Anda di halaman 1dari 11

BAB III

PEMBAHASAN

A. Hambatan dari Keluarga/Orangtua dalam Praktik Pendidikan di Sekolah

Melibatkan orangtua murid dan masyarakat untuk mendukung dan terlibat secara
optimal dalam berbagai kegiatan sekolah bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Apalagi kalau
orangtua murid dan masyarakat tersebut memiliki tujuan, harapan dan kepentingan masing-
masing yang kadang sangat bervariasi. Banyak kendala atau hambatan yang ditemui dalam
menyatukan harapan dan kepentingan tersebut (Suriansyah, 2014:64).

Menurut Suriansyah (2014:64) dalam praktiknya hubungan sekolah dengan


masyarakat dalam rangka menigkatkan keterlibatan atau partisipasi orangtua murid/keluarga
dalam pendidikan di sekolah ditemui sejumlah hambatan. Hambatan-hambatan ini dapat
bersumber dari persepektif guru dan kepala sekolah sebagai pelaksana hubungan maupun dari
pihak masyarakat sebagai subjek yang diajak untuk terlibat langsung dalam berbagai kegiatan
sekolah dalam rangka meningkatkan mutu sekolah.

Grant dan Ray (Suriansyah, 2014:64) menyatakan ada sejumlah hambatan yang
ditemui dalam membangun keterlibatan keluarga di sekolah mencakup aspek : economics,
self efficacy, intergeneration, time demand, cultural norms and value class room culture and
past experience.

1. Economics (lack of money and transportation) ekonomi (kekurangan uang dan


transportasi).
Orangtua murid/keluarga yang memiliki tingkat ekonomi masih rendah sering
disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kesibukan ini menyebabkan mereka cenderung sulit untuk berpartisipasi/terlibat aktif dalam
berbagai kegiatan bersama sekolah.

2. Self efficacy (lack of confident in ability to help, language consideration)/ kebahagiaan


sendiri (kurangnya percaya diri dalam kemampuan untuk membantu, pertimbangan bahasa).
Hambatan ini berkaitan dengan kurangnya percaya diri dari masyarakat atau orangtua
murid akan kemampuan untuk membantu sekolah, demikian juga dengan pihak sekolah
sendiri sering muncul perasaan ketidak percayaan akan kemampuan untuk mampu membantu
orangtua murid dalam mengatasi masalah-masalah pendidikan anak di rumah, akibatnya
hubungan klaboratif tidak dilakukan secara optimal.
3. Intergenrational faktor (their parents uninvolved) /faktor antargenerasi (orangtua mereka tidak
terlibat).
Faktor ini merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu terciptanya
kemitraan dan keterlibatan orangtua murid dan masyarakat terhadap pendidiakn di sekolah.
Orangtua murid yang usianya sangat tua atau tokoh masyarakat yang sudah sepuh cenderung
tidak mau terlibat banyak dalam berbagai kegiatan kolaboratif, meskipun sebenarnya
keterlibatan mereka sangat dibutuhkan oleh sekolah. Sehingga sering sekolah tetap
menyantumkan nama tokoh dalam struktur tim atau komite tertentu di sekolah tetapi
sebenarnya mereka tidak bisa banyak berbuat di sekolah.

4. Time demands (work related, child care, elder care) /faktor tuntutan waktu yaitu yang
berhubungan dengan pekerjaan, perawatan anak, perawatan orangtua.
Faktor waktu merupakan salah satu hal yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat
dan orangtua murid untuk terlibat dalam berbagai kegiatan kolaborasi untuk membantu
sekolah. Lebih-lebih masyarakat atau orangtua murid di pedesaan dengan pekerjaan petani,
lebih banyak waktu di sawah yang mengakibatkan tidak memiliki waktu yang cukup dalam
kegiatan kolaboratif atau partisipasinya. Dalam kondisi seperti ini diperlukan kreativitas guru
dan kepala sekolah dalam melakukan manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat.

