Anda di halaman 1dari 21

1

EM SUTRISNA

PERSONALIZED MEDICINE SEBAGAI PARADIGMA BARU DALAM PENGOBATAN

EM SUTRISNA

Bapak ibu anggota senat yang saya hormati, judul ini kami pilih setelah sekian tahun
pengalaman teoritikal maupun praktek kami dibidang farmakologi. Sebagai mana kita tahu,
bahwa pengobatan terhadap penyakit telah muncul seiring dengan diciptakannya manusia dan
ilmu pengobatan (dikenal dengan farmakologis: pharmacon adalah obat dan logos adalah ilmu)
bahkan telah ada sebelum masehi. Penulis mencoba menelisik sejarah pengobatan sejak masa
Rasulllulah SAW. Pengobatan ala Rosululloh dikenal dengan Tibbun nabawi.

Beberapa dalil Al Quran yang berkaitan dengan obat dan sakit antara lain:

“Dan apabila aku sakit, Dia (Allah)-lah yang menyembuhkan aku.” (Q.S. Asy-Syu’ara: 80).
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim
selain kerugian.” (Q.S. Al-Isra': 82)
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan” (Q.S. An-Nahl: 69)

Dalil Al Hadits antara lain:


“Tidaklah Allah Subhanahu Wa Ta'ala menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan
pula obat/penyembuhnya.” (HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah)
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia
turunkan pula obatnya bersamanya. Tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan
mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR.Ahmad )
2

“Setiap penyakit ada obatnya. Maka jika obat itu mengenainya, penyakit akan sembuh dengan
izin Allah Subhanhu Wa Ta'ala.” (HR. Muslim)
''Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat
penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan'' (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Pengobatan yang berkembang pada jaman Rosululloh antara lain madu dan bekam
sebagaimana dalam sabdanya: “Kesembuhan/obat itu dalam tiga hal/cara yaitu minum madu,
berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.” (HR. Al-Bukhari no. 5680)
Bapak ibu anggota senat dan tamu undangan yang kami hormati, seiring dengan perjalanan
waktu maka teknologi berkembang pesat. Dunia kedokteran/pengobatan juga berkembang pesat.
Ilmu pengobatan modern diperkirakan mulai muncul abad 16-18.

Beberapa sejarah perkembangan pengobatan (farmakologi) yang bisa dicatat antara lain:

1. Abad 16-18 : Berkembang ilmu ilmu anatomi dan fisiology manusia


2. 1789 : Penemuan konsep Homeopathy oleh Samual Hahnemann.
3. Abad 19 : mulai konsep pengobatan modern (Modern medicine).
Claude Bernards yang hidup tahun 1813-1878 memperkenalkan metode
pengobatan modern berbasis observasi dan eksperimen
4. Paruh kedua abad 20: Mulai diperkenalkan RCT (Randomized doble blind clinical trial)
5. 1908 : Mulai di kenal “gene” oleh Willhelm Johannsen dan istilah genotype maupun
fenotype
6. 1920-1950 : Basis farmakologi dengan konsep “reseptor”
7. 1931 : Publikasi dari satu buku oleh Garrod yang menduga adanya respon yang berbeda
(defferences responses) yang seharusnya dapat diantisipasi berdasarkan perbedaan
genetik individual
8. 1953 : Identifikasi double stand DNA oleh Watson & Crick
9. 1955 : Laporan oleh Beutler dan teman-teman penelitinya menyatakan adanya insidensi
hemolisis yang tinggi pada pemberian obat anti malaria pada penderita dengan defisiensi
glucose 6 phospat dehydrogenase (G6PD).
3

10. 1956-1957: Konsep pharmagogenetik mulai diperkenalkan oleh Kalow,1956 dan


Motulsky 1957. Banyak Adverse drugs reactions (ADR) terjadi karena determinan
genetik yang mempengaruhi aktivitas enzyme.
11. 1962: Publikasi monograph pertama tentang farmakogenetik oleh Kalow
12. Perkembangan konsep genetik population screening oleh Wilson and Jugner, 1968
13. 1985 : Penemuan PCR oleh Mullis dan kawan-kawanya
14. 1990-2000: Dekade genomic. Aplikasi teknologi genomic untuk drug development :
Pharmacogenomic
15. 1993 : Konsep penggunaan nanoteknologi sebagai dasar dalam terapi individu secara
sepesifik diperkenalkan oleh Fahy.
16. 1995 : diperkenalkan istilah dan konsep protemomic oleh Wilkins dan teman-temannya
17. 2001-20010: Dekade post genomic. Dampak dari penemuan genomic dan proteomic
untuk drug discovery dan development.

(Sumber: Jain, 2009)

CONVENTIONAL MEDICINE (CM) VS PERSONALIZED MEDICICE (PM)

Pengobatan modern masa lalu dan masa kini sering masih merupakan pengobatan
konvensional (Convensional medicine). Convensional medicine (CM) bukanlah traditional
medicine tetapi merupakan modern medicine. Pengobatan pada CM awalnya dimulai dari
empiris, tetapi pada perkembangan berikutnya pengobatan berbasis mekanisme penyakit (Jain,
2009). Hal ini menyebabkan pengobatan lebih terarah sesuai mekanisme penyakit tersebut.
Perkembangan lebih lanjut dalam CM adalah pengobatan berbasis bukti yang lebih dikenal
sebagai EBM ( evidence based medicine) (Goldberger, 2013). Dan dalam EBM, randomized
controlled trial (RCT) merupakan level terkuat sebagai pedoman pengobatan. Meskipun
mekanisme/patofisiologi penyakit telah diketahui, pengobatan telah dilakukan berbasis EBM
tetapi masih ada laporan adanya kelemahan efikasi maupun munculnya ADR (adverse drugs
reactions). Hal ini berpangkal karena pada CM dikembangkan “universal drugs” untuk satu
penyakit tertentu. Banyak dokter yang meresepkan berdasar pengalaman dan preferensi. Hal
inilah yang menyebabkan pada CM banyak terjadi:

- Potensi terjadinya respon yang menyimpang lebih besar


4

- Tingginya prosentasi tidak efikasinya pengobatan


- Tingginya insidensi ADR (Adverse drugs reaction)
- Walaupun pengobatan sudah berbasis bukti, tetapi sering tidak memasukan komponen
variasi genetik sebagai variabel penentu respon
(Jain, 2009)

Dengan konsep CM tersebut ternyata: 38% populasi yang menerima antidepressant SSRI
(Serotonin Selective Reuptake Inhibitor) tidak efektif; 40% penderita asma yang menerima obat
antiasma tidak efektif, sementara 70% obat alzheimers tidak efektif dan sekitar 75% obat anti
kanker tidak efektif (Brian et al., 2001). Ini mungkin terjadi karena variasi genetik pada pasien
tersebut. Diperkirakan sekitar 20-50% respon pengobatan dipengaruhi oleh genetika pasien
(Eichler, 2011).

Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota senat Universitas Muhammadiyah Surakarta dan
bapak ibu sekalian, kami nukil perkataan William Osler yang dianggap sebagai The father of
Modern medicine (1849-1919) yang mengatakan “The good physician treats the disease, but the
great physician treats the patients who the disease”

Kelemahan/kerugian dari CM tersebut mendorong ilmuan untuk berfikir, bereksperimen


mencari penyebabnya. Karena dalam konsep farmakologi, kita mengenal adanya NNT (number
needed to treat) dan NNH (number needed to harm). Semakin rendah nilai NNT maka
obat/metode pengobatan semakin efektif dan kebalikannya semakin tinggi NNH maka obat
semakin aman. Dalam kaedah farmakoterapi, maka suatu obat/metode pengobatan harus
mempunyai nilai NNT serendah mungkin dan nilai NNH setinggi mungkin.

Ilmuwan/para ahli farmakologi kemudian berfikir sampai kepada tataran


genetic/genomic. Dasar pemikiran tersebut dilandasi adanya dogma umum bahwa setiap orang
berbeda dengan orang lain. Perbedaan tersebut baik fenotip maupun genotip. Pengobatan konsep
lama (CM) memberikan obat yang sama pada individu berbeda hanya bergantung dari penyakit
yang diderita. One drugs for all/Universal drugs yang dikembangkan. Pertimbangan yang
dilakukan hanyalah tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita dan tepat dosis. Istilah tepat
penderita sebenarnya sudah mengarah kepada pengobatan bersifat individual, tetapi hal yang
banyak dilakukan oleh dokter hanyalah mempertimbangkan faktor-faktor fenotype individu
5

tersebut antara lain: fungsi ginjal, fungsi hepar, riwayat alergi, riwayat keluarga dan lain-lain dan
tidak/kurang memperhitungkan faktor genotype pasien.

Genotype setiap orang berbeda-beda. Variasi genetik sering/cenderung mempengaruhi


profil kinetik tanpa manifestasi klinis. Hal ini terjadi terjadi karena ada kisaran/ therapeutic
range, sehingga obat masih bisa aman selama pada kisaran therapeutic tersebut. Tetapi variasi
genetik juga sering menimbulkan implikasi klinis yang merugikan bahkan membahayakan.
Pada jenis obat dengan indeks terapi yang luas (broad spectrum index), mungkin saja variasi
individu tidak membahayakan pasien. Tetapi sekelompok obat dengan indeks terapeutik yang
sempit (narrow therapeutic index) akan sangat mempengaruhi individu dengan polimorfisme
genetik tertentu (Sutrisna, 2015)

Pada konsep polimorfisme, Variasi genetik tersebut bisa mempengaruhi fenotype tetapi
terkadang tidak menyebabkan perubahan fenotype. Terkadang polimorfisme menyebabkan over
expression tetapi bisa juga terjadi under expression. Polimorfisme yang sering terjadi antara lain
SNPs (Single nucleotide polymorphism), Insersi-delesi (Indel), VNTR (Variable number tandem
repeat) maupun RFLP (Restriction fragment length polymorphism).

Adanya variasi (yang berbeda) pada urutan untai DNA pada single nukleotida, baik
pada A,T, C atau G memunculkan SNPs. Diperkirakan terjadi satu SNPs diantara 1000 basa.
Sebagaimana difahami, diperkirakan genom manusia terdiri dari 3 milyar pasang basa yang bisa
memunculkan lebih dari 1,5 SNPs (Sutrisna, 2015). Sebagaian besar SNPs terjadi di non coding
region tetapi bisa muncul juga dalam coding region. SNPs terkadang tidak menyebabkan
perubahan sekuensi asam amino dalam membentuk protein (dikenal dengan synonymous SNPs)
tetapi bisa juga menyebabkan perubahan sekuensi asam amino (dikenal non synonymous SNPs).
Sementara polimorfisme yang berupa insersi-delesi terjadi karena penambahan(insersi) atau
pengurangan (delesi) satu atau lebih pasangan nukleotida dalam suatu gen (Sutrisna, 2015).

Variasi genetik terkadang juga terjadi kerena pengulangan sekuens/urutan nukleotida


dalam kromosom (dikenal dengan repeat). Pengulangan tersebut bisa dua nukleotida (disebut
dinukleotida repeat), bisa tiga berulang (dikenal dengan trinukleotida repeat). Variasi genetik
karena pengulangan nukleotida ini secara umum dikenal dengan variable number tandem
repeat (VNTR). Polimorfisme berikutnya terjadi karena perbedaan dalam sekuens DNA
6

homolog dengan fragmen yang panjangnya berbeda (diketahui setelah digesti DNA oleh
endonuklease (Sutrisna, 2015). Ini dikenal dengan istilah RFLP (restriction fragment length
polimorphims).

Secara umum polimorfisme genetik yang berkaitan dengan respon pengobatan adalah
ketika polimorfisme tersebut terjadi pada drugs transporter gene, drug-metabolizing enzyme
gene  dan drugs target gene.

A. POLIMORFISME PADA DRUGS TRANSPORTER GENE

Salah satu faktor yang mempengaruhi farmakokinetika obat adalah transport obat. Drugs
transporter gene adalah gene yang mengkode pembentukan protein pentransport obat. Ini adalah
kelompok protein yang terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang berperan dalam "
efflux obat" (efflux transporter) yang dikelompokkan dalam Family ABC transporter (ATP
binding cassette) dan transporter yang berperan dalam masuknya obat (influx) yang
dikelompokkan dalam Family SLC (solute linked carrier) (Sutrisna, 2015).

