EM SUTRISNA
EM SUTRISNA
Bapak ibu anggota senat yang saya hormati, judul ini kami pilih setelah sekian tahun
pengalaman teoritikal maupun praktek kami dibidang farmakologi. Sebagai mana kita tahu,
bahwa pengobatan terhadap penyakit telah muncul seiring dengan diciptakannya manusia dan
ilmu pengobatan (dikenal dengan farmakologis: pharmacon adalah obat dan logos adalah ilmu)
bahkan telah ada sebelum masehi. Penulis mencoba menelisik sejarah pengobatan sejak masa
Rasulllulah SAW. Pengobatan ala Rosululloh dikenal dengan Tibbun nabawi.
Beberapa dalil Al Quran yang berkaitan dengan obat dan sakit antara lain:
“Dan apabila aku sakit, Dia (Allah)-lah yang menyembuhkan aku.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 80).
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim
selain kerugian.” (Q.S. Al-Isra': 82)
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan” (Q.S. An-Nahl: 69)
“Setiap penyakit ada obatnya. Maka jika obat itu mengenainya, penyakit akan sembuh dengan
izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala.” (HR. Muslim)
''Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan'' (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Pengobatan yang berkembang pada jaman Rosululloh antara lain madu dan bekam
sebagaimana dalam sabdanya: “Kesembuhan/obat itu dalam tiga hal/cara yaitu minum madu,
berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.” (HR. Al-Bukhari no. 5680)
Bapak ibu anggota senat dan tamu undangan yang kami hormati, seiring dengan perjalanan
waktu maka teknologi berkembang pesat. Dunia kedokteran/pengobatan juga berkembang pesat.
Ilmu pengobatan modern diperkirakan mulai muncul abad 16-18.
Beberapa sejarah perkembangan pengobatan (farmakologi) yang bisa dicatat antara lain:
Pengobatan modern masa lalu dan masa kini sering masih merupakan pengobatan
konvensional (Convensional medicine). Convensional medicine (CM) bukanlah traditional
medicine tetapi merupakan modern medicine. Pengobatan pada CM awalnya dimulai dari
empiris, tetapi pada perkembangan berikutnya pengobatan berbasis mekanisme penyakit (Jain,
2009). Hal ini menyebabkan pengobatan lebih terarah sesuai mekanisme penyakit tersebut.
Perkembangan lebih lanjut dalam CM adalah pengobatan berbasis bukti yang lebih dikenal
sebagai EBM ( evidence based medicine) (Goldberger, 2013). Dan dalam EBM, randomized
controlled trial (RCT) merupakan level terkuat sebagai pedoman pengobatan. Meskipun
mekanisme/patofisiologi penyakit telah diketahui, pengobatan telah dilakukan berbasis EBM
tetapi masih ada laporan adanya kelemahan efikasi maupun munculnya ADR (adverse drugs
reactions). Hal ini berpangkal karena pada CM dikembangkan “universal drugs” untuk satu
penyakit tertentu. Banyak dokter yang meresepkan berdasar pengalaman dan preferensi. Hal
inilah yang menyebabkan pada CM banyak terjadi:
Dengan konsep CM tersebut ternyata: 38% populasi yang menerima antidepressant SSRI
(Serotonin Selective Reuptake Inhibitor) tidak efektif; 40% penderita asma yang menerima obat
antiasma tidak efektif, sementara 70% obat alzheimers tidak efektif dan sekitar 75% obat anti
kanker tidak efektif (Brian et al., 2001). Ini mungkin terjadi karena variasi genetik pada pasien
tersebut. Diperkirakan sekitar 20-50% respon pengobatan dipengaruhi oleh genetika pasien
(Eichler, 2011).
Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota senat Universitas Muhammadiyah Surakarta dan
bapak ibu sekalian, kami nukil perkataan William Osler yang dianggap sebagai The father of
Modern medicine (1849-1919) yang mengatakan “The good physician treats the disease, but the
great physician treats the patients who the disease”
tersebut antara lain: fungsi ginjal, fungsi hepar, riwayat alergi, riwayat keluarga dan lain-lain dan
tidak/kurang memperhitungkan faktor genotype pasien.
