Anda di halaman 1dari 19

Nama : Wensi Audina

NBI : 1231900195
Prodi : Ekonomi Pembangunan
Mata Kuliah / Kelas : Ekonomi Sumber Daya Manusia / M
Dosen Kuliah : Dr. Arga Christian Sitohang, S.E., M.M.

Type : Tugas Individu


Artikel 1 :

Kondisi penyerapan tenaga kerja akibat kenaikan upah minimum


Andhika Bhagaskara1, Muhammad Iqbal Herdiyansyah2, Muhammad Afandi3, Rahadian Yoga
Christie4
1,2,3,4Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
1Email: bhagas39@gmail.com
2Email: iqbalherdiansyah@gmail.com
3Email: afandiple@student.ub.ac.id
4Email: rahadianyg@gmail.com

Abstrak
Jumlah penduduk Indonesia saat ini sebesar 267 juta penduduk dan setiap tahunnya terus
mengalami peningkatan. Berdasarkan data World Bank tahun 2019, jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2015 sebesar 258 juta jiwa, tahun 2016 sebesar 261 juta jiwa, tahun 2017 sebesar 264 juta jiwa,
dan terakhir pada tahun 2018 sebesar 267 juta jiwa. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk,
Indonesia masih memiliki persoalan sosial dan ekonomi. Persoalan yang sangat berkaitan dengan
semakin meningkatnya populasi yang ada dan mengingat terus meningkatnya jumlah penduduk usia
produktif, masalah ketenagakerjaan menjadi persoalan pokok yang terjadi di Indonesia. Tujuan dari
tulisan ini adalah untuk mengetahui dampak dari kenaikan upah minimum terhadap penyerapan tenaga
kerja. Penelitian ini menggunakan metode analisa pendekatan deskriptif dengan menggunakan kajian
literatur. Hasil yang dapat disimpulkan, bahwa kenaikan upah minimum di Indonesia menyebabkan
penurunan permintaan tenaga kerja. Penetapan upah minimum juga dapat menimbulkan berpindahnya
tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri. Di sisi lain, kenaikan upah minimum dapat
mengurangi kesenjangan, di mana upah minimum dapat disesuaikan berdasarkan pada keterampilan
dan kualitas pekerja.
Kata Kunci: pertumbuhan penduduk; upah minimum; penyerapan tenaga kerja

Conditions of employment due to the increase in minimum wages


Abstract
The current population of Indonesia is 267 million and continues to increase every year.
Based on World Bank data in 2019, Indonesia's population in 2015 amounted to 258 million people, in
2016 there were 261 million people, in 2017 there were 264 million people, and in 2018 there were
267 million people. With the increasing population, Indonesia still has social and economic problems.
Issues that are closely related to the increasing population and given the continued increase in the
population of productive age, labor problems are a major problem that occurs in Indonesia. The
purpose of this paper is to determine the impact of the increase in the minimum wage on employment.
This research uses a descriptive approach analysis method using a literature review. The results can
be concluded, that the increase in the minimum wage in Indonesia causes a decrease in labor demand.
Determination of minimum wages can also cause a shift in the labor of the agricultural sector to the
industrial sector. On the other hand, raising minimum wages can reduce inequality, where minimum
wages can be adjusted based on the skills and quality of workers.
Keywords: Population growth; minimum wage; employment

PENDAHULUAN
Persoalan ketenagakerjaan utamanya masalah pengangguran masih menjadi suatu hal yang
perlu dibenahi di Indonesia. Di mana pada akhir tahun 2018 di Indonesia, tingkat pengangguran
terbuka (TPT) berada di angka 5,34%, BPS (2019). Jika dilihat berdasarkan kelompok usianya, tingkat
pengangguran terbuka menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2018 dapat dilihat bahwa tingkat
pengangguran terbuka terbanyak dominan berada di antara 15-40 tahun. Padahal usia di antara angka
tersebut adalah termasuk golongan tenaga kerja dengan usia produktif. Hal ini mengindikasikan bahwa
negara belum mampu mengatasi tidak hanya persoalan penyediaan lapangan kerja, tetapi juga belum
mampu memanfaatkan tenaga kerja-tenaga kerja di usia produktif.

30

25

20

15

Gambar 1. Tingkat pengangguran terbuka menurut kelompok usia tahun 2018


Namun, tidak hanya karena keterbatasannya ketersediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi
dan kebijakan upah minimum berpengaruh juga pada masalah pengangguran atau masalah
10
ketenagakerjaan, Wihastuti & Rahmatullah (2018). Dengan pertumbuhan ekonomi, dapat
meningkatkan produktivitas perekonomian dan membuat perluasan angkatan kerja. Pertumbuhan
ekonomi juga akan memberikan dampak pada pemerataan pendapatan yang dapat dilihat dari besar
kecilnya pendapatan riil per kapita.
Kebijakan upah minimum juga dapat dikatakan sebagai salah satu faktor dalam mempengaruhi
5
penyerapan tenaga kerja yang sudah banyak digunakan negara-negara di dunia terutama Indonesia.
Pasal 88 ayat (1) Bab 10 tentang pengupahan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun
2003 adalah peraturan yang mengatur kebijakan upah minimum di Indonesia. Upah minimum ini
memiliki tujuan dalam pelaksanaannya untuk pekerja agar upah yang didapat menjadi jelas dan tidak
turun untuk memenuhi kebutuhan dan biaya hidup. Upah minimum juga bisa menjadi penjamin untuk
suatu 0perusahaan agar produktivitas pekerja tetap terjaga.
Dalam teorinya, harga pekerja digambarkan pada tingkat upah yang berlaku. Di mana antara
banyaknya15-19
pekerja20-24 25-29
yang dibutuhkan 30-34 33-39perusahaan
oleh suatu 40-44 45-49 50-54 kerjanya
sebagai tenaga 55-59 60 Ke atas tingkat
dengan
upah yang berlaku adalah gambaran dari suatu permintaan terhadap tenaga kerja, Sudarsono (1990).
Dalam praktiknya dan dalam penerapannya di Indonesia, kebijakan penetapan upah minimum dapat
dilakukan dalam wilayah provinsi dan wilayah kota atau kabupaten. Di Indonesia, tingkat upah
minimum rata-rata nasional setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, seperti yang terlihat pada
grafik di bawah ini.
2500000

