Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH BAHAYA FISIK LINGKUNGAN KERJA

Diajukan Sebagai

Tugas Mata Kuliah K3

Disusun Oleh :

Ainundita Paramananda P2133519005

Bryan Novianjaya Putra P21335120007

Dea Syakilla Syafitri P21335120009

Elviyanti Hamonangan P21335120013

Galuh Pramudhita P21335120016

M. Rafli Azhari P21335120024

Mutiara Aini P21335120025

Dosen Pembimbing :

Kuat Prabowo, SKM, MKes

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN JAKARTA II

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN

Jl. Hang Jebat III No.4 No.8, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta
Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12120

2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul tentang “BAHAYA FISIK
LINGKUNGAN KERJA” yang merupakan salah satu tugas untuk mata kuliah
K3 pada semester ketiga.

Kami juga berterimakasih kepada Bapak Kuat Prabowo, SKM, MKes


yang telah memberikan tugas makalah ini sehingga pengetahuan penulis dalam
penulisan makalah ini semakin bertambah dan hal itu sangat bermanfaat bagi
penulis di kemudian hari.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi penulis. Akhir
kata penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan
saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati.

Jakarta, 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
1.3. Tujuan ............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
2.1. Faktor Bahaya Fisik Kebisingan ..................................................................... 3
2.1.1. Pengertian ............................................................................................. 3
2.1.2. Tingkat Kebisingan .............................................................................. 4
2.1.3. Pengaruh Bising Terhadap Tenaga Kerja ............................................. 6
2.1.4. Teknik Pengukuran ............................................................................... 7
2.1.5. Pengendalian......................................................................................... 9
2.2. Faktor Bahaya Fisik Pencahayaan................................................................... 9
2.2.1. Pengertian Pencahayaan ....................................................................... 9
2.2.2. Jenis-jenis Pencahayaan ..................................................................... 10
2.2.3. Tujuan Pencahayaan ........................................................................... 10
2.2.4. Standar Pencahayaan .......................................................................... 10
2.2.5. Masalah Pencahayaan ......................................................................... 11
2.2.6. Faktor Risiko (PAK/KK) .................................................................... 11
2.2.7. Teknik Pengukuran Pencahayaan ....................................................... 12
2.2.8. Pengendalian Pencahayaan ................................................................. 13
2.3. Faktor Bahaya Fisik Ventilasi ....................................................................... 13
2.3.1. Pengertian Ventilasi............................................................................ 13
2.3.2. Jenis-jenis ventilasi ............................................................................. 14
2.3.3. Faktor-faktor bahaya dan dampak pada pekerja dalam tempat kerja . 15
2.4. Faktor Bahaya Fisik Radiasi ......................................................................... 16
2.4.1. Pengertian ........................................................................................... 16

iii
2.4.2. Bahaya radiasi terhadap tubuh ............................................................ 17
2.5. Faktor Bahaya Fisik Suhu Ekstrim................................................................ 18
2.5.1. Pengertian Suhu Ekstrim .................................................................... 18
2.5.2. Pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu ekstrim................................... 19
2.5.3. Pencegahan Penyakit Bahaya Lingkungan Fisik Akibat Suhu Ekstrim
22
2.6. Faktor Bahaya Fisik Ketinggian .................................................................... 25
2.6.1. Pengertian Bekerja Pada Ketinggian .................................................. 25
2.6.2. Dasar Hukum yang Digunakan Bekerja Pada Ketinggian .................. 25
2.6.3. Syarat Bekerja Pada Ketinggian ......................................................... 26
2.6.4. Bahaya Bekerja pada Ketinggian ....................................................... 28
2.6.5. Alat Pelindung Diri (APD) bekerja pada ketinggian .......................... 30
2.6.6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam bekerja Di ketinggian. ...... 33
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 35
3.1. Kesimpulan ................................................................................................... 35
3.2. Saran.............................................................................................................. 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 36

iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aset terpenting yang dimiliki oleh perusahaan adalah sumber daya manusia
karena memiliki pengaruh dalam keberlangsungan hidup perusahaan. Dalam
melakukan suatu pekerjaan diperlukan kondisi lingkungan yang baik, salah
satunya kondisi lingkungan fisik. Kondisi fisik lingkungan tempat kerja dimana
para pekerja beraktifitas sehari-hari mengandung banyak bahaya, langsung
maupun tidak langsung bagi keselamatan dan kesehatan pekerja.

Bahaya-bahaya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bahaya getaran, kimia,


radiasi, thermal, pencahayaan, dan kebisingan. Resiko bahaya yang dihadapi
tenaga kerja adalah bahaya kecelakaan kerja serta penyakit akibat kerja yang
diakibatkan karena kombinasi dari berbagai faktor seperti tenaga kerja, peralatan
kerja, dan lingkungan kerja (Goetsh, 1996).

Lingkungan fisik di tempat kerja sangat penting bagi kinerja, kepuasan,


hubungan sosial karyawan dan kesehatan karyawan. Lingkungan kerja fisik
menurut Sedarmayanti (2013:19) adalah semua keadaan berbentuk fisik yang
terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.

1.2. Rumusan Masalah


1. Jelaskan faktor bahaya fisik kebisingan?
2. Jelaskan faktor bahaya fisik pencahayaan?
3. Jelaskan faktor bahaya fisik ventilasi ?
4. Jelaskan faktor bahaya fisik radiasi?
5. Jelaskan faktor bahaya fisik suhu ekstrim ?
6. Jelaskan faktor bahaya fisik ketinggin?

1.3. Tujuan
1. Menjelaskan faktor bahaya fisik kebisingan
2. Menjelaskan faktor bahaya fisik pencahayaan

1
3. Menjelaskan faktor bahaya fisik ventilasi
4. Menjelaskan faktor bahaya fisik radiasi
5. Menjelaskan faktor bahaya fisik suhu ekstrim
6. Menjelaskan faktor bahaya fisik ketinggian

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Faktor Bahaya Fisik Kebisingan

2.1.1. Pengertian
Kebisingan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 adalah terjadinya bunyi yang tidak
dikehendaki sehingga menggangu atau membahayakan kesehatan. Kebisingan
adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses
produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran.

Kebisingan dapat terjadi di lingkungan kerja disebabkan oleh


beberapa sumber, yaitu gemuruh mesin beberapa pabrik, dasing jet, gemuruh
mesin turbin beberapa kapal laut, letusan senjata api, mesin pemotong rumput,
bising alat pemecah beton atau aspal, bising alat penghisap debu kendaraan atau
transportasi dengan sistem gas buang dan suspensi yang buruk.

Jenis bising dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi luas (steady state, wide band
noise), misalnya suara yang ditimbulkan oleh kipas angin;

2. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow


band noise), misalnya suara yang ditimbulkan oleh gergaji sirkuler dan katup
gas;

3. Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya suara lalu lintas, suara kapal


terbang dilapangan udara;

4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), misalnya suara tembakan


atau meriam;

5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya suara yang ditimbulkan mesin tempa

3
2.1.2. Tingkat Kebisingan
Tingkat kebisingan sudah telah diatur dalam keputusan menteri
tenaga kerja NO.51/MEN/1999. Nilai Ambang Batas kebisingan yang di
perkenankan menurut Keputusan Meteri Tenaga Kerja No:51/Menaker/1999
adalah 85 dBA untuk lama pemaparan selama 8 jam sehari atau 40 jam dalam
seminggu , dan apabila intensitas kebisingan melebih nilai ambang batas maka
lama pemaparan yang diperkenankan harus disesuaikan dengan kriteria yang
ditetapkan berdasarkan tabel dibawah ini :

Tabel nilai ambang batas kebisingan

Waktu Pemajanan Perhari Intensitas Kebisingan dB(A)


8 jam 85
4 jam 88
2 jam 91
1 jam 94
30 menit 97
15 menit 100
7,5 menit 103
3,75 menit 106
1,88 menit 109
0,94 menit 112
28,12 detik 115
14,06 detik 118
7,03 detik 121
3,52 detik 124
1,76 detik 127
0,88 detik 130
0,44 detik 133
0,22 detik 136
0,11 detik 139