5. Culture norms and values (teacher as expert) /faktor norma dan nilai budaya (guru sama
dengan seorang ahli).
Faktor budaya yang melekat dan pandangan yang kuat seakan-akan guru adalah
seorang ahli (expert) sehingga memiliki kemampuan untuk mengatasi segala masalah yang
ada sudah sangat kuat. Akibatnya, orangtua sering menyerahkan sepenuhnya keberhasilan
pendidikan anaknya kepada pihak sekolah, karena pihak sekolah dianggap sebagai pihak yang
memiliki kemampuan untuk membentuk anak-anak mereka. Kepala sekolah perlu
meyakinkan guru dan orangtua murid serta masyarakat, bahwa sehebat apapun guru dan
sekolah tidak akan mampu membuat anak berprestasi luar biasa tanpa dukungan orangtua
murid dan masyarakat demikian pula sebaliknya.
6. Classroom culture (not viewed as welcoming to parents) /faktor budaya kelas yang tidak
terbuka menyambut orangtua murid sebagai tamu.
Keterbukaan sekolah dan kelas untuk partisipasi orangtua murid dan masyarakat
masih belum optimal. Ada keraguan pihak guru dan sekolah akan keterlibatan optimal
mereka, terkadang muncul ketakutan kalau orangtua murid dan masyarakat melakukan
intervensi pada hal-hal teknis yang menjadi kewenangan guru. Sekolah dan guru takut
dicampuri tugas dan kewenangannya dan takut sekolah justru menjadi bermasalah dengan
keterlibatan orangtua murid dan masyarakat secara optimal di sekolah.

7. Past experience (negatif experiences with school) /faktor pengalaman masa lalu (pengalaman
negatif dengan sekolah).
Sekolah sering memiliki pengaalaman negatif akibat keterlibatan orangtua murid dan
masyarakat terhadap sekolah. Hal ini membawa dan mempengaruhi sekolah untuk enggan
berbuat banyak dalam membangun kemitraan yang optimal.

Sementara itu Grant dan Ray (Suriansyah, 2014:66-68) melihat dari perspektif
hambatan yang bersumber dari guru dalam rangka meningkatkan keterlibatan keluarga,
keterlibatan orangtua murid dan atau masyarakat di sekolah adalah mencakup : Doubts about
parent, perceived job limitations, negative attitude, scheduling, curricular constrains, lack of
confidence.

1. Doubts about parent (parent lack training, should not help with learning) /keraguan tentang
orangtua (orangtua kurang pengetahuan, tidak mampu membantu belajar).
Tenaga pendidik dan bahkan sekolah secara keseluruhan sering meragukan dan tidak
yakin akan kemampuan orangtua murid dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan
kepada anak-anak saat belajar di rumah. Disamping itu juga tidak yakin akan kemampuan dan
mungkin juga kemauan orangtua murid untuk terlibat dalam menbantu sekolah meningkatkan
mutu pendidikan. Oleh karena itu, akhirnya program kemitraan di sekolah dengan masyarakat
tidak terlaksana dengan baik dan optimal.

2. Perceived job limitations (teaching doesn’t involve working with families) /adanya
keterbatasan kerja (mengajar tidak melibatkan bekerja dengan keluarga).
Keterbatasan kerja yang dirasakan oleh guru dalam membina kemitraan sebagai
akibat dari beban kerja guru sehari penuh saat berada di sekolah harus berhadapan dengan
siswa, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kolaborasi dengan
masyarakat dan orangtua murid. Demikian juga halnya dengan usaha melibatkan orangtua
murid dalam pembelajaran dirasakn guru belum memiliki waktu yang cukup, karena guru
harus mengejar target kurikulum yang harus dilakukannya dalam kurun waktu tertentu.

3. Negative attitude (prior negative experiences, biases about families) /sikap negatif
(pengalaman sebelumnya negatif, bisa tentang keluarga).
Pengalaman sebelumnya yang kurang baik dalam kemitraan dengan keterlibatan
orangtua murid atau masyarakat membuat guru dan pihak sekolah menjadi enggan untuk
melakukan kegiatan kolaborasi dan kemitraan selanjutnya. Hal ini menjadi penghambat
efektivitas pelaksanaan kerjasama sekolah dan masyarakat secara keseluruhan.

