Anda di halaman 1dari 22

GAMBARAN HISTOPATOLOGI TUMOR TESTIS DAN TERAPINYA DI

RSHS PERIODE 2015-2017

Oleh

USULAN PENELITIAN

Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Spesialis Urologi

Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Urologi

Pembimbing :
Dr. dr. Safendra Siregar, Sp.U(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS UROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker testis adalah keganasan umum pada pria muda dengan insiden

lebih tinggi di negara maju. Di Negara Barat, kanker testis mewakili 1%

neoplasma dewasa dan 5% tumor urologis, dengan 3 hingga 10 kasus baru per

100.000 pria/tahun.1,2 Namun, angka kematian akibat kanker testis secara global

telah menunjukkan angka yang lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan

rendah dan menengah (0,5 per 100.000) daripada di negara-negara berpenghasilan

tinggi.2

Meskipun gejala testis umum terjadi, kanker testis relatif jarang terjadi.

Pembengkakan padat yang mempengaruhi tubuh testis memiliki kemungkinan

tinggi (>50%) disebabkan oleh kanker. Gejala kanker yang paling umum adalah

benjolan atau pembengkakan yang tidak nyeri (>85%). Sekitar 10% pria datang

dengan nyeri akut, dan 20% hingga 30% mengalami perasaan berat menyeret atau

sakit umum. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan kanker pada awalnya salah

didiagnosis sebagai epididimitis atau torsi testis akut.3 Oleh karena itu,

berdasarkan pedoman AUA, jika ditemukan massa padat di testis yang

teridentifikasi saat pemeriksaan fisik atau pencitraan harus ditangani sebagai

neoplasma ganas hingga diagnosis lain ditegakkan.4

Faktor risiko yang paling konsisten terkait dengan kanker testis —

kriptorkismus (cacat lahir di mana salah satu atau kedua testis tidak ada di dalam

2
skrotum) — meningkatkan risiko kanker testis hampir lima kali lipat. Hipospadia

(kelainan kongenital di mana lubang uretra tidak berada di kepala penis) dan

jumlah sperma yang rendah juga dapat menjadi faktor risiko.5

Sistem klasifikasi WHO terbaru mendefinisikan 2 entitas utama TGCT

(testicular germ cell tumours) menjadi TGCT yang berhubungan dengan GCNIS

(germ cell neoplasia in situ) dan TGCT yang tidak berhubungan dengan GCNIS.

TGCT yang berhubungan dengan GCNIS merupakan TGCT tipe 2 yang secara

umum dibagi 2 berdasarkan gambaran histopatologi yaitu, seminoma yang

menyerupai Primordial Germ Cells (PGC) dan non-seminoma. 5,6 Gambaran

histologi kanker bisa digunakan menjadi panduan dalam penanganan sehingga

dapat berfokus pada isu klinis yang penting. Misalnya, sangat penting untuk

mengidentifikasi komponen non-seminoma pada tumor sel benih testis agar

pasien bisa ditangani sebagai pasien non-seminoma. Akan tetapi, temuan ini

menjadi kurang penting pada pasien dengan kada alfa fetoprotein yang tinggi

karena pasien tetap akan ditangani sebagai pasien nonseminoma walaupun hasil

diagnosisnya menunjukkan gambaran seminoma.7

Pasien-pasien kanker testis diklasifikasikan menjadi tingkat klinis I,

tingkat klinis II (melibatkan nodus limfa), dan tingkat klinis III (metastasis ke

organ viscera) setelah pencitraan dan kuantifikasi penanda tumor. Kebanyakan

pasien dengan TGCT terdiagnosa pada tingkat klinis I dimana kanker masih

terbatas di testis. Penanganan untuk tingkat ini adalah dengan orkidektomi testis

yang terdapat tumornya. Namun, untuk pria dengan testis soliter,

direkomendasikan pendekatan dengan pengimbangan organ untuk

3
mempertahankan fungsi sel Leydig. Pasien dengan tingkat klinis II dan III

memerlukan kombinasi orkiektomi dan penanganan lokal ataupun sistemik untuk

nodus limfa. Seminoma lebih sensitif terhadap radiasi dibandingkan beberapa

bagian dari tumor nonseminoma, sehingga radioterapi berperang penting dalam

penanganan metastasis seminoma tingkat rendah.5 Dalam kondisi yang

mengancam keselamatan, kemoterapi harus segera dimulai, terutama jika

gambaran klinis mengarah ke kanker testis dan/atau penanda tumor meningkat.

Orkidektomi pada kondisi ini bisa ditunda hingga ada stabilisasi klinis.1

Lesi residual sendiri juga terbagi menjadi seminoma dan nonseminoma

sehingga penanganannya pun juga berbeda. Lesi seminoma merespon dengan baik

terhadap kemoterapi dan tidak perlu reseksi karena tumor residual yang besar pun

akan mengalami nekrosis pada 95% pasien. Sedangkan reseksi tumor residual

perlu dilakukan pada pasien nonseminoma ketika lesi abnormal >1cm terlihat

pada pencitraan radiografi. Umumnya, setelah kemoterapi, 10% pasien masih

memiliki kanker vital, 40% memiliki teratoma, dan 50% hanya memiliki jaringan

nekrosis dan/atau fibrosis.5

Berdasarkan hal-hal di atas, peneliti berencana melakukan penelitian untuk

mengetahui gambaran pasien kanker testis dan juga pemberian terapi kanker testis

di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2015-2017, serta hubungan antara

pemberian terapi terhadap gambaran histopatologis kanker testis.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran pasien kanker testis di RS Hasan Sadikin

Bandung pada tahun 2015-2017?

4
2. Bagaimana gambaran pemberian terapi kanker testis di RS Hasan

Sadikin Bandung pada tahun 2015-2017?

3. Bagaimana hubungan pemberian terapi terhadap gambaran

histopatologis kanker testis?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi pasien kanker testis di RS Hasan Sadikin Bandung

pada tahun 2015-2017.

2. Mengidentifikasi karakteristik histopatologi pada pasien kanker testis

di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2015-2017.

3. Mengidentifikasi pemberian terapi pada pasien kanker testis di RS

Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2015-2017.

4. Menganalisis hubungan pemberian terapi kanker testis berdasarkan

gambaran histopatologis

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan teori tentang kanker

testis di RS Hasan Sadikin Bandung. Serta dapat dijadikan sebagai bahan dan

kerangka berfikir untuk langkah penelitian tentang kanker testis di Banudng

dalam aspek faktor risiko, proses perjalanan penyakit, terapi, dan lainnya di

kemudian hari.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Testis

2.1.1 Embriologi Testis

Perkembangan testis dibagi menjadi perkembangan gonad dan fase

turunnya testis dari intra abdomen hingga mencapai rongga skrotum. Gonad akan

berkembang pada permukaan anteromedial dari mesonefros di urogenital ridge.

Pada minggu ke 7-8 kehamilan embrio yang secara genetis laki-laki membawa

kromosom seks XY, korda seks primitif terus mengalami proliferasi dan penetrasi

kedalam medula untuk membentuk testis yang dipengaruhi oleh gen SRY pada

kromosom Y. Pada bagian hilum dari kelenjar korda terurai menjadi jalinan

untaian sel-sel kecil yang membentuk rete testis dan terus berkembang

membentuk lapisan-lapisan pada testis berupa lapisan jaringan ikat padat, tunika

albuginea.1

Pada minggu ke 10-15 ligamen suspensori kranial mengalami regresi dan

pada bagian kaudal mengalami pemadatan mesenkim membentuk gubernakulum.