Sampai sekarang telah dipetakan lebih dari 380 trasporter SLC dalam human genom
dengan 48 subfamily (Frederikson, 2008 dalam Sutrisna, 2015). Transporter yang memegang
peranan penting antara lain SLCO (organic anion transporting polypeptida), dan organic kation
transporter (SLC47), SLC15 (trasporter oligopeptida), organic anion/kation/zwitterions
transporter (SLC 22). Semua SLC ini berperanan penting dalam uptake obat masuk usus, hati
dan ginjal. Sedang SLC 47 memediasi eliminasi obat ke empedu dan urin (Zhang et al., 2005
dalam Sutrisna, 2015).
Transporter ABC memegang peranan cukup vital dalam proses absorbsi, distribusi dan
eliminasi obat. Kelompok protein ini memiliki BM150-200kDa dengan 2 domain
transmembran, masing masing mengandung enam transmembran helix dan dengan dua
sitoplasma ATP-binding domain (Zhang et al., 2005 dalam Sutrisna, 2015). Termasuk dalam
kelompok ini adalah MDR-1(Multidrug resistant gene/P-glycoprotein) (ABCB1); BSEP1(Bile
salt export pump/sister P-glycoprotein) (ABCB 11); MRP-1(Multidrug resistance associated
protein 1) (ABCC1); MRP-2(Multidrug resistance associated protein 2) (ABCC2);
MRP3(Multidrug resistance associated protein 3); MRP-4(Multidrug resistance associated
protein 4), BCRP(Breast cancer resistance protein); NTCP (Sodium taurocholate
7

cotransporting peptide); PEPT-1(Oligopeptide transporter 1); PEPT2(Oligopeptide transporter


2); OATPA (Organic anion transporting polypeptide-A); OATPB(Organic anion transporting
polypeptide-B), OATP C(Organic anion transporting polypeptide-C), OATP D(Organic anion
transporting polypeptide-D) dan masih banyak lagi (Zhang et al., 2005 dalam sutrisna, 2015).
Dari drugs transporter genes di atas, salah satu yang merupakan major drugs transporter adalah
ABCB1 yang memediasi transport beberapa obat antara lain digoksin, fexofenadin, indinavir,
vincristine, colchicine, topotecan, paclitaxel, talinolol, loperamide (Zhang et al., 2005 dalam
Sutrisna, 2015).

Polimorfisme pada drugs transporter gene bisa menimbulkan beberapa implikasi klinis.
Sebagai contoh Polimorfisme pada gen MDR. MDR-1 gene mempunyai peranan penting dalam
pembentukan PGP (P-Glyco protein) (Schaich et al., 2010; Pechandova et al, 2006; Tanabe et
al., 2001; Higgin 1992 dalam Sutrisna, 2014). Digoksin merupakan substrat PGP. Polimorfisme
MDR-gene mempengaruhi kadar digoksin dalam darah. Pasien dengan gen MDR1C3435T TT
memiliki kadar digoksin yang lebih tinggi dibanding MDR1 C3435T CC dan MDR1C3435T CT. Hal ini
terjadi karena pada individu tersebut hanya memiliki sedikit PGP (ekspresi PGP 2x lebih rendah
dari dibanding CC) sehingga akan menyebabkan peningkatan bioavailabilitas digoksin per oral
(Brinkmann & Eichelbaum, 2001; Johne et al., 2002; Verstuyft et al., 2003 dalam Sutrisna,
C3435T
2015). Contoh lain adalah Pasien dengan homozigot MDR1 TT yang menderita HIV-1 dan
menerima ARV (antiretroviral) memiliki Jumlah CD4 yang lebih tinggi dibanding homozigot
MDR1 C3435T CC (Fellay et al., 2002 dalam Sutrisna, 2015).

B. POLIMORFISME PADA DRUG-METABOLIZING ENZYME GENE


Metabolisme obat dikatalisator oleh enzyme. Diperkirakan sekitar 75% obat melibatkan
CYP (cythocrome P450) dalam metabolismnya. Sementara sekitar 25% sisanya dikatalisator
oleh enzyme yang lain seperti UGT (UDP glucuronosyl transferase), FMO (Flavin-containing
monoxygenase), NAT (Nacetyltransferase), MAO (monoamine oxidase) dan enzim-enzim
esterase yang lain (Rossi et al, 2011 dalam Sutrisna, 2015).
Polimorfisme pada CYP mungkin merupakan polimorfisme yang paling banyak
dipetakan. Polimorfisme pada enzyme –enzyme pemetabolisme obat mengelompokkan populasi
kedalam : ultra rapid metabolizer, rapid metabolizer, normal rapid metabolizer dan poor
metabolizer.
8

Contoh implikasi klinis akibat polimorfisme tersebut antara lain: individu dengan type
CYP1A2*1F akan terjadi peningkatan efek dari obat yang dimetabolisme oleh enzim tersebut.
Terdapat peningkatan resiko beratnya COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) pada
individu dengan CYP1A2*1D allel ”T” dan CYP1A2*1Fallel C (Uslu et al., 2010 dalam
Sutrisna, 2015). Hal ini terjadi karena CYP1A2*1F memiliki 163C>T mutasi di intron 1 yang
menyebabkan penurunan ekspresi CYP1A2 (Ingelman-Sundberg, 2007 dalam Sutrisna, 2015).
Contoh lain adalah Polimorfisme pada CYP2A6 gene. Enzyme ini mengkatalisator metabolisme
banyak obat/senyawa antara lain nikotin. Polimorfisme pada CYP2D6 gene yang menyebabkan
defektif allele CYP2A6 meningkatan toleransi nikotin dan peningkatan adverse effect karena
nikotin( Cavallari & Lam., 2005 dalam Sutrisna, 2015).
Polimorfisme pada CYP2C9 merupakan polimorfisme yang telah banyak dipetakan.
Tercatat lebih dari 50 SNPs pada CYP2C9. Polimorfisme CYP2C9*2 & CYP2C9*3
menyebabkan penurunan aktivitas dari enzim tersebut (Lee at al, 2002, Schwarz 2002, Bravo-
villata et al., 2005, Kirchheiner & Brockmoller 2005, Gracia-Martin et al., 2006 dalam Sutrisna,
2015). Hal ini akan berimplikasi pada meningkatnya efek samping dari obat-obat yang
metabolism oleh CYP2C9 antara lain Warfarin, phenitoin dan tolbutamid. Ketiga obat tersebut
merupakan obat dengan indeks terapi sempit (narrow therapeutic index) . Maka pemberian obat
ini pada individu dengan CYP2C9*2 & CYP2C9*3 akan meningkatkan resiko efek samping obat
tersebut. (Cavallari & Lam., 2005; Rettie &Jones, 2005 dalam Sutrisna, 2015). Pasien dengan
mutan type CYP2C9 dan CYP2C19 memiliki kadar fenitoin plasma yang lebih tinggi dari pada
wild type (Lee et al, 2007 dalam Sutrisna, 2015). Hal ini akan berdampak bahwa pada pasien
epilepsi dengan alell mutan CYP2C9 memerlukan dosis yang lebih rendah untuk mencapai
tingkat terapetik dibandingkan dengan wild type (199 mg/hari dibandingkan 314 mg /hari; P
<0,01) (Van der Weide et al. 2001 dalam Sutrisna, 2015).