Pada konsep polimorfisme, Variasi genetik tersebut bisa mempengaruhi fenotype tetapi
terkadang tidak menyebabkan perubahan fenotype. Terkadang polimorfisme menyebabkan over
expression tetapi bisa juga terjadi under expression. Polimorfisme yang sering terjadi antara lain
SNPs (Single nucleotide polymorphism), Insersi-delesi (Indel), VNTR (Variable number tandem
repeat) maupun RFLP (Restriction fragment length polymorphism).
Adanya variasi (yang berbeda) pada urutan untai DNA pada single nukleotida, baik
pada A,T, C atau G memunculkan SNPs. Diperkirakan terjadi satu SNPs diantara 1000 basa.
Sebagaimana difahami, diperkirakan genom manusia terdiri dari 3 milyar pasang basa yang bisa
memunculkan lebih dari 1,5 SNPs (Sutrisna, 2015). Sebagaian besar SNPs terjadi di non coding
region tetapi bisa muncul juga dalam coding region. SNPs terkadang tidak menyebabkan
perubahan sekuensi asam amino dalam membentuk protein (dikenal dengan synonymous SNPs)
tetapi bisa juga menyebabkan perubahan sekuensi asam amino (dikenal non synonymous SNPs).
Sementara polimorfisme yang berupa insersi-delesi terjadi karena penambahan(insersi) atau
pengurangan (delesi) satu atau lebih pasangan nukleotida dalam suatu gen (Sutrisna, 2015).
homolog dengan fragmen yang panjangnya berbeda (diketahui setelah digesti DNA oleh
endonuklease (Sutrisna, 2015). Ini dikenal dengan istilah RFLP (restriction fragment length
polimorphims).
Secara umum polimorfisme genetik yang berkaitan dengan respon pengobatan adalah
ketika polimorfisme tersebut terjadi pada drugs transporter gene, drug-metabolizing enzyme
gene dan drugs target gene.
Salah satu faktor yang mempengaruhi farmakokinetika obat adalah transport obat. Drugs
transporter gene adalah gene yang mengkode pembentukan protein pentransport obat. Ini adalah
kelompok protein yang terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang berperan dalam "
efflux obat" (efflux transporter) yang dikelompokkan dalam Family ABC transporter (ATP
binding cassette) dan transporter yang berperan dalam masuknya obat (influx) yang
dikelompokkan dalam Family SLC (solute linked carrier) (Sutrisna, 2015).
Sampai sekarang telah dipetakan lebih dari 380 trasporter SLC dalam human genom
dengan 48 subfamily (Frederikson, 2008 dalam Sutrisna, 2015). Transporter yang memegang
peranan penting antara lain SLCO (organic anion transporting polypeptida), dan organic kation
transporter (SLC47), SLC15 (trasporter oligopeptida), organic anion/kation/zwitterions
transporter (SLC 22). Semua SLC ini berperanan penting dalam uptake obat masuk usus, hati
dan ginjal. Sedang SLC 47 memediasi eliminasi obat ke empedu dan urin (Zhang et al., 2005
dalam Sutrisna, 2015).
Transporter ABC memegang peranan cukup vital dalam proses absorbsi, distribusi dan
eliminasi obat. Kelompok protein ini memiliki BM150-200kDa dengan 2 domain
transmembran, masing masing mengandung enam transmembran helix dan dengan dua
sitoplasma ATP-binding domain (Zhang et al., 2005 dalam Sutrisna, 2015). Termasuk dalam
kelompok ini adalah MDR-1(Multidrug resistant gene/P-glycoprotein) (ABCB1); BSEP1(Bile
salt export pump/sister P-glycoprotein) (ABCB 11); MRP-1(Multidrug resistance associated
protein 1) (ABCC1); MRP-2(Multidrug resistance associated protein 2) (ABCC2);
MRP3(Multidrug resistance associated protein 3); MRP-4(Multidrug resistance associated
protein 4), BCRP(Breast cancer resistance protein); NTCP (Sodium taurocholate
7
Polimorfisme pada drugs transporter gene bisa menimbulkan beberapa implikasi klinis.