Seiring pembentukan gonad dan pembesaran gubernakulum, menyebabkan posisi

testis dekat dengan bakal kanal inguinal. pada pertengahan bulan ke 3, peritoneum

rongga abdomen mengalami diferensiasi menjadi beberapa lapisan sebagai

pembungkus testis yang akan mengikuti perjalanan gubernakulum testis ke dalam

skrotum sehingga nantinya akan membentuk kanalis inguinalis. Perubahan lapisan

peritoneum berupa : pada bagian atas tempat menempelnya gubernakulum

6
mengalami evaginasi kedalam penebalan skrotum membentuk prosesus vaginalis

yang akan menjadi lapisan terdalam dekat testis, fasia transversa peritoneum

menjadi fasia spermatika interna,muskulus oblikus internus abdominis

membentuk muskulus kremaster dan muskulus oblikus eksternus abdominis

membentuk fasia spermatika eksterna. Testis turun melalui cincin inguinal dan

melalui pinggir os pubis hingga berada dalam skrotum hingga lahir.2

2.1.2 Anatomi Testis

Testis adalah organ berbentuk ovoid dengan volume 15-25 mL, panjang

4.5-5.1 cm. Tunika albuginea memiliki sel otot polos yang kebanyakan diisi oleh

jaringan kolagen. Sel-sel otot polos memiliki kemampuan kontraksi kapsul

sehingga mempengaruhi aliran darah ke testis dan saluran tubulus seminiferus ke

testis. Testis digantung oleh funikulus spermatikus dan terbungkus oleh beberapa

lapisan terdiri atas tunika vaginalis, tunika albuginea, dan tunica vasculosa. Otot

kremaster yang terletak disekitar testis memungkinkan testis dapat digerakan

mendekati rongga abdomen sehingga temperatur testis dapat dipertahankan stabil.

Parenkim testis dibagi menjadi beberapa kompartemen oleh septa. Septum

membagi tubulus seminiferus menjadi lobus yang masing-masingnya memiliki

ateri sentrifugal. Jaringan interstitialnya tersusun atas sel leydig, sel mast,

makrofag, saraf, pembuluh darah dan pembuluh limfatik. Tubulus seminiferus

adalah saluran panjang, berbelok-belok yang berakhir di rete testis. Panjang 600

hingga 1200 tubulus di testis manusia diperkirakan mencapai 250 meter. 1,2

7
2.1.3 Vaskularisasi dan Limfatik Testis

Testis mendapatkan darah dari tiga pembuluh, yaitu diantaranya arteri

testikularis, arteri kremaster dan arteri diferensialis. Arteri testikularis merupakan

pembuluh darah utama yang memberikan suplai darah pada testis. Arteri

testikularis berasal dari aorta tepat di bawah arteri renalis dan berjalan melalui

retroperitoneum menuju annulus inguinalis lalu melalui korda spermatika hingga

sampai di permukaan testis dengan menembus tunika albuginea. Arteri testikularis

bercabang menjadi arteri internal dan arteri testikularis inferior dan menjadi arteri

kapital menuju kepala epididimis.1,3

Darah dari testis akan kembali kedalam pleksus pampinifomis korda

spermatika. Pada cincin inguinalis interna, pleksus pampiniformis membentuk

vena spermatika. Vena spermatika kanan memasuki vena kava tepat dibawah dari

vena renalis kanan,sedangkan vena spermatika kanan bermuara di vena renalis

kiri. Pembuluh limfatik testis bermuara pada kelenjar getah bening lumbar yang

berhubungan dengan nodus limfa mediastinum.1,3

2.1.4 Persarafan Testis

Testis tidak memiliki persarafan somatis. Testis menerima persarafan

otonomik utamanya dari saraf intermesenterik dan pleksus renalis. Saraf ini

berjalan sepanjang arteri testikular ke dalam testis. Persarafan adrenergik testis

terbatas pada pembuluh darah kecil untuk sel Leydig yang dapat mengatur

steroidogenesis. Tonus vaskular dalam testis diatur oleh variasi autoregulasi

kapsular arteri berdasarkan kebutuhan metabolik lokal dan diatur oleh peptida

natriuretik, ini menunjukkan persarafan testis berfungsi untuk mengatur

8
mikrovaskulatur testis.1,2

2.1.5 Fisiologi Testis

Testis menghasilkan gamet jantan dan hormon seksual pria (androgen).

