Anda di halaman 1dari 94

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Radikal bebas adalah molekul yang pada orbit terluarnya mempunyai

satu atau lebih elektron tidak berpasangan, sifatnya sangat labil dan sangat

reaktif. Secara garis besar radikal bebas berperan penting pada kerusakan

jaringan dan proses patologi dalam organisme hidup (Arif Soekamto, 2007).

Hal ini dapat terjadi akibat kurangnya antioksidan dalam tubuh, sehingga

tidak mampu mengimbangi terjadinya produk oksidasi setiap saat. Beberapa

contoh radikal bebas antara lain : radikal hidroksil (OH), nitrit oksida (NO),

hidrogen peroksida (H2O2), dan sebagainya (Samsul Arief, 2006).

Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menetralkan efek

buruk dari radikal bebas didalam tubuh. Suatu antioksidan umumnya

memiliki kelebihan pasangan elektron bebas sehingga dapat menyumbangkan

elektronnya kepada suatu radikal dan dapat menstabilkan radikal tersebut

sehingga tidak lagi reaktif. Sebenarnya dalam tubuh ssendiri secara alami

terdapat antioksidan endogen seperti enzim SOD (superoxide dismutase),

glutation, dan katalase yang dapat menetralkan radikal bebas yang masuk.

Antioksidan tersebut kemudian berfungsi sebagai sistem pertahanan terhadap

radikal bebas, namun peningkatan produksi radikal bebas yang terbentuk

akibat faktor stress, radiasi UV, polusi udara dan lingkungan mengakibatkan

sistem pertahanan tersebut kurang memadai sehingga membutuhkan suplai

1
antioksidan dari luar tubuh untuk mengatasi paparan radikal bebas dalam

jumlah yang berlebih (Titik Sunarni, 2005).

Berdasarkan sumbernya, terdapat dua macam antioksidan yaitu

antioksidan sintetik (buatan) dan antioksidan alami (Titik Sunarni, 2005).

Adapun antioksidan sintetik seperti BHT (butylated hidroxy toluene) dan

BHA (butylated hidroxy anisole) telah diragukan keamanannya karena

memiliki efek samping yang besar dan dapat menyebabkan kerusakan hati.

Hal ini menyebabkan antioksidan alami menjadi alternative yang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat saat ini (Hery Winarsi, 2007).

Tanaman merupakan salah satu sumber antioksidan alami. Hal ini

berkaitan dengan kandungan senyawa fenolat didalamnya (Prakash,

Rigelholf, dan Miller, 2011; Safriani, dkk, 2011). Tanaman yang telah banyak

dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan berasal dari genus syzygyum.

Beberapa tanaman genus syzygyum berpotensi sebagai antioksidan. Hasil

penelitian sebelumnya menunjukan bahwa yang dilakukan oleh (Safriani,

dkk, 2016) menunjukan bahwa ekstrak daun salam memiliki kandungan

polifenol yang lebih tinggi dibandingkan air dan n-heksana daun salam.

Kandungan polifenol tersebut berkolerasi dengan aktivitas antioksidaannya.

Ekstrak etanol daun salam mampu menangkal radikal bebas DPPH dengan

IC50 sebesar 27,80 µg/ml. (Sutrisna, dkk, 2016). Darusman, Wahyuni dan

Alwi (2013) juga melaporkan bahwa tanaman genus syzygium mampu

menangkal radikal bebas. Menurut hasil penelitian tersebut, ekstrak metanol

dan etil asetat dari daun Syzygium aromaticum, ekstrak metanol tunas

2
Syzygium aromaticum serta ekstrak metanol dan etil asetat dari daun

Syzygium polyanthum mampu menangkal radikal bebas DPPH dengan nilai

IC50 masing-masing sebesar 11,43 ppm; 9,20 ppm; 9,26 ppm; 21,24 ppm;

dan 13,70 ppm.

Pelarut metanol, etil asetat, diklorometana, n-heksana, etanol 70% dan

etanol 96% pada penelitian sebelumya terdapat perbedaan aktivitas

antioksidan. Dilihat dengan nilai IC50 yakni dari beberapa jenis pelarut dari

terendah sampai tertinggi yaitu heksana 136,7 µg/mL, diklorometana 126,1

µg/mL, etil asetat 47,7708 ppm, etanol 70% 35,057 µg/mL, metanol 19,97

ppm dan etanol 96% 1,678 ppm. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “OPTIMASI PELARUT

PADA EKSTRAK DAUN SALAM (Syzygyum Polyathum) TERHADAP

POTENSI ANTIOKSIDAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE

DPPH”.

3
1.2. Batasan Masalah

Pada penelitian ini peneliti membatasi masalah pada bagian :

1) Optimasi pelarut pada ekstraksi daun salam (Syzygyum polyanthum)

terhadap potensi antioksidan menggunakan metode DPPH.

2) Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut air, etanol 70%

dan n-heksana.

1.3. Identifikasi Masalah

Dari uraian diatas terdapat beberapa permasalahan yaitu :

1) Pelarut pada ekstraksi daun salam (Syzygyum polyanthum) mempengaruhi

potensi antioksidan dengan metode DPPH.

2) Pelarut tertentu pada ekstraksi daun salam (Syzygyum polyanthum)

mempengaruhi potensi antioksidan yang paling tinggi.

1.4. Perumusan Masalah

Dari pembahasan masalah maka rumusan dalam penelitian ini adalah :

1) Apakah ada pengaruh penggunaan pada pelarut ekstraksi daun salam

(Syzygyum polyanthum) terhadap potensi antioksidan dengan metode

DPPH?

2) Pelarut manakah yang memiliki pengaruh paling tinggi pada ekstraksi

daun salam (Syzygyum polyanthum) terhadap potensi antioksidan dengan

menggunakan metode DPPH?

4
1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui pengaruh pelarut pada ekstraksi daun salam (Syzygyum

polyanthum) terhadap potensi antioksidan dengan metode DPPH.

2) Untuk mengetahui pelarut yang mempengaruhi potensi antioksidan paling

tinggi pada ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum).

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah :

1) Bagi Penulis

Penulis dapat menyumbangkan sedikit pengetahuan mengenai Optimasi

pelarut pada ekstrak daun salam (Syzygyum polyathum) terhadap potensi

antioksidan dengan menggunakan metode DPPH.

2) Bagi Instansi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan

untuk meningkatkan wawasan keilmuan mahasiswa/I STF YPIB Cirebon

dan dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.

3) Bagi Masyarakat

Dapat memberikan informasi mengenai bahan alam yaitu daun salam

(Syzygyum polyanthum) yang dapat meningkatkan nilai antioksidannya

sehingga lebih baik dan efektif dalam menangkal radikal bebas yang dapat

menyebabkann berbagai penyakit.

5
1.7. Tempat dan waktu penelitian

1) Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Sekolah Tinggi Farmasi YPIB

Cirebon

2) Waktu Penelitian

Tabel 1.1. Kegiatan Tugas Akhir

N Rencana Bulan

O Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr

2020 2020 2020 2020 202 2020 2021 202 2021 2021

0 1
1 Rencana judul
2 Sidang Kompre
2 Penyusunan

Proposal
3 Seminar prosoal
4 Penelitian
5 Analisis dan

pengumpulan

data
6 Penyusunan

skripsi
7. Sidang skripsi

1.8. Hipotesis

H0 : Tidak ada pengaruh pelarut ekstrasi daun salam (Syzygyum polyanthum)

terhadap potensi antioksidan dengan metode DPPH.

H1: Ada pengaruh pelarut ekstraksi daun salam (Syzygyum polyanthum)

6
terhadap potensi antioksidan dengan metode DPPH.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Daun Salam (Syzygyum polyanthum)

Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian

daunnya. Daun salam memiliki beberapa karakteristik seperti berdaun tunggal,

pertulangan menyirip, letak berhadapan, berbentuk lonjong sampai elips atau

bundar telur, dan berwarna hijau. Daun salam memiliki tangkai yang panjangnya

0.5-1 cm, panjang daun 5-15 cm dan lebar daun 3-8 cm. Adapun fisiologi daun

salam dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(a) (b)

Gambar 2.1 Tanaman Salam (Syzygyum polyanthum)

a. (http://amp.kontan.co.id)

b. (https://www.merdeka.com/sehat/manfaat-daun-salam-kln.html1)

8
2.1.1. Klasifikasi Tanaman

Klasifikasi tanaman daun salam (Syzygyum polyanthum) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan Berbunga)

Sub divisi : Angiospermae (Berkeping dua/ dikotil)

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Syzygyum

Spesies : Syzygyum polyanthum (Wight) Walp.

(Wibowo 2019)

Salam dikenal dengan berbagai sebutan. Ditiap-tiap daerah

mempunyai nama yang berbeda-beda. Salam (Madura), Salam, Ubar serai

(melayu), Salam, Manting (Jawa), Salam, Gowok (Sunda), Kastolam

(Kangenan), Nama asing Salam Leaf (Inggris) (Hariana, 2019)

9
2.1.2. Morfologi

1) Daun

Berbentuk simpel, bangun daun jorong, pangkal daunnya tidak

bertoreh dengan bentuk bangun bulat telur (ovatus), runcing pada

ujung daun, pangkal daun tumpul (obtus), terdapat tulang cabang dan

urat daun, daun bertulang menyirip (penninervis), tepi daun rata

(integer). Daun majemukmenyirip ganda (bipinnatus) dengan jumlah

dengan jumlah anak daun yang ganjil, daging daun seperti perkamen

(perkamenetus), daunnya duduk, letak daun penumpu yang bebas

(spitulae liberae), tangal daunnya menebal dipangkal dan ujung,

beraroma wang dan baru dapat digunsksn bila sudah kering (Novianti,

2014).

2) Pohon

Berukuran sedang mencapai tinggi 30 meter dan gemang 60 cm.

Pepangan (kulit batang) berwarna coklat abu-abu, memecah dan

bersisik (Novianti, 2014).

3) Batang

Arah tumbuh batang tegak lurus (erectus), berkayu (lignosus)

biasanya keras dan kuat, bentuk btangnya bulat (teres), permukaan

batang beralur (sulcatus), cara percabanganya monopodial karena

batang pokok selalu tampak jelas, arah tumbuh cabang tegak

(fastigiatus) sebab sudut antar cabang amat kecil, termasuk dalam

10
tumbuhan menahun atau tumbuhan keras karena dapat mrncapai umur

bertahun-tahun belum juga mati (Novianti, 2014).

4) Akar

Termasuk akar tunggang (radix primaria), berbentuk sebagai

tombak (fusiformis) karena pangkalya besar dan meruncing ke ujung

dengan serabut-serabut akar sebagai percabangan atau bias disebut

akar tombak, sifatnya adalah akar tunjang karena menunjang batang

dari bagian bawah ke segala arah (Novianti, 2012).

2.1.3. Kandungan Kimia Daun Salam

Daun salam mengandung senyawa aktif seperti minyak atsiri,

tanin, flavonoid dan eugenol yang berfungsi sebagai antioksidan dan

antijamur. Kandungan gizi dalam 100 gram daun salam diantaranya 400,00

energi, 57,00 zat besi dan 8214,00 vitamin A. Daun ini sering dimanfaatkan

masyarakat sebagai bumbu dapur serta dapat digunakan obat diare, diabetes,

gatal-gatal, gangguan pencernaan dan lemah lambung. Rebusan daun salam

yang diminum setiap hari, dipercaya dapat menurunkan kolesterol darah.