4. Scheduling (classroom schedule inflexible, time conflicts with parents) /penjadwalan


(jadwal kelas tidak fleksibel, konflik waktu dengan orangtua).
Jadwal pelajaran yang ada di sekolah pada umumnya sudah ditetapkan secara rigid
dan pasti selama jam pelajaran berlangsung mulai masuk sekolah sampai pulang sekolah.
Akibatnya apabila ingin menggunakan waktu belajar untuk kegiatan kolaborasi, kerjasama
dan kemitraan jadwal tersebut sangat sulit untuk digunakan. Disamping itu waktu yang
tersedia dan sesuai untuk guru belum tentu sesuai untuk masyarakat dan orangtua murid. Oleh
sebab itu, sangat sulit bagi sekolah memilih waktu yang tepat (bagi guru dan sekolah serta
bagi masyarakat dan orangtua murid) untuk melakukan pertemuan, kolaborasi atau kegiatan
bersama di sekolah.

5. Curricular constraints (high stakes testing) kendala kurikuler.


Kurikulum di sekolah telah diatur apa dan kapan pencapaian target yang harus
diselesaikan. Sehingga telah diatur waktu efektif untuk belajar dalam setiap semester. Apabila
waktu efektif tersebut digunakan untuk kegiatan lain, maka akan menjadi masalah dalam
pencapaian target kurikulum.

6. Lack of confidence (fear of being judged by families)/ kurangnya kepercayaan (takut


dihakimi oleh keluarga.
Pengalaman buruk sekolah adalah ssering terjadi persepsi dan pemahaman antara
sekolah dengan masyarakat atau orangtua murid, yang berdampak terjadinya perselisihan
diantara keduanya. Perselisihan tersebut bahkan dapat berakibat pertengkaran yang kadang-
kadang juga secara fisik. Lebih-lebih misalnya tentang hukuman kepada peserta didik yang
prangtuanya tidak mengerti dapat terjadi ancaman fisik bagi tenaga pendidik di sekolah.
Demikian juga tentang biaya pendidikan yang sebenarnya sudah diputuskan oleh komite
sekolah sering tidak diterima oleh orangtua murid tertentu. Hal ini menyebabkan perselisihan
antara sekolah dengan orangtua murid dan masyarakat.

Perselisihan yang kuat dan menjurus pada ancaman fisik menyebabkan pihak sekolah
menjadi enggan bahkan tidak mau melakukan kegiatan kolaborasi atau diskusi dengan pihak
orangtua murid dan masyarakat. Untuk mengatasi berbagai kendala pelaksanaanhubungan
kerjasama dengan orangtua murid/masyarakat dilihat dari faktor orangtua, maka sekolah harus
melakukan berbagai kegiatan. Sehubungan dengan hal tersebut Asosiasi Orangtua Murid dan
Guru Amerika (PTA) telah membuat standar nasional yang sama dan juga memungkinkan
untuk pengembangan orangtua murid, yaitu :

a. Berkomunikasi antara rumah dan sekolah adalah reguler, dua arah, dan bermakna.
b. Keterampilan orangtua ditingkatkan didukung.
c. Orangtua memainkan peran integral dalam membantu belajar siswa.
d. Orangtua diterima di sekolah dan dukungan serta bantuan mereka dibutuhkan.
e. Orangtua adalah mitra penuh dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi keluarga
dan anak.
f. Sumber daya masyarakat yang digunakan untuk memperkuat sekolah-sekolah, keluarga
dan belajar siswa.