Tidak boleh terpajan lebih dari 140 db walaupun sesaat

4
Selain itu terdapat berbagai macam tingkat kebisingan dari berbagai sumber, yaitu
:

Intensitas (dB) Sumber bunyi


140 Pesawat jet
130 Pesawat terbang
120 Music hingar binger
110 Mesin press
100 Lalu lintas yang bising
90 Pabrik
80 Kantor bising
70 Vacuum cleaner
60 Percakapan normal
50 Kantor yang tenang
40 Lingkungan perumahan
20 bisikian
0 Ambang dengar
Adapun nilai ambang batas untuk menetapkan status pendengaran
seseorang yang ditetapkan oleh peraturan Dewan Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja Nasional (DK3N) 2003 :

Status Pendengaran Nilai Ambang Batas


Normal <25
Tuli ringan 26-40
Tuli sedang 40-55
Tuli berat 55-70
Tuli sangat berat 70-90
Tuli total Lebih besar dari sama dengan 90

5
2.1.3. Pengaruh Bising Terhadap Tenaga Kerja
Pengaruh bising secara umum dibedakan 2 macam :

1. Pengaruh Auditorial berupa tuli akibat bising (Noise Induced Hearing Loss /
NIHL) dan umumnya terjadi dalam lingkungan kerja dengan tingkat
kebisingan yang tinggi.
2. Pengaruh Non Auditorial dapat bermacam-macam misalnya gangguan
komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan
darah dan lain-lain.
Adapun gangguan lain yang dapat ditimbulkan, seperti gangguan
fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi, gangguan keseimbangan,
gangguan terhadap pendengaran (ketulian)

a. Gangguan Fisiologis

Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal


metabolisme, kontruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris

b. Gangguan psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,


susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka panjang dapat menimbulkan
penyakit, psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner dan lain-lain.

c. Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi ini menyebakan tergangguannya pekerjaan, bahkan


mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja baru yang belum
berpengalaman. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena
tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan
menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas kerja.

6
d. Gangguan keseimbangan

Gangguan keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisiologis seperti


kepala pusing, mual dan lain-lain.

e. Gangguan terhadap pendengaran (ketulian)

Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan


terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena dapat
menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat
progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus menerus di
tempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau
tuli.

2.1.4. Teknik Pengukuran


1. Alat
Alat yang dapat digunakan adalah Sound Level Meter (SLM) alat ini
digunakan untuk mengukur kebisingan pada frekuensi yang berbeda beda dan
untuk mengukur intensitas bunyi dengan frekuensi tertentu.

2. Penentuan titik pengukuran


a. Pengukuran dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas
hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat dilakukan
untuk mengevaluasi kebisingan yang disebabkan oleh suatu peralatan sederhana,
misalnya kompresor/generator. Jarak pengukuran dari sumber harus dicantumkan,

7
misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah
mikrofon alat pengukur yang digunakan.
b. Pengukuran dengan peta kontur
Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam
mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang
kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan
membuat gambar isoplet pada kertas bersekala yang sesuai dengan pengukuran
yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan
kebisingan

1. Warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA

2. Warna orange untuk kebisingan dengan intensitas tinggi diatas 90 dBA

3. Warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 85-90 dBA

c. Pengukuran dengan Grid


Untuk mengukur dengan grid adalah dengan membuat contoh data
kebisingan pada lokasi yang diinginkan. Titik-titik sampling harus dibuat dengan
jarak interval yang sama diseluruh lokasi. Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi
menjadi beberapa kotak yang berukuran dan jarak yang sama, misalnya: 10x10 m.
Kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan identitas.
3. Cara kerja
1) Tentukan lokasi dan titik pengukuran
2) Tekan tombol on pada sound level meter
3) Tekan tombol respon (jenis suara) slow/fast
4) Atur tombol jaringan A atau C
5) Baca angka yang tertera pada monitor

8
2.1.5. Pengendalian
Kebisingan perlu dikendalikan agar tidak menimbulkan dampak
atau masalah terhadap pekerja di lingkungan kerja, adapun cara pengendalian
kebisingan yaitu :

1. Pengurangan kebisingan pada sumbernya

Pengurangan kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan, misalnya upaya


menurunkan kebisingan pada mesin atau peralatan kerja dengan modefiksasi,
penempatan mesin atau peralatan kerja pada kedudukan yang meredam getaran ke
lantai atau dinding sangat membantu menurunkan tingkat kebisingan di tempat
kerja.

2. Penempatan penghalang pada jalan transmisi

Isolasi tenaga kerja atau mesin atau unit operasi merupakan upaya yang baik
dalam mengurangi kebisingan. Untuk itu material yang dipakai untuk isolasi harus
mampu menyerap suara.

3. Proteksi dengan sumbat atau tutup telinga

Tutup telinga (ear muff) biasanya lebih efektif dari pada sumbat telinga (ear
plug) dan dapat lebih besar menurunkan intensitas kebisingan yang sampai ke
syaraf pendengaran. APD tutup telinga harus memiliki ukuran yang tepat bagi
pemakainya. Alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10-25 dB.
Dengan pemakaian alat ini, cara komunikasi harus diperbaiki sebagai akibat dari
teredamnya intensitas suara pembicara yang masuk ke dalam telinga.

2.2. Faktor Bahaya Fisik Pencahayaan

2.2.1. Pengertian Pencahayaan


Pencahayaan dapat didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh
pada permukaan. Satuannya adalah lux (1 lm/m2), dimana l m adalah lumens atau
lux cahaya. Penerangan yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam
lingkungan kerja. Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan

9
pekerja dapat melihat obyek-obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa
upaya-upaya yang tidak perlu.

Pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja


yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Nilai Pencahayaan
yang dipersyaratkan oleh Kep-Menkes RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu
minima l100 lux.

2.2.2. Jenis-jenis Pencahayaan


Menurut standar pencahayaan buatan Dep. PU (1981). Pada
umumnya terdapat dua jenis pencahayaan, yaitu pencahayaan umum dan
pencahayaan setempat.

1. Pencahayaan umum, yaitu pencahayaan secara umum dengan memperhatikan


karakteristik dan bentuk fisik ruangan, tingkat pencahayaan yang diinginkan
dan instalasi yang dipergunakan. Pencahayaan di seluruh area tempat kerja.
2. Pencahayaan setempat, biasanya lebih mengkonsentrasikan cahaya pada
tempat tertentu. Pencahayaan di tempat obyek kerja, baik berupa meja kerja
maupun peralatan.

2.2.3. Tujuan Pencahayaan


Tujuan dari pencahayaan itu sendiri adalah untuk memberi
kenyamanan dan efisiensi dalam melaksanakan pekerjaan serta memberi
lingkungan kerja yang aman bagi para pekerjanya.

2.2.4. Standar Pencahayaan


Nilai Pencahayaan yang dipersyaratkan oleh Kep-Menkes RI No.
1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu minimal 100 lux. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998 Tentang : Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Intensitas cahaya di ruang kerja minimal 1000 Lux dalam rata-
rata pengukuran 8 jam.

10
2.2.5. Masalah Pencahayaan
Permasalahan pencahayaan meliputi kemampuan manusia untuk
melihat sesuatu, sifat-sifat dari indera penglihatan, usaha-usaha yang dilakukan
untuk melihat obyek lebih baik dan pengaruh penerangan terhadap lingkungan.
Pencahayaan yang buruk di lingkungan kerja akan menyebabkan hal-hal sebagai
berikut :

1. Kelelahan dan ketidaknyamanan pada mata yang akan mengakibatkan


kurangnya daya efesiensi kerja
2. Kelelahan mental yang akan berpengaruh pada kelelahan fisik
3. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata
4. Kerusakan alat penglihatan atau mata
5. Meningkatnya kecelakaan kerja

2.2.6. Faktor Risiko (PAK/KK)


Penerangan yang kurang di lingkungan kerja akan menambah
beban kerja pekerjanya karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Oleh karena
itu cahaya yang cukup akan memungkinkan pekerja dapat melihat objek yang
dikerjakan dengan jelas dan menghindarkan dari kesalahan kerja.

Berkaitan dengan pencahayaan dalam hubungannya dengan


penglihatan orang di dalam suatu lingkungan kerja maka faktor besar-kecilnya
objek atau umur pekerja juga mempengaruhi. Pada pabrik atau tempat kerja yang
mengerjakan objek yang kecil akan membutuhkan intensitas penerangan relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas penerangan di pabrik yang objek
pekerjaannya lebih besar. Begitu juga umur pekerja dimana makin tua umur
seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang sudah tua dalam
menangkap objek yang dikerjakan memerlukan penerangan yang lebih tinggi
daripada orang yang lebih muda.

Akibat yang timbul dari kurangnya penerangan di lingkungan kerja


akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi para karyawan atau
pekerjanya. Gejala kelelahan fisik dan mental ini antara lain sakit kepala (pusing-

11
pusing), menurunnya kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan
kecepatan berpikir. Disamping itu kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk
mendekatkan matanya ke objek guna memperbesar ukuran benda. Hal ini
akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan terjadi penglihatan rangkap atau
kabur.

2.2.7. Teknik Pengukuran Pencahayaan


 Syarat-syarat dalam pengukuran pencahayaan:
a. Pintu ruangan dalam keadaan sesuai dengan kondisi tempat pekerjaan
dilakukan
b. Lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dengan kondisi
pekerjaan.
 Penggunaan luxmeter:
a. Hidupkan luxmeter yang telah dikalibrasi dengan membuka penutup
sensor.
b. Bawa alat ke tempat titik pengukuran yang telah ditentukan, baik
pengukuran untuk intensitas penerangan setempat atau umum.
c. Baca hasil pengukuran pada layar monitor setelah menunggu beberapa saat
sehingga didapat nilai angka yang stabil.
d. Catat hasil pengukuran pada lembar hasil pencatatan untuk intensitas
penerangan setempat
 Menentukan titik pengukuran:
1. Melakukan pengukuran lokal, yaitu diatas meja yang ada.
2. Melakukan pengukuran umum, yaitu dengan memotong garis horisontal
panjang dan lebar ruangan pada setiap jarak tertentu setinggi satu meter
dari lantai. Membedakan jarak tersebut berdasarkan luas ruangan, antara
lain:
a. Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi: memotong titik garis
horisontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak setiap 1 meter.

12
b. Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter persegi:
memotong titik garis horisontal panjang dan lebar ruangan adalah pada
jarak setiap 3 meter.
c. Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi: memotong titik horisontal
panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6 meter.

2.2.8. Pengendalian Pencahayaan


Pengendalian terhadap penerangan yang buruk dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu:

a. Pengendalian secara teknis


1) -Memperbesar ukuran obyek dengan menggunakan kaca pembesar
2) -Memperbesar intensitas penerangan
3) -Menambah waktu yang diperlukan untuk melihat obyek
4) -Bila menggunakan penerangan alami, harus diperhatikan agar jalan
masuknya sinar tidak terhalang
b. Pengendalian secara administrative

Untuk pekerjaan pada malam hari atau yang membutuhkan ketelitian tinggi,
diusahakan untuk memperkerjakan tenaga kerja yang berusia relatif masih muda
dan tidak menggunakan kacamata .

2.3. Faktor Bahaya Fisik Ventilasi

2.3.1. Pengertian Ventilasi


Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan
pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun
mekanis tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan
manusia, sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang
baik dan over crowded maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan
kesehatan.
Ventilasi adalah terjadinya pertukaran udara di tempat kerja.
Ventilasi yang baik bila terjadi pertukaran udara tempat kerja 2 – 3 kali per menit
per orang. Untuk menjamin terjadinya ventilasi udara di tempat kerja, maka

13
tempat kerja hendaknya dilengkapai dengan ventilasi. Ventilasi menurut jenisnya
dapat dibagi menjadi ventilasi buatan atau mekanis (AC, exhaus fan, kipas,
blower dll)) dan ventilasi alamiah ( jendela, jalusi, kisi dll). Ventilasi alamiah
dapat juga dibagi menjadi ventilasi permanen ( lubang angin, jalusi) dan tidak
tetap (sementara) seperti pintu ruangan yang bila terbuka dapat berfungsi untuk
ventilasi. Pertukaran udara persatuan waktu per orang, ditentukan oleh luas lubang
ventilasi, kecepatan aliran udara segar yang masuk ke dalam ruangan kerja, serta
jumlah tenaga kerja yang berada dalam ruangan tersebut.

2.3.2. Jenis-jenis ventilasi


Jenis polutanPolutan adalah suatu zat yang menjadi sebab
pencemaran terhadap lingkunganPolutan disebut juga sebagai zat pencemar.
Suatu zat atau bahan dapat disebut sebagai zat pencemar atau polutan apabila
mengalami :
a. Jumlahnya melebihi jumlah normal / ambang batas
b. Berada pada tempat yang tidak semestinya
c. Berada pada waktu yang tidak tepat
Jenis- Jenis polutan misalnya
1) Karbon monoksida (CO)
2) Nitrogen Oksida ( Nox )
3) Sulfur dioksida ( SO2)
4) Benda partikulat
5) Hidrocarbon (HC)
6) Ozon ( O3 )
7) Timah hitam ( Pb)
8) Karbon dioksida (CO2)
Ada beberapa jenis ventilasi di tempat kerja:
a. Genera Ventilasi atau Dilusi Ventilasi atau Ventilai Pengenceran Udara, dan
banyak istilah yang digunkan di masyarakat industry. Pada buku ini penulis
mengunakan istilah, yaitu “Sistim Ventilasi Pengenceran Udara “ Sistim
Ventilasi Pengencran Udara, adalah pengenceran terhadap udara yang

14
terkontaminasi di dalam bangunan atau ruangan, dengan meniup udara bersih
(tidak tercemar), tujuannya untuk mengendalikan bahaya di tempat kerja.
b. Lokal Exhaust Ventilasi atau Ventilasi Pengeluaran Setempat, dalam buku ini
penulis menggukan istilah “Sitim Ventilasi Lokal”Sistim Ventilasi Lokal,
adalah proses pengisapan dan pengeluaran udara terkontominasi secara
serentak dari sumber pencemaran sebelum udara berkontominasi berada pada
ketinggian zona pernapasan tenaga kerja, dan menyebar keseluruh ruang kerja,
umummnya ventilasi jenis ini di tempatkan sangat dekat dengan sumber emisi
c. Eshausted Enclosure atau Ventilasi sistem tertutup, dimana kontaminan yang
beracun yang dipancarkan dari suatu sumber dengan kecepatan yang tinggi
harus dikendalikan dengan isolasi sempurna, atau menutup proses (kususnya
pada pekerjaan blasting). Pekerjaan balasting adalah suatu proses yang
tertutup, misalnya disebabkan oleh emisi debu silica bebas yang sangat besar.
d. Confort ventilation atau Ventilasi kenyamanan. Pertukaran udara didalam
industri merupakan bagian dari „Air Conditiong/AC, sering digunakan
bersama –sama degan alat pemanas atau alat pendingin dan alat pengatur
kelembaban udara.
e. Sistim Ventilasi Area Terbatas atau Confined Spaces adalah penerapan
ventilasi di area terbatas pada pekerjaan tertentu yang fugsinya untuk
menimalisasi polutan akibat pekerjaan yang dilksanakan didalam suatu
ruangan atau area terbatas . Misalnya pekerjaan pengelasan (Welding in
Confined Spaces).

