Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

ANALISIS EKSISTENSI BIDADARI DAN


IMPLIKASINYA TERHADAP KETAKWAAN

A. Kajian Bidadari Pada QS. Al-Waqi’ah [56]: 22


1. Statistik QS. Al-Waqi’ah
Surah Al-Waqi'ah (hari kiamat) adalah surah ke-56 dalam Al-
Qur’an. Surah ini terdiri atas 96 ayat dan termasuk golongan surah
makkiyah. Surah ini dinamai dengan Al-Waqi'ah (hari kiamat), diambil
dari perkataan Al-Waqi'ah yang terdapat pada ayat pertama.

Nomor Surat 56
Nama Surat Al-Waqi’ah
Arab ‫ال َْواقِ َعة‬
Arti Hari Kiamat
Nama Lain Idza Waqa’at
Tempat Turun Mekkah
Urutan Wahyu 46
Juz Juz 27
Jumlah Ruku’ 3 Ruku’
Jumlah Ayat 96
Jumlah Kata 370
Jumlah Huruf 1756
Surah sebelumnya Surah Ar-Rahman
Surah Selanjutnya Al-Hadid1

2. Penamaan QS. Al-Waqi’ah


1
Risalah Muslim, “Statistik QS. Al-Waqi’ah”, diakses dari
https://risalahmuslim.id/quran/al-waaqiah/56-22/ pada hari Senin, 27 September 2021 Pukul 20.41
WIB.
Penamaan QS. Al-Waqi’ah tidak lepas dari sebab-sebab
dinamakannya surat dalam Al-Qur’an atau asbabun nuzul surat. Dalam
hal ini, dengan mengetahui asbabun nuzul surat, kita dapat memahami
pesan yang terkandung dalam setiap ayat Al-Quran, termasuk memahami
tempat, peristiwa, dan tujuan ayat-ayat Al-Quran diturunkan supaya tidak
ada keraguan dalam menafsirkannya.2Al-Waqi’ah merupakan salah satu
surat yang turun sebelum Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yaitu saat surat-
surat yang turun pada masa itu bertujuan untuk meningkatkan iman kaum
muslimin yang baru memeluk Islam. Demikian pendapat mayoritas pakar
ilmu Al-Qur'an.3 Surat yang memiliki arti "hari kiamat" ini telah dikenal
pada masa Nabi Saw., ketika Sayyidina Abu Bakar Ra. Menyampaikan
kepada Nabi Saw. bahwa beliau terlihat telah tua, Nabi Saw. berkomentar:
"Aku dijadikan tua oleh surat Hud, Al-Waqi’ah, Al-Mursalat, Amma
yatasa alun dan Idza asy-Syamsu kuwwirat." (H.R at-Tirmidzi melalui Ibn
'Abbas)
Nama Al-Waqi’ah sendiri diambil dari ayat pertama surat tersebut
dan sekaligus sebagai penjelasan temanya. Karena masalah pertama yang
dibahas oleh surat makkiyah ini adalah masalah kebangkitan di hari kiamat
sebagai bantahan terhadap ucapan orang-orang yang meragukannya,
menyekutukan Allah dan mendustakan Al-Qur'an:

"apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan tulang


belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan
dibangkitkan kembali? Apakah bapak -bapak kami yang terdahulu
dalam kurung (dibangkitkan pula)?” (QS. Al-Waqi’ah [56]: 47-
48)4

2
Muhammad Mokhtar, Menyingkap Mukjizat Surah Al-Waqi’ah (Edisi Kemas Kini),
(Malaysia: PTS Publishing House Sdn. Bhd., 2019), h. 14.
3
Ade Gunawan, Multi Perspektif Surat Al-Waqi’ah, (Jakarta: Perpustakaan Universitas
Negeri Jakarta, 2018), h. 5.
4
Mas’udi, “Relevansi Surat Al-Waqi’ah dan Kandungan Fadilahnya: Perbandingan Tafsir
Ibnu Katsir dan az-Zamkhsyari”, Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, ( Jakarta:
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, 2020), h. 17.
Selain mempunyai arti hari kiamat kata al-waqi'ah juga bermakna
“peristiwa hebat” di ambil dari waqi’ (isim fail) yang berasal dari waqa'a-
yaqa'u (yang terjadi). Diberi awalan ‫( ال‬li-ta'rif) untuk menjadikannya
definit (sesuatu yang diketahui), dan akhiran ta' marbutah (‫ )ىة‬sebagai
isyarat kehebatan dan kesempurnaan peristiwa itu, al-waqi'ah diartikan
peristiwa yang sangat hebat yang tidak tersamai keadaannya. Kata ini
berbentuk ma'rifah meski disebut di awal surah dan belum diungkap
sebelumnya. Pesannya, kata ini mengisyaratkan sebuah peristiwa yang
pasti terjadi. Kata waqi'ah "peristiwa" ini dikaitkan dengan hari
kebangkitan, karena tidak bisa dihindari. Kata ini juga dianggap sebagai
salah satu nama hari kiamat.5
3. Teks dan Terjemah QS. Al-Waqi’ah [56]: 22

‫ِع ۡي ٌن َو ُح ۡوٌر‬
Artinya: “Dan [di dalam surga itu ]ada bidadari-bidadari
bermata jeli.”6

4. Asbabun Nuzul
Perhatian ulama salaf dan khalaf terhadap Al-Qur'anul Karim akan
memahamkan umat tentang urutan turunnya ayat, sebab dan tujuan
diturunkannya. Pemahaman tersebut akan meyakinkan umat terhadap
kemurnian Al-Qur'an sehingga tidak ada yang dapat melakukan perubahan
maupun penggantian di dalamnya.7 Ilmu yang mereka pakai dalam
menjelaskan keterangan lengkap suatu ayat Al-Qur’an di sebut ilmu
asbabun nuzul.
Asbabun nuzul merupakan dua kata yang berasal dari bentuk
idhafah, yaitu asbab dan nuzul. Asbab bermakna "sebab" atau "karena",
bisa juga "lantaran". Sementara nuzul artinya ialah "turun". Jadi, secara
5
Kementerian Agama RI, Tafsir Ilmi: Kiamat Dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama
RI, 2010), h. 779.
6
Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: Tahqiq dan Tahkrij Sayyid Ibrahim, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Jilid 11, h. 31.
7
Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an, (Jakarta:
Qishti Press, 2018), h. 1.
bahasa, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
terjadinya sesuatu. Akan tetapi, tidak semua sebab yang melatarbelakangi
sesuatu itu disebut asbabun nuzul, karena asbabun nuzul hanya istilah
yang dipakai untuk yang berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat Al-
Qur'an. Adapun menurut istilah syariat, asbabun nuzul adalah sebab-sebab
yang mengiringi diturunkannya ayat-ayat Al-Qur'an kepada Rasulullah
Saw.8
Sebab turunnya QS. Al-Waqi’ah [56]: 22 ini bermula pada masa
sebelum Rasulullah Hijrah ke Madinah, masa ketika umat muslim baru
memeluk agama Islam. Pada masa itu Allah swt. Menurunkan firman yang
bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan orang-orang
tersebut. Maka turunlah wahyu ayat pertama dari QS. Al-Waqi’ah tentang
adanya hari kiamat. Dalam kitab Jalalain disebutkan bahwa, Ibnu Asakir di
dalam kitab tarikh Dimasyq-nya telah menyebutkan sebuah Hadits, yang
sanadnya masih perlu dipertimbangkan. Hadits ini disebutkan melalui jalur
Urwah Ibnu Ruwayyim, dari jabir Ibnu Abdullah Ra. Yang telah
menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman Allah swt. :

