Disusun Oleh :
VEBRIYA NUR CAHYANI
P3.73.24.2.19.077
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Praktik
Klinik Kebidanan II
Disusun Oleh :
Laporan studi kasus ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing
untuk dipertahankan dihadapan penguji
Bekasi, 2021
PEMBIMBING
1. Yupi Supartini, S.Kp, M.Sc selaku direkur Poltekkes Kemenkes Jakarta III
GAMBARAN KASUS
Nifas merupakan masa setelah lahirnya plasenta hingga pulih nya kembali organ
reproduksi seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama 6 minggu (40
hari). Banyaknya kasus robekan pada perineum saat proses melahirkan merupakan
masalah pada kebidanan yang mengharuskan robekan tersebut perlu tindakan
penjahitan agar tidak terjadinya komplikasi dan infeksi pada masa nifas. Robekan
perineum yang terjadi pada Ny. R adalah robekan perineum spontan grade 2 dan
dilakukan penjahitan pada perineum dengan teknik jelujur pada jahitan dalam dan
teknik simpul pada jahitan luar. Tindakan penjahitan perineum tersebut
menimbulkan rasa nyeri pada Iuka bekas jahitan perineum Ny. R Agar tidak
terjadinya infeksi pada Iuka jahitan perineum dan dapat mengurangi rasa nyeri
akibat tindakan penjahitan perineum, maka sangat dibutuhkan kontribusi yang
kooperatif Ny. R dalam menjaga kebersihan dirinya sendiri terutama kebersihan
pada genetalia, melakukan mobilisasi dini seperti miring kanan miring kiri atau
berjalan ke kamar mandi, dan pemenuhan nutrisi yang baik, sebab sebuah
perlukaan karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman kedalam tubuh,
apabila tidak diatasi dengan segera akan menimbulkan infeksi pada masa nifas.
Bidan mempunyai tanggungjawab dalam memberikan asuhan kebidanan yang
tepat terhadap masalah-masalah pada masa nifas, terutama dalam hal
mempercepat penyembuhan Iuka jahitan perineum dan mencegah agar tidak
terjadinya infeksi pada masa nifas.
Oleh karena itu, laporan ini bertujuan agar penulis dapat memberikan asuhan
kebidanan ibu nifas dengan Iuka jahitan perineum pada Ny. R di Puskesmas
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat Tahun 2021
Tanggal 23 September 2021 pukul 01.00 WIB Ny. N mengeluh dengan keluhan
nyeri pada Iuka bekas jahitan perineum hasil pemeriksaan Ny. R umur 29 tahun
P2A0 postpartum 6 jam dengan Iuka bekas jahitan perineum. Keadaan ibu sedikit
kurang nyaman dan bayi dalam keadaan baik dan sehat. Asuhan kebidanan yang
diberikan meliputi memberitahu penyebab dari keluhan, informasi perawatan
kebersihan perineum, personal hygiene, mobilisasi, kebutuhan nutrisi dan hidrasi.
Tanggal 29 September 2021 pukul 16.00 WIB Ny. R umur 29 tahun P2A0
postpartum 6 hari keadaan ibu sudah mulai membaik tetapi luka jahit masih
sedikit basah dan bayi baik dan sehat, penulis tidak menemukan diagnosa dan
permasalahan dikarenakan permasalahan sebelumnya sudah teratasi dan tidak
terdapat permasalahan baru. Asuhan yang diberikan kepada Ny. R berupa
pemenuhan nutrisi hidrasi, istirahat yang cukup, dan cara merawat bayinya
Tanggal 13 Oktober pukul 14.00 WIB Ny. R umur 29 tahun P2A0 postpartum 2
minggu keadaan ibu dan bayi sehat, penulis tidak menemukan diagnosa dan
permasalah baru.
Asuhan yang diberikan kepada Ny. R berupa memastikan apakah ada tanda
penyulit selama 2 minggu masa nifas, senam kegel, dan konseling KB.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa nifas dimulai sejak 2 jam postpartum dan berakhir selama 6 minggu
atau 42 hari postpartum yaitu ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil, namun secara keseluruhan baik secara fisiologis maupun
psikologis akan pulih dalam waktu 3 bulan (Nurjanah, 2013).
Masa nifas adalah masa yang penting untuk diperhatikan guna
menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). Menurut World Health Organization
(WHO) kematian ibu adalah kematian seorang ibu hamil atau hingga setelah 42
hari ibu mengakhiri kehamilannya dengan suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengakhiri kehamilan tersebut (Prawiroharjo, 2010). Berdasarkan Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu
(AKI) masih tinggi yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. (Kemenkes,
RI, 2014)
Menurut (Kemenkes, RI, 2014) secara nasional penyebab langsung
kematian ibu dengan penyumbang AKI terbesar adalah perdarahan 30,3%,
hipertensi 27,1 %, infeksi 7,3%, partus lama 1,8%, dan lain-lain 40,8%.
Perdarahan dan infeksi nifas dapat salah satu factor pemicu terjadinya kematian
ibu karena akibat adanya robekan perineum yang diderita ibu nifas pasca
persalinan, robekan perineum bisa terjadi secara spontan maupun episiotomi
(Kurniasari, 2016). Menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), di negara berkembang seperti Indonesia infeksi pada masa nifas masih
berperan sebagai penyebab utama kematian ibu, masalah itu terjadi akibat dari
pelayanan kebidanan yang masih jauh dari sempurna.
Faktor penyebab lain yang menyebabkan terjadinya infeksi nifas
diantaranya, daya tahan tubuh yang kurang, perawatan nifas yang kurang baik,
hygiene yang kurang baik, kurang gizi atau mal nutrisi, kelelahan, serta anemia
(Tulas, 2017).