2.3.3. Faktor-faktor bahaya dan dampak pada pekerja dalam tempat


kerja
a. Sumber bahaya
Faktor yang harus diperhatikan dalam membangun sistem ventilasi, selain
bentuk juga harus sangat diperhatikan kekuatan aliran dan tata letak ventilasi.
Letak ventilasi harus sesuai dengan priciples of dilution ventilation, terutama
untuk tempat kerja dengan resiko paparan bahan kimia.Berdasarkan standar
Industrial ventilation, a manual of recommended pratice (ACGIH, 1984)

15
kecepatan aliran udara secara umum untuk tempat dimaksud lebih dari 75 fpm.
Sedangkan detail tata letak tata letak ventilasi sebagimana gambar berikut
b. Dampak terhadap pekerja
Dalam tahap ini produksi mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi
terjadinya pencemaran. Dengan bantuan ahli toksikologi yang bertugas
mengawasi sumber dan dampak dari pencemaran udara dalam ruang
pabrik.Dalam melaksanakan tugas , toksikologis memperoleh data tentang
pencemaran udara dalam ruang produksi dari Pengalaman dan data atau catatan
perusahaan:
1) Literatur terbitan umum atau instansi berwenang
2) Informasi dari supplier( pemasok )
Dari data tersebut , toksikologis dapat menentukan hal-hal yang berkaitan dengan
dampak pencemaran udara terhadap pekerja , antara lain:

1) Toksisitas pada pernafasan Dampak mengganggu pernafasan , dapat


menimbulkan penyakit bissinosis jika pemaparan terjadi dalam jangka
panjang , penyakit paru-paru kotor , dan lain-lain.
2) Pemaparan pada mata Dampak iritasi mata luar , kornea , dan bagian
dalam.
3) Pemaparan pada kulit melalui penyerapan Dampak : Terjadi gatal-gatal
dan alergi pada kulit pekerja

Gangguan pada pencernaan Dampak: pencemar yang tertelan saat menghirup


nafas dapat menyebabkan gangguan pencernaan terutama bila mengandung toksik

2.4. Faktor Bahaya Fisik Radiasi

2.4.1. Pengertian
Faktor Bahaya Fisik Radiasi Radiasi adalah energi yang
dilepaskan, baik dalam bentuk gelombang maupun partikel. Berdasarkan muatan
listrik yang akan dihasilkannya setelah menumbuk obyek tertentu, radiasi dibagi
menjadi radiasi ion dan radiasi non-ion.

16
Radiasi non-ion mungkin akan lebih sering kita temui di sekeliling
kita seperti gelombang radio, gelombang mikro (microwave), inframerah, cahaya
tampak dan sinar ultraviolet. Sedangkan kelompok radiasi ion antara lain sinar-X
(CT- can), sinar gamma, sinar kosmik, beta, alfa dan neutron.

Bahaya radiasi biasanya lebih umum ditemukan pada jenis radiasi


ion, karena sifatnya yang akan memberi substansi bermuatan listrik terhadap
obyek yang ditabraknya. Kondisi ini biasanya akan memberikan pengaruh,
terutama bila obyek tersebut adalah mahluk hidup.

2.4.2. Bahaya radiasi terhadap tubuh


Bahaya radiasi terhadap tubuh manusia sendiri berbeda-beda, bergantung dari:

1. Sumber radiasi

Paparan yang bersumber dari sinar kosmik biasanya cenderung bisa diabaikan,
karena sebelum mencapai tubuh mahluk hidup, radiasi tersebut telah lebih dulu
berinteraksi dengan atmosfer bumi. Radiasi neutron biasanya hanya ditemukan
pada reakton nuklir. Sedangkan radiasi beta hanya mampu untuk menembus
kertas tipis, begitu pula dengan radiasi alfa yang hanyak mampu menembus
beberapa milimeter udara.

Namun sinar-X dan sinar gamma, selain terdapat di sekitar manusia, sinar ini
berbahaya bila berhasil memapari mahluk hidup. Hal ini juga dapat dibedakan
dengan radiasi yang Anda terima saat Anda melalui mesin scan tubuh di bandara
(yang intensitasnya lebih rendah), dengan radiasi yang Anda terima bila Anda
tinggal dekat wilayah yang mengalami peristiwa nuklir, karena perbedaan jenis
radiasinya.

2. Banyaknya dosis radiasi yang diterima tubuh

Pada dosis rendah, sel tubuh yang terpapar radiasi masih mampu memulihkan
dirinya sendiri dalam waktu yang tak begitu lama. Sel yang rusak hanya akan mati
dan digantikan oleh sel yang baru. Namun pada dosis yang tinggi, sel yang rusak
akan memperbanyak diri hingga menjadi sel kanker (terlebih bila pola hidup Anda

17
mendukung untuk terpapar penyakit kanker seperti perilaku merokok, konsumsi
makanan rentan karsinogen, dan sebagainya).

3. Lama paparan

Paparan radiasi pada dosis yang tinggi dalam satu waktu atau jangka pendek
juga akan menimbulkan beberapa gejala (yang disebut sindrom radiasi akut) pada
tubuh Anda seperti mual, muntah, diare, demam, lemas hingga pingsan,
kerontokan rambut, kulit memerah, gatal, bengkak hingga terasa terbakar, nyeri
hingga kejang-kejang. Gejala ini tentu akan berbeda bila Anda terpapar dalam
jangka waktu lama.

Terkadang kepekaan tubuh seseorang juga mempengaruhi dampak paparan


radiasi pada tubuh seseorang. Contohnya, radiasi gamma sebanyak 400 rem akan
menyebabkan kematian kepada seseorang bila dipapari sebanyak dua waktu yang
berbeda, dengan rentang waktu 30 hari. Namun, dosis yang sama malah tak akan
memberi efek apapun bila kita terpapar selama satu tahun dalam dosis merata
yang lebih kecil.

2.5. Faktor Bahaya Fisik Suhu Ekstrim

2.5.1. Pengertian Suhu Ekstrim


Suhu adalah ukuran panas atau dingin yang dinyatakan dalam
beberapa skala sembarang dan menunjukkan arah di mana energi panas akan
mengalir secara spontan (energi mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda
bersuhu rendah). Sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu adalah ukuran kualitatif
(dapat diukur) seberapa panas atau dinginnya sesuatu. Suhu disebabkan oleh
energi kinetik dalam suatu benda yang diukur. Semakin besar energi kinetiknya,
maka akan semakin tinggi pula suhunya. Suhu Udara Ekstrim adalah kondisi suhu
udara yang mencapai 3o C (tiga derajat celcius) atau lebih di atas nilai normal
setempat. Suhu ekstrim merupakan hazard kesehatan di tempat kerja yang
disebabkan karena suhu sangat rendah atau suhu sangat tinggi. Keadaan ini biasa
disebabkan karena iklim yang ada, juga dapat ditimbulkan karena dalam proses
produksi memerlukan temperatur ekstrim.

18
2.5.2. Pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu ekstrim
Peningkatan suhu dapat menghasilkan kenaikan prestasi kerja,
namun disisi lain dapat pula menurunkan prestasi kerja. Kenaikan suhu pada batas
tertentu dapat menimbulkan semangat yang akan merangsang prestasi kerja, tetapi
setelah melewati ambang batas tertentu kenaikan suhu ini sudah mulai
mengganggu suhu tubuh yang dapat mengakibatkan terganggunya prestasi kerja.

 Temperatur Rendah

Untuk mengidentifikasi adanya hazard temperatur dingin (rendah) dapat


ditemui pada karyawan yang bekerja pada pabrik freezer, pengepala daging,
fasilitas cold storage, dan pertanian di daerah kutub (northterm areas). Terdapat
kumpulan sinyal dari kulit dan core (kumpulan organ-organ dalam tubuh) yang
terintegrasi dengan porsi otak yaitu hipotalamus. Hipotalamus berfungsi sebagai
pengatur fungsi organ-organ tubuh termasuk temperatur tubuh dan bekerja seperti
termostat yang mengatur dan memelihara temperatur normal. Tetapi karena
terdapat pengaruh temperatur luar tubuh sangat dingin maka kerja hipotalamus
menjadi terganggu dan hal ini akan mempengaruhi tubuh, diantaranya:

1. Hipotermia yaitu perasaan yang sangat dingin sampai menggigil dan


menyebabkan denyut jantung pelan dan kadang-kadang tidak teratur, tekanan
darah lemah, kulit dingin, pernapasan tidak teratur, dan bisa terjadi kolaps. Hal
ini terjadi pada temperatur 2-100 C, pengaruh tersebut juga tergantung dari
keadaan individu yaitu: tergantung dari daya tahan tubuh, keadaan fitness,
umur dan budaya.
2. Raynound‟s phenomenon adalah keadaan pucat pada daerah jari. Raynound‟s
phenomenon ini dikaitkan dengan jumlah penyakit termasuk sistemik
skleroderma, pulmonary hipertension, multiple sklerosis yang juga disebut
penyakit Raynound‟s.
3. Chilblains adalah kelainan pada bagian-bagian tubuh menjadi bengkak, merah,
panas, dan sakit yang diselingi dengan gatal-gatal.
4. Trench foot adalah kerusakan anggota tubuh terutama pada kaki oleh
kelembaban yang dingin.