ِ ‫اِذَا و َقع‬
ُ‫ت ا ۡلَواقِ َعة‬ َ َ

“Apabila terjadi kari Kiamat”. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 1)9

Kemudian disebutkan pula ayat-ayat selanjutnya, bahwa pada masa


itu (kiamat) umat manusia akan terbagi menjadi tiga golongan, yakni
seperti tercantum pada firman Allah swt. :

8
Ach. Fawaid, Asbabun Nuzul, (Yogyakarta: Noktah, 2020), h. 9.
9
Jalaludin al-Mahally dan Jalaludin as-Suyuti, Terj. Bahrun Abubakar, Tafsir Jalalain,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008), h.1018.
َّٰ ‫ب ٱل َْم ْش َٔٔـَ َم ِة* َو‬
‫ٱلسبِ ُقو َن‬ ْ ‫ب ٱل َْم ْش َٔٔـَ َم ِة َمٓا أ‬
ُ ‫َص َٰح‬ ْ ‫ب ٱل َْم ْي َمنَ ِة * َوأ‬
ُ ‫َص َٰح‬ ْ ‫ب ٱل َْم ْي َمنَ ِة َمٓا أ‬
ُ ‫َص َٰح‬ ُ ‫َص َٰح‬ْ ‫فَأ‬
‫ٱلسبِ ُقو َن‬
َّٰ

“Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu”.


(QS. Al-Waqi’ah [56]: 8)
“Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu”.
(QS. Al-Waqi’ah [56]: 9)
“Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), maka merekalah
yang paling dahulu (masuk surga)”. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 10)

Dan kemudian turun ayat bahwa orang-orang yang paling dahulu


beriman dan masuk surga ialah sebagian dari umat terdahulu dan sebagian
dari umat kemudian, seperti pada firman-Nya :

ِ ِ ِ‫ثُلَّةٌ ِمن اأْل ََّولِين * وقَل‬


َ ‫يل م َن اآْل خ ِر‬
‫ين‬ ٌ َ َ َ

“segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan sebagian


kecil dari orang-orang kemudian.” (QS. Al-Waqi’ah [56]: 13-14)

Sehingga dikatakan pula dalam kitab Jalalain bahwa, Berkatalah


Umar r.a.: "Wahai Rasulullah, segolongan besar dari orang-orang yang
terdahulu dan segolongan kecil dari kami (umat Muhammad)".
Selanjutnya turunlah wahyu yang menyebutkan dari banyaknya
kenikmatan surga termasuk salah satunya QS. Al-Waqi’ah [56]: 22 yaitu
adanya bidadari-bidadari surga yang bermata jeli.
5. Munasabah Ayat
Pengetahuan tentang munasabah, keserasian atau korelasi antara
ayat dengan ayat atau surah dengan surah mempunyai arti penting dalam
memahami makna ayat Al-Qur'an serta membantu dalam proses
menakwilkan dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu, sebagian ulama
mencurahkan perhatian untuk menulis kitab mengenai masalah itu.
Munasabah dalam suatu pengertian adalah cocok, patut, sesuai,
mendekati, serasi. Jika dikatakan A munasabah dengan B, berarti A
mendekati atau menyerupai B.10
Secara etimologis, al-munasabah berasal dari masdar an-nasabu
yang berarti berdekatan, mirip, dan menyerupai. Dari kata nasab itulah,
dibentuk menjadi al-munasabah dalam arti al-muqarabah yang berarti
kedekatan satu sama lain. Sedangkan secara terminologis, yang dimaksud
dengan munasabah adalah mencari kedekatan, hubungan dan kaitan antara
satu ayat atau kelompok ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang
berdekatan, baik dengan yang sebelumnya maupun yang sesudahnya,
kaitan antara ayat yang berada pada akhir sebuah surat dengan ayat yang
berada pada awal surat berikutnya atau antara satu surat dengan surat
sesudah maupun sebelumnya.11
Dilihat dari segi materi, munasabah terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Munasabah antarayat Al-Qur’an, yaitu hubungan atau persesuaian
antara satu ayat dengan ayat yang lain baik ayat sebelumnya maupun
setelahnya.
b. Munasabah antarsurat dalam Al-Qur’an, yaitu persesuaian atau
korelasi antara satu surat dengan surat yang lain baik surat sebelum
ataupun setelahnya.
Selain munasabah dari segi materi ada pula munasabah yang
dilihat dari segi maudhu’i yaitu menghubungkan antara beberapa ayat
yang berbicara tentang satu “topik” yang sama.12 Dalam hal ini penulis
akan menggunakan kedua munasabah tersebut untung menemukan
hubungan QS. Al-Waqiah [56]: 22 dari sisi materi maupun maudhu’i.
Munasabah antarayat QS. Al-Waqiah [56]: 22 terdapat pada ayat
setelahnya yaitu QS. Al-Waqiah [56]: 23, pada ayat tersebut berbunyi:

10
Muhammad, Permata Al-Quran, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 41.
11
Arham Junaidi Firman, Studi Al-Qur'an (Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat
Pendidikan), (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2018), h. 131.
12
Arham Junaidi Firman, Studi Al-Qur'an (Teori dan Aplikasinya dalam Penafsiran Ayat
Pendidikan)...., h. 141.
ِ ُ‫َكأ َْم ٰثَ ِل ٱللُّ ْؤلُ ِؤ ٱلْم ْكن‬
‫ون‬ َ
Artinya: “Laksana mutiara yang tersimpan baik”.

Ayat diatas munasabah dengan QS. Al-Waqi’ah [56]: 22 dalam bentuk


istithrad (penjelasan lebih lanjut), yakni munasabah yang mencerminkan
adanya kaitan antara suatu persoalan dengan persoalan yang lain. Dalam
kasus ini QS. Al-Waqiah [56]: 23 merupakan penjelasan lebih lanjut
(istithrad) dari pada ayat sebelumnya. Sebelumnya dikisahkan bahwa
salah satu kenikmatan surga yaitu adanya bidadari-bidadari yang bermata
jeli, maka pada ayat 23 dijelaskan bidadari-bidadari yang bermata jeli ini
laksana atau bagaikan mutiara yang tersimpan baik yang tidak sembarang
mmanusia dapat menyentuhnya. Sehingga dapat kita lihat dari kedua ayat
ini adanya keterkaitan makna antar satu sama lain.
Yang berikutnya yaitu munasabah antarsurat, dalam menentukan
munasabah antarsurat penulis menelisik lebih dalam ayat-ayat pada QS.
Al-Waqi’ah dengan surat sebelum atau setelahnya, disini penulis
menemukan adanya keterkaitan antara QS. Al-Waqi’ah dengan surat
setelahnya yaitu QS. Al-Hadid. Pada kedua surat tersebut terdapat adanya
munasabah antara akhir surat Al-Waqiah dan awal surat Al-Hadid. Akhir
daripada surat Al-Waqiah berisi perintah untuk bertasbih, sebagai berikut:

‫ك ال َْع ِظ ِيم‬ ْ ِ‫فَ َسبِّ ْح ب‬


َ ِّ‫اس ِم َرب‬

Artinya: “Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu


yang maha Agung”. (QS. Al-Waqiah [56]:22)

Sedangkan dalam QS. Al-Hadid ayat pertama menyatakan telah bertasbih,


maka terlihat ada keserasian antara kedua surat tersebut.

