Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Disusun oleh :

Nama : Rismayanti
NIM : 1911102415029
Kelas :D
Kelompok :6
Dosen Pengampu : Apt. Rizki Nur Azmi., M.Farm.

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
B. Tujuan Praktikum
1. Bagaimana cara pemisahan dengan menggunakan metode kromatografi
lapis tipis
2. Bagaimana cara pemisahan pigmen warna dan tinta dengan menggunakan
metode kromatografi lapis tipis (KLT)
C. Dasar Teori
Kromatografi lapis tipis adalah Teknik kromatografi yang digunakan untuk
memisahkan campuran, kromatografi lapis tipis dilakukan pada selembar kaca,
plastic atau alumunium foil yang dilapisi oleh lapisan tipis bahan absorben
biasanya silica gel, alumunium oksida atau selulosa (kertas biotter) lapisan
absorben ini dikenal sebagai fase diam setelah sampel diaplikasikan pada plat
pelarut atau campuran pelarut (dikenal sebagai fase gerak) ditarik plat melalui
pipa kapiler, karena analit yang berbeda naik ke plat KLT pada laju yang berbeda
pemisahan tercapai (Bale dan Anubha, 2015).
KLT merupakan metode pemisahan senyawa kimia secara kimia fisika
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi atau rasio distribusi dari komponen
campuran dua fase yaitu : fase diam dan fase gerak (Syarifuddin. Dkk, 2019).
Pereaksi spesifik digunakan untuk golongan senyawa seperti pereaksi
mayer dan dragendorff untuk identifikasi senyawa alkaloid , pereaksi FeCl3 untuk
identifikasi senyawa dan triterpenoid, gelatin untuk identifikasi senyawa steroid
dan triterpenoid, gelatin untuk identifikasi senyawa monoterpenoid dan
sesquiterpenoid dan KOH untuk identifikasi senyawa kuinon (Sandy, Dkk. 2020).
Pemisahan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan beberapa kali
menggunakan beberapa eluen dengan tingkat kepolaran yang berbeda untuk
mendapatkan pelarut yang mampu memberikan pemisahan yang baik serta noda
zat utama yang bagus, bercak pada plat KLT dimonitor dibawah lampu UV
254nm dan UV 365nm, penentuan golongan senyawa pada uji KLT dilakukan
dengan penyemprotan plat KLT dengan beeberapa pereaksi (Alen, Dkk. 2017).
Fase gerak pada umumnya berdasarkan pada studi Pustaka dan coba
coba (Trial and error) system eluen yang paling sederhana yaitu campuran
kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan
dapat terjadi secara optimal (Wulandari, 2015).
BAB II

METODE KERJA

A. Alat dan Bahan


Alat :
a. Batang pengaduk
b. Vial
c. Cawan porselin
d. Sendok tanduk
e. Gelas ukur
f. Pinset
g. Alat UV

Bahan :

a. Ekstrak tanaman
b. Alumunium foil
c. Lempeng silica
d. Tisu
B. Cara Kerja
1. Penyiapan lempeng L:T dan penjenuhan Chamber
a. Penyiapan llempeng silica gel
Lempeng silica gel F 254 yang berukuran 20 x 20 cm dipotong
dengan ukuran 7cm x 1cm (untuk 1 ekstrak) lempeng diberi garis
penotolan menggunakan pensil 2b pada bawah dengan 1 cm dan
garis bagian atas 0,5cm dari bagian atas
b. Penjenuhan chamber
Disisipkan 2 buah chamber yang bersih lengkap dengan
penutupnya chamber (1) dan (2) diisi dengan eluen dengan
kepolaran yang berbeda, kemudian dimasukan potongan kertas
saring yang panjangnya lebih tinggi chamber dan kemudian ditutup,
eluen dibiarkan hingga naik melalui kertas saring hingga melewati
penutup kaca (Chamber dianggap terlalu jenuh)
2. Penotolan sampel pada lempeng
a. Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
b. Ekstrak n-heksan (dilarujtkan dengan etil asetat) ekstrak etil asetat
(dilarutkan dengan menggunakan pipa kapiler kemudian ditotolkan
hati hati pada lempeng yang telah disiapkan (jika memungkinkan
untuk tujuan kuantitatif gunakan mikropipet sebanyak 5-20
mikroliter) lempeng yang telah ditotol diangin anginkan sebentar
untuk menguapkan pelarutnya lalu dimasukan kedalam chamber
yang telah dijenuhkan, bila eluen telah mencapai batas atas dari
lempeng silica gel, maka lempeng tersebut dapat dikeluarkan.
Amati secara lagsung dan dengan menggunakan penampak bercak
UV 254nm dan UV 365nm

C. Hasil Pengamatan
BAB III

PEMBAHASAN

Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam rimpang


temulawak memungkinkan tanaman ini juga dapat digunakan sebagai bahan
alternatif bioherbisida. Hasil skrining menunjukan beberapa senyawa metabolit
sekunder dalam rimpang temulawak yaitu fenol, terpenoid, flavonoid, saponin,
alkaloid dan tannin. Jika senyawa metanolit sekunder seperti fenol, terpenoid,
flavonoid adalah senyawa alelokimia yang dapat menghambat pembelahan sel.
Oleh karena itu, tanaman ini mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi
bahan bioherbisida alami.( Puspasari, dkk ,2017)

