udi, “Relevansi Surat Al-Waqi’ah dan Kandungan Fadilahnya: Perbandingan Tafsir
Ibnu Katsir dan az-Zamkhsyari”, Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, ( Jakarta:
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 17.
Selain mempunyai arti hari kiamat kata al-waqi'ah juga bermakna
“peristiwa hebat” di ambil dari waqi’ (isim fail) yang berasal dari waqa'a-
yaqa'u (yang terjadi). Diberi awalan ( الli-ta'rif) untuk menjadikannya
definit (sesuatu yang diketahui), dan akhiran ta' marbutah ( )ىةsebagai
isyarat kehebatan dan kesempurnaan peristiwa itu, al-waqi'ah diartikan
peristiwa yang sangat hebat yang tidak tersamai keadaannya. Kata ini
berbentuk ma'rifah meski disebut di awal surah dan belum diungkap
sebelumnya. Pesannya, kata ini mengisyaratkan sebuah peristiwa yang
pasti terjadi. Kata waqi'ah "peristiwa" ini dikaitkan dengan hari
kebangkitan, karena tidak bisa dihindari. Kata ini juga dianggap sebagai
salah satu nama hari kiamat.5
3. Teks dan Terjemah QS. Al-Waqi’ah [56]: 22
ِع ۡي ٌن َو ُح ۡوٌر
Artinya: “Dan [di dalam surga itu ]ada bidadari-bidadari
bermata jeli.”6
4. Asbabun Nuzul
Perhatian ulama salaf dan khalaf terhadap Al-Qur'anul Karim akan
memahamkan umat tentang urutan turunnya ayat, sebab dan tujuan
diturunkannya. Pemahaman tersebut akan meyakinkan umat terhadap
kemurnian Al-Qur'an sehingga tidak ada yang dapat melakukan perubahan
maupun penggantian di dalamnya.7 Ilmu yang mereka pakai dalam
menjelaskan keterangan lengkap suatu ayat Al-Qur’an di sebut ilmu
asbabun nuzul.
Asbabun nuzul merupakan dua kata yang berasal dari bentuk
idhafah, yaitu asbab dan nuzul. Asbab bermakna "sebab" atau "karena",
bisa juga "lantaran". Sementara nuzul artinya ialah "turun". Jadi, secara
5
Kementerian Agama RI, Tafsir Ilmi: Kiamat Dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama
RI, 2010), h. 779.
6
Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: Tahqiq dan Tahkrij Sayyid Ibrahim, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Jilid 11, h. 31.
7
Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an, (Jakarta:
Qishti Press, 2018), h. 1.
bahasa, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
terjadinya sesuatu. Akan tetapi, tidak semua sebab yang melatarbelakangi
sesuatu itu disebut asbabun nuzul, karena asbabun nuzul hanya istilah
yang dipakai untuk yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat Al-
Qur'an. Adapun menurut istilah syariat, asbabun nuzul adalah sebab-sebab
yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur'an kepada Rasulullah
Saw.8
Sebab turunnya QS. Al-Waqi’ah [56]: 22 ini bermula pada masa
sebelum Rasulullah Hijrah ke Madinah, masa ketika umat muslim baru
memeluk agama Islam. Pada masa itu Allah swt. Menurunkan firman yang
bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan orang-orang
tersebut. Maka turunlah wahyu ayat pertama dari QS. Al-Waqi’ah tentang
adanya hari kiamat. Dalam kitab Jalalain disebutkan bahwa, Ibnu Asakir di
dalam kitab tarikh Dimasyq-nya telah menyebutkan sebuah Hadits, yang
sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadits ini disebutkan melalui jalur
Urwah Ibnu Ruwayyim, dari jabir Ibnu Abdullah Ra. Yang telah
menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman Allah swt. :
ِ اِذَا و َقع
ُت ا ۡلَواقِ َعة َ َ
8
Ach. Fawaid, Asbabun Nuzul, (Yogyakarta: Noktah, 2020), h. 9.
9
Jalaludin al-Mahally dan Jalaludin as-Suyuti, Terj. Bahrun Abubakar, Tafsir Jalalain,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008), h.1018.