ِ ‫ض ۖ و ُهو ٱلْع ِزيز ٱل‬ ِ َّ ‫سبَّح لِلَّ ِه ما فِى‬


‫يم‬ َ ُ َ َ َ ِ ‫ٱلس َٰم َٰوت َوٱأْل َْر‬
ُ ‫ْحك‬ َ َ َ
Artinya: “ Bertasbih kepada Allah semua yang ada di
langit dan bumi, dan Dialah yang maha Perkasa lagi
maha Bijaksana”. (QS. Al-Hadid [57]: 1)

Dan yang terakhir yaitu munasabah maudhu’i, dilihat


dari kesesuaian ayat-ayat yang membahas satu topik yang sama
maka QS. Al-Waqi’ah [56]: 22 yang membicarakan topik
tentang bidadari munasabah dengan beberapa ayat berikut:
a) QS. ad-Dukhan [44]: 54

54 ‫كذلك وزوجنهم بخور عين‬


Artinya: “Demikianlah. Dan kami berikan kepada mereka
bidadari.”

b) QS. at - Thur [52]: 20

۲۰ ‫متكين على سرر مصفوفة وزوجنهم بخور عين‬

Artinya: "Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan


kami kawinkan mereku dengan bidadari-bidiadari yang cantik
bermata jeli."

c) QS. ar-Rahman [55]: 72

٧٢ ‫ خور مقصورت في الخيام‬٢٢ ‫وخور عين‬


Artinya: "(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit
dalam rumah."

d) QS. ash-Saffat [37]: 48

48 ‫وعندهم قصرت الطرف عين‬


Artinya: "Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar
pandangannya dan jelita matanya.

e) QS, ar-Rahman [55]: 56

56 ‫فيهن قصرت الطرف لم يطمثهن إنس قبلهم وال جان‬


Artinya: "Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan
menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia
sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami
mereka), dan tidak pula oleh jin."

f) QS. Shad | 38]; 52

٥٢ ‫وعندهم قصرت الطرف اثرات‬


Artinya: "Dan pade sisi mereka (ada bidadari-bidadari] yong
tidak licor pornekarog annya dan sebaya umurnya."

B. Penafsiran asy-Syaukani pada QS. Al-Waqi’ah [56]: 22

‫ِع ۡي ٌن َو ُح ۡوٌر‬

Artinya: "Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli."

‫ أى نس اؤهم‬,‫ (ح ور عين) برفعهم ا عطف ا على ول دان أو على تق دير مبت داء‬: ‫ق رأ الجمه ور‬

‫ و قرأ حمزة و الكسائي يجرهما عطفا‬.‫ أى و لهم حور عين‬,‫ أو على تقدير خبر‬,‫حور عين‬

‫ أى هم في جن ات و في‬,‫ و ج ائز أن يك ون عطف ا على جن ات‬: ‫على أك واب ق ال الزج اج‬

‫ ق ال الف راء في توجيه العطف‬,‫ أى و في معاش رة ح ور‬,‫ على تقدير مض اف مح ذوف‬,‫ح ور‬

‫ ألن الحور ال‬.‫الجر على اإلتباع في اللفظ و إن اختلفا في المعنى‬


ّ ‫ إنه يجوز‬:‫على أكواب‬
: ‫ كما في قول الشاعر‬,‫بهن‬
ّ ‫يطاف‬
‫و زججن الحواجب و العيونا‬ ‫إذا ما الغانيات برزن يوما‬

‫و العين ال تزجج و إنما تكحل‪ ,‬و من هذا قول الشاعر ‪:‬‬

‫علفتها تبنا و ماء باردا‬

‫و قول األخر ‪:‬‬

‫متقلدا سيفا و رمحا‬

‫ق ال قط رب‪ :‬ه و معط ف على األك واب و األب اريق من غ ير حم ل على المع نى‪ .‬ق ال ‪ :‬و ال‬

‫ينكر أن يطاف عليهم بالحور‪ :‬و يكون لهم في ذالك لذة‪ ,‬و قرأ األشهب العقيلي و النخعي‬

‫و عيس ى بن عم ر بنص بها على تق دير اض مار فع ل‪ ,‬كأن ه قي ل ‪ :‬يزوج ون ح ورا عين ا‪ ,‬أو و‬

‫ههن سبحناه باللؤلؤ المكنون‪,‬‬


‫يعطون‪ .‬و رجح أبو عبيد‪ ,‬و أبو حاتم قرأة الجمهور‪ ,‬ثم شبّ ّ‬
‫وهو الذي لم تمسسه األيدي و ال وقع عليه الغبار‪ ,‬فهو أش ّد ما يكون صفاء‪ ,‬و انتصاب‬

‫(ج زاء) في قول ه‪( :‬ج زاء بم ا ك انوا يعلم ون) على أن ه مفع ول ل ه‪ ,‬أى يفع ل بهم ذال ك كل ه‬

‫للجزاء بأعمالهم‪ ,‬و يجوز أن يكون مصدرا مؤكدا لفعل محذوف‪ ,‬أى يجزون جزاء‪ ,‬و قد‬

‫تقدم تفسير الحور العين في سورة الطور و غيرها‬

‫‪Artinya: “Jumhur membacanya‬‬ ‫‪ِ ,‬ع ۡي ٌن َو ُح ۡوٌر‬ ‫‪dengan rafa' karena di-‬‬

‫‪'athf-kan pada lafadz‬‬ ‫‪ atau karena memperkirakan adanya‬ول دن‬


‫‪mubtada', yakni‬‬ ‫‪ِ (istri-istri mereka mereka adalah‬ع ۡي ٌن نس اؤهم ُح ۡوٌر‬
‫‪bidadari-bidadari yang bermata jeli). Atau karena memperkirakan‬‬
adanya khabar, yakni ‫( ِع ۡي ٌن ولهم ُح ۡوٌر‬dan bagi mereka ada bidadari-
bidadari yang bermata jeli)”.

“Hamzah dan al-Kisa'i membacanya dengan jarr karena di-athf-kan


kepada ‫ أك واب‬, az-Zajjaj berkata, "Bisa juga karena di- 'athf-kan
ِ ّ‫ ج ٰن‬yakni ‫( هم في جن ات وفي ح ور‬mereka berada dalam
‫ت‬
kepada َ
surga-surga dan dalam [menggauli] bidadari-bidadari), dengan
perkiraan adanya mudhaf yang dibuang, yakni ‫( وفـي مـعـاشـرة حـور‬dan
dalam [menggauli] bidadari bidadari)."

