Anda di halaman 1dari 48

TUGAS MAKALAH

KEPERAWATAN JIWA II
“MODEL PELAYANANAN GANGGUAN JIWA PADA ANAK, REMAJA
DAN LANSIA”

DOSEN PEMBIMBING
Abdul Habib, S. Kep., Ns.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2/ 5B

1. Nor Laily 1130019027


2. Achmad Sholakhuddin Ridhoi 1130019033
3. Oky Istiowati 1130019038
4. Anisah Muzdahiroh 1130019062
5. Mufidatun Nisak 1130019064
6. Lintang Aulia Mauludi 1130019086
7. Dessy Eka Safitri 1130019101

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena
limpahan rahmat serta anugerah dari-Nya saya mampu untuk menyelesaikan
makalah dengan judul Model Pelayanan gangguan jiwa pada Anak, Remaja dan
Lansia .
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
agung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari
pembaca untuk makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena
kami sangat menyadari, bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki
banyak kekurangan.
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah
yang telah kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Surabaya, 30 September 2021

(Kelompok 2)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan masalah....................................................................................3
1.3 Tujuan......................................................................................................3
1.4 Manfaat....................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model keperawatan jiwa pada Anak.......................................................5
2.2 Model keperawatan jiwa pada Remaja....................................................14
2.3 Model keperawatan jiwa pada Lansia.....................................................26
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................42
3.2 Saran........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................43

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Memelihara kesehatan mental sama pentingnya dengan memelihara
kesehatan fisik, namun sangat disayangkan masih banyak individu yang
terlalu fokus pada kesehatan fisik mereka sehingga mengabaikan kesehatan
mentalnya. Jika dipikirkan kembali, segala tindakan yang dilakukan oleh
manusia adalah berdasarkan dorongan pikiran. Oleh karena itu, manusia
seharusnya tidak hanya fokus pada kesehatan fisik, akan tetapi mereka juga
harus memperhatikan kesehatan mentalnya. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Ohrnberger, Fichera, dan Sutton (2017),
kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal. Masalah mental
emosional yang tidak diselesaikan akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan anak, terutama terhadap pematangan karakternya, hal ini
mengakibatkan terjadinya gangguan mental emosional yang dapat berupa
perilaku berisiko tinggi (Farida, 2014).
Proses pembentukan kesehatan mental anak bisa terbentuk dari peran
keluarga. Pola asuh orang tua dalam menghadapi dan menyelesaikan
persoalan secara modeling menurun pada anak. Pola komunikasi dan
interaksi yang di jalankan oleh keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap
perkembangan dan pembentukan mental anak yang sehat. Cara cara keluarga
dalam nengekpresikan dan mengkomunikasikan sesuatu dapat membentuk
kesehatan anak atau justru kesakitan mental anak ( setiyawati, 2016)
Remaja adalah adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-
kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun
dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun
(Keliat, 2014). Remaja memiliki beberapa tugas perkembangan yang harus
dipenuhi.
Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity-
Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula

1
oleh kemampuan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan
memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para remaja sering
sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan
pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa
setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara
kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali
mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing
anggota (Potter & Perry, 2012).
Salah satunya lanjut usia (lansia) merupakan manusia dengan kelompok
umur yang telah memasuki fase kehidupan pada tahapan akhir.Menurut
World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang telah
memasuki usia 60 tahun ke atas. Sama halnya dalam Pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Kemenkes RI, 2010).
Dalam Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2004,
lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Jadi, dapat
disimpulkan lansia adalah seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun dan
mengalami suatu proses menurunnya atau bahkan menghilangnya daya tahan
dan kemunduran struktur dan fungsi organ tubuh secara berangsur- angsur
dalam mengahadapi ransangan dari dalam dan luar tubuh yang dapat
mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lansia (Sanjeeve Sabharwal,
2015).
Pola komunikasi dan interaksi yang di jalankan oleh keluarga
mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan dan pembentukan mental
anak yang sehat. Remaja adalah adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12
atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua
puluhan tahun. Salah satunya lanjut usia (lansia) merupakan manusia dengan
kelompok umur yang telah memasuki fase kehidupan pada tahapan
akhir.Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang

2
yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Jadi, dapat disimpulkan lansia
adalah seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun dan mengalami suatu
proses menurunnya atau bahkan menghilangnya daya tahan dan kemunduran
struktur dan fungsi organ tubuh secara berangsur- angsur dalam mengahadapi
ransangan dari dalam dan luar tubuh yang dapat mempengaruhi kemandirian
dan kesehatan lansia.

1.2 Rumusan masalah


a. Bagaimanakah model keperawatan jiwa pada anak?
b. Apa saja masalah keperawatan jiwa pada anak?
c. Bagaimanakah model pelayanan keperawatan jiwa pada anak?
d. Bagaimanakah model keperawatan jiwa pada remaja?
e. Apa saja masalah keperawatan jiwa pada remaja?
f. Bagaimana model pelayanan keperawatan jiwa pada remaja?
g. Bagaimanakah model keperawatan jiwa pada lansia?
h. Apa saja masalah keperawatan jiwa pada lansia?
i. Bagaimanakah model pelayanan keperawatan jiwa pada lansia?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah membaca makalah ini mahasiswa di harapkan mampu memahami
model keperawatan jiwa pada anak, remaja dan lansia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui model keperawatan jiwa pada anak
b. Mengetahui masalah keperawatan jiwa pada anak
c. Mengetahui model pelayanan keperawatan jiwa pada anak
d. Mengetahuin model keperawatan jiwa pada remaja
e. Mengetahui masalah keperawatan jiwa pada remaja
f. Mengetahui model pelayanan keperawatan jiwa pada remaja
g. Mengetahui model keperawatan jiwa pada lansia
h. Mengetahui masalah keperawatan jiwa pada lansia
i. Mengetahui model pelayanan keperawatan jiwa pada lansia

3
1.4 Manfaat
Manfaat Teoritis Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya kepada mahasiswa
untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai teori dan model
keperawatan jiwa.
Manfaat Praktis Hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai suatu pembelajaran bagi mahasiswa yang nantinya ilmu
tersebut dapat dipahami dan diaplikasikan dalam praktik keperawatan.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model keperawatan jiwa pada Anak
A. Definisi Kesehatan Jiwa Usia sekolah ( 5 – 12 Tahun)