19
5. Frostbite adalah akibat terpapar temperatur yang sangat dingin dan dapat
menimbulkan gangren.

Keadaan Tubuh Saat Kondisi Dingin:

 37°C (98.6°F) ± Suhu tubuh normal (36-37.5°C/ 96.8-99.5°F).


 36°C (96.8°F) ± Menggigil ringan hingga sedang.
 35°C (95.0°F) ± (Hipotermia suhu kurang dari 35°C/95.0°F) ± Menggigil
keras, kulit menjadi biru/keabuan. Jantung nenjadi berdegup.
 34°C (93.2°F) ± Mengegil yang sanagat keras. jari kaku. kebiruan dan
bingung. Terjadi perubathatn perilaku.
 33°C (91.4°F) ± Bingung sedang hingga parah, mengantuk, depresi. Berhenti
menggigil, denyut jantung lemah, napas pendek dan tidak mampu merespon
rangsangan.
 32°C (89.6°F) ± Kondisi gawat. Halusinasi, gangguan hebat, sangat bingung,
tidur yang dalam dan menuju koma, detak jantung rendah, tidak menggigil.
 31°C (87.8°F) ± Comatose, tidak sadar, tidak memiliki reflex, jantung sangat
lambat, Terjadi gangguan irama jantung yang serius.
 28°C (82.4°) ± Jantung berhenti berdetak pasien menuju kematian.
 24-26°C (75.2-78.8°F) or less ± Terjadi kematian namun beberapa pasien ada
yang mampu bertahun hidup hingga dibawah 24-26°C (75.2-78.8°F).

 Temperatur Tinggi (Heat Stres)

Hazards temperatur tinggi (heat stres) dapat ditemukan pada operasi


perusahaan yang menggunakan peralatan yang memerlukan panas tinggi,
misalnya pengecoran biji besi atau baja, ruang pembakaran, ruang boiler, atau
peralatan- peralatan lainnya yang dalam operasinya memerlukan suhu tinggi.

20
Pengaruh heat stres terhadap tubuh adalah:

1. Heat Train adalah serangkaian respon fisiologis terhadap heat stres yang
direfleksikan pada derajat heat stres yang dapat menimbulkan gangguan
perasaan tidak nyaman sampai terjadi heat disorder.
2. Heat Rash merupakan gejala awal dari yang berpotensi menimbulkan penyakit
akibat tekanan panas. Penyakit ini berkaitan dengan panas, kondisi lembab
dimana keringat tidak mampu menguap dari kulit dan pakaian. Penyakit ini
mungkin terjadi pada sebgaian kecil area kulit atau bagian tubuh. Meskipun
telah diobati pada area yang sakit produksi keringat tidak akan kembali normal
untuk 4 sampai 6 minggu.
3. Heat Syncope adalah ganggunan induksi panas yang lebih serius. Ciri dari
gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berada dalam lingkungan
panas pada waktu yang cukup lama.
4. Heat Cramp merupakan penyakit yang menimbulkan gejala seperti rasa nyeri
dan kejang pada kakai, tangan dan abdomen banyak mengeluarkan keringat.
Hal ini disebabkan karena ketidak seimbangan cairan dan garam selama
melakukan kerja fisik yang berat di lingkungan yang panas.
5. Heat Exhaustion merupakan penyakit yang diakibatkan oleh berkurangnya
cairan tubuh atau volume darah. Kondisi ini terjadi jika jumlah air yang
dikeluarkan seperti keringat melebihi dari air yang diminum selama terkena
panas. Gejalanya adalah keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah, pening,
mual, pernapasan pendek dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh antara
(37°C – 40°C).
6. Heat Stroke merupakan penyakit gangguan panas yang mengancam nya a
yang terkait dengan pekerjaan pada kondisi sangat panas dan lembab. Penyakit
ini dapat menyebabkan koma dan kematian. ejala dari penyakit ini adalah
detak jantung cepat, suhu tubuh tinggi 40 C atau lebih, panas, kulit kering dan
tampak kebiruan atau kemerahan, tidak ada keringat di tubuh korban, pening,
menggigil, mual, pusing,kebingungan mental dan pingsan.

21
7. Multiorgan-dysfunction Syndrome Continuum merupakan rangkaian
sindrom/gangguan yang terjadi pada lebih dari satu/ sebagian anggota tubuh
akibat heat stroke, trauma dan lainnya.

Keadaan Kondisi Tubuh Saat Kondisi Panas:

 37°C (98.6°F) ± Suhu tubuh normal (36-37.5°C / 96.8-99.5°F).


 38°C (100.4°F) ± berkeringat, sangat tidak nyaman, sedikit lapar.
 39°C (102.2°F) ± Berkeringat, kulit merah dan basah, napas dan jantung
bedenyut kencang, kelelahan, merangsang kambuhnya epilepsi.
 40°C (104°F) ± Pingsan. dehidrasi, lemah, sakit kepala, muntah, pening dan
berkeringat.
 41°C (105.8°F) ± Keadaan gawat. Pingsan, pening, bingung, sakit kepala,
halusinasi, napas sesak, mengantuk mata kabur, jantung berdebar.
 42°C (107.6°F) ± Pucat kulit memerah dan basah, koma, mata gelap, muntah
dan terjadi gangguan hebat. Tekanan darah menjadi tinggi rendah dan detak
jantung cepat.
 43°C (109.4°F) ± Umumnya meninggal, kerusakan otak, gangguan dan
goncangan hebat terus menerus, fungsi pernapasan kolaps.
 44°C (11.2°F) or more ± Hampir dipastikan meninggal namun ada beberapa
pasien yang mampu bertahan hingga diatas 46°C (114.8°F).

2.5.3. Pencegahan Penyakit Bahaya Lingkungan Fisik Akibat Suhu


Ekstrim
Pada kebanyakan kasus, heat stress dapat dicegah atau setidaknya
risiko terkena heat stress dapat diminimalkan. Berikut rekomendasi pencegahan
heat stress menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA):

1. Melakukan identifikasi bahaya

Perusahaan dan pekerja wajib melakukan identifikasi bahaya paparan panas


untuk meminimalkan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan penurunan
produktivitas kerja. Kegiatan identifikasi bahaya ini meliputi:

22
 Mengenali bahaya paparan panas dan risiko penyakit akibat panas bagi
pekerja
 Menghitung indeks tekanan panas melalui pengukuran faktor-faktor
eksternal lingkungan yang mempengaruhi tekanan panas, yaitu suhu,
kelembaban, kecepatan angin, suhu kering, suhu basah dan suhu radiasi.
 Melakukan evaluasi terhadap kesehatan pekerja akibat paparan panas,
yaitu dengan mengukur tekanan darah, denyut nadi dan suhu tubuh pekerja
 Menentukan langkah pengendalian dan perbaikan untuk meminimalkan
bahaya paparan panas.
2. Melakukan pengendalian teknik

Pengendalian teknik yang dapat dilakukan adalah memasang ventilasi umum,


memasang exhaust fan, memasang dust collector, penggunaan penyekat
(shielding) terutama untuk mengurangi panas radiasi serta mengurangi suhu dan
kelembaban melalui pendingin udara.