B. Hambatan dari Masyarakat

Pendidikan di sekolah dapat tercipta dengan baik jika ada kerjasama antara pihak
sekolah dengan orangtua/masyarakat. Tetapi nampaknya di lapangan kurang terlihat adanya
kerjasama yang baik antara orangtua siswa dengan pihak sekolah dalam hal peningkatan mutu
sekolah. Bagaimana tidak, peran serta orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
saja sangat memprihatinkan. Hal ini dapat kita lihat dalam hal yang sederhana, yaitu dari
seberapa sering orangtua di undang atau mengunjungi sekolah. Mungkin dalam setahun dapat
dihitung dengan jari yaitu berkisar antara dua sampai tiga kali, itupun hanya sebatas untuk
mengambil rapot dan tabungan saat kenaikan kelas saja, adapun hal lain yaitu saat sekolah
meminta pemungutan biaya maka akan mengundang orangtua. Jadi masyarakat sudah mencap
terlebih dahulu jika sekolah mengundang orangtua siswa pasti soal biaya dan biaya lagi,
sungguh ironis memang. Hal ini disebabkan adanya persepsi bahwa peningkatan mutu
sekolah dan peningkatan proses pembelajaran cukup dilakukan oleh pihak sekolah atau pihak
pemerintah saja secara sepihak.

Sedangkan pihak masyarakat dan orang tua siswa cukup dimintakan bantuannya
dalam bentuk keuangan saja, atau ada semacam persepsi seolah-olah sekolah yang
bertanggung jawab dalam peningkatan mutu. Sedangkan orang tua tidak perlu terlibat dalam
upaya peningkatan mutu di sekolah. Keterlibatan orang tua/masyarakat sering
diinterpretasikan atau dipersepsi sebagai bentuk intervensi yang terlalu jauh memasuki
kawasan otonomi sekolah. Keadaan ini juga turut berpengaruh terhadap terciptanya hubungan
yang akrab antar sekolah dengan pihak orangtua. Persepsi yang salah ini sebagai akibat dari
kurangnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan dan juga pemahaman warga sekolah
tentang apa dan bagaimana harusnya pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat
dibangun.

Disamping itu pemberdayaan masyarakat masih cenderung pada aspek pembiayaan.


Masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mereka juga
mempunyai kewajiban untuk mengembangkan serta menjaga keberlangsungan
penyelenggaraan proses pendidikan, hal ini tertuang dalam Undang – Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 BAB IV yang didalamnya memuat bahwasannya
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Masyarakat juga dapat terlibat dalam memberikan bantuan dana, pembuatan gedung, area
pendidikan, teknis edukatif seperti proses belajar mengajar, menyediakan diri menjadi tenaga
pengajar, mendiskusikan pelaksanaan kurikulum, membicarakan kemajuan belajar dan lain-
lain. Banyak hal yang bisa disumbangkan dan dilakukan oleh masyarakat untuk membantu
terlaksananya pendidikan yang bermutu, mulai dari menggunakan jasa pelayanan yang
tersedia sampai keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan.
Merujuk pada Grant dan Ray Ray (Rahmania Utari, 2010:103-104) hambatan-
hambatan yang juga dapat muncul dari kalangan masyarakat adalah :