Anak usia sekolah sudah mengembangkan kekuatan internal dan tingkat


kematangan yang memungkinkan mereka untuk bergaul di luar rumah. Tugas
perkembangan utama pada tahap ini adalah menanamkan interaksi yang
sesuai dengan teman sebaya dan orang lain, meningkatkan keterampilan
intelektual khususnya di sekolah, meningkatkan keterampilan motorik halus,
dan ekspansi keterampilan motorik kasar. Pertumbuhan fisik dengan pesat
mulai melambat pada usia 10 hingga 12 tahun. Bentuk wajah berubah karena
tulang wajah tumbuh lebih cepat dari pada tulang kepala. Anak usia sekolah
menjadi lebih kurus, kakinya lebih panjang, koordinasi neuromotorik lebih
berkembang. Gigi tetap mulai tumbuh. Keterampilan bersepeda, memainkan
alat musik, menggambar/ melukis, serta keterampilan lain yang di perlukan
untuk kegiatan kelompok serta kegiatan hidup seharihari sudah berkembang
(Berger & williams,1992;kozier;Erb,Blais & wilkinson, 1995).
Untuk perkembangan emosional dan sosial, anak usia sekolah perlu di
berikan kesempatan untuk belajar menerapkan peraturan dalam berinteraksi
dengan orang lain di luar keluarga. Anak juga mengamati bahwa tidak semua
keluarga berinteraksi dengan cara atau sikap yang sama bahwa setiap
keluarga mempunyai perbedaan norma tentang perilaku yang di terima atau
tidak di terima.
Oleh karena itu, perlu bagi anak untuk mengembangkan kesadaran dan
penghargaan terhadap perbedaan tiap keluarga sehingga dapat berhubungan
dengan orang lain secara efektif.
Menurut Erikson, tugas perkembangan pada tahap ini adalah
mengembangkan pola industri (produktif) versus inferioritas (rendah diri).
Orang tua perlu mendukung dan menjadi contoh peran bagi anak untuk

5
merangsang anak agar produktif. Perkembangan seksual dan citra diri tidak
hanya berhubungan dengan aspek fisiologis, tetapi juga perasaan kompeten,
penerimaan, dan penghargaan.
Perasaan berhasil melakukan sesuatu menjadi sangat penting dalam
proses tumbuh-kembang anak usia sekolah. Mereka juga telah memahami
konsep gender bahwa anak laki akan menjadi bapak dan anak wanita akan
menjadi ibu kalau sudah dewasa. Perkembangan kognitif terjadi cukup pesat
pada masa ini, yaitu menerapkan keterampilan merasionalisasikan
pemahaman tentang ide atau konsep. Mereka dapat menghubungkan antara
konsep waktu dan ruang, mampu mengingat, serta keterampilan
mengumpulkn benda yang sejenis. Anak usia sekolah juga telah belajar
pentingnya memerhatikan norma di rumah, sekolah, agama, dan menghargai
tokoh otoriter, seperti orangtua atau guru.
Pengaruh pengalaman masa kecil terhadap perilaku pada saat dewasa.
Freud menyatakan bahwa masa lima tahun pertama kehidupan anak sangat
penting pada usia lima tahun karakter dasar yang dimiliki anak sangat penting
dan pada usia lima tahun karakter dasar yang dimiliki anak telah terbentuk
dan tidak dan tidak dapat diubah lagi. Freud juga mengenalkan, anatara lain,
konsep transferens, ego, mekanisme koping ( coping mechanism). Sullivian
memfokuskan teori perkembangan anak pada hubungan antara manusia.
Tema sentral teori Sullivian berkisar pada teori Sullivian berkisar pada
ansietas dan menekankan bahwa masyarakat sebagai pembentuk kepribadian.
Anak belajar perilaku tertentu karena hubungan interpersonal.
1.Landasan Teoritis Keperawatan Jiwa Pada Anak

Keperawatan jiwa anak merupakan bagian spesialisasi dari


keperawatan psikiatrik. Intervensi keperawatan jiwa anak mendukung
pertumbuhan dan perkembangan normal anak yang berlandaskan pada
teori perkembangan fisio – biologis, psikologogis, kognitif, sosial,
sensorimotoris, moral, dan filosofi.
Landasan teoritis perkembangan jiwa anak, terdiri dari :

6
a. Teori Perkembangan Fisio – Biologis

Tiga konsep utama yang melandasi teori fisiobiologis


perkembangan individu adalah kepribadian, sifat (traits), dan temperamen.
Kepribadian di definisikan sebagai elemen – elemen yang membentuk
reaksi menyeluruh individu terhadap lingkungan. Temperamen adalah
gaya perilaku sebagai reaksinya terhadap lingkungan dan berkaitan dengan
trait, yaitu atribut kepribadian. Walaupun tidak bersifat genetik, sifat
bawaan (inborn traits) menghasilkan gaya respons sosial yang berbeda
yang memengaruhi pola keterikatan (attachment patterns ) dan
perkembangan psikopatologi.
Body image (citra tubuh) merupakan konsep biofisik yang juga
mempunyai dimensi biologis dan sosial dalam perkembangan seseorang.
Bersifat dinamis dan berkembang mengikuti perkembangan interpersonal,
lingkungan, citra tubuh ideal, dan penyesuaian sebagai respon terhadap
pertumbuhan fisik dan pengalaman hidup.
Maturasi secara teratur dan berangsur terbentuk yang membedakan
anak sebagai bagian yang terpisah dari ibunya, dan skema tubuh mereka
menjadi lebih mantap dan stabil pada akhir masa remaja.
b. Teori Perkembangan Psikologis

Teori psikonalitis yang di kembangkan oleh freud, begitu pula teori


interpersonal psikiatri yang di kenalkan oleh sullivan mendasari teori
psikologis perkembangan Freud adalah orang pertama yang menemukan
teori perkembangan kepribadian dalam pengobatan psikonoalitis pada
orang dewasa. Ia menekankan pada tahap perkembangan dan pengaruh
pengalaman masa kecil terhadap masa perilaku pada saat dewasa. Freud
menyatakan bahwa masa lima tahun pertama kehidupan anak sangat
penting dan pada usia lima tahun karakter dasar yang dimiliki anak telah
terbentuk dan tidak dapat diubah lagi. Freud juga mengenalkan antara lain
konsep transferens, ego, mekanisme koping. Sullivan memfokuskan teori
perkembangan anak pada hubungan antara manusia. Tema sentral teori
Sullivan berkisar pada ansietas dan menekankan bahwa masyarakat

7
sebagai pembentuk kepribadian. Anak belajar perilaku tertentu karena
hubungan interpersonal.
c. Teori Perkembangan Kognitif

Teori piaget menekankan bahwa cara anak berpikir berbeda dari


pada orang dewasa, bahkan anak belajar secara spontan tanpa
mendapatkan masukan dari orang dewasa. Menurut piaget, anak belajar
melalui proses meniru dan bermain, menunjukan proses kegiatan asimilasi,
dan akomodasi, yang menjabarkan tiap tahap dan usia dari kematangan
kognitif anak. Perkembangan kognitif mengitegrasikan struktur pola
prilaku sebelumnya ke arah pola prilaku baru yang kompleks. Kecepatan
tiap tahap perkembangan dipengaruhi oleh perbedaan tiap individu dan
pengaruh sosial. Piaget tidak setuju dengan pendapat ilmuan lain bahwa
orang dewasa dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sebelumnya.
d. Teori Perkembangan Bahasa

Penguasaan bahasa merupakan tugas perkembangan utama pada


masa kanak-kanak, yang mana struktur linguistik dan kognitif berkembang
secara paralel. Chomsky (1975) dalam teorinya meyatakan bahwa anak
menggunakan dan menginterpretasikan kalimat baru melalui proses
kognitif internal yang disebut dengan transformasi, yaitu penyusunan kata
menjadi kalimat. Mula-mula anak memverbalisasi persepsi mereka dengan
memberi nama tentang hal yang di persepsikan, kemudian meningkat
dengan memverbalisasi emosi mereka. Pemberian nama pada objek da
perasaan yang dialami, meningkatkan rasa kontrol anak terhadap
perasaannya, yang dengan sendirinya membantu mereka untuk
membedakan apa yang nyata dan yang tidak. Perkembangan bahas
memudahkan uji realitas dan sebagai dasar terhadap identitas diri dan
perbedaan semua dimensi pada anak yang sedang berkembang.
e. Teori Perkembangan Moral

