Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pemasangan Infus

2.1.1 Definisi

Infus adalah memasukkan cairan dalam jumlah tertentu melalui vena

penderita secara terus menerus dalam jangka waktu yang agak lama.

Penggunaan infus cairan intravena (intravenous fluid infusion) membutuhkan

peresapan yang tepat dan monitoring serta pengawasan yang ketat. (Weinstein,

2001).

Pemberian cairan bisa melalui oral, ataupun melalui jalur intravena

dengan pemasangan infus. Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat

memerlukan pemberian cairan infus adalah (UNAND, 2011)

a. Kondisi jalur enternal (via oral) tidak memungkinkan, missal pada pasien

penurunan kesadaran, kejang.

b. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan

komponen darah).

c. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen

darah).

d. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis dan femur (kehilangan cairan

tubuh dan darah).

e. Serangan panas (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi).

f. Diare dan demam


g. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh).

h. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan

tubuh dan komponen darah).

Jenis infus yang dipasang bisa berupa:

a. Infus set dengan tetesan mikro (untuk anak <1 tahun) (1cc = 60 tetes

mikro).

b. Infus set dengan tetesan makro (1cc = 20 tetes makro)

c. Transfusi set (1cc = 15 tetes)

Indikasi pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena (peripheral

venous cannulation) yang ditemukan oleh Arifianto (2008), adalah sebagai

berikut:

1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

2. Pemebrian nutrisi parenteral (langsung masuk kedalam pembuluh darah)

dalam jumlah terbatas.

3. Pemberian kantong darah dan produk darah.

4. Pemberian obat yang terus menerus.

5. Upaya profilaksis pada pasien pasien yang tidak stabil, misalnya risiko

dehidrai (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum

pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang

jalur infus.

6. Upaya profilaksis (Tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya

pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus


intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga memudahkan pemberian

obat).

Tujuan pemberian infus menurut Weistein (2001) adalah :

1. Mencukupi kebutuhan cairan kedalam tubuh pada penderita yang

mengalami kekurangan cairan.

2. Memberi zat makanan pada penderita yang tidak dapat atau tidak boleh

makan dan minum melalui mulut.

3. Memberi pengobatan yang terus menerus.

4. Memulai dan mempertahankan terapi cairan IV.

Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus yang dikemukakan

oleh Priska (2009) adalah :

1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat

pecahnya pembuluh darah arteri vena atau kapiler, terjadi akibat

penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau tusukan

“berulang” pada pembuluh darah.

2. Infiltrasi, yaitu masuknya cairan infus kedalam jaringan sekitar (bukan

pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh

darah.

3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi

akibat infus yang dipasang tiak dipantau secara ketat dan benar.

4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi

akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus kedalam pembuluh

darah.
2.1.2 Konsep Anak Pra Sekolah

Usia Prasekolaha.DefinisiAnak prasekolah adalah anak yang berumur

antara 3-6 tahun, pada masa ini anak-anak senang berimajinasi dan percaya

bahwa mereka memiliki kekuatan. Pada usia prasekolah, anak membangun

kontrol sistem tubuh seperti kemampuan ke toilet, berpakaian, dan makan

sendiri (Potts & Mandeleco, 2012). Menurut Montessori (dalam Noorlaila

2010), bawa usia 3-6 tahun anak-anak dapat diajari menulis, membaca,

dan belajar mengetik. Usia prasekolah merupakan kehidupan tahun-tahun

awal yang kreatif dan produktif bagi anak-anak.b.Ciri-ciri Anak Prasekolah

Patnomodewo (2010) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6tahun) yang

biasanya ada di TK meliputi aspek fisik, emosi, sosial, dan kognitif anak.

Ciri fisik anak prasekolah dalam penampilan maupun gerak gerik yaitu

umumnya anak sangat aktif, mereka telah memiliki penguasaan (kontrol)

terhadap tubuhnya. Ciri sosial anak prasekolah biasanya bersosialisasi dengan

orang disekitarnya. Umumnya anak pada tahap ini memiliki satu atau dua

sahabat, kadang dapat berganti, mereka mau bermain dengan teman. Ciri

emosional anak prasekolah yaitu cenderung mengekspresikan emosinya engan

bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia

tersebut, dan iri hati sering terjadi. Ciri kognitif anak prasekolah ialah

terampil dalam bahasa. Sebagian besar mereka senang berbicara,

khususnya dalam kelompoknya. Sebaiknya anak diberi kesempatan untuk

bicara. Sebagian mereka perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang baik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Wong (2009)

menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

perkembangan, yaitu:

a. Keturunan

Karakteristik yang diturunkan mempunyai pengaruh besar pada

perkembangan. Jenis kelamin anak, yang ditentukan oleh seleksi acak

pada waktu konsepsi, mengarahkan pola pertumbuhan dan perilaku orang

lain terhadapa anak. Kebanyakan karakteristik fisik termasuk pola dan

bentuk gambaran, bangun tubuh, dan keganjilan fisik, diturunkan

dan dapat mempengaruhi cara pertumbuhan dan integrasi anak

dengan lingkungannya.