Oleh Badan POM, daun salam ditetapkan sebagai salah satu dari sembilan

tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis untuk

menanggulangi masalah kesehatan tertentu.

1) Flavonoid

Flavonoid adalah istilah genetik yang digunakan untuk aromatik

senyawa geterosiklik oksigen yang berasal dari 2-phenibezopiran, 3-

11
dehydro. Antosianin (anthocyanin) adalah sub kelompok flavonoid,

yang bertanggung jawab untuk memberikan kuning, merah, dan biru

pigmen. Flavonoid yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat oksidasi

dalam katekin, leucoanthocyanidin, flavonol, flavon dan anthocyanidin

(Novianti,2014). Flavonoid mempunyai kemampuan berinteraksi

dengan DNA (deoxyribonucleid acid) bakteri. Hasil interaksi tersebut

menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri

(Nuris, 2014).

Kandungan flavonoid dan pada daun salam yaitu kurecetin dapat

menurunkan kolestrol total dan LDL kadar kolestrol dengan

menghambat sekresi Apo-B 100, dan menghambat aktivitas serta

oksidasi HMG CoA reduktase (Sutrisna, et al,. 2018).

2) Tanin

Tanin adalah glikosida cair yang berasal dari polipeptida dan ester

polimer yang dapat dihidrolisis oleh sekresi empedu (3,4,5-triniokside

asam benzoate) glucose. Tanin atau asam tanat terisolasi dari beberapa

bagian tanaman dapat ditemukan dipasar. Tanin digunakan sebagai zat

untuk saluran pencernaan atau kulit. Tanin sebagai zat yang dapat

membuat pengendapan protein membrane sel dan juga memiliki

aktivitas penetrasi kecil, sehingga dapat mempengaruhi permeabilitas

sel membran (Novianti,2014)

12
3) Minyak atsiri

Daun salam merupakan tanaman penghasil minyak atsiri

dengan presentase yang bervariasi. Minyak atsiri disebut juga

minyak eteris yaitu minyak yang mudah menguap dan

diperoleh dari tanaman dengan cara penyulingan, biasanya

tidak berwarna terutama bila masih dalam keadaan segar,

setelah terjadi proses oksidasi dan pendamaran makin lama

akan berubah menjadi gelap, untuk menghindarinya harus

disimpan dalam keadaan penuh dan tertutup rapat (Novianti,

2014)

2.1.4. Manfaat Tanaman Salam (Syzygium polyanthum)

Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)

merupakan salah satu rempah-rempah Indonesia yang digunakan

secara luas sebagai bumbu masak dan obat tradisional. Secara

empiris daun salam telah diakui berkhasiat untuk mengatasi diare,

asam urat, kencing manis, menurunkan kadar kolesterol dan

menurunkan tekanan darah (Aljamal, 2010). Beberapa khasiat ini

telah dibuktikan secara praklinis menggunakan hewan percobaan.

Beragam aktivitas dari tumbuhan obat disebabkan karena adanya

kandungan metabolit sekunder di dalamnya seperti fenolat,

alkaloid, saponin, steroid, terpenoid tannin dan sebagainya (Sarker,

2007). Fenolat merupakan golongan metabolit sekunder yang

13
distribusinya cukup luas pada tanaman. Golongan fenolat memiliki

berbagai aktivitas antioksidan, antibakteri, anti-inflamasi,

antikanker. Kandungan fenolat dalam tumbuhan berperan sebagai

antioksidan alami yang dapat menangkal berbagai oksidan dan

radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan (Balasundram, 2006).

Antioksidan dapat melindungi sel dari kerusakan oksidatif,

mencegah berbagai penyakit degenerative seperti kanker, penyakit

kardiovaskuler, katarak, diabetes, Alzheimer dan Parkinson

(Blanco, 2013). Kadar fenolat dan aktivitas antioksidan dari ekstrak

tumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya metode

ekstraksi. Pada penelitian ini dilakukan beberapa metode ekstraksi

terhadap daun salam sehingga dapat diketahui metode yang paling

tepat untuk diterapkan pada proses ekstraksi daun salam ini.

14
2.2 Simplisia

2.2.1. Deskripsi Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain,

berupa bahan yang telah dikeringkan. (Farmakope Indonesia Ed III

1979)

1) Simplisia Nabati

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh,

bagian tanaman dan eskudat tanaman selnya dengan cara tertentu

atau zat yang dipisahkan dari tanamannya atau isi sel yang

dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau zat yang

dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih

belumberupa zat kimia murni.

2) Simplisia Hewani

Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian

hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa

zat kimia murni.

3) Simplisia Mineral

Simplisia murni adalah simplisia berasal dari bumi, baik

telah diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni.

15
2.2.2. Tahap-tahap Pengolahan Simplisia

1) Pengumpulan Bahan Baku

Pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas

bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini

adalah masa panen (Gunawan, 2004).

2) Sortasi Basah

Sortasi basah adalah pemilihan hasil panen ketika tanaman

masih segar. Sortasi basah dimaksudkan untuk memisahkan

kotoran atau bahan asing serta bagian tanaman lain yang

tidak diinginkan dari bahan simplisia. Pemisahan bahan

simplisia ini bertujuan menjaga kemurnian serta mengurangi

kontaminasi awal yang dapat mengganggu proses

selanjutnya, mengurangi cemaran mikroba serta memperoleh

simplisia dengan jenis dan ukuran seragam (Kementrian

Kesehatan RI, 2015)

3) Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan

kotoran yang melekat pada bahan simplisia (Kementrian

Kesehatan RI, 2015) terutama bahan-bahan yang berasal dari

tanah dan juga bahan-bahan yang tercemar pestisida

(Gunawan, 2004). Dilakukan dengan air bersih (standar air

minum). Khusus untuk bahan yang mengandung senyawa

16
aktif yang mudah larut dlam air, pencucian dilakukan secara

cermat, terutama pada simplisia yang berada di dalam tanah

atau batang yang merambat serta daun yang melekat atau

dekat dengan permukaan tanah (Kementrian Kesehatan RI,

2015)

Pencucian sebaiknya dilakukan dengan air mengalir agar

kotoran yang terlepas tidak menempel kembali. Pencucian

bahan simplisia dalam jumlah besar dapat memilih efektif

dilakukan dalam bak bertingkat yang meneraokan konsep air

mengalir. Kotoran yang melekat pada bagian yang susah

dibersihkan dapat dihilangkan dengan penyemprotan air

bertekanan tinggi atau dengan disikat (Kementrian

Kesehatan, 2015).

4) Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia mengalami poses

perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk

memperoleh proses pengeringan dan pengepakan. Bahan

tanaman jarang sekali digunakan dalam keadaan segar,

karena mudah rusak dan tidak bias disimpan dalam waktu

yang lama. Bahan segar umumnya hanya digunakan pada

penyarian atau penyulingan minyak atsiri atau dikonsumsi

sendiri dalam jumlah kecil. Untuk keperluan stok atau

penyimpanan agar lebih praktis dan tahan lebih lama, bahan

17
perlu dikeringkan dan disimpan dalam bentuk simplisia

(kering) (Kementrian Kesehatan RI, 2015).

5) Pengeringan

Pengeringan bertujuan mengurangi kadar air agar bahan

simplisia tidak rusak dan dapat disimpan, menghentikan

reaksi enzimatis dam mencegegah pertumbuhan kapang,

jamur dan jasad renik lain. Dengan misalnya sel bagian

tanaman, maka proses metabolism (seperti sintesis dan

transformasi) terhenti sehingga senyawa aktif yang berbenuk

tidak diubah secara enzimatik. Di lain pihak ada pula bahan

simplisia tertentu yang memerlukan proes enzimatik setelah

dipetik atau di panen, sehingga diperlukan proses pelayuan

(pada suhu dan kelemaban tertentu) atau pengeringan

bertahap sebelum proses pengeringan sebenarnya. Proses

enzimatik disini perlu mengingat senyawa aktif masih berada

dalam ikatan kompleks (Kementrian Kesehatan RI, 2015).

Dikenal dengan dua macam pengeringan, yaitu

pengeringan secara ilmiah (dengan sinar matahari langsung

dan dikering anginkan) dan pengeringan buatan

(menggunakan oven, uap panas atau alat pengering lain).

6) Sortasi Kering

18
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami

proses pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-

bahan yang terlalu gosong dan bahan yang rusak. Setelah

tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia

perlu ditempatkan pada suatu wadah tersendiri agar tidak

saling bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya

(Gunawan, 2004).

7) Pengemasan dan Penyimpanan

a. Harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan

lain.

b. Tidak beracun bagi bahan yang diwadahinya maupun

bagi manusia yang menanganinya.

c. Mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran

mikroba, kotoran dan serangga.

d. Mampu melindungi bahan simplisia dari pengaruh

cahaya oksigen dan uap air (Gunawan, 2004)

19
2.3. Ekstraksi

2.3.1. Definisi Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan

masa zat aktif larut dalam cairan penyari. Penyarian dipengaruhi

oleh derajat kehalusan serbuk dan perbedaan konsentrasi yang

terdapat mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke

permukaannya, maupun pada perbedaan konsentrasi yang terdapat

lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai, oleh zat-zat yang

tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk melanjutkan

perpindahan massa. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin

besar daya dorong tersebut hingga makin cepat penyarian (Depkes,

1986).

Metode penyarian dibagi menjadi dua cara yaitu :

1. Cara dingin

a. Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakuakan dengan

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang

sesuai selama tiga sampai lima hari pada temperature kamar

terlindung cahaya, cairan penyari akan masuk kedalam sel

melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dengan

diluar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak

keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi

20
rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai

terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel

dam didalam sel. Selama pross maserasi dilakukan

pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari.

Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya

dipekatkan (Depkes, 1986). Pemilihan pelarut untuk proses

maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan

memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam

pelarut tersebut. Secara umum pelarut etanol merupakan

pelarut yang banyak digunakan dalam proses isolasi

senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan

seluruh golongan metabolit sekunder.

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian

ini adalah maserasi. Maserasi merupakan cara ekstraksi

yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskam

sesuai dengan syarat-syarat farmakope (umumnya

terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) istukan dengan

bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut

diimpan terlindung dari cahaya (mencegah reaksi yang

dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan diaduk

kembali. Waktu maserasi pada umumnya 5 hari, karena

biasanya setelah waktu tersebut, keseimbangan antara bahan

yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk

21
dalam cairan telah tercapai. Keadaan diam selama maserasi

menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Untuk

mencegahnya, dapat dilakukan dengan pengadukan, yang

bertujuan agar keseimbangan konentrasi bahan dalam cairan

cepat tercapai (Voight, 1995).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan

dengan mengalirkan cairan penyari murni melalui serbuk

simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi adalah

sebagai berikut : serbuk simplisia ditempatkan pada suatu

bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori.

Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk

tersebut, sehingga akan melarutkan zat aktif sel-sel yang

dilalui sampai mencapai keadaan jenuh (Depkes, 1986).

2. Cara panas

a. Digesti / Maserasi Kinetik

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur

ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada 40o-

50o.