Menurut (WHO, 2014) proses persalinan secara normal dengan ibu yang
mengalami Iuka robekan pada perineum sebanyak hampir 90%. Di Asia Iuka
robekan perineum masih menjadi salah satu masalah yang cukup banyak terjadi di
masyarakat, dengan sekitar 50% dari kejadian ruptur perineum di dunia terjadi di
Asia. Prevalensi ibu bersalin yang mengalami rupture perineum di Indonesia pada
golongan umur 25-30 tahun yaitu 24% dan pada usia 32-39 tahun sebesar 62%
(Afandi, 2014). Pada tahun 2013 terjadi 57% ibu mendapat jahitan perineum
(29% karena robekan spontan saat melahirkan dan 28% karena tindakan
episiotomy) (Kemenkes, RI, 2014).
Luka pada perineum akibat adanya rupture uteri secara spontan atau
episiotomi merupakan daerah yang tidak mudah kering (Manuaba, Ilmu
Kebidanan Penyakit Kandungan Dan Keluarga berencana Untuk Pendidikan
Bidan, 2011). Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah
atonia uteri yang terjadi pada ibu dengan persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Luka biasanya sedikit dan ringan tetapi terkadang bisa
juga terjadi Iuka yang banyak dan berbahaya. Sebagai akibat dari persalinan
terutama pada seorang ibu primipara, jika Iuka sedikit dan terjadi di vulva dan
sekitar introitus vagina biasanya Iuka tidak dalam, akan tetapi terkadang bisa
timbul perdarahan banyak (Rukiah, 2013).
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum saat
persalinan. Perineum merupakan kulit dan otot yang terletak diantara vagina dan
anus. Robekan perineum dapat terjadi pada hampir semua ibu dengan persalinan
pertama (primipara) dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya (multipara).
Jika Iuka robekan perineum tidak diatasi akan menimbulkan komplikasi pada
robekan perineum antara lain perdarahan, infeksi, dan dispareunia (nyeri selama
berhubungan seksual). Perdarahan pada robekan perineum dapat menjadi hebat
khususnya pada robekan deraj at dua dan tiga atau jika robekan perineum meluas
ke samping atau naik ke vulva mengenai klitoris. (Rahayu Sri, 2015). Sekitar 85%
wanita yang melahirkan spontan pervaginam mengalami trauma perineum berupa
32-33% karena tindakan episiotomi dan 52% merupakan rupture spontan. Rupture
perineum ada yang ringan sampai berat. Rupture perineum dibedakan menjadi
derajat laserasi, dari rupture derajat 1 sampai rupture derajat 4. Tentu saja semakin
dalam dan lebar rupture perineum akan semakin menyebabkan nyeri (Mulati,
2016). Sehingga robekan perineum tersebut memerlukan penjahitan yang banyak.
Luka dan jahitan pada perineum harus dirawat dengan baik karena bila
tidak akan menimbulkan masalah baru seperti infeksi dan nyeri pada perineum
(Makzizatunnisa, 2014).
Nyeri yang dirasakan oleh ibu nifas disebabkan oleh Iuka jahitan rupture
spontan atau dilakukan tindakan episiotomy karena adanya jaringan yang terputus
pada waktu melahirkan. Respon nyeri pada setiap individu relatif berbeda di
setiap wanita. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman, persepsi, maupun sosial
kultural individu. Akibatnya akan berpengaruh terhadap mobilisasi yang
dilakukan oleh ibu, pola istirahat, pola makan, pola tidur, suasana hati ibu,
kemampuan untuk buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK), aktivitas
sehari-hari antara lain dalam hal mengurus bayi, sosialisasi dengan lingkungan
dan masyarakat, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan menghambat ibu
ketika akan mulai bekerja (Judha, 2012).
Akibat perawatan perineum yang kurang baik ditambah dengan kondisi
perineum masih terdapat lokhea membuat perineum menjadi lembab dan sangat
menunjang perkembangbiakan bakteri, jika dibiarkan akan menyebabkan
timbulnya infeksi pada perineum yang dapat menghambat proses penyembuhan
Iuka. Penyembuhan Iuka pada robekan perineum ini akan sembuh dengan waktu
dan keadaan yang bervariasi, ada ibu yang sembuh dalam waktu cepat dan ada ibu
yang mengalami keterlambatan dalam penyembuhannya. (Ma’rifa, 2015).
Keterlambatan dalam penyembuhan Iuka di sebabkan karena beberapa masalah
diantaranya perdarahan yang disertai dengan perubahan tanda-tanda vital, infeksi
seperti kulit kemerahan, demam, timbul rasa nyeri, menonjolnya organ bagian
dalam ke arah luar akibat Iuka tidak segera menyatu dengan baik, serta pecahnya
Iuka jahitan perineum sebagian atau seluruhnya akibat terjadinya trauma
(Trisnawati, 2015).
Menjaga kebersihan bagi ibu nifas sangatlah penting karena ibu nifas
sangat rentan terhadap kejadian infeksi, ibu perlu selalu menjaga kebersihan
seluruh tubuhnya, pakaian yang di kenakannya serta kebersihan lingkungannya.
Anjuran pada ibu nifas salah satunya untuk membersihkan daerah kelamin dengan
sabun dan air setiap kali selesai BAK/BAB. Membersihkan di mulai dari daerah
sekitar vulva dari depan ke belakang, baru kemudian membersihkan daerah sekitar
anus (Dewi, 2011).
Bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang paling dekat dengan
masyarakat dan sebagai salah satu pusat pelayanan ibu nifas yang bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan dan informasi yang tepat mengenai masalah-
masalah dalam masa nifas terutama dalam hal perawatan Iuka perineum. Agar
tidak teijadi infeksi, maka diperlukan perawatan Iuka perineum yang baik dan
benar (Suparyanto, 2015). Peran bidan dalam mencegah terjadinya infeksi nifas
dengan memberikan konseling informasi dan edukasi tentang menjaga kebersihan
bagi ibu nifas, karena ibu nifas sangat rentan terhadap kejadian infeksi, ibu perlu
selalu menjaga kebersihan seluruh tubuhnya, pakaian yang di kenakannya serta
kebersihan lingkungannya. Anjuran pada ibu nifas salah satunya untuk
membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air setiap kali selesai
BAK/BAB. Membersihkan di mulai dari daerah sekitar vulva dari depan ke
belakang, baru kemudian membersihkan daerah sekitar anus (Dewi, 2011).
