Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Jual Beli Piutang (Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali)

Makalah ini disusun sebagai bukti hasil dalam tugas

Mata Kuliah Fiqh Riba dan Gharar

Dosen Pengampu :

Ustadz Muhammad Azam Shidqi, Lc, M.Si

Disusun oleh :

Ilham Maulana Chusein (41904024)

Izzah Hafidzatul Qurani (41904020)

Kayyisah (41904001)

Hukum Ekonomi Syari’ah

STEI SEBI

Jl. Raya Bojongsari Gg. Mungkin, Pasar Rebo Kel. Curug,

Kec.Bojongsari Kota Depok 16527


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam kami hadiahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga,sahabat, dan para umatnya
yang insyaallah masih setia sampai akhir jaman. Makalah ini disusun guna
melengkapi tugas mata kuliah Fiqh Riba dan Gharar. Dalam penyusunan makalah ini,
dengan kerja keras dan dukungan banyak pihak. kami sudah berusaha untuk berusaha
memberikan dan mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan
harapan. Walaupun dalam hal penyusunan makalah ini kami mengalami berbagai
kesulitan karena keterbatasan ilmu yang kami miliki.

Oleh sebab itu pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besar nya khususnya kepada Ustadz Muhammad Azam Shidqi, Lc,
M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqh Riba dan Gharar. Makalah ini ditulis
untuk mempermudah memahamami materi mata kuliah Fiqh Riba dan Gharar Kami
menyadari bahwa penulisan dan pembuatan makalah ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik sangat kami butuhkan untuk dapat menyempurnakan
makalah ini. Semoga apa yang dihasilkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
dan teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jual beli menjadi salah satu jalan untuk melepaskan hak milik dari penjual
kepada pembeli dengan dasar saling merelakan. Transaksi jual beli yang dilakukan
konsumen dengan pedagang harus bersih dan bebas dari unsur ketidakjelasan dan
gharar.

Umumnya transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan non tunai, hal ini
sangat tergantung pada kemampuan masyarakat dan kebutuhannya. Transaksi jual
beli secara non tunai dilakukan sebagai kerelaan pihak penjual untuk melakukan
pemindahaan hak milik berupa barang tertentu yang dianggap sebagai kekayaan
kepada pihak lain dengan cara menangguh pembayaran atau penyerahan uang kepada
pihak penjual dan selanjutnya pembayaran dapat dilakukan secara berangsur-angsur
atau sekaligus pada waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak saat melakukan
akad.

Jual beli non tunai merupakan pemindahaan hak milik berupa barang kepada
pihak lain dengan menggunakan uang sebagai salah satu alat tukarnya yang
dibayarnya bisa secara berangsur-angsur atau sekaligus sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak saat melakukan akad. Secara umum jual beli non tunai bisa juga
dikatakan dengan utang piutang. Hal ini dikarenakan pihak pembeli tidak
menyerahkan uang sebagai harga pembelian barang transaksi pada saat pengambilan
barang yang dibelinya. Dengan demikian pihak pembeli menunda penyerahan hak
atas harta yang seharusnya dimiliki oleh pihak penjual. Sebagai transaksi jual beli
non tunai, pihak pembeli sama saja dengan melakukan akad utang piutang, meskipun
prinsipnya berbeda antara jual beli terhutang (bai’ al-dain) dengan al-qardh, bai’ al-
dain merupakan pembiayaan hutang yaitu penyediaan sumber daya keuangan dan
jasa dengan cara penjualan. Bai’ al-dain adalah fasilitas jangka pendek dengan jatuh
tempo tidak lebih dari satu tahun, apabila sudah jatuh tempo pembayaran maka
debitur menagih hutang tersebut dan kreditur harus mengembalikannya, sedangkan
qardh merupakan akad yang bertujuan melakukan perbuatan hukum dengan tujuan
memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang
sama dengan itu.