Pengadukan pada maserasi kinetik bertujuan untuk

memperbanyak kontak antara bahan dan pelarut dan

mendapatkan derajat homogenitas yang tinggi. Semakin

22
cepat putaran pengaduk maka semakin besar perpindahan

panas yang terjadi pada waktu tertentu dan semakin besar

bahan dengan pelarut maka hasil yang diperoleh akan

semakin meningkat.

b. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada

temperature titik didihnya, selama waktu tertentu dan

jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya

perbandingan balik.

c. Soxhlet

Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara

serbuk simplisia ditempatkan dalam klonsong yang telah

dilapisi kertas saring sedemikian rupa, cairan penyari

dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan

dikondensasikan oleh kondensor bola menjadi molekul-

molekul cairan penyari yang jatuh kedalam klosnong

menyari zat aktif didalam simplisia dan jika cairan penyari

telah mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan turun

kembali ke labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga

terjadi sirkulasi. Ekstraksi sempirna ditandai bila cairan

23
sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau

sirkulasi telah encapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh

dikumpulkan dan dipekatkan (Depkes, 1986).

d. Infusa

lnfus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air

mendidih, temperatur terukur 96-98°C) selama waktu

tertentu (15 - 20 menit ).

e. Dekokta

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (~30°C)

dan temperatur sampai titik didih air.

2.4. Cairan ekstraksi

2.4.1. Jenis Pelarut

Jenis pelarut yang berkitan dengan polaritas dari pelarut

tersebut. Hal ini yang perlu diperhatikan dalam proses

ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama

akan lebih mudah tertarik /terlarut dengan pelarut yang

memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan

polaritas dari pelarut, tiga macam pelarut (Rohman, 2010).

1. Pelarut polar

24
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, pelarut

polar cenderung universal digunakan karena biasanya

walaupun pola, tetap dapat menyari senyawa-senyawa

dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Contoh pelarut

polar adalah : air, etanol, dan metanol

a. Air

Termasuk pelarut yang murah dan mudah

digunakan dengan pemakaian yang luas, air adalah

pelarut yang baik untuk berbagai zat, misalnya garam

alkaloid, glukosida, sakarida, dam asam tumbuh-

tumbuhan. Adapun keuntungan air sebagai pelarut:

lebih cepat melarutkan jenis-jenis gula, gom, asam

tumbuh-tumbuhan, garam mineral dan zat-zat warna.

Kerugian: hasil ekstrak yang diperoleh mudah rusak

(ditumbuhi jamur/kapang) dan tidak bertahan lama

(Syamsuni, 2005).

b. Etanol

Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu,

seperti penarikan untuk sediaan galenika yang

mengandung zat berkhasiat tertentu. Adapun

keuntungan etanol sebagai cairan penarik adalah

25
ekstrak yang dihasilkan tidak mudah ditumbuhi jamur

dan juga berguna sebagai pengawet (Syamsuni, 2005).

c. Metanol

Pelarut metanol merupaan pelarut yang paling

banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa

organik bahan alam. Metanol mampu membentuk

ikatan hidrogen dengan air dan juga dengan alkohol

lainnya sehingga memungkinkan untuk bercampur

dengan baik. Dibandingkan dengan etanol, keasaman

metanol lebih tinggi, juga sedikit lebih tinggi dari air.

2. Pelarut Semi Polar

Pelarut semi polar memiliki tingkat kepolaran lebih

rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Contoh :

kloroform dan etil asetat

a. Kloroform

Kloroform merupakan yang baik untuk alkaloid

basa, dammar, minyak lemak, dan minyak atsiri

(Syamsuni, 2005).

b. Etil asetat

Zat sintesis dari etanol dan asam asetat dengan

katalis asam sulfat melalui proses esterfikasi.

3. Pelarut non polar

26
Pelarut ini baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa

yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa

ini baik untuk mengekstraksi berbagai jenis minyak.

Contoh: Eter, n-heksana dan aseton

a. Eter

Kebanyakan zat dalam simplisia tidak larut dalam

eter, tetapi beberapa zat mempunyai kelarutan yang

baik, misalnya alkaloid basa, lemak-lemak, dammar

dan minyak atsiri (Syamsuni, 2005).

b. N-heksana

Cairan ini adalah salah satu hasil dari penyulingan

minyak tanah kasar. Merupakan pelarut yang baik untuk

lemak-lemak dan minyak-minyak (Syamsuni, 2005)

c. Aseton

Aseton merupakan pelarut untuk berbagai lemak,

minyak atsiri, dan dammar. Baunya enak dan sukar

hilang dalam sediaan (Syamsuni, 2005).

27
2.5. Evaluasi Mutu Ekstrak Daun Salam

2.5.1. Parameter Spesifik

1. Identitas

Meliputi dekripsi tata nama (nama ekstrak, nama

latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama

tumbuhan Indonesia) dan dapat mempunyai senyawa

identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas objektif

dari nama dan spesifik dari senyawa identitas.

2. Organoleptik

Meliputi penggunaan panca indra untuk

mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk kering, kental,

cair, dll), warna (kuning, coklat, dll), bau (aromatic, tidak

berbau, dll), rasa (pahit, manis, kelat, dll). Dengan tujuan

untuk pengenalan awal yang sederhana.

28
2.6. Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen

reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki

elektron yang tidak berpasangan (Minarsih, 2007). Tidak semua

spelsies oksigen reaktif adalah radikal bebas, umpamanya H2O2 &

singlet oksigen bukan radikal bebas, tetapi termasuk spesies oksigen

reaktif. Karena adanya kecenderungan mengambil sebuah elektron

dan senyawa-senyawa lain, maka spesies oksigen ini sangat reaktif

(Lautan, 1997).

Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-

macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya, ketika

komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses

metabolisme. Pada proses metabolisme ini, seringkali terjadi

kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk

radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain.

Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya

bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas.

Misalnya hidrogen peroksida (H2O2), ozon dan lain-lain. Kedua

kelompok senyawa tersebut sering diistilakan sebagai Senyawa

Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species (ROS).

(Minarsih, 2007).

Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif

dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk

29
radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil

untuk berpasangan dengan radikal bebas sebelumnya. Dalam

gerakannya yang tidak beraturan, karena sangat reaktif, radikal bebas

dapat menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel (Muhilal, 1991).

Reduksi terhadap oksigen menjadi molekul air adalah reaksi

fundamental dalam pernapasan, di mana makanan diubah menjadi

energi yang berguna untuk keperluan sel-sel dalam tubuh kita.

Penambahan berturut-turut sebanyak 4 elektron kepada oksigen akan

menghasilkan air dan juga menghasilkan radikal bebas, yang

mempunyai potensi merusak sel.

Reaksi radikal bebas sebenarnya adalah suatu mekanisme

biokimia yang normal terjadi dalam tubuh kita. Radikal bebas

biasanya hanya bersifat intermediat (perantara), dan kemudian cepat

diubah menjadi substansi lain yang tidak lagi membahayakan tubuh

kita, misalnya hormon-hormon prostaglandin yang dibentuk melalui

suatu seri reaksi radikal bebas, atau reaksi detoksifikasi racun yang

masuk ke dalam tubuh yang juga mengikutsertakan radikal bebas.

Tetapi jika pada kesempatan yang berumur sangat pendek ini, radikal

bebas bertemu DNA atau enzim atau asam lemak majemuk tak jenuh

(polyunsaturated fats), maka suatu permulaan kerusakan sel dapat

terjadi (Husaini, 1991).

30
2.7. Antioksidan

Antioksidan didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja

menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas

reaktif yang membentuk radikal bebas tidak reaktif yang tidak stabil.

Antioksidan merupakan semua bahan yang dapat menunda atau

mencegah kerusakan akibat oksidasi pada molekul sasaran. Dalam

pengeritan kimia antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi

elektron, tetapi dalam pengertian biologis 28 lebih luas lagi, yaitu

semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan,

termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam.

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies

oksigen reaktif dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat

mencegah penyakitpenyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas

seperti karsinogenesis, kardiovaskuler, dan penuaan (Siagian, 2002 ).

Jadi antioksidan merupakan senyawa yang dapat menudna,

memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti

khusus, antioksidan adalah zat yang menunda atau mencegah

terjadinya reaksi oksidasi dari radikal bebas dalam oksidasi lipid.

(Yuslianti, 2017)

31
2.7.1 Antioksidan Berdasarkan Fungsinya

Antioksidan berdasarkan mekanisme kerja dan fungsinya

dalam meredam radikal bebas dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)

yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan

tersier.

1) Antioksidan Primer

Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat

menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang

melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk dalam

golongan ini adalah yang berasal dari alam dan dapat pula

buatan antara lain: tokoferol, lesitin, fosfatida, sedamol,

gosipol, dan asam askorbat. Antioksidan alam yang paling

banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah tokoferol

yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam

bentuk α, β, γ, dan α-tokoferol, tapi α-tokoferol yang

menunjukkan keaktifan vitamin E yang paling tinggi.

Senyawa kimia yang tergolong dalam kelompok

antioksidan dan dapat ditemukan pada tanaman, antara lain

berasal dari golongan polifenol, flavanoid, vitamin C,

Vitamin E, beta karoten, katekin dan resveratrol.

Antioksidan sintetik yang banyak digunakan sekarang

adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun.

Karena itu 29 penambahan antioksidan harus memenuhi

32
beberapa syarat, misalnya tidak berbahaya bagi kesehatan,

tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan, efek pada

konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat dan

ekonomis. Empat macam antioksidan yang sering

digunakan pada bahan makanan adalah Butylated

hydroxyanysole (BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT),

Propiylgallate (PG), dan Nordihydroquairetic acid (NDGA).

2) Antioksidan Sekunder

Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat

mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan

sebagai senergik. Beberapa asam organik tertentu biasanya

asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam

(sequistran). Misalnya satu molekul asam sitrat akan mengikat

prooksidan Fe sering dilakukan pada minyak kacang kedelai

EDTA adalah sequistran logam yang sering digunakan dalam

minyak salad.

Dalam penggunaan antioksidan, harus dipikirkan bahwa

terdapat keadaan atau zat tertentu yang dapat mempermudah

terjadinya reaksi oksidasi, seperti panas, cahaya dan logam.

Selain itu, terdapat pula zat antioksidan yang kehilangan daya

antioksidannya setelah berikatan dengan oksigen sehingga

tidak berfaedah bila digunakan, terutama di dalam pemrosesan

makanan dalam sistem terbuka (Arisman, 2009).

33
3) Antioksidan Tersier

Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki

sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas.

Biasanya termasuk kelompok ini adalah jenis enzim misalnya

metion sulfoksida redukse yang dapat memperbaiki DNA

dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk memperbaiki

DNA penderita kanker.

2.8. Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat (2,3-dehidro-L-treo-jexano-1,5-

lakton) denganrumus formula C6H8O6. Asam askorbat merupakan

senyawa asam, tidak berbau, berbentuk kristal putih, larut dalam air,

etanol, dan metanol. Asam askorbat stabil pada titik leleh 182 oC dalam

bentuk serbuk, sedangkan dalam bentuk larutan mudah rusak oleh

cahaya, suasana alkalis, serta udara. Kebutuhan asam askorbat menurut

Recommended Dietry Allowance (RAD) untuk laki-laki 90 mg/hari,

perempuan 75mg/hari, dan maksimal 2.000 mg/hari. (Yulistiani, 2017)

Vitamin C atau asam askorbat merupakan antioksidan yang larut

dalam air (aqueous antioxidant) dan disintesis dari glukosa. Sebagai

antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara

memindahkan satu elektron ke senyawa logam. Penelitian secara in

vitro mengemukakan bahwa vitamin C berperan sebagai agen pereduksi

34
intraseluler dan ekstraseluler. Reaksi ini melibatkan terjadinya transfer

elektron dari askorbat lalu membentuk radikal askorbil atau terjadi

pengurangan dua elektron sehingga membentuk asam dehidroaskorbat.

Setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa dengan elektron

tidak berpasangan) serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi kembali

menjadi asam askorbat dikatalisis oleh enzim 4-hidroksifenilpiruvat

dioksigenase meskipun didalam tubuh manusia, reduksinya hanya

terjadi secara persial. (Yuslianti, 2017)

Vitamin C merupakan antioksidan utama dalam plasma yang

melawan radikal peroksil yang larut dalam air serta melawan produk

hasil peroksidasi lipid. Selain itu, sebagai antioksidan ekstraseluler,

vitamin C dapat mengurangi terjadinya adhesi monosit terhadap endotel

serta menghambat agregassi platelet dan leukosit. Vitamin C dapat

meningkatkan fungsi imun dengan menstimulasi produksi interferon

(protein yang melindungi sel dari serangan virus). Vitamin ini dapat

menstimulasi kemotaksis dan respons poliferasi netrofil serta

melindungi sel dari radikal bebas yang diproduksi oleh netrofil

teroksidasi. (Yuslianti, 2017)

35
2.9. Metode Uji Antioksidan

1. Metode DPPH

DPPH (2-2 difenil-1-pikrilhidrazil) adalah senyawa radikal

bebas yang stabil berwarna ungu yang ditemukan pada tahun 1992.

DPPH dapat bereaksi dengan senyawa yang dapa mendonorkan

atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian aktivitas antioksidan

komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Keberadaan senyawa

antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu

menjadi kuning. DPPH merupakan metode sederhana yang dapat

digunakan untuk menguji kandungan antioksidan karena

pengerjaannya mudah, murah, dan cepat untuk pengujian

antioksidan senyawa tertentu atau ekstrak tanaman (Dehpour., et al,

2009).

Tingkat kekuatan antioksidan senyawa uji menggunaan metode

DPPH dapat digolongkan menurut nilai IC50 (Inhibitor

Concentration) yang tercantum pada tabel berikut :

36
Tabel 2.1 Tingkat Kekuatan Antioksidan Dengan Metode DPPH

Intensitas Nilai IC50

Sangat Kuat

< 50µg/ml

Kuat

50-100µg/ml

Sedang

101-150µg/ml

Lemah

>150µg/ml

Metode peredaman radikal bebas DPPH adalah suatu

pengujian yang dilakukan untuk melihat aktivits antioksidan suatu

senyawa. Aktivitas antioksidan adalah kemampuan suatu senyawa

atau ekstrak untuk mrnghambat reaks oksidasi yang dapat

dinyatakan dengan persen penghambatan. Parameter yang dipakai

untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah konsentrasi inhibisi

(IC50) yaitu konsentrasi suatu bahan antioksidan yang daapat

menyebabkan 50% radikal bebas DPPH kehilangan karakter

radikal. Bahan yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan

mempunyai IC50 yang rendah (Endrini, 2009).

37
2.10. Spektrofotometri

2.10.1. Defisini Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan salah satu cabang

analisis instrumental yang membahas tentang interaksi

atom atau molekul radiasi elektromagnetik (REM).

Komponen pokok dari spektrofotometri meliputi sumber

tenaga radiasi yang stabil, sistem yang terdiri atas lensa-

lensa, cermin, celah-celah, monokromotor untuk

mengubah radiasi menjadi komponen-komponen panjang

gelombang tunggal, tempat cuplikan yang transparan dan

detektor radiasi yang di hubungkan dengan sisitem meter

atau pencatat.

Spektrum UV–Vis merupakan hasil interaksi

radiasi UV-Vis terhadap molekul yang mengakibatkan

molekul mengalami transisi elektronik, sehingga disebut

spektrum elektronik. Hal ini didapat karena adanya gugus

berikatan rangkap atau terkonyugasi yang mangabsorbsi

radiasi elektromagnetik didaerah UV-Vis (Mulja, 1995).

Spektrofotometri UV-Vis merupakan metode yang

digunakan untuk menguji sejumlah cahaya yang

diabsorpsi pada setiap panjang gelombang di daerah

ultraviolet dan tampak. Dalam instrument ini suatu sinar

cahaya terpecah sebagian cahaya diarahkan melalui sel

38
transparan yang mengandung pelarut. Ketika radiasi

elektromagnetik dalam daerah UV-Vis melewati suatu

senyawa yang mengandung ikatan-ikatan rangkap,

sebagian dari radiasi biasanya diabsorpsi oleh senyawa.

Hanya beberapa radiasi yang diabsorpsi, tergantung pada

panjang gelombang dari radiasi dalam struktur senyawa.

Absorpsi radiasi disebabkan oleh pengurangan energi

cahaya radiasi ketika electron dalam orbital dari rendah

tereksitasi keorbital energi tinggi.

2.10.2. Bagian Spektrofotometer

1) Sumber radiasi

Beberapa sumber radiasi yang dipakai pada

spektrofotometer adalah lampu deuterium, lampu

tungstein, dan lampu merkuri. Sumber-sumber radiasi

ultra lembayung yang kebanyakan dipakai adalah

lampu hydrogen dan lampu deuterium (D2). Disamping

itu sebagai sumber radiasi ultra lembayung yang lain

adalah lampu xenon. Kejelekannya lampu xenon tidak

memberikan radiasi yang stabil seperti lampu

deuterium.

Lampu deuterium dapat diapakai pada panjang

gelombang 180 nm sampai 370 nm ( daerah ultra

lembayung dekat ).

39
Lampu tungstein merupakan campuran dari

filament tungstein gas iodine (halogen), oleh sebab itu

sebagai lampu tungstein-iodin pada panjang

spektrofotometer sebagai sumber radiasi pada daerah

pengukuran sinar tampak dengan rentangan panjang

gelombang 380-900 nm. Lampu merkuri adalah suatu

lampu yang mengandung uap merkuri tekanan rendah

dan biasanya dipakai untuk mengecek, mengkalibrasi

panjang gelombang pada spektrofotometer pada daerah

ultra lembayung khususnya daerah disekitar panjang

gelombang 365 nm dan sekaligus mengecek resolusi

monokromator.

2) Monokromator

Monokromator berfungsi untuk mendapatkan

radiasi monokromatis dari sumber radiasi yang

memancarkan radiasi polikromatis. Monokromator

pada spektrofotometer biasanya terdiri dari susunan

meliputi celah (slit) masuk-filter-prisma-kisi(grating)-

celah keluar.

a. Celah (Slit)

Celah monokromator adalah bagian yang

pertama dan terakhir dari suatu sistem optik

40
monokromator pada spektrofotometer. Celah

monokromator berperan penting dalam hal

terbentuknya radiasi monokromatis dan resolusi

panjang gelombang.

b. Filter optic

Cahaya tampak yang merupakan radiasi

elektromagnetik dengan panjang gelombang 380-

780 nm merupakan cahaya putih yang merupakan

campuran cahaya dengan berbagai macam panjang

gelombang. Filter optik berfungsi untuk menyerap

warna komplomenter sehingga cahaya tampak yang

diteruskan merupakan cahaya yang berwarna sesuai

dengan warna filter optik yang dipakai.

c. Prisma dan Kisi (grating)

Prisma dan kisi merupakan bagian

monokromator yang terpenting. Prisma dan kisi

pada prinsipnya mendispersi radiasi

elektromagnetik sebesar mungkin supaya

didapatkan resolusi yang baik dari radiasi

polikromatis.

3) Sel / Kuvet

Kuvet atau sel merupakan wadah sampel yang

dianalisis. Kuvet ini bentuk biasanya terbuat dari quarts

41
atau leburan silika dan ada yang dari gelas dengan

bentuk tabung empat persegi panjang 1x1 cm, dengan

tinggi kurang lebih 5 cm. Pada pengukuran di daerah

ultra lembayung dipakai quarts atau leburan silika,

sedang kuvet dari gelas tidak dipakai, sebab gelas

mengabsorpsi sinar ultra lembayung.

4) Detektor

Detektor merupakan salah satu bagian dari

spektrofotometer yang penting oleh sebab itu detektor

akan menentukan kualitas dari spektrofotometer adalah

merubah signal elektronik.

5) Amplifier

Amplifier dibutuhkan pada saat sinyal listrik

elekronik yang dilahirkan setelah melewati detektor

untuk menguatkan karena penguat 39 dengan resistensi

masukan yang tinggi sehingga rangkaian detektor tidak

terserap habis yang menyebabkan keluaran yang cukup

besar untuk dapat dideteksi oleh suatu alat pengukur.

42
2.10.3. Prinsip Kerja Spektofotometri

Sampel

Disinari Sumber Cahaya

Mengasilkan Banyak
Cahaya

Monokromator Menghasilkan Cahaya Tunggal

Ekstrak

Detektor

Absorbansi

Gambar 2.2.Prinsip Kerja Spektrofotometri

43
2.11. IC50 (Inhibitory Concentration)

IC50 merupakan konsentrasi suatu senyawa yang dapat

menyebabkan aktivitas antioksidan DPPH berkurang 50%. Nilai

IC50 adalah parameter dalam menentukan aktivitas antioksidan.

Setelah didapatkan persamaan regresi linier, disubstitusikan nilai Y

dalam persamaan Y = a + bX dengan nilai Y sebesar 50 dan nilai X

yang akan diperoleh sebagai IC50.

Y = a + bX

Keterangan :

Y : Variabel dependen (50)

X : Variabel independen

a : intercept, perbedaan besarnya rata-rata variabel Y ketika

variabel X = 0

b : slope, perkiraan besarnya perubahan nilai varibabel Y bila nilai

X berubah satu unit pengukuran

44
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

3.1.1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan elemen, atau unit elementer, atau

unit penelitian tertentu yang dijadikan objek suatu penelitian.

Polpulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman

salam (Syzygyum polyanthum) dan radikal bebas.

3.1.2. Sampel dan Teknik Sampling

1) Sampel

Sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang

diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili

populasi. (Suryabrata, 2013)

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

salam (Syzygyum polyanthum) dan larutan DPPH.

2) Teknik Penarikan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode random sampling

yaitu pengambilan secara acak tanpa memperhatikan starta dalam

populasi itu. (Sugiyono, 2009)

45
3.1.3. Variabel Penelitian dan Operasional Variabel

Menurut sugiyono (2009), macam-macam variabel dengan

penjelasannya sebagai berikut :

1) Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu kualitas dimana peneliti mempelajari

dan menarik kesimpulan darinya. Variabel dalam suatu

penelitian terdiri dari variabel bebas (independent), variabel

terikat (dependent) dan variabel kontrol.

a. Variabel Bebas

Variabel bebas merupakan variable resiko, sebab,

atau yang mempengaruhi variable terikat. Variabel bebas

dalam penelitian ini adalah pelarut pada ekstraksi daun

salam (Syzygyum Polyanthum) yaitu air, etanol 70% dan n-

heksana.

b. Variabel Terikat

Variabel terikat merupakan akibat, efek, atau yang

dipengaruhi setelah diberi perlakuan. Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah potensi antioksidan dengan metode

DPPH dengan melihat nilai IC50.

c. Variabel Kontrol

Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan

atau dibuat dalam keadaan konstan sehingga tidak

mempengaruhi variabel utama yang diteliti. Variabel ini

46
terutama digunakan pada metode ekperimen yang bersifat

membuat perbandingan (Sugiyono, 2009). Variabel kontrol

dalam penelitian ini adalah Vitamin C (asam askorbat)

sebagai baku banding antioksidan.