Berdasarkan uraian diatas, bahwa Iuka jahitan perineum masih menjadi
masalah kesehatan pada ibu nifas yang harus ditanggulangi, karena merupakan
faktor resiko terhadap teijadinya kondisi ibu nifas yang buruk. Penulis tertarik
untuk menerapkan asuhan kebidanan masa nifas pada Ny. R dengan Luka Jahitan
Perineum di Puskesmas Kecamatan Tambora Agar tercapainya kesejahteraan ibu
nifas yang optimal dan dapat mendeteksi secara dini masalah yang mungkin akan
terjadi.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Dapat melaksanakan asuhan kebidanan masa nifas yang responsif gender pada
Ny. R dengan Iuka jahitan perineum di Puskesmas Kecamatan Tambora, Jakarta
Barat.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian asuhan kebidanan masa nifas pada Ny.
R dengan Iuka jahitan perineum di Puskesmas Kecamatan Tambora,
Jakarta Barat
b. Dapat melakukan assessment ibu nifas pada Ny. R dengan Iuka
jahitan perineum di Puskesmas Kecamatan Tambora, Jakarta
c. Dapat merencanakan dan melakukan planning asuhan kebidanan masa
nifas pada Ny. R dengan Iuka jahitan perineum di Puskesmas
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat
d. Dapat melaksanakan evaluasi pada asuhan kebidanan masa nifas pada
Ny. R dengan Iuka jahitan perineum di Puskesmas Kecamatan
Tambora, Jakarta Barat
e. Dapat melakukan pendokumentasian asuhan kebidanan masa nifas
pada Ny. R dengan Iuka jahitan perineum di Puskesmas Kecamatan
Tambora, Jakarta Barat dengan metode SOAP
TINJAUAN TEORI
A. NIFAS
III
2 minggu setelah persalinan
1. Memastikan involusi uterus berjalan normal,uterus berkontraksi, fundus
dibawah umbilicus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak ada bau yang tidak
enak dari genetalia.
2. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau perdarahan pasca
melahirkan.
3. Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan, dan istirahat.
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda
penyulit.
5. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, cara merawat tali
pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.
IV
6 minggu
setelah persalinan
1. Menanyakan pada ibu tentang kesulitan-kesulitan yang ia atau bayi alami
2. Memberikan konseling untuk KB secara dini.
e. Pelayanan Kesehatan pada Ibu Nifas
Kegiatan yang dilakukan pada pelayanan kesehatan ibu nifas antara lain
(Sumiaty, 2018) :
1) Menanyakan kondisi umum ibu nifas
2) Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital seperti, tekanan darah, nadi,
respirasi, dan suhu
3) Melakukan pemeriksaan Tinggi Fundus Uteri (TFU) dan kontraksi uterus
4) Melakukan pemeriksaan lokhea dan perdarahan
5) Melakukan pemeriksaan keadaan jalan lahir
6) Melakukan pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI eksklusif
7) Memberikan kapsul Vitamin A
8) Memberikan pelayanan kontrasepsi pasca persalinan
9) Melakukan konseling atau pendidikan kesehatan
10) Memberikan nasihat kepada ibu nifas, seperti:
a) Makan-makanan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang
mengandung karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, dan
buah-buahan
b) Memenuhi kebutuhan air minum pada ibu menyusui pada 6 bulan
pertama adalah 14 gelas/hari dan 6 bulan kedua adalah 12 gelas/hari
c) Menjaga kebersihan diri, termasuk kebersihan daerah kemaluan,
misalnya dengan ganti pembalut sesering mungkin dan mengganti
pakaian dalam apabila terasa lembab atau basah terutama apabila ibu
memiliki Iuka j ahitan pada perineum
d) Memenuhi kebutuhan istirahat, saat bayi tidur diupayakan ibu juga tidur
e) Mengajarkan cara menyusui yang benar dan hanya memberi ASI saja
selama 6 bulan
f) Mengajarkan cara merawat bayi
g) Melakukan konsultasi kepada petugas kesehatan untuk pelayanan
kontrasepsi setelah persalinan.
f. Peran dan Tanggung Jawab Bidan dalam Masa Nifas
Pada Permenkes Nomor 1464 tahun 2011 (Kementerian Kesehatan RI,
2011) Bidan diberikan wewenang dalam melakukan pelayanan ibu nifas
normal dan pelayanan ibu menyusui. Peran dan tanggung jawab bidan dalam
masa nifas menurut (Sumiyati, 2018) antara lain:
1) Memberikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan melibatkan
kemandirian ibu nifas dan keluarga
2) Melakukan pemeriksaan fisik ibu dan bayi
3) Memberikan motivasi dan keyakinan kepada ibu nifas akan kemampuannya
dalam berperan sebagai seorang ibu
4) Melakukan konseling atau memberikan pendidikan kesehatan pada ibu
nifas
5) Melakukan deteksi dini tanda bahaya, kelainan, atau komplikasi pada masa
nifas.
6) Memberikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan resiko tinggi yang
memerlukan tindakan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya.
7) Mendampingi atau menjadi mitra bagi ibu selama masa nifas
8) Melakukan kolaborasi dengan keluarga dalam hal pengambilan keputusan
selama masa nifas
9) Memberikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan penyulit tertentu
melalui konsultasi dan rujukan, baik pada tenaga kesehatan yang kompeten
dan berwenang maupun pada fasilitas kesehatan yang lebih memadai
10) Memberikan pertolongan pertama pada kasus kegawatdaruratan yang
memerlukan rujukan
11) Merujuk ibu nifas untuk keperluan intervensi lebih lanjut pada
petugas/institusi kesehatan yang berwenang
Adapun peran dan tanggung jawab bidan dalam masa nifas menurut
(Nurjanah, 2013) antara lain:
1) Memberikan dukungan secara berkesinambungan selama masa nifas
sesuai dengan kebutuhan ibu untuk mengurangi ketegangan fisik dan
psikologis selama masa nifas.