3. Melindungi pekerja dari risiko terkena heat stress

Untuk mencegah pekerja dari heat stress, ada beberapa hal yang bisa
dilakukan. Hindari melakukan aktivitas fisik berat, lingkungan panas yang
ekstrem, paparan sinar matahari, dan lingkungan dengan kelembaban tinggi bila
memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, lakukan langkah-langkah pencegahan
berikut ini:

 Awali hari dengan minum air putih secukupnya. Hindari alkohol dan
minuman yang mengandung kafein karena dapat menyebabkan dehidrasi
 Gunakan pakaian berwarna cerah, ringan/ tipis, dan menyerap keringat
(bahan katun). Hindari pakaian berbahan sintetis.
 Lakukan diet seimbang. Konsumsi buah, sayuran, protein, serat akan
sangat membantu.
 Konsumsi cairan elektrolit, namun tidak melebihi air minum biasa
 Gunakan pelindung wajah dan leher
 Pastikan di area kerja terdapat stasiun air minum dan mudah diakses

23
 Minumlah satu gelas air setiap 15 menit, sekalipun Anda belum merasa
haus
 Lakukan istirahat secara berkala saat melakukan pekerjaan berat di
lingkungan dengan suhu panas dan kelembaban tinggi. Beristirahatlah di
tempat sejuk dan teduh.
 Pertimbangkan untuk menyediakan wadah air bertanda khusus yang berisi
air dan es untuk membasahi handuk leher, lengan dan lainnya
 Pantau kondisi fisik Anda dan rekan kerja untuk mengetahui adanya tanda
atau gejala penyakit akibat panas. Laporkan kepada supervisor bila Anda
atau menemukan rekan kerja yang mengalami gejala heat stress.
4. Aklimatisasi

Aklimatisasi terhadap suhu tinggi merupakan proses penyesuaian diri


seseorang terhadap lingkungannya. Aklimatisasi terhadap panas ditandai dengan
penurunan suhu tubuh dan pengeluaran garam dari dalam tubuh. Proses
aklimatisasi ditujukan kepada suatu pekerjaan dan suhu tinggi untuk beberapa
waktu.

Aklimatisasi panas biasanya tercapai setelah dua minggu, tergantung faktor


lingkungan kerja dan faktor pribadi individu (konsumsi obat, kondisi fisik, usia
dan berat badan). Setiap pekerja baru dan pekerja lama yang absen selama dua
minggu atau lebih dari pekerjaannya harus dimulai dengan 20% beban kerja di
hari pertama, lalu meningkat secara bertahap tidak lebih dari 20% beban kerja di
hari berikutnya.

5. Mengatur waktu kerja

Perubahan jadwal kerja dan pengaturan frekuensi istirahat dilakukan dalam


upaya untuk meminimalkan risiko paparan. Perusahaan dapat mengatur jadwal
kerja dan istirahat dengan memperhatikan NAB paparan panas. NAB ini
membatasi pemaparan panas lingkungan kerja 8 jam/ hari terhadap tenaga kerja
dengan mempertimbangkan kategori beban kerja dan pembagian waktu kerja –
istirahat.

24
2.6. Faktor Bahaya Fisik Ketinggian

2.6.1. Pengertian Bekerja Pada Ketinggian


Bekerja pada ketinggian adalah melakukan pekerjaan atau kegiatan
yang lokasinya setinggi 6 feet ( 1,8 meter ) atau lebih. Menurut Permenaker No.
09 Thn 2016, bekerja pada ketinggian adalah kegiatan atau aktifitas pekerjaan
yang dilakukan oleh Tenaga Kerja pada Tempat Kerja dipermukaan tanah atau
perairan yang terdapat perbedaan ketinggian dan memiliki potensi jatuh yang
menyebabkan Tenaga Kerja atau orang lain yang berada di Tempat Kerja cedera
atau meninggal dunia atau menyebabkan kerusakan harta benda.

Bekerja pada ketinggian dapat diartikan Kegiatan atau aktifitas


pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja pada tempat kerja yang terdapat
perbedaan ketinggian dan memiliki potensi jatuh yang menyebabkan tenaga kerja
atau orang lain cidera atau kematian dan menimbulkan kerugian.

2.6.2. Dasar Hukum yang Digunakan Bekerja Pada Ketinggian


Dasar hukum yang digunakan dalam bekerja pada ketinggian adalah :

1. Undang-undang Nomor I Tahun 1970


 Pasal 2 Ayat (2) Huruf i

Dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan;

 Pasal 4
 Mencegah dan mengurangi kecelakaan;
 Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
 memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya;
2. Permenakertrans No.08 Thn 2010
 Pasal 2
 Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat
kerja.
 APD harus sesuai SNI atau standar yang berlaku.

25
 APD wajib diberikan oleh pengusaha secara cuma-cuma
 Pasal 3 Ayat (1)
 pelindung kepala;
 pelindung mata dan muka;
 pelindung telinga;
 pelindung pernapasan beserta perlengkapannya;
 pelindung tangan; dan/atau pelindung kaki.
3. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 9 Thn 2016
 Pasal 2 : Pengusaha dan/atau Pengurus wajib Menerapkan K3 dalam
bekerja pada ketinggian.

2.6.3. Syarat Bekerja Pada Ketinggian


Persyaratan Ketika akan bekerja di atas Ketinggian adalah :

1. Pekerja harus dalam kondisi fit sebelum melakukan kegiatan bekerja di atas
ketinggian dan tidak mempunyai riwayat penyakit kronis.
2. Semua pekerja sebelum melakukan kegiatan bekerja di atas ketinggian harus
sudah mendapat pelatihan “Bekerja di Ketinggian”.
3. Prosedure kerja aman (JSEA) harus dibuat oleh semua pekerja yang terlibat
dalam bekerja di ketinggian & semua pekerja yang harus berpartisipasi dalam
rumusan JSEA.
4. Semua peralatan Penahan dan Pencegah Jatuh serta Peralatan Pendukung
harus dalam kondisi baik dan sudah diinspeksi sebelum digunakan.
5. Semua peralatan pendukung (EWP, Scaffold, Ladders, dll) sesuai dengan
persyaratan standard, dan dididirikan atau dioperasikan oleh orang yang
berkompeten.

Permenaker No 09 tahun 2016 ini mewajibkan kepada pengusaha


dan atau pengurus untuk menerapkan K3 dalam bekerja di ketinggian. Penerapan
K3 dapat dilakukan dengan memastikan beberapa hal berikut :

1. Perencanaan (Dilakukan dengan tepat dengan cara yang aman serta diawasi)
2. Prosedur Kerja (Untuk melakukan pekerjaan pada ketinggian)

26
3. Teknik (tatacara) Bekerja (yang) aman
4. APD, Perangkat Pelindung Jatuh dan Angkur
5. Tenaga Kerja (kompeten dan adanya Bagian K3)

Pada tahap Perencanaan harus memastikan bahwa pekerjaan dapat


dilakukan dengan aman dengan kondisi ergonomi yang memadai melalui jalur
masuk (access) atau jalur keluar (egress) yang telah disediakan. Kemudian masih
dalam tahap Perencanaan pihak pengusaha dan atau pengurus wajib :

1. Menyediakan peralatan kerja untuk meminimalkan jarak jatuh atau


mengurangi konsekuensi dari jatuhnya tenaga kerja
2. Menerapkan sistem izin kerja pada ketinggian dan memberikan instruksi atau
melakukan hal lainnya yang berkenaan dengan kondisi pekerjaan

Prosedur Kerja juga wajib ada untuk memberikan panduan kepada


pekerja, prosedur ini harus dipastikan bahwa Tenaga Kerja memahami dengan
baik isi yang ada di dalamnya. Beberapa hal yang harus ada di dalam prosedur
bekerja pada ketinggian meliputi :

1. Teknik dan Cara perlindungan Jatuh


2. Cara pengelolaan peralatan
3. Teknik dan cara melakukan pengawasan pekerjaan
4. Pengamanan tempat kerja
5. Kesiapsiagaan dan tanggap darurat.

Setiap pengusaha dan atau pengurus wajib memasang perangkat


pembatasan daerah kerja untuk mencegah masuknya orang yang tidak
berkepentingan. Pembagian kategori wilayah meliputi Wilayah Bahaya, Wilayah
Waspada dan Wilayah Aman.
Setiap pengusaha dan atau pengurus wajib memastikan bahwa tidak
ada benda jatuh yang dapat menyebabkan cidera atau kematian, membatasi berat
barang yang boleh dibawa tenaga kerja maksimal 5 kilogram diluar APD, berat
barang yang lebih dari 5 kilogram harus dinaik turunkan dengan menggunakan
sistem katrol.

27
Selain itu pengusaha dan/atau pengurus wajib membuat rencana
dan melakukan pelatihan kesiapsiagaan tanggap darurat. Memastikan bahwa
langkah pengendalian telah dilakukan untuk mencegah pekerja jatuh atau
mengurangi dampak jatuh dari ketinggian baik yang dilakukan pada lantai kerja
tetap, lantai kerja sementara, perancah atau scaffolding, bekerja pada ketinggian
di alam, pada saat pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya, bekerja pada
akses tali, maupun pada posisi bidang kerja miring.

2.6.4. Bahaya Bekerja pada Ketinggian


Bahaya adalah segala sesuatu termasuk sesuatu termasuk situasi
atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia,
kerusakan atau gangguan lainnya. Karena hadirnya bahaya maka diperlukan
upaya pengendalian agar bahaya tersebut tidak menimbulkan akibat yang
merugikan.

Jenis-jenis bahaya itu antara lain diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Bahaya Mekanis

Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda yang bergerak
dengan gaya mekanika baik yang digerakkan secara manual maupun dengan
penggerak. Misalnya mesin gerindra, bubut, potong, press, dan tempa. Bagian
yang bergerak pada mesin mengandung bahaya seperti mengebor, memotong,
menempa, menjepit, menekan dan bentuk gerakan lainnya. Gerakan mekanis ini
dapat menimbulkan cidera atau kerusakan seperti tersayat, terjepit, terpotong dan
terkelupas.

Pada pekerjaan di ketinggian terdapat juga bahaya mekanis, misalnya dari


peralatan mekanis yang digerakkan dengan mesin yang digunakan sebagai sarana
untuk pekerjaan di atas ketinggian, alatnya berupa forklift yang dilengkapi lantai
kerja (platform). Kalau pekerja tidak berhati-hati ketika berada di forklift bisa
menyebabkan kecelakaan yaitu terjatuh dari ketinggian.

28
2. Bahaya Listrik

Sumber bahaya yang berasal dari energi listrik. Energi listrik dapat
mengakibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik, dan hubungan
singkat. Di lingkungan kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik dari jaringan
listrik mapun peralatan kerja atau mesin yang menggunakan energi listrik. Apalagi
bahaya listrik pada ketinggian, ketika pekerja tersengat listrik pada saat bekerja
pada ujung bangunan dapat menyebabkan kecelakaan kerja yang berakibat fatal,
seperti terjatuhnya pekerja yang berujung pada kematian.

3. Bahaya Kimiawi

Jenis bahaya yang bersumber dari senyawa atau unsur atau bahan kimia.
Bahan kimia mengandung berbagai potensi bahaya sesuai dengan sifat dan
kandungannya. Banyak kecelakaan terjadi akibat bahaya kimiawi, begitu juga
pada pekerjaan di ketinggian. Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan
kimia antara lain, keracunan oleh bahan kimia yang bersifat racun, iritasi oleh
bahan kimia yang memiliki sifat iritasi seperti asam kuat, kabakaran dan ledakan.
Polusi dan pencemaran lingkungan. Ketika terjadi ledakan atau kebakaran pada
ketinggian tertentu dan pekerja sulit untuk menyelamatkan diri, kemungkinan
mereka akan loncat atau terjun ke bawah.

4. Bahaya Fisik

Bahaya yang berasal dri faktor-faktor fisik ialah seperti, bising, tekanan,
getaran, suhu panas atau dingin, cahaya atau penerangan, dan radiasi dari bahan
radioaktif (sinar UV atau infra merah). Pada pekerjaan di ketinggian bahaya fisik
misal kebisingan dan penerangan dapat menyebabkan kecelakaan kerja ketika 20
pekerja sedang berada diatas ketinggian, kurangnya penerangan membuat pekerja
tidak bisa jelas melihat lubang atau tidak hati-hati ketika menaiki tangga dan
akibatnya bisa membuat pekerja terjatuh maupun terpeleset dari ketinggian
bangunan.

29
5. Bahaya Biologis

Di berbagai lingkungan kerja terdapat bahaya yang bersumber dari unsur


biologis seperti flora fauna yang terdapat di lingkungan kerja atau berasal dari
aktifitas kerja. Potensi bahaya ini ditemukan dalam industri makanan, farmasi,
pertanian, pertambangan, minyak dan gas bumi. Beberapa bahaya yang ada pada
saat bekerja pada ketinggian antara lain terjatuh (falling down), terpeleset (slips),
tersandung (trips), dan kejatuhan material dari atas (falling object). Dari keempat
bahaya yang ada, yang merupakan faktor penyebab terbesar cidera berat adalah
terjatuh dari ketinggian.

Bekerja dalam posisi di ketinggian memang memerlukan


penanganan khusus yang dikarenakan kondisinya yang tidak lazim. Pada dasarnya
ada 4 terpenting yang harus diperhatikan dalam menangani pekerjaan pada posisi
di ketinggian yaitu: pelaku atau pekerja, kondisi lokasi (titik atau lokasi
pekerjaan), teknik yang digunakan, dan peralatan.

Bekerja pada ketinggian menuntut para pekerja untuk mengetahui


bagaimana pekerja dapat melakukan pekerjaannya pada ketinggian dalam keadaan
safety, menguasai lokasi pekerjaan terutama mengenai tingkat risiko yang dapat
ditimbulkannya, memiliki teknik yang dapat mengantisipasi risiko bekerja di
ketinggian serta didukung peralatan safety yang 21 disesuaikan dengan kebutuhan
atau spesifikasi pekerjaan yang akan dilakukan. Namun demikian, hal yang
terpenting dalam melakukan suatu pekerjaan adalah kualitas dari hasil pekerjaan
yang dilaksanakan.

2.6.5. Alat Pelindung Diri (APD) bekerja pada ketinggian


Komponen Sistem Perlindungan Bahaya Jatuh

1) Safety Belt

Fungsi dari safety belt sebetulnya sama seperti full body harness, namun
bedanya secara penggunaan alat pelindung jatuh ini hanya dikaitkan ke bagian
pinggang pekerja saja dan bagian lanyard dikaitkan ke anchor. Safety belt

30
sebaiknya tidak dipergunakan untuk pekerjaan yang memungkinkan pekerjanya
bisa terjatuh dari ketinggian. Sebab bila pekerja terjatuh, ia masih bisa mengalami
cedera pada bagian pinggang ataupun tulang belakangnya, meskipun pekerja yang
terjatuh tidak mengenai permukaan tanah atau dalam posisi tergantung. Pastikan
memasang pagar pengaman jika Anda tetap ingin menggunakan safety belt saat
bekerja di ketinggian.

2) Full Body Harness

Penggunaan full body harness bermanfaat untuk mengurangi risiko cedera


fatal akibat terjatuh dari ketinggian. Full body harness didesain untuk melindungi
seluruh bagian tubuh pekerja seperti bahu, paha bagian atas, dada, dan panggul,
sehingga lebih aman saat bekerja di ketinggian. Penggunaan full body harness
dilengkapi D-Ring yang terletak di belakang dan dapat dipasangkan ke lanyard,
lifeline, dan komponen lain yang kompatibel dengan body harness.

3) Shock Absorber

Shock absorber (peredam kejut) didesain untuk menyerap energi kinetik dan
mengurangi tekanan yang timbul akibat terjatuh. Alat penahan jatuh ini memiliki
tiga fungsi penting, di antaranya:

 Mengurangi kekuatan tekanan maksimal dalam menahan tubuh pekerja


saat terjatuh
 Mengurangi atau mencegah kerusakan komponen fall arrest systems
(sistem penahan jatuh)
 Mengurangi kekuatan tekanan pada anchor

Shock absorber biasanya diproduksi terpisah atau dirancang menyatu dengan


lanyard. Menurut standar CSA Z259.11, shock absorber dapat meningkatkan
panjang lanyard hingga 1,2 meter ketika menerima beban 100 kg dan jatuh dari
ketinggian 1,8 meter.

31
4) Lanyard

Adalah tali pendek pengikat yang umumnya berfungsi untuk menahan


guncangan bila pekerja terjatuh bebas. Pekerja bisa menggunakan lanyard untuk
membatasi guncangan saat jatuh bebas dengan panjang maksimum 1,2 meter.
Sebaiknya pasang lanyard/ pasang hook di atas atau paling tidak sejajar dengan
dada, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jarak vertikal atau jarak jatuh tubuh
pekerja. Sebuah lanyard selalu diposisikan antara anchor point dan body harness.

5) Anchor point (anchor)

Sebelum bekerja di ketinggian, pekerja harus memastikan bahwa anchor yang


tersambung pada lifeline dan/atau lanyard harus kuat, stabil, dan lokasinya sudah
sesuai. Jika penggunaan anchor diperuntukkan sebagai pelindung/ penahan
pekerja dari kemungkinan terjatuh, anchor harus mampu menahan beban
setidaknya 3,5 kN (363 kg) atau setara dengan empat kali berat pekerja.
Sedangkan, jika penggunaan anchor sebagai penahan saat terjatuh, anchor harus
mendukung setidaknya 22 kN (2,5 ton).

6) Fall arrestor (rope grab)

Perangkat ini digunakan bila pekerja membutuhkan perpindahan tempat atau


bergerak secara vertikal, biasanya berjarak cukup panjang. Bila pekerja bergerak
ke atas, maka rope grab akan ikut bergerak naik mengikuti gerakan pekerja, tetapi
bila pekerja tersebut tiba- tiba terjatuh, maka perangkat ini secara mekanik akan
mencengkeram lifeline.

7) Lifeline

Lifeline didefinisikan sebagai tali pengaman fleksibel yang terbuat dari serat,
kawat, atau anyaman. Lifeline ini biasanya dikaitkan pada anchor point. Lifeline
harus memiliki kekuatan daya tarik minimum 2,75 ton atau setara dengan
diameter tali 60 mm. Perangkat ini bisa dipasangkan secara vertikal ataupun
horizontal, tergantung kebutuhan. Pastikan lifeline benar-benar terpasang aman
ke anchor point dan tidak mengalami kerusakan apapun.

32
8) Retractable lifeline

Cara kerja retractable lifeline hampir sama seperti cara kerja seat belt mobil.
Ketika pekerja melakukan gerakan vertikal atau horizontal, maka lifeline akan
memanjang atau menarik kembali ke kondisi semula secara otomatis dan akan
mengunci apabila terjadi tarikan secara tiba-tiba (pekerja terjatuh). Hal penting
yang harus diperhatikan saat menggunakan retractable lifeline adalah pastikan
perangkat ini dalam posisi tegak lurus dengan tubuh pekerja untuk menghindari
pendulum effect.

2.6.6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam bekerja Di


ketinggian.
Dalam pekerjaan diketinggian atau pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian lebih dari 1.8 meter dari lantai kerja atau pada area yang berpotensi
jatuh dari ketinggian lebih dari 1.8 meter :

1. Pastikan Surat Ijin Kerja untuk bekerja di ketinggian telah dikeluarkan oleh
pemilik otoritas;
2. Pekerja telah diberi induksi serta telah dilakukan Risk Assesment;
3. Pastikan bahwa kondisi fisik pekerja sehat (lakukan pengecekan fisik sebelum
pekerja melakukan pekerjaan diketinggian);
4. Area di bawah pekerjaan di ketinggian harus diberi tanda keselamatan
/spanduk (rambu) “Ada Pekerjaan di Atas” dan pasang barikade sekitar lokasi;
5. Pelajari dan pahami serta memakai sistem perlindungan jatuh dengan
menggunakan alat pelindung diri yang tepat atau alat pelindung diri yang
disyaratkan (safety helmet, safety body harnesss, safety shoes / sepatu kerja
dll);
6. Sebelum Anda memulai pekerjaan di ketinggian, pastikan APD yang
digunakan dalam kondisi baik
7. Alat pelindung kerja (carmantel/ rope, slide chuck, carabiner,safety net,
lifeline (pipa atau wire rope / sling) dll) sudah disiapkan dan dipakai;

33
8. Alat pelindung diri yang disyaratkan harus dicantolkan atau dipasang pada
titik kait yang sudah disediakan;
9. Jika menggunakan tangga, lakukan pemeriksaan sebelumnya dan pakailah
tangga yang memenuhi syarat keselamatan kerja dengan menggunakan
(Ladder Inspection Tag);
10. Jika menggunakan scaffolding, lakukan pemeriksaan dan pakailah scaffolding
yang memenuhi syarat keselamatan kerja dan ber Tagging layak pakai;
11. Peralatan yang akan dibawa harus disimpan/diletakkan pada tempat yang
aman dari bahaya jatuh;
12. Bila ada pekerjaan panas/api di kerja ketinggian, ijin kerja keperjaan panas
harus dipenuhi;
13. Pastikan agar semua material yang digunakan pada saat pekerjaan di
ketinggian aman dan tidak menyebabkan kemungkinan terjatuh ke permukaan;
14. Jika melihat benda jatuh, atau material yang dikerjakan jatuh, agar segera
berteriak untuk mengingatkan orang yang dibawah ntuk menghindar;
15. Persiapkan SOP keadaan darurat seperti terjatuh dari ketinggian atau ada
orang tertimpa benda jatuh.

34
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Lingkungan fisik di tempat kerja sangat penting bagi kinerja, kepuasan,
hubungan sosial karyawan dan kesehatan karyawan. Lingkungan kerja fisik
menurut Sedarmayanti (2013:19) adalah semua keadaan berbentuk fisik yang
terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.

Adapun bahaya-bahaya fisik yang akan dijumpai di lingkungan kerja adalah


bahaya kebisingan, bahaya pencahayaan, bahaya radiasi, bahaya suhu ekstrim,
bahaya ventilasi, dan bahaya ketinggian. Untuk itu diperlukan penanganan
ataupun pengendalian agar faktor faktor tersebut tidak mengganggu kesehatan
pekerja. Seperti contohnya pada kebisingan dilakukan pengendalian berupa
pengurangan kebisingan pada sumbernya, penempatan penghalang pada jalan
transmisi, dan proteksi dengan sumbat atau tutup telinga. Pengendalian pada
faktor pencahayaan dilakukan dengan pengendalian teknis dan administrative,
pengendalian pada suhu ekstrim dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi
bahaya, melakukan pengendalian teknik, melindungi pekerja dari risiko tekanan
heat stress, mengatur waktu kerja, pada pengendalian bahaya ketinggian
digunakan alat pelindung diri.

3.2. Saran
Bahaya atau resiko dalam kecelakaan kerja akan selalu ada, contohnya pada
bahaya fisik dilingkungan kerja untuk itu diperlukan penanganan ataupun
pengendalian agar faktor faktor tersebut tidak mengganggu kesehatan pekerja.

35
DAFTAR PUSTAKA
Aditama,Tj.Y.2006. Kesehatan dan Keselamatan Kerja.UI-Press.Jakarta

Anonim. “Jenis-Jenis Ventilasi dan Hubungannya.” 2013,


http://www.tawiliran.com/2013/07/jenis-jenis-ventilasi-dan-
hubungannya.html diakses 7 September 2021 Pukul 15.30

Anonim. “K3 Bekerja di Ketinggian.” 2020, http://agtry.com/k3-bekerja-di-


ketinggian/ diakses 7 September 2021 pukul 21.00

https://www.safetyshoe.com/bekerja-di-ketinggian-peraturan/

https://dokumen.tips/documents/penyakit-akibat-kerja-karena-temperatur-
ekstrim.html

Munif. “Prinsip Kerja Ventilasi.” 7 Desember 2012,


http://inspeksisanitasi.blogspot.co.id/2012/12/prinsip-kerja-ventilasi.html
diakses 7 September 2021 Pukul 21.50

Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat-Syarat


Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan dalam Tempat Kerja

Siswanto A, Haryuti, Agustin Idayanti Titus, 1990. Kebisingan. Surabaya : Balai


Hiperkes dan Keselamatan Kerja.
SNI 16-7062-2004 tentang Pengukuran Intensitas Penerangan di Tempat Kerja

Suma‟mur, 2013. HIGIENE PERUSAHAAN dan KESEHATAN KERJA


(HIPERKES). Jakarta: Sagung Seto

36

Anda mungkin juga menyukai