1. Kurangnya pengetahuan masyarakat


Pengetahuan tentang kebijakan dan prosedur program kemasyarakatan sangatlah
penting untuk terciptanya partisipasi masyarakat yang sehat. Sayangnya, masyarakat
berpehasilan dan berpendidikan rendah seringkali tidak menyadari informasi esensial tentang
program. Partisipasi masyarakat harus turut mengandung pemberian informasi dan pemberian
kesempatan penuh kepada masyarakat untuk mengambil bagian dalam membangun dan
melaksanakan program. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa banyak kelompok
masyarakat yang tidak diberikan informasi relevan untuk terciptanya partisipasi yang berarti.
Pegawai sekolah jarang membantu masyarakat untuk memahami program, akibatnya
masyarakat sekedar tanda tangan lambing persetujuan, namun sebenarnya tidak memahami
program tersebut. Orang tua selalu menjadi penonton, karena memang acara sengaja
dirancang tanpa melibatkan mereka. Sayangnya pegawai sekolah beramai-ramai melestarikan
partisipasi semu ini. kadang sosialisasi sebuah aturan dari unsur pemerintahan malah
menghambat partipasi masyarakat.
2. Kurang aspiratifnya pimpinan sekolah dalam mewakili pandangan masyarakat
Sering terjadi kesenjangan antara penduduk dengan para wakilnya. Biasanya masalah
berawal dari perbedaan informasi yang disodorkan para wakil masyarakat dengan keadaan
sesungguhnya yang dirasakan penduduk . Dalam konteks pimpinan sekolah yang sepatutnya
juga mewakili pendapat masyarakat, hambatan berasal dari sikap para pimpinan sekolah itu
sendiri yang memiliki pandangan pribadi terhadap hal-hal seperti rasialisme, paternalistic,
gender, dan sebagainya.
3. Kurangnya sumber daya keuangan
Pertemuan antar pihak sekolah dan orang tua atau masyarakat sering diwarnai
dengan kurangnya pendanaan. Bagi kalangan berpenghasilan rendah, menghadiri pertemuan
di sekolah tidak menjadi prioritas karena perlu adanya biaya transportasi. Dalam hal ini
sebaiknya kelompok kemitraan memfasilitasi hal ini dengan mengandalkan pad akas mandiri.
Bagaimanapun, para orang tua dan masyarakat yang berkepentingan terhadap sekolah pada
umumnya adalah warga Negara pembayar pajak sehingga menjadi hal yang wajib untuk
memperlakukan mereka sedemikian rupa.
C. Hambatan dari Instansi/Lembaga Masyarakat

Beberapa kerjasama yang dilaksanakan sekolah dengan instansi lain yakni meliputi
instansi kesehatan, organisasi olahraga dan kesenian, organisasi keagamaan, organisasi
kepramukaan, serta museum dan tempat peninggalan sejarah lainnya. Melibatkan instansi
dalam mendukung serta terlibat dalam kegiatan sekolah bikanlah suatu hal yang mudah
apalagi jika instansi yang terlibat beragam dan bervariatif, sehingga banyak kendala yang
dihadapi dalam menyatukan kepentingan tesebut. Sekolah perlu membina hubungan timbal
balik dengan instansi terkait lainnya. Tiga faktor yang seringkali menjadi penghambat dalam
partisipasi adalah:

1. Hambatan struktural. Hambatan ini meliputi konstitusi dan birokrasi. Dalam konteks
pembangunan, UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) sebenarnya
sudah memberi ruang atas prosedur partisipasi publik dalam pembangunan. Namun
ketika ini tidak diimbangi dengan adanya political will dan good will dari pemerintah
serta sistem birokrasi yang ada UU SPPN tidak bermakna apa-apa dalam menyebarkan
benih partisipasi. Keharusan pendekatan partisipatif dalam pembangunan sebagai sebuah
tindakan komunikatif hanyalah sebatas perbincangan lepas, belum bisa menjadi sebuah
diskursus.
2. Kedua, hambatan kultural. Hambatan ini menyebutkan bahwa di internal masyarakat
sendiri masih belum membudayakan gairah partisipasi yang kuat. Hal ini diantaranya
ditandai oleh kurangnya inisiatif dari warga untuk hadir dan terlibat dalam prosedur
partisipasi yang sudah dilegitimasi melalui konstitusi serta mengawalnya.
3. Ketiga, hambatan teknis. Hambatan ini berkenaan dengan kurang pembangunan melalui
prosedur yang berlaku. Bisa jadi masyarakat mengetahui betul apa keinginan mereka dan
ingin memperjuangkan kepentingan mereka sehingga bisa diterima dan dimasukkan
dalam draft perencanaan. Namun kepetingan tersebut gagal dikodifikasi menjadi bahasa
sistem. terkuasainya metode dan teknik-teknik partisipasi.