NAT-2 gene (N- asetyltransferase-2 gene) mengkode pembentukan protein dari 290 asam
amino (Blum et al, 1990; Ebisawa et al., 1991& Grant et al., 1989 dalam Sutrisna, 2015).
Diketahui 9 mutasi titik (point mutation) pada gen ini baik berdiri sendiri atau kombinasi dengan
14 allel mutan (Wormhoudt et al, 1999 dalam Sutrisna, 2015). Tipe yang umum (Wild type)
dari gen ini adalah NAT2*4, sementara mutant allelnya antara lain: NAT2*5A, NAT2*5B,
NAT2*5C, NAT2*6A, NAT2*6B, NAT2*7A, NAT2*7B, NAT2* 12A, NAT2*12B, NAT2*13,
NAT2*14A, NAT2*14B, NAT2*17, NAT2*18 (Wormhoudt et al, 1999 dalam Sutrisna, 2015).
9

Dari beberapa mutant allel di atas, NAT2*5A, NAT2*5B, NAT2*5C, NAT2*6A, NAT2*7B,
NAT2*14A, NAT2*14B merupakan variant yang menyebabkan aktivitas asetilasi yang lambat
(slow acetylation) (Wormhoudt et al, 1999 dalam Sutrisna, 2015). Konsekuensi dari ini adalah
individu dengan variant type di atas ketika diobati dengan obat yang metabolismenya
dikatalisator oleh NAT (misalnya Dapson, Isoniazid) akan menimbulkan resiko efek samping
yang lebih besar. Inilah salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan TB karena
munculnya efek samping akibat polimorfisme pada NAT-2 gene.

C. POLIMORFISME PADA DRUGS TARGET GENE


Polimorfisme pada drugs target gene yang paling banyak dijumpai adalah pada
polimorfisme reseptor. Polimorfisme gen pembentuk leptin receptor akan mempengaruhi
ekspresi leptin receptor (Nagy et al., 2008 dalam Sutrisna, 2015). Individu dengan ekspresi yang
tinggi dari gen leptin mempunyai resiko tinggi terjadi emboli paru dan HELLP syndrome
(hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet levels) (Nishizawa et al., 2007; Buimer
et al., 2008; Enquobahrie et al., 2009; Sitras et al., 2009 dalam Sutrisna, 2015).
Contoh polimorfisme pada reseptor lain adalah polimorfisme pada angiontensin II
receptor gene. Telah maklum diketahui bahwa angiotensin berperanan pada pengontrolan
tekanan darah. Dua sub type dari reseptor ini adalah Angiotensin II tipe 1 (AT1) dan
Angiotensin II tipe 2 (AT2). AT1 dominat terdapat pada sel otot polos vaskuler, cortek adrenal
dan ginjal, sedangkan AT2 lebih banyak terdapat di uterus, otak, medulla & cortek adrenal
maupun ginjal (Bonnardeaux et al., 1994 dalam Sutrisna, 2015). Polimorfisme pada AT1 basa
A1166C (terjadi substitusi A oleh C) akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi esensial
dan vasokonstriksi arteri koroner (Van Geel et al, 2000 dalam sutrisna, 2015). Hal inilah yang
mungkin mendasari individu yang masih muda dengan pola hidup yang sehat tetapi tetap
menderita hipertensi.
Beberapa implikasi klinis yang merugikan akibat pengobatan yang tidak
memperhitungkan genotype pasien antara lain:
- Pemberian obat suksinilkolin pada pasien dengan polimorfisme pada BCHE/CHE1 gene
akan beresiko terjadi prolong apnoe (Alfirevic et al.,2006 dalam Sutrisna, 2015)
10

- Pemberian cisplatin pada apsien dengan polimorfisme GSTM1 dan GSTT1


meningkatkan resiko ototoksik, sementara troglitason akan meningkatkan resiko
hepatotoksik (Alfirevic et al.,2006 dalam Sutrisna, 2015)
- Pemberian eritromisin, cisapprid, terfenadin, clarithromisin, quinidine, sulfametoksazol
pada pasien dengan polimorfisme HERG (kcnh2), KvLQT1(KCNQ1), Mink(KCNE1),
MiRP1 (KCNE2) akan beresiko terjadinya suatu kelainan irama jantung yang disebut
Torsade de Pointers (Alfirevic et al.,2006 dalam Sutrisna, 2015).
- Pemberian rasburicase pada penderita hiperurisemia dengan defisiensi G6PD (Glucose-6-
phosphate dehydrogenase) akan menyebabkan terjadinya hemolisis (PMC, 2014).
- Abacavir yang merupakan ARV anti HIV akan beresiko besar terjadi reaksi
hipersensitivitas ketika diberikan pada penderita dengan HLA-B*57:01 allele (PMC,
2014).
- Cloroquin yang diindikasikan pada penderita malaria akan menyebabkan efek samping
berupa hemolisis ketika diberikan pada penderita dengan defisiensi G6PD (Glucose-6-
phosphate dehydrogenase) (PMC, 2014).
- Carbamazepin yang merupakan obat tranquilizer akan menimbulkan reaksi dermatologik
pada individu dengan HLA-B*15:02 allele (PMC, 2014).
- Resiko terjadinya SJS (Steven Jhonson syndrome)/TEN (Toxic epidermal necrolysis )
akan meningkat pada individu dengan HLA-B*15:02 variant yang deiberikan phenitoin
(PMC, 2014).

Efek samping obat juga dapat terjadi karena perubahan metabolism obat karena
polimorfisme gen pengkode enzyme pemetabolisme. Beberapa adverse effect karena respon
metabolimse yang berbeda misalnya:
- Pemberian warfarin pada individu dengan penurunan aktivitas CYP2C9 akibat
polimorfisme CYP2C9 gene akan meningkatkan resiko perdarahan (Weber, 2007, dalam
Sutrisna, 2015).
- Pemberian azathiporin pada individu slow acetylator karena polimorfisme pada TPMTP
gene beresiko terjadi depresi sumsum tulang (Weber, 2007, dalam Sutrisna, 2015).
- Pemberian INH, hidralazin, prokainamid, sulfasalazin pada individu dengan slow
acetylator akibat polimorfisme pada NAT2 gene akan meningkatkan resiko neuropati
11

perifer, Systemic Lupus Erytematosus maupun Toksik Central nervorum system (Weber,
2007, dalam Sutrisna, 2015).

Disamping mempengaruhi proses kinetika dan dinamika obat, Polimorfisme genetik


dapat menjadi faktor predisposisi satu penyakit tertentu. Beberapa yang kami catat antara lain:
Polimorfisme pada MCP-1 receptor gene (CCR2) (Monocyt chemoattracctant protein 1)
(Chemokin receprtor type 2) berupa (G46295A) meningkatkan resiko terjadinya diabetic
nefropathy pada penderita NIDDM suku Jawa (Setyono et al., 2010 dalam Sutrisna, 2015).
Terdapat peningkatan resiko terjadi preeklampsia pada sekelompok wanita yang
mengalami polimorfisme TGFBR2 gene (Transforming Growth Factor Beta Receptor 2) (Anwar
et al., 2010 dalam Sutrisna, 2015). Polimorfisme pada promoter region CYP11B2 gene varian T
dan allel C344T meningkatkan resiko terjadinya hipertensi esensial pada penduduk pegunungan
di Indonesia. Hal ini disebabkan karena gen CYB11B2 mengkode aldosteron synthetase.
Individu dengan homozigot TT allel 344 mempunyai faktor resiko lebih besar menderita
hipertensi esensial (Sundari et al., 2013 dalam Sutrisna, 2015).
Polimorfisme pada COMPT gene merupakan faktor resiko terjadinya beberapa penyakit
termasuk schizophrenia (Lachman et al., 1996; Lotta et al., 1995 dalam Sutrisna, 2015).
Cathecol O-methyl transferase (COMPT) merupakan enzyme yang mengkatalis transfer grup
methyl dari S-methionine-adenosil. Pembentukan enzyme ini di kode oleh COMPT gene
Penelitian yang telah kami lakukan menyimpulkan bahwa LH allele pada COMPT gene A1625G
meningkatkan resiko terjadinya schizophrenia pada ras Jawa (Sutrisna & Yuliani, 2016). Dan
masih banyak lagi polimorfisme yang merupakan faktor predisposisi penyakit yang tidak dapat
kami sebutkan semuanya.
Bapak ibu anggota senat yang mulia, hal-hal inilah yang mendasari farmakolog berfikir
bahwa pengobatan harus berbasis individual. Konsep inilah yang dikenal dengan Personalized
medicine (PM). PM terkadang disebut precision medicine atau individual medicine,
menunjukkan pengobatan/diagnostik dengan menentukan terlebih dahulu marker biologik (sering
genetik) pasien untuk mendapatkan terapi yang sesuai. PM muncul dilandasi karena fakta bahwa
setiap orang secara individual berbeda baik secara genotip maupun fenotip. Perbedaan tidak
selalu berarti tidak normal. Menjadi salah ketika obat/pengobatan diberikan secara sama
12

sementara genotype pasien berbeda dan akan menjadi tepat ketika ketika obat yang diberikan
telah sesuai dengan genetika pasien. Inilah konsep pokok Personalized medicine (PM).

DRUGS DISCOVERY & DEVELOPMENT BERBASIS GENETIK DALAM


PERSONALIZED MEDICINE

Beberapa obat sudah dikembangkan sebagai implikasi dari PM antara lain: 1).
Trastuzumab (nama dagang Herclon, Herceptin). Obat ini merupakan antibodi monoklonal.
Obat ini akan berinteraksi dengan HER2/neu receptor sehingga obat ini hanya diindikasikan
pada penderita Ca payudara dengan over expression dari HER2/neu receptor (Angulo et al,
2006). Dan sebaliknya dengan tamoxifen. Obat ini merupakan Selective estrogen receptor
modulator (SERM) dan terutama diindikasikan pada pengobatan kanker payudara pada wanita
pascamenopause dan terapi neoadjuven pascaoperasi pada kanker payudara ER-positif (Manna
and  Holz, 2016); 2). Mipomersen sodium diindikasikan sebagai ajuvant obat penurun low
density lopiprotein- cholesterol (LDL-C), ApoB, kolesterol total (TC), dan non-high density
lipoprotein-cholesterol (non HDL-C) pada pasien dengan homozigot familial
hypercholesterolemia (HoFH) (PMC, 2014); 3). Trametinid diindikasikan untuk pengobatan
pasien melanoma yang tidak dapat diobati atau melanoma metastasis dengan mutasi BRAF
V600E atau V600K; 4). Tositumomab diindikasikan untuk pengobatan pasien non-Hodgkin
limfoma dengan yang mengekspresikan antigen CD20;5). Vemurafenib diindikasikan pada
pasien melanoma denga mutasi BRAF V600E (PMC, 2014) dan masih banyak lagi obat yang
dikembangkan berbasis PM yang tidak dapat kami sebutkan semuanya.

TANTANGAN PERSONALIZED MEDICINE

Beberapa tantangan yang diperkirakan muncul dari penerapan Personalized medicine (PM)
antara lain:

- Dari sisi hukum : Beberapa Negara (Negara bagian) menerapkan kebijakan/UU


yang melarang diskrimanasi pelayanan karena perbedaan genetik. Jadi kalau ada orang
diberi obat berbeda karena perbedaan genetik maka bisa dianggap sebagai diskriminasi.
Sebagi contoh, Pada bulan September 2011, Gubernur California Jerry Brown telah
menandatangani California Genetic Information Non discrimination Act (GINA) yang
13

melindungi warga negara dari diskriminasi pekerjaan, pendidikan, akses/layanan umum,


asuransi kesehatan, asuransi jiwa, pinjaman hipotek, dan pemilihan berbasis genetika
orang tersebut (Gotten, 2011). Tentu dalam konteks di Indonesia para ahli hukum
didorong untuk memahami bahwa perlakuan yang berbeda berkaitan dengan
pengobatan/obat yang berbeda karena perbedaan genetik untuk kepentingan pasien
BUKAN diskriminasi. Perlu di buat kerangka/peraturan/Undang-undang yang mengatur
tentang batasan-batasan diskriminasi genetik tersebut.
- Sekitar 80% pelayanan kesehatan terbanyak ada di pelayanan primer (Tabrani, 2017).
Dokter/dokter layanan primer dituntut untuk memahami farmakogenetik dan konsep PM.
Hal ini akan berimplikasi perlunya continuing medical education melalui seminar/course
/workshop yang akan memakan biaya besar. Diperlukan kemauan dari semua dokter
ditingkat layanan primer untuk memahami hal ini.
- Konsep farmakogenetik dan PM didorong masuk dalam kurikulum pendidikan kesehatan
sejak tahap sarjana kesehatan/kedokteran. Hal ini berarti ada perubahan kurikulum yang
cukup mendasar dari konsep Conventional Medicine (CM) menjadi Personalized
medicine (PM)
- Seandainya pemeriksaan genetik (genetic identification card) menjadi beban Negara,
maka pada tahap ini negara akan mengeluarkan biaya yang sangat besar (walaupun
ditahap berikutnya akan meringankan beban Negara karena minimalnya biaya perawatan
akibat efek samping) dan seandainya biaya dibebankan ke masyarakat/pasien, maka
diperkirakan hanya sedikit pasien dan dari kalangan orang kaya yang mau melakukan
pemeriksaan genetik ini.
- Pemerintah dan industri farmasi Indonesia harus mempunyai komitmen yang kuat
berkaitan dengan kebijakan riset nasional. Harus dialokasikan dana untuk riset-riset yang
berkaitan dengan drugs discovery & Development berbasis genetika suku-suku di
Indonesia. Hal ini mengingat jumlah suku suku di Indonesia yang sangat banyak.
- Industri farmasi harus berubah dengan memasukkan komponen riset tentang
farmakogenetik/genomik dalam core indutrinya. Hal ini memerlukan biaya yang besar,
dan SDM yang mumpuni. Industri harus merekrut SDM banyak untuk mendukung
kebijakan riset tersebut.
14