2) Operasional Variabel

X1

X2
Y
X3

K+

Gambar 3.1 Operasional Variabel

Keterangan :

X1 : Maserasi kinetik dengan pelarut air

X2 : Maserasi kinetik dengan pelarut etanol 70%

X3 : Maserasi kinetik dengan pelarut n-heksana

K+ : Kontrol positif (Vitamin C)

Y : Aktivitas antioksidan

47
3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis eksperimen.

Penelitian eksperimen yaitu jenis penelitian yang digunakan untuk melakukan

sebuah percobaan yang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan saling

berhubungan sebab-akibat dengan cara mengenakan kepala satu atau lebih

kelompok eksperimental satu atau lebih kondisi perlakuan dan

membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak

dikenal kondisi perlakuan. (Suryabrata, 2013)

48
3.3. Desain Penelitian
Determinasi Tanaman
Salam(Syzygyum polyanthum)

Pengumpulan Bahan

Pembuatan Simplisia

Persiapan Alat dan Bahan

Pembuatan Ekstrak Daun


Salam (Syzygyum
polyanthum)

Maserasi dengan Maserasi dengan Maserasi dengan


Pelarut Etanol 70% pelarut Air Pelarut N-heksana

Skrining Fitokimia

Uji Potensi Antioksidan Pada Ekstraksi


Daun Salam dengan Metode DPPH

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Kesimpulan

Bagan 3.2 Desain Penelitian

49
3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Alat Penelitan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Spektrofotometer UV-Vis, blender, batang pengaduk,hotplate stirrer,

spatel, maserator, kain flanel, alumunium foil, beaker glass, gelas ukur,

labu ukur, timbangan digital, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas

ukur, pipet tetes, corong kaca, evaporator,cawan penguap, waterbath

dan kertas saring.

3.4.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun

salam (Syzygyum polyanthum), serbuk vitamin C, serbuk DPPH, air,

etanol 70% dan n-heksana.

3.5. Langkah Kerja

3.5.1. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman daun salam (Syzygyum polyanthum)

dilakukan untuk mencocokan ciri-ciri morfologi yang ada pada tanaman

daun salam. Determinasi tanaman daun salam (Syzygyum polyanthum)

dilakukan di laboratorium STF YPIB Cirebon di Jalan Perjuangan

Majasem, Kota Cirebon dengan menggunakan literature buku karya

C.G.G.J. Van Steenis (1978) Flora untuk Sekolah Di Indonesia.

50
3.5.2. Pengumpulan Bahan

Bahan berupa daun salam (Syzygyum Polyanthum) di dapatkan

dari Desa Sindangwangi, Kabupaten Majalengka. Dari tanaman salam

(Syzygyum polyanthum) yang diambil dan dipilih adalah daunnya.

3.5.3. Pembuatan Simplisia

Tanaman daun salam (Syzygyum polyanthum) yang diperoleh

dari Desa Sindangwangi, Kabupaten Majalengka. Dan dibuat

simplisia dengan cara :

1) Mengambil sampel 1 kg daun salam (Syzygyum polyanthum) yang

segar.

2) Lakukan sortasi basah dan cuci pada air mengalir sampai bersih,

tiriskan.

3) Lakukan perajangan dan selanjutnya dijemur dibawah sinar

matahari langsung sampai menjadi simplisia.

4) Simplisia dihaluskan dengan cara di blender

5) Simpan pada wadah plastik tertutup rapat dan suhu sejuk.

51
3.5.4. Pembuatan Ekstrak Daun Salam dengan Pelarut Air, Etanol 70%

dan N-heksana

1. Siapkan 3 maserator dan tandai masing-masing maserator.

maserator 1 pelarut air, maserator 2 pelarut etanol 70% dan

maserator 3 pelarut n-heksana.

2. Timbang 20 gram simplisia daun salam sebanyak 3 kali.

3. Masukan kedalam masing-masing maserator.

4. Masukan masing-masing pelarut kedalam maserator.

- Masukan pelarut air sebanyak 200 ml kedalam maserator 1

- Masukan pelarut etanol 70% sebanyak 200 ml kedalam

maserator 2

- Masukan pelarut n-heksana sebanyak 200 ml kedalam

maserator 3

5. Lalu panaskan dan melalukan pengadukan dengan stirrer

kecepatan 100 rpm selama 120 menit pada suhu 40o C.

6. Diamkan selama 1 x 24 jam

7. Melakukan penguapan masing-masing ekstrak sampai diperoleh

ekstrak kental.

8. Dihitung rendemen keringnya.

9. Melakukan skrining fitokimia dan uji antioksidan dengan masing-

masing ekstrak (Qoyyimah, 2012).

52
3.5.5. Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Salam (Syzygyum polyanthum)

dari masing-masing pelarut air, etanol 70% dan n-heksana

a. Uji Flavonoid

1) Ditimbang 5 mg ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum).

2) Ditambahkan 0,1 gram serbuk Mg.

3) Ditambahkan 1 ml HCL pekat.

4) Ditambahkan 2 ml amil alkohol.

5) Larutan dikocok secara perlahan dan biarkan memisah.

6) Warna yang terbentuk pada lapisan amil alkohol menunjukan

adanya golongan flavonoid.

b. Uji Alkaloid

1) Ditimbang 5 mg ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum).

2) Ditimbang 2 tetes ammonia.

3) Ditambahkan 5 ml kloroform.

4) Larutan disaring dan diambil filtratnya.

5) Ditambahkan 1 ml H2SO4 2M.

6) Ditambahkan pereaksi Dragendorf.

7) Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan merah.

c. Uji Saponin

1) Ditimbang 5 mg ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum).

2) Ditambahkan 5 ml aquadest dan disaring.

3) Filtrat yang diperoleh dikocok kuat dan dibiarkan selama 10

menit.

53
4) Terbentuknya busa yang stabil menunjukan adanya senyawa

saponin.

3.5.6. Uji Potensi Antioksidan Ekstrak Daun Salam (Syzygyum

polyanthum) Dengan Metode DPPH

Uji potensi antioksidan pada penelitian ini dilakukan pada Daun

Salam (Syzygyum polyanthum) adapun langkah-langkahnya yaitu :

1. Pembuatan Larutan (Persiapan Awal)

a. Pembuatan Larutan DPPH

1) Timbangan 10 mg DPPH.

2) Larutkan dengan etanol 70% hingga 100 mL dalam labu

ukur kemudian kocok hingga homogen sehingga diperoleh

larutan dengan konsentrasi 100 ppm.

3) Simpan ditempat gelap.

b. Pembuatan Larutan Vitamin C

1) Timbang 10 mg serbuk vitamin C murni, larutkan dengan

etanol 70% hingga 100 mL dalam labu ukur.

2) Kemudian kocok hingga homogen sehingga diperoleh

larutan 100 ppm (larutan induk).

3) Kemudian dari larutan induk dibuat larutan dengan

konsentrasi : 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm dan 10 ppm

dengan cara masing-masing 0,2 mL ; 0,4 mL ; 0,6 mL ;

54
0,8 mL ; dan 1 mL, lalu ditambahkan dengan alkohol 70%

sampai volume 10 mL.

c. Pembuatan Larutan Blanko

1) Masukan 2 mL larutan DPPH ke dalam tabungan reaksi,

kemudian tambahkan etanol 70% sebanyak 2 mL

2) Lalu kocok hingga homogen dan disimpan di tempat gelap

selama 30 menit.

d. Pembuatan larutan sampel ekstrak daun salam dengan masing-

masing pelarut air, etanol 70% dan n-heksana

1) Membuat larutan induk ekstrak daun salam dengan

konsentrasi 500 ppm dengan cara menimbang sampel

sebanyak 0,05 gram dari masing-masing ekstrak daun

salam kemudian dicampurkan dengan alkohol 70% sampai

volume 100 mL.

2) Kemudian dari larutan itu dibuat larutan dengan beberapa

seri konsentrasi yaitu 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm,

dan 100 ppm dengan cara memipet masing-masing 0,1 mL,

lalu dicampurkan dengan alkohol 70% sampai volume 10

mL.

55
2. Pengukuran Potensi Antioksidan

a. Pengukuran potensi antioksidan vitamin C terhadap radikal

bebas DPPH

1) Sebanyak 2 mL larutan vitamin C dengan konsentrasi 2

ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan 10 ppm.

2) Masing-masing ditambahkan 2 mL larutan DPPH

(perbandingan larutan vitamin C dengan larutan DPPH

adalah 1:1), dikocok hingga homogen lalu disimpan

ditempat gelap selama 30 menit.

3) Setelah itu absorbansi diukur dengan spektrofotometri UV-

Vis pada panjang gelombang maksimum 517 nm

(Molyneux, 2004).

b. Pengukuran aktivitas antioksidan sampel terhadap radikal

bebas DPPH

1) Sebanyak 2 ml larutan seri sampel untuk masing-masing

konsentrasi yaitu 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 100

ppm ditambahkan 2ml larutan DPPH (perbandingan

larutan sampel dengan larutan DPPH adalah 1:1), lalu

campuran dihomogenkan dan disimpan ditempat gelap

selama 30 menit pada suhu ruangan.

56
2) Setelah itu absorbansi diukur dengan spektrofotometer

UV-Vis pada panjang gelombang maksimumnya yaitu 517

nm (Molyneux, 2004).

c. Perhitungan persentase inhibisi

Nilai absorbansi yang diperoleh masing-masing larutan

kemudian dihitung persentase (%) inhibisi menggunakan

rumus sebagai berikut :

Absorbansi blanko-Absorbansi sampel


% Inhibisi = X 100%
Keterangan: Absorbansi blanko

d. Penentuan persamaan regresi linear

Persamaan regresi linier ditentukan dengan

menggunakan metode kurva baku menggunakan program

Microsoft Excel.

Langkah-langkahnya yaitu :

1) Buatlah tabel data setiap pengenceran konsentrasi larutan

dengan persentase inhibisinya.

2) Ubah tabel tersebut menjadi bentuk kurva garis yang

bertitik (tipe kurva nya yaitu scatter with smooth lines and

markers) dengan konsentrasi seri larutan sebagai sumbu X

dan persentase inhibisinya sebagai sumbu Y.

57
3) Tentukan persamaan regresi linear dengan mengaktifkan

format data analis kemudian regression. Pada hasil akan

muncul nilai intercept sebagai nilai b dan variabel x

sebagai nilai a.

4) Persamaan regresi linear dan nilai R2 secara otomatis akan

muncul pada layar dengan mengaktifkan format trendline,

equation on chart dan R-squared value pada kurva garis

data. Nilai koefisien kolerasi r dapat diperoleh dengan

mengaktifkan fungsi correl.

e. Penentuan Nilai IC50 (Inhibition Concentrarion)

Langkah-langkah menentukan nilai IC50 (Inhibition

Concentrarion) yaitu :

1. Pastikan nilai koefisien determinasi R2 dan koefisien

korelasi r dari data yang diperoleh sudah memenuhi syarat

nilai yang menyatakan adanya kolerasi.