Ada beberapa perspektif hambatan praktis yang bersifat mendasar bagi instansi dan
masyarakat yakni:
1. Kurangnya pengetahuan, pengetahuan dan kebijakan program sangatlah penting untuk
terciptanya partisipasi yang sehat dan aktif.
2. Kurang aspiratifnya pimpinan sekolah, dalam hal ini sering terjadi kesenjangan. Pada
konteks pimpinan seyogyanya mewakili pendapat dari masyarakat, hambatan ini berasal
dari diri pimpinan sekolah memiliki pandangan pribadi terhadap hal yang bersifat
rasialisme, paternalistic, gender dan lainnya. Sikap acuh tak acuh sekolah juga menjadi
hambatan lain.
3. Kurangnya sumber daya keuangan, pertemuan antara sekolah dengan instansi sering
ditemui kurangnya pendanaan.

Hambatan yang bersumber dari guru dalam rangka meningkatkan keterlibatan orang
tua atau masyarakat serta instansi di sekolah mencakup:

1. Keraguan akan orangtua (Doubts about Parent)


Tenaga pendidik sering meragukan dan tidak yakin akan kemampuan orangtua dalam
pemberian bantuan, bimbingan dan arahan
2. Adanya keterbatasan kerja (Perceived job limitation)
Keterbatasan kerja yang dirasakan guru dalam membina kerjasama sebagai akibat dari
beban kerja guru sehari penuh saat di sekolah harus berhadapan dengan siswa, sehingga
guru tidak memiliki waktu yang cukup untuk dapat berkolaborasi dengan masyarakat,
orangtua dan instansi
3. Sikap negative (Negative attitude)
Pengalaman sekolah dengan instansi yang kurang baik akan membuat guru dan pihak
sekolah menjadi enggan untuk berkolaborasi kembali
4. Penjadwalan (Scheduling)
Jadwal pelajaran yang ada di sekolah pada umumnya sudah ditetapkan dan pasti selama
jam pelajaran berlangsung kerjasama dengan instansi akan sulit digunakan
5. Kendala kurikuler (Curricular constrains)
Kurikulum di sekolah diatur dengan apa dan kapan pencapaian target harus diselesaikan.
Sehingga telah diatur waktu efektif untuk belajar dalam setiap semester. Apabila waktu
tersebut digunakan pada kegiatan lain maka akan terjadi masalah dalam pencapaian target
kurikulum
6. Kurangnya kepercayaan (Lack of confidence)
Pengalaman buruk sekolah adalah sering terjadi persepsi persepsi dan pemahaman antar
sekolah dan masyarakat serta instansi yang berdampak terjadinya perselisihan diantara
keduanya.

Menurut Martinis Yamin (2013: 246) dalam usaha membina dan mengembangkan
hubungan dengan lembaga pendidikan lainnya, perlu dilaksanakan upaya sebagai berikut:

1. Mengadakan kunjungan antar sekolah


2. Memberikan informasi tentang perkiraan jumlah lulusan sekolah lembaga pendidikan
setingkat di atasnya
3. Mengundang pimpinan lembaga pendidikan yang lebih tinggi tingkatnya untuk
memberikan caramah tentang perkembangan pendidikan sesuai dengan jenjangnya

Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang pembelajar juga harus memiliki


sikap serta kemampuan meliputi: (1) menguasai kurikulum dan preangkat pembelajaran;
(2)penguasaan materi bidang studi; (3) penguasaan metode dan teknik penialian; (4)
komitmen atau kecintaan terhadap tugas yang ditujukan kepada guru.
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas .2003. Undang-undang RI No.20 tahun 2003.tentang sistem pendidikan nasional.

Grant, K.B., & Ray, Junlie, A. (2010). Home, School, and Community Collaboration. Kulturly
Responsive Family Involvement. California: Sage Publication, Inc.
Suriansyah, Ahmad. (2014). Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat: Dalam
Rangka Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Pers.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan.


Utari, Rahmania. (2010). Tantangan Kemitraan Orangtua, Sekolah dan Masyarakat. Jurnal
Manajemen Pendidikan No. 2. http://medianeliti.com diakses pada 15 September
2021

Yamin, Martinis. (2013). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Referensi.

Anda mungkin juga menyukai