Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN TUGAS PENGENALAN PROFESI

BLOK IX

CASE REPORT HORNER SYNDROME

KELOMPOK 10

Dosen Pembimbing: dr. Thia Prameswerie, M. Biomed.

Oleh:

Nama: M. Fikri Raka Samanta

NIM: 702020073

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-
Nyalah kami dapat menyelesaikan Laporan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) Blok
IX ini mengenai Horner Syndrome. Shalawat serta salam selalu tercurah
limpahkan kepada nabi agung, nabi akhir zaman, suri tauladan sepanjang masa,
Nabi Muhammad SAW. beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Thia Prameswerie, M.


Biomed., karena atas bimbingan beliau akhirnya saya dapat menyelesaikan
Laporan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) ini. Saya juga banyak mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak terkait yang telah membantu dalam proses
pembuatan Laporan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) ini, karena tanpa bantuan
dan bimbingan semuanya maka Laporan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) ini tidak
akan menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi semuanya.

Semoga Allah SWT. memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan
Tugas Pengenalan Profesi (TPP) ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.

Palembang, 6 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum..........................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus.........................................................................................2
1.4 Manfaat.............................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
2.1 Anatomi Sindrom Horner................................................................................3
2.1.1 Anatomi Mata.................................................................................................3
2.1.2 Neurovaskular Mata....................................................................................10
2.2 Fisiologi Sindrom Horner..............................................................................12
2.3 Definisi Sindrom Horner...............................................................................15
2.4 Etiologi Sindrom Horner...............................................................................16
2.5 Manifestasi Klinis Sindrom Horner..............................................................17
2.6 Patofisiologi Sindrom Horner........................................................................19
2.7 Diagnosis Sindrom Horner............................................................................24
2.8 Diagnosis Banding Sindrom Horner.............................................................27
2.9 Pemeriksaan Penunjang Sindrom Horner...................................................27
2.10 Tatalaksana Sindrom Horner........................................................................28
2.11 Komplikasi Sindrom Horner.........................................................................30
2.12 Prognosis Sindrom Horner............................................................................30
2.13 SKDU Sindrom Horner.................................................................................30
BAB III...........................................................................................................................31
LAPORAN KASUS........................................................................................................31
BAB V.............................................................................................................................32

ii
PENUTUP......................................................................................................................32
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................32
3.2 Saran.................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Horner Syndrome, dalam bahasa Indonesia Sindrom Horner atau
paresis okulosimpatik adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari trias klasik
miosis unilateral, ptosis kelopak mata, dan anhidrosis wajah. Sindrom Horner
pertama kali dijelaskan pada hewan pada tahun 1852 oleh ahli fisiologi
Prancis Claude Bernard. Pada tahun 1869, seorang dokter mata Swiss, Johann
Friedrich Horner, adalah pertama yang secara komprehensif menggambarkan
sindrom ini pada manusia. Kelumpuhan okulosimpatik yang disebut Sindrom
Horner muncul ketika persarafan simpatis mata terganggu oleh cedera pada
jalur saraf yang menghubungkan hipotalamus melalui sumsum tulang
belakang ke mata yang terdiri dari tiga jalur persarafan. (Knyazer MD et al,
2017)
Pada beberapa penelitian terkait sindrom horner menjelaskan penyebab
dan evaluasi sindrom Horner di setidaknya 50 kasus, sebuah studi tahun 1958
dari 216 pasien, berdasarkan pada ringkasan pemulangan, ditemukan bahwa
tumor bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kasus. Sebuah studi tahun
1980 dari 450 pasien diperiksa di klinik oftalmologi rawat jalan juga
menemukan tumor sebagai penyebab paling umum. (Sabbagh et al, 2020).
Tetapi pada penelitian lain juga menemukan etiologi paling umum dari
Sindrom Horner adalah neoplasia, mewakili 35% -60% kasus. Trauma,
termasuk cedera lahir, mewakili 4-13% kasus dan cedera iatrogenik
bertanggung jawab atas 10-18,5% lainnya. Cedera neuron tingkat kedua
paling sering terlibat dalam lesi iatrogenik (84%) ketika membandingkan tiga
tingkat jalur simpatik. (Knyazer MD et al, 2017)
Perbedaan-perbedaan dalam prevalensi berbagai penyebab Sindrom
Horner mungkin dijelaskan oleh ada atau tidaknya Sindrom Horner

1
dikonfirmasi secara farmakologis. Perawatan dipusatkan pada identifikasi
penyebabnya dan manajemen yang tepat dari penyebab sekunder yang
mendasarinya. Maka dari itu, pembuatan laporan tugas pengenalan profesi
(TPP) kali ini akan membahas tentang permasalahan mengenai Horner
Syndrome.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tanda klinis yang dapat diidentifikasi dari penderita Horner
Syndrome?

1.3 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari dibuatnya laporan ini agar dapat digunakan
untuk mengetahui tentang Horner Syndrome.

1.1.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui anatomi berkaitan dengan Sindrom Horner
2. Mengetahui fisiologi berkaitan dengan Sindrom Horner
3. Mengetahui definisi Sindrom Horner
4. Mengetahui etiologi Sindrom Horner
5. Mengetahui manifestasi klinis Sindrom Horner
6. Mengetahui patofisiologi dari Sindrom Horner
7. Mengetahui diagnosis dari Sindrom Horner
8. Mengetahui diagnosis banding dari Sindrom Horner
9. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada Sindrom Horner
10. Mengetahui tatalaksana dari Sindrom Horner
11. Mengetahui komplikasi dari Sindrom Horner
12. Mengetahui prognosis dari Sindrom Horner
13. Mengetahui SKDU dari Sindrom Horner

1.4 Manfaat
Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan dan
keilmuan mengenai Horner Syndrome serta sebagai bahan masukan bagi

2
masyarakat sekitar untuk menyadari pentingnya meningkatkan
pemahamannya sejak dini terkait Horner Syndrome.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sindrom Horner


2.1.1 Anatomi Mata

Mata adalah struktur bulat berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
lapisan. Dari bagian paling luar hingga paling dalam, lapisan – lapisan
tersebut adalah sclera/kornea, koroid/badan siliaris/iris dan retina.

Kelopak atau palpebral merupakan alat menutup mata yang


berguna untuk melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi
kelenjar yang membentuk film air matcula di depan kornea. Palpebral
berfungsi untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar
matahari dan keringnya bola mata. Kelopak mempunyai lapis kulit yang
tipis pada bagian depan sedang di bagian belakang ditutupi selaput
lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal. Konjungtiva tarsal hanya
dapat dilihat dengan melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal
melalui forniks menutup bulbus okuli.

a. Palpebra
Palpebra (kelopak mata) superior dan inferior adalah modifikasi
lipatan kulit yang dapat menutup dan melindungi bola mata bagian
anterior.
Palpebral superior pertama kali berkembang dari hasil
proliferasi permukaan ectoderm pada usia 4 – 5 minggu gestasi
selama bulan kedua. Palpebra superior dan inferior dapat dilihat
sebagai lipatan kulit yang tidak terdefirinsiasi yang mengelilingi
mecenkimal neuralcerest. Selanjutnya, mecenkimal mesodermal