Al-Farra berkata, "Tentang alasan di-'athf-kan kepada ‫ أكواب‬bahwa


dibolehkan jarr karena mengikuti lafazh walaupun maknanya
berbeda, karena para bidadari tidak dikelilingkan. Seperti dalam
ucapan penyair berikut ini:

‫وزججن الحواجب والعيونا‬ * ‫إذا ما الغانيات برزن يوما‬

'Apabila wanita-wanita kaya tampak pada suatu hari, dalam keadaan


telah mencabuti bulu alis dan mata'.( Itu karena bulu mata tidak
dicabuti, akan tetapi dicelak). Contoh lainnya adalah ucapan penyair
berikut ini:

‫علفتها تبنا وماء باردا‬

‘Aku memberinya pakan berupa jerami dan air dingin'.

(itu karena yang berupa pakan atau makannya hanya jerami). Juga
ucapan penyair berikut ini:
‫تقلدا سيفا ورمحا‬

‘Sambil menyandang pedang dan tombak’.

(itu karena yang disandang hanya pedang, sedangkan tombak


dipegang)."

“Quthrub berkata, "Ini di-'athf-kan kepada ‫ األك واب‬dan ‫واألب اريق‬


tanpa membawakan makna." Lebih jauh dia berkata, "Tidak diingkari
juga bila dikelilingkan para bidadari kepada mereka, dan dalam hal
itu ada kesenangan pada mereka." Al-Asyhab Al-Uqaili, An-Nakha'i
dan Isa bin Umar membacanya dengan me-nashab-kan keduanya
dengan perkiraan disembunyikannya fi'il, seakan-akan dikatakan
‫( ويزوج ون ح ورا‬dan mereka dinikahkan dengan bidadari-bidadari

yang bermata jeli), atau ‫( ويعط ون ح ورا‬dan mereka diberi bidadari-


bidadari)”.

Dalam tafsir Fath al-Qadir, imam asy-Syaukani selalu memulai


penafsiran ayat Al-Qur’an dari segi kebahasaan (lughowi), seperti pula pada
kajian QS. Al-Waqi’ah [56]: 22, beliau menafsirkan ayat ini dengan
menjelaskan terlebih dahulu kaidah kebahasaan menurut pendapatnya yang
sekaligus menjadi jumhur para mufasir. Kemudian, beliau melanjutkannya
dengan mengutip pendapat beberapa mufasir..
Ayat ini merupakan perincian dari pada ayat sebelumnya, dimana ayat
sebelumnya menyatakan bahwa orang yang paling dahulu beriman akan
mendapatkan balasan berupa kenikmatan surga, dan diantara kenikmatan
surga salah satunya adalah adanya bidadari-bidadari yang bermata jeli yang
diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai Hurun ‘iin. Imam asy-Syaukai
menyatakan tiga pendapat jumhur mengenai kedudukan lafadz wa hurrun

‘iinun (‫ح ۡوٌر‬


ُ ‫َو‬ ‫ ) ِع ۡي ٌن‬pada QS. Al-Waqiah [56]: 22 ini, diantaranya:

1. Di-athf-kan atau diikutkan kepada lafadz sebelumnya yaitu wildânun (‫ِولْ َٰد‬
‫ ) ٌن‬sehingga dibaca rafa’
2. Dibaca rafa’ karena ia menjadi khobar dari mubtada yang dibuang yang
di-taqdir-kan atau dikira-kirakan dengan lafadz ‫ نس اؤهم‬sehingga
( ‫ح ۡوٌر‬ ِ
lafadznya menjadi nisâ uhum hûrun ‘înun ُ ‫) ع ۡي ٌن نساؤهم‬
3. Dibaca rafa’ sebab menjadi mubtada dan memperkirakan adanya lafadz
yang dibuang berupa khobar yaitu lafadz ‫ ولهم‬sehingga menjadi walahum
hûrun ‘înun ( ‫ح ۡوٌر‬
ُ ‫ ) ِع ۡي ٌن ولهم‬yang berarti “dan bagi mereka ada bidadari-
bidadari yang bermata jeli”.
Setelah imam asy-Syaukani menafsirkan ayat ini berdasarkan kaidah
lughowiyah menurut pendapatnya, kemudian beliau suguhkan penafsiran
yang berbeda mengenai tata bahasa lafadz hurun ‘iin dari beberapa ulama
terkemuka yaitu al-Kisa’i, Hamzah, az-Zajjaj, al-Farra, Quthrub, al-Asyhab al-
Uqaili, an-Nakha'i dan Isa bin Umar.

C. Makna Hurun ‘iin Dalam Penafsiran Asy-Syaukani


Untuk mengetahui makna hurun ‘iin dalam penafsiran asy-Syaukani
tidaklah cukup melihat sudut pandang hanya dari satu ayat semata, dari itu
penulis akan memaparkan penafsiran asy-Syaukani mengenai lafadz hurun
‘iin pada beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
Dalam Surat Al-Waqi’ah ayat 22 dijelaskan ketika datang hari kiamat
maka umat manusia akan terbagi menjadi tiga golongan, yang pertama adalah
golongan kanan (ashabul maimanah), yaitu orang-orang yang mengambil
kitab catatan amal dengan tangan kanan mereka atau orang-orang yang dibawa
ke surga dari arah kanan, yang kedua golongan kiri (ashabul masya’mah),
yakni orang-orang yang di giring ke sebelah kiri menuju neraka atau orang-
orang yang mengambil catatan amal dengan tangan kiri. Dalam tafsirnya, asy-
Syaukani mencantumkan beberapa pendapat, as-Sudi mengatakan bahwa
golongan kanan adalah orang-orang yang berada di sebelah kanan Adam
ketika dikeluarkan sebagai anak keturunannya dari tulang punggungnya,
sedangkan golongan kiri adalah orang-orang yang berada di sebelah kirinya
(adam). Ibnu juraij berpendapat bahwa golongan kanan adalah para pelaku
kebaikan, golongan kiri adalah para pelaku keburukan, sedangkan menurut al-
Hasan dan ar-Robi’ golongan kanan merupakan orang-orang yang optimis
karena amal-amal shalih mereka sedangkan golongan kiri adalah orang-orang
yang pesimis karena amal buruk mereka. Dan yang terakhir yaitu golongan
yang paling dahulu beriman, asy-Syaukani memaparkan beberapa pendapat,
Menurut al-Hasan dan Qatadah golongan ini merupakan orang-orang yang
paling dahulu beriman dari perkataannya. Muhammad bin Ka’ab berkata,
“mereka adalah para nabi”. Ibnu sirrin berpendapat bahwa mereka adalah
orang-orang yang solat dengan menghadap ke dua arah kiblat. Mujahid
mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu berjihad,
sedangkan az-Zajjaj berkata, “mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu
kepada ketakwaan dan lebih dahulu kepada rahmat Allah”.
Dari ketiga golongan diatas, golongan yang paling dahulu masuk surga
adalah golongan ke tiga yaitu yang paling dahulu beriman. Mereka adalah
orang yang dekat dengan Allah dan berada dalam kenikmatan surga seperti
dikelilingi anak muda yang selalu muda yang tidak dapat berubah dan tidak
dapat menjadi tua, di dalamnya mereka dibawakan minuman yang di isi dari
air yang mengalir, buah-buahan yang mereka inginkan serta daging-daging.
Lalu pada ayat 22 diterangkan bahwa di dalam surga kenikmatan itu ada