Perkembangan moral diartikan sebagai konversi sikap dan konsep


primitif ke dalam standar moral yang komprehensif. Proses transformasi
ini merupakan bagian dari/dan bergantung pada kumpulan pertumbuhan

8
kognitif anak, yang timbul sejalan dengan hubungan anak dengan dunia
luar. Teori perkembangan moral, antara lain, dikemukakan oleh Freud,
Piaget, dan Kohlberg.
f. Teori Psikologi Ego

Teori psikologi ego yang menjembatani psikoanalisis dengan


psikologi perkembangan ini menggunakan pendekatan struktural untuk
memahami individu dangan berfokus pada ego atau diri sebagai unsur
mandiri. Ilmuan yang mendukung teori ini berkeyakinan bahwa ego dan
unsur rasional yang menentukan pencapaian intelektual dan sosial terdiri
dari sumber energi, motif dan rasa tertarik. Pada dasarrnya tidak ada satu
teori pun yang secara lengkap dapat menjelaskan perkembangan jiwa anak
dan menyimpulkan secara holistik tentang pennyimpangan kesehatan jiwa
pada anak termasuk landasan intervensi yang perlu dilakukan. Oleh karena
itu, dalam keperawatan jiwa pada anak dapat digunakan suatu pendekatan
yang berfokus pada keterampilan kompetensi ego anak.
Menurut stuart dan sundeen (1995), pendekatan ini sangat efektif
dan sensitif secara kultural dalam merencanakan dan
mengimplementasikan intervensi keperawatan apapun diagnosis psikiatrik
atau dimana pun tatanan pelayanan kesehatan jiwa diberikan. Sembilan
keterampilan kompetensi ego yang perlu dimiliki oleh semua anak untuk
menjadi seorang dewasa yang kompeten menurut Stayhorn (1989) adalah:
Secara lebih terinci keterampilan kompetensi ego yang
berkembang sejak awal kehidupan, yaitu pada masa kanak-kanak dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1) Menjalin hubungan dekat yang penuh rasa percaya.

Keterampilan dasar untuk tumbuh-kembang yang positif adalah


kemampuan membina hubungan dekat dan penuh rasa percaya dengan
orang lain. Untuk mengetahui keterampilan anak, kita perlu
menanyakan pertanyaan sebagai berikut.
a) Apakah anak senang berteman atau bergaul ?

b) Apakah anak sering mengganggu teman ?

9
c) Apakah anak tidak tahu apa yang harus dikatakan ketika
berkenalan dengan seseorang ?
Untuk meningkatkan keterampilan anak dalam menjalin hubungan
dekat dengan orang lain, kita harus berupaya meningkatkan interaksi
dengan anak melalui permainan atau cara lain yang menarik bagi
anak. Berbicara berhadapan dengan penuh perhatian merupakan awal
tindakan yang berarti dan terapeutik bagi anak. Anak perlu belajar
untuk dapat menerima kesalahan dan pentingnya memaafkan orang
lain dalam menjalain hubungan rasa percaya.
2) Mengatasi perpisahan dan pengambilan keputusan yang mandiri

Mampu mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan dan


membuat keputusan yang mandiri merupakan hal penting agar dapat
menjadi individu yang kompeten. Kita dapat mengunakan pertanyaan
berikut ini untuk mengevaluasi keterampilan anak.
a) Apakah anak tampak murung atau cemas ketika tidak bersama
ibunya ?
b) Apakah anak tampak tampak murung atau cemas jika merasa ada
orang yang tidak menyukainya ?
c) Jika murung, apakah ada yang dapat dilakukan oleh anak untuk
mengatasi perasaannya ?
Kegiataan yang berfokus untuk membantu anak
mengidentifikasi dan mengklarifikasi aspek-aspek yang ada pada
dirinya merupakan latihan peningkatan kemandirian yang penting
dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggalakan anak untuk
menggambar dirinya dan meminta pendapat orang lain tentang
masalah terkait. Setiap pengalaman yang mengklarifikasi perbedaan
antara individu membantu anak untuk mengidentifikasi dirinya,
sebagai individu yang unik dalam konteks sosial.
Dalam lingkungan terapeutik, dapat juga di beri kesempatan
kepada anak untuk memilih dan memutuskan, yang selanjutnya
mendukung pertumbuhan dan kompetensi ego anak.

10
3) Membuat keputusan dan mengatasi konflik interpersonal secara
bersama.
Anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk berperan dalam
pengambilan keputusan bersama atau tidak di hargai kerja sama yang
di lakukannya mungkin akan tidak terampilan dalam membuat
keputusan dan mengatasi konflik interpersonal. Pertanyaan yang dapat
di ajukan antara lain, sebagai berikut:
a) Ketika anak mempunyai masalah, apakah ia dapat memikirkan
beberapa cara penyelesaiannya ?
b) Apakah anak menjadi marah jika tidak mendapat keinginannya ?
c) Apakah orang lain mudah dibuat marah oleh anak tersebut ?

4) Mengatasi frustasi dan kejadian yan tidak menyenangkan

Lingkungan yang aman dapat memberi kesempatan pada anak


untuk belajar dan mempraktikkan keterampilan membuat keputusan
dan mengatasi konflik bersama, seperti latihan membuat keputusan
kelompok yang sangat memerlukan kerja sama. Anak perlu dibantu
untuk mengidentifikasi rasa takutnya yang berhubungan dengan kerja
sama dengan orang lain. Yang penting diperhatikan bukan kita selaku
orang tua yang mengatasi konflik untuk anak, tetapi menggunakan
situasi untuk mengajarkan anak keterampilan bernegosiasi dan
membentuk sosialisasi yang sesuai melalui penghargaan
(reinforcement).
5) Menyatakan perasaan senang dan merasakan kesenangan

a) Apakah ada sesuatu yang sangat disukai dilakukan anak?

b) Dapatkah anak dengan mudah menyukai sesuatu kegiatan?

c) Apakah anak senang duduk-duduk dengan santai memikirkan


sesuatu?
6) Mengatasi penundaan kepuasan

7) Bersantai dan bermain

11
Untuk meningkatkan keterampilan ini, anak perlu diberi cukup
waktu bermain yang tidak terstruktur sehingga mempunyai
kesempatan untuk belajar dan menguasai bakat atau kegemarannya.
8) Proses kognitif melalui kata-kata, simbol, dan citra.