3
menginfiltrasi palpebra dan berdiferensiasi menjadi pelpebra
muscular. Lipatan palpebra berkembang kearah lateral. Dimulai
dekat inner cantus, batas lipatan menyatu hingga pada usia 10
minggu gestasi, karena lipatan menyatu satu sama lain, evolusi
silia dan glandula tetap berlanjut. Muskulus orbicularis menyatu
kedalam lapisan pada usia gestasi 12 minggu. Penyatuan palpebra
akan terlepas pada usia 5 bulan gestasi disertai dengan secresi
sebum dari glandula sebacea dan cornifikasi permukaan
epithelium.
Berkedip membantu menyebarkan lapisan tipis air mata, yang
melindungi kornea dan konjungtiva dari dehidrasi. Palpebra
superior berakhir pada alis mata; palpebra inferior menyatu dengan
pipi. Kelopak mata terdiri atas empat bidang jaringan yang utama.
Dari superfisial ke dalam antara lain:
 Lapisan kulit
Kulit palpebra berbeda dari kulit di kebanyakan bagian lain
tubuh karena tipis, longgar, dan elastis, dengan sedikit folikel
rambut serta tanpa lemak subkutan.
 Musculus Orbicularis Oculi
Fungsi musculus orbicularis oculi adalah menutup palpebra.
Serat-serat ototnya mengelilingi fissura palpebrae secara konsentris
dan menyebar dalam jarak pendek mengelilingi tepi
orbita.Sebagian serat berjalan ke pipi dan dahi. Bagian otot yang
terdapat di dalam palpebra dikenal sebagai bagian pratarsal; bagian
di atas septum orbital adalah bagian praseptal. Segmen di luar
palpebra disebut bagian orbita. Orbicularis oculi dipersarafi oleh
nervus facialis.
 Jaringan areolar
Jaringan areolar submuskular yang terdapat di bawah musculus
orbicularis oculi berhubungan dengan lapisan subaponeurotik kulit
kepala.

4
 Tarsus
Struktur penyokong palpebra yang utama adalah lapisan
jaringan fibrosa padat yang-bersama sedikit jaringan elastik -
disebut lempeng tarsus. Sudut lateral dan medial serta juluran
tarsus tertambat pada tepi orbita dengan adanya ligamen palpebrae
lateralis dan medialis. Lempe tarsus superior dan inferior juga
tertambat pada tepi atas dan bawah orbita oleh fasia yang tipis dan
padat. Fasia tipis ini membentuk septum orbital.

Gambar 2.1 Anatomi Palpebra


Sumber: Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK UNPAD, 2019
b. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak bagian belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin
yang dihasilkan oleh sel goblet yang berfungsi membasahi bola
mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva
tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah
digerakkan dari sklera di bawahnya.

5
3. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah
bergerak.
Kantung konjungtiva termasuk konjungtiva bulbar, forniks
pada 3 sisi dan lipatan semilunar medial, dan konjungtiva palpebra.
serat otot polos membentuk otot levator mempertahankan fornix
superior dan slip fibrosa memperpanjang bentuk tendon rectus
horisontal ke konjungtiva dan plika temporal untuk membentuk
suapan selama tatapan horizontal.
c. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya
sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini
disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada
sambungan ini disebut sulcus sclearis. Kornea dewasa ratarata
mempunyai tebal 550 um di pusatnya (terdapat variasi menurut
ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6
mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai 5 lapisan yang
berbeda-beda, antara lain:
 Lapisan Epitel : berlaku sebagai barrier terhadap air, bakteri
dan mikroba. Menyediakan permukaan optic yang lembut
sebagai bagian internal dari Film Air mata – kornea yang
juga berkontribusi terhadap kemampuan refraksi mata.
Serta fungsi imunologis (Langerhans cell).
 Lapisan Bowman : membantu mempertahankan bentuk dari
kornea.
 Lapisan Stroma : berfungsi sebagai sumber kekuatan
mekanik kornea, memberikan kesan transparansi pada
kornea dan sebagai lensa refraksi utama pada kornea.

6
 Membran Descemet : berfungsi sebagai pondasi lapisan
pada sel sel endothelial.
 Lapisan Endotel : menjaga deturgesensi stroma kornea,
endotel kornea cukup rentan terhadap trauma dan
kehilangan sel-selnya seiring dengan penuaan. Reparasi
endotel terjadi hanya dalam wujud pembesaran dan
pergeseran sel-sel dengan sedikit pembelahan sel.
Kegagalan pada fungsi endotel akan menyebabkan edema
kornea.
Fungsi penting dari kornea pada mata termasuk sebagai fungsi
proteksi terhadap struktur internal mata, berkontribusi terhadap
kekuatan refraksi mata, dan memfokuskan cahaya kepada retina
dengan pecahan dan degradasi optik yang minimal. Kornea dan
sklera bergabung sebagai kesatuan pelindung isi dari bola mata
bersamaan dengan film air mata. (Akbar dkk, 2019)
d. Sklera
Pembungkus fibrosa pelindung mata bagian luar.Tebalnya rata-
rata 1 milimeter tetapi pada insersi otot, menebal menjadi 3
milimeter. Jaringan ini padat dan berwarna putih, menyambung
dengan kornea di anterior dandurameter optikus di belakang.
Permukaan luar sklera dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari
jaringan elastik halus yaitu episklera yang mengandung banyak
pembuluh darah yang memasok sklera.
e. Uvea
Terdiri dari iris, korpus siliare, dan koroid, bagian ini adalah
lapisan tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, bagian
ini ikut mensuplai darah ke retina.5
- Pupil dan Iris
Pupil menentukan kuantitas cahaya yang masuk ke bagian
mata yang lebih dalam. Pupil mata akan melebar jika kondisi
ruangan yang gelap, dan akan menyempit jika kondisi ruangan

7
terang. Sedangkan iris adalah perpanjangan dari korpus siliare ke
anterior. Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk
kedalam mata, ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh
keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis
yang di hantarkan melelui n.kranialis III dan dilatasi yang
ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.
- Korpus siliaris
Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal,
sirkuler dan radial. Fungsinya untuk kontraksi dan relaksasi
serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di antara
prosesus siliaris, otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat menyesuaikan berbagai fokus dengan baik.
- Koroid, adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera.
f. Lensa
Suatu struktur bikonveks, avaskuler, tidak berwarna dan hampir
transparan sempurna, tebal 4 mm, diameter 9 mm. Lensa ditahan di
tempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula zinii,
yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan
menyisip dalam ekuator lensa.Fungsi lensa mata adalah mengatur
fokus cahaya, sehingga cahaya jatuh tepat pada bintik kuning
retina. Untuk melihat objek yang jauh (cahaya datang dari jauh),
lensa mata akan menipis. Sedangkan untuk melihat objek yang
dekat (cahaya dari dekat), lensa mata menebal.
g. Retina, terdiri dari selembar tipis jaringan tipis yang semi
transparan dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua
sepertiga posterior dinding bola mata. Retina adalah bagian mata
yang paling peka terhadap cahaya, khususnya bagian retina yang
disebut bintik kuning. Setelah retina, cahaya diteruskan ke saraf
optik. Lapisan retina dari dalam:
1. membrana limitans interna
2. lapisan serat saraf 

8
3. lapisan sel ganglion
4. lapisan pleksiform dalam
5. lapisan inti dalam badan sel bipolar (amakrin dan sel
horizontal)
6. lapisan pleksiform luar 
7. lapisan inti luar sel fotoreseptor 
8.membrana limitans eksterna
9.lapisan fotoreseptor, segmen dalam/luar batang dan kerucut
10.epitelium pigmen retina
h. Badan Vitreous
Suatu badan gelatin yang jernih atau avaskuler, yang membentuk
2/3 dari volume dan berat mata, vitreous merupakan ruangan yang
di batasi lensa, retina dan diskus optikus. Vitreous berisi 99 % air,
1 % meliputi 2 komponen, kolagen dan asam hialuranat yang
memberikan bentuk dan konsistensi mirip gelombang pada
vitreous karena kemampuannya mengikat banyak air.