bidadari-bidadari yang bermata jeli (‫ح ۡوٌر‬


ُ ‫َو‬ ‫) ِع ۡي ٌن‬, dalam tafsirnya asy-Syaukani
tidak menjelaskan bagaimana penafsiran hurun ‘iin ini karena sudah
diterangkan di pembahasan sebelumnya pada surat Ad-Dukhan, asy-Syaukani
memaparkan hurun ‘iin berdasarkan sudut pandang ilmu nahwunya. Beliau
merujuk beberapa pendapat jumhur bahwa lafadz hurun ‘iin di baca ‘rafa

sebab tiga alasan, yaitu sebab di-athf-kan pada lafadz ‫ ِولْ َٰد ٌن‬, sehingga lafadz

hurun ‘iin menjadi rafa’ karna mengikuti huruf nun pada lafadz wildânun.
Selanjutnya yaitu dibaca rafa’ sebab menjadi khobar dari mubtada yang

dibuang yang diperkirakan berupa lafadz nisâ uhuhum (‫اؤهم‬ ‫)نس‬. Yang

terakhir yaitu dibaca rafa’ sebab menjadi mubtada’ dari khobar yang dibuang

yang dikira-kirakan dengan lafadz walahaum ( ‫)ولهم‬.

Kemudian surat Ad-Dukhan ayat 54 menyebutkan bahwa orang-orang


yang bertakwa akan ditempatkan di suatu tempat yang aman dan damai, di
mana di dalamnya terdapat taman-taman, mata air dan juga penghuninya
memakai kain sutra yang halus lagi tebal. Lalu pada ayat 54 dijelaskan bahwa
mereka (orang yang bertakwa) akan diberikan bidadari. Imam asy-Syaukani
menafsirkannya ‘kami muliakan mereka dengan menikahkannya dengan
bidadari’. Bidadari yang dalam ayat tersebut ditulis dengan lafadz hurin ‘iin,
oleh asy-Syaukani ditafsirkan bahwa lafadz hur merupakan bentuk jama’ dari
lafadz haura’ yang berarti al-baidho’ (putih) dan ‘iin bentuk jama’ dari lafadz
aina’ yang artinya wasi’atul ‘ainaini (bermata lebar), dalam penafsirannya
pula disebutkan pendapat Mujahid bahwa bidadari disebut al-haura’ karena
anggota tubuhnya yahâru (mempesona) sebab keindahannya. Pendapat lain
mengatakan bahwa hurun ‘iin yaitu yang putih matanya sangat putih dan
hitam matanya sangat hitam.
Selanjutnya ayat 20 dari surat At-Thûr, At-Thûr sendiri merupakan
salah satu surat makkiyah yang terdiri dari empat puluh sembilan ayat. Seperti
mana kandungan surat Ad-Dukhan pada surat Ath-Thūr juga dijelaskan
mengenai salah satu kenikmatan surga yang diperuntukkan bagi orang-orang
yang bertakwa. Dalam tafsir Fath al-Qadir dijelaskan mereka bersuka ria atas
apa yang mereka dapatkan dari Allah sebagai balasan atas perbuatannya
selama di dunia. Mereka (orang yang bertakwa) memiliki kenikmatan dan
kelezatan atas apa yang Allah berikan berupa hal-hal yang tidak bisa dilihat
oleh mata, tidak pernah di dengar oleh telinga dan tidak pernah terdetik dalam
benak manusia juga tidak ada kesukaran atau kesulitan pada mereka.
Kemudian pada ayat 20 dikatakan bahwa mereka Allah kawinkan dengan
bidadari yang bermata jeli. Asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat ini tidak
spesifik menjelaskan lebih dalam mengenai lafadz al-hūr al-‘iin sebab sudah
di jelaskan pada pembahasan sebelumnya di surat Ad-Dukhan, beliau hanya
menerangkan orang-orang yang bertakwa bukan ‘dikawinkan’ dengan
bidadari, akan tetapi mereka ‘ditempatkan’ dengan bidadari-bidadari yang
bermata jeli.
Kemudian yang terakhir ialah surat Ar-Rahman, surat ini merupakan
salah satu surat yang sangat detail menggambarkan kenikmatan surga. Di
dalamnya dijelaskan bahwa terdapat empat surga bagi orang-orang yang takut
terhadap pengawasan Allah, dua dari ke-empat surga itu mempunyai pohon-
pohon dan buah-buahan, mata air yang terus menerus mengalir dan permadani
yang bagian dalamnya berbahan sutera, ada pula bidadari-bidadari yang selalu
menundukkan pandangan dan tidak pernah disentuh oleh siapa pun kecuali
oleh suami mereka. Bidadari-bidadari itu di ibaratkan seperti permata yaqut
dan marjan. Asy-Syaukani menjelaskan dalam tafsirnya bahwa sifat dari pada
bidadari ini Allah ibaratkan mereka dengan kebeningan warna merahnya
permata yaqut dan marjan. Al-yaqut adalah batu mulia yang sudah dikenal
luas seperti ruby, safir, dan merah delima. Sedangkan al-marjan merupakan
mutiara kecil yang sangat bening.
Selain kedua surga tersebut ada dua surga lagi yang bagi orang-orang
yang takut kepada Allah, di dalamnya terdapat buah-buahan yang berpasang-
pasangan, dua mata air yang memancar dan kedua surga tersebut terlihat hijau
tua warnanya. Di dalamnya terdapat bidadari-bidadari yang baik akhlaknya
lagi cantik rupanya. Dan pada ayat 72 dijelaskan bahwa bidadari-bidadari itu
sangat jelita, putih, bersih dan dipingit di dalam rumah. Bidadari yang pada
ayat ini dicantumkan dengan lafadz al-hur ditafsirkan asy-Syaukani dengan
makhluk yang sangat putih bagian putih matanya dan hitam bagian hitamnya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa hurun ‘iin
merupakan makhluk yang Allah ciptakan sebagai penghuni surga,
pendamping para ahli surga. Dari ayat-ayat tersebut dapat diambil pemahaman
bahwa imam asy-Syaukani tidak menerangkan kata hurun ‘iin di QS. Al-
Waqi’ah [56]: 22 namun beliau merujuknya pada QS. Ad-Dukhan [44]: 54
dan QS. Ar-Rahman [55]: 72.
Pada QS. Ad-Dukhan [44]: 54, asy-Syaukani menafsirkan kata hûr
sebagai bentuk jama’ dari kata haura’ yang memiliki arti al-baidho’ (putih)
dan ‘iin merupakan bentuk jama’ dari aina’ yang berarti wasi’atul ainaini
(yang bermata lebar). Kemudian pada QS. Ar-Rahman [55]: 72 asy-Syaukani
menambahkan bahwa al-hûr yaitu yang sangat putih bagian putih matanya dan
sangat hitam bagian hitamnya. Dari penafsirannya asy-Syaukani tidak
menjelaskan bahwa hurun ‘iin adalah sosok berjenis kelamin perempuan atau
laki-laki, melainkan lebih tertuju pada makhluk bertubuh putih bermata jeli
yang bagian hitam matanya sangat hitam dan bagian putihnya sangat putih.
sehingga dapat disimpulkan bahwa hûr menurut penafsiran asy-Syaukani
merupakan kata yang netral kelamin, bisa jadi perempuan atau bisa jadi laki-
laki, karena pun hurun ‘iin merupakan suatu bentuk ghaib sebagai
pendamping ahli surga yang tidak pernah terlihat dan ditemukan padanannya
di kehidupan dunia ini.
Dari pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa hurun ‘iin menurut
penafsiran asy-Syaukani bermakna makhluk Allah yang diciptakan sebagai
pendamping para ahli surga yang anggota tubuhnya putih mempesona dan
bermata jeli yaitu mata yang bagian hitamnya sangat hitam dan bagian putih
matanya sangat putih.