2) Memberikan dukungan serta memantau kesehatan fisik ibu dan bayi.
3) Mendukung dan memantau kesehatan psikologis, emosi, social, serta
memberikan semangat kepada ibu.
4) Sebagai promotor antara ibu dan bayi serta keluarga.
5) Memantau ibu dalam menyusui bayinya dan mendorong ibu untuk
menyusui bayinya dengan meningkatkan rasa nyaman.
6) Membangun kepercayaan diri ibu dalam perannya sebagai ibu.
7) Membuat kebijakan, perencanaan program kesehatan yang berkaitan
ibu dan anak mampu melakukan kegiatan administrasi.
8) Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.
9) Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara
pencegahan perdarahan, mengenali tanda- tanda bahaya, menjaga gizi
yang baik, serta mempraktekkan kebersihan yang aman.
10) Melakukan manajemen asuhan dengan mengumpulkan data,
menetapkan diagnosa dan rencana tindakan serta melaksanakannya
untuk mempercepat proses pemulihan, mencegah komplikasi dengan
memenuhi kebutuhan ibu dan bayi selama periode nifas.
1l) Memberikan asuhan secara profesional.
c) Lokhea
Lokhea adalah ekskresi lapisan desidua pada uterus melalui
vagina selama masa nifas, biasanya berlangsung 40 hari. Vagina
akan terus-menerus mengeluarkan darah. Lokhea mengandung sei
darah merah, trombosit, sei epitel, sisa jaringan desidua yang
nekrotik dari dalam uterus, dan bakteri. Lokhea berbau amis atau
anyir dengan volume yang berbeda-beda pada setiap wanita.
Lokhea yang berbau tidak sedap menandakan adanya infeksi.
Klasifikasi lokhea menurut (Mansyur, 2014):
(1) Lokhea Rubra
Terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga masa post
partum. Cairan yang keluar berwama merah karena berisi darah
segar, jaringan sisa-sisa plasenta, sel-sel desidua, verniks
kaseosa (lemak
bayi), lanugo (rambut bayi), dan mekonium.
(2) Lokhea sanguinolenta
Terjadi pada hari ke-4 sampai ke-7 postpartum. Berwarna
merah kecokelatan dan berlendir.
(3) Lokhea serosa
Terjadi pada hari ke-7 sampai ke-14 postpartum. Berwarna
kuning kecokelatan karena mengandung serum, leukosit,
eritrosit dan robekan atau laserasi plasenta.
(4) Lokhea alba
Terjadi pada hari ke-14 sampai ke-42 postpartum.
Mengandung leukosit, sei desidua, sei epitel, selaput lendir
serviks, dan serabut jaringan yang mati.
5) Endometrium
Endometrium akan pulih kembali pada minggu ke-3 postpartum
karena adanya proses proliferasi sisa-sisa kelenjar endometrium dan
stroma jaringan ikat. Pada 2-3 hari postpartum, lapisan desidua akan
berdiferensiasi menjadi dua lapisan, yaitu dengan lapisan basal akan
tetap utuh menjadi lapisan endometrium yang baru dan lapisan
superfisial desidua akan mengalami nekrotik. (Sumiyati, 2018)
6) Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu pada fase ini seperti rasa
mules, nyeri pada Iuka jahitan perineum, kurang tidur, dan kelelahan
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat
ibu perlu cukup istirahat untuk mencegah gangguan psikologis yang
mungkin dialami, seperti mudah tersinggung, menangis.
7) Peningkatan nutrisi dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan dan
penyembuhan Iuka, serta persiapan proses laktasi aktif.
8) Dalam memberikan asuhan, bidan harus dapat memfasilitasi kebutuhan
psikologis ibu. Pada tahap ini, bidan dapat menjadi pendengar yang
baik ketika ibu menceritakan pengalamannya. Berikan juga dukungan
mental atau apresiasi atas hasil perjuangan ibu sehingga dapat berhasil
melahirkan anaknya. Bidan harus dapat menciptakan suasana yang
nyaman bagi ibu sehingga ibu dapat dengan leluasa dan terbuka
mengemukakan permasalahan yang dihadapi pada bidan. Dalam hal
ini, sering tejadi kesalahan dalam pelaksanaan perawatan yang
dilakukan oleh pasien terhadap dirinya dan bayinya hanya karena
kurangnya jalinan komunikasi yang baik antara pasien dan bidan.
b. Fase “Taking Hold”
1) Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Ibu merasa
khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawab dalam
perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih sensitif sehingga mudah
tersinggung. Hal yang perlu diperhatikan adalah komunikasi yang baik,
dukungan, dan pemberian penyuluhan/pendidikan kesehatan tentang
perawatan diri dan bayinya.Ibu menjadi perhatian pada kemampuannya
menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan tanggung jawab
terhadap bayi.
2) Ibu berkonsentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya, BAB, BAK,
serta kekuatan dan ketahanan tubuhnya.
3) Ibu berusaha keras untuk menguasai keterampilan perawatan bayi,
misalnya menggendong, mamandikan, memasang popok, dan
sebagainya. Walaupun ibu masih meminta bantuan dari keluarganya.
4) Pada masa ini, ibu biasanya agak sensitif dan merasa tidak mahir dalam
melakukan hal-hal tersebut.
5) Pada tahap ini, bidan harus tanggap terhadap kemungkinan perubahan
yang terjadi.Tahap ini merupakan waktu yang tepat bagi bidan untuk
memberikan bimbingan cara perawatan bayi, cara menyusui yang
benar, cara perawatan Iuka j ahitan, senam nifas, pendidikan kesehatan
gizi, istirahat, kebersihan diri dan lain-lain. Namun, harus selalu di
perhatikan teknik bimbingannya, jangan sampai menyinggung perasaan
atau membuat perasaan ibu tidak nyaman karena ia sangat sensitif.