Sedangkan jual beli non tunai ini terjadi penggabungan filosofis akad yaitu
aqd al-tijari dengan aqd thathawwu’i sehingga pihak penjual selain mendapatkan
keuntungan dari transaksi yang dilakukan juga telah melakukan kebaikan dengan
keputusannya untuk menjual objek dagangnya secara non tunai.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali?


2. Apa hukum Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali?
3. Apa saja jenis dari Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali?

1.3 Tujuan Masalah

1. Mengetahui Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali.


2. Mengetahui Hukum Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali.
3. Mengetahui Jeni dari Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Bai’ Al-Kali bi Al-Kali.


- Dari segi bahasa, Kali‟ memiliki arti yang tertunda (deferred), sehingga
dapat diartikan sebagai hutang (debt).
- Istilah bai‟ al-kali‟ bil-kali‟ sering digunakan untuk transaksi jual beli
piutang.
- Secara teknis istilah ini merupakan sinonim dengan Bai‟ Al-Dayn, yang
berarti penjualan hak hutang (payable right).

Al-kali itu isim fail yaitu pemilik piutang, sedangkan yang dimaksud
adalah piutangnya.. Dalam kasus istilah dan Bahasa Arab seluruh ahli Bahasa
sepakat bahwa yang dimaksud dengan ba’I al-kali bi al-kali adalah an-nasi’ah
bi an-nasiah. Nasi’ah yang dimaksud adalah at-ta’khir atau menunda
pembayaran / tidak tunai.

Sesuai dengan makna Bahasa ini, maka para fuqaha mendefinisikan


bai’ al-kali bi al-kali adalah bai’ ad-dain bi ad-dain atau bai’ nasi’ah bin an-
nasi’ah. Maksudnya menjual piutang (tidak tunai) dengan harga tidak tunai
juga. Jadi harga dan objek yang dijual itu diserahkan tidak tunai. Seluruh
ulama sepakat dengan prinsip bai’ al-kali bi al-kali dan para ulama
mengategorikan jual piutang tunai itu bai’ al-kali bi al-kali, padahal yang
dimaksud dengan bai’ al-kali bi al-kali kedua objek jual itu tidak tunai.
2. Hukum Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali

Termasuk diantara bentuk transaksi yang terlarang adalah jual beli utang
dengan utang. Diantara dasar larangan ini adalah,

Pertama, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,


‫ نَهَى ع َْن بَي ِْع ْال َكالِ ِئ بِ ْال َكالِ ِئ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-Kali’ bil


Kali’ (utang dengan utang).
- Status Hadis
Hadis ini diriwayatkan ad-Daruquthni dalam sunannya 3105 dan Baihaqi
dalam as-Sughra dari jalur Musa bin Ubaidah ar-Rabadzi dari Abdullah bin
Dinar…

Dan Musa bin Ubaidah didhaifkan para ulama.

Imam as-Syafii mengatakan,

‫أهل الحديث يوهنون هذا الحديث‬

“Ahli hadis menilai lemah hadis ini.” (Dinukil dari Nailul Authar, 5/254)

Imam Ahmad mengatakan,

‫ عندي وال أعرف هذا الحديث من غيره‬p‫ال تحل الرواية عن موسى بن عبيدة‬

Menurutku, tidak halal meriwayatkan dari Musa bin Ubaidah. Dan saya tidak
mengetahui hadis ini dari jalur yang lain. (Nashbur Rayah, az-Zaila’i, 4/39).

Hadis ini juga didhaifkan al-Hafidz Ibnu Hajar (Talkhis al-Habir, 3/26), as-
Syaukani (Nailul Authar, 5/254), dan yang lainnya. Kesimpulannya hadis ini
dhaif.

Kedua, ijma’ ulama


Sekalipun hadis di atas dhaif, bukan berarti jual beli utang dengan
utang dibolehkan. Karena ulama sepakat, transaksi al-Kali’ bil Kali – jual beli
utang dengan utang – hukumnnya terlarang.