D. Implikasi Bidadari Terhadap Ketakwaan


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki wilayah yang luas,
terbentang dari Aceh sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di
seluruh kedaulatan Republik Indonesia, yang terdiri atas 8.651 pulau yang
bernama dan 8.853 pulau yang belum bernama. Letak Indonesia secara
astronomis adalah 6'LU-11 LS dan 95 BT-141 BT. Berada di antara dua
benua, yaitu benua Asia dan Australia dan dua samudra, yaitu Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik. Adapun batas-batas wilayah Indonesia secara umum
sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan Samudra Pasifik.
2. Sebelah timur berbatasan dengan Papua Nugini.
3. Sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Samudra Hindia
Indonesia juga disebut sebagai negara bahari, karena sekitar dua
pertiga luas wilayah Indonesia merupakan perairan laut. Indonesia dihuni oleh
penduduk dengan latar belakang kebudayaan, penampilan fisik, tingkat
peradaban, agama, dan gaya hidup berbeda yang saling berdampingan. Oleh
karena itu, sangat mendukung terjadinya keanekaragaman penduduk dan
kebudayaan.13

13
Kusnanto, Keanekaragaman Suku dan Budaya Indonesia, (Semarang: Alprin, 2020), h.
1-2.
Terkait dengan ruang lingkup kebudayaan sangatlah luas, mencakup
segala aspek kehidupan (hidup ruhaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah)
manusia. Bertolak dari manusia, khususnya jiwa, terkhusus lagi pikir dan rasa,
Sidi Gazalba merumuskan kebudayaan dipandang dari aspek ruhaniah, yang
menjadi hakikat manusia adalah "cara berpikir dan merasa, menyatakan diri
dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk
masyarakat, dalam suatu ruang dan suatu waktu".14
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa sendiri terdiri atas
beberapa unsur yaitu unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang
merupakan bagian satu kesatuan yang bulat. Ada beberapa unsur yang terdapat
dalam kebudayaan, di mana kita sebut sebagai cultural universal, yang
meliputi: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup
dan sistem-sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan),
kesenian, sistem pengetahuan, religi (sistem kepercayaan).15
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan
hasil dari agama. Hal ini sering kali membingungkan ketika kita harus
meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.
Koentjaraningrat misalnya, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi dan karya. Ia juga menyatakan bahwa terdapat
unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, salah
satunya adalah sistem religi. Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama
merupakan bagian dari kebudayaan.16
Menurut Amer Al-Roubai, Islam bukanlah hasil dari produk budaya
Akan tetapi Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban.
Peradaban yang berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan

14
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), h. 12.
15
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1990), h. 193.
16
Fitriyani, “Islam dan Kebudayaan”, Dalam Jurnal Al-Ulum, Vol. 12 No. 1 Juni 2012, h.
132.
peradaban Islam. Dengan pemahaman di atas, kita dapat memulai untuk
meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pun dapat membangun
kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islam pula.17
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk semua
umat manusia telah memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat
manusia di muka bumi ini. Kehadiran Islam di tengah-tengah masyarakat yang
sudah memiliki budaya tersendiri, ternyata membuat Islam dengan budaya
setempat mengalami akulturasi, yang pada akhirnya tata pelaksanaan ajaran
Islam sangat beragam. Namun demikian, Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai
sumber hukum Islam tetap menjadi ujung tombak di dalam suatu masyarakat
muslim, sehingga Islam begitu identik dengan keberagaman. 18 Dalam
fenomena di sekitar kita, khususnya dalam konteks keindonesiaan ada satu hal
yang tidak pernah terpisahkan yakni antara Islam dan konteks budaya yang
mana di antaranya mengalir dalam kehidupan sosial masyarakat kita dari dulu
hingga sekarang. 19
Kepercayaan dan agama yang berkembang sebelum Islam masuk ke
Indonesia sendiri yakni animisme, dinamisme, agama Hindu dan Budha.
Agama dan kebudayaan Hindu-Budha masuk ke Indonesia melalui kontak
perdagangan. Sedikit banyak telah berpengaruh terhadap beberapa aspek
kehidupan masyarakat Nusantara. Masuknya pengaruh unsur kebudayaan
Hindu-Buddha dari India telah mengubah dan menambah khazanah budaya
Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan, seperti: berdirinya kerajaan
Tarumanegara, Singasari, Majapahit, dan sebagainya. Lalu Islam masuk ke
Indonesia dengan cara damai disertai dengan jiwa toleransi dan saling
menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan penganut-
penganut agama lama (Hindu-Budha).20

17
Fitriyani, Islam dan Kebudayaan,.... h. 133.
18
Deden Sumpena, “Islam dan Budaya Lokal: Kajian Terhadap Interelasi Islam dan
Budaya Sunda”, Dalam Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 6, No. 19 Januari-Juni 2012, h. 102.
19
Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal Kajian Antropologi Agama,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2017), h. 1.
20
Latifa Annum Dalimunthe, “Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka)”,
Dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 22, No. 1, Juni 2016, h.
Dalam pandangan M.C. Ricklefs, penyebaran agama Islam ke
Nusantara merupakan proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia,
akan tetapi proses itu juga yang paling tidak jelas. Lebih jauh, Ricklefs
mengatakan pada umumnya proses islamisasi kemungkinan berlangsung
dalam dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan agama
Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab,
India, Cina, dan lainnya) yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal
secara permanen di suatu wilayah di Nusantara, melakukan perkawinan
campuran dan mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian rupa, sehingga
sebenarnya mereka itu sudah menjadi orang Jawa atau Melayu atau anggota
suku lainnya. Kedua proses itu mungkin terjadi secara bersamaan.21
Persentuhan agama Islam dengan kebudayaan asli Indonesia, tentu
merupakan pembahasan yang menarik, di mana Islam sebagai agama universal
merupakan rahmat bagi semesta alam, dan dalam kehadirannya di muka bumi
ini, Islam berbaur dengan beragam kebudayaan lokal (local culture), sehingga
antara Islam dan kebudayaan lokal pada suatu masyarakat tidak bisa
dipisahkan, keduanya merupakan bagian yang saling mendukung dan
menguatkan.22 Contoh sederhananya, ajaran Islam yang ada di Indonesia itu
sendiri merupakan hasil dari proses dakwah yang dilaksanakan secara cultural,
sehingga Islam di Indonesia, mampu berkembang dan menyebar serta banyak
dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dalam waktu yang cukup singkat.
Karena kehadiran Islam di Indonesia yang pada saat itu budaya lokal sudah
dianut masyarakat Indonesia mampu masuk secara halus tanpa kekerasan, hal
ini berkat dari ajaran Islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu
masyarakat.23
Di Pulau Jawa misalnya, merupakan suatu wilayah, di mana banyak
masyarakat muslim pribuminya masih tetap melakukan hal-hal yang bersifat