َّٰ ب ٱل َْم ْش َٔٔـَ َم ِة* َو
ٱلسبِ ُقو َن ْ ب ٱل َْم ْش َٔٔـَ َم ِة َمٓا أ
ُ َص َٰح ْ ب ٱل َْم ْي َمنَ ِة * َوأ
ُ َص َٰح ْ ب ٱل َْم ْي َمنَ ِة َمٓا أ
ُ َص َٰح ُ َص َٰحْ فَأ
ٱلسبِ ُقو َن
َّٰ
10
Muhammad, Permata Al-Quran, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 41.
11
Arham Junaidi Firman, Studi Al-Qur'an (Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat
Pendidikan), (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2018), h. 131.
12
Arham Junaidi Firman, Studi Al-Qur'an (Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat
Pendidikan)...., h. 141.
ِ َُكأ َْم ٰثَ ِل ٱللُّ ْؤلُ ِؤ ٱلْم ْكن
ون َ
Artinya: “Laksana mutiara yang tersimpan baik”.
ِع ۡي ٌن َو ُح ۡوٌر
أى نس اؤهم, (ح ور عين) برفعهم ا عطف ا على ول دان أو على تق دير مبت داء: ق رأ الجمه ور
و قرأ حمزة و الكسائي يجرهما عطفا. أى و لهم حور عين, أو على تقدير خبر,حور عين
ق ال الف راء في توجيه العطف, أى و في معاش رة ح ور, على تقدير مض اف مح ذوف,ح ور
ق ال قط رب :ه و معط ف على األك واب و األب اريق من غ ير حم ل على المع نى .ق ال :و ال
ينكر أن يطاف عليهم بالحور :و يكون لهم في ذالك لذة ,و قرأ األشهب العقيلي و النخعي
و عيس ى بن عم ر بنص بها على تق دير اض مار فع ل ,كأن ه قي ل :يزوج ون ح ورا عين ا ,أو و
(ج زاء) في قول ه( :ج زاء بم ا ك انوا يعلم ون) على أن ه مفع ول ل ه ,أى يفع ل بهم ذال ك كل ه
للجزاء بأعمالهم ,و يجوز أن يكون مصدرا مؤكدا لفعل محذوف ,أى يجزون جزاء ,و قد
Artinya: “Jumhur membacanya ِ ,ع ۡي ٌن َو ُح ۡوٌر dengan rafa' karena di-
(itu karena yang berupa pakan atau makannya hanya jerami). Juga
ucapan penyair berikut ini:
تقلدا سيفا ورمحا
1. Di-athf-kan atau diikutkan kepada lafadz sebelumnya yaitu wildânun (ِولْ َٰد
) ٌنsehingga dibaca rafa’
2. Dibaca rafa’ karena ia menjadi khobar dari mubtada yang dibuang yang
di-taqdir-kan atau dikira-kirakan dengan lafadz نس اؤهمsehingga
( ح ۡوٌر ِ
lafadznya menjadi nisâ uhum hûrun ‘înun ُ ) ع ۡي ٌن نساؤهم
3. Dibaca rafa’ sebab menjadi mubtada dan memperkirakan adanya lafadz
yang dibuang berupa khobar yaitu lafadz ولهمsehingga menjadi walahum
hûrun ‘înun ( ح ۡوٌر
ُ ) ِع ۡي ٌن ولهمyang berarti “dan bagi mereka ada bidadari-
bidadari yang bermata jeli”.
Setelah imam asy-Syaukani menafsirkan ayat ini berdasarkan kaidah
lughowiyah menurut pendapatnya, kemudian beliau suguhkan penafsiran
yang berbeda mengenai tata bahasa lafadz hurun ‘iin dari beberapa ulama
terkemuka yaitu al-Kisa’i, Hamzah, az-Zajjaj, al-Farra, Quthrub, al-Asyhab al-
Uqaili, an-Nakha'i dan Isa bin Umar.
sebab tiga alasan, yaitu sebab di-athf-kan pada lafadz ِولْ َٰد ٌن, sehingga lafadz
hurun ‘iin menjadi rafa’ karna mengikuti huruf nun pada lafadz wildânun.
Selanjutnya yaitu dibaca rafa’ sebab menjadi khobar dari mubtada yang
dibuang yang diperkirakan berupa lafadz nisâ uhuhum (اؤهم )نس. Yang
terakhir yaitu dibaca rafa’ sebab menjadi mubtada’ dari khobar yang dibuang
13
Kusnanto, Keanekaragaman Suku dan Budaya Indonesia, (Semarang: Alprin, 2020), h.