2000000

1500000

1000000 Gambar 2. Upah minimum rata-rata nasional tahun 2005-2016


Pada gambar 2, setiap tahunnya mulai tahun 2005 hingga 2016, upah minimum rata-rata
nasional yang ditetapkan di Indonesia selalu mengalami kenaikan. Di mana pada tahun 2016, upah
minimum rata-rata nasional mencapai 1,9 juta rupiah per bulannya. Tentu saja kenaikan upah
minimum ini adalah salah satu wujud untuk tercapainya kesejahteran masyarakat atau untuk
mengurangi kesenjangan. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian yang memberikan hasil bahwa
500000
upah minimum berpengaruh positif terhadap tenaga kerja, di mana upah meningkat atau naik
merupakan suatu insentif untuk tenaga kerja yang terampil, Indradewa dan Natha (2014); Wihastuti &
Rahmatullah (2018). Namun, dalam beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa penurunan
penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh adanya kenaikan upah atau adanya hubungan yang negatif
dari kedua hal tersebut, Buchari (2015). Dari berbagai penelitian-penelitian tersebut fokus pada tujuan
untuk melihat 0faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Berbeda pada penelitian
sebelumnya, tujuan penelitian ini lebih spesifik dan menekankan untuk melihat bagaimana kondisi
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
penyerapan tenaga kerja akibat adanya kenaikan upah minimum.
Tinjauan pustaka
Negara Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar. Hal inilah yang membuat jumlah
penawaran tenaga kerja yang dimiliki Indonesia pun besar. Penawaran tenaga kerja inilah yang
akhirnya direspon oleh permintaan tenaga kerja pada pasar tenaga kerja atau labour market. Menurut
Sulistiawati (2012), pasar tenaga kerja tidak jauh berbeda dengan pasar lain, dimana terdapat
permintaan dan penawaran, tetapi terdapat perbedaan dengan pasar lain. Perbedaannya terletak pada
permintaan tenaga kerja yang bergantung pada permintaan output yang dihasilkan. Adanya permintaan
dan penawaran tenaga kerja inilah yang menciptakan upah tenaga kerja.
Adapun makna dari nilai tukar suatu barang, yaitu dihitung dari biaya yang dikorbankan untuk
menghasilkan barang. Biaya yang dikorbankan itu terdiri dari biaya input, seperti bahan mentah dan
upah yang dikeluarkan untuk membayar pekerja. Jenis upah ini yang disebut dengan upah alami,
Deliarnov (2009). Fenomena pergerakan upah digambarkan pada kurva pasar bebas kompetitif
tradisional. Kurva ini menggambarkan bagaimana tingkat upah dapat berubah akibat permintaan dan
penawaran akan pekerja pada pasar tenaga kerja. Besaran upah alami ini disesuaikan dengan standar
dan biaya hidup masyarakat. Harga tenaga kerja yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran,
yaitu tenaga kerja mendapatkan penerimaan yang jumlahnya sama dengan nilai produktivitasnya,
Mankiw (2003).
Titik We pada gambar 3, merupakan tingkat keseimbangan upah. Pada titik W2, memiliki
tingkat upah yang lebih besar dari titik We, di mana hal tersebut membuat penawaran lebih besar dari
jumlah permintaannya, sehingga terjadi persaingan yang tinggi di antara tenaga kerja demi
mendapatkan pekerjaan. Hal ini akan menyebabkan menurunnya tingkat upah mendekati atau bahkan
tepat di titik We. Sedangkan pada tingkat upah di titik W1, jumlah permintaan akan tenaga kerja
melebihi jumlah penawarannya, sehingga terjadi kompetisi diantara para produsen atau pemilik modal
dalam mendapatkan tenaga kerja. Fenomena ini dapat mendorong kenaikan upah mendekati atau
bahkan tepat ke titik We. Kekurangan dari model yang digunakan, yaitu pasar bebas tradisional, masih
kurangnya bukti yang diberikan perihal realita terkait upah dan lapangan pekerjaan, terkhusus pada
negara-negara berkembang. Pergerakan aktivitas penawaran dan permintaan tenaga kerja tidak
sepenuhnya mampu membuat upah riil mencapai titik We atau tingkat keseimbangan upah.

Gambar 3. Kurva penentuan tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah : pendekatan pasar bebas
Namun menurut Todaro (2000), serikat buruh seringkali membuat tingkat upah menjadi turun
dan tidak mudah diatur pada tingkat upah yang menggunakan satuan uang. Upah yang merupakan
timbal balik dari pemilik modal untuk tenaga kerja dalam bentuk tunai wajib ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan serta atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemilik modal dengan
tenaga kerja. Peraturan menteri ini menetapkan pula upah minimum pada tingkat provinsi setidaknya
lima persen lebih tinggi dibandingkan standar yang telah ditetapkan. Begitupun dengan upah
minimum pada tingkat kabupaten/kota lima persen lebih tinggi dibandingkan standar yang telah
ditetapkan untuk kabupaten.kota tersebut.
Namun hal ini masih sulit untuk dilakukan oleh perusahaan atau pemilik modal dikarenakan
tingkat upah minimum yang ditetapkan terbilang tinggi dibandingkan dengan produktivitas tenaga
kerja di Indonesia. Hal inilah yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di pasar tenaga kerja.
Pengaruh upah minimum yang diterapkan pada tingkat provinsi memiliki korelasi negatif dengan
penyerapan tenaga kerja, Wihastuti dan Rahmatullah (2018). Sesuai dengan teori permintaan, tingkat
upah yang meningkat akan menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan begitupun sebaliknya.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode analisa deskriptif kualitatif yang banyak
menggunakan kajian literatur. Analisa deskriptif kualitatif ialah analisis yang didasarkan dengan
menemukan hubungan permasalahan yang ditemui dari dua variabel permasalahan, sehingga
menemukan titik tengah sebagai penyelesaian yang saling berkorelasi. Adapun studi literatur adalah
instrumentasi penelitian dengan cara mengumpulkan berbagai macam literatur relevan baik itu jurnal,
working paper, dan sumber yang lain sebagainya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan
yang diangkat oleh jurnal ini.
Langkah yang dilakukan di dalam penelitian ini, yang pertama mencari dan menemukan
masalah yang ada yang berhubungan dengan masalah upah minimum yang berdampak kepada
penawaran tenaga kerja. Lalu dilanjutkan dengan melakukan tinjauan pustaka pada sumber artikel
yang sejenis dengan judul. Ketiga, dengan menganalisis sumber yang ada untuk memahami konsep
yang sejenis. Dilanjutkan dengan mengumpulkan data sesuai realita terkait yang akan dibahas. Tahap
terakhir, dengan menulis jurnal ini berdasarkan argumentasi, analisis, dan data yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cakupan upah minimum
Indonesia adalah negara dengan struktur lapangan pekerjaan dan perekonomiannya masih
bersifat dualistik, yaitu terdiri dari lapangan kerja formal dan informal. Lapangan pekerjaan formal
sendiri terdiri atau didefinisikan bagaimana status pekerjaanya yakni meliputi buruh/karyawan dan
berusaha dibantu dengan buruh tetap, Midayanti (2018). Dalam penerapannya yang berdasarkan PP
No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan, pasal 41 ayat 2, ditegaskan bahwa kebijakan upah minimum
ini hanya berlaku pada buruh/pekerja yang memiliki lama kerja pada perusahaan tempat ia bekerja
selama kurang dari 1 tahun atau dapat diartikan upah minimum diberlakukan hanya untuk sektor
formal saja. Dilihat dari data mengenai komposisi penduduk yang bekerja berdasarkan status pada
gambar 4, maka penetapan dalam upah minimum hanya berlaku untuk 41,79% dari total 133,94 juta
penduduk yang bekerja pada tahun 2018.