21
Sarkawi B. Husain, Sejarah Masyarakat Islam Indonesia, (Surabaya: Airlangga
University Press, 2017), h. 1.
22
Deni Miharja, “Persentuhan Islam Dengan Kebudayaan Asli Indonesia”, Dalam Jurnal
Miqot, Vol. 38, No. 1 Januari-Juni 2014, h. 1.
23
Deden Sumpena, Islam dan Budaya Lokal: Kajian Terhadap Interelasi Islam dan
Budaya Sunda,... h. 107.
ritualist, dan salah satu yang masih nyata tersebut yaitu ritual sesajen. Dalam
catatan sejarah bahwa Islam sebagai agama yang baru berkembang
menggunakan metode aksi damai dalam menyebarkan konsep agamanya.
Pada awalnya, Jawa sendiri sudah dimasuki kebudayaan agama Hindu yang
sudah lebih dulu berkembang serta membentuk berbagai macam tradisi dalam
tatanan hidup masyarakat Jawa pada umumnya tatkala itu. Dengan aksi damai
yang dijalankan para wali selaku orang yang menyebarkan Islam, jelaslah
mempunyai teknik jitu dalam mengambil respon masyarakat pribumi untuk
melirik ajaran Islam. Dis sinilah berbagai macam sunting dari tradisi yang
berasal dari luar Islam. Kemudian diramu sedemikian rupa, dengan tujuan
menarik simpati masyarakat agar mulai menerima agama baru tersebut.24
Selain itu, media dakwah yang disunting dari agama non Islam
sebagian besar dijadikan strategi dalam menyebarluaskan nama Islam serta
ajarannya. Misalnya, melalui seni tari, musik dan seni sastra. Dalam upacara-
upacara keagamaan seperti Maulud nabi, sering dipertunjukkan seni tari dan
musik tradisional misalnya, sekaten yang terdapat di keraton Yogyakarta dan
Surakarta. Sedangkan di Cirebon, seni musik itu dibunyikan pada perayaan
Grebek. Contoh lainnya adalah, Islamisasi pertunjukan wayang. Konon, Sunan
Kalijaga merupakan tokoh yang mahir memainkan wayang. Dia tidak
meminta upah dalam pertunjukannya, tetapi di hanya meminta agar para
penonton mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang
masih diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi bertahap nama
tokohnya diganti dengan nama tokoh pahlawan Islam.
Beranjak dari hal tersebut, berkenaan dengan lafadz hurûn ‘iin yang
diartikan sebagai bidadari, dapat penulis pahami bahwa jika dilihat dari
bentuknya, lafadz hurûn merupakan bentuk jamak dari lafadz haura’ ( ‫)حوراء‬
dan merupakan bentuk jamak taksir yang megikuti wazan Faula’ - fu’lun.
Sedangkan lafadz ‘in merupakan bentuk jamak dari lafadz ‘aina’ ( ‫ )عيناء‬,
asalnya dibaca ‘ain, namun karena memantaskan dengan ya’ maka dibaca

24
Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal Kajian Antropologi Agama,... h.
4-5.
kasrah menjadi ‘in dan keduanya merupakan bentuk jamak taksir yang
mengikuti wazan Faula’ - fu’lun. Berdasarkan asal lafadznya, hurûn Berasal
dari isim mufrad ‘haura’ yang merupakan isim jamid. Adapun ‘iin berasal dari
isim mufrad ‘aina’ yang juga merupakan isim jamid. Isim jamid sendiri
adalah isim yang tidak dapat ditashrif. Kemudian jika dilihat dari
kedudukannya, maka hurûn ‘iin berkedudukan sebagai mubtada’ yang
khobarnya mahdzuf dikira-kirakan dengan lafadz lahum.
Pada penafsiran asy-Syaukani pula, dapat diketahui bahwa lafadz
hurun ‘iin dalam Al-Qur’an berdasarkan sudut pandang pemaknaan lafadz
memiliki dua pengertian, kata hûr pada lafadz hurûn merupakan bentuk jama
yang berasal dari isim mufrod haura’ yang memiliki arti al-baidho’ (putih)
dan kata ‘iin merupakan bentuk jama’ dari isim mufrod aina’ yang artinya
wasi’atul ainaini (yang bermata lebar). Asy-Syaukani menafsirkan kata al-hûr
sebagai makhluk yang bagian putih matanya sangat putih dan bagian hitam
matanya sangat hitam. Sehingga lafadz hurun ‘iin secara keseluruhan menurut
imam asy-Syaukani bermakna makhluk yang Allah ciptakan sebagai
pendamping para ahli surga, memiliki anggota tubuh yang sangat putih
mempesona serta mata yang jeli yaitu mata yang bagian putih matanya sangat
putih dan bagian hitamnya sangat hitam. Jika dikaitkan dengan konteks
bidadari sebagai salah satu bentuk kenikmatan surga yang Allah janjikan bagi
para ahli surga, maka hurûn ‘iin merupakan penggambaran dari sosok bidadari
surga tersebut, digambarkan dengan bentuk fisik yang sangat indah, anggota
tubuh yang begitu putih serta mata yang lebar dan jeli yang tidak pernah
ditemukan sebelumnya dalam kehidupan dunia.
Berdasar pembahasan yang telah diulas sebelumnya, bidadari
merupakan satu bentuk kenikmatan surga yang Allah janjikan bagi laki-laki
yang beriman, lalu bagaimana dengan perempuan yang juga telah beriman
kepada Allah. Apabila semua nikmat itu hanya diperuntukkan kepada kaum
laki-laki maka tidak sedikit akan diketemukan perempuan-perempuan yang
tidak taat kepada Allah. Di sinilah muncul problema pemahaman keadilan
gender bagi kaum wanita, di mana akan muncul pemikiran bahwa agama
Islam yang dianut selama ini hanya berpihak pada kesenangan kaum laki-laki
semata. Dari itu, sangatlah perlu untuk memahami hal ini secara lebih
mendalam dan open minded, membuka mata dan pengetahuan terhadap
berbagai sudut pandang yang ada.
Jika beberapa ulama mengatakan bidadari merupakan sosok wanita
surga yang tiada makhluk pun menandingi kecantikannya maka berbeda
halnya dengan apa yang dikatakan asy-Syaukani dalam tafsirnya, dalam tafsir
Fath al-Qadir-nya asy-Syaukani tidak sama sekali menjelaskan bahwa hurûn
‘iin yang diartikan dengan bidadari ini merupakan sosok berjenis kelamin
perempuan atau laki-laki. Beliau hanya menjelaskan bahwa hûr adalah yang
bagian hitam matanya sangat hitam dan bagian putih matanya sangat putih,
dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa menurut penafsiran as-Syaukani
bidadari ialah makhluk berjenis kelamin netral yang bisa jadi perempuan bisa
juga laki-laki, karna pun bidadari merupakan suatu bentuk gaib yang tidak
pernah ada padanannya di kehidupan dunia. Dijelaskan dalam QS. Al-
Waqi’ah ayat 17:

‫وف َعلَْي ِه ْم ِولْ َٰد ٌن ُّم َخلَّ ُدو َن‬


ُ ُ‫يَط‬
Artinya: “Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda”.