1-2.
Terkait dengan ruang lingkup kebudayaan sangatlah luas, mencakup
segala aspek kehidupan (hidup ruhaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah)
manusia. Bertolak dari manusia, khususnya jiwa, terkhusus lagi pikir dan rasa,
Sidi Gazalba merumuskan kebudayaan dipandang dari aspek ruhaniah, yang
menjadi hakikat manusia adalah "cara berpikir dan merasa, menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk
masyarakat, dalam suatu ruang dan suatu waktu".14
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa sendiri terdiri atas
beberapa unsur yaitu unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang
merupakan bagian satu kesatuan yang bulat. Ada beberapa unsur yang terdapat
dalam kebudayaan, di mana kita sebut sebagai cultural universal, yang
meliputi: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup
dan sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan),
kesenian, sistem pengetahuan, religi (sistem kepercayaan).15
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan
hasil dari agama. Hal ini sering kali membingungkan ketika kita harus
meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.
Koentjaraningrat misalnya, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karya. Ia juga menyatakan bahwa terdapat
unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, salah
satunya adalah sistem religi. Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama
merupakan bagian dari kebudayaan.16
Menurut Amer Al-Roubai, Islam bukanlah hasil dari produk budaya
Akan tetapi Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban.
Peradaban yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan
14
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), h. 12.
15
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1990), h. 193.
16
Fitriyani, “Islam dan Kebudayaan”, Dalam Jurnal Al-Ulum, Vol. 12 No. 1 Juni 2012, h.
132.
peradaban Islam. Dengan pemahaman di atas, kita dapat memulai untuk
meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat membangun
kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula.17
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk semua
umat manusia telah memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat
manusia di muka bumi ini. Kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat yang
sudah memiliki budaya tersendiri, ternyata membuat Islam dengan budaya
setempat mengalami akulturasi, yang pada akhirnya tata pelaksanaan ajaran
Islam sangat beragam. Namun demikian, Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai
sumber hukum Islam tetap menjadi ujung tombak di dalam suatu masyarakat
muslim, sehingga Islam begitu identik dengan keberagaman. 18 Dalam
fenomena di sekitar kita, khususnya dalam konteks keindonesiaan ada satu hal
yang tidak pernah terpisahkan yakni antara Islam dan konteks budaya yang
mana di antaranya mengalir dalam kehidupan sosial masyarakat kita dari dulu
hingga sekarang. 19
Kepercayaan dan agama yang berkembang sebelum Islam masuk ke
Indonesia sendiri yakni animisme, dinamisme, agama Hindu dan Budha.
Agama dan kebudayaan Hindu-Budha masuk ke Indonesia melalui kontak
perdagangan. Sedikit banyak telah berpengaruh terhadap beberapa aspek
kehidupan masyarakat Nusantara. Masuknya pengaruh unsur kebudayaan
Hindu-Buddha dari India telah mengubah dan menambah khazanah budaya
Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan, seperti: berdirinya kerajaan
Tarumanegara, Singasari, Majapahit, dan sebagainya. Lalu Islam masuk ke
Indonesia dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling
menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan penganut-
penganut agama lama (Hindu-Budha).20
17
Fitriyani, Islam dan Kebudayaan,.... h. 133.
18
Deden Sumpena, “Islam dan Budaya Lokal: Kajian Terhadap Interelasi Islam dan
Budaya Sunda”, Dalam Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 6, No. 19 Januari-Juni 2012, h. 102.
19
Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal Kajian Antropologi Agama,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2017), h. 1.
20
Latifa Annum Dalimunthe, “Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka)”,
Dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 22, No. 1, Juni 2016, h.
Dalam pandangan M.C. Ricklefs, penyebaran agama Islam ke
Nusantara merupakan proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia,
akan tetapi proses itu juga yang paling tidak jelas. Lebih jauh, Ricklefs
mengatakan pada umumnya proses islamisasi kemungkinan berlangsung
dalam dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama
Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab,
India, Cina, dan lainnya) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal
secara permanen di suatu wilayah di Nusantara, melakukan perkawinan
campuran dan mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian rupa, sehingga
sebenarnya mereka itu sudah menjadi orang Jawa atau Melayu atau anggota
suku lainnya. Kedua proses itu mungkin terjadi secara bersamaan.21
Persentuhan agama Islam dengan kebudayaan asli Indonesia, tentu
merupakan pembahasan yang menarik, di mana Islam sebagai agama universal
merupakan rahmat bagi semesta alam, dan dalam kehadirannya di muka bumi
ini, Islam berbaur dengan beragam kebudayaan lokal (local culture), sehingga
antara Islam dan kebudayaan lokal pada suatu masyarakat tidak bisa
dipisahkan, keduanya merupakan bagian yang saling mendukung dan
menguatkan.22 Contoh sederhananya, ajaran Islam yang ada di Indonesia itu
sendiri merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara cultural,
sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak
dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat.
Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya lokal sudah
dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal
ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu
masyarakat.23
Di Pulau Jawa misalnya, merupakan suatu wilayah, di mana banyak
masyarakat muslim pribuminya masih tetap melakukan hal-hal yang bersifat
21
Sarkawi B. Husain, Sejarah Masyarakat Islam Indonesia, (Surabaya: Airlangga
University Press, 2017), h. 1.
22
Deni Miharja, “Persentuhan Islam Dengan Kebudayaan Asli Indonesia”, Dalam Jurnal
Miqot, Vol. 38, No. 1 Januari-Juni 2014, h. 1.
23
Deden Sumpena, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Terhadap Interelasi Islam dan
Budaya Sunda,... h. 107.
ritualist, dan salah satu yang masih nyata tersebut yaitu ritual sesajen. Dalam
catatan sejarah bahwa Islam sebagai agama yang baru berkembang
menggunakan metode aksi damai dalam menyebarkan konsep agamanya.
Pada awalnya, Jawa sendiri sudah dimasuki kebudayaan agama Hindu yang
sudah lebih dulu berkembang serta membentuk berbagai macam tradisi dalam
tatanan hidup masyarakat Jawa pada umumnya tatkala itu. Dengan aksi damai
yang dijalankan para wali selaku orang yang menyebarkan Islam, jelaslah
mempunyai teknik jitu dalam mengambil respon masyarakat pribumi untuk
melirik ajaran Islam. Dis sinilah berbagai macam sunting dari tradisi yang
berasal dari luar Islam. Kemudian diramu sedemikian rupa, dengan tujuan
menarik simpati masyarakat agar mulai menerima agama baru tersebut.24
Selain itu, media dakwah yang disunting dari agama non Islam
sebagian besar dijadikan strategi dalam menyebarluaskan nama Islam serta
ajarannya. Misalnya, melalui seni tari, musik dan seni sastra. Dalam upacara-
upacara keagamaan seperti Maulud nabi, sering dipertunjukkan seni tari dan
musik tradisional misalnya, sekaten yang terdapat di keraton Yogyakarta dan
Surakarta. Sedangkan di Cirebon, seni musik itu dibunyikan pada perayaan
Grebek. Contoh lainnya adalah, Islamisasi pertunjukan wayang. Konon, Sunan
Kalijaga merupakan tokoh yang mahir memainkan wayang. Dia tidak
meminta upah dalam pertunjukannya, tetapi di hanya meminta agar para
penonton mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang
masih diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi bertahap nama
tokohnya diganti dengan nama tokoh pahlawan Islam.
Beranjak dari hal tersebut, berkenaan dengan lafadz hurûn ‘iin yang
diartikan sebagai bidadari, dapat penulis pahami bahwa jika dilihat dari
bentuknya, lafadz hurûn merupakan bentuk jamak dari lafadz haura’ ( )حوراء
dan merupakan bentuk jamak taksir yang megikuti wazan Faula’ - fu’lun.
Sedangkan lafadz ‘in merupakan bentuk jamak dari lafadz ‘aina’ ( )عيناء,
asalnya dibaca ‘ain, namun karena memantaskan dengan ya’ maka dibaca
24
Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal Kajian Antropologi Agama,... h.
4-5.
kasrah menjadi ‘in dan keduanya merupakan bentuk jamak taksir yang
mengikuti wazan Faula’ - fu’lun. Berdasarkan asal lafadznya, hurûn Berasal
dari isim mufrad ‘haura’ yang merupakan isim jamid. Adapun ‘iin berasal dari
isim mufrad ‘aina’ yang juga merupakan isim jamid. Isim jamid sendiri
adalah isim yang tidak dapat ditashrif. Kemudian jika dilihat dari
kedudukannya, maka hurûn ‘iin berkedudukan sebagai mubtada’ yang
khobarnya mahdzuf dikira-kirakan dengan lafadz lahum.