Imam Malik mengatakan,

‫وقد نهى عن بيع الكالئ بالكالئ‬


Jual beli al-Kali bil Kali’ hukumnya dilarang. (al-Muwatha’, Riwayat Yahya
al-Laitsi, 2/628)

Imam as-Syafii dalam kitabnya al-Umm pernah membahas hukum menjual


barang yang masih dalam tanggungan. Beliau mengatakan,

‫والمسلمون ينهون عن بيع الدين بالدين‬

“Kaum muslimin dilarang untun jual beli utang dengan utang.” (al-Umm, 4/30)

- Pernyataan kesepakatan ulama,

Ibnu Qudamah menukil keterangan ijma’ ulama dari Ibnul Mundzir,\

‫ إنما هو إجماع‬: ‫ وقال أحمد‬.‫ أجمع أهل العلم على أن بيع الدين بالدين ال يجوز‬:‫قال ابن المنذر‬

Ibnul Mundzir mengatakan, ‘Ulama sepakat bahwa jual beli utang dengan
utang tidak boleh. Imam Ahmad mengatakan, “Ulama sepakat dalam masalah
ini.” (al-Mughni, 4/186).

As-Syaukani mengomentari sanad hadis di atas, dan adanya ijma’,

‫وإن كان في إسناده موسى بن عبيدة الربذي فقد شد من عضده ما يحكى من اإلجماع على عدم جواز بيع‬
‫الكاليء بالكاليء‬

Meskipun dalam sanadnya terdapat perawi bernama Musa bin Ubaidah ar-
Rabadzi, namun ada pendukung kuat dari nulikan ijma’ bahwa tidak boleh jual
beli utang dengan utang. (as-Sailul Jarar, hlm. 480)

Ijma’ inilah yang menjadi landasan kita untuk menyatakan bahwa jual beli
utang dengan utang hukumnya terlarang.
3. Bentuk-bentuk Bai' al-kali bi-al kali (Jual Beli Piutang)

Para fuqaha sudah menjelaskan pihak-pihak dalam transaksi bai ad-dain


antara kreditor dan debitur dan pihak ketiga yang menerima pengalihan piutang.
Maka jika kreditor ingin menjual piutangnya, maka pemberi piutang itu bisa
debiturnya (madin) atau pihak ketiga (pihak yarg tidak memiliki utang). Dalam
dua kondisi tersebut, jual beli bisa dilakukan secara tunai atau tidak tunai.

A. Jual Piutang Kepada Debitur Secara Tidak Tunai

Ada tiga bentuk jual beli piutang dengan harga tidak tunai , yaitu:

1. Pertama, jual beli piutang (yang baru dilakukan) dengan harga tidak tunai
(insya’ ad-dain bi ad-dain).

Salah satu contohnya, seseorang melakukan akad salam dengan harga


yang baru disepakati, kemudian menjual piutangnya kepada orang lain. Jadi
objek dan harga salam tidak ada pada saat akad dan diserahkan kemudian.

Ulama madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan


Hanabillah) sepakat bahwa transaksi ini termasuk bai’ al-kali bi al-kali yang
diharamkan.

Menurut para ulama, sebab pelarangannya adalah adanya unsur


gharar. Gharar adalah sebab yang sistemik ( ‘illah muttharidah 1 ), maka setiap
transaksi yang terdapat unsur gharar, maka transaksi tersebut menjadi
terlarang.

Dr. ‘Ayyashi Faddad menjelaskan beberapa alasan diharamkannya


transaksi piutang dan dijual dengan harga tidak tunai, dan menyimpulkan
bahwa itu tidak termasuk jual beli piutang.

1
muttaridah (tetap berlaku demikian) seterusnya hendaklah tepat dan jelas
Menurut beliau, alasan diharamkannya transaksi itu sebagai berikut :

a. Insyighal dzimmatain bighairi faidatin

Sebagian ulama yang mengharamkan transaksi ini beralasan bahwa


setiap pihak yang bertransaksi bertujuan mendapatkan uang atau barang
(at-tamlik wa at-tamlluk). Tujuan tersebut tidak bisa tercapai dalam
transaksi ini karena barang dan harga diserahkan kemudian.