PREDIKSI DAN PROYEKSI

Setelah melihat paparan di atas, secara umum kita mengatakan personalized medicine
(PM) merupakan paradigma baru dalam pengobatan. Keuntungan personalized medicine tersebut
mencakup keuntungan bagi pasien maupun bagi sistem kesehatan. Keuntungan bagi pasien : 1).
Lebih cepat mendapatkan terapi yang optimal, 2). Meningkatkan efiksasi pengobatan, 3).
Meminimalisir harm/adverse drugs recation, 4). Meningkatkan adherence/kepatuhan pasien, 5).
Mengurangi pemeriksaan tambahan, 6). Meningkatkan kualitas hidup.

Keuntungan PM bagi sistem kesehatan antara lain:1). Menghemat secara ekonomi, 2).
Meminimalisir tuntutan hukum, 3). Membantu mengendalikan keseluruhan biaya perawatan
kesehatan.

Dengan konsep PM, maka efikasi pengobatan dapat ditingkatkan. Hal ini karena dokter
akan memilih obat dengan tepat, menentukan dosis dengan tepat sesuai genetik pasien. Trial
error akan diminimalisasi. Konsep one for all tidak lagi ada. Dengan menentukan jenis obat dan
dosis obat sesuai genetik pasien maka akan meminimalkan munculnya efek samping, termasuk
efek toksik. Dengan kata lain akan meminimalkan kejadian medical error, dimana kita tahu
bahwa medical error merupakan salah satu sebab banyaknya tuntutan pasien kapada dokter.
Dengan menggunakan konsep personalized medicine maka tuntutan/keluhan pasien kepada
dokter akan berkurang dan sebaliknya tingkat kepuasan pasien kepada dokter akan bertambah.
Penggunaan PM juga akan mengurangi biaya pengobatan akibat kegagalan pengobatan atau
munculnya efek samping pada pasien yang diobati tanpa mempertimbangkan genetik orang
tersebut.

Diperkirakan PM akan menjadi keniscayaan dan keharusan. Pemeriksaan genetik yang


sekarang masih jarang, masih mahal akan semakin murah dan menjadi kebutuhan. Setiap
individu akan mempunyai genetic indentification (ID genetic) bagi dirinya dan diperkirakan akan
ada medical genetic information record. Pengobatan akan semakin individual. Adverse drug
recation akan semakin berkurang. Diperkirankan akan ada perubahan regulasi kesehatan &
reformasi biaya kesehatan. Alokasi biaya kesehatan oleh Negara akan berkurang. Resiko
15

kematian akan berkurang. Usia harapan hidup akan meningkat. Produktivitas penduduk akan
meningkat yang berakibat negara akan makin sejahtera.

Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota senat Universitas Muhammadiyah


Surakarta dan bapak ibu sekalian, Demikianlah paparan ilmiah yang dapat kami sampaikan.
Tentu karena keterbatasan waktu dan keterbatasan ilmu, eksplorasi tentang personalized
medicine ini jauh dari sempurna. Kami berharap paparan singkat ini akan memberikan
pemahaman dan kesadaran kita tentang pentingnya penerapan personalized medicine dimasa kini
dan masa datang.

Ucapan Terima Kasih


Sebagai penutup pidato ilmiah saya, ijinkan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada
1. Mentri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, yang telah
mengangkat saya sebagai guru besar dalam bidang ilmu kedokteran di Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2. Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai tempat kami bekerja
3. Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Surakarta
4. Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta yang terus menyemangati dan telah
mengusulkan kami untuk jabatan guru besar
5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi dimana pertama kali kami mengajar.
Dukungan doa dan semangat rekan-rekan farmasi sangat kami kenang
6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Kedokteran yang selalu menyemangati saya untuk
mencapai gelar guru besar ini. Kebersamaan dalam nuansa bercanda yang melecut kami
mencapai gelar ini. Saya berharap dan berdoa teman-teman segara menyusul secepatnya
untuk mencapai gelar guru besar.
7. Seluruh Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta
8. Teman sejawat dokter Rumah sakit mitra, Teman-teman dekan/dokter di APKKM,
AIPKI maupun AFKSI.
9. Terima kasih juga kepada: Prof. Dr.T.Jacob, dr. Bakri B. Hasbulloh, Spb. Finacs; Prof.
DR. dr. Harijono KS, SpKK dan Prof. Dr. dr. Bambang Subagyo,Sp.A(K), sebagai guru
dan dekan pendahulu kami.
16

10. Ucapan terima kasih yang sangat kami tujukan kepada Prof.Dr. Kiyatno, dr.,PFK.,M.Or,
AIFO yarhamhulloh, atas kebaikan hatinya tidak mengenal lelah mereview ratusan
lembar artikel kami. Semoga Alloh membalas kebaikan bapak dan ditempatkan ke dalam
surganya. Terima kasih kami ucapkan kepada Prof DR.Dr. Hartono, MSi., Dekan FK
UNS dan reviewer kami, yang tanpa kenal lelah dan dengan ketulusan hati mereview
artikel-artikel kami dan memberi semangat kepada kami. Semoga Alloh Membalas
kebaikan bapak.
11. Terima kasih juga kami sampaikan kepada guru-guru SD kami, SDN Kujon II, Klaten.
Guru SMP 2 Ceper, Klaten dan guru-guru kami di SMA N Jatinom
12. Terima kasih juga kami sampaikan kepada dosen - dosen kami di Fakultas Kedokteran
UNS dan UGM, maupun pembimbing skripsi (dr. Putu Suriyasa, MS); Pembimbing
Thesis (Dr.Med.dr. Indwiani Astutie & dr Harjadi Sp PA (K); Pembimbing desertasi
(Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc. Ph.D; Dr.Med.dr. Indwiani Astutie Dr.
Dra. Erna Kristin, Apt., M.Si. ). Semoa Alloh Membalas kebaikan bapak dan ibu.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan ibu kami bp Nuryanto & Ibu
Siti Chotijah Yarhamhulloh, semoga Alloh memasukkan bapak & ibu ke dalam Jannah-Nya.
Terima kasih kepada orag tua kami (bp Puji Suworna dan ibu Mujinah). Tanpa doa dan
semangatnya niscaya gelar ini sulit tercapai. Kepada keluarga besar kami (kakak-kakak kami
dr Satimin, Ir Sukoyo, Dwi Purwanto, ponakan dan anak-anak kami) terima kasih atas doa
dan semangatnya.

Terima kasih kepada istri kami Lilik Untari, M.Hum atas semangat dan dukungan dan
kesetiaan dalam mendampingi hidup, saya berdoa semoga segera menyusul gelar ini. Anak-
anak kami, Nazala Suha Arisna & Aghniya Fareeha Arisna, terima kasih atas keceriaan dan
menjadi penyemangat kami.

Akhirnya “Inna sholati Wa Nusuki Wa Mahyaya Wa Mamati Lillahi Robil ‘alamiin”.

“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku Lillahi Robil ‘alamiin”.

Wassalamu ‘alaikum Wa Rohmatullohi Wa Barokatuhu.


17

Daftar Pustaka

Al Qur’annul Karim: Asy-Syu’ara: 80; Al-Isra': 82; An-Nahl: 69


Al Hadits : Sahih Bukhori, Muslim, Ahmad & Ibnu Majah
Alfirevic A, Park BK, and Pirmohamed M, Pharmacogenetics of Adverse Drug Reactions dalam
Pharmacogenetics, Hall, IP & Pirmohamed M,Taylor &Franchise,2006. New York
Angulo G, AM, Hortobágyi GN, Esteva FJ.Adjuvant therapy with trastuzumab for HER-2/neu-
positive breast cancer. Oncologist. 2006.11(8):857-67.
Anwar AD, Achmad TH, Sukandar H, Krisnadi SR & Wirakusumah FF,Polimorfisme C1167T
gen Reseptor tipe II Transforming Growth factor-β, kadar soluble Endoglin dan
vascular Cell adhesion Molecule-1 pada preeclampsia, MKB.2010. 42(3):115-122
Blum, M., Grant, D. M., McBride, W., Heim, M., and Meyer, U.A., Human arylamine N-
acetyltransferase genes: isolation,chromosomal localization, and functional expression.
DNA Cell.Biol. 1990. 9: 193
18

Bonnardeaux A, Davies E, Jeunemaitre X, Féry I, Charru A, Clauser E, Tiret L, Cambien F,


Corvol P, Soubrier F.Angiotensin II type 1 receptor gene polymorphisms in human
essential hypertension. Hypertension. 1994.24(1):63-9.
Bravo-Villalta HV, Yamamoto K, Nakamura K, Bayá A, Okada Y, Horiuchi R., Genetic
polymorphism of CYP2C9 and CYP2C19 in a Bolivian population: an investigative
and comparative study.Eur J Clin Pharmacol. 2005. 61(3):179-84
Brian B. Spear, Margo Heath-Chiozzi, Jeffrey Huff, “Clinical Trends in Molecular Medicine,”
2001, 7( 5) : 201-204
Brinkmann U, Eichelbaum M. Polymorphisms in the ABC drug transporter gene MDR1. The
Pharmacogenomics J. 2001.1(1):59–64.
Buimer M, Keijser R, Jebbink JM, Wehkamp D, van Kampen AH, Boer K,Post van der JA, Ris-
Stalpers C: Seven placental transcripts characterize HELLP -syndrome. Placenta. 2008.
29:444-453
Cavallari, L.H., & Lam, Y.W.F., dalam DiPiro,J.T., Talbert,L.I., Yee,G.C., Matzke,G.R., Wells,
B.G., Possey, LM., 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. pp. 75-90.
Mc Graw Hill Companies Inc., New York
Ebisawa, T. and Deguchi, T., Structure and restriction fragment length polymorphism of genes
for human liver arylamine N-acetyltransferases.Biochem.Biophys. Res. Commun.
1991. 177, 1252.
Eichler HG, Abadie E, Breckenridge A, et al., Bridging the Efficacy-Effectiveness Gap : A
Regulator’s Perspective on Adressing Variability of Drug Response, Nat Rev Drug
Discov.2011. 10: 495-506
Enquobahrie DA, Williams MA, Qiu C, Meller M, Sorensen TK: Global placental gene
expression in gestational diabetes mellitus. Am J ObstetGynecol, 2009. 200:e1-13
Fellay, J.; Marzolini, C.; Meaden, E.R.; Back, D.J.; Buclin, T.; Chave, J.P.;Decosterd, L.A. et al.
Response to antiretroviral treatment in HIV1-infected individuals with allelic variants
of the multidrug resistance transporter 1: a pharmacogenetics study. Lancet.2002.
359(9300):30-36.
Fredriksson R, Nordstrom KJ, Stephansson O, Hagglund MG, Schioth HB.The solute carrier
(SLC) complement of the human genome: phylogenetic classification reveals four
major families. FEBS Lett., 2008. 582:3811–3816
Goldberger JJ, Buxton AE. Personalized medicine vs guideline-based medicine. JAMA. 2013.
309:2559–60
Gotten, V. California Governor Signs Padilla Bill to Prevent Genetic Discrimination—Unruh
Civil Rights Act Modernized to Reflect 21st Century. Cal Newswire. September 7,
2011.
Gracia-Martin, Martines C, Ladero JM & Aqundez JA. Intheretnic and Intraethnic variability of
CYP2C8 and CYP2C9 Polymorphisms in healthy individuals. Mol Diagn
Ther.2006.10(1): 29-40
Grant, D. M., Blum, M., and Meyer, U. A., Polymorphisms of N-acetyltransferase genes.
Xenobiotica, 1992. 22: 1073
Higgins CF. ABC transporters: from microorganisms to man. Annu Rev Cell Biol., 1992.
8(1):67–113.
Ingelman-Sunberg,M., Geneticsusceptibility to adverse effects of drugs and environmental
toxicants: The role of the CYP family of enzymes, Mutation Research/Fundamental and
Molecular mechanisms of Mutagenesis. 2001. 482, issue 1–2:11–19
19

Jain KK. Netherlands: Springer Science+Business Media; 2009. Textbook of Personalised


Medicine.
Johne A, Köpke K, Gerloff T, Mai I, Rietbrock S, Meisel C, et al. Modulation of steady-state
kinetics of digoxin by haplotypes of the P-glycoprotein MDR1 gene. Clin Pharmacol
Ther. 2002. 72(5):584–94.
Kirchheiner J, Brockmöller J. Clinical consequences of cytochrome P450 2C9 polymorphisms.
ClinPharmacol Ther. 2005. 77(1):1-16
Lachman HM, Papolos DF, Saito T, Yu YM, Szumlanski CL, Weinshilboum RM. Human
catechol-O-methyltransferase pharmacogenetics: description of a functional
polymorphism and its potential application to neuropsychiatric disorders.
Pharmacogenetics, 1996. 6:243-50.
Lee SY, Lee ST, Kim JW. Contributions of CYP2C9/CYP2C19 genotypes and drug interaction
to the phenytoin treatment in the Korean epileptic patients in the clinical setting. J
Biochem Mol Biol., 2007. 40(3):448–452.
Lee,C.R, Goldstein, J,A., & Pieper, J.A. Cytochrome P450 2C9 polymorphisms: a
comprehensive of the in vitro and human data.Pharmacogenetics, 2002. 12:251-263
Lotta Vidgren Tilgmann Ulmanen Melen Julkunen T, J, C, I, K, I et al., Kinetics of Human
Soluble and Membrane-Bound Catechol OMethyltransferase: A Revised Mechanism
and Description of The Thermolabile Variant of The Enzyme. Biochemistry 1995.
34:4202-10
Manna S and  Holz MK, Tamoxifen Action in ER-Negative Breast Cancer, Sign Transduct
Insights. 2016. 10( 5) : 1–7.
Nagy B, Savli H, Molvarec A, Várkonyi T, Rigó B, Hupuczi P, Rigó J Jr: Vascular endothelial
growth factor (VEGF) polymorphisms in HELLPsyndrome patients determined by
quantitative real-time PCR and melting curve analyses. Clin Chim Acta. 2008.
389:126-131.
Nishizawa H, Pryor-Koishi K, Kato T, Kowa H, Kurahashi H, Udagawa Y: Microarray Analysis
of Differentially Expressed Fetal Genes in Placental Tissue Derived from Early and
Late Onset Severe Pre-eclampsia. Placenta. 2007. 5:487-497
Osler, W, Sir William Osler quotes or Oslerisms,
https://lifeinthefastlane.com/collections/oslerisms/ diakses 14 Okt 2017
Pechandova K, Budzoka H, Slanar O. Polymorphism of the MDR-1 gene in the Czech
population. Folia biologica. 2006. 52(6):184–9.
PMC, 20014, The case for personalized medicine, ed4,
http://www.personalizedmedicinecoalition.org/Userfiles/PMC-Corporate/file/pmc_
the_case_for_personalized_medicine.pdf
Rettie, A.E. &Jones, J.P. clinical and toxicological relevance of CYP2C9: Drug-drug interaction
and Pharmacogenetics, Ann.rev.pharmacol.toxycol. 2005. 45:477-494
Rossi CB, De Micheli G and Carrara S. P450-Based Nano-Bio-Sensors for Personalized
Medicine Chapter 21 In Biosensors-Emerging Material and Applications, ed Pier
Andrea Serra. 2011. ISBN 978-953-307-328-6.
Schaich M, Kestel L, Pfirmann M. A MDR1 (ABCB1) gene single nucleotide polymorphism
predicts outcome of temozolomide treatment in glioblastoma patients, Oxford J Med
Annals Oncol. 2010. 20(1):175–81.
Schwarz, U.I. Clinical relevance of genetic polymorphism in the Human CYP2C9 gene,
Eur.J.clin Invest.2003. 33:23-30
20

Setyono J, Asj’ari SR, Sadewa AH., & Madiyan, M. Polimorfisme gen reseptor mcp-1 (ccr2)
sebagai faktor risiko nefropati diabetika pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di rsud
prof dr margono soekarjo dan rsup sardjito. Mandala of Health. 2010.4(1).
Sitras V, Paulssen RH, Grønaas H, Leirvik J, Hanssen TA, Vårtun A, Acharya G: Differential
placental gene expression in severe preeclampsia. Placenta. 2009. 30:424-433
Sundari , Aulani'am , Djoko Wahono S , M Aris Widodo, Non Genetic Risk Factor and
Polymorphism of Aldosterone Synthase T(-344)C Variant CYP11B2 Gene Promoter
Region Essential Hypertension Patients at Coastal and Mountainous Areas , Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 2013.27(3):169-177
Sutrisna Em. Personalized medicine phenytoin therapy. J Pharm Biomed Sci, 2017. 07(3):103–
105.
Sutrisna, EM, Personalized Medicine Terapi Digoksin pada Individu dengan Polimorfisme Gen
MDR , Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 2015. Vol 4 (2):113-119
Sutrisna, EM, Yuliani R, COMPT (Cathecol o-methyl transferase) gene as genetic risk factor for
Javanese schizophrenia, IJPPS. 2016. vol 8(4): 385-386
Sutrisna, EM., Farmakogenetik: Konsep Dasar dan Implikasi Klinis, 2015,MUP Press, Surakarta.
Taher, A. Ilmu dan Teknologi di Pelayanan Kesehatan Primer: dari Penyakit Tropik Terabaikan
Sampai Personalized MedicineVol. Pelayanan Kesehatan Primer. 5, No. 1, April 2017
Tanabe M, Iere I, Inoue K. Expression of P-glycoprotein in human placenta: relation to genetica
polymorphism of the multidrug resistance (MDR)-1 Gene. JPET. 2001. 297(3):1137–
43.
Uslu A, Ogus C,Ozdemir T, Bilgen T, Tosun O, & Keser I. The effect of CYP1A2 gene
polymorphisms on Theophylline metabolism and chronic bstructive pulmonary disease
in Tu r k i s h p a t i e n t s, 2010, http://bmbreports.org
Van der Weide J, Steijns LS, van Weelden MJ, de Haan K. The effect of genetic polymorphism
of cytochrome P450 CYP2C9 on phenytoin dose requirement. Pharmacogenetics. 2001.
11(4):287–291
Van Geel PP, Pinto YM, Voors AA, Buikema H, Oosterga M, Crijns HJ, van Gilst WH.
Angiotensin II type 1 receptor A1166C gene polymorphism is associated with an
increased response to angiotensin II in human arteries. Hypertension. 2000.35(3):717-
21
Verstuyft C, Schwab M, Schaeffeler E, Kerb R, Brinkmann U, Jaillon P, et al. Digoxin
pharmacokinetics and MDR1 genetic polymorphisms. Eur J Clin Pharmacol.
2003.58(12):809–12.
Weber, W.W. Pharmacogenetics. 2008. Oxford University Press, Inc, New,York
Wormhoudt,L.W., Commandeur, JN. M., and.Vermeulen,N. P. E. Genetic Polymorphisms of
HumanN-Acetyltransferase, Cytochrome P450 ,Glutathione-S-Transferase, and
EpoxideHydrolase Enzymes:Relevance to XenobioticMetabolism and Toxicity, Critical
Reviews in Toxicology. 1999. 29(1). 59–124
Zhang L, Strong JM, Qiu W, Lesko LJ, and Huang SM, Scientific Perspectives on Drug
Transporters and Their Role in Drug Interactions, Molecular Pharmaceutics, 2005. 3(1):
62-69
.
21

Anda mungkin juga menyukai