3,68
3,60%
%
4,99
%

Buruh/Karyawan/Pega
38,11 wai
14,56 Berusaha Sendiri
% %
Berusaha Dibantu Buruh Tidak
Tetap Pekerja Keluarga/Tidak
Dibayar Pekerja Bebas Non
Pertanian Pekerja Bebas Pertanian

16,48 Berusaha Dibantu Buruh Tetap


%

18,58
%
Gambar 4. Komposisi penduduk yang bekerja berdasarkan status, feb 2018
Realita upah dalam pasar tenaga kerja
Dalam realitanya upah yang berada pasar tenaga kerja tergantung pada bagaimana jenis
lapangan pekerjaan utama dan penggunaan teknologi pada sektor tersebut. Karena pada nyatanya ada
dua industri yang berbeda pertama, terdapat kecenderungan bahwa sektor industri lebih cenderung
kepada peningkatan modal manusia atau tenaga kerja dan hanya sedikit menggunakan teknologi
(industri padat karya), namun upahnya cenderung rendah. Sedangkan industri yang lebih cenderung
menggunakan teknologi dan hanya memakai sedikit tenaga kerja, upah pekerja yang diterima
cenderung tinggi, Bank Dunia (2010).
Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan 2 881
Perorangan 787
Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan
atau 3 872
173
Transportasi, Pergudangan
Tanah, dan Jasa Perusahaandan 3 283
Komunikasi 216
Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan 2 258
Hotel 519
Banguna 2 511
n 610
Listrik, Gas, dan 3 922
Air 096
Industri 2 636
Pengolahan 846
Pertambangan dan 4 439
Penggalian 459
Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan 1 772
Perikanan 161
150000 250000 350000 450000
0 berdasarkan lapangan
Gambar 5. Upah buruh/karyawan 0 0 feb 2017
kerja utama, 0