Anak yang terganggu emosinya, mungkin kemampuan


kognitifnya belum berkembang. Untuk mengatahui keterampilan
kognitif anak, perlu ditanyakan hal-hal berikut ini.
a) Apakah anak mengalami kesulitan untuk menguraikan perasaannya
pada orang lain?
b) Apakah anak merasa seolah-olah ia tidak pernah tau apa yang
terjadi?
c) Apakah anak dapat mengidentifikasi kelebihan yang dimilikinya?
Lingkungan yang terapeutik diperlukan untuk menstimulasi
perkembangan kognitif anak. Prawat perlu mrancang mainan,
perlengkapan, komunikasi dan interaksi, serta pertemuan yang
berguna bagi proses kognitif anak.
9) Membina perasaan adaptif tentang arah dan tujuan yang diinginkan.
Sejak usia pra-sekolah, anak-anak telah mulai memikirkan
tentang kehidupan mereka jika telah dewasa. Keinginan dan gambaran
mereka tentang kehidupan yang akan datang sanagat dipengaruhi oleh
kehidupan yang mereka amati disekitarnya. Pertanyaan untuk
menggali keterampilan anak ini, antara lain, sebagai berikut.
a) Apakah anak merasa bahwa hidup mereka kelak akan lebih baik?
b) Apakah anak tidak tahu apa yang harus mereka lakukan jika telah
dewasa?
c) Apakah anak merasa bersekolah merupkan hal yang penting dan
menganggap sekolah sebagai sesuatu yang memang harus
dilakukan?

B. Masalah keperawatan jiwa pada Anak


1. Retardasi mental
a. Risiko mutilasi diri sendiri berhubungan dengan gangguan neurologis.

12
b. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan neurologis.
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi sensor
yang kurang, menarik diri.
d. Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensori yang
kurang.
2. Gangguan Prilaku
a. Risiko cedera berhubungan dengan impulsivitas, ketidakmampuan
mendeteksi bahaya.
b. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan perilaku immatur.
c. Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang
disfungsi/umpan balik negatif.
3. Gangguan sosialisasi ( autisme)
a. Risiko mutilasi diri sendiri berhubungan dengan gangguan neurologis.
b. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan neurologis.
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi sensori
yang kurang, menarik diri.
d. Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensori yang
kurang.

C. Model Pelayanan Jiwa Pada Anak


a Dirumah sakit jiwa
1) Tempat dan peralatan bagi pemberi layanan psikologi tersedia untuk
2) melaksanakan tugas pengelolaan di unit pelayanan psikologi.
3) Sarana, prasarana dan fasilitas peralatan tersedia sesuai standar
perinatal layanan psikologi di setiap unit pelayanan psikologi.
4) Kebijakan dan prosedur tertulis yang sesuai dengan kemajuan ilmu
5) pengetahuan dan prinsip pelayanan psikologi harus konsisten dengan
6) tujuan penatalaksanaan menyeluruh dan tersedia di setiap unit
pelayanan. rumah sakit.
b Keluarga
1) Mempertahankan keseimbangan, fleksibilitas, dan adaptif terhadap
perubahan tahap transisi yang terjadi dalam hidup.

13
2) Masing-masing anggota keluarga menyadari bahwa masalah emosi
merupakan bagian dari fungsi setiap individu.
3) Setiap anggota keluarga mampu mempertahankan kontak emosi pada
setiap generasi.
4) Menjalin hubungan erat antaranggota keluarga dan menghindari
menjauhi masalah.
5) Menggunakan perbedaan antaranggota keluarga yang ada sebagai
motivasi untuk meningkatkan pertumbuhan dan kreativitas individu.
6) Antara orang dan anak terbentuk hubungan yang terbuka dan
bersahabat.
c Rumah sakit
Pelayanan Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit adalah pelayanan kasus
gangguan jiwa yang memerlukan penanganan multidisplin dan spesialistik
serta perawatan.

2.2 Model keperawatan jiwa pada Remaja


A. Definisi Remaja

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Namun demikian, menurut
beberapa ahli, selain istilah pubertas digunakan juga istilah adolesens. Para ahli
merumuskan bahwa istilah pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan
biologis baik bentuk maupun fisologis yang terjadi dengan cepat dari masa anak-
anak ke masa dewasa, terutama perubahan alat reproduksi. Sedangkan istilah
adolesens lebih ditekankan pada perubahan psikososial atau kematangan yang
menyertai masa pubertas (Soetjiningsih, 2004).
Masa remaja merupakan dekade kedua kehidupan dimana terjadi perubahan
fisik dan psikologis yang besar. Hal ini juga membawa perubahan dalam interaksi
sosial. Masa remaja sebagai kesempatan untuk menata ke tahap usia dewasa yang
sehat dan produktif serta mengurangi kemungkinan terjadinya masalah kesehatan
dimasa yang akan datang. Masa remaja berlangsung antara umur 10-19 tahun.
Pada fase tersebut terjadi perubahan yang amat pesat baik dalam fase biologis dan
hormonal, maupun bidang psikologis dan sosial.

14
Remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama
kali ia menunjukkan tanda - tanda seksual sekundernya sampai saat ia
mencapai.kematangan seksual (Sarwono, 2011). Masa remaja disebut juga sebagai
masa perubahan, meliputi perubahan dalam sikap, dan perubahan fisik (Pratiwi,
2013).
Remaja pada tahap tersebut mengalami banyak perubahan baik perubahan
secara emosi, tubuh, minat, pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-masalah
pada masa remaja (Hurlock, 2011). Berdasarkan beberapa pendapat remaja yang
telah dikemukakan para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja adalah
individu yang sedang berada pada masa peralihan dari masa anak- anak menuju
masa dewasa dan ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek
fisik, psikis dan sosial
Dalam proses dinamika ini dapat dikemukakan ciri remaja yang normal
(WHO, 2010) adalah sebagai berikut:
a. Tidak terdapat gangguan jiwa yang jelas atau sakit fisik yang parah;
b. Dapat menerima perubahan yang dialami baik fisik maupun mental dan
sosial;
c. Mampu mengekspresikan perasaannya dengan luwes serta mencari
penyelesaian terhadap masalahnya.

Adapun klasifikasi Remaja sebagai berikut, Dalam Sarwono (2011) ada 3


tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa :
a. Remaja Awal (Early Adolescence) berusia 10-13 tahun
b. Remaja Madya (Middle Adolescence) berusia 14-16 tahun.
c. Remaja Akhir (Late Adolescence) Tahap ini (17-19 tahun)

Menurut Yosep, Iyus, dkk, (2014) dalam bukunya yang berjudul


Keperawatan Jiwa, menjelaskan bahwa konseptual model keperawatan kesehatan
jiwa dikelompokkan 6 model sebagai berikut:
a. Psychoanalitycal

Menurut konsep keperawatan kesehatan jiwa model ini menjelaskan


bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang apabila ego atau akal tidak
berfungsi dalam mengkontrol kehendak nafsu atau insting. Ketidakmampuan

15
seseorang dalam menggunakan akalnya untuk mematuhi tata tertib, peraturan,
norma,agama, akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku. Faktor
penyebab lain gangguan jiwa dalam medol ini adalah konflik intrapsikis
terutama pada masa anak-anak.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas
dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatik masa lalu. Misal
pasien dibuat dalam keadaan mengantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak
berdaya pengalam bawah alam sadarnya digali dengan pertanyaan-pertanyaan
untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode
hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus. Peran perawat
dalam metode ini adalah berupaya melakukan assesment atau pengkajian
mengenai keadaankeadaan traumatik atau stressor yang dianggap bermakna
pada masa lalu, dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik
setelah terjalin trust (saling percaya).
b. Interpersonal,

Menurt konsep model ini kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety),
ansietas timbul dan dialami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan
dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang
didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalah Build Feeling Security (berupaya
membangun rasa aman bagi klien), Trusting Relationship and Interpersonal
Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasaan
dalam bergaul dengan orang lain sehingga pasien merasa berharga dan
dihormati.
Peran perawat dalam model konsep ini adalah share anxieties (berupaya
melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan pasien, apa yang
dicemaskan oleh pasien saat berhubungan dengan orang lain), theraspist use
empathyand relationship (perawat berupaya bersikap empati dan turut
merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pasien). Perawat memberikan respon
verbal yang mendorong rasa aman pasien dalam berhubungan dengan orang

16
lain seperti: “Saya senang berbicara dengan anda, saya siap membantu anda,
anda sangat menyenangkan bagi saya”.

c. Social

Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau


penyimpangan perilaku apabila banyak faktor sosial dan faktor lingkungan
yang akan memicu munculnya stress pada seseorang. Akumulasi stressor yang
ada pada lingkungan seperti; bising, macet, tuntutan persaingan pekerjaan,
harga barang yang mahal akan mencetuskan stress pada individu.
Prinsip proses terapi pada konsep model ini adalah Environment
Maniulation and Social Support (pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya
dukungan sosial). Sebagai contoh di rumah harus bersih, harus, tidak bising,
ventilasi yamg cukup. Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model
ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang
ada di masyarakat dengan melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga.
Sedangkan perawat berupaya untuk menggali sistem sosial pasien seperti
suasana di rumah, di kantor, dan di masyarakat.
d. Exitensial

Menurut teori model eksistensial gangguan perilaku atau ganggua jiwa


terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya.
Individu tidak memiliki kebanggaan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan
mengalami gangguan dalam Body image-nya. Prinsip dalam proses terapinya
adalah mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain,
memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap
sebagai panutan, memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi, bergaul
dengan kelompok sosial dan kemanusiaan, mendorong untuk
menerimajatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feed back tentang
perilakunya dari orang lain.

17
Prinsip keperawatannya adalah pasien dianjurkan untuk berperan serta
dalam memperoleh pengalaman yang bearti untuk mempelajari dirinya dan
mendapat feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas
kelompok. Perawat berupaya untuk memperluas kesadaran diri pasien melaui
feed back, kritik saran atau reward and punishment.

e. Supportive Therapy

Penyebab gangguan jiwa dalam konsep model ini adalah faktor


biopsikososial dan respon maladaptif saat ini. Aspek biologisnya menjadi
masalah seperti sering sakit maag, migrain, batuk-batuk. Aspek psikologisnya
mengalami banyak keluhan seperti mudah cemas, kurang percaya diri,
perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah
seperti susah bergaul, menarik diri, tidak disukai, bermusuhan. Semua hal
tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut
muncul akibat ketidakmampuan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang
muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinspi proses terapinya adalah menguatkan respon coping adaptif,
individu diupayakan mengenal terlebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada
pada dirinya, kekuatan mana yang dapat dipakai alternatif pemecah
masalahnya. Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi
coping yang dimiliki dan yang bisa digunakan pasien dan juga berupaya
menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan pasien untuk menyiapkan
coping pasien yang adaptif.
f. Medical

Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor


yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetik, lingkungan dan faktor sosial.
Sehingga fokus piñata laksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan
diagnostik, terapi somatik, farmakologi dan teknik interpersonal. Perawat
berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur
diagnostik dan terapi jangka panjang.

18
B. Masalah keperawatan jiwa pada remaja

Perawat perlu memahami konsep gangguan jiwa dengan menggunakan


pendekatan medis sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan pasien
yang mengalami gangguan jiwa. Fungsi jiwa yang mungkin terganggu meliputi
fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Secara umum gangguan fungsi
jiwa yang dialami seorang individu dapat terlihat dari penampilan, komunikasi,
proses berfikir, interaksi dan aktivitas sehari-hari (Budi, Keliat,dkk, 2012).
1. Psikotik

Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmamapuan


individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham
atau perilaku kacau/aneh. Psikotik terbagi menjadi dua macam yaitu psikotik
akut dan psikotik kronik.
a) Gangguan Psikotik Akut.

Gangguan psikotik akut gangguan yang terjadi dengan awitan yang akut
(dalam masa 2 minggu atau kurang) dengan gejala gejala psikotik yang
menjadi nyata dengan menggunakan sedikitnya beberapa aspek kehidupan
dan pekerjaan sehari-hari, dan tidak diketahui berapa lama gangguan akan
berlangsung. Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu:
1) Mendengarkan suara-suara yang tidak ada sumbernya
2) Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
3) Kebingungan atau disorientasi
4) Perubahan perilaku, menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri,
kecurigaan berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau
lingkungan, bicara dan tertawa serta marah-marah atau memukul tanpa
alasan.

Untuk menegakkan diagnosis, gejala pasti gangguan psikotik akut adalah


sebagai berikut:
1) Halusinasi, persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan. Misalnya,
mendengarkan suara yang tidak ada sumbernya atau melihat sesuatu yang
tidak ada bendanya.

19
2) Waham, ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat
diterima oleh kelompok sosial pasien. Misalnya, pasien percaya bahwa
mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa
diamati/diawasi oleh orang lain.
3) Agitasi atau perilaku aneh (bizar)
4) Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)
5) Keadaan emosional yang labil dan ekstrem (iritabel)

Selain diagnosis pasti, ada diagnosis banding untuk psikotik akut karena
kemungkinan adanya gangguan fisik yang dapat menimbulkan gejala
psikotik:
1) Epilepsi
2) Intoksikasi atau putus zat karena obat atau alkohol
3) Febris karena infeksi
4) Demensia atau delerium atau keduanya
5) Jika gejala psikotik berulang atau kronik, kemungkinan skizofrenia dan
gangguan psikotik kronik lain
6) Jika terlihat gejala mania (suasana perasaan meninggi, percepatan bicara
atau proses pikir, harga diri berlebihan), pasien mungkin sedang
mengalami episode manik.
7) Jika suasana perasaan menurun atau sedih, pasien mungkin sedang
mengalami depresi.
b) Gangguan Psikotik Kronik.

Gangguan psikotik kornik merupakan suatu gangguan dengan gejala


negatif dari skizofrenia yang menonjol, sedikitnya ada riwayat satu episode
psikotik yang jelas di masa lampau, sedikitnya sudah melampaui kurun waktu
satu tahun dengan intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham
dan halusinasi telah sangat berkurang dan telah timbul sindrom negatif dari
skizofrenia, tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau instutisionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negatif tersebut. Untuk menetapkan diagnosis medis psikotik kronik data
berikut merupakan perilaku utama yang secara umum ada:

20
1) Penarkan diri secara sosial
2) Minat atau motivasi diri rendah, pengabaian diri
3) Gangguan berfikir (tampak dari pembicaraan yang tidak ngambung atau
aneh)
4) Perilaku aneh atau apatis, menarik diri, dan tidak memperhatikan
kebersihan yang dilaporkan keluarga

Perilaku lain yang dapat menyertai adalah:


1) Kesulitan berfikir dan berkonsentrasi
2) Melaporkan bahwa individu mendengarkan suara-suara aneh
3) Keyakinan yang aneh dan tidak masuk akal seperti : memiliki kekuatan
supranatural, merasa dikejar-kejar, merasa menjadi orang hebat/terkenal
4) Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh seprti merasa ada hewan atau objek
yang tidak lazim di dalam tubuhnya
5) Bermasalah dalam melaksanakan pekerjaan atau dalam pelajaran

Beberapa kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding psikosis kronik


diantaranya adalah:
a. Depresi jika ditemuka gejala depresi (suasana perasaan menurun atau sedih,
presimisme, perasaan bersalah)
b. Gangguan bipolar jika ditemuka gejala mania (eksitasi, suasana perasaan
meningkat, penilaian diri berlebih)
c. Intoksikasi kronik atau putus zat karen alkohol atau zat/bahan lain
(stimulansia, halusinogenik)
d. Efek penggunaan zat psikoaktif atau gangguan depresi dan gangguan
ansietas menyeluruh jika berlangsung setelah satu periode abstinensia
(sekita 4 minggu)

2. Depresi
Depresi adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan sedih yang
berkepanjangan, proses pikir melambat disertai penurunan motivasi dan perilaku
lamban yang terkesan malas (trias depresi). Depresi bukan merupakan kelemahan
atau kemalasan tapi ketidakberdayaan pasien untuk mengatasi masalahnya.

21
Depresi adalah penyakit yang lazim terjadi dan tersedia terapi yang efektif untuk
mengatasi depresi.
Beberapa perilaku yang menunjukkan depresi adalah:
1) Terdapat satu atau lebih gangguan fisik (kelelahan, rasa nyeri)
2) Penurunan konsentrasi dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang menjadi
kebiasaannya
3) Sensitif (cepat marah, cepat tersinggung)
4) Berdiam diri dan memperlihatkan ekspresi wajah datar atau sedih
5) Gerakan cenderung lamban dan tidak bersemangat melakukan aktivitas
6) Khusus pada anak remaja, sering depresi ditunjukkan dalam bentuk gejala
gangguan tingkah laku, menarik diri atau perilaku, misalnya sikap menentang,
ngebut, perkelahian, atau perilaku mencederai diri
7) Beberapa kondisi yang menunjang depresi seperti baru melahirkan , stroke,
parkinson, atau multiple sclerosis.

Untuk menegakkan diagnosis depresi perilaku yang perlu diperhatikan adalah:


1) Suasana hati sedih
2) Kehilangan minat akan hal yang biasanya disukai
3) Penurunan kegiatan yang biasa dilakukan
4) Konsentrasi berkurang
5) Agitasi atau perlambatan gerak atau pembicaraan
6) Gejala penyerta berikut seringkali ditampilkan/ditemukan:
a. Gangguan tidur
b. Rasa bersalah atau hilang kepercayaan diri
c. Kelelahan atau kehilangan tenaga atau penurunan libido
d. Nafsu makan terganggu
e. Pikiran bunur diri atau lebih baik mati, atau usaha bunuh diri
f. Kecemasan atau kegelisahan

3. Panik
Panik diartikan sebagai gangguan akibat kecemasan yang memuncak dan
pasien merasakan ”rasa yang tidak dapat dijelaskan”, sering disertai dengan
keluhan fisik atau aktivitas motorik tertentu. Panik adalah suatu gangguan yang

22
lazim dan dapat diobati. Ansietas seringkali menghasilkan sensasi fisik yang
menakutkan seperti nyeri dada, pusing, atau napas pendek. Ansietas panik juga
menyebabkan pikiran yang menakutkan (takut mati, perasaan akan jadi gila atau
hilang kontrol).
Masalah panik diketahui terjaid bila pasien datang dengan satu atau lebih
gejala fisik seperti nyeri dada, pusing, napas pendek. Untuk menegakkan
diagnosis pasti dari gangguan ini beberapa perilaku yang menunjukkan diagnosis
adalah:
a. Serangan panik atau rasa yang tidak dapat dijelaskan, muncul secara
mendadak, berkembang dengan cepat dan dapat berlangsung hanya beberapa
menit.
b. Serangan itu muncul bersama dengan gejala fisik seperti palpitasi, nyeri dada,
rasa tercekik, rasa mual, pusing, perasaan yang tidak realistis, rasa takut akan
kehilangan kontol diri atau menjadi gila, serangan jantung, dan mati
mendadak.

Beberapa kondisi medis yang mempunyai gejala yang sama dengan serangan
panik adalah sebagai berikut:
a. Aritmia, iskemia otak, penyakit koroner. Melalui pengkajian riwayat penyakit
dan pemeriksana fisik kondisi medis di atas dapat disingkirkan.
b. Gangguan fobia dan depresi.

4. Gangguan Penyesuaian
Gangguan penyesuaian adalah keluhan kejiwaan dalam berbagai bentuk setelah
mengalami trauma. Beberpaa perilaku yang menunjukkan gangguan penyesuaian
adalah:
a. Pasien merasa tidak berdaya, kewalahan atau tidak mampu menyesuaikan diri.
b. Mungkin disertai gejala fisik yang berkaitan dengan setres seperti tidak dapat
tidur, sakit kepala, nyeri perut, nyeri dada, dan palpitasi.

Untuk mendiagnosis pasti gangguan penyesuaian, perlu dianalisis kondisi-


kondisi dibawah ini:

23
a. Reaksi akut terhadap peristiwa yang traumatik atau penuh setres yang baru
terjadi
b. Setres berat akibat suatu peristiwa traumatik ynag baru terjadi atau kontak
dengan peristiwa traumatik yang pernah terjadi di masa lalu
c. Secara umum gejalanya bersifat somatik
d. Gejala lain yang mungkin dapat menyertai:
1) Suasana hati atau perasaan menurun atau sedih
2) Ansietas atau kecemasan
3) Merasa tak mampu menyesuaikan diri

Reaksi akut biasanya berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu
Beberapa kondisi yang menjadi diagnosis banding gangguan penyesuaian diri:

a. Gangguan disosiatif (konversi) jika ada gejala disosiatif (gangguan yang


tiba-tiba muncul dari gejala somatik yang tak lazim)
b. Gejala akur mungkin bertahan atau berkembang. Jika gejala yang
bermakna bertahan lebih dari 1 bulan, pertimbangkan diagnosis lain
c. Gangguan depresif jika muncul gejala depresi
d. Gangguan ansietas menyeluruh jika muncul gejala ansietas
e. Keluhan somatik tidak terjelaskan jika gejala somatik yang berkaitan
dengan setres berlangsung lama
f. Gangguan akibat kehilangan jika muncul gejala yang berkaitan dengan
kehilangan seeorang yag dikasihi atau dicintai
g. Gangguan penggunaan alkohol atau obat/zat psikoaktif mencapai taraf
berat.

C. Model pelayanan keperawatan jiwa pada remaja


A. Keluarga
Remaja yang tumbuh dalam lingkungan kondusif merupakan sumber
daya manusia yang dapat menjadi aset bangsa tidak ternilai. Keluarga
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terhadap kecerdasan emosional
remaja, dengan adanya dukungan dari keluarga dapat membantu remaja
memperoleh kecerdasan emosional yang tinggi.

24
1. Pola Asuh Keluarga
Proses sosialisasi sangat dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga :
1) pola asuh yang otoriter akan menyebabkan remaja berkembang menjadi
penakut, tidak memiliki rasa percaya diri, merasa tidak berharga,
sehingga proses sosialisasi terganggu
2) Pola asuh permisif akan menumbuhkan sikap ketergantungan dan sulit
menyesuaikan diri
3) pola asuh demokratis akan menimbulkan kesimbangan antara
perkembangan individu dan sosial sehingga anak akan memperoleh suatu
kondisi mental yang sehat.
2. Kondisi Keluarga
Hubungan orang tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan
emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak.
Pendidikan moral dalam keluarga.Pendidikan moral dalam kelurga adalah
upaya menanamkan nilai-nilai akhlak atau budi pekerti kepada anak
dirumah. Budi pekerti mengandung nilai-nilai keagamaan, kesusilaan dan
kepribadian. Apabila keluarga tidak perduli terhadap pendidikan moral
dalam keluarga akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa remaja.
B. Rumah Sakit Umum
Pelayanan Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit adalah pelayanan kasus
gangguan jiwa yang memerlukan penanganan multidisplin dan spesialistik
serta perawatan.
Pusat pelayanan kesehatan berada di Rumah Sakit Umum. Rumah Sakit
Umum menerima kasus secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung kasus datang sendiri atau dibawa oleh keluarga/pengantar maupun
dari Puskesmas. Secara tidak langsung kasus dirujuk oleh pihak lain yang ada
di masyarakat baik perorangan maupun lembaga. Kasus dapat dirujuk
kembali dari fasilitas dengan tingkat yang lebih tinggi seperti Rumah Sakit
Jiwa.
Di dalam Rumah Sakit Umum berturut-turut dilalui proses sebagai berikut
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan fisik

25
3. Penilaian Psikiatrik
4. Tindakan Medik-Psikiatrik
5. Pelayanan Consultation-Liaison Psychiatric
6. Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologis, pemeriksaan psikometrik)
Sedangkan pelayanan yang diperoleh:
1. Penyuluhan
2. Pelayanan Kedaruratan Psikiatri
3. Pelayanan Rawat Jalan
4. Pelayanan Konseling dan Psikoterapi
5. Pelayanan Rawat inap
6. Pelayanan Rujukan
C. Rumah Sakit Jiwa
Instalasi Kesehatan Jiwa Remaja hadir memberikan layanan kepada
masyarakat dengan model onestop services, tujuannya :
1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan anak dan remaja.
2. Mendorong peran keluarga dan masyarakat untuk mengatasi masalah
kesehatan jiwa anak dan remaja dengan peningkatkan pengetahuan dan
keterampilan.
3. Mengembangkan dan meningkatkan mutu, pemerataan dan jangkauan
pelayanan kesehatan jiwa anak dan remaja secara terpadu.
4. Menjadi layanan unggulan, pusat rujukan nasional dan pusat penelitian.

2.3 Model keperawatan jiwa pada Lansia


A. Definisi Usia Lanjut (Lansia)
Usia lanjut adalah seseorang yang usianya sudah tua yang merupakan tahap
lanjut dari suatu proses kehidupan. Ada berbagai kriteria umur bagi seseorang
yang dikatakan tua. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998, lanjut usia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. (Yusuf et
al, 2015)
World Health Organization (WHO) memberikan klasifikasi usia lanjut
sebagai berikut.

26
1. Usia pertengahan (middle age) : 45–59 tahun
2. Lanjut usia (elderly) : 60–74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) : 75–90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun
Lanjut usia (aging structural population) di Indonesia sendiri sebagai negara
berkembang memiliki penduduk berstruktur yaitu memiliki jumlah penduduk
dengan usia 60 tahun ke atas sekitar 8,90% dari jumlah penduduk di Indonesia
(Annisa D.F & ifdil 2016).
Menjadi tua adalah sebuah proses yang pasti terjadi, bahkan setiap orang
ingin bisa hidup sampai tua, tetapi adanya perubahan struktur dan fungsi tubuh
sering menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan, termasuk masalah
kejiwaan.
Menurut Lueckennote (2000) menjelaskna bahwa keperawatan lansia
adalah bidang keperawatan spesifik yang memfokuskan perhatian terhadap
pengkajian kesehatan dan status fungsional usia lanjut, merencanakan,
mengimplementasikan pelayanan keperawatan untuk memenuhi kepatuhan yang
terganggu serta mengevaluasi efektivitas dan pelayanan keperawatan yang
diberikan.
Menurut Ammerican Nursing Association (ANA) (1987) dalam Tyson
(1999), bahwa keperawatan lansia merupakan praktik keperawatan yang
difokuskan pada pengkajian lansia dan status fungsi tubuh lansia, merencanakan,
dan memberikan keperawatan yang tepat untuk lansia serta pelayanan kesehatan
lainnya. Fokus ini ditujukan dalam upaya optimalisasi kemampuan fungsi
menjalankan aktivitas sehari-hari meningkatkan mempertahankan dan
memperbaiki kesehatan, termasuk kesehatan mental (psikososial), mencegah,
dan meminimalkan ketidak mampuan akibat penyakit kronik dan akut, serta
mempertahankan kehidupan dalam ketentraman dan keamanan sampai
meninggal. Jadi keperawatan jiwa lansia merupakan suatu bentuk pelayanan
professional yang di dasarkan ilmu dan kiat/teknik keperawatan lansia yang
berbentuk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang komprehensif, ditujukan
pada lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas/masyarakat.

27
Model pelayana keperawatan menurut Maryam, R. Siti (2008) :
1. Promotion (peningkatan)
Upaya promotive merupakan tindakan secara langsung dan tidak
langsung untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit.
Upaya promotive juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk
meningkatkan dukingan klien, tenaga proofesional dan masyarakat terhadap
praktik kesehatan yang positif menjadi norma-norma sosial. Upaya promotive
dilakukan untuk membantu orang-orang untuk mengubah gaya hidup mereka
dan bergerak kearah keadaan kesehatan yang optimal serta mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang perilaku
hidup mereka.
2. Prevention (pencegahan)
Mencangkup pencegahan primer, sekunder , dan tersier :
a. Pencegahan primer: meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat faktor
resiko, tidakk ada penyakit, dan promosi kesehatan.
b. Pencegahan sekunder: meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa
gejala, dari awal penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak
secara klinis dan mengidap faktor resiko.
c. Pencegahan tersier: dilakukan sesudah terdapat gejala penyakit dan cacat,
mencegah cacat bertambah dan ketergantungan serta perawatan bertahap,
yaitu tahap:
1. perawatan dirumah sakit,
2. rehabilitasii klien rawat jalan,
3. perawatan jangka panjang
3. Early Diagnosis and Prompt Treatment (diagnosis dini dan pengobatan)
Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugasan
professional dan petugasan institusi.
4. Disability Limitation (pembatasan kecacatan)
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan (assessment)
b. Identifikasi masalah (problem identification)
c. Perencanaan (planning)

28
d. Pelakasanaan (implementation)
e. penilaian (evaluation).
5. Rehabilitation (pemulihan)
Pelaksanaan rehabilitasi adalah tim rehabilitasi (petuga medis, petugas
paramedic, serta petugas non medis). Sifat pelayanan keperawatan lansia
adalah:
a. Independent (mandiri)
b. Interdependent (kolaborasi)
c. Humanistic (manusiawi)
d. Holistic (menyeluruh).

Psikodinamika terjadinya gangguan jiwa menjelaskan serangkaian peristiwa


sampai gangguan jiwa terjadi. Maka dari itu, dibutuhkan pengkajian lebih lanjut
terhadap berbagai faktor penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala, serta urutan
peristiwa. Dengan demikian, akan tergambarkan sebagai masalah keperawatan
yang ditemukan (pada komponen pengkajian keperawatan jiwa), sehingga dapat
disusun jejaring urutan kejadian masalah dalam sebuah pohon masalah (Yusuf,
2015).
Berikut beberapa model dari praktik keperawatan jiwa menurut yang
dikembangkan para ahli.
1) Psycoanalytical (Psikoanalitik)
Model ini pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud. Pada
psikoanalitik memandang bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa
berhubungan dengan perkembangan pada masa anak (Nurhalimah, 2016). Hal
ini dikarenakan pertahanan ego pada masa anak tidak adekuat untuk
mengontrol ansietas sehingga mendorong terjadinya penyimpangan perilaku
(Yusuf, 2015). Gejala merupakan upaya untuk mengatasi ansietas dan
berkaitan dengan konflik yang tidak terselesaikan.
Proses terapeutik pada model ini yaitu asosiasi bebas dan analisa mimpi.
Hal tersebut dilakukan untuk menginterpretasikan perilaku, menggunakan
transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu, dan mengidentifikasi
masalah melalui interpretasi resisten pasien. Contoh dari proses terapi pada
model ini adalah klien dibuat dalam keadaan tidur yang sangat dalam

29
kemudian terapis akan menggali alam bawah sadar klien dengan berbagai
pertanyaan. Melalui cara tersebut klien akan mengungkapkan semua pikiran
dan mimpinya.
Peran perawat pada model psikoanalitik yaitu melakukan pengkajian
keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu.
Misalnya klien pernah menjadi korban kekerasan fisik, seksual, maupun
bullying.
2) Interpersonal
Model keperawatan ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan dan
Hildegard Peplau. Teori Interpersonal meyakini bahwa penyimpangan
perilaku disebabkan oleh hubungan interpersonal. Menurut teori model
keperawatan ini kelainan jiwa seseorang disebabkan karena adanya ancaman
yang mengakibatkan timbulnya kecemasan (Ansietas). Maka dari itu, teori ini
menyimpulkan bahwa kecemasan seseorang timbul akibat adanya konflik saat
berhubungan dengan orang lain.
Proses terapeutik dalam model interpersonal terbagi atas 2 macam yaitu,
1. Membangun perasaan aman pada klien
2. Membantu pasien untuk menjalin hubungan saling percaya

Peran perawat dalam terapi ada dua, diantaranya yaitu


1. Share anxiety (berbagi pengalaman mengenai apa yang dirasakan oleh
klien dan apa yang menyebabkan kecemasan pada klien saat berhubungan
dengan orang lain
2. Empati dan turut merasakan apa yang dirasakan oleh klien. Disini perawat
memberikan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam
berhubungan dengan orang lain.
3) Sosial
Model keperawatan ini berfokus pada faktor sosial dan lingkungan yang
dapat memicu stress dan mencetuskan gangguan jiwa (Nurhalimah, 2016). Teori
ini dikembangkan oleh Szasz dan Caplan. Menurut Szasz, setiap individu
bertanggung jawab terhadap perilakunya, mampu mengontrol dan menyesuaikan
perilaku sesuai dengan nilai atau budaya yang diharapkan masyarakat. Caplan,
meyakini bahwa, konsep pencegahan primer, sekunder dan tersier sangat penting

30
untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa. Situasi sosial yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa adalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah, kurangnya support system dan koping mekanisme yang mal adaptif.
Prinsip proses terapi sangat penting dalam modifikasi lingkungan dan
mengatasi sistem sosial. Dengan cara menggali dukungan sosial atau support
system yang dimiliki oleh klien, seperti orang tua, suami/istri, saudara, teman
maupun sahabat. Selain itu, perawat membantu untuk menggali sistem sosial
yang dialami klien, seperti suasana di rumah, di sekolah, di tempat kerja,
maupun di masyarakat.
4) Eksistensial
Dalam model eksistensial, penyimpangan perilaku yang menyebabkan
gangguan jiwa terjadi akibat individu gagal dalam upayanya menemukan jati diri
dan menerima diri. Individu tidak memiliki kebanggaan akan dirinya, membenci
diri sendiri, dan mengalami masalah dalam Body-image nya. Prinsip terapi
dalam model ini adalah mengupayakan individu berinteraksi dengan seseorang
yang dianggap sebagai panutan atau sukses dengan memahami riwayat hidup
orang tersebut dan memperluas kesadaran diri (introspeksi diri). Selain itu, klien
dibantu dalam Terapi aktivitas kelompok.
5) Terapi Suportif
Wermon dan Rockland meyakini bahwa penyebab gangguan jiwa adalah
faktor bio-psiko-sosial dan respos maladaptive saat ini. Contoh aspek biologis
yaitu sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami
banyak keluhan seperti: mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah,
ragu-ragu, pemarah. Aspek sosial seperti susah bergaul, menarik diri, tidak
disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya.
Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena
tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada
masalahmasalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu
(Nurhalimah, 2016).
Prinsip terapi suportif yaitu menguatkan respon koping adaptif. Perawat
membantu klien untuk mengidentifikasi dan mengenal kekuatan atau
kemampuan serta koping yang dimiliki klien. Selama proses terapi, perawat

31
berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik untuk membantu klien
menemukan koping klien yang adaptif.
6) Komunikasi
Pada model komunikasi menjelaskan bahwa penyimpangan perilaku
disebabkan oleh pesan tidak dikomunikasikan dengan jelas. Penyimpangan pada
komunikasi menyangkut kesan verbal-non verbal yang tidak selaras, posisi
tubuh, kecepatan dan volume suara atau bicara. Prinsip proses terapi ini adalah
menganalisis pola komunikasi dan memberikan umpan balik untuk
mengklarifikasi area masalah. Analisis yang dilakukan yaitu transaksional yang
berfokus pada permainan dan belajar untuk berkomunikasi secara langsung
tanpa ada sandiwara. Perawat menginterpretasi pola komunikasi kepada pasien
dan mengajarkan prinsip-prinsip komunikasi yang baik.
7) Model Perilaku
Dikembangkan oleh H.J. Eysenck, J. Wilpe dan B.F. Skinner.
Peyimpangan terjadi karena manusia telah membentuk kebiasaan perilaku yang
tidak diinginkan. Terapi modifikasi perilaku dikembangkan dari teori belajar
(learning theory). Belajar terjadi jika ada stimulus dan timbul respon, serta
respon dikuatkan (reinforcement).
Terapi pada model perilaku dilakukan dengan cara:
1. Desentisasi dan relaksasi, dapat dilakukan bersamaan. Dengan teknik ini
diharapkan tingkat kecenmasan klien menurunkan.
2. Asertif training adalah belajar mengungkapkan sesuatu secara