Pada penafsiran asy-Syaukani pula, dapat diketahui bahwa lafadz
hurun ‘iin dalam Al-Qur’an berdasarkan sudut pandang pemaknaan lafadz
memiliki dua pengertian, kata hûr pada lafadz hurûn merupakan bentuk jama
yang berasal dari isim mufrod haura’ yang memiliki arti al-baidho’ (putih)
dan kata ‘iin merupakan bentuk jama’ dari isim mufrod aina’ yang artinya
wasi’atul ainaini (yang bermata lebar). Asy-Syaukani menafsirkan kata al-hûr
sebagai makhluk yang bagian putih matanya sangat putih dan bagian hitam
matanya sangat hitam. Sehingga lafadz hurun ‘iin secara keseluruhan menurut
imam asy-Syaukani bermakna makhluk yang Allah ciptakan sebagai
pendamping para ahli surga, memiliki anggota tubuh yang sangat putih
mempesona serta mata yang jeli yaitu mata yang bagian putih matanya sangat
putih dan bagian hitamnya sangat hitam. Jika dikaitkan dengan konteks
bidadari sebagai salah satu bentuk kenikmatan surga yang Allah janjikan bagi
para ahli surga, maka hurûn ‘iin merupakan penggambaran dari sosok bidadari
surga tersebut, digambarkan dengan bentuk fisik yang sangat indah, anggota
tubuh yang begitu putih serta mata yang lebar dan jeli yang tidak pernah
ditemukan sebelumnya dalam kehidupan dunia.
Berdasar pembahasan yang telah diulas sebelumnya, bidadari
merupakan satu bentuk kenikmatan surga yang Allah janjikan bagi laki-laki
yang beriman, lalu bagaimana dengan perempuan yang juga telah beriman
kepada Allah. Apabila semua nikmat itu hanya diperuntukkan kepada kaum
laki-laki maka tidak sedikit akan diketemukan perempuan-perempuan yang
tidak taat kepada Allah. Di sinilah muncul problema pemahaman keadilan
gender bagi kaum wanita, di mana akan muncul pemikiran bahwa agama
Islam yang dianut selama ini hanya berpihak pada kesenangan kaum laki-laki
semata. Dari itu, sangatlah perlu untuk memahami hal ini secara lebih
mendalam dan open minded, membuka mata dan pengetahuan terhadap
berbagai sudut pandang yang ada.
Jika beberapa ulama mengatakan bidadari merupakan sosok wanita
surga yang tiada makhluk pun menandingi kecantikannya maka berbeda
halnya dengan apa yang dikatakan asy-Syaukani dalam tafsirnya, dalam tafsir
Fath al-Qadir-nya asy-Syaukani tidak sama sekali menjelaskan bahwa hurûn
‘iin yang diartikan dengan bidadari ini merupakan sosok berjenis kelamin
perempuan atau laki-laki. Beliau hanya menjelaskan bahwa hûr adalah yang
bagian hitam matanya sangat hitam dan bagian putih matanya sangat putih,
dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa menurut penafsiran as-Syaukani
bidadari ialah makhluk berjenis kelamin netral yang bisa jadi perempuan bisa
juga laki-laki, karna pun bidadari merupakan suatu bentuk gaib yang tidak
pernah ada padanannya di kehidupan dunia. Dijelaskan dalam QS. Al-
Waqi’ah ayat 17:
mata airnya. Dari penafsiran asy-Syaukani ini, penulis menganalisis kata ِولْ َٰد ٌن
(wildânun) dalam ayat tersebut sebagai pemuda yang melayani wanita ahli
surga dalam kata lain dapat diartikan bahwa kata wildânun menunjukan
adanya sosok laki-laki sebagai pendamping yang melayani wanita-wanita ahli
surga. Sehingga, menurut analisis penulis berdasarkan penafsiran asy-
Syaukani, janji Allah berupa bidadari surga tidak hanya Allah ciptakan dalam
sosok wanita semata, tetapi Allah ciptakan pula bidadari atau pendamping
bersosok laki-laki yang diperuntukkan bagi para wanita ahli surga.
Selain dari pada itu, berkenaan dengan budaya dan kepercayaan yang
dianut masyarakat indonesia, konsep bidadari bukanlah hal yang asing.