Dr. ‘Ayyashi Faddad menjelaskan bahwa alasan ini tepat diterapkan


dalam akad salam. Sebagai akad pembiayaan, maka penjual (muslam
ilaih) membutuhkan dana untuk modal usaha.

Hal ini berbeda dengan jual beli tidak tunai (maushuf fi dzimmah).
Kedua objek akad ( harga dan barang ) diserahkan kemudian karena untuk
memenuhi kebutuhan mereka, baik kebutuhan pasar ataupun kebutuhan
produksi. Jadi dalam akad sala, harga harus dibayar di muka, tetapi dalam
akad-akad tidak tunai yang lain harga bisa tidak tunai karena kebutuhn
pihak-pihak akad.

b. Ada Unsur Gharar

Sebagian ulama yang mengharamkan transaksi ini beralasan bahwa


transaksi ini terdapat unsur gharar.

Dr. ‘Ayyashi Fadad menjelaskan alasan ini, bahwa gharar itu terjadi
jika barang (objek akad) tidak ada (ma’dum). Dalam transaksi insya’ ad-dain
bi ad-dain itu seperti salam, walaupun objek akadnya tidak ada saat akad,
tetapi pada umumnya aka nada sesuai pesanan. Maka jika objek akadnya akan
ada sesuai pesanan. Maka jika objek akadnya akan ada sesuai pesanan, maka
gharar yang menjadi ‘illat keharaman itu tidak terjadi juga.
c. Menyebabkan Riba Nasi’ah

Sebagian Ulama yang mengharamkan transaksi ini beralasan bahwa


transaksi ini menyebabkan praktik riba, sebagaimana kebiasaan orang-orang
jahiliah yang meminta bunga atas keterlambatan pembayaran.

Dr. ‘Ayyashi Faddad menjawab alasan ini, bahwa ‘ illat riba itu
menjadi benar jika dipastikan menyebabkan terjadinya praktik riba, tetapi jika
hanya asumsi, maka tidak bisa dijadikan ‘illat atau sebab.

Di samping itu, ketika debitur merasa tidak mampu membayar, maka


Islam memberikan opsi-opsi di antaranya, memberikan kesempatan untuk
melunasinya (maisarah, atau faskhal ‘aqdi atau I’tiyadh ‘anin daini bimitsli
tsamani au aqalla minhu).

d. Termasuk Bai’ Al-Kali Bi Al-Kali

Sebagian ulama yang mengharamkan transaksi ini beralasan bahwa


transaksi ini termasuk bai’ al-kali bi al-kali.

Dr. ‘Ayyashi Faddad menjawab alasan ini, bahwa Insyaad-dain bi ad-


dain adalah jual barang yang tidak ada saat akad (maushuf fi adz-dzimmah),
maksudnya membuat kontrak dan komitmen baru dengan komitmen lainyang
baru pula. Karena kedua pihak akad tidak memiliki tanggungan,komitmen ,
dan utang sebelumnya, yang ada hanya kesepakatan akad baru antara
keduanya.

Maka bentuk ini berbeda dengan jual beli piutang. Karena jual beli
piutang (bai’ al-kali bi al-kali) bermakna jual piutang yang ada (istiqrar)
dengan utang lain, baik kepada debitur atau kepada selain debitur.
Dr. ‘Ayyashi Faddad menjelaskan bahwa tidak ada satupun bentuk
transaksi jual beli piutang (bai’ al-kali bi al-kali) yang disepakati oleh para
ulama bahwa transaksi tersebut adalah bai’ al-kali bi al-kali.

Lembaga Fikih Islam OKI dalam muktamar ke-7 tahun 1997 di


Jeddah telah membolehkan akad istishna’ dengan harga dan barang yang
diserahkan secara tidak tunai hingga waktu tertentu. Muktamar ini juga
membolehkan pihak akad menyepakati sanski (syart jaza’) yang harus
dilaksanakan oleh pihak akad.

Menurut Dr. ‘Ayyashi Faddad insya ad-dain bi ad-dain tidak akan


menggunakan uang sebagai objek akad atau tidak termasuk jual beli uang,
tetapi transaksi ini terjadi di pasar komoditas (suq as-sila’).