Bisa dilihat dari data grafik pada gambar 5, mengenai upah buruh/karyawan dari berbagai
jenis lapangan pekerjaan utama di 9 sektor yang berdasarkan data BPS Februari 2017, bahwa upah
buruh/karyawan pada sektor pertambangan, listrik, keuangan, dan transportasi/komunikasi jauh lebih
besar daripada sektor-sektor yang lainnya yaitu pertanian, industri pengolahan, bangunan,
perdagangan, dan jasa kemasyarakatan. Hal tersebut terjadi karena kecenderungan pengupahan pada
sektor padat tenaga kerja jauh lebih rendah dari pada sektor padat modal seperti, pertambangan,
keuangan, listrik, transportasi/komunikasi. Umumnya adalah rata-rata upah pada sektor industri yang
cenderung intensif teknologi atau banyak memakai teknologi, upah buruh atau pekerja biasanya
dibayar melampaui rata-rata upah nasional, sedangkan pekerja pada sektor padat tenaga kerja biasanya
berada pada kurang dari rata-rata upah nasional.
Implikasi kebijakan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja
Bahwa secara, teori permintaan tenaga kerja, apabila upah mengalami kenaikan maka
penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan akan mengalami penurunan, secara nyatanya memang
perusahaan tidak akan menyerap kembali tenaga kerja apabila upah para pekerja mengalami kenaikan
karena biaya perusahaan sudah habis selain karena kenaikan upah juga pada para pihak pejabat atau
atasan perusahaan yang mengalami kenaikan, dan juga biaya produksi yang mengalami kenaikan
karena kebijakan perusahaan terkait upah yang naik, Sholeh (2012). Perusahaan disini hanya
membayar tenaga kerja dengan upah yang sesuai tingkat produktivitasnya, artinya jika produktivitas
tenaga kerja yang rendah maka perusahaan akan membayar tenaga kerja tersebut dengan upah yang
sesuai dengan produktivitasnya dan sebaliknya. Namun pada kenyataannya di lapangan, kebijakan
upah minimum ini banyak condong kepada kenaikan tingkat harga dan faktor – factor lain seperti ciri-
ciri individu, apa jenis pekerjaannya, keluarga, ras, status pekerja dibandingkan dengan kenaikan
tingkat produktivitas, Ghazali, Buya Al, Wahyuddin (2012).
Memang, di Indonesia sendiri sektor primer di Indonesia biasanya sektor yang mudah dalam
yang banyak menyerap tenaga kerja dan juga sektor pertanian ini, mempunyai tingkat produktivitas
tenaga kerja rendah yaitu sebesar 0,54. Sementara sektor sekunder sendiri merupakan sektor, yang
sulit sekali untuk bisa menyerap tenaga kerja, hingga hanya sedikit saja yang bisa terserap oleh
perusahaan terhadap penyerapan tenaga kerjanya, tetapi sektor sekunder atau industri mempunyai
produktivitas pekerja yang tinggi dalam menciptakan nilai tambah baik ke perekonomian atau
efisiennya yaitu sebesar 1,82, Sulistiawati (2012).
Begitu juga pula dengan kondisi pada tingakatan provinsi, bila dilahat produktivitas tenaga kerja
pada sektor primer adalah yang terendah dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja yang berada
pada sektor sekunder. Perbedaan tingkat upah tenaga kerja pada sektor primer dan sektor sekunder
(pertanian dan industri) juga terlihat, menurut, Faisal Basri (2016) dalam tulisannya, akibat perubahan
struktur perekonomian yang menyebabkan perbedaan tingkat upah dan dampak jangka panjangnya
dapat menciptakan kesenjangan pendapatan maka, dampaknya adalah akan mengubah keputusan
tenaga kerja tersebut untuk berpindah (migrasi) dari sektor pertanian ke sektor industri untuk
memperoleh kesejahteraan yang lebih baik.
Keharusan yang dilakukan oleh tenaga kerja sebenarnya untuk, meningkatkan produktivitas
tenaga kerja, peningkatan tingkat pendidikan adalah salah satu faktornya, karena dengan pendidikan
mampu menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas dan bermutu yang tinggi, Aprillia (2014).
Penentuan upah minimum ini bila dengan rasio antara UMP atau upah minimum hidup layak yang
hasilnya diterima oleh pekerja berdasarkan pendidikannya menunjukkan bahwa kalau pada sebagian
besar provinsi di Indonesia, pekerja yang belum pernah menempuh pendidikan atau sekolah, belum
menamatkan sekolah dasar, dan jenjang pendidikan sekolah dasar, menerima upah atau bayaran
biasanya menerima upah atau bayaran dari perusahaan dibawah upah minimum yang dibayar oleh
perusahaan. Dapat dilihat dengan rasio antara UMP dengan rata-rata upah berdasarkan tingkat
pendidikan pekerja yang nilai rasionya >1. Sementara itu, tingkat pendidikan pekerja yang
berpendidikan Sekolah Lanjutan Pertama atau SMP atau ke tingkat atasnya menerima tingkat upah
atau bayaran yang biasanya lebih tinggi dari UMP, yang dilihat dari rasio antara UMP dengan upah
menurut tingkat pendidikan pekerja yang nilai rasio <1. Karena kondisi tenaga kerja di sektor primer
pada umumnya dimasuki oleh pekerja yang mempunyai pendidikan rendah dengan keahlian atau skill
yang kurang untuk bisa masuk ke pasar tenaga kerja pada sektor formal maka produktivitas pekerja
yang dimiliki rendah, karena kebijakan terkait kenaikannya upah minimum tersebut, akan berdampak
pada berkurangnya tingkat penggunaan tenaga kerja di sektor primer karena, mereka akan bermigrasi
untuk bisa memperoleh pendapatan yang lebih tinggi makanya, terus mengalami pengurangan dalam
sektor ini. Namun sebenarnya kebijakan upah minimum ini, mencoba membantu menghasilkan efek
yang positif pada upah dalam mengurangi kesenjangan upah pada pasar tenaga kerja. Bahwa upah
minimum didasarkan berdasar pekerja terampil dan tidak terampil dan kembali lagi bahwa itu bisa
dilihat dari tingkat pendidikan mereka, Sulistiawati (2012).
Karena memang sudah seharusnya dalam menciptakan produktivitas yang bisa menambah nilai
tambah bagi perusahaan kunci utamanya adalah pendidikan, sebagai faktor yang penting dalam
penetapan upah. Makanya tenaga kerja yang pendidikannya tidak lebih tinggi dari sekolah lanjutan
pertama atau SMA, mereka dalam kebijakan upah minimum hanya dibayar sekitar rata-rata upah
minimum dan sebaliknya. Lalu pengaruh diferensiasi upah minimum antar provinsi terhadap
penawaran kesempatan kerja, menimbulkan efek yang membantu mengakomodasi berbagai
kemampuan membayar industri yang berbeda-beda.
Disini dalam regulasi penetapan upah minimum ILO telah melakukan ketetapan kebijakan
dalam upah pada negara-negara baik negara maju dan berkembang tidak terlepas dari intervensi oleh
kebijakan ILO. Terdapat konvensi yang mengatur bagaimana terkait dengan upah minimum yaitu
konvensi ILO No 131, dimana ILO mengatur upah minimum pada negara-negara berkembang.
Konvensi ini muncul lantaran perundingan dan mekanisme yang mengatur dalam kebijakan untuk
penetapan upah minimum ini tidak berjalan leluasa dan secepat yang diharapkan, ILO (2000).
Namun, secara singkat mengacu pada konvensi No 131 tersebut. Menjadi dasar bagaimana
faktor pertimbangan dalam menetapkan kebijakan upah minimum di Indonesia sendiri, dalam
Permenaker No.17 Tahun 2005 dan adanya perubahan revisi Kebutuhan Hidup Layak dalam
Permenaker No. 13 Tahun 2012, pasal 6 ayat 2 Kepmenakertrans (2012). Adapun faktor-faktor yang
dipertimbangkan oleh pemerintah mengacu pada Undang-undang No 13 tahun 2012, dalam
menetapkan penentuan upah minimum meliputi: 1) Tingkat Nilai Kebutuhan Hidup Layak 2)
Produktivitas Makro 3.) Pertumbuhan Ekonomi 4) Kondisi Pasar Kerja 5) Kondisi Usaha pada titik
marginal, ILO (2013).
Tetapi sebenarnya jika mengacu pada undang-undang nomor 13 tahun 2003 yang dimana
pemerintah melakukan penetapan upah minimum berdasar pada kebutuhan layak hidup (KHL) dan
memang pemerintah telah melakukan revisi lanjutan ke dalam Kepmenakertrans No 17 Tahun 2005
lalu di revisi kembali menjadi Kepmenakertrans No 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Penetapan
Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Namun, jika terjadi kenaikan atas harga produksi maka akan
berakibat pada kenaikannya KHL dan dampak selanjutnya akan meningkatkan upah minimum, karena
itu penting factor permintaan barang dalam menggerakan upah pekerja. Jika melihat dari sisi
perusahaan, upah menjadi biaya yang selanjutnya akan menjadi barang/jasa yang akan dijual kepada
konsumen dengan harga jual yang telah ditetapkan. Upah Minimum ini sering digunakan untuk acuan
dalam menetapkan upah tenaga kerja pada sektor formal, oleh karena itu ketika terjadi, kenaikan upah
minimum yang lebih tinggi daripada produktivitas tenaga kerja maka, akan merugikan perusahaan
karena, dapat menyebabkan naiknya biaya produksi. Biaya produksi yang menjadi semakin tinggi
berarti harga output tersebut menjadi tidak bersaing, dan pada akhirnya keputusan perusahaan untuk
mengurangi outputnya. Ketika perusahaan memutuskan untuk melakukan penurunan terhadap
outputnya, selanjutnya perusahaan akan menurunkan intensitas penggunaan faktor produksi terhadap
tenaga kerja, khususnya pada tenaga kerja yang masih memiliki pendidikan yang rendah. Mengenai
kebijakan sistem pengupahan ini dalam tujuannya adalah untuk melindungi tenaga kerja, tetapi
kebijakan upah minimum ini, juga membantu menjamin kelangsungan usaha pada perusahaan dan
mendorong laju penyerapan pertumbuhan lapangan kerja agar bisa berproduktif dan efisien. Pihak
pemerintah juga harus meregulasi lagi kebijakan dalam menetapkan upah minimum ini, sebagai
pengamanan agar upah tenaga kerja/buruh tidak merosot sampai tingkat yang membahayakan bagi
kesehatan dan gizi pekerja/buruh. Di sisi lain sebagai pihak pengusaha atau perusahaan juga harus
memikirkan bagaimana menyusun struktur pengupahan dan skala upah yang sesuai dengan tingkat
equilibrium sebagai dasar penetapan upah di perusahaan yang tepat dengan kebutuhan layak hidup.
Dalam Indonesia sendiri pasar tenaga kerja ini tersegementasi kedalam dua segmen yaitu
informal dan formal. Jumlah pekerja informal Indonesia lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan
pekerja formal. Jika dilihat, %tase pekerja formal menunjukkan peningkatan, dilansir dari lokadata
bahwa, dari 37,3% di tahun 2012 menjadi 41,6% di tahun 2017. Disebut sebagai pekerja formal adalah
mereka adalah pekerja yang status pekerjaannya: 1. berusaha dengan dibantu buruh tetap/buruh
dibayar, dan 2. mereka yang menjadi buruh/karyawan/pegawai. Sementara status pekerjaan informal
seperti: 1. berusaha/membuka usaha sendiri 2. berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak
dibayar 3. pekerja bebas di bidang pertanian 4. pekerja bebas di bidang non pertanian, dan 5. pekerja
keluarga/pekerja yang tak dibayar. Penetapan upah minimum akan mengubah keputusan perusahaan
untuk bagaimana perusahaan akan mengurangi atau menambah permintaan akan tenaga kerja di sektor
formal, dan biasanya jika terjadi kelebihan penawaran (excess demand) pada tenaga kerja yang tidak
terserap tadi akan diserap pada sektor informal. Namun karena sistem pengupahan di sektor informal
tidak adanya regulasi yang terkait dan biasanya sektor informal ini mempunyai kualitas pendidikan
tenaga kerja yang masih sangat rendah, sehingga mempunyai kesempatan yang terbatas untuk
berkesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik untuk jenjang karirnya, Sulistiawati (2012). Di
lain sisi, pekerja pada sektor perekonomian yang formal biasanya mendapatkan upah yang lebih besar
dari rata-rata UMP, dan juga kondisi kerja yang relatif baik, aturan pedoman kerja juga diatur oleh
perusahaan, juga pekerja mempunyai hak dan kewajiban yang jelas, namun sayangnya, pada sektor
formal masih belum dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan sektor
informal yang dimana aturan pedoman kerja belum diatur dan tidak mempunyai hak dan kewajiban
dalam pekerjaan yang jelas.
Karena tingkat kualitas pendidikan tenaga kerja di Indonesia yang relatif masih rendah terutama
tenaga kerja yang masih belum semuanya berada pada sektor formal, dan juga disebabkan kurangnya
tersedia dan belum memadainya lembaga pelatihan tenaga kerja sebagai lembaga yang bisa
memaksimalkan untuk meningkatkan kualitas pekerja, dan masih rendahnya kompetisi tenaga kerja.
Masalah lainnya adalah, masih adanya mismatch antara bidang kejuruan atau bidang ahli, mutu, dan
kuantitas yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja atau perusahaan dengan lulusan yang dihasilkan
oleh lembaga pelatihan kerja. Ketimpangan ini bisa terjadi karena, sistem Pendidikan Indonesia masih
belum berorientasi pada demand driven, lalu masih belum kuatnya koordinasi yang kuat antara
Lembaga/institusi, perusahaan dan pemerintah terkait yang bertanggung jawab dalam penyelenggaran
pelatihan kerja, Sulistiawati (2012).