Sebagai contoh Polimorfisme pada gen MDR. MDR-1 gene mempunyai peranan penting dalam
pembentukan PGP (P-Glyco protein) (Schaich et al., 2010; Pechandova et al, 2006; Tanabe et
al., 2001; Higgin 1992 dalam Sutrisna, 2014). Digoksin merupakan substrat PGP. Polimorfisme
MDR-gene mempengaruhi kadar digoksin dalam darah. Pasien dengan gen MDR1C3435T TT
memiliki kadar digoksin yang lebih tinggi dibanding MDR1 C3435T CC dan MDR1C3435T CT. Hal ini
terjadi karena pada individu tersebut hanya memiliki sedikit PGP (ekspresi PGP 2x lebih rendah
dari dibanding CC) sehingga akan menyebabkan peningkatan bioavailabilitas digoksin per oral
(Brinkmann & Eichelbaum, 2001; Johne et al., 2002; Verstuyft et al., 2003 dalam Sutrisna,
C3435T
2015). Contoh lain adalah Pasien dengan homozigot MDR1 TT yang menderita HIV-1 dan
menerima ARV (antiretroviral) memiliki Jumlah CD4 yang lebih tinggi dibanding homozigot
MDR1 C3435T CC (Fellay et al., 2002 dalam Sutrisna, 2015).
Contoh implikasi klinis akibat polimorfisme tersebut antara lain: individu dengan type
CYP1A2*1F akan terjadi peningkatan efek dari obat yang dimetabolisme oleh enzim tersebut.
Terdapat peningkatan resiko beratnya COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) pada
individu dengan CYP1A2*1D allel ”T” dan CYP1A2*1Fallel C (Uslu et al., 2010 dalam
Sutrisna, 2015). Hal ini terjadi karena CYP1A2*1F memiliki 163C>T mutasi di intron 1 yang
menyebabkan penurunan ekspresi CYP1A2 (Ingelman-Sundberg, 2007 dalam Sutrisna, 2015).
Contoh lain adalah Polimorfisme pada CYP2A6 gene. Enzyme ini mengkatalisator metabolisme
banyak obat/senyawa antara lain nikotin. Polimorfisme pada CYP2D6 gene yang menyebabkan
defektif allele CYP2A6 meningkatan toleransi nikotin dan peningkatan adverse effect karena
nikotin( Cavallari & Lam., 2005 dalam Sutrisna, 2015).
Polimorfisme pada CYP2C9 merupakan polimorfisme yang telah banyak dipetakan.
Tercatat lebih dari 50 SNPs pada CYP2C9. Polimorfisme CYP2C9*2 & CYP2C9*3
menyebabkan penurunan aktivitas dari enzim tersebut (Lee at al, 2002, Schwarz 2002, Bravo-
villata et al., 2005, Kirchheiner & Brockmoller 2005, Gracia-Martin et al., 2006 dalam Sutrisna,
2015). Hal ini akan berimplikasi pada meningkatnya efek samping dari obat-obat yang
metabolism oleh CYP2C9 antara lain Warfarin, phenitoin dan tolbutamid. Ketiga obat tersebut
merupakan obat dengan indeks terapi sempit (narrow therapeutic index) . Maka pemberian obat
ini pada individu dengan CYP2C9*2 & CYP2C9*3 akan meningkatkan resiko efek samping obat
tersebut. (Cavallari & Lam., 2005; Rettie &Jones, 2005 dalam Sutrisna, 2015). Pasien dengan
mutan type CYP2C9 dan CYP2C19 memiliki kadar fenitoin plasma yang lebih tinggi dari pada
wild type (Lee et al, 2007 dalam Sutrisna, 2015). Hal ini akan berdampak bahwa pada pasien
epilepsi dengan alell mutan CYP2C9 memerlukan dosis yang lebih rendah untuk mencapai
tingkat terapetik dibandingkan dengan wild type (199 mg/hari dibandingkan 314 mg /hari; P
<0,01) (Van der Weide et al. 2001 dalam Sutrisna, 2015).
NAT-2 gene (N- asetyltransferase-2 gene) mengkode pembentukan protein dari 290 asam
amino (Blum et al, 1990; Ebisawa et al., 1991& Grant et al., 1989 dalam Sutrisna, 2015).