b. Faktor Neuroendokrin

Kemungkinan semua hormon mempengaruhi pertumbuhan dalam

beberapa cara. Tiga hormon yaitu hormon pertumbuhan, hormon

tiroid, dan androgen, ketika diberikan pada individu yang kekurangan

hormon ini, merangsang anabolisme protein dan karenanya

menghasilkan elemen esensial untuk pembangunan protoplasma dan

jaringan bertulang.

c. Nutrisi

Nutrisi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling penting

pada pertumbuhan. Selama masa bayi dan kanak-kanak, kebutuan

terhadap kalori relatif besar, seperti yang dibuktikan oleh peningkatan

tinggi dan berat badan. Pengaruh nutrisi juga baik mempengaruhi


perkembangan, terutama untuk perkembangan kognitif anak, untuk

perkembangan IQ anak.

d. Hubungan Interpersonal

Hubungan dengan orang terdekat memainkan peran pentingdalam

perkembangan, terutama dalam perkembangan emosi, intelektual,

dari kepribadian. Melalui individu ini anak belajar untuk mempercayai

dunia dan merasa aman untuk menjelajahi hubungan yang semakin

luas.

e. Tingkat Sosioekonomi

Tingkat sosioekonomi keluarga anak mempunyai dampak signifikan

pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari

keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari

anak dari keluarga dengan strata sosioekonomi rendah. Keluarga dari

kelompok sosioekonomi rendah mungkin kurang memiliki

pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan

lingkungan yang aman, menstimulasi dan kaya nutrisi membantu

perkembangan optimal anak.

f. Penyakit Perubahan pertumbuhan dan perkembangan adalah salah satu

manifestasi dalam sejumlah gangguan herediter. Gangguan

pertumbuhan terutama terlihat pada gangguan skeletal.

g. Bahaya LingkunganBahaya dilingkungan adalah sumber

kekhawatirkan pemberi asuhan kesehatan dan orang lain yang

memperhatikan kesehatan dan keamanan. Sebagai contoh anak-anak

yang tinggal di daerah industri, dari segi kesehatan anak akan menghirup
udara yang kurang bersih karena udara sudah tercemar oleh asap-asap

pabrik menyebabkan anak menjadi jarang keluar rumah dan sulit

untuk bertemu teman-teman sebaya.

h. Stress Pada Masa Kanak-Kanak, Stress adalah ketidakseimbangan antara

tuntutan lingkungan dan sumber koping individu yang

menganggu ekuilibrium individu tersebut. Meskipun semua anak

mengalami stres, beberapa anak muda tampak lebih rentan

dibandingkan yang lain.

i. Pengaruh Media Massa, Media dapat memberikan pengaruh besar pada

perkembangan anak, tidak diragukan lagi bahwa media memberikan

anak suatu cara untuk memperluas pengetahuan mereka tentang dunia

tempat mereka hidup dan berkontribusi untuk mempersempit

perbedaan antar kelas. Citra perilaku berisiko yang ditampilkan oleh media

dapat berperan dalam membentuk atau menguatkan persepsi anak

tentang lingkungan sosial mereka. Anak-anak masa kini cenderung

memilih media dan figure olahraga sebagai model peran ideal mereka,

sedangkan di masa lalu mayoritas anak memilih orang tua atau wali

orang tua mereka sebagai orang yang paling ingin mereka contoh.

2.a.3 Reaksi Anak Terhadap Tindakan Keperawatan

Perawatan dirumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap

dirinya. Perawatan di rumah sakit juga mengharusan adanya pembatasan aktivitas

anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit

sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan

merasa malu, bersalah, atau takut (Supartini, 2004).


Seorang anak akan mendorong orang yang akan melakukan prosedur yang

menyakitkan agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan, atau berusaha

mengunci diri ditempat aman (Wong, 2009). Terkait prosedur yang menyakitkan,

proses pemasangan infus merupakan salah satu prosedur yang menyakitkan bagi

anak.

Karakteristik seorang anak dalam berespon terhadap nyari diantaranya

dengan menangis keras, berteriak, mengungkapkan secara verbal “aaow”, “uh”,

“sakit”, memukul tangan atau kaki, mendorong hal yang menyebabkan nyeri,

kurang kooperatif, membutuhkan restrain, meminta untuk mengakhiri

Tindakanyang menyebakan nyeri, menempel atau berpegangan pada orang tua,

perawat atau yang lain, membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan, melemah,

antisipasi terhadap nyeri actual (Hockenberry & Wilson, 2007).