Terlebih lagi, istilah ini sudah dikenal jauh sebelum Islam menyebar luas di
bumi Indonesia, yakni sejak masa Hindu. Itu berarti, istilah bidadari untuk
konteks Indonesia telah ada dalam kepercayaan dua agama, yakni Hindu
(agama bumi) dan Islam (agama Abrahamik/Samawi). Menurut dua agama
tersebut, bidadari sejatinya memiliki pengertian yang sama. Perbedaannya
hanya pada istilah yang digunakan untuk menunjuk tempat tinggal.
Berdasarkan analisis penulis, Seperti mana pertunjukan wayang sunan
kalijaga yang mengambil konsep kisah mahabarata dan ramayana dalam
menyebarkan agama islam, maka ketika mengajarkan perihal kenikmatan
surga khususnya bidadari, para wali mengadopsi konsep bidadari dari
khayangan yang telah dipercayai oleh masyarakat kejawen pada masa itu.
Jadi, ketika para alim ulama menyebarkan agama Islam di Indonesia konsep
tentang bidadari dapat di terima dengan baik pada saat itu, hingga lambat laun
konsep ke-Hindu-an mulai terganti dengan nilai-nilai Islam meskipun sampai
saat ini masih ada beberapa ajarannya yang masih melekat dan bahkan
menyatu dengan masyarakat muslim. Hal yang seperti ini dianggap mampu
mempengaruhi mudahnya proses penyebaran ajaran Islam dan meningkatkan
keimanan serta ketakwaan masyarakat muslim pada masa itu.
Namun, seiring berkembangnya zaman banyak paham-paham baru
yang masuk dan menyimpang dari ajaran Islam, khususnya terkait bidadari
surga yang menjadi pokok bahasan kali ini. Seperti mana yang telah dibahas
pada sub bab sebelumnya bahwa bidadari merupakan salah satu bentuk
kenikmatan surga yang tidak akan pernah ditemukan keindahan yang serupa
dalam kehidupan dunia, hal yang demikian pastilah merupakan berita yang
sangat baik bagi umat muslim, namun tentu saja tidak semua hal baik akan
direspons baik juga oleh semua orang, akan ada respon negatif bahkan dari hal
yang positif sekalipun. Misalnya saja, kejadian pada beberapa tahun lalu, di
mana telah terjadi aksi teror di Polda Sumut. Ketika ditelusuri sebagaimana
yang telah dikatakan oleh salah satu mantan teroris, bahwa pemuda-pemuda
yang melakukan aksi jihad tersebut direkrut dengan menggunakan doktrin
akan masuk surga. Kemudian dalam doktrin tersebut dikatakan bahwa ketika
berjihad dan melakukan penyerangan maka mereka akan bertemu 72 bidadari
di surga. Ini merupakan salah satu penyimpangan yang terjadi sebab
banyaknya paham baru yang menyimpang sehingga menggoyahkan keimanan
seseorang dan mengurangi tingkat ketakwaannya.
Dari banyaknya uraian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa
lafadz hurûn ‘iin yang diartikan sebagai bidadari surga merupakan sosok
pendamping para ahli surga yang memiliki keindahan luar biasa baik dhohir
maupun batin, dan dari keberadaannya penulis lihat mempunyai keterkaitan
terhadap ketakwaan yaitu jika eksistensinya direspon positif dengan niat baik,
tentu sekali dapat meningkatkan ketakwaan seorang hamba, sehingga dapat
menciptakan karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin pada diri seseorang.
Namun jika eksistensinya direspon negatif dengan niat yang kurang baik maka
hal ini dapat dengan mudah menggoyahkan keimanan seseorang sehingga
mengurangi tingkat ketakwaannya di hadapan Allah dan bukan tidak mungkin
orang-orang yang seperti ini akan melakukan perbuatan yang buruk bahkan
lebih menyimpang dari kejadian teror yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dengan demikian, harus kembali diingat bahwa kenikmatan bidadari yang
telah Allah janjikan kelak di surga nanti bukanlah nikmat yang terbesar,
karena hakikat seorang hamba taat kepada Allah SWT bukanlah untuk
mendapatkan kenikmatan semata melainkan kembali kepada-Nya dan bisa
bertemu dengan-Nya, karena hal itu merupakan sebesar-besarnya nikmat
ketika di dunia.