Diketahui 9 mutasi titik (point mutation) pada gen ini baik berdiri sendiri atau kombinasi dengan
14 allel mutan (Wormhoudt et al, 1999 dalam Sutrisna, 2015). Tipe yang umum (Wild type)
dari gen ini adalah NAT2*4, sementara mutant allelnya antara lain: NAT2*5A, NAT2*5B,
NAT2*5C, NAT2*6A, NAT2*6B, NAT2*7A, NAT2*7B, NAT2* 12A, NAT2*12B, NAT2*13,
NAT2*14A, NAT2*14B, NAT2*17, NAT2*18 (Wormhoudt et al, 1999 dalam Sutrisna, 2015).
9
Dari beberapa mutant allel di atas, NAT2*5A, NAT2*5B, NAT2*5C, NAT2*6A, NAT2*7B,
NAT2*14A, NAT2*14B merupakan variant yang menyebabkan aktivitas asetilasi yang lambat
(slow acetylation) (Wormhoudt et al, 1999 dalam Sutrisna, 2015). Konsekuensi dari ini adalah
individu dengan variant type di atas ketika diobati dengan obat yang metabolismenya
dikatalisator oleh NAT (misalnya Dapson, Isoniazid) akan menimbulkan resiko efek samping
yang lebih besar. Inilah salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan TB karena
munculnya efek samping akibat polimorfisme pada NAT-2 gene.
Efek samping obat juga dapat terjadi karena perubahan metabolism obat karena
polimorfisme gen pengkode enzyme pemetabolisme. Beberapa adverse effect karena respon
metabolimse yang berbeda misalnya:
- Pemberian warfarin pada individu dengan penurunan aktivitas CYP2C9 akibat
polimorfisme CYP2C9 gene akan meningkatkan resiko perdarahan (Weber, 2007, dalam
Sutrisna, 2015).
- Pemberian azathiporin pada individu slow acetylator karena polimorfisme pada TPMTP
gene beresiko terjadi depresi sumsum tulang (Weber, 2007, dalam Sutrisna, 2015).
- Pemberian INH, hidralazin, prokainamid, sulfasalazin pada individu dengan slow
acetylator akibat polimorfisme pada NAT2 gene akan meningkatkan resiko neuropati
11
perifer, Systemic Lupus Erytematosus maupun Toksik Central nervorum system (Weber,
2007, dalam Sutrisna, 2015).
sementara genotype pasien berbeda dan akan menjadi tepat ketika ketika obat yang diberikan
telah sesuai dengan genetika pasien. Inilah konsep pokok Personalized medicine (PM).
Beberapa obat sudah dikembangkan sebagai implikasi dari PM antara lain: 1).
Trastuzumab (nama dagang Herclon, Herceptin). Obat ini merupakan antibodi monoklonal.
Obat ini akan berinteraksi dengan HER2/neu receptor sehingga obat ini hanya diindikasikan
pada penderita Ca payudara dengan over expression dari HER2/neu receptor (Angulo et al,
2006). Dan sebaliknya dengan tamoxifen. Obat ini merupakan Selective estrogen receptor
modulator (SERM) dan terutama diindikasikan pada pengobatan kanker payudara pada wanita
pascamenopause dan terapi neoadjuven pascaoperasi pada kanker payudara ER-positif (Manna
and Holz, 2016); 2). Mipomersen sodium diindikasikan sebagai ajuvant obat penurun low
density lopiprotein- cholesterol (LDL-C), ApoB, kolesterol total (TC), dan non-high density
lipoprotein-cholesterol (non HDL-C) pada pasien dengan homozigot familial
hypercholesterolemia (HoFH) (PMC, 2014); 3). Trametinid diindikasikan untuk pengobatan
pasien melanoma yang tidak dapat diobati atau melanoma metastasis dengan mutasi BRAF
V600E atau V600K; 4). Tositumomab diindikasikan untuk pengobatan pasien non-Hodgkin
limfoma dengan yang mengekspresikan antigen CD20;5). Vemurafenib diindikasikan pada
pasien melanoma denga mutasi BRAF V600E (PMC, 2014) dan masih banyak lagi obat yang
dikembangkan berbasis PM yang tidak dapat kami sebutkan semuanya.
Beberapa tantangan yang diperkirakan muncul dari penerapan Personalized medicine (PM)
antara lain:
Setelah melihat paparan di atas, secara umum kita mengatakan personalized medicine
(PM) merupakan paradigma baru dalam pengobatan. Keuntungan personalized medicine tersebut
mencakup keuntungan bagi pasien maupun bagi sistem kesehatan. Keuntungan bagi pasien : 1).
Lebih cepat mendapatkan terapi yang optimal, 2). Meningkatkan efiksasi pengobatan, 3).
Meminimalisir harm/adverse drugs recation, 4). Meningkatkan adherence/kepatuhan pasien, 5).
Mengurangi pemeriksaan tambahan, 6). Meningkatkan kualitas hidup.
Keuntungan PM bagi sistem kesehatan antara lain:1). Menghemat secara ekonomi, 2).
Meminimalisir tuntutan hukum, 3). Membantu mengendalikan keseluruhan biaya perawatan
kesehatan.
Dengan konsep PM, maka efikasi pengobatan dapat ditingkatkan. Hal ini karena dokter
akan memilih obat dengan tepat, menentukan dosis dengan tepat sesuai genetik pasien. Trial
error akan diminimalisasi. Konsep one for all tidak lagi ada. Dengan menentukan jenis obat dan
dosis obat sesuai genetik pasien maka akan meminimalkan munculnya efek samping, termasuk
efek toksik. Dengan kata lain akan meminimalkan kejadian medical error, dimana kita tahu
bahwa medical error merupakan salah satu sebab banyaknya tuntutan pasien kapada dokter.
Dengan menggunakan konsep personalized medicine maka tuntutan/keluhan pasien kepada
dokter akan berkurang dan sebaliknya tingkat kepuasan pasien kepada dokter akan bertambah.
Penggunaan PM juga akan mengurangi biaya pengobatan akibat kegagalan pengobatan atau
munculnya efek samping pada pasien yang diobati tanpa mempertimbangkan genetik orang
tersebut.
kematian akan berkurang. Usia harapan hidup akan meningkat. Produktivitas penduduk akan
meningkat yang berakibat negara akan makin sejahtera.
10. Ucapan terima kasih yang sangat kami tujukan kepada Prof.Dr. Kiyatno, dr.,PFK.,M.Or,
AIFO yarhamhulloh, atas kebaikan hatinya tidak mengenal lelah mereview ratusan
lembar artikel kami. Semoga Alloh membalas kebaikan bapak dan ditempatkan ke dalam
surganya. Terima kasih kami ucapkan kepada Prof DR.Dr. Hartono, MSi., Dekan FK
UNS dan reviewer kami, yang tanpa kenal lelah dan dengan ketulusan hati mereview
artikel-artikel kami dan memberi semangat kepada kami. Semoga Alloh Membalas
kebaikan bapak.
11. Terima kasih juga kami sampaikan kepada guru-guru SD kami, SDN Kujon II, Klaten.
Guru SMP 2 Ceper, Klaten dan guru-guru kami di SMA N Jatinom
12. Terima kasih juga kami sampaikan kepada dosen - dosen kami di Fakultas Kedokteran
UNS dan UGM, maupun pembimbing skripsi (dr. Putu Suriyasa, MS); Pembimbing
Thesis (Dr.Med.dr. Indwiani Astutie & dr Harjadi Sp PA (K); Pembimbing desertasi
(Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc. Ph.D; Dr.Med.dr. Indwiani Astutie Dr.
Dra. Erna Kristin, Apt., M.Si. ). Semoa Alloh Membalas kebaikan bapak dan ibu.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan ibu kami bp Nuryanto & Ibu
Siti Chotijah Yarhamhulloh, semoga Alloh memasukkan bapak & ibu ke dalam Jannah-Nya.
Terima kasih kepada orag tua kami (bp Puji Suworna dan ibu Mujinah). Tanpa doa dan
semangatnya niscaya gelar ini sulit tercapai. Kepada keluarga besar kami (kakak-kakak kami
dr Satimin, Ir Sukoyo, Dwi Purwanto, ponakan dan anak-anak kami) terima kasih atas doa
dan semangatnya.