Hasil kromatografi lapis tipis menunjukkan komponen penyusun minyak


atsri rimpang temulawak yang diambil dari kebun pada ketinggian ± 600 m dpl
dapat dilihat dari jumlah spot dan Rf hasil kromatografi. Berdasarkan hasil
tersebut dapat pula diduga bahwa komponen penyusun minyak atsiri rimpang
temulawak minimal tersusun dari delapan komponen minyak atsiri dengan Rf
minimal sebesar 0,11 dan Rf maksimal sebesar 0,74. Berdasarkan spot yang
muncul pada plat KLT, spot dengan Rf sebesar 0,74 diduga senyawa tersebut
merupakan senyawa dominan dalam minyak atsiri rimpang temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.), dimana dugaan ini didasari oleh ukuran spot yang lebih besar
apabila dibandingkan dengan ukuran spot yang lain (Sudrajad dan Azar, 2011).

Analisa TLC dilakukan dalam berbagai tahap yaitu persiapan


kromatografi, aplikasi sampel pada lempeng TLC, menjalankan kromatograf dan
menentukan nilai Rf. Dalam kromatografi adsorpsi pengelusi eluen naik sejalan
dengan polaritasnya. Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan
campuran dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus
mempunyai kemurnian yang tinggi agar tidak terdapat zat pengotor yang dapat
menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan. Untuk membantu identifikasi
zat-zat yang dapat dihitung nilai Rf dari masing-masing zat yang ada pada
kromatogram. Nilai Rf dapat dihitung dengan perbandingan jarak spot dibagi
dengan jarak permukaan eluen. (Lucy, dkk, 2017)

Dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis, maka komponen


yang terdapat pada temulawak dapat dipisahkan. Dalam kromatografi ini,
lempeng kromatografi lapis lipis yang berupa gel silika berperan sebagai fase
diam sedangkan fase geraknya yaitu kloroform dan metanol dengan
perbandingan 95:5. (Lucy, dkk, 2017)

Nilai Rf (Faktor Retensi / Retention Factor) didefinisikan sebagi


perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada permukaan fase diam
dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.Semakin
besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa
tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Nilai RF didapatkan dengan cara
batas atas dan batas bawah pada plat klt masing-masing dikurangi 1 cm
kemudian jarak tempuh komponen (solute) dibagi dengan jarak tempuh eluen
(solvent) (Sa,adah,2017).

Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak
bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis.Saat
membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah kondisi kromatografi yang
sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi
dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis. Nilai Rf dapat dijadikan
bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi nilai Rf memiliki nilai
yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang
sama atau mirip. Sedangkan, bila nilai Rfnya berbeda, senyawa tersebut dapat
dikatakan merupakan senyawa yang berbeda. (Deinstrop, E.H., 2017).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil tersebut dapat pula diduga bahwa komponen penyusun


minyak atsiri rimpang temulawak minimal tersusun dari delapan komponen
minyak atsiri dengan Rf minimal sebesar 0,11 dan Rf maksimal sebesar 0,74.
Berdasarkan spot yang muncul pada plat KLT, spot dengan Rf sebesar 0,74
diduga senyawa tersebut merupakan senyawa dominan dalam minyak atsiri
rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.), dimana dugaan ini didasari
oleh ukuran spot yang lebih besar apabila dibandingkan dengan ukuran spot
yang lain.

B. Saran
Untuk praktikan selanjutnya diharapkan agar lebih berhati-hati dalam
proses elusi dan pengukuran RF serta RG.
DAFTAR PUSTAKA

Alen, Yohanes, DKK. 2017. Analisis Kromatografi Lapis Tipis dan Aktifitas
Antihiperurisemia Ekstrak Rebung Schizostachyum Kurz (Kurz pada mencit
putih) Jurnal Sains Farmasi dan Klinis : 146-152

Bele, Archana A dan Anubha Khale, 2010. An Over View on Thin Layer
Chromatography. UPSR. Vol. 2 : 256-267

Sandy, Fuji Fadhilla, dkk. 2020, Review : Analisis Kualitatif dan Kuantitatif kandungan
Senyawa Kimia Herba Sosaladan (Peperomia Pellucida (L) H.B.K) Jurnal
Sains dan Kesehatan Vol. x No. x

Syarifuddin, Alifian, dkk. 2019. PRofil KLT Bioautografi dan Denisometri Fraksi
Terakhir (isolate KP13) dari bakteri Rizosfer Kayu putih (Melaluca
ieucadendron L) Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Volume V No. 1 : 27-33

Wulandari, Lestyo : 2015, Kromatografi Lapis tipis (KLT) Jember : PT. Taman
Kampus Presindo

Anda mungkin juga menyukai