2. Kedua, jual beli piutang (yang sudah ada sebelumnya sudah ada) dengan
harga tidak tunai.

Menjual piutang salam kepada pihak yang menerima pesanan


(muslam ilaih) setelah jatuh tempo penyerahan barang dengan harga dibayar
kemudian.

Seluruh ulama sepakat bahwa transaksi ini termasuk jual beli piutang
(bai’ al-kali bi al-kali) yang diharamkan. Malikiyah menjelaskan, bahwa
‘illatnya transaksi ini mengandung unsur riba al-jahiliah, seperti kebiasaan
orang Arab, jika punya piutang dan jatuh tempo, mereka memberikan pilihan
kepada debitur memberikan bunga atau memperpanjang tidak tunai
pembayaran.

Menurut ulama, yang diharamkan adalah memperpanjang tempo


dengan bunga tetapi jika tanpa bunga, maka itu termasuk perkara yang
dibolehkan.
3. Ketiga, jual beli piutang kepada selain debitur dengan harga tidak tunai.

Seperti debitur menjual piutangnya (pada madin) kepada pihak ketiga


dengan harga tidak tunai. Menurut mazhab Malikiyah bentuk ini dinamakan
dengan jual beli piutang (bai’ ad-dain bi ad-dain) yang diharamkan dalam
Islam.

Bentuk (transaksi) ini diharamkan karena perbedaan harga antara


piutang yang dijual dengan nominal harganya atau karena sulit diketahui
nominal keduanya.

Kesimpulan Hukum

Dari ketiga bentuk jual piutang dengan tidak tunai diatas, bisa
disimpulkan bahwa jual beli piutang yang sudah istiqrar 2 kepada debitur atau
kepada pihak ketiga dengan harga tidak tunai itu temasuk bai’ al-kali bi al-
kali. Para ulama sepakat bahwa bentuk ini diharamkan.

Sedangkan melakukan akad jual piutang kepada debitur dengan harga


tidak tunai, sebagian ulama kholaf mengatakan bahwa transaksi ini
dibolehkan.

B. Jual piutang kepada selain debitur dengan harga tunai.

Dalam istilah fiqih piutang ada 2. Muajjal (tidak tunai) bisa di tagih ketika
jatuh tempo dan hal (tunai) piutang yang bisa ditagih kapan saja. Namun dalam
fiqih piutang lebih kepada makna muajjal.

Biasanya transaksi utang piutang dilakukan dengan kesepakatan waktu


permbayaran (satu kali pembayaran ataupun cicilan). Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum nya :

- Pertama, Mayoritas Fuqaha ( Madzhab Habafiyah, Syafi’iyah, hanabilah, dan


Dzahriah) berpendapat bahwaa transaksi ini diharamkan secara mutlak. (baik
2
Diputuskan/ditetapkan.
piutang yang timbul dari akad salam ataupun saelain akad salam, baik harga
dan brang sejenis atau bukan)
Alasan menghramkan transakasi ini :
1. Karena penjual tidak mampu menyerahkan piutang kepada pembeli.
Maksudnya, piutang itu masih di tangan debitur dan belum dipastikan
debitur bisa membayar utangnya atai tidak.
2. Dalam transaksi ini terdapat unsur Gharar. Menururt hanafiyah piutang
itu adalah mal hukmi (dengan hukumnya) yang tidak bisa di serahkan
kepada penjual."
- Kedua, Malikiyalh membedakan antara piutang yang timbul dari akad salam
atau piutang yang timbul dari akad selain salom dan memberikan syarat-
syarat agar terhindar dari riba dan gharar
1. Jika piutang salam, maka syaratnya adalah:
a. Harga dan barang berbeda jenis.
b. Piutangnya adalah barang yang bisa diperjualbelikan sebelum qabdh3,
maka piutangnya bukan makanan, karena makanan tidak boleh dijual
kecuali setelah qubdh atau dalam bahasa fikih disebut bai' ath-tha'am
qabla gabdhihi (menjual makanan sebelum dimiliki).
c. Harga diserahkan tunai karena jika harga dan barang diserahkan tidak
tunai maka termasuk bai' ad-dain bi ad-dain.
2. Jika piutang selain salam, maka syaratnya adalah:
a. Piutang dijual dengan barang yang berbeda jenis seperti menjual mata
uang dolar dengan mata uang rupiah. Jika harga dan barangnya adalah
barang sejenis, seperti menjual mata uang rupiah dengan rupiah (ul-
mubadalah baina naqdain min jinsin wahid), maka piutang dan harga
harus sama.
b. Piutangnya adalah barang yang tidak boleh diperjualbelikan sebelum
qabdh, maka piutangnya bukan makanan karena pendapat Malikiyah yang
membolehkan jual piutang kepada selain debitur dengan harga tunui (bai"
ad-dain al-muajjal li ghairi makanan tidak boleh dijual kecuali setelah
qabdh atau dalanı bahasa fikih disebut bai' ath-tha'am qabla qabdhihi.