Terima kasih kepada istri kami Lilik Untari, M.Hum atas semangat dan dukungan dan
kesetiaan dalam mendampingi hidup, saya berdoa semoga segera menyusul gelar ini. Anak-
anak kami, Nazala Suha Arisna & Aghniya Fareeha Arisna, terima kasih atas keceriaan dan
menjadi penyemangat kami.
Daftar Pustaka
Setyono J, Asj’ari SR, Sadewa AH., & Madiyan, M. Polimorfisme gen reseptor mcp-1 (ccr2)
sebagai faktor risiko nefropati diabetika pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di rsud
prof dr margono soekarjo dan rsup sardjito. Mandala of Health. 2010.4(1).
Sitras V, Paulssen RH, Grønaas H, Leirvik J, Hanssen TA, Vårtun A, Acharya G: Differential
placental gene expression in severe preeclampsia. Placenta. 2009. 30:424-433
Sundari , Aulani'am , Djoko Wahono S , M Aris Widodo, Non Genetic Risk Factor and
Polymorphism of Aldosterone Synthase T(-344)C Variant CYP11B2 Gene Promoter
Region Essential Hypertension Patients at Coastal and Mountainous Areas , Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 2013.27(3):169-177
Sutrisna Em. Personalized medicine phenytoin therapy. J Pharm Biomed Sci, 2017. 07(3):103–
105.
Sutrisna, EM, Personalized Medicine Terapi Digoksin pada Individu dengan Polimorfisme Gen
MDR , Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 2015. Vol 4 (2):113-119
Sutrisna, EM, Yuliani R, COMPT (Cathecol o-methyl transferase) gene as genetic risk factor for
Javanese schizophrenia, IJPPS. 2016. vol 8(4): 385-386
Sutrisna, EM., Farmakogenetik: Konsep Dasar dan Implikasi Klinis, 2015,MUP Press, Surakarta.
Taher, A. Ilmu dan Teknologi di Pelayanan Kesehatan Primer: dari Penyakit Tropik Terabaikan
Sampai Personalized MedicineVol. Pelayanan Kesehatan Primer. 5, No. 1, April 2017
Tanabe M, Iere I, Inoue K. Expression of P-glycoprotein in human placenta: relation to genetica
polymorphism of the multidrug resistance (MDR)-1 Gene. JPET. 2001. 297(3):1137–
43.
Uslu A, Ogus C,Ozdemir T, Bilgen T, Tosun O, & Keser I. The effect of CYP1A2 gene
polymorphisms on Theophylline metabolism and chronic bstructive pulmonary disease
in Tu r k i s h p a t i e n t s, 2010, http://bmbreports.org
Van der Weide J, Steijns LS, van Weelden MJ, de Haan K. The effect of genetic polymorphism
of cytochrome P450 CYP2C9 on phenytoin dose requirement. Pharmacogenetics. 2001.
11(4):287–291
Van Geel PP, Pinto YM, Voors AA, Buikema H, Oosterga M, Crijns HJ, van Gilst WH.
Angiotensin II type 1 receptor A1166C gene polymorphism is associated with an
increased response to angiotensin II in human arteries. Hypertension. 2000.35(3):717-
21
Verstuyft C, Schwab M, Schaeffeler E, Kerb R, Brinkmann U, Jaillon P, et al. Digoxin
pharmacokinetics and MDR1 genetic polymorphisms. Eur J Clin Pharmacol.
2003.58(12):809–12.
Weber, W.W. Pharmacogenetics. 2008. Oxford University Press, Inc, New,York
Wormhoudt,L.W., Commandeur, JN. M., and.Vermeulen,N. P. E. Genetic Polymorphisms of
HumanN-Acetyltransferase, Cytochrome P450 ,Glutathione-S-Transferase, and
EpoxideHydrolase Enzymes:Relevance to XenobioticMetabolism and Toxicity, Critical
Reviews in Toxicology. 1999. 29(1). 59–124
Zhang L, Strong JM, Qiu W, Lesko LJ, and Huang SM, Scientific Perspectives on Drug
Transporters and Their Role in Drug Interactions, Molecular Pharmaceutics, 2005. 3(1):
62-69
.
21