Spermatogenesis merupakan proses yang terlibat dalam produksi gamet,

sedangkan steroidogenesis mengacu pada reaksi enzimatik yang mengarah pada

produksi hormon steroid pria. Spermatogenesis dan steroidogenesis terjadi di dua

kompartemen secara morfologis dan fungsional yang dapat dibedakan satu sama

lain, yang terdiri dari tubulus seminiferus (tubulus seminiferus) dan kompartemen

interstitial (interstitium) antara tubulus seminiferus. Meskipun terpisah secara

anatomis, kedua kompartemen saling berhubungan. Fungsi testis dan fungsi

kompartemennya diatur oleh hipotalamus dan kelenjar hipofisis (regulasi

endokrin). 4,5

Tubulus seminiferus tempat produksi sperma yang tersusun atas 2 jenis

sel: spermatogonia dan sel sertoli. Sel sertoli berfungsi untuk meregulasi

perkembangan sperma dan memberikan nutrisi ke sperma. Sel-sel Sertoli

memproduksi hormon inhibin dan aktivin hingga faktor pertumbuhan, enzim, dan

protein pengikat androgen (ABP). ABP disekresikan ke dalam lumen tubulus

seminiferus untuk berikatan dengan testosteron. 4,5

Spematogonis adalah sel punca yang akan mengalami meiosis menjadi

spermatosit primer di bagian basal dari sel sertoli. 4,5 Spermatosit bergerak ke

lumen tubulus dan saat mencapai ujung lumen dari sel sertoli akan terjadi

pembelahan membentuk spermatid. Spermatid akan menempel pada apeks

membran sel sertoli hingga mencapai transformasi sempurna menjadi sperma.

9
Sperma akan dikeluarkan ke lumen tubulus seminiferus bersamaan dengan sekresi

cairan sehingga sperma lebih mudah bergerak keluar testis. Seluruh proses ini

membutuhkan waktu sekitar 64 hari. 4,5

Gambar 2.1 Spermatogenesis

10
Zhao LC, Lautz TB, Meeks JJ, Maizels M. Pediatric Testicular Torsion
Epidemiology Using a National Database: Incidence, Risk of Orchiectomy
and Possible Measures Toward Improving the Quality of Care. J Urol.
2011;186(5):2009–13.
2. Sharp VJ, Kieran K, Arlen AM. Testicular torsion: Diagnosis, evaluation,
and management. Am Fam Physician. 2013;88(12):835–40.
3. Ludvigson AE, Beaule LT. Urologic Emergencies. Surg Clin North Am.
2016;96(3):407–24.
4. Fehér ÁM, Bajory Z. A review of main controversial aspects of acute
testicular torsion. J Acute Dis. 2016 Jan;5(1):1–8.
5. Illouz Y-G, Sterodimas A. Adipose Stem Cells and Regenerative Medicine.
Springer; 2011.

2.2 Kanker Testis

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi

Kanker testis adalah keganasan umum pada pria muda dengan insiden

lebih tinggi di negara maju. Di Negara Barat, kanker testis mewakili 1%

neoplasma dewasa dan 5% tumor urologis, dengan 3 hingga 10 kasus baru per

100.000 pria/tahun.1,2

Insiden kanker testis bervariasi dari <1 individu yang terkena per 100.000

laki-laki di sebagian besar Afrika dan Asia hingga 9,9 individu yang terkena per

100.000 laki-laki di Norwegia, 9,4 individu yang terkena per 100.000 laki-laki di

Denmark dan 9,2 individu yang terkena per 100.000 laki-laki di Swiss. Insiden

kanker testis meningkat di seluruh dunia, tetapi alasan peningkatan ini belum

didokumentasikan dengan baik. Di Amerika Serikat, kanker testis lebih sering

11
terjadi pada orang kulit putih (6,9 orang yang terkena per 100.000 laki-laki)

daripada di Afrika Amerika (1,2 orang yang terkena per 100.000 laki-laki)

(LIANG CHENG)

Namun, angka kematian akibat kanker testis secara global telah

menunjukkan angka yang lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah dan

menengah (0,5 per 100.000) daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi.2

Prevalensi penyakit kanker prostat di Indonesia adalah 0,2 per 1.000 pria

atau diperkirakan 25.012 penderita. D.I.Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan

Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan prevalensi kanker prostat tertinggi

yaitu masing-masing sebesar 0,5 per 1.000 pria, sedangkan Jawa Timur (5.668

penderita) dan Jawa Tengah (3.248 penderita) merupakan provinsi dengan

estimasi jumlah penderita kanker prostat terbanyak RISKERDAS

2.2.2 Faktor Risiko

Faktor risiko yang paling konsisten terkait dengan kanker testis adalah

 Kriptorkismus (cacat lahir di mana salah satu atau kedua testis tidak ada di

dalam skrotum) — meningkatkan risiko kanker testis hampir lima kali lipat.

 Hipospadia (kelainan kongenital di mana lubang uretra tidak berada di kepala

penis) dan jumlah sperma yang rendah juga dapat menjadi faktor risiko.

Gangguan sinyal hormon endogen oleh paparan xenobiotik prenatal dianggap

sebagai salah satu jalur penyebab kriptorkismus, hipospadia, jumlah sperma

rendah dan kanker testis.

 Riwayat keluarga—risiko relatif meningkat 6-10 kali lipat pada saudara laki-

12
laki atau anak laki-laki dari pria yang terkena dampak

 Infeksi - Human papillomavirus (HPV), virus Epstein-Barr (EBV),

Cytomegalovirus (CMV), Parvovirus B-19, dan Human immunodeficiency

virus (HIV)

 Trauma testis

 Kadar estrogen ibu yang tinggi

 Karsinoma in situ (neoplasia sel germinal intratubular)

 Riwayat kanker testis sebelumnya atau tumor sel germinal ekstragonad

 Faktor lingkungan (STAT PEARL)

Penyebab lingkungan seperti itu didukung oleh data yang

menunjukkan bahwa pria kulit putih generasi kedua yang pindah dari daerah

dengan insiden rendah ke daerah dengan insiden tinggi memiliki risiko

kanker testis yang sama dengan pria dari lokal kedua. Ini berarti bahwa anak

laki-laki dari mereka yang pindah (yaitu, generasi kedua) telah terpapar

xenobiotik sebelum lahir di lokasi baru, sehingga mereka memiliki risiko

lebih tinggi daripada ayah mereka dan risiko yang sama dengan pria lain yang

lahir di dataran tinggi daerah insiden berkembangnya kanker testis. (LIANG

CHENG)

 Faktor risiko genetik: Beberapa perubahan genetik telah dijelaskan dalam

etiologi kanker testis. Isochromosome dari lengan pendek kromosom 12 –

(i12p) – adalah patognomonik dari semua jenis tumor sel germinal dewasa

(GCT), serta GCNIS. Perubahan p53 telah diamati pada sekitar 66% kasus

GCNIS ( (STAT PEARL)

13
2.2.3 Gejala

Gejala kanker yang paling umum adalah benjolan atau pembengkakan

yang tidak nyeri (>85%). Sekitar 10% pria datang dengan nyeri akut, dan 20%

hingga 30% mengalami perasaan berat menyeret atau sakit umum. Gejala-gejala

ini dapat menyebabkan kanker pada awalnya salah didiagnosis sebagai

epididimitis atau torsi testis akut.3 Oleh karena itu, berdasarkan pedoman AUA,

jika ditemukan massa padat di testis yang teridentifikasi saat pemeriksaan fisik

atau pencitraan harus ditangani sebagai neoplasma ganas hingga diagnosis lain

ditegakkan.4

2.2.4 Klasifikasi Stadium

Klasifikasi TNM

Tabel 2.1 Klasifikasi Kanker Prostat Berdasarkan TNM

pT - Primary Tumour
pTX Tumor primer tidak dapat teridentifikasi
pT0 Tidak ada bukti tumor primer
pTis Neoplasia sel germinal intratubular (karsinoma in situ)
pT1 Tumor terbatas pada testis dan epididimis tanpa invasi
vaskular/limfatik; tumor dapat menyerang tunika
albuginea tetapi tidak tunika vaginalis.
pT2 Tumor terbatas pada testis dan epididimis dengan invasi
vaskular/limfatik; tumor dapat menyerang tunika
albuginea tetapi tidak tunika vaginalis.
pT3 Tumor menginvasi korda spermatika dengan atau tanpa
invasi vaskular/limfatik.
pT4 Tumor menginvasi korda skrotum dengan atau tanpa
invasi vaskular/limfatik.
N- Nodus Limfatikus Regional
NX Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional

14
N1 Metastasis dengan massa kelenjar getah bening 2 cm atau
kurang dalam dimensi terbesar atau beberapa kelenjar
getah bening, tidak lebih dari 2 cm dalam dimensi terbesar
N2 Metastasis dengan massa kelenjar getah bening lebih dari
2 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm dalam dimensi terbesar;
atau lebih dari 5 simpul positif, tidak lebih dari 5 cm; atau
bukti perluasan tumor ke ekstranodal
M - Distant Metastasis
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
M1a Kelenjar getah bening non-regional atau metastasis ke
paru-paru
M1b Metastasis jauh selain kelenjar getah bening non-regional
dan paru-paru

2.2.5 Diagnosis Banding

Massa intratesticular yang keras adalah diagnosis kanker testis kecuali jika

terbukti sebaliknya. Namun, beberapa diagnosis lain yang perlu dipertimbangkan

saat mengevaluasi massa testis meliputi:

 Epididimo-orkitis

 hematom

 Hernia inguinalis

 Hidrokel

 Spermatocele atau kista kepala epididimis

 Varikokel

 Limfoma (temuan paling umum pada lesi testis bilateral pada pria yang lebih

tua)

 Metastasis dari kanker lain (misalnya, kanker paru-paru, melanoma, kanker

15
prostat)

 Gumma sifilis

 Tuberkuloma

Ultrasonografi membantu lebih mempersempit diagnosis dan orchiectomy

inguinal radikal adalah modalitas definitif untuk diagnosis. (STAT PEARL)

16
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk mencari gambaran

histopatologi pada pasien kanker testis. Seluruh pasien yang telah memenuhi

kriteria inklusi dan ekslusi akan dimasukkan sebagai subjek penelitian.

3.1 Subjek Penelitian

3.1.1 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien

kanker testis yang datang ke Departemen Ilmu Bedah Urologi di RSHS Bandung.

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total

sampling, yaitu sampel mencakup seluruh populasi yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi penelitian. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh

merupakan data sekunder berupa rekam medis pasien dan tidak dilakukan

pengambilan data primer secara langsung dari pasien.

3.1.2 Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan diagnosis karsinoma prostate, yaitu kode diagnosis 10th

Revision of the International Code of Diseases (ICD-10) dalam section C62 –

malignant neoplasm of the testis

2. Pasien yang telah menjalani terapi baik kemoterapi, radioterapi atau

kemoradiasi;

3. Data rekam medis lengkap

17
3.1.3 Kriteria Eksklusi

1. Pasien dengan karsinoma testis yang memiliki keganasan primer di tempat

lain.

2. Pasien dengan karsinoma testis residif.

3. Pasien dengan karsinoma testis rekuren.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang menggunakan

data rekam medis bertujuan untuk melihat gambaran histopatologi dan terapi pada

pasien kanker testis.

3.3.2 Identifikasi Variabel

3.3.2.1 Variabel Penelitian

Variabel yang diukur pada penelitian ini:

1. Variabel dependen, yaitu stadium klinis karsinoma testis;

2. Variabel independen, yaitu hasil patologianatomi, terapi, usia, jenis kelamin.

3.3.2.2 Definisi Operasional

1. Karsinoma testis didefinisikan sebagai keganasan yang berasal dari jaringan

testis

Cara ukur: Melihat data rekam medis berdasarkan kode diagnosis 10th
Revision of the International Code of Diseases (ICD-10)
dalam section C62 – malignant neoplasm of the testis
Skala ukur: Kategorik nominal

18
2. Stadium Kanker Testis untuk menjelaskan ekstensi dan progresivitas penyakit

pada pasien karsinoma kepala dan leher dengan menggunakan sistem

penilaian TNM (ukuran tumor, KGB yang terlibat, dan metastasis).