Hindari kata “jangan begitu” atau “kalau kayak gitu salah” pada ibu
karena hal itu akan sangat menyakiti perasaanya dan akibatnya ibu
akan putus asa untuk mengikuti bimbingan yang bidan berikan.
c. Fase “Letting Go”
1) Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran
barunya. Fase ini berlangsung pada lebih dari 10 hari setelah
melahirkan. Ibu sudah mulai dapat menyesuaikan diri dengan
ketergantungan bayinya.
2) Fase ini biasanya terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Pada fase ini pun
sangat berpengaruh terhadap waktu dan perhatian yang diberikan oleh
keluarga.Ibu memahami bahwa bayi butuh disusui sehingga siap
terjaga untuk memenuhi kebutuhan bayinya. Keinginan untuk merawat
diri dan bayinya sudah meningkat pada fase ini
3) Pendidikan kesehatan yang kita berikan pada fase sebelumnya akan
sangat berguna bagi ibu. Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan
diri dan bayinya.
4) Terjadi peningkatan akan perawatan diri dan bayinya. Ibu merasa
percaya diri akan peran barunya, lebih mandiri dalam memenuhi
kebutuhan dirinya dan bayinya. Suami dan keluarga dapat membantu
merawat bayi, mengerjakan urusan rumah tangga sehingga ibu tidak
telalu terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup, sehingga
mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat bayinya.
5) Hal-hal yang harus dipenuhi selama nifas adalah kebutuhan fisik,
psikologi, dan sosial.
6) Depresi Post Partum umumnya terjadi pada periode ini. Menurut
(Mansyur, 2014). Faktor-faktor yang memengaruhi suksesnya masa transisi
ke masa menjadi orang tua pada saat postpartum, antara lain :
a. Respon dukungan dari keluarga dan teman
Keterlibatan keluarga dari awal dalam menentukan bentuk asuhan dan
perawatan yang harus diberikan pada ibu dan bayi akan memudahkan
bidan dalam pemberian asuhan.
b. Hubungan dari pengalaman melahirkan terhadap harapan dan aspirasi.
c. Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lalu.
d. Pengaruh budaya
Adanya adat-istiadat yang dianut oleh lingkungan dan keluarga sedikit
banyak akan memengaruhi keberhasilan ibu dalam melewati masa nifas.
Apalagi jika ada hal yang tidak sinkron antara arahan dari tenaga
kesehatan dengan budaya yang
dianut. Dalam hal ini, bidan harus bijaksana dalam menyikapi, namun
tidak mengurangi kualitas asuhan yang harus diberikan.
Beri motivasi ibu postpartum untuk buang air kecil (miksi) pada
saat 6 jam postpartum meski terasa nyeri pada daerah Iuka perineum.
Jika dalam 8 jam postpartum belum dapat berkemih atau sekali
berkemih belum melebihi 100 ml, maka dilakukan kateterisasi. Akan
tetapi, jika kandung kemih penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk
kateterisasi. Kandung kemih yang penuh dapat mengganggu kontraksi
uterus dan akan menimbulkan komplikasi lainnya.
2) Defekasi
Biasanya 2-3 hari post partum masih sulit buang air besar. Jika
klien pada hari ke tiga belum juga buang air besar maka diberikan obat
suppositoria dan minum air hangat. Agar dapat buang air besar secara
teratur dapat dilakukan dengan diet teratur. Pemberian cairan yang
banyak, makanan cukup serat, dan olahraga.
e. Kebersihan Diri
Karena keletihan dan kondisi psikis yang belum stabil, biasanya ibu
post partum masih belum cukup kooperatif untuk membersihkan dirinya.
Bidan harus bijaksana dalam memberikan motivasi ini tanpa mengurangi
keaktifan ibu untuk melakukan personal hygiene secara mandiri. Pada
tahap awal, bidan dapat melibatkan keluarga dalam perawatan kebersihan
ibu. Beberapa langkah penting dalam perawatan kebersihan diri ibu post
partum menurut (Mansyur, 2014) adalah:
1) Menjaga kebersihan seluruh tubuh untuk mencegah infeksi dan alergi
kulit pada bayi. Kulit ibu yang kotor karena keringat atau debu dapat
menyebabkan kulit bayi mengalami alergi melalui sentuhan kulit ibu
dengan bayi.
2) Menjaga kebersihan pakaian
Sebaiknya menggunakan pakaian terbuat dari bahan yang mudah
menyerap keringat karena produksi keringat ibu menjadi banyak
sehingga disarankan untuk menggunakan pakaian yang tidak terlalu
ketat di daerah payudara dan celana dalam yang tidak terlalu ketat guna
menghindari iritasi di daerah gentalia (Walyani, 2015).
3) Membersihkan rambut minimal 2 hari sekali
4) Membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa
ibu mengerti untuk membersihkan daerah vulva terlebih dahulu, dari
depan kebelakang, baru kemudian membersihkan daerah anus.
5) Mengganti pembalut setiap kali darah sudah penuh atau minimal 2 kali
dalam sehari. Kadang hal ini terlewat untuk disampaikan kepada
pasien. Masih ada Iuka terbuka didalam rahim dan vagina sebagai satu-
satunya port de entre kuman penyebab infeksi rahim maka ibu harus
senantiasa menjaga suasana keasaman dan kebersihan vagina dengan
baik.
6) Mencuci tangan dengan sabun dan air setiap kali selesai membersihkan
daerah kemaluannya.
7) Pada masa postpartum, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi.
Oleh karena itu, kebersihan diri sangat penting untuk mencegah
terjadinya infeksi.
f. Istirahat
Keluarga disarankan untuk memberikan kesempatan kepada ibu untuk
beristirahat yang cukup sebagai persiapan energi menyusui bayinya nanti
karena ibu post partum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas
untuk memulihkan kembali keadaan fisiknya. Menurut (Mansyur, 2014)
Kurang istirahat pada ibu post partum akan mengakibatkan beberapa
kerugian misalnya:
1) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.
2) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan.
3) Menyebabkan depresi dan ketidaknyamanan untuk merawat bayi dan
dirinya sendiri.
Kebutuhan istirahat bagi ibu menyusui minimal 8 jam sehari, yang
dapat dipenuhi melalui istirahat malam dan siang. Bidan harus
menyampaikan kepada pasien dan keluarga bahwa untuk kembali
melakukan kegiatan-kegiatan rumah tangga, harus dilakukan secara
perlahan-lahan dan bertahap. Selain itu, pasien juga perlu diingatkan untuk
tidur siang atau beristirahat selagi bayinya tidur agar istirahatnya tecukupi.
(Mansyur, 2014)
g. Seksual
Beberapa budaya dan agama melarang untuk melakukan hubungan
seksual sampai masa nifas berakhir yaitu, setelah 40 hari atau 6 minggu
setelah melahirkan. Secara fisik, aman untuk
melakukan hubungan seksual begitu darah merah berhenti dan ibu dapat
memasukan satu atau dua jarinya kedalam vagina tanpa rasa nyeri. Tetapi
keputusan bergantung kepada pasangan yang bersangkutan. (Mansyur,
2014).
h. Keluarga Berencana (KB)
Perencanaan keluarga berencana dapat ditentukan oleh pasangan suami
istri seperti pemilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Bidan
sebaiknya memberikan informasi yang lengkap tentang jenis-jenis
kontrasepsi. Apabila sudah memasuki masa subur sebaiknya ibu segera
menggunakan kontrasepsi karena ibu nifas dianjurkan untuk menunda
kehamilannya minimal 2 tahun agar bayi memperoleh ASI selama 2 tahun.
Penjarangan kehamilan juga bermanfaat untuk kesehatan ibu. Apabila
pasangan suami istri telah menentukan dan memilih satu metode
kontrasepsi maka anjurkan untuk melakukan pertemuan dengan bidan atau
tenaga kesehatan dalam dua minggu. Berikut pemilihan metode
kontrasepsi (Kementerian Kesehatan RI, 2013)
Urutan Fase Fase Fase Tidak
Prioritas Menunda Menjarangka Hamil Lagi (anak >2)
Kehamilan n
Kehamilan
1 Pil AKDR Steril (MOP/MOW)
Biasanya wanita tidak akan menghasilkan sei telur atau ovulasi sebelum ia haid
selama menyusui. Oleh karena itu Metode Amenorea Laktasi (MAL) dapat
digunakan sebelum haid pertama kembali untuk mencegah kehamilan baru. Risiko
cara ini adalah 2% terjadinya kehamilan, (Walyani, 2015).
i. SenamNifas
Banyak diantara senam post partum sebenarnya sama dengan senam
antenatal. Hal yang paling penting bagi ibu adalah agar senam tersebut
hendaknya dilakukan secara perlahan dahulu lalu semakin lama semakin
sering/kuat. Senam yang pertama paling baik paling aman untuk
memperkuat dasar panggul adalah senam kegel. Segera lakukan senam
kegel pada hari pertama postpartum bila memang memungkinkan.
Meskipun kadang-kadang sulit untuk secara mudah mengaktifkan otot-otot
dasar panggul ini selama hari pertama atau kedua, anjurkanlah agar ibu
tersebut tetap memcobanya. Senam kegel akan membantu penyembuhan
postpartum dengan jalan membuat kontraksi dan pelepasan secara
bergatian pada otot-otot dasar panggul, membantu mempercepat
pemulihan keadaan ibu, mempercepat proses involusi dan pemulihan
fungsi alat kandungan, memperlancar pengeluaran lokhea, membantu
memulihkan kekuatan dan kekencangan otot-otot panggul, perut, dan
perineum tertuma otot yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan,
membantu mengurangi rasa sakit pada otot-otot setelah melahirkan,
merelaksasikan otot-otot yang menunjang proses kehamilan dan
persalinan, dan meminimalisir timbulnya kelainan dan komplikasi nifas,
misalnya emboli, thrombosis dan lain-lain. (Mansyur, 2014)
d. ASI Ekslusif
ASI adalah pemberian ASI yang dimulai sejak bayi baru lahir sampai
dengan usia 6 bulan tanpa tambahan makanan dan minuman seperti susu
formula jeruk, madu, air gula, air putih, air teh, pisang, bubur susu, biskuit,
bubur nasi, dan nasi tim. Walaupun pada kenyataannya kebanyakan dari
ibu yang bekerja bermasalah dengan kebijakan ini karena hambatan waktu,
namun sebagai bidan harus berupaya untuk memberikan solusi dan
hambatan ini mulai beberapa langkah. Pemberian ASI Ekslusif ini tidak
selamanya harus langsung dari payudara ibu. Ternyata, ASI yang
ditampung dari payudara ibu dan ditunda pemberiannya kepada bayi
melalui metode penyimpanan yang benar relative masih sama kualitasnya
dengan ASI yang langsung dari payudara ibu. Komposisi ASI sampai 6
bulan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan Gizi bayi, meskipun
tambahan makanan ataupun produk minuman pendamping.
Kebijakan ini berdasarkan pada beberapa hasil penelitian (evidence
based) yang menemukan bahwa pemberian makanan pendamping ASI
justru akan menyebabkan pengurangan kapasitas lambung bayi dalam
menampung asupan cairan ASI sehingga pemenuhan ASI yang seharusnya
dapat maksimal telah tergantikan oleh makanan pendamping.
Cara menyimpan ASI perah yaitu, tinggalkan sekitar ’A cangkir penuh
(100ml) untuk sekali minum bayi saat ibu keluar rumah. Tutup cangkir
yang berisi ASI dengan kain bersih, simpan di tempat yang sejuk dirumah,
dilemari es. 4-8 jam dalam temperatur ruangan (19°C-25°C, bila kolostrum
bertahan selama 12 jam, 8 hari di lemari es (suhu 4°C), 2 minggu sampai 6
bulan di freezer lemari es, 6 bulan dalam freezer. ASI jangan dimasak atau
dipanaskan, karena panas akan merusak bahan- bahan anti infeksi yang
terkandung dalam ASI.
e. Cara Menyusui yang Benar
1) Posisi dan perlekatan menyusui
Salah satu cara menyususi yang tergolong biasa dilakukan adalah
dengan duduk, berdiri atau berbaring.
2) Langkah-langkah menyusui yang benar
a) Cuci tangan yang bersih dengan sabun, perah sedikit ASI dan
oleskan disekitar putting, duduk, dan berbaring dengan santai.
b) Bayi diletakkan menghadap ke ibu dengan posisi sanggah seluruh
tubuh bayi, jangan hanya leher dan bahunya saja, kepala dan tubuh
bayi lurus, hadapkan bayi ke dada ibu, sehingga hidung bayi
berhadapan dengan puting susu, dekatkan badan bayi ke badan ibu,
menyetuh bibir bayi ke puting susunya dan menunggu sampai mulut
bayi terbuka lebar.
c) Segera dekatkan bayi ke payudara sedemikian rupa sehingga bibir
bawah bayi terletak di bawah puting susu.
d) Cara melekatkan mulut bayi dengan benar yaitu dagu menempel
pada payudara ibu, mulut bayi terbuka lebar dan bibir bawah bayi
membuka lebar.
e) Menyendawakan bayi
Tujuan menyendawakan bayi adalah mengeluarkan udara dari
lambung supaya bayi tidak muntah setelah menyusui. Cara
menyendawakan bayi:
(1) Bayi digendong tegak dengan bersandar pada bahu ibu
kemudian punggugnya di tepuk perlahan-lahan
(2) Bayi tidur tengkurap dipangkuan ibu, kemudian punggungnya di
tepuk perlahan-lahan.
1. Luka Perineum
a. Perineum merupakan daerah muskular yang terdiri dari otot, ditutupi
kulit, dan terdapat jaringan yang membentang antara komisura
posterior sampai anus. Rata-rata panjang perineum yaitu 4 cm
(Kusmiyati, 2017).
b. Bentuk Luka Perineum
Bentuk Iuka perineum dibagi menjadi 2 proses, yaitu:
1) Rupture
Ruptur perineum adalah robekan alamiah pada perineum yang
di akibatkan oleh rusaknya jaringan secara alamiah karena proses
persalinan spontan yang mengakibatkan terputusnya kontinuitas
jaringan pada perineum (Walyani, 2015).
2) Episiotomi
Episiotomi adalah tindakan insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput vagina, jaringan pada septum
rektovaginal, otot perineum, fasia perineum, dan kulit depan
perineum (Walyani, 2015).
c. Faktor Penyebab Luka Perineum
Menurut (Rosnani, 2017)
1) Faktor ibu
a) Partus presipitatus
Adalah persalinan yang terjadi terlalu cepat yakni kurang dari
tiga jam. Kepala janin terjadi defleksi terlalu cepat sehingga
memperbesar kemungkinan terjadinya ruptur perineum.
b) Primigravida
Pada primigravida perineum masih dalam keadaan utuh.
Dengan perineum yang masih utuh pada ibu primigravida
akan memudahkan terjadi robekan pada perineum.
c) Adanya jaringan parut pada perineum dan vagina pada jalan
lahir, akan menghalangi atau menghambat kemajuan persalinan,
sehingga tindakan episiotomi pada kasus ini dapat di
pertimbangkan.
d) Persalinan operatif pervaginam (ekstraksi forceps, ekstraksi
vakum, dll).
2) Faktorjanin
a) Berat Badan Bayi Baru lahir
Berat badan bayi yang besar lebih dari 4000 gram akan
meningkatkan resiko robekan pada perineum.
b) Presentasi
(1) Presentasi Muka
Presentasi muka atau presentasi dahi letak janin
memanjang, sikap ekstensi sempuma dengan diameter pada
waktu masuk panggul atau diameter submento bregmatika
sebesar 9,5 cm. Bagian terendahnya adalah bagi antara glabella
dan dagu.
(2) Presentasi Dahi
Presentasi dahi adalah sikap ekstensi sebagian
(pertengahan), hal ini berlawanan dengan presentasi muka yang
ekstensinya sempurna. Bagian terendahnya adalah daerah
diantara margoorbitalis dengan bregma dengan penunjuknya
adalah dahi.
(3) Presentasi Bokong
Presentasi bokong memiliki letak memanjang dengan
kelainan dalam polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah
dengan penunjuknya adalah sacrum.
1) Derajat I : Tidak perlu dijahit jika perdarahan dari tempat Iuka dalam
kondisi baik
2) Derajat II : Jahit dan kemudian Iuka pada vagina dankulit perineum akan
menutup dengan mengikutsertakan jaringan-jaringan dibawahnya
f. Penyembuhan Luka
Menurut (Walyani, 2015).
1) Penyembuhan Iuka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi
jaringan yang rusak. Dalam proses penyembuhan Iuka sebaiknya
mendapatkan asuhan yang baik, apabila tidak mendapat asuhan
yang baik maka akan menimbulkan keadaan yang patologi.
Fase-fase penyembuhan Iuka dibagi menjadi :
a) Fase Inflamasi :Fase penyembuhan Iuka yang
berlangsung selama 1 sampai 4 hari
b) Fase Proliferatif : Fase penyembuhan Iuka yang
berlangsung 5 sampai 20 hari. Pada fase proliferasi terjadi
pertumbuhan jaringan baru melalui proses granulasi, kontraksi
Iuka, dan epitelialisasi.
c) Fase Maturasi :Fase penyembuhan Iuka yang berlangsung 21
hari sampai 1 bulan atau bahkan dalam jangka waktu tahunan
2) Dalam penatalaksanaan beda penyembuhan Iuka, dibagi menjadi :
a) Penyembuhan Iuka melalui intensi pertama (penyatuan primer).
Luka dibuat dengan tindakan aseptic, pengrusakan jaringan yang
sedikit, dan penutupan dengan baik
b) Penyembuhan melalui intensi kedua (granulasi). Pada Iuka
terjadi pembentukan pus atau tepi Iuka tidak saling merapat,
proses perbaikannya dengan proses
penjahitan. Selama granulasi, kapiler dari sekitar pembuluh
darah tumbuh ke dasar Iuka. Jaringan granulasi yang sehat
berwarna merah terang, halus, bercahaya, dan dasarnya tampak
mengerut dan tidak mudah berdarah. Setelah Iuka berisi jaringan
ikat, fibroblas terkumpul di sekitar tepi Iuka dan berkontraksi,
merapatkan kedua tepi Iuka. Terbentuk jaringan parut epitel
fibrosa yang lebih kuat pada saat fibroblas dan serat kolagen
mulai menyusut, menimbulkan kontraksi pada area tersebut.
2. Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Menurut Internasional Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah rasa emosional yang tidak menyenangkan berasal dari
kerusakan suatu jaringan pada tubuh. (Utami, 2015)
b. Nyeri Perineum Pascasalin
Nyeri yang terjadi pada badan perineum (perineal body), daerah
otot, dan jaringan fibrosa yang menyebar dari simpisis pubis sampai ke
coccygis karna adanya robekan yang terjadi baik karena ruptur spontan
atau yang disengaja yaitu dengan tindakan episiotomi. Nyeri perineum
akan dirasakan setelah persalinan sampai beberapa hari persalinan.
(Utami, 2015)
Nyeri yang dirasakan oleh ibu postpartum karena adanya Iuka pada
perineum menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi ibu
postpartum. Dengan adanya Iuka pada perineum banyak ibu takut untuk
bergerak sehingga akan banyak timbul masalah baru seperti subinvolusi
uterus, pengeluaran lokhea yang tidak lancar, dan perdarahan
postpartum. (Sumiyati, 2018).
Adanya nyeri berkaitan dengan reseptor terhadap rasa nyeri
(neciceptor) yang akan berpengaruh pada rangsangan stimulasi
histamine, prostaglandin, termal, atau mekanis ketika ada jaringan
tubuh yang rusak.
Menurut (Anggraini, 2010) rasa nyeri perineum yang dirasakan
adalah akibat dari penjahitan perineum, jahitan perineum yang masih
basah, dan masih terdapat pengeluaran darah merah (lokhea rubra).
Menurut (Rahmawati, 2013) dimana setiap ibu bersalin yang
mengalami Iuka jahitan perineum akan mengalami nyeri dan
ketidaknyamanan.
Nyeri akibat Iuka pada perineum yang dirasakan oleh ibu
postpartum memiliki intensitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
petugas kesehatan harus dapat membedakan atau mengklarifikasikan
setiap nyeri yang dirasakan oleh ibu postpartum agar dapat memberikan
asuhan yang tepat kepada ibu postpartum.
c. Dampak Nyeri Perineum
Dampak nyeri perineum adalah traumatik, takut terluka, stress, sulit
tidur, tidak nafsu makan, dan depresi, Sehingga ibu postpartum
mengalami keterlambatan dalam mobilisasi, gangguan rasa nyaman
pada saat duduk, berdiri, berjalan, dan bergerak. Hal tersebut akan
berdampak pada gangguan istirahat ibu postpartum dan keterlambatan
kontak awal antara ibu dan bayinya. (Utami, 2015)
d. Intensitas Nyeri
Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan respon fisiologis
tubuh terhadap nyeri. Skala intensitas nyeri jika diukur dengan angka,
yaitu :
1) 0-3 : Tidak nyeri
2) 4-8 : Nyeri sedang, klien dapat menunjukkan lokasi
nyeri, dapat mendeskripsikan rasa nyeri, dan masih bisa mengikuti
arahan dan perintah dengan baik.
3) 9-10 : Nyeri hebat, terkadang klien tidak dapat mengikuti
arahan dan perintah tetapi masih bisa merespon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri tetapi tidak dapat
mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan nafas panjang.
(Utami, 2015)
e. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi menurut Andarmoyo (2013) yaitu :
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah rasa nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah yang memiliki jangka waktu yang
cepat, dengan intensitas rasa nyeri yang bervariasi (ringan sampai
berat). Nyeri ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi.
Nyeri jenis ini, seperti pasca persalinan, sakit kepala, sakit gigi,
tertusuk duri, terbakar, pasca pembedahan, dan lain sebagainya.
2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap sepanjang suatu periode
waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari enam bulan.
f. Penanganan nyeri pada perineum
Bisa dilakukan secara farmakologi maupun non- farmakologi.
Penanganan nyeri perineum secara farmakologi yaitu dengan
memberikan analgesic oral (paracetamol 500 mg setiap 4 jam atau jika
diperlukan) sedangkan penanganan secara non-farmakologi yaitu
dengan menjaga kebersihan alat genetlia, mobilisasi dini, dan bisa juga
dengan teknik kompres dingin pada perineum. (Olivierra, 2012)
1. Nyeri perineum
a. Mengajarkan dan anjurkan ibu melakukan teknik relaksasi
b. Menganjurkan ibu untuk mencari posisi yang nyaman
c. Mengajarkan ibu mengenai perawatan Iuka perineum dan
menganjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan perineum
d. Menganjurkan ibu makan dengan gizi seimbang dan memperbanyak
makan tinggi protein
e. Menganjurkan ibu mobilisasi dini secara bertahap
f. Melakukan penatalaksanaan pemberian analgetik, antibiotik, dan
vitamin C