2. Dihitung nilai x sebagai nilai IC50 dengan mensubsitusi y =

50 menggunakan persamaan regresi linier yang sudah

diperoleh.

3. Tentukan kriteria tingkat kekuatan antioksidan sampel

dengan membandingkan nilai IC50 yang diperoleh dengan

nilai IC50 pada literature.

58
59
3.6. Sumber Data dan Alat Pengumpulan Data

3.6.1. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang

diteliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari

hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium STF YPIB

Cirebon dengan menguji aktivitas antioksidan Daun Salaam

(Syzygyum Polyanthum) dengan metode DPPH.

a. Nilai absorbansi larutan

b. Nilai persentase (%) inhibisi

c. Nilai koefisien determinasi R2 dan koefisien kolerasi r

d. Peramaan regresi linear dan kurva baku

e. Nilai IC50

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk data

yang sudah jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi. Data

sekunder diperoleh dari berbagai macam bahan pustaka (litertur

study) dan jurnal penelitian ilmiah yang berhubungan dengan uji

aktivitas antioksidan Daun Salam (Syzygyum Polyanthum)

terhadap kandungan antioksidannya.

60
3.6.2. Alat Pengumpulan Data

Data primer dalam penelitian ini yang meliputi absorbansi larutan

diperoleh dan dikumpulkan menggunakan alat Spektrofotometer UV-

Vis.

3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

3.7.1. Teknik Pengolahan Data

Data absorbansi yang diperoleh dari ekstrak larutan blanko,

vitamin C, ekstrak daun salam baik yang menggunakan pelarut air,

etanol 70% dan n-heksana untuk larutan ekstrak kemudian

dikumpulkan. Selanjutnya diolah menggunakan metode analisa regresi

linear dengan beberapa tahapan sebagai berikut :

1. Hitung persentase (%) inhibisi menggunakan rumus.

2. Buatlah sebuah tabel dan kurva baku yang menyatakan kolerasi

larutan dengan persentase inhibisinya.

3. Tentukan nilai R2 dan persamaan regresi linearnya untuk

mendapatkan nilai a dan b pada persamaan umum regresi linear.

4. Hitung nilai x sebagai konsentrasi inhibisi IC 50 dengan

mensubtitusi nilai y = 50 pada persamaan regresi linear.

61
3.7.2. Teknik Analisa Data

Dari pesamaan regresi linear yang diperoleh dapat dihitung nilai IC50

sebagai x dengan mensubstitusi y dengan nilai 50 (konsentrasi inhibisi

50%).

1. Metode penentuan persamaan regresi linear

Metode penentuaan persamaan regresi linear ditentukan dengan

menggunakan metode kurva baku menggunakan Microsoft Exel.

Langkah-langkahnya yaitu :

a. Buatlah tabel data setiap pengenceran konsentrasi larutan

dengan persentase inhibisinya.

b. Ubah tabel tersebut menjadi bentuk kurva garis yang tertitik

(tipe kurva nya yaitu scatter with smooth lines and markers)

dengan konsentrasi larutan sebagai sumbu x dan persentase

inhibisinya sebagai sumbu y.

c. Tentukan persamaan regresi linear dengan mengaktifkan

format data analys kemudian regression. Pada hasil akan

muncul nilai intercept sebagai nilai b dan variabel x sebagai

nilai a.

d. Persamaan regresi linear dan nilai R2 secara otomatis akan

muncul pada layar kurva dengan mengaktifkan format

trendline, equation on chart dan R-squared value pada garis

data. Nilai koefisien korelasi r dapat diperoleh dengan

mengaktifkan fungsi correl.

62
2. Penentuan Nilai IC50 (Inhibition Concentration)

Langkah-langkah menentukan nilai IC50 (Inhibition

Concretation) yaitu :

a. Pastikan nilai koefisien determinasi R2 dan koefisien korelasi r

dari data yang diperoleh sudah memenuhi syarat nilai yang

menyatakan adanya kolerasi.

b. Dihitung nilai x sebagai nilai IC50 dengan mensubtitusi y = 50

menggunakan persamaan regresi linear yang sudaah diperoleh.

c. Tentukan kriteria tingkat kekuatan antioksidan sampel dengan

membandingkan nilai IC50 yang diperoleh dengan nilai IC50

pada literatur.

63
3.8. Format Data Hasil Pengamatan

3.8.1. Rencana Pengumpulan Data Hasil Seri Konsentrasi

Tabel 3.1 Rencana pengumplan data hasil seri konsentrasi dari vit C.

Seri Konsentrasi (ppm) Absorbansi


2
4
6
8
10

Tabel 3.2 Rencana pengumpulan data hasil seri konsentrasi ekstrak

Daun Salam (Syzygyum Polyanthum) pelarut air

Seri Konsentrasi (ppm) Absorbansi


10
20
40
60
100

Tabel 3.3 Rencana pengumpulan data hasil seri konsentrasi ekstrak

Daun Salam (Syzygyum Polyanthum) pelarut etanol 70%

Seri Konsentrasi (ppm) Absorbansi


10
20
40
60
100

64
Tabel 3.4 Rencana pengumpulan data hasil seri konsentrasi ekstrak

Daun Salam (Syzygyum Polyanthum) pelarut n-heksana

Seri Konsentrasi (ppm) Absorbansi


10
20
40
60
100

65
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Hasil Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman terlebih dahulu dilakukan untuk

mengetahui identitas tanaman yang digunakan. Determinasi tanaman

ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Sekolah Tinggi

Farmasi Yayasan Pendidikan Imam Bonjol Cirebon. Hasil

determinasi menunjukan bahwa sampel yang digunakan merupakan

Syzygyum polyanthum dari family Myrtaceae dapat dilihat pada

lampiran 1.

4.1.2. Hasil Pengumpulan Bahan

Bagian tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah

Daun Salam (Syzygyum polyanthum). Tanaman Salam yang

menjadi sampel adalah tanaman salam yang tumbuh di Daerah

Sindangwangi Kabupaten Majalengka, sebanyak 1 kg dan bahan

lainnya diperoleh dari Laboratorium Farmasetika dan Laboratorium

Kimia Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon.

4.1.3. Hasil Proses Pembuatan Simplisia

Proses pembuatan simplisia Daun Salam (Syzygyum

polyanthum) disortasi basah untuk dipisahkan dari bagian yang tidak

66
diinginkan dalam penelitian. Daun salam kemudian dicuci

menggunakan air mengalir hingga bersih, kemudian dijemur

dibawah sinar matahari dan ditutupi kain berwarna hitam,

pengeringan bertujuan untuk menghentikan reaksi enzimatik yang

menyebabkan penguraian atau perubahan kandungan kimia yang

terdapat dalam Daun Salam, setelah kering dihasilkan simplisia

kering sebanyak 680 gram kemudian diblender menghasilkan serbuk

simplisia sebanyak 500 gram dan disimpan diwadah tertutup.

4.1.4. Hasil Pembuatan Ekstrak Daun Salam (Syzygyum polyanthum)

Proses ekstraksi serbuk simplisia Daun Salam (Syzygyum

polyanthum) dilakukan dengan cara maserasi kinetik. Maserasi

kinetik dipilih karena proses pengerjaan mudah dan memerlukan

waktu yang cepat. Maserasi kinetic dilakukan dengan

mengekstraksi simplisia Daun Salam dengan menggunakan pelarut

air, etanol 70% dan n-heksana sebanyak 200 ml untuk masing-

masing pelarut.

67
1. Pelarut Air

Maserasi Kinetik Jumlah


Perendaman selama 24 jam 20 gram + 200 ml air

didapatkan ekstrak

cair sebanyak 200 ml

kemudian diuapkan

menggunakan rotary

evaporator didapatkan

hasil 100 ml, diuapkan

lagi dengan waterbath

didapatkan hasil 94,88

ekstrak kental.

Hasil rendemen = Berat ekstrak total X 100%

Berat simplisia

= 94,33 gram X 100% = 4,71%

20 gram

68
2. Pelarut Etanol 70%

Maserasi Kinetik Jumlah


Perendaman selama 24 jam 20 gram + 200 ml

etanol 70% didapatkan

ekstrak cair sebanyak

180 ml kemudian

diuapkan dengan

rotary evaporator

didapatkan hasil 45

ml, diuapkan lagi

dengan waterbath

didapatkan hasil 23,72

ekstrak kental.

Hasil rendemen = Berat ekstrak total X 100%

Berat simplisia

= 23,72 gram X 100% = 1,18 %

20 gram

69
3. Pelarut n-heksana

Maserasi Kinetik Jumlah


Perendaman selama 24 jam 20 gram + 200 ml m-

heksana didapatkan

ekstrak cair 150 ml

kemudian diuapkan

menggunakan rotrary

evaporator didapatkan

hasil 40 ml, diuapkan

lagi dengan waterbath

didapatkan hasil 4,13

gram ekstrak kental.

Hasil rendemen = Berat ekstrak total X 100%

Berat simplisia

= 4,13 gram X 100% = 0,20 %

20 gram

70
4.1.5. Hasil Rendemen dari Ekstrak Daun Salam (Syzygyum

polyanthum)

Tabel 4.1 Hasil Rendemen Ekstrak Daun Salam (Syzygyum

polyanthum)

Metode Pelarut Berat Jumlah Berat Rendemen

Ekstraksi Sampel Pelarut Ekstrak

Maserasi Air 20 g 200 ml 94,88 4,71%

kinetik

Maserasi Etanol 20 g 200 ml 23,72 1,18%

kinetik 70%

Maserasi N-heksana 20 g 200 ml 4,13 0,20%

kinetik

Tabel 4.1 menunjukan bahwa rendemen tertinggi dihasilkan

pada ekstrak pelarut air yaitu 4,71% yang sangat berbeda dengan

ekstrak pelarut etanol 70% yaitu 1,18% dam pelarut n-heksana

0,20%. Jumlah rendemen pada ekstrak daun salam bergantung

pada sifat kepolaran jenis pelarut.

71
RENDEMEN
5.00%
4.00%
3.00%
2.00%
1.00%
0.00%
Air Etanol 70% N-heksana

Grafik 4.1 Diagram Batang Hasil Rendemen Pelarut Air, Etanol

70% dan N-heksana.

4.1.6. Hasil Organoleptis Ekstrak Daun Salam (Syzygyum polyanthum)

Tabel 4.2 Hasil Organoleptis Ekstrak Daun Salam (Syzygyum

polyanthum) Dari Pelarut Air, Etanol 70% dan N-

heksana

JENIS SEDIAAN Pelarut Organoleptis

Bau Bentuk Warna

Ekstrak Daun Air Khas Kental Coklat

Salam Aromatik muda


Ekstrak Daun Etanol 70% Khas Kental Coklat

Salam Aromatik pekat


Ekstrak Daun N-heksana Khas Kental Hijau

72
Salam Aromatik

73
4.1.7. Hasil Identifikasi Kandungan Senyawa Kimia

Tabel 4.3 Hasil identifikasi Kandungan Senyawa Kimia

NO Ekstrak Daun Salam Golongan Golongan Golongan

Senyawa Senyawa Senyawa

Flavonoid Alkaloid Saponin


1 Air Positif Positif Positif
2 Etanol 70% Positif Positif Positif
3 N-heksana Positif Positif Negatif

4.1.8. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Secara Kualitatif

Pengujian aktivitas antioksidan seacara kualitatif dilakukan

dengan menggunakan metode DPPH (2-2-difenil-1-pikrilhidrazil).

Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan secara kualitatif

menggunakan metode DPPH ini adalah adanya perubahan intensitas

warna ungu DPPH yang sebanding dengan konsentrasi larutan

DPPH tersebut. Pada metode ini DPPH bertindak sebagai radikal

bebas yang akan berkaitan dengan senyawa antioksidan pada ekstrak

Daun Salam (Syzygyum polyanthum). Radikal bebas DPPH yang

memiliki elektron tidak berpasangan akan memberikan warna ungu.

Warna akan berubah menjadi kuning saat elektronnya berpasangan.

74
4.1.9. Hasil Absorbansi % Inhibisi dan IC50
Absorbansi blanko-Absorbansi sampel
% Inhibisi = X 100%
Absorbansi blanko

1. Vitamin C

2 ppm = 0,847-0,525 x 100% = 38,016

0,847

4 ppm = 0,847-0,512 x 100% = 39,016

0,847

6 ppm = 0,847-0,495 x 100% = 41,558

0,847

8 ppm = 0,847-0,482 x 100% = 43,093

0,847

10 ppm = 0,847-0,471 x 100% = 44,391

0,847

IC50 a y = ax + b

50 = 0,815x + 36,434

x = 50-36,434

0,815

x = 16,645

75
Konsentrasi Absorbansi % Persamaan IC50 Kriteri
(ppm) Blank Vit C Inhibis Regresi (ppm) a
o i Linear
2 0,525 38,016
4 0,512 39,551 y=0,815 + Sangat
6 0,847 0,495 41,558 36,434 16,64 kuat
8 0,482 43,093 R2 = 0,995 5
10 0,471 44,391

vit c
46
44 f(x) = 0.81 x + 36.43
42 R² = 0.99
inhibasi
inhibasi

40
Linear (inhibasi)
38
36
34
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
konsentrasi

Grafik 4.2 Kurva Regresi Linear antara Konsentrasi dan %

Inhibisi Vitamin C

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat hasil regresi

linear dari vitamin C yang didapatkan yaitu 0,995 dan memiliki

nilai IC50 sebesar 16,645 ppm. Hal ini menunjukan bahwa

aktiivitas antioksidan dari vitamin C sangat kuat (IC50 ≤ 50 ppm)

76
2. Hasil Absorbansi % Inhibisi dan IC50 Ekstrak Daun Salam

(Syzygyum polyanthum) dengan pelarut air

10 ppm = 0,478 - 0,380 x 100% = 20,50

0,478

20 ppm = 0,478 - 0,366 x 100% = 23,43

0,478

40 ppm = 0,478 - 0,291x 100% = 39,12

0,478

60 ppm = 0,478 – 0,182 x 100% = 61,92

0,478

100 ppm = 0,478 – 0,135 x 100% = 71,75

0,478

IC50 a y = ax + b

50 = 0,6171x + 14,958

x = 50 – 14,958

0,6171

x = 56,7849

Konsentrasi Absorbansi % Persamaan IC50 Kriteria


(ppm) Blank Air Inhibisi Regresi (ppm)
o Linear
10 0,380 20,5 y=0,6171
20 0,366 23,43 + 14,958
40 0,847 0,291 39,12 R2 = 56,7849 kuat
60 0,182 61,92 0,9336
100 0,135 71,75

77
Kurva Air
80
70 f(x) = 0.62 x + 14.96
60 R² = 0.93
50
inhibasi
inhibasi

40
Linear (inhibasi)
30
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120
konsentrasi

Grafik 4.2 Kurva Regresi Linear antara Konsentrasi dan %

Inhibisi Air

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat hasil regresi

linear dari air yang didapatkan yaitu 0,9336 dan memiliki nilai

IC50 sebesar 56,7849 ppm. Hal ini menunjukan bahwa

aktiivitas antioksidan dari air kuat (IC50 50-100 ppm).

3. Hasil Absorbansi % Inhibisi dan IC 50 Ekstrak Daun


Salam (Syzygyum polyanthum) dengan pelarut etanol 70%

10 ppm = 0,476 - 0,303 x 100% = 36,34

78
0,476

20 ppm = 0,476 - 0,265 x 100% = 44,32

0,476

40 ppm = 0,476 - 0,202 x 100% = 57,56

0,476

60 ppm = 0,476 – 0,202 x 100% = 57,56

0,476

100 ppm = 0,476 – 0,147 x 100% = 69,11

0,476

IC50 a y = ax + b

50 = 0,3383 + 37,418
x = 50 – 37,418
0,3383
x = 37,1918

Konsentrasi Absorbansi % Persamaan IC50 Kriteria


(ppm) Blanko Etanol Inhibis Regresi (ppm)
70% i Linear
10 0,303 36.34 y=0,3383+
20 0,265 44,32 37,418
40 0,476 0,202 57,56 R2 = 0,8957 37,19 Sangat
60 0,202 57,56 18 kuat
100 0,147 69,11

79
Kurva Etanol 70%
80
70
60
f(x) = 0.34 x + 37.42
R² = 0.9
50
inhibisi
inhibisi

40
Linear (inhibisi )
30
20
10
0
5 40 75 110
konsentrasi

Grafik 4.3 Kurva Regresi Linear antara Konsentrasi dan %


Inhibisi Etanol 70%

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat hasil regresi

linear dari etanol 70% yang didapatkan yaitu 0,8957 dan

memiliki nilai IC50 sebesar 37,1918 ppm. Hal ini menunjukan

bahwa aktiivitas antioksidan dari etanol 70% sangat kuat (IC50

≤ 50 ppm).

80
4. Hasil Absorbansi % Inhibisi dan IC50 Ekstrak Daun Salam

(Syzygyum polyanthum) dengan pelarut n-heksana

10 ppm = 0,476 - 0,333 x 100% = 30,04

0,476

20 ppm = 0,476 - 0,327 x 100% = 31,30

0,476

40 ppm = 0,476 - 0,317 x 100% = 33,40

0,476

60 ppm = 0,476 – 0,314 x 100% = 34,03

0,476

100 ppm = 0,476 – 0,261 x 100% = 45,16

0,476

IC50 a y = ax + b

50 = 0,16 + 27,424
x = 50 – 27,424
0,16
x = 141,1

81
Konsentrasi Absorbansi % Persamaan IC50 Kriteria
(ppm) Blanko N- Inhibisi Regresi (ppm)
heksana Linear

10 0,333 30,04 y=0,16 +


20 0,327 31,30 27,424
40 0,476 0,317 33,40 R2 = 0,9057 141,1 Sedang
60 0,314 34,03
100 0,261 45,16

Kurva N-heksana
50
45
40 f(x) = 0.16 x + 27.42
35
30
R² = 0.91
inhibasi
inhibasi

25
20 Linear (inhibasi)
15
10
5
0
0 20 40 60 80 100 120
konsentrasi

82
Grafik 4.3 Kurva Regresi Linear antara Konsentrasi dan %
Inhibisi N-heksana

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat hasil regresi

linear dari n-heksana yang didapatkan yaitu 0,9057 dan

memiliki nilai IC50 sebesar 141,1 ppm. Hal ini menunjukan

bahwa aktiivitas antioksidan dari n-heksana sedang (IC50 101-

150 ppm).

83
4.2. Pembahasan

Penelitian mengenai uji pengaruh pelarut ekstrak Daun Salam (Syzygyum

polyanthum) dengan menggunakan metode DPPH terhadap potensi

antioksidan ini bertujuan untuk mengetahui potensi antioksidan ekstrak Daun

Salam (Syzygyum polyanthum) dengan metode DPPH (2-2-difenil-1-

pikrilhidrazil), untuk mengetahui pelarut manakah yang memiliki potensi

antioksidan paling besar.

Penelitian ini diawali dengan melakukan determinasi tanaman terlebih

dahulu, dengan tujuan untuk memastikan kebenaran tanaman daun salam yang

akan digunakan dalam penelitian. Berdasarkan hasil determinasi bahwa

tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah benar tanaman daun salam

(Syzygyum polyanthum).

Pengumpulan bahan dan pembuatan simplisia, daun salam yang masih

segar dikumpulkan dan diambil daunnya serta dibersihkan dari zat pengotor

dengan air mengalir sampai bersih, selanjutnya dilakukan proses pengeringan

dibawah sinar matahari untuk mengurangi kadar air dari daun salam sehingga

didapatkan simplisia, alas an dilakukan pengeringan karena tingginya kadar

air diduga dapat mempercepat tumbuhannya jamur dalam ekstrak. Jika

kandungan air tinggi dapat terjadinya proses enzimatik, enzim yang mengubah

kandungan kimia yang ada dalam bahan menjadi produk lain mungkin tidak

lagi memiliki efek farmakologi seperti senyawa aslinya (Ikhlas, 2013).

Simplisia daun salam selanjutnya diblender dan diayak guna mendapatkan

84
serbuk simplisia yang homogeny dan untuk mempermudah proses penarikan

zat aktif saat ekstraksi.

Rendemen tertinggi dihasilkan pada ekstrak pelarut air yaitu 4,71% yang

berbeda dengan ekstrak pelarut etanol 70% yaitu 1,18% dan pelarut n-heksana

0,20%. Jumlah rendemen pada ekstrak daun salam bergantung pada sifat

kepolaran jenis pelarut. Penelitian ini menunjukan bahwa kepolaran senyawa

yang terkandung pada ekstrak daun salam mempunyai kepolaran yang

mendekati kepolaran air, sehingga dapat terekstrak lebih tinggi. Besarnya

jumlah rendemen dan kuatnya potensi antioksidan pada ekstrak pelarut air

berhubungan dengan kandungan kandungan metabolit sekunder yang tersari

pada saat proses ekstraksi. Ini membuktikan kandungan metabolit sekunder

yang memiliki potensi aktivitas antioksidan pada ekstrak air. Salah satu

senyawa metabolit sekunder yang dapat mempengaruhi potensi aktivitas

antioksidan adalah senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan antioksidan

eksogen yang mengandung gugus fenolik. Mekanisme kerja dari flavonoid

sebagai antioksidan dapat secara langsung dengan mendonorkan ion hydrogen

sehingga dapat secara langsung dengan mendonorkan ion hydrogen sehingga

dapat menstabilkan radikal bebas aktif (Saija et al. 1995 dan Arora et al.

1998).

Harborne (1987) menyatakan bahwa tumbuhan mengandung banyak

senyawa fenolik, senyawa fenolik ini memiliki sifat yang cenderung larut

dalam pelarut polar. Etanol 70% dan air merupakan senyawa yang bersifat

polar, mudah didapat dan merupakan pelarut yang sering digunakan dalam

85
ekstraksi. Etanol 70% bersifat polar karena mudah larut dalam air dan

mempunyai gugus hidroksi (OH), sehingga zat aktif lebih mudah tersari dalam

jumlah besar, sedangkan n-heksana merupakan pelarut non polar yang sukar

larut dalam air, maka zat aktif yang tersari lebih sedikit.

Pengujian aktivitas antioksidan secara kualitatif dilakukan dengan

menggunakan metode DPPH (2-2-difenil-1-pikrilhidrazil). Metode DPPH ini

dipilih karena metode yang sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya

memerlukan sedikit sampel untuk pengujian antioksidan dari senyawa bahan

alam (Molyneux, 2004).

Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan secara kualitatif menggunakan

metode DPPH ini adalah adalah adanya perubahan intensitas warna ungu

DPPH yang sebanding dengan konsentrasi larutan DPPH tersebut. Pada

metode ini DPPH berindak sebagai radikal bebas yang akan diberikatan

dengan senyawa anioksidan pada ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum).

Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan akan

memberikan warna ungu. Warna akan berubah menjadi kuning saat elektron

berpasangan. Perubahan intesitas warna ini terjadi karena adanya perendaman

radikal bebas yang dihasilkan oleh bereaksinya molekul DPPH dengan atom

hydrogen yang dilepaskan oleh molekul senyawa sampel sehingga terbentuk

senyawa 2-2 difenil-1-pikrilhidrazil dan menyebabkan terjafinya perubahan

warna DPPH dari ungku ke kuning. Perubahan warna ini akan memberikan

perubahan absorbansi pada panjang gelombang maksimum DPPH saat diukur

menggunakan spektrofotometri UV-Vis sehingga akan diketahui aktivitas

86
perendaman radikal bebas yang dinyatakan dengan nilai IC50. Uji kualitatif

pada ekstrak daun salam dengan pelarut etanol 70%, dan air menunjukan

perubahan warna yang sangat jelas, sedangkan pada ekstrak daun salam

pelarut n-heksana menunjukan perubaha warna warna yang tidak jelas

(memudar).

Nilai IC50 didefinisikan sebagai besarnya konsentrasi senyawa uji yang

dapat meredam radikal bebas sebanyak 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka

aktivita perendaman radikal bebas semakin tinggi (Molyneux, 2004).

Pengujian aktivitas antioksidan secara kuantitatif ekstrak daun salam pelarut

etanol 70%, air dan n-heksana serta control positif vitamin C dilakukan

dengan berbagai seri konsentrasi menggunakan metode DPPH yang

selanjutnya diabsorbansi diukur menggunakan spektrofotometri UV-Vis.

Spektrofotometer dipakai atas dasar kemampuanya mendeteksi adanya

suatu senyawa dengan kadar yang sangat kecil (sensitif). Kerjanya yang

selektif dan otomatis (Ikhlas, 2013). Metode ini berdasarkan pada kemampuan

antioksidan dalam menetralisir radikal bebas. Pengujian ini dilakukan untuk

mengetahui absorbansi DPPH yang tersisa setelah ditambahkan ekstrak

larutan uji ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum). Pembuatan dan

penyimpanan blanko dilakukan di tempat gelap agar terhindar dari sinar

matahari ataupun cahaya yang dapat menyebabkan terjafinya dekomposisi

pada larutan. Blanko digunakan sebagai control yang berfungsi sebagai

pembanding dalam menentukan potensi antioksidan pada sampel dan

mengetahui absorbansi DPPH sebelum tereduksi oleh sampel. Selisih

87
absorbansi sampel yang telah direduksi DPPH dengan absorbansi blanko

merupakan sisa radikal bebas yang terbaca pada spektrofotometer UV-Vis.

Semakin besar selisih maka semakin besar aktivitas antioksidan sampel.

Berdasarkan pengukuran terhadap absorbansi blanko didapatkan hasil

absorbansi blanko sebesar 0,478 air, 0,476 etanol 70%, 0,476 n-heksana.

Penurunan absorbansi DPPH menunjukan dengan terjadinya degradasi

warna DPPH dari ungu menjadi warna kuning atau ungu yang memudar.

Perubahan warna DPPH terjadi karena adanya senyawa yang dapat

memberikan radikal hydrogen kepada radikal DDPH sehingga tereduksi

menjadi DPPH-H (1,2- difenil-2-pikrilhidrazin) yang stabil dan kurang toksik

dengan kereaktifan rendah (Purwaningsih, 2012). Dari nilai absorbansi DPPH

yang diperoleh dapat ditentukan nilai presentasi penghambatan radikal DPPH

(% inhibisi) dan dari nilai persen inhibisi dapat ditentukan nilai IC 50

(inhibitory concentration). Nilai IC50 merupakan bilangan yang menunjukan

konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat radikal bebas sebesar 50%.

Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi antioksidannya. Nilai IC50

diperoleh dari persamaan regresi linear.

Pelaksanaan uji aktivitas antioksidan diawali dengan melakukan penentuan

panjang gelombang maksimum yang bertujuan untuk mengetahui ketika

absorbansi mencapai maksimum maka akan meningkatkan proses absorbansi

larutan terhadap sinar atau karena pada panjang gekombang maksimum

absorbansi berada dalam kondisi maksimum sehingga akan memiliki

sensitivitas yang baik dan limit deteksi yang rendah dan juga dapat mereduksi

88
kesalahan dalam pengukuran (Ikhlas, 2013). Hasil penentuan panjang

gelombang maksimum dengan menggumakan spektrofotometer UV-Vis,

dapat dinyatakan bahwa serapan maksimum DPPH berada pada panjang

gelombang 517 nm.

Pembanding yang digunakan sebagai control positif pada penelitian ini

adalah vitamin C, karena vitamin C merupakan antioksidan alami dan

berfungsi sebagai antioksidan sekunder yang mempunyai gugus hidroksi yaitu

menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Ikhlas,

2013). Penggunaan control positif pada pengujian aktivitas antioksidan ini

bertujuan untuk mengetahui seberapa kuat aktivitas antioksidan yang ada pada

ekstrak daun salam jika dibandingkan dengan vitamin C.

Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi vitamin C (baku

banding/kontrol positif) dengan seri konsentrasi 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm

dan 10 ppm. Dari masing-masing seri konsentrasi tersebut diambil 2 ml lalu

ditambahkan 2 ml DPPH dan dihomogenkan, selanjutnya diinkubasi selama

30 menit diruang gelap. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mengoptimumkan

aktivitas DPPH agar terjadi reaksi antara DPPH dengan sampel yang diuji

(Hartono et al, 1998). Hasil pengukuran absorbansi vitamin C pada

konsentrasi 2 ppm didapatkan absorbansi paling besar dengan nilai 0,525 dan

% inhibisi paling kecil yaitu 38,016. Sedangkan pada konsentrasi 10 ppm

memiliki absorbansi paling kecil dengan nilai 0,471 dan % inhibisi paling

besar yaitu 44,391. Berdasarkan hasil persamaan regresi linier Y = ax+b

diperoleh nilai IC50 sebesar 16,645 sehingga vitamin C masuk kedalam

89
kategori antioksidan sangat kuat (IC50 < 50). Berdasarkan hasil diperoleh

bahwa semakin tinggi konsentrasi (ppm) vitamin C maka semakin meningkat

aktivitas peredamannya dalam menangkal radikal bebas. Hal ini terjadi karena

lebih banyak atom hydrogen dari gugus hidroksi yang akan diberikan kepada

radikal DPPH sehingga DPPH tereduksi menjadi DPPH-H yang ditandai

dengan terjadinya perubahan warna ungu menjadi warna kuning

(Purwaningsih, 2012).

Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antioksidan terhadap ekstrak daun

salam dengan seri konsentrasi 10 ppm, 20 ppm. 40 ppm, 60 ppm dan 100 ppm.

Dari masing-masing konsnetrasi tersebut diambil 2 ml lalu ditambahkan 2ml

DPPH campuran dihomogenkan, diinkubasi selama 30 menit diruang gelap.

Hal ini dilakukan untuk mengoptimumkan aktivitas DPPH agar terjadi reaksi

antara DPPH dengan sampel yang diuji (Hartono et al, 1998). Berdasarkan

hasil yang diperoleh bahwa absorbansi paling besar dihasilka oleh pelarut n-

heksans pada seri konsentrasi 10 ppm didapatkan nilai sebesar 0,333 dengan

% inhibisi paling kecil yaitu 30,04 , sedangkan absorbansi paling besar pelarut

air pada seri konsentrasi 100 ppm dengan nilai sebesar 0,135 dengan %

inhibisi paling besar yaitu 71,75. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

konsentrasi berbanding terbalikdengan absorbansi dan berbanding lurus

dengan % inhibisi, artinya semakin kecil konsentrai (ppm) maka absorbansi

semakin besar dan % inhibisi semakin kecil/menurun sedangkan semakin

besar konsentrasi (ppm) maka absorbansi semakin kecil dan % inhibisi

semakin besar/meningkat. Berdasarkan hasil persamaan regresi liner ekstrak

90
daun salam dengan pelarut air, etanol 70% dan n-heksana memiliki nilai IC50

seacara berturut-turut adalah 56,7846 ppm, 37,1918 ppm, dan 141,1 ppm.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak pelarut etanol 70% memiliki nilai

IC50 paling kecil dibandingan dengan ekstrak pelarut air dan ekstrak pelarut n-

heksana. Pelarut etanol 70% memiliki aktivitas antioksidan paling besar

dengan kategori antioksidan sangat kuat (<50 ppm) dan suatu senyawa

memiliki antioksidan yang sangat kuat bila nilai IC 50<50 ppm, kuat bilai nilai

IC50 berkisar 50-100 ppm, sedang bilai nilai IC50 berkisar 101-150 ppm, dan

lemah bila nilai IC50 berkisar 151-200 ppm (Mardawati, 2008).

Sehingga dari kisaran nilai IC50 tersebut ketiga pelarut ekstrak daun salam

dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan akan tetapi masuk dalam

kategori sangat kua, kuat dan sedang. Berdasarkan hasil yang diperoleh

semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun salam maka semakin banyak senyawa

metabolit sekunder yang mendonorkan atom hydrogen pada DPPH dan

membentuk senyawa DPPH-H non radikal yang lebih stabil sehingga terjadi

penurunan nilai absorbansi dan meningkatnya % inhibisi serta menurunnya

nilai IC50 berbanding terbalik dengan aktivitas antioksidan yaitu semakin kecil

nilai IC50 maka aktivitas antioksidan semakin besar sedangkan semakin besar

nilai IC50 maka aktivitas antioksidan semakin kecil.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ketiga pelarut menunjukan

hasil antioksidan yang termasuk dalam kategori sangat kuat, kuat, dan sedang,

sedangkan vitamin C sebagai pembanding memiliki kategori sangat kuat

dengan tetapi menghasilkan nilai IC50 paling rendah dibandingkan ekstrak

91
pelarut etanol 70%, nilai IC50 vitamin C karena merupakan senyawa yang

murni dibandingkan ketiga ekstrak dan banyak mengandung metabolit

sekunder didalamnya. Di samping itu molekul vitamin C merupakan

antoksidan sekunder yang mempunyai gugus hidroksi yaitu menangkap

radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Ikhlas, 2013).

92
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum) memiliki pengaruh terhadap

potensi antioksidan menggunakan metode DPPH (2-2-difenil-1-

pikrilhidrazil).

2. Ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum) dengan pelarut etanol 70%

memiliki potensi antioksidan yang paling besar dari pada pelarut air dan

pelarut n-heksana, ekstrak daun salam (Syzygyum polyanthum) dengan

pelarut etanol 70% masuk kedalam kategori sangat kuat ( IC50<50 ppm).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, penulis ingin

menyarankan untuk :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui total senyawa

flavonoid yang terkandung dalam daun salam (Syzygyum polyanthum).

93
2. Perlu dilakukan uji aktivitas antioksidan daun salam (Syzygyum

polyanthum) dengan menggunakan pelarut lain dan dibuat dalam bentuk

sediaan misalnya bedak tabur, sabun cair, masker, krim dan lotion.

94

Anda mungkin juga menyukai