Gambar 2.2 Anatomi Bola Mata


Sumber: Tortora, 2009

9
2.1.2 Neurovaskular Mata
Melalui Fissura orbitalis superior dan melewati Anulus tendineus
communis (cincin tendon ZINN) melintas N. oculomotorius [N. III], N.
nasociliaris, N. abducens [N. VI] dan Radix symphatica ganglii ciliaris.
V. ophtalmica superior, N. lacrimalis, N. frontalis dan N. trochlearis [N.
IV], juga melewati Fissura orbitalis superior di orbita. Neurovaskular
ini melintas di luar Anulus tendineus communis. V. ophtalmica inferior,
A. infraorbitalis, N. infraorbitalis dan N. zygomaticus yang melalui
Fissura orbitalis inferior, memasuki orbita. Di dalam N. opticus [N. II],
melintas A. centralis retinae sebagai cabang pertama A. ophtalmica.

Lintasan N. ophtalmicus [N. V/1] yang terbuka di atas Fissura


orbitalis superior dan distribusi lanjutannya menjadi Nervi lacrimalis
dan frontalis (termasuk cabang-cabang berikutnya) bersama N.
nasociliaris yang lebih dalam. N. trochlearis [N. IV] yang tipis,
mempersarafi motoric M. obliquus superior, dan N. abducens [N. VI]
yang lebih dalam untuk persarafan M. rectus lateralis.

Ganglion ciliare terletak bebas, berukuran sekitar 2 mm, di sebelah


lateral dari N. opticus [N. II], sekitar 2 cm di belakang Bulbus oculi,
terbenam pada Corpus adiposum orbitae. Pada ganglion ciliare terletak
badan sel saraf parasimpatis posganglioner, yang bersinaps dengan
akson parasimpatis preganglioner dari Nucleus oculomotorius
accessonius (otonom, nucleus EDINGER-WESTPHAL). Serabut saraf
parasimpatis ini mempersarati otot intrinsik mata (M. ciliaris dan M.
sphincter pupillae). Serabut saraf simpatis posganglioner melewati
Gangion ciliare tanpa bersinaps menuju M. dilatator pupillae Saraf ini
telah bersinaps dari preganglionernya menjadi posganglioner pada
Ganglion cervicale superius.

Pada sisi medial, sel-sel ethmoidal (Cellulae ethmoidales) terbuka,


untuk memperlihatkan lintasan Nn. ethmoidales anterior dan posterior
serta Aa. ethmoidales anterior dan posterior dari orbita menuju tulang

10
ethmoidale. Pada tingkat yang lebih dalam, di sisi lateral dapat dilihat
A. dan N. infraorbitalis. Dari N. infraorbitalis muncul N. zygomaticus,
berisi serabut sensoris yang menuju dan mempersarafi Glandula
lacrimalis, melalui serabut parasimpatis posganglioner.

Glandula lacrimalis dipersarafi melalui serabut simpatis,


parasimpatis dan somatosensoris. Serabut parasimaptis posganglioner
berasal Ganglion pterygopalatinum dan merangsang sekresi kelenjar.
Serabut ini meninggalkan Ganglion pterygopalatinum, bergabung
dengan N. zygomaticus (cabang N. maxillaris (N. V/2]), dan
meninggalkan saraf tersebut sebagai R. communicans cum nervo
zygomatico (anastomosis kelenjar lacrimal). Saraf ini mencapai N.
lacrimalis dan bersama N. lacrimalis tersebut mencapai Glandula
lacrimalis. Persarafan sensoris Glandula lacrimalis dilakukan melalui N.
lacrimalis (sebuah cabang N. ophthalmicus [N. V/1). Saraf simpatis
memiliki efek penghambatan sekresi. Serabut simpatis posganglioner
berasal dari Ganglion cervicale superius. Serabut ini melewati Ganglion
pterygopalatinum tanpa bersinaps dan dari sini dengan lintasan serupa
serabut parasimpatis menuju Glandula lacrimalis. (Paulsen & Waschke,
2017)

11
Gambar 2.3 Neurovaskular Mata
Sumber: Moore KL, 2010

2.2 Fisiologi Sindrom Horner


Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual.
Sebagaimana halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak
meskipun secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP).
Komponen yang paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris atau
fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan
terdalam (neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel
kerucut) dan dua lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron bipolar
(lapisan neuron kedua) serta sel-sel ganglion (lapisan neuron ketiga). Sekitar
satu juta akson dari sel-sel ganglion ini berjalan pada lapisan serat retina ke
papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian tengah kaput nervus optikus
tersebut keluar cabang-cabang dari arteri sentralis retina yang merupakan
cabang dari arteri oftalmika.

12
Gambar 2.4 Lapisan Neuron pada Retina
Sumber: Waxman, 2020
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di
depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan
bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber
sinerium nervus optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas
membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing-masing
mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut temporal mata
yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan perjalanan untuk ke
korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior. Chiasma optikum terletak
di tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut saraf yang bersinaps di korpus
genikulatum lateral merupakan jaras visual sedangkan serabut saraf yang
berakhir di kolikulus superior menghantarkan impuls visual membangkitkan
refleks opsomatik seperti refleks pupil.

13
Gambar 2.5 Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal)
Sumber: Waxman, 2002
Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang
membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic
radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di
girus kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi
dari arteri kalkarina yang merupakan cabang dari arteri serebri posterior.
Serabut yang berasal dari bagian medial korpus genikulatum lateral membawa
impuls lapang pandang bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral
membawa impuls dari lapang pandang atas (gambar 2.6).

Gambar 2.6 Radiatio Optika


Sumber: Kanski, 2006

14
Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus
superior, saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi
yang berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari
kedua sisi menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf
eferen motorik berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus
okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot
sfingter pupil (gambar 2.7). (Waxman, 2020)

Gambar 2.7 Jaras Refleks Pupil


Sumber: Waxman, 2002

2.3 Definisi Sindrom Horner

Sindrom Horner adalah kondisi langka yang secara klasik ditandai dengan
ptosis parsial (kelopak mata bagian atas terkulai atau jatuh), miosis (pupil
menyempit), dan anhidrosis wajah (kehilangan keringat) karena gangguan
pada suplai saraf simpatis. Ini terutama didapat setelah kerusakan pada suplai
saraf simpatis. Perawatan dipusatkan di sekitar identifikasi dan manajemen
yang tepat dari penyebab sekunder yang mendasarinya.

Sindrom ini memiliki beberapa nama seperti sindrom Bernard-Horner


(negara berbahasa Prancis), sindrom Horner (negara berbahasa Inggris),

15
oculosympathetic palsy, dan sindrom Von Passow (sindrom Horner yang
berhubungan dengan heterokromia iris).