2.1.4 Nyeri

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat

subjektif karena perasaan nyeri pada setiap orang dalam hal skala atau

tingkatannya, dan hanyaorang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau

mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat, 2006). Nyeri dapat disebabkan

olehtrauma (mekanik, thermis, khemis, dan elektrik), neoplasma (jinak atau

ganas), inflamasi, gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah, trauma

psikologis.

A. Fisiologi

Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf

aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen

atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang
menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak.

Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon

perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap

stimulus nyeri disebut nosiseptor (Torrance et al., 1997).

Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat

memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori

asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden

dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah

dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri (Smeltzer,

2002).

Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus

diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak

dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis

yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang

menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area

ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua

input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan

mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa

perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari

neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan

mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer, 2002).

B. Klasifikasi

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya

datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika kerusakan tidak
lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan

dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung

beberapa detik hingga enam bulan. nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan

yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi perubahan

denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot,

keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil (Brunner, 1996).

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang

satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan

dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon

terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering

didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih

(Smeltzer, 2001).

Menurut Taylor 1993, nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai

macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya,

dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau

menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-

menerus atau intermitten.

C. Respon

Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang terjadi

setelah mempersepsikan nyeri :

a. Respon fisiologis

Respon fisiologis dihasilkan oleh stimulasi pada cabang saraf simpatis dan

sistem saraf otonom. Hal ini terjadi karena pada saat impuls nyeri naik ke medula

spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi
terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Apabila nyeri berlangsung terus-

menerus, berat atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ visceral 20

(misalnya, nyeri pada infark miokard), sistem saraf parasimpatis akan

menghasilkan suatu aksi (Potter, 2006).

b. Respon perilaku

Pada saat nyeri dirasakan, saat itu juga dimulai suatu siklus, yang apabila

nyeri tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat

mengubah kualitas kehidupan secara nyata. Nyeri dapat memiliki sifat yang

mendominasi, yang mengganggu kemampuan individu berhubungan dengan

orang lain dan merawat diri sendiri.

D. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi

Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi

pengalaman nyeri (Potter et al., 2006). Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri,

antara lain:

a. Usia

Usia merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi nyeri. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan di antara kedua kelompok usia dapat

mempengaruhi cara bereaksi terhadap nyeri (misalnya, anak-anak dan lansia).

b. Jenis Kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda dalam berespons terhadap nyeri.

Beberapa kebudayaan menganggap bahwa 22 seorang anak laki-laki harus berani

dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis

dalam situasi yang sama. Toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh factor faktor
biokimia dan merupakan hal unik yang terjadi pada setiap individu, tanpa

memperhatikan jenis kelamin.

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi

nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh

kebudayaannya. Ada perbedaan makna dan sikap yang dikaitkan dengan nyeri di

berbagai kelompok budaya. Cara individu mengekspresikan nyeri merupakan sifat

kebudayaan yang lain. Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri

adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan yang lain cenderung untuk melatih

perilaku yang tertutup. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi makna dan

budaya akan membantu perawat dalam merancang asuhan keperawatan yang

relevan untuk pasien yang mengalami nyeri.

F. Makna

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu akan

mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi

kesan ancaman, suatu kehilangan, 23 hukuman dan tantangan. Derajat dan

kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri.

a. Perhatian

Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan

nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respon

nyeri yang menurun. Dengan adanya upaya pengalihan, klien akan memfokuskan

perhatian dan konsentrasinya pada stimulus yang lain.


b. Ansietas

Nyeri dan ansietas bersifat kompleks, sehingga keberadaanya tidak

terpisahkan. Ansietas meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapatkan

perhatian, maka rasa cemas tersebut akan menimbulkan suatu masalah

penatalaksanaan nyeri yang serius.

G. Skala nyeri

Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual

dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh

dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007).

a. Face Pain Rating Scale

Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia pra

sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating

Scaleyaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang tersenyum untuk

“tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk “nyeri berat”.

Gambar 1. Skala pengukuran nyeri

b.Visual Analog Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang

merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak

ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk

membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang

dirasakan.Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dip

ahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.Penggunaan VAS telah

direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS

juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya

realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak

menjadi permasalahan.Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga

skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat

rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio.Nilai VAS antara 0 – 4

cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target

untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat

sehingga pasien merasa tidak (Jensen et all., 2003)

Gambar 2. Skala Visual Analog

(Brunner & Suddarth, 2001)


2.1.5 EMLA

EMLA cream merupakan emulsi minyak-dalam-air 2,5% dan 2,5%

lidokain prilokain. Campuran eutektik berisi pengental, pengemulsi dan air suling

disesuaikan dengan tingkat pH 9,4. (Kundu S, 2002)

Penerapan krim EMLA sebagai anestesi lokal sederhana dan mudah, serta

waktu yang disarankan adalah 1 jam untuk pemberian pada kulit sedangkan 5-10

menit pada permukaan mukosa (Zilbert A., 2002).