Tabel 3.2 Stadium Kanker Testis


pT - Primary Tumour
pTX Tumor primer tidak dapat teridentifikasi
pT0 Tidak ada bukti tumor primer
pTis Neoplasia sel germinal intratubular (karsinoma in situ)
pT1 Tumor terbatas pada testis dan epididimis tanpa invasi
vaskular/limfatik; tumor dapat menyerang tunika
albuginea tetapi tidak tunika vaginalis.
pT2 Tumor terbatas pada testis dan epididimis dengan invasi
vaskular/limfatik; tumor dapat menyerang tunika
albuginea tetapi tidak tunika vaginalis.
pT3 Tumor menginvasi korda spermatika dengan atau tanpa
invasi vaskular/limfatik.
pT4 Tumor menginvasi korda skrotum dengan atau tanpa
invasi vaskular/limfatik.
N- Nodus Limfatikus Regional
NX Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis dengan massa kelenjar getah bening 2 cm atau
kurang dalam dimensi terbesar atau beberapa kelenjar
getah bening, tidak lebih dari 2 cm dalam dimensi terbesar
N2 Metastasis dengan massa kelenjar getah bening lebih dari
2 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm dalam dimensi terbesar;
atau lebih dari 5 simpul positif, tidak lebih dari 5 cm; atau
bukti perluasan tumor ke ekstranodal
M - Distant Metastasis
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
M1a Kelenjar getah bening non-regional atau metastasis ke
paru-paru
M1b Metastasis jauh selain kelenjar getah bening non-regional
dan paru-paru

3.4 Alur Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

19
3.5 Rancangan Analisis

Data yang diperoleh dari penelitian akan dicatat dan hasilnya disajikan

dalam bentuk tabel. Distribusi masing-masing variabel dijabarkan dalam bentuk

statistik deskriptif yang mencakup proporsi serta nilai median. Pengujian hipotesis

dilakukan menggunakan uji t berpasangan terhadap nilai masing-masing variabel

independen sebelum dan sesudah terapi.

3.6 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Bedah Urologi RSHS Bandung.

Waktu penelitian akan dimulai setelah usulan penelitian disetujui.

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian


No
Kegiatan
.
1 Pembuatan
Usulan
Penelitian
2 Seminar
Usulan
Penelitian
3 Pengumpulan
data
4 Analisis Data
5 Seminar
Hasil
Penelitian

3.2 Persyaratan Etik

Penelitian ini mengutamakan aspek etik utama berupa kerahasiaan

dokumen rekam medis. Penelitian ini memperlihatkan empat aspek etik penelitian

yaitu :

20
1. Respect For Person (menghormati harkat dan martabat manusia)

Peserta penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat,

kerahasiaan, alasan menjadi subjek penelitian, tata/cara prosedur, risiko dan

ketidaknyamanan yang mungin timbul dari penelitian ini, sehingga subjek

menjadi sukarela bersedia ikut dalam penelitian.

2. Beneficience (bermanfaat)

Bila hasil penelitian ini terbukti, subjek penelitian telah memberikan

kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

3. Non-maleficence (tidak merugikan)

Penelitian ini dilakukan secara hati-hati dan profesional serta tidak

merugikan subjek baik pada saat anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

penunjang, dan pengobatan.

4. Justice (adil)

Penelitian ini dilakukan secara adil, semua subjek penelitian mendapatkan

hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan individu, serta peneliti

memperlakukan subjek secara adil tanpa melihat faktor sosial dan ekonomi.

3.8 Dummy tabel

Tabel 3.4 Karakteristik Subjek Penelitian ( n =…)


Karakteristik Jumlah %
Usia (tahun) :
<20
20-29
30-39
40-49
≥ 50
Rata-rata (SD)
Rentang

21
Jenis kelamin :
Laki-laki
Perempuan

Stadium klinis :
I
II
III
IVA
IVB

DAFTAR PUSTAKA

22

Anda mungkin juga menyukai