Sindrom ini pertama kali dijelaskan oleh Francois Pourfour du Petit pada
tahun 1727 ketika mempertimbangkan hasil dari percobaan hewan yang
melibatkan reseksi saraf interkostal dan perubahan selanjutnya terlihat pada
mata dan wajah ipsilateral. Hal ini diuraikan lebih mendalam oleh ahli
fisiologi Perancis, Claude Bernard pada tahun 1852, diikuti oleh beberapa
dokter yang menawarkan interpretasi yang berbeda. Kondisi ini secara resmi
dijelaskan dan kemudian dinamai dokter mata Swiss Johann Friedrich Horner
pada tahun 1869. (Mitchell, 2007)

2.4 Etiologi Sindrom Horner


Sindrom Horner terdiri dari miosis, ptosis, enophthalmos, anhidrosis, dan
dilatasi vaskular ipsilateral dari lesi. Oculosimpatik palsy ini disebabkan oleh
cedera pada jalur simpatis. Penting untuk mengetahui lokasi lesi yang
menyebabkan Sindrom Horner. Lesi neuron tingkat pertama disebabkan oleh
gangguan sentral sistem saraf seperti oklusi vaskular, terutama di medula
lateral (sindrom Wallenberg), serta oleh tumor, penyakit diskus serviks, dan
gangguan lain yang melibatkan sumsum tulang belakang leher bagian atas.
Lesi neuron tingkat kedua disebabkan oleh tumor paru apikal (sindrom
Pancoast), metastasis, operasi dada, aneurisma aorta toraks, atau trauma pada
pleksus brakialis. Lesi neuron tingkat ketiga paling banyak disebabkan
umumnya oleh perubahan degeneratif pada dinding karotis arteri atau setelah
vasospasme. Penyebab lainnya termasuk operasi pada arteri karotis atau
struktur di dekatnya, arteri karotis interna diseksi, dan perluasan tumor seperti
nasofaring karsinoma ke dalam sinus kavernosus.

Etiologi Sindrom Horner yang paling umum adalah neoplasia, mewakili


35% -60% kasus. Trauma, termasuk cedera lahir, mewakili 4-13% kasus dan
cedera iatrogenik bertanggung jawab atas 10-18,5% lainnya. Cedera neuron
tingkat kedua paling sering terlibat dalam lesi iatrogenik (84%) ketika
membandingkan tiga tingkat jalur simpatik. (Knyazer MD, 2017)

16
2.5 Manifestasi Klinis Sindrom Horner
a. Ptosis

Kelopak mata atas ipsilateral tampak sedikit terkulai karena paresis


otot Müller, otot polos yang dipersarafi secara simpatik yang juga
berfungsi sebagai retraktor kelopak mata atas dan bertanggung jawab
untuk elevasi kelopak mata atas sekitar 2 mm. Meskipun demikian,
ptosis ini mungkin halus, bervariasi, dan luput dari perhatian. Selain itu,
satu penelitian mencatat bahwa pada 12% pasien dengan Sindrom
Horner, ptosis tidak terjadi.

Serat otot polos retraktor kelopak mata bawah juga kehilangan


suplai simpatisnya pada pasien dengan Sindrom Horner. Dengan
demikian, kelopak mata bawah tampak sedikit lebih tinggi. Penampilan
ini telah disebut "upside-down ptosis" atau "reverse ptosis". Kombinasi
kelopak mata atas ptosis dan elevasi kelopak mata bawah
menyempitkan palpebra fisura, menimbulkan enoftalmus dengan jelas.
Beberapa penulis sejak itu telah membuktikan bahwa enoftalmus yang
nyata ini tidak memiliki signifikansi yang dapat diukur dan tidak dapat
dipastikan itu adalah enoftalmus.

b. Tanda pada Pupil

Paresis okulosimpatik menyebabkan kelemahan irisotot dilator


pada sisi yang sakit. Aksi parasimpatis yang tidak dilawan dari otot
konstriktor iris menghasilkan pupil ipsilateral yang lebih kecil.
Anisocoria yang dihasilkan paling banyak terlihat dalam kegelapan dan
mungkin, pada kenyataannya, diabaikan jika pasien dievaluasi dalam
cahaya terang.

Paresis otot dilator iris juga merusak pupil gerakan selama dilatasi,
disebut lag dilatasi. Keterlambatan dilatasi dapat dilihat secara klinis
dengan menyinari mata pasien secara tangensial dan tiba-tiba dari
bawah dengan senter genggam.

17
c. Hipokromia Iris

Persarafan simpatis dianggap diperlukan untuk pembentukan


melanin oleh melanosit stroma. Interupsisuplai simpatis dapat
menyebabkan hipokromia iris pada sisi yang terkena. Ini adalah ciri
khas Sindrom Horner bawaan. Hal ini juga kadang-kadang terlihat pada
pasien Sindrom Horner yang didapat dengan onset waktu yang sudah
berlangsung lama, tetapi tidak pernah pada pasien dengan Sindrom
Horner akut atau yang baru saja didapat.

d. Akomodasi

Akomodasi merupakan mekanisme perubahan kekuatan refraksi


mata dengan merubah bentuk dari kristalin lensa. Titik fokus posterior
berpindah ke depan mata selama akomodasi. Dengan adanya proses
tersebut, titik jauh lebih dekat ke mata. Kemampuan akomodasi ketika
otot siliaris berkontraksi sebagai respon bagi stimulasi parasimpatetik
dan relaksasi serabut zonular. Pergerakan dari respon akomodasi
merupakan hasil dari peningkatan konveksitas lensa (terutama pada
permukaan anterior).

Beberapa penulis telah mencatat bahwa pasien dengan Sindrom


Horner dapat mengalami peningkatan amplitudo akomodatif pada sisi
ipsilateral.

e. Anhidrosis

Perubahan karakteristik vasomotor dan sudomotor dari kulit wajah


dapat terjadi pada sisi yang terkena pada beberapa pasien dengan
sindrom Horner. Segera mengikuti simpatik denervasi, suhu kulit di
samping lesi naik karena hilangnya kontrol vasomotor dan akibat
pelebaran pembuluh darah. Selain itu, mungkin terdapat kemerahan
pada wajah, hiperemia konjungtiva, epifora, dan hidung tersumbat pada

18
tahap akut. Beberapa waktu setelah cedera, kulit wajah dan leher
ipsilateral mungkin memiliki suhu yang lebih rendah dan mungkin lebih
pucat dari biasanya. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya
supersensitivitas pembuluh darah yang mengalami denervasi ke
sirkulasi adrenergik zat, dengan vasokonstriksi yang dihasilkan.
(Kanagalingam, 2015)

2.6 Patofisiologi Sindrom Horner


Penyebab sindrom Horner sangat banyak, karena jalur simpatis ke mata
mengikuti rute yang panjang dan berputar. Diagnosis banding dapat
dipersempit jika lokasi lesi diketahui atau dicurigai. Tiga jalur neuron dimulai
di sistem saraf pusat dan berakhir di mata. Neuron orde pertama (sentral) dari
hipotalamus posterolateral, turun di batang otak dan kolom lateral sumsum
tulang belakang untuk keluar di serviks (C8) dan toraks (T1-T2) tingkat (pusat
ciliospinal Budge) dari sumsum tulang belakang sebagai neuron tingkat kedua.
Neuron preganglionik orde kedua (pertengahan) ini keluar dari radiks ventral
dan melengkung di atas apeks paru untuk naik dalam rantai simpatis servikal.
Neuron orde kedua bersinaps di ganglion servikal superior, terletak di antara
vena jugularis interna dan arteri karotis interna, dan keluar sebagai neuron
orde ketiga. Serabut saraf untuk berkeringat pada wajah berjalan bersama
arteri karotis eksterna. Neuron postganglionik orde ketiga berjalan dengan
arteri karotis ke dalam sinus kavernosus. Di dalam sinus kavernosus, serabut
simpatis bergabung dengan nervus abducens untuk perjalanan singkat dan
kemudian berjalan dengan divisi oftalmik dari nervus trigeminal dan
bergabung dengan cabang nasociliary dari nervus trigeminal. (Diana, 2015)
a. Sindrom Horner (neuron tingkat pertama) sentral
Neuron orde pertama terletak di hipotalamus posterolateral, dan
dari sana, serat simpatis melewati batang otak lateral dan meluas ke pusat
ciliospinal Budge dan Waller di kolom abu-abu intermediolateral dari
sumsum tulang belakang di C8-T1. Sindrom Horner sentral yang
disebabkan oleh kerusakan pada salah satu struktur ini bersifat ipsilateral
terhadap lesi, hampir selalu unilateral, dan sering menyebabkan

19
hemihipohidrosis di seluruh tubuh. Lesi hipotalamus, seperti tumor atau
perdarahan, dapat menyebabkan sindrom Horner ipsilateral dengan
hemiparesis kontralateral dan hipestesia kontralateral. Lesi pada talamus
menyebabkan hemiparesis ataksia kontralateral, hipoestesia kontralateral,
paresis tatapan vertikal, dan disfasia. Kombinasi Sindrom Horner
unilateral dan paresis saraf troklearis kontralateral menunjukkan lesi
mesencephalon dorsal. Lesi melukai baik inti troklear di sisi Sindrom
Horner atau fasikula ipsilateral. Lesi pontin dapat menyebabkan Sindrom
Horner yang berhubungan dengan paresis saraf abducens ipsilateral;
namun, kelumpuhan saraf abducens bilateral dalam pengaturan ini juga
telah dilaporkan.
Infark meduler lateral dapat menyebabkan beberapa defisit
neurologis, termasuk Sindrom Horner sentral. Lesi pada medula spinalis
servikal bawah atau torakalis atas juga dapat menyebabkan Sindrom
Horner sentral. Kadang-kadang, Sindrom Horner mungkin satu-satunya
kelainan neurologis pada presentasi. Lesi sumsum tulang belakang yang
dapat menyebabkan Sindrom Horner sentral termasuk trauma, mielitis
inflamasi atau infeksi, malformasi vaskular, demielinasi, syrinx,
syringomyelia, neoplasma, dan infark. Pasien dengan sindrom Brown-
Séquard dari trauma atau serviks herniasi diskus juga telah dicatat
memiliki sindrom Horner sentral di sisi yang sama dengan hilangnya
sentuhan ringan dan fungsi motorik dan kontralateral ke sisi dengan
hilangnya sensasi suhu dan nyeri. Sebuah fenomena yang disebut sindrom
Horner bergantian (yaitu, defisit okulosimpatik bergantian) dapat dilihat
pada pasien dengan lesi korda servikal dan pada beberapa pasien dengan
disautonomia sistemik.
b. Preganglionik (neuron tingkat kedua) Sindrom Horner
Neuron simpatis preganglionik keluar dari pusat ciliospinal Budge
dan Waller dan melewati apeks paru. Mereka kemudian naik melalui
ganglion stellata dan ke atas selubung karotis untuk bersinaps di ganglion

20
servikal superior, yang terletak pada tingkat percabangan arteri karotis
komunis dan sudut rahang.
Dalam serangkaian 450 pasien dengan sindrom Horner, 270 (65%)
ditemukan memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi.21 Dari pasien
dengan etiologi yang dapat dideteksi, 13% memiliki lesi sentral, 44%
memiliki lesi praganglion, dan 43% memiliki lesi pascaganglion. Dalam
seri besar lainnya, keganasan adalah penyebab sekitar 25% kasus sindrom
Horner preganglionik. Tumor yang paling umum adalah kanker paru-paru
dan payudara. Sindrom Horner biasanya muncul lama setelah diagnosis
kanker ditegakkan dan jarang menjadi bagian dari presentasi awal.
Lesi paru apikal yang menyebar secara lokal ke regio toraks
superior dapat menyebabkan gejala nyeri bahu ipsilateral, parestesia
sepanjang lengan medial, lengan bawah, dan jari keempat dan kelima,
kelemahan/atrofi otot tangan, dan sindrom Horner preganglionik.
Kombinasi tanda-tanda ini disebut sindrom Pancoast. Penyebab paling
umum dari sindrom Pancoast adalah karsinoma paru-paru non-sel kecil;
namun, tumor apikal primer lainnya seperti karsinoma kistik adenoid,
hemangiopericytoma, dan mesothelioma, juga telah dilaporkan
menyebabkan sindrom ini. Plasmacytoma, limfoma non-Hodgkin,
granulomatosis limfomatoid, dan metastasis adalah penyebab lain yang
jarang terjadi. Seorang pasien dengan sindrom Horner preganglionik dan
nyeri bahu ipsilateral harus diselidiki secara menyeluruh untuk
keterlibatan neoplastik dari apeks paru, lapisan pleura, dan pleksus
brakialis, karena fitur ini telah dicatat sebagai tanda yang dapat diandalkan
dari keganasan yang mendasari.
Infeksi pseudomonas dan stafilokokus, TBC, aspergillosis, dan
kriptokokosis juga diduga berperan dalam patogenesis sindrom Pancoast.
Akhirnya, schwannomas rantai simpatik, tumor neuroektodermal, vagal
paraganglioma, dan tumor atau kista mediastinum juga dapat
menyebabkan Sindrom Horner preganglionik.

21
Cedera pleksus brakialis atau akar tulang belakang, pneumotoraks,
patah tulang rusuk pertama, atau hematoma leher adalah penyebab
potensial dari sindrom Horner praganglion setelah trauma. Selain itu,
rantai simpatis praganglion rentan terhadap cedera iatrogenik. Anestesi
bervariasi, radiologis, dan prosedur bedah yang dapat menghasilkan
sindrom Horner iatrogenik termasuk operasi bypass arteri koroner, operasi
paruparu atau mediastinum, endarterektomi karotis, penyisipan alat pacu
jantung, anestesi epidural, penempatan selang dada interpleural,
kateterisasi jugularis internal, dan pemasangan stent. dari arteri karotis
interna.
c. Sindrom Horner Postganglionik (neuron tingkat ketiga)
Neuron simpatis postganglionik (orde ketiga) berasal dari ganglion
serviks superior, berjalan di dinding arteri karotis interna, dan berlanjut ke
sinus kavernosus. Di dalam sinus kavernosus, serabut secara singkat
berjalan dengan nervus abducens sebelum bergabung dengan divisi
oftalmikus nervus trigeminus dan memasuki orbita dengan cabang
nasosiliarisnya. Serabut simpatis pada nervus nasosiliaris terbagi menjadi
dua nervus siliaris panjang yang berjalan dengan berkas vaskular
suprachoroidal lateral dan medial untuk mencapai segmen anterior mata
dan mempersarafi otot dilator iris.
Lesi pada arteri karotis interna secara klasik muncul dengan nyeri
kepala dan/atau leher unilateral, gejala iskemik serebral fokal, dan sindrom
Horner. Bentuk sindrom Horner ini sering disebut sebagai sindrom Horner
yang tidak lengkap karena terdiri dari ptosis dan miosis tetapi bukan
anhidrosis. Hal ini karena lesi mempengaruhi serat simpatis di pleksus
karotis interna tetapi tidak mempengaruhi pleksus karotis eksterna yang
mempersarafi kelenjar keringat wajah. Sindrom Horner yang menyakitkan
ini paling sering disebabkan oleh diseksi traumatis atau spontan dari arteri
karotis interna serviks. Dalam serangkaian besar 146 pasien dengan lesi
tersebut, sindrom Horner adalah temuan yang paling umum, dan setengah
dari kasus ini adalah manifestasi awal dan satu-satunya.

22
Lesi arteri karotis interna selain diseksi yang berhubungan dengan
sindrom Horner termasuk aneurisma, aterosklerosis berat, trombosis akut,
displasia fibromuskular, sindrom Ehler-Danlos, sindrom Marfan, dan
arteritis. Selain itu, lesi massa di leher, seperti: tumor, massa inflamasi,
pembesaran kelenjar getah bening, dan vena jugularis ektasis, dapat
menekan saraf simpatis karotis, menghasilkan sindrom Horner.
Kerusakan pada ganglion servikal superior dapat menyebabkan
sindrom postganglion Horner karena ganglion terletak sekitar 1,5 cm di
belakang tonsil palatina dan dapat rusak oleh trauma penetrasi cedera
intraoral atau bahkan prosedur seperti tonsilektomi, operasi intraoral, dan
injeksi peritonsillar. Lesi dasar tengkorak dapat menyebabkan sindrom
postganglionik Horner yang biasanya berhubungan dengan berbagai defisit
saraf kranial. Massa fossa tengah yang memasuki gua Meckel dan pada
arteri karotis interna di foramen lacerum dapat menghasilkan sindrom
Horner yang berhubungan dengan nyeri trigeminal atau kehilangan
sensorik. Fraktur tengkorak basal yang melibatkan tulang petrosa dapat
menyebabkan sindrom Horner dengan defisit abduksi ipsilateral,
kelumpuhan wajah, dan gangguan pendengaran sensorineural. Setiap lesi
pada sinus kavernosus dapat menyebabkan sindrom Horner postganglionik
dalam hubungannya dengan satu atau lebih saraf motorik okular. Adanya
kelumpuhan abducens dan sindrom postganglionik Horner sangat
menunjukkan adanya lesi pada sinus kavernosus posterior.
Sakit kepala cluster adalah sakit kepala unilateral parah yang
ditandai dengan robekan ipsilateral, hidung tersumbat, injeksi konjungtiva,
dan ptosis. Sebuah Sindrom Horner postganglionik transien dapat dilihat
pada 5% -22% dari pasien ini, dan paresis okulosimpatik permanen telah
dilaporkan pada beberapa pasien yang mengalami serangan berulang.
Neuralgia Raeder paratrigeminal, Sindrom Horner postganglionik yang
menyakitkan disertai dengan neuralgia trigeminal ipsilateral, dikaitkan
dengan lesi di fossa kranial tengah medial ke ganglion trigeminal.

23
Gambar 2.8 Skema Patofisiologi Sindrom Horner

Sumber: www.thecalgaryguide.com

2.7 Diagnosis Sindrom Horner


1. Anamnesis
 Masalah keseimbangan, pendengaran, sensorik, dan menelan dapat
mengarah pada proses yang lebih sentral yang melibatkan neuron
tingkat pertama.
 Riwayat trauma atau intervensi bedah sebelumnya yang melibatkan
titik kepala, wajah, leher, bahu, atau punggung terhadap keterlibatan
neuron orde kedua.
Riwayat medis dan pengobatan masa lalu yang terperinci untuk
menyingkirkan penggunaan agen miotik atau midriatik.
 Sakit kepala, penglihatan ganda, mati rasa pada wajah, atau nyeri
menunjukkan keterlibatan neuron tingkat ketiga.
 Kehadiran anhidrosis dan lokasinya dapat membantu dalam lokalisasi.
 Riwayat rinci sakit kepala jika ada.

24
 Gejala yang sudah berlangsung lama mengarah ke penyebab yang
lebih jinak dibandingkan gejala yang baru berkembang seperti
penurunan berat badan, hemoptisis, demam ringan, dan limfadenopati.
 Pembilasan wajah menunjukkan lesi praganglion.
 Nyeri wajah atau orbital dalam kombinasi dengan miosis dan ptosis
harus mengarah ke sindrom paratrigeminal Raeder.
 Riwayat lesi kulit atau infeksi herpes zoster yang terdiagnosis
sebelumnya.
 Keparahan dan lokasi nyeri.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Ptosis
b. Miosis
c. Hipokromia Iris
d. Akomodasi
e. Anhidrosis
Pada pemeriksaan fisik yang diperiksa adalah tanda vital umum seperti
tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan awal harus mencakup hitung darah lengkap (CBC), laju
sedimentasi eritrosit (ESR), dan panel kimia serum.
b. Kultur urin atau darah dapat dipesan jika agen infeksi dicurigai.
c. Pengujian untuk dugaan neurosifilis, HIV bersama dengan fungsi tiroid,
vitamin B12, dan kadar folat dapat dipesan jika diindikasikan setelah
riwayat dan pemeriksaan terperinci.
d. Pengujian urin untuk produk sampingan katekolamin metabolik yang
meningkat penting pada populasi anak dengan dugaan neuroblastoma.
4. Pemeriksaan Radiologi
 Rontgen dada diikuti oleh computed tomography (CT) scan harus
dipesan pada pasien ketika dicurigai keganasan paru.
 CT kepala dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) disarankan
dalam kasus kemungkinan stroke.

25
 MRI dibenarkan dan lebih disukai daripada ultrasonografi ketika
diseksi arteri karotis adalah kemungkinan (sindrom Horner yang
menyakitkan). (Aguado, 2012)
5. Pengujian Farmakologis

Ini adalah modalitas pengujian yang paling membantu untuk lokalisasi


diagnostik.

 Tes Kokain Topikal:  Kokain bertindak sebagai simpatomimetik


tidak langsung yang menghambat pengambilan kembali
norepinefrin dari celah sinaptik. Solusi kokain (berkisar dari 2%
sampai 10%) ditanamkan ke kedua mata. Kedua mata dievaluasi
setelah setidaknya 30 menit atau lebih untuk respon yang
optimal. Denervasi pada mata yang terkena menyebabkannya
melebar dengan buruk dibandingkan dengan yang
normal. Anisocoria 0,8 mm atau lebih dianggap diagnostik. Tes
tidak membantu dalam mengidentifikasi tingkat lesi.

Tes ini memiliki kelemahan lain seperti harga senyawa yang relatif
tinggi, memakan waktu, tes menghasilkan hasil yang ambigu, dan
metabolit kokain dapat dideteksi dalam urin.

 Tes Hidroksimfetamin topikal:  Tes ini sangat membantu dalam


lokalisasi lesi. Hydroxyamphetamine merangsang pelepasan
simpanan norepinefrin dari terminal postganglionik ke dalam
sinaps. Lesi orde ketiga postganglionik dapat dibedakan dari orde
kedua prasinaptik atau orde pertama.

Dua tetes larutan hidroksiamfetamin 1% diteteskan ke kedua


mata. Mata yang terkena (lesi tingkat ketiga) tidak akan melebar
sebaik mata normal. Sementara dalam kasus serat postganglionik
utuh (lesi orde pertama dan kedua), pupil yang terkena melebar ke
tingkat yang sama atau lebih besar.

26
Kerugian yang melibatkan tes ini termasuk tidak dapat dilakukan
pada hari yang sama dengan tes kokain dan hasil negatif palsu.

 Tes Apraclonidine Topikal: Tes ini dianggap sebagai tes pilihan


karena sensitivitas yang baik dan kepraktisan secara
keseluruhan. Apraclonidine bertindak sebagai agonis alfa1 lemah
dan agonis alfa2 kuat. Ini dikategorikan sebagai agen hipotensi
okular. Peningkatan regulasi reseptor alfa1 pada sindrom Horner
diterjemahkan menjadi respons berlebihan dari dilator iris
(supersensitivitas denervasi) terhadap agen agonis seperti
apraclonidine. (Knyazer, 2017)

2.8 Diagnosis Banding Sindrom Horner

Anisokoria:

 Anisokoria esensial
 Pupil adie (bertahan lama)
 Argyll-Robertson Pupil
 Uveitis anterior kronis
 Robekan sfingter pupil
 Penggunaan sepihak dari miotik atau midriatik
 Kelumpuhan saraf ketiga

Ptosis:

 Ptosis aponeurotik
 Miastenia okular
 Kelumpuhan saraf ketiga (mata ptotik memiliki pupil yang lebih besar)
 Ptosis kongenital
(Kedar MD, 2021)

27
2.9 Pemeriksaan Penunjang Sindrom Horner

1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hitung darah lengkap (CBC), laju sedimentasi eritrosit (ESR), dan panel
kimia serum.
b. Kultur urin atau darah
c. Pengujian fungsi tiroid, vitamin B12, dan kadar folat
d. Pengujian urin untuk produk sampingan metabolisme katekolamin
2. Pemeriksaan Radiologi
 Rontgen dada diikuti oleh computed tomography (CT) scan
 CT kepala dan pencitraan resonansi magnetik (MRI)
 Time-of-Flight Magnetic Resonance Angiography (TOF MRA)
3. Pengujian Farmakologi

 Tes Kokain Topikal

 Tes Hidroksimfetamin topikal

 Tes Apraclonidine Topikal

(Knyazer, 2017)

2.10 Tatalaksana Sindrom Horner

Onset akut dari Sindrom Horner yang menyakitkan harus dianggap


sebagai keadaan darurat neurologis dan subjek harus dievaluasi untuk diseksi
arteri karotis interna seperti yang dijelaskan di bawah ini. Pasien-pasien ini
berada pada peningkatan risiko untuk infark serebral.

Langkah pertama dalam pengelolaan pasien dengan sindrom Horner


adalah melakukan studi yang tepat untuk mengidentifikasi
penyebabnya. Pencitraan sering diindikasikan pada sindrom Horner onset
baru kecuali jika terjadi dalam pengaturan trauma atau manipulasi
bedah. Situs pencitraan hasil tinggi dapat diidentifikasi berdasarkan tanda dan

28
gejala yang menyertainya. Ini mungkin termasuk antara lain evaluasi
radiologis otak, sumsum tulang belakang leher, pembuluh darah otak, kepala,
leher dan dada. Pengobatan tergantung pada etiologi sindrom Horner.

 Diseksi arteri karotis: Modalitas pencitraan yang tepat harus diperoleh


secara darurat dan mungkin termasuk angiografi MRI dan MR atau
angiografi CT leher. Angiogram konvensional tetap menjadi standar
emas. Pasien harus segera diobati dengan antikoagulan di bawah
pengawasan ahli saraf.
 Neuroblastoma: Anak-anak dengan sindrom Horner baru tanpa penyebab
yang jelas seperti trauma harus dievaluasi untuk keganasan sistemik
terutama neuroblastoma dengan bantuan dokter anak. Mereka harus
dievaluasi untuk massa leher dan perut dan diuji untuk metabolit
katekolamin urin. Evaluasi radiologis yang tepat dari kepala, leher dan
dada harus diperoleh dengan berkonsultasi dengan dokter anak.
 Batang otak atau lesi myelopathic: Pasien dengan tanda-tanda batang
otak atau myelopathic memerlukan pencitraan otak dan sumsum tulang
belakang biasanya dengan pencitraan MR. Urutan yang tepat harus
dipesan berdasarkan etiologi yang dicurigai. Sinus kavernosus dan daerah
sellar harus dievaluasi pada pasien dengan sindrom Horner dengan
oftalmoparesis terutama kelumpuhan saraf kranial keenam yang
terisolasi. Pasien-pasien ini harus berada di bawah perawatan ahli saraf
atau ahli bedah saraf untuk pengobatan penyebab yang mendasarinya.
 Keganasan toraks : Horner onset spontan yang terisolasi tanpa tanda-
tanda neurologis tambahan harus segera dilakukan pencitraan leher dan
toraks untuk lesi pada apeks paru atau daerah paravertebral. CT scan atau
MR kontras harus diperoleh berdasarkan etiologi yang dicurigai.

 Blepharoptosis : Setelah kondisi yang mengancam jiwa telah disingkirkan


dan pasien stabil, ptosis simtomatik visual dapat dikelola dengan
pembedahan. Pendekatan bedah bervariasi pada preferensi ahli

29
bedah. Karena secara khas fungsi levator palpebra adalah normal pada
sindrom Horner, pembedahan biasanya melibatkan penguatan kerja otot
levator. Pendekatan ini dapat mencakup kemajuan aponeurotik atau
reseksi konjungtiva otot Müller. (Kedar MD, 2021)
2.11 Komplikasi Sindrom Horner
- Gangguan penglihatan
- Nyeri leher atau sakit kepala berat dan tiba-tiba menyerang
- Otot-otot melemah atau kesulitan mengontrol otot-otot
(Kedar MD, 2021)

2.12 Prognosis Sindrom Horner


Dua kasus lebih lanjut dari sindrom yang baru-baru ini dijelaskan
merupakan triad oftalmoplegia simpatik, kelumpuhan saraf frenikus dan
vagus ipsilateral atau kelumpuhan saraf laringeal berulang dijelaskan. Ini
adalah tanda sindrom, tetapi suara serak, disfagia, disestesia, dan nyeri pada
bahu ipsilateral mungkin merupakan gejala tambahan. Perkembangan
Sindrom Horner pada pasien dengan penyakit ganas tidak selalu menandakan
prognosis yang sangat buruk. (Payne, 1981).

2.13 SKDU Sindrom Horner


Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
(Konsil Kedokteran Indonesia, 2012)

30
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas pasien: Seorang gadis berusia 15 tahun


Manifestasi Klinis

Gambar 3.1 Kondisi Fisik Pasien


Sumber: Ibrahim, 2006
Heterokromia iris kanan dan miosis, dengan episode intermiten dilatasi
asimetris pupil kanan. Sejak kelahirannya, orang tua telah memperhatikan pupil
kanan lebih kecil dan iris kanan berwarna lebih terang daripada mata kiri (Gambar
3.1). Baru-baru ini pasien mengeluhkan episode dilatasi pupil berulang, yang
berlangsung sekitar 10 menit sekali sehari selama 2-3 bulan dan kemudian
menurun menjadi sebulan sekali. Episode pelebaran pupil ini disertai dengan
kesemutan di pipi kanan. Selain itu, pasien mengalami pengaburan intermiten
pada mata kanan disertai rasa sakit di sekitar mata, terutama di sebelah kanan.
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan pasien menunjukkan ketajaman visual yang tidak dikoreksi
20/20 di kedua mata. Ada sedikit (1-2 mm) ptosis sisi kanan. Pupil kanan lebih
kecil dari kiri, dan iris kanan sedikit berpigmen dibandingkan dengan kiri. Iris

31
kanan hipoplastik asimetris; manset sfingter inferior hipoplastik, sedangkan
bagian atas normal.

Pemeriksaan Penunjang:

Gambar 3.2 Hasil Pemeriksaan TOF MRA Lingkaran Willis


Sumber: Ibrahim, 2006

Gambar 3.3 Kompresi Saraf Kranial III


Sumber: Ibrahim, 2006

32
Gambar 3.4 Hasil Pemeriksaan TOF MRA Leher
Sumber: Ibrahim, 2006

Gambar 3.5 Hasil Pemeriksaan CT Resolusi Tinggi


Sumber: Ibrahim, 2006
Kegagalan pupil kanan untuk melebar setelah pemberian tetes mata kokain
4% memverifikasi diagnosis sindrom Horner kanan unilateral. Pemeriksaan
okular dan visual lainnya normal. Time-of-flight MR angiography (MRA) dari
lingkaran Willis menunjukkan tidak adanya aliran di arteri karotis interna kanan
(ICA) dengan aliran kolateral ke belahan otak kanan melalui PcomA yang
membesar (Gambar 3.2A, 3.2B). Gambar 3 menunjukkan kompresi saraf kranial
III kanan oleh PcomA kanan yang membesar. Time-of-flight MRA leher
menunjukkan tidak adanya ICA servikal kanan (Gambar 3.4). CT resolusi tinggi
melalui dasar tengkorak menunjukkan kanalis karotis tulang kanan yang atresia,
mengkonfirmasi adanya ICA hipoplastik sebelum perkembangan dasar tengkorak
(Gambar 3.5).

33
BAB IV

PEMBAHASAN

Hipoplasia arteri karotis interna (ICA) adalah penyakit kongenital yang


jarang. Sedikit lebih dari 100 kasus yang telah dilaporkan dalam literatur, hanya
beberapa kasus yang dilaporkan berhubungan dengan Sindrom Horner kongenital.

Sebagian besar kasus aplasia dan hipoplasia ICA yang dilaporkan terjadi
pada pasien tanpa gejala. Insufisiensi arteri dicegah melalui jalur kolateral yang
meliputi lingkaran Willis, persistensi pembuluh darah embrionik, dan kolateral
transkranial melalui arteri karotis eksterna. Jalur kolateral ini termasuk arteri
komunikan anterior hipertrofi tipe janin (AcomA) dan PcomA yang mensuplai
arteri serebral anterior (ACA) dan arteri serebral tengah (MCA), tipe dewasa
(AcomA hipertrofi yang mensuplai ACA dan MCA), dan anastomosis transkranial
timbul dari ICA kontralateral atau dari pembuluh darah primitif. Berbohong5
menggambarkan 6 jalur sirkulasi kolateral yang berhubungan dengan tidak adanya
ICA. Pada tipe A, B, dan C, tidak adanya ICA unilateral (tipe A dan B) atau
bilateral (tipe C) dikaitkan dengan hipertrofi AcomA dan PcomA (tipe A), paten

34
AcomA (tipe B), atau anastomosis carotid-vertebrobasilar (tipe C). Tipe D
mewakili komunikasi interkavernosus ke siphon karotis ipsilateral dari ICA
kavernosa kontralateral dalam pengaturan agenesis unilateral dari segmen servikal
ICA. Pada tipe E, ACA disuplai oleh ICA hipoplastik, sedangkan pada tipe F
anastomosis transkranial dari cabang maksila internal sistem arteri karotis
eksternal (ECA) memasok ke ICA distal, yang disebut rete mirabile. Pasien kami
memiliki suplai kolateral tipe janin (Lie tipe A), dengan ICA hipoplastik dan
PcomA hipertrofi.

BAB V

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Deep Vein Thrombosis (DVT) atau Trombosis Vena Dalam (TVD)
adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder/vena dalam
oleh karena inflamasi/trauma dinding vena atau karena obstruksi vena
sebagian. Trombosis Vena Dalam (TVD) menyerang pembuluh-pembuluh
darah sistem vena dalam.

35
DVT biasanya ditandai dengan adanya nyeri tekan pada tungkai atau betis
bila terjadi di tungkai dan di lengan atau leher jika mengenai ekstremitas atas,
pembengkakan terlokalisir pada daerah yang terkena disertai pitting edema,
pembengkakan di bawah lutut sampai daerah pantat, perabaan kulit hangat dan
kemerahan di sekitar daerah DVT, terdapat pelebaran vena superfisial dan
pada obstruksi berat kulit tampak sianosis. Terkadang DVT tidak memberikan
gejala yang nyata, gejala timbul setelah terjadi komplikasi misalnya terjadi
emboli ke paru. Penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan cara pemberian
zat antikoagulan, terapi trombolitik, trombektomi, dan filter vena kava
inferior.

3.2 Saran
1. Untuk mahasiswa agar dapat menambah literatur pengetahuan dan
pembelajaran tentang hematologi, sistem hemostasis tubuh dan kelainan-
kelainannya, salah satunya yaitu Deep Vein Thrombosis (DVT).
2. Untuk masyarakat agar lebih memperhatikan faktor lingkungan dan
kebiasaan yang baik dalam mengelola sumber-sumber kebutuhan nutrisi
bagi tubuh dan kesehatan sistem peredaran darah tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M dkk. 2019. Conjunctival Laceration of The Tarsalis Palpebra Inferior et


Causing by a Fishing Hook. Jurnal Medical Profession. Vol. 1. No. 2. Hal.
151-166.

Aguado R et al. 2012. Sindrom Acle Cervera L. Horner setelah operasi leher. Acta
Otorinolaringol Esp. 63 (4):299-302.

36
Diana et al. 2015. Horner Syndrome Related to Nasopharyngeal Carcinoma.
Ophtalmologica Indonesiana. Vol. 41. No.2. Hal. 116-123.

Ibrahim et al. 2006. A Case of Horner Syndrome with Intermittent Mydriasis in a


Patient with Hypoplasia of the Internal Carotid Artery. AJNR: American
Journal of NeuroRadiology. Vol. 27(6). p. 1318-1320

Kanagalingam,S & Miller, N. 2015. Horner Syndrome: Clinical Perspectives.


Dove Press Journal. Vol. 7. p. 35-46.

Kedar MD et al. 2021. Horner Syndrome. American Academy of Ophthalmology.

Knyazer MD, et al. 2017. Iatrogenic Horner Syndrome: Etiology, Diagnosis and
Outcomes. Israel Medical Association Journal. Vol. 19. Number 1. p. 34-38.

Mitchell SW et al. 2007. Gunshot Wounds and Other Injuries of Nerves. Clinical
Orthopaedics and Related Research. 458:35-9.

Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. 2010. Clinically Oriented Anatomy.
Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 6th ed. p. 889-909.

Paulsen, F & Waschke, J. 2017. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Kepala, Leher
dan Neuroanatomi. Edisi 24. Hal. 144-150. Singapore: Elsevier.

Payne, R. (1981). Horner's syndrome with ipsilateral vocal cord and phrenic nerve
palsies.

Sabbagh, et al. 2020. Causes of Horner Syndrome: A Study of 318 Patients.


Journal of Neuro-Ophthalmology. Vol. 40. Issue 3. p. 362-369.

Smith SJ et al. 2010. Incidence of pediatric Horner Syndrome and The Risk of
Neuroblastoma: a Population-Based Study. Arch Ophthalmol. 128(3):324-9.

Waxman, S.G., 2020. Clinical neuroanatomy: The Visual System. 29th Edition.
New Haven: Lange. p. 197-210.

37

Anda mungkin juga menyukai