Dalam tafsirnya, asy-Syaukani menjelaskan bahwa kalimat tersebut berada


pada posisi nashab sebagai keterangan kondisi (haal) dari al-muqarrabun
(orang-orang yang dekat dengan Allah), kalimat tersebut merupakan kalimat
permulaan untuk menerangkan sebagian kenikmatan yang disediakan Allah
untuk mereka (al-muqarrabun). Asy-Syaukani memaknai ayat tersebut yakni
“berkeliling di sekitar mereka anak-anak muda untuk melayani mereka, para
pemuda itu tetap muda dan tidak akan berubah”. Dalam tafsirnya disebutkan
bahwa al-Hasan dan al-Kalbi berkata, “mereka tidak menjadi tua dan tidak
berubah”. Pada ayat lain pula dijelaskan bahwa para pelayan itu mengelilingi
mereka (al-muqarrabun) dengan membawa makanan, minuman dan buah-
buahan yang diinginkan. Mereka memberikan pelayanan yang baik dengan
membawakan gelas, cerek dan sloki (piala) berisi khamr yang mengalir dari

mata airnya. Dari penafsiran asy-Syaukani ini, penulis menganalisis kata ‫ِولْ َٰد ٌن‬

(wildânun) dalam ayat tersebut sebagai pemuda yang melayani wanita ahli
surga dalam kata lain dapat diartikan bahwa kata wildânun menunjukan
adanya sosok laki-laki sebagai pendamping yang melayani wanita-wanita ahli
surga. Sehingga, menurut analisis penulis berdasarkan penafsiran asy-
Syaukani, janji Allah berupa bidadari surga tidak hanya Allah ciptakan dalam
sosok wanita semata, tetapi Allah ciptakan pula bidadari atau pendamping
bersosok laki-laki yang diperuntukkan bagi para wanita ahli surga.
Selain dari pada itu, berkenaan dengan budaya dan kepercayaan yang
dianut masyarakat indonesia, konsep bidadari bukanlah hal yang asing.
Terlebih lagi, istilah ini sudah dikenal jauh sebelum Islam menyebar luas di
bumi Indonesia, yakni sejak masa Hindu. Itu berarti, istilah bidadari untuk
konteks Indonesia telah ada dalam kepercayaan dua agama, yakni Hindu
(agama bumi) dan Islam (agama Abrahamik/Samawi). Menurut dua agama
tersebut, bidadari sejatinya memiliki pengertian yang sama. Perbedaannya
hanya pada istilah yang digunakan untuk menunjuk tempat tinggal.
Berdasarkan analisis penulis, Seperti mana pertunjukan wayang sunan
kalijaga yang mengambil konsep kisah mahabarata dan ramayana dalam
menyebarkan agama islam, maka ketika mengajarkan perihal kenikmatan
surga khususnya bidadari, para wali mengadopsi konsep bidadari dari
khayangan yang telah dipercayai oleh masyarakat kejawen pada masa itu.
Jadi, ketika para alim ulama menyebarkan agama Islam di Indonesia konsep
tentang bidadari dapat di terima dengan baik pada saat itu, hingga lambat laun
konsep ke-Hindu-an mulai terganti dengan nilai-nilai Islam meskipun sampai
saat ini masih ada beberapa ajarannya yang masih melekat dan bahkan
menyatu dengan masyarakat muslim. Hal yang seperti ini dianggap mampu
mempengaruhi mudahnya proses penyebaran ajaran Islam dan meningkatkan
keimanan serta ketakwaan masyarakat muslim pada masa itu.
Namun, seiring berkembangnya zaman banyak paham-paham baru
yang masuk dan menyimpang dari ajaran Islam, khususnya terkait bidadari
surga yang menjadi pokok bahasan kali ini. Seperti mana yang telah dibahas
pada sub bab sebelumnya bahwa bidadari merupakan salah satu bentuk
kenikmatan surga yang tidak akan pernah ditemukan keindahan yang serupa
dalam kehidupan dunia, hal yang demikian pastilah merupakan berita yang
sangat baik bagi umat muslim, namun tentu saja tidak semua hal baik akan
direspons baik juga oleh semua orang, akan ada respon negatif bahkan dari hal
yang positif sekalipun. Misalnya saja, kejadian pada beberapa tahun lalu, di
mana telah terjadi aksi teror di Polda Sumut. Ketika ditelusuri sebagaimana
yang telah dikatakan oleh salah satu mantan teroris, bahwa pemuda-pemuda
yang melakukan aksi jihad tersebut direkrut dengan menggunakan doktrin
akan masuk surga. Kemudian dalam doktrin tersebut dikatakan bahwa ketika
berjihad dan melakukan penyerangan maka mereka akan bertemu 72 bidadari
di surga. Ini merupakan salah satu penyimpangan yang terjadi sebab
banyaknya paham baru yang menyimpang sehingga menggoyahkan keimanan
seseorang dan mengurangi tingkat ketakwaannya.
Dari banyaknya uraian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa
lafadz hurûn ‘iin yang diartikan sebagai bidadari surga merupakan sosok
pendamping para ahli surga yang memiliki keindahan luar biasa baik dhohir
maupun batin, dan dari keberadaannya penulis lihat mempunyai keterkaitan
terhadap ketakwaan yaitu jika eksistensinya direspon positif dengan niat baik,
tentu sekali dapat meningkatkan ketakwaan seorang hamba, sehingga dapat
menciptakan karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin pada diri seseorang.
Namun jika eksistensinya direspon negatif dengan niat yang kurang baik maka
hal ini dapat dengan mudah menggoyahkan keimanan seseorang sehingga
mengurangi tingkat ketakwaannya di hadapan Allah dan bukan tidak mungkin
orang-orang yang seperti ini akan melakukan perbuatan yang buruk bahkan
lebih menyimpang dari kejadian teror yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dengan demikian, harus kembali diingat bahwa kenikmatan bidadari yang
telah Allah janjikan kelak di surga nanti bukanlah nikmat yang terbesar,
karena hakikat seorang hamba taat kepada Allah SWT bukanlah untuk
mendapatkan kenikmatan semata melainkan kembali kepada-Nya dan bisa
bertemu dengan-Nya, karena hal itu merupakan sebesar-besarnya nikmat
ketika di dunia.

Anda mungkin juga menyukai