Mekanisme kerja EMLA dapat digunakan pada kulit yang utuh dengan

cara mentsabilisasi membran saraf dengan cara menginhibisi konduksi rangsangan

pada serabut saraf. EMLA dapat berkhasiat penuh dalam waktu 1 jam.

Penggunaan krim EMLA sebagian besar akan mengurangi rangsangan yang

menimbulkan nyeri. Kasus sirkumsisi menunjukkan kemanjuran terbatas aplikasi

EMLA sebagai agen anestesi tunggal. Alasan di balik temuan ini dapat dijelaskan

oleh sifat kompleks dari penis dan persarafan kulup (Cold CJ., 1999).

A. Farmakokinetik

EMLA Cream adalah campuran dari lidokain 2,5% dan 2,5% prilokaina

diformulasikan sebagai minyak dalam emulsi air. Penyerapan lidocaine dan

prilocaine sistemik diserap dari EMLA secara langsung berkaitan dengan kedua

durasi dan di aplikasikan ke daerah di mana itu diterapkan. Dalam dua studi

farmakokinetik, 60 g EMLA Cream (1,5 g lidokain dan 1,5 g prilocaine)

diaplikasikan pada 400 cm2 kulit utuh di lateral dan kemudian ditutup dengan

sebuah kertas oklusif. Subyek kemudian secara acak termasuk satu-setengah dari

subyek memiliki kertas oklusi dan sisa cream dihapus setelah 3 jam, sementara

sisanya tertinggal di tempat selama 24 jam (Bishai R, 1999).


B. Dosis

Dosis EMLA krim memberikan efek analgesia yang efektif tergantung

pada durasi dari pemberian ke daerah yang dirawat. Semua studi klinis

farmakokinetik digunakan lapisan tebal EMLA krim (1 sampai 2 g / 10 cm2).

Durasi pemberian sebelum venipuncture adalah 1 jam. Durasi pemberian sebelum

cangkokan kulit tebal adalah 2 jam. Sebuah lapisan tipis belum diteliti dan dapat

menyebabkan analgesia yang kurang atau durasi yang lebih singkat dari analgesia

yang layak.

Penyerapan sistemik lidokain dan prilokain adalah efek samping dari efek

lokal yang diinginkan. Jumlah obat yang diserap tergantung pada luas permukaan

dan durasi. Tingkat darah sistemik tergantung pada jumlah yang diserap dan berat

badan pasien serta tingkat eliminasi obat. Durasi yang panjang dari pemberian,

daerah pengobatan yang besar, pasien dengan ukuran tubuh yang kecil, atau

gangguan eliminasi dapat menyebabkan kadar darah tinggi. Tingkat darah

sistemik biasanya sebagian kecil (1/20 hingga 1/36) dari tingkat darah yang

menghasilkan toksisitas (Karen et all., 2005).


BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Peta Konsep

INDIKASI

MEDIS

INFORM

CONCERN

ANAK

USIA PEMASANGAN LAKI LAKI –

PEREMPUAN
PRASEKOLAH INFUS

PENGGUNAA TANPA

N EMLA PENGGUNAAN

EMLA

RESPON RESPON

SKALA NYERI SKALA NYERI


GAMBAR 3. Kerangka Konsep
Keterangan :
: variable yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Arah hubungan

Pemasangan infus merupakan sumber nyeri kedua yang dirasakan anak setelah

penyakitnya. Nyeri yang dirasakan dapat membuat anak tidak kooperatif dan

menolak prosedur. Pengurangan nyeri merupakan kebutuhan dasar dimana dapat

dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu farmakologi dan non farmakologi.

Penatalaksanaan nyeri dengan falmakologisalah satunya adalah dengan pemberian

EMLA (Eutectic Mixture of Local Anesthetcs). EMLA merupakan bahan anastesi

local yang merupakan cairan yang mencair pada temperature yang lebih rendah

dari komponennya sehingga memungkinkan konsentrasi anestesi yang lebih

tinggi. Fungsi anestesi ini sendiri adalah untuk mengurangi rasa nyeri.
3.2 Hipotesis

Berdasarkan teori yang berkaitan dengan nyeri tindakan pemasangan infus

pada anak pra sekolah, maka hipotesis yang ditegakkan dalam penelitian ini

adalah pemberian EMLA memiliki pengaruh terhadap rasa nyeri dan skala nyeri

pada pemasangan infus pada anak prasekolah.

Anda mungkin juga menyukai