3
(Penerimaan barang)
c. Bukan transaksi antara emas atau perak atau sebaliknya karena ternasuk
akad sharf, sedangkan taqabud dalam transaksi ini tidak terlaksana.
d. Harga diserahkan tunai, karena jika harga dan barang diserahkan tidak
tunai maka termasuk bại' ad-dain bi ad- dain.
Jadi kesimpulannya, menurut Malikiyah, dalam akad ini rerjadi
transaksi barang-barang ribawi, maka harus memenuhi syarat-syarat jual
beli barang-barang ribawi supaya terhindar dari riba jual beli (riba ai-
buyu').
Maka jika piutang salam itu harus berbeda jenis karena kalau satu
jenis narus sama jumlah harga dan barang. Dan harus tunai karena kalau
ditunda pembayarannya, maka termasuk riba nasi'ah.
Jika piutang selain salam, maka transaksinya tidak boleh dalam
bentuk mata uang yang sejenis. Jika selain mata uang sejenis, maka
dibolehkan dengan syarat jumlahnya sama dan barangnya selain uang.
- Ketiga, Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat), salah satu pendapat ulama
syafi'iyah, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim berp ndapai bahwa transaksi ini
dibolehkan secara mutlak (baik piutang salam atau selain salam, baik harga
dan barang sejenis atau berbeda jenis), dengan syarat transaksi ini tidak
menyebabkan kepada praktik ribawi.
Nazih Hammad dalam tulisannya memilih (merajihkan) pendapat
Malikiyah yang membolehkan jual piutang kepada selain debitur dengan
harga tunai (bai’ ad-dain al-muajjal li ghairi al-madhni bi-tsamanin al-hal)
karena itu pendapat yang kuat. Beliau menjelaskan :
1. Boleh menjual piutang salam dengan syarat harga dibayar tunai dan harga
dengan barang itu berbeda jenis, bisa di serhterimakan dan terhindar dari
riba.
2. Boleh menjual piutang selain salam dengan syarat harga dibayar tunai,
bisa diserahterimakan dan terhindar dari riba.

Menurut pendapat ini, maka menjual piutang dengan harga tunai tu


hukumnya boleh. Tidak boleh transaksi antara barang ribawi yang sejenis
uang atau makanan yang sejenis. Karena ternasaksi tidak bisa dilakukan
secara tunai.
Maka menjual piutang barang-barang ribawi sejenis (seperi rupiah dengan
rupiah) dengan harga tidak tunai itu diharamkan karena transaksi ini adalah
transaksi sharf dan disyaratkan tamatsul4 (sama) dan taqabudh5 (tunai). Tetapi
tamatsul dan taqabudh dalam transaksi ini tidak terjadi.

Jika kita mengambil kesimpulan dari pendapat yang membolehkan


dengan bersyarat (pendapat yang unggul) tersebut, maka ada dua kata kunci,
yaitu:

1. Jual barang-barang ribawi maka syaratnya jumlahnya (tamatsul), tunai


(taqabudh), dan bisa diserahkan (maqdurat taslim).
2. Jual barang-barang non ribawi, maka syaratnyasama bisa
diserahterimakan (maqdur at-taslim).

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa jual beli piutang secara
tunai tersebut adalah sharf (transaksi mata uang sejenis)) yang disyaratkan
harus ada tamatsul dan taqabudh, di taqabudh tidak mungkin terjadi dalam
transaksi ini, karena vang dimaksud taqabudh itu kedua objek jual beli (harga
dan barang) itu diserahkan tunai.

Maka tansaksi ini termasuk riba buyu'/riba nasi'ah, maka seluruh ulama
yang berbeda pendapat dalam bai' ad-dain al-muajjal lighairi al-debitur bi
tsamani hal, tetapi dalam transaski sharf ini akan sepakat bahwa transaksi
diharamkan karena tidak ada taqabudh.

Perbedaan para ulama dalam masalah jual beli piutang secara tunai di atas
jika objek barangnya barang atau mata uang. Tetapi dalam bentuk uang
(sharf), maka ketiga pendapat tersebut sepakat bahwa itu termasuk riba
nasi’ah.

Kesimpulan ini juga yang menjadikan kesepakatan nadwab al-baraka,


bahwa sesuai dengan kaidah di atas, maka transaksi ini adalah transaksi sharf.
Dan disyaratkan tamtsul dan taqabudh.

4.Contoh kasus

4
sama
5
tunai
Nina membeli bolpen di Naomi seharga 100ribu dengan cara kredit dalam
waktu satu bulan. Pada saat jatuh tempo ternyata Naomi kehabisan stok bolpen dan
Naomi menyuruh Nina untuk menjual kembali bolpennya (yang belum didapat)
kepada Naomi dengan kredit dan harga yang lebih mahal serta tambahan beberapa
waktu.

Skema
1 Kredit
Kredit
Penjual
(Naomi) Pembeli (Nina)
Pembeli (Mancung)
Kredit
Riba

Penjelasan :

 Yang 1 adalah tanda jika penjual (Naomi) menjual barang kepada pembeli
(Nina) secara kredit dan dalam tempo tertentu, misal 1 bulan. Pada saat jatuh Kredit
tempo barang yang dibeli kehabisan stok. riba
 Yang 2 Pembeli (Nina) menjual kembali barang yang dibelinya namun belum
dia terima kepada si penjual (Naomi) dengan tambahan waktu dan uang.
BAB III

PENUTUPAN

Kesimpulan

Dari segi bahasa, Kali‟ memiliki arti yang tertunda (deferred), sehingga dapat
diartikan sebagai hutang (debt). Istilah bai‟ al-kali‟ bil-kali‟ sering digunakan untuk
transaksi jual beli piutang. Secara teknis istilah ini merupakan sinonim dengan Bai‟
Al-Dayn, yang berarti penjualan hak hutang (payable right).

Meskipun hadis yang masyhur mengenai pelarangn jual beli hutang itu dhaif,
bukan berarti jual beli utang dengan utang dibolehkan. Karena ulama sepakat,
transaksi al-Kali’ bil Kali – jual beli utang dengan utang – hukumnnya terlarang.

Bahwa jual beli piutang yang sudah istiqrar kepada debitur atau kepada pihak
ketiga dengan harga tidak tunai itu temasuk bai’ al-kali bi al-kali. Para ulama sepakat
bahwa bentuk ini diharamkan. Sedangkan melakukan akad jual piutang kepada
debitur dengan harga tidak tunai, sebagian ulama mengatakan bahwa transaksi ini
dibolehkan.

Bahwa jual beli piutang secara tunai tersebut adalah sharf (transaksi mata
uang sejenis)) yang disyaratkan harus ada tamatsul dan taqabudh, di taqabudh tidak
mungkin terjadi dalam transaksi ini,. karena vang dimaksud taqabudh itu kedua objek
jual beli (harga dan barang) itu diserahkan tunai.

Anda mungkin juga menyukai