Tanggapan Terhadap Artikel 1 :

Indonesia merupakan negara dengan 2 jenis pekerjaan di masyarakatnya, yaitu


masyarakat dengan pekerjaan formal dan informal. Pada sektor informal meliputi para pekerja
yang memiliki pekerjaan dengan tidak terikat dengan suatu lembaga atau perusahaan sedangkan
pekerjaan formal meliputi karyawan dan buruh. Pada tahun 2018 penduduk Indonesia yang
merupakan pekerja formal memiliki persentase sebesar 41,79% dari total 133,94 juta penduduk
yang bekerja artinya tidak sampai setengah penduduk yang bekerja adalah pekerja formal sebagai
karyawan atau buruh di suatu lembaga atau perusahaan. Pekerja pada bidang formal ini memiliki
pemasukan atau pendapatan melalui gaji atau lebih dikenal sebagai upah kerja minimum.
Upah yang tersebut bergantung pada posisi pekerjaan itu dan penggunaan teknologi pada
industri yang dijalankan suatu instansi atau perusahaan. Apabila semakin sedikit teknologi yang
digunakan maka penggunaan manusia lebih banyak tetapi dengan upah yang lebih rendah
sedangkan bila memakai teknologi yang banyak penyerapan tenaga kerja sedikit tetapi memiliki
upah yang lebih tinggi. Dalam hal ini bila melihat dari penggunaan teknologinya, semakin
banyak memakai teknologi juga kemampuan individu yang diperlukan untuk menjalankan
teknologi tersebut membutuhkan spesifikasi yang lebih sehingga memang perlu menggunakan
jumlah pekerja lebih sedikit karena perlu adanya seleksi dan kompetensi yang diperlukan yang
harus dimiliki seorang pekerja.
Dalam mengatasi masalah ketimpangan upah yang ada cara yang paling mudah dan dapat
dipikirkan dengan cepat adalah dengan menaikan upah minimum pekerja. Sayangnya hal ini
seperti tidak ada pengaruhnya karena dengan menaikkan upah minimum seorang pekerja akan
mengurangi jumlah pekerja di instansi atau perusahaan tersebut karena dengan naiknya upah
minimum instansi atau perusahaan akan berbanding lurus dengan pengeluaran operasional
perusahaan dan biaya operasional perusahaa yang akan ikut meningkat pula yang berimbas pada
berkurangnya laba perusahaan. Dampak dari adanya kenaikan upah minimum pekerja juga akan
diikuti dengan naiknya harga kebutuhan di pasar sehingga bila dihitung secara matematis upah
minimum normal dengan harga pasar suatu barang awal dengan upah minimum naik dengan
harga pasar suatu barang yang juga ikut naik akan memiliki jumlah pengeluaran yang sama.
Salah satu cara untuk saling menguntungkan pekerja dan instansi atau perusahaan adalah
dengan menyesuaikan upah dengan tingkat produktivitas pekerjanya, semakin baik
produktivitasnya maka semakin banyak upah yang didapatkan. Pertimbangan suatu instansi atau
perusahaan melihat dan memprediksikan produktivitas para pekerjanya adalah melalui tingkat
pendidikannya, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi upah yang diterima.
Penggolongan upah berdasar tingkat pendidikan ini akan melahirkan ketimpangan diantara para
pekerja yang berbeda tingkat pendidikannya alasannya karena belum tentu pekerja dengan
pendidikan tinggi memiliki produktivitas yang lebih baik dari yang berpendidikan lebih rendah,
tetapi untuk suatu posisi pekerjaan terentu memang sangat diharuskan memiliki pekerja dengan
latar belakang pendidikan tinggi tertentu karena pekerjaan yang dilakukan tidak bisa dilakukan
oleh sembarangan orang. Pada hal ini instansi atau perusahaan perlu memisahkan antara
pekerjaan yang memerlukan spesifikasi terntentu dan tidak sehingga ketimpangan dalam
pemberian upah bisa diatasi.
Dalam pelaksanaannya sendiri pemerintah Indonesia ikut serta dalam pengelolaan upah
minimum bagi para pekerja melalui Undang-Undang dan Peraturan Kementerian Tenaga Kerja
dengan menimbang faktor-faktor tingkat nilai hidup layak, produktivitas makro, pertumbuhan
ekonomi, kondisi pasar kerja, serta kondisi usaha. Peran pemerintah sangat diperlukan sebagai
pengawas dan pemberi rasa aman dari pekerja atas instansi atau perusahaan tempatnya pekerja
apalagi mengingat di Indonesia sektor ekonomi yang berjalan merupakan milik asing, sehingga
regulasi dan pengawasan pemerintah diperlukan agar instansi atau perusahaan asing tidak
semena-mena dalam menjalankan praktik bisnisnya.

Sumber Artikel 1 :
Jurnal Inovasi Vol. 16 No. 1 Tahun 2020 dengan judul “Kondisi Penyerapan Tenaga Kerja
Akibat Kenaikan Upah Minimum” oleh Andhika Bagaskara, M. Iqbal Herdiyansah, M. Afandi,
dan Rahadia Yoga Christie.
( https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/INOVASI/article/view/6693 )

Kesimpulan :
Penentuan jumlah dan upah seorang pekerja ditentuakan melalui posisi pekerjaan dan
penggunaan teknologi dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan. Semakin sedikit teknologi yang
dipakai maka sumber daya manusia yang dipakai lebih banyak tetapi upah yang didapat lebih
sedikit, sedangkan bila memakai banyak teknologi maka jumlah pekerja lebih sedikit namun
dengan upah yang lebih banyak, selain posisi pekerja dan penggunaan teknologi, pemberian upah
juga berdasarkan tingkat produktivitas, tingkat pendidikan pekerja, serta peran serta pemerintah
dalam membuat peraturan. Kebijakan menaikkan upah minimum suatu pekerja tidak mampu
memberikan dampak yang besar dan terkesan sia-sia karena kenaikan upah minimum seorang
pekerja akan membuat instansi atau perusahaan mengurangi jumlah pekerjanya dan kenaikan
upah juga akan berbanding lurus dengan naiknya harga barang di pasar.
Saran :
Peran pemerintah perlu lebih aktif dalam mengatur regulasi ketenagakerjaan yang ada di
Indonesia dan tugas pemerintah yang lebih berat adalah mengatur harga barang di pasar sehingga
apabila upah seorang pekerja dinaikkan dengan harga barang di pasar yang tetap normal akan
meningkatkan daya beli masyarakat yang bisa meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Untuk
instansi perusahaan sendiri perlu memilah lagi posisi pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi
pendidikan tinggi atau kemampuan khusus sehingga upah yang diberikan kepada para pekerjanya
nanti sesuai dengan tingkat produktivitas dan kemampuan yang dimiliki sehingga hak yang
diterima bisa sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan.
Nama : Wensi Audina
NBI : 1231900195
Prodi : Ekonomi Pembangunan
Mata Kuliah / Kelas : Ekonomi Sumber Daya Manusia / M
Dosen Kuliah : Dr. Arga Christian Sitohang, S.E., M.M.

Type : Tugas Individu


Artikel 2 :

Kondisi struktur ketenagakerjaan di jawa timur dalam rangka mempersiapkan


permintaan sektor lapangan usaha
Ilham Robbi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: wentira86@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan melihat kondisi tenaga kerja di Jawa Timur. Hasil estimasi regresi
logistic menunjukkan semakin tingginya pendidikan angkatan kerja peluang untuk mendapatkan
pekerjaan 1, 0357 kali dari yang tidak sekolah. Sedangkan angkatan kerja yang pernah mengikuti
pelatihan/kursus probabilitas 1,54 kali untuk bekerja akan semakin tinggi daripada yang tidak pernah
ikut pelatihan/kursus.
Kata Kunci: Struktur ketenagakerjaan; tenaga kerja; pelatihan probabilitas

The condition of the employment structure in East Java in order to prepare the
demand for the business sector
Abstract
This study aims to look at labor conditions in East Java. The results of the logistic regression
estimation show that the higher education of the workforce has the opportunity to get a job 1, 0357
times that of those without school. Whereas the workforce that has attended training / courses the
probability of 1.54 times to work will be higher than those who have never attended training / courses.
Keywords: employment structure; labor; probability training
PENDAHULUAN
Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua setelah
provinsi Jawa Barat dengan jumlah 39.292.972 Jiwa (BPS Jatim, 2018). Banyaknya jumlah penduduk
di Jawa Timur dapat menjadikan potensi penawaran tenaga kerja yang tinggi, tetapi juga di sisi lain
dapat menjadi beban karena meningkatkan angka pengangguran. Dari jumlah penduduk tersebut
menurut BPS (2018) sebanyak 20.937.716 merupakan angkatan kerja. Jawa timur menjadi daerah
yang memiliki kegiatan ekonomi tertinggi di seluruh pulau Jawa setelah ibu kota provinsi, bahkan
tingkat nasional. Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi diatas pertumbuhan
nasional. Seperti gambar 1 dibawah ini

Nasiona Jawa
l Timur

5.9
5.4 5.55 5.45 5.5
5.03 5.07
5.01 5.06
4.88

201 201 201 201 201


4 5 6 7 8
Gambar 1. Pertumbuhan ekonomi jatim 2014-2018 (%)
Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur salah satunya didorong oleh banyaknya nilai investasi yang
masuk baik dari sektor PMDN (penanaman modal dalam negeri) maupun PMA (penanaman modal
asing) (Suindyah D, 2011). Nilai PMDN yang masuk pada tahun 2017 sebesar 45.044,5 miliar rupiah
tertinggi kedua setelah DKI Jakarta 47.262,3 miliar rupiah (Statistik Indonesia, 2018). Walaupun nilai
PMA yang masuk Jatim (2015-2017) mengalami penurunan 2.523,4 juta US $ ; 1.941 juta US $ ; dan
1.566,7 US $. Terlihat bahwa besarnya nilai investasi di Jawa Timur seharusnya dapat membantu
pemerintah provinsi untuk mengurangi pengangguran terbuka sebesar 838.496 jiwa (BPS Jatim,
2018). Sekarang tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasi ataupun kemampuan SDM individu
masyarakat Jawa Timur bisa bersaing untuk memperebutkan kesempatan tersebut..
Menurut Astuti (2014) sektor industri pengolahan dapat mendorong sektor jasa dan pertanian.
Dilihat dari lapangan usaha yang dominan di Jawa Timur adalah sektor industri pengolahan,
perdagangan besar/eceran, dan pertanian;kehutanan;perikanan. Seperti ditunjukkan PDRB provinsi
Jawa Timur pada table 1 PDRB menurut lapangan usaha 2014-2017.
Tabel 1. PDRB Menurut Lapangan Usaha 2014-2017 (%)
Lap Usaha 2014 2015 2016 2017
Industri Pengolahan 28,95 29,31 28,91 29,12
Perdagangan Besar & Eceran 17,34 17,6 17,9 17,93
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 13,56 13,65 13,49 12,84
Konstruksi 9,49 9,49 9,72 9,79
Terlihat bahwa sektor industry pengolahan yang memberi sumbangan terbesar atas PDRB jawa
timur pada tahun 2017 sebesar 29,12%, kemudian disusul perdagangan besar & eceran 17,93%,
pertanian kehutanan perikanan 12,84% dan terakir adalah konstruksi sebesar 9,79%.
Pemerintah provinsi Jawa Timur harus melihat struktur lapangan usaha di Jawa timur yang
didominasi oleh sektor industry pengolahan. Ini berkaitan dengan kebijakan yang akan dibuat guna
menyerap angkatan kerja di sektor tersebut. Terdapat 38 kab/kota yang memberikan kontribusi
angkatan kerja ini di tingkat regional provinsi, oleh karena itu pemerintah provinsi juga harus membagi
angkatan kerja tersebut ke sektor lainnya seperti perdagangan, pertanian, dan konstruksi. Dari sisi
penawaran tenaga kerja pemerintah juga harus memperhatikan kemampuan SDM-nya agar bisa
bersaing di wilayah sendiri. Adanya pengembangan ekonomi regional, membuat tidak adanya batasan
administrasi antar wilayah.
Merujuk pada teori neoklasik pengembangan ekonomi wilayah dan kota yang menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi adalah satu proses yang gradual, di mana pada satu saat kegiatan
manusia semuanya akan terakumulasi. Tingkat pertumbuhan terdiri dari 3 sumber: akumulasi modal,
penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Implikasi dari persaingan ini adalah modal dan
tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor-faktor tersebut berbeda-beda dari provinsi atau
wilayah lainnya (Fujita & Thisse, 2002). Persaingan tenaga kerja akan terjadi terlepas dari batas
adminsitrasi provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu bagaimana strategi pemerintah provinsi Jawa Timur
memperkuat struktur tenaga kerjanya dan dapat bersaing, agar terserap dalam lapangan kerja.
Sehingga mengangkat pertumbuhan ekonomi kab/kota maupun secara regional Jawa Timur.
Tinjauan pustaka
Untuk melihat struktur ketenagakerjaan di Jawa Timur dapat dilihat kondisi penawaran dan
permintaan tenaga kerja bagi lapangan usaha yang membutuhkan. Tidak semua tenaga kerja dapat
ditampung, hal ini berkaitan dengan skill atau SDM yang dimilikinya. Menurut Jorgensen (1967) akan
terjadi pembagian sektor lapangan usaha dalam suatu ekonomi yaitu sektor manufaktur (industry) dan
subsisten (pertanian tradisional). Adanya hubungan yang tak simetris antara sektor pertanian dan
industri, mendorong surplus tenaga kerja sektor pertanian pindah ke sektor manufaktur. Apabila
perpindahan tersebut diikuti dengan kemampuan dan skill, tidak akan menjadi masalah karena akan
terserap di sektor industry.
Bowles dan Gintis (1975) mengemukakan teori fungsi sosial, bahwa masyarakat mempunyai
suatu pekerjaan yang membutuhkan skill tinggi yang berkaitan dengan besarnya renumerasi, tetapi
permintaan tenaga kerja diatur melalui sistem pendidikan dimana yang mempunyai kecakapan lebih
akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Teori Crediantialism yang dikemukakan oleh Ivan Berg (1970), bahwa pengusaha tidak
memperoleh informasi tentang kinerja karyawan dari latar belakang pendidikan. Bagi pengusaha,
pendidikan hanya merupakan indikasi statistik yang secara umum menggambarkan bahwa pendidikan
akan berpengaruh terhadap kemampuan kinerjanya. Pengusaha menggunakan ijazah pendidikan
sebagai syarat untuk melakukan seleksi.
METODE
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari publikasi BPS, dan data survey angkatan
nasional (SAKERNAS) tahun 2017 provinsi Jawa Timur. Untuk menganalisa struktur tenaga kerja
yang ada di provinsi menggunakan metode deskriptif kualitatif dan penelitian kuantitatif
menggunakan data cross section guna melihat kecenderungan bekerja atau tidak bekerjanya suatu
individu rumah tangga dilihat dari tingkat pendidikan dan pernah atau tidaknya mengikuti pelatihan /
kursus menggunakan regresi logistik.
Secara umum model regresi logit dapat dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut :
Model 1 Lbekerja = f(Li) = f ( β0 + β1Xtingkat pendidikan + … + βpXpi + ɛi )
Model 2 Lbekerja = f(Li) = f ( β0 + β2Xpelatihan kursus + … + βpXpi + ɛi )
Variabel dependennya adalah Lbekerja dengan menggunakan kategori biner 0 & 1, dimana
0=tidak bekerja dan 1=bekerja. Sedangkan variable independen adalah β1Xtingkat pendidikan yaitu
menggunakan 0=kategori tidak sekolah, 1 = tingkat pendidikan dasar, 2 = tingkat pendidikan
menengah, dan 3=tingkat pendidikan tinggi. Kemudian dari model kedua variable independen adalah
β2Xpelatihan kursus menggunakan kategori 0=tidak pernah ikut pelatihan/kursus, dan 1 = pernah
mengikuti pelatihan/kursus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil deskriptif terkait struktur tenaga kerja di provinsi Jawa Timur hasil pengolahan data
SAKERNAS tahun 2017 dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 2. Struktur Tenaga Kerja Prov. Jawa Timur Tahun 2017
Struktur Tenaga Kerja Σ %
1 Tingkat Partisipasi Sekolah
Tidak / Belum Sekolah 3.402 6,4
Sekolah / Pernah Sekolah 49.532 93,6
2 Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 10.485 19,81
SD 13.893 26,25
SMP 11.127 21,02
SMA 12.973 24,51
Vokasi ( D1 & D3) 827 1,56
Sarjana ( S1 ) 3.351 6,33
S2 & S3 278 0,53
3 Status Angkatan Kerja
Bekerja 34.578 65,32
Tidak Bekerja 18.356 34,68
4 Pelatihan / Kursus
Mendapatkan Pelatihan 5.243 9,9
Tidak Pernah Mendapatkan Pelatihan 47.691 90,1
5 Pekerjaan Utama
Buruh / Karyawan 12.114 22,89
Sektor Pertanian 2.364 4,47
Wiraswasta 13.865 26,2
Pekerja Bebas di Luar Sektor Pertanian 2.214 4,18
Pekerja Keluarga (Tidak dibayar) 5.080 9,6

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi sekolah di provinsi Jawa Timur,
tinggi yaitu 93,6% daripada yang tidak sekolah 6,4%. Kemudian dari tingkat pendidikan, masih
banyak yang lulusan SD sebesar 26,25% , SMA 24,51%, dan terakhir lulusan sarjana S1 hanya
sebersar 6,33%. Status angkatan kerja 65,32% berada dalam posisi bekerja, sedangkan 34,68% tidak
bekerja. Dilihat dari pernah atau tidaknya mendapatkan pelatihan atau kursus hampir 90,1% pekerja
tidak mendapatkan pelatihan/kursus. Dari keseluruhan angkatan kerja yang dilakukan survey pekerjaan
utamanya adalah wiraswasta/usaha sendiri 26,2%. Menempati urutan kedua adalah buruh 22,89%.
Pekerja di sektor pertanian sedikit hanya 4,47%, masih lebih banyak pekerja keluarga yang tidak
dibayar.
Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan di provinsi Jawa Timur, sudah tinggi dengan ditunjukkan tingkat
partisipasi sekolah yang diatas 90%. Pada tingkat pendidikan dasar menunjukkan masih banyak yang
lulusan SD dengan 26,25%. Pemerintah provinsi bisa lepas tangan karena itu merupakan kewenangan
daerah kab/kota masing-masing. Walaupun dalam UU 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional mewajibkan bahwa 20% dari APBD digunakan untuk belanja pendidikan. Pemerintah
provinsi hanya bisa memberikan atensi kepada kepala daerah agar tetap melaksanakan penggunaan
APBD sebesar 20% untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terutama SD dan SMP, serta
mengurangi tingkat putus sekolah karena keterbatasan biaya. Kemudian merujuk pada UU 23 tahun
2014 tentang pemerintah daerah kewenangan pendidikan SMA/SMK diambil alih oleh provinsi. Efek
dari perubahan kewenangan tersebut dapat terlihat bahwa SMA/SMK menjadi lulusan terakhir
angkatan kerja sebesar 24,51%. Menurut Kominfo Jatim (2017) langkah pemprov untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, dilakukan dengan penguatan program vokasi untuk mengejar target 70% SMK
dan 30% SMA. Hal ini terkait dengan permintaan tenaga kerja terampil dari dalam dan luar negeri.
Status angkatan kerja
Angkatan kerja di Jawa timur dalam kondisi bekerja sebesar 65,32%. Ini menggambarkan
bahwa persaingan angkatan kerja semakin ketat. Banyak angkatan kerja yang tidak terserap dalam
dunia kerja karena tidak memiliki skill/SDM ataupun kalah bersaing dengan angkatan kerja dari
provinsi lain yang masuk mencari kerja di Jawa Timur. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah
provinsi Jatim membuka kawasan industry baru diluar yang sudah ada di wilayah pesisir pantura.
Dengan telah dibangunnya tol trans-jawa yang melewati daerah tengah, diharapkan membuka akses
investasi di wilayah jawa timur bagian tengah (Nganjuk, Madiun, Magetan, dan Ngawi).
Terlihat dari data diatas bahwa angkatan kerja tidak pernah menerima pelatihan 90,1%. Kondisi
Ini langsung direspon pemerintah sejalan dengan program vokasi yang dilaksanakan pemerintah
provinsi Jawa Timur pada akhir tahun 2017. Harapannya dengan adanya keterampilan yang diberikan
akan memiliki nilai tambah bagi perusahaan yang akan memperkerjakannya. Dari data BPS (2018)
sektor lapangan usaha terbanyak di industry pengolahan sebanyak 29,12%. Indikator ini sebaiknya
digunakan pemerintah provinsi sebagai acuan, untuk pembuatan kurikulum pelatihan/ kursus ataupun
di SMK. Keadaan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan bahwa sektor industry yang paling banyak
dan akan menyerap angkatan kerja.
Pekerjaan utama angkatan kerja di Jawa Timur menunjukkan wiraswasta/usaha sendiri paling
banyak 26,2% kemudian diikuti buruh/karyawan 22,89%. Gambaran ini menjelaskan wiraswasta
masih menjadi pekerjaan utama, semakin mudahnya akses informasi melalui sarana internet dan media
social juga mendorong berkembangnya sektor ini. Wiraswasta tidak perlu lagi menyediakan tempat
ataupun sewa tempat untuk memasarkan usahanya. Sekarang hanya bermodal akses internet semua
dapat dilakukan secara online. Tinggal bagaimana pemerintah provinsi memfasilitasi sarana
(platform), dan memberikan pelatihan IT bagi wiraswasta untuk menghadapi revolusi digital 4.0.
Hasil estimasi
Hasil estimasi dengan regresi logistic dari model yang pertama adalah Lbekerja = 0,583 +
0,035Xtingkat pendidikan , dan model 2 Lbekerja = 0,593 + 0,432Xpelatihan kursus.Dari kedua hasil
regresi logistic tersebut memilik nilai koefisien positif. Sehingga dapat diartikan bahwa semakin
tingginya tingkat pendidikan dan mengikuti pelatihan / kursus cenderung untuk bekerja. Kemudian
untuk melihat probabilitasnya variable independen tingkat pendidikan dan pelatihan/kursus dapat
dilihat dari nilai odds ratio pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil odds ratio variabel independen
Variabel Independent Odds Ratio p-Value
Tingkat Pendidikan 1,0357 0,001*
Pelatihan / Kursus 1,54 0,000*
*Signifikan pada level 1 %
Dari hasil diatas menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya tingkat pendidikan 1, 0357 kali
probabilitas untuk bekerja akan semakin tinggi daripada tidak sekolah sama sekali. Hal ini sejalan
dengan teori dari Ivan Berg (1970), bahwa pengusaha menggunakan ijazah pendidikan sebagai syarat
untuk melakukan seleksi untuk memperkerjakan dan karyawan. Selanjutnya pelatihan / kursus 1,54
kali probabilitas untuk bekerja akan semakin tinggi daripada yang tidak pernah ikut pelatihan / kursus.
Menurut Bowles dan Gintis (1975) mengemukakan teori fungsi sosial, bahwa masyarakat mempunyai
suatu pekerjaan yang membutuhkan skill tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan kecakapan lebih yang
dapat diperoleh salah satunya dengan mengikuti pelatihan.

Tanggapan Terhadap Artikel 2 :


Melihat dari data Sakernas mengenai angkatan kerja yang ada di provinsi Jawa Timur
menunjukkan bahwa para pekerja yang memiliki bekal pendidikan menunjukkan angka 93,6%
sedangkan yang bekerja dengan tidak memiliki latar belakang pendidikan sama sekali sebesar
6,4%, dari tingkat pendidikannya sendiri dapat dilihat dari data diatas bahwasannya pekerja
paling tinggi memiliki latar belakang pendidikan SD sedangkan pekerja pada pendidikan
Diploma satu sampai Strata tiga menunjukkan angka yang sangat kecil. Dilihat dari status
angkatan kerjanya lebih dari seperempat jumlah angkatan kerja ternyata tidak bekerja.
Kemudian bila dilihat dari bekal pelatihan kerja sebelumnya, hampir seluruh pekerja belum
pernah menerima pelatihan kerja. Dari jenis pekerjaan utamanya wiraswasta menunjukkan jenis
pekerjaan dengan angka tertinggi disusul dengan karyawan atau buruh, dan di angka yang paling
kecil adalah sektor pekerja bebas di luar pertanian.
Pengklasifikasian berdasarkan struktur kerja tersebut bisa menunjukkan berbagai macam
pekerjaan ditinjau dari sturktur pekerja yang ada. Berdasarkan data diatas juga bisa dilihat
bahwa angkatan kerja di Jawa Timur menunjukkan jumlah pekerja berlatar belakang pendidikan
sudah tinggi namun disayangkan karena dari banyaknya angkatan kerja yang berlatang belakang
pendidikan paling tinggi adalah pekerja dengan latar belakang pendidikan SD. Meskipun dalam
UU tahun 2003 tentang sisdiknas sudah dijelaskan bahwasannya 20% anggaran dari APBD
wajib digunakan untuk pendidikan, pada kenyataannya belum bisa dilakukan secara maksimal
meskipun dana tersebut sudah dipakai untuk pengembangan sekolah khususnnya pada tingkat
dasar dan tingkat menengah pertama, serta angka putus sekolah karena tidak tersedianya biaya
pendidikan. Manajemen pendidikan yang baik perlu ditingkatkan lagi guna bisa memberi
angkatan kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi yang lebih terampil dan profesional,
pengelolaan dana APBD perlu dilakukan perencanaan yang matang serta perlu adanya
pengawasan dalam pelaksanaannya dan evaluasi agar peningkatan pendidikan bisa dilakukan
secara optimal dan mampu mengatasi masalah baru yang bisa muncul.
Kebutuhan pekerja yang terampil sangat dibutuhkan baik di dalam maupun luar negeri,
sehingga persiapan pembelajaran kepada calon pekerja perlu dilakukan melalui pendidikan.
Langkah yang telah diambil pemerintah sudah cukup baik dengan pengambilan wewenang
pendidikan SMA/SMK yang dialihkan ke provinsi yang awalnya dikelola daerah. Strategi ini
bertujuan menyiapakan 70% lulusan SMK agar lebih matang di dunia kerja disusul 30% dari
lulusan SMA. Hal ini sudah sesuai dengan tujuan SMK sendiri yang memang lebih fokus
mempersiapkan lulusannya agar bisa langsung bekerja secara profesional dan terampil namun
untuk SMA sendiri juga perlu dibekali ilmu juga secara matang agar juga menjadi lebih siap bila
setelah lulus memutuskan untuk langsung bekerja.
Berdasarkan data diatas juga menunjukkan angkatan kerja yang bekerja hanya sebesar
65,32% sedangkan sisanya tidak bekerja karena berbagai macam hal diantaranya karena sumber
daya manusia yang ada tidak memiliki keterampilan, atau kalah bersaing dengan pekerja di luar
provinsi Jawa Timur yang datang ke Jawa Timur untuk bekerja, hal ini sangat merugikan bagi
penduduk Jawa Timur sendiri karena mereka tidak bisa bekerja di provinsi yang ditinggali.
Kemudian bila ditinjau dari pelatihan, sebanyak 90% pekerja tidak pernah mendapat
pelatihan sebelumnya padahal apabila pelatihan kerja ini dimasukkan ke dalam kurikulum
pendidikan menengah bisa menjadi modal yang sangat baik bagi para peserta didik karena sudah
diberikan ilmu pengetahuan tentang dunia kerja sejak dini agar di masa depan mereka sudah
memiliki bekal kuat dengan sedikit penyesuaian di masa depan sehingga sumber daya manusia
bisa matang lebih cepat dan dapat bersaing.
Berikutnya dilihat dari jenis pekerjaan utama, wiraswasta menduduki posisi tertingi hal
ini terjadi karena salah satunya adalah adanya arus teknologi yang sangat cepat yang bisa
menjadi sarana para angkatan kerja membuat dan mengembangkan pekerjaannya. Dengan
kemudahan akses melalui internet ini masyarakat yang memilih menjadi wiraswasta dituntut
dengan tingakt kreatifitas masing-masing guna membuat inovasi bagi pekerjaannya supaya bisa
bertahan dan tidak kalah kompeten dengan jenis pekerjaan lain.

Sumber Artikel 1 :
Jurnal Inovasi Vol. 16 No. 1 Tahun 2020 dengan judul “Kondisi Struktur Ketenagakerjaan di
Jawa Timur Dalam Rangka Mempersiapkan Permintaan Sektor Lapangan Usaha” oleh Ilham
Robbi.
( https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/INOVASI/article/view/6580/999 )

Kesimpulan :
Struktur ketenagakerjaan dapat dilihat dari tingkat partisipasi sekolah, tingkat
pendidikan, status angkatan kerja, pelatihan, dan jenis pekerjaan utama. Para angkatan kerja
hampir semua memiliki latar belakang pendidikan namun sayangnya yang paling banyak adalah
para lulusan Sekolah Dasar, para angkatan kerja tersebut hampir semua tidak pernah mengikuti
pelatihan sebelumnya dan jumlah angkatan kerja yang sedang bekerja tidak sampai 75% dan
yang paling banyak adalah para pekerja swasta sedangkan yang tidak bekerja belum mampu
mendapatkan pekerjaan karena tidak memiliki tingkat pendidikan yang cukup, tidak memiliki
keterampilan, dan kalah bersaing dengan angkatan kerja yang lain.

Saran :
Untuk menyiapkan lulusan kerja yang siap, kompeten, dan profesional bisa dilakukan
dengan memasukkan pelatihan kerja kedalam kurikulum pada semua jenjang pendidikan
sehingga dimasa depan para lulusan memiliki pendidikan yang tinggi, pelatihan yang matang,
dan kesiapan kerja sangat matang sehingga mampu bersaing tak hanya secara nasional tapi juga
internasional. Dalam hal ini peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan guna bisa
mencapai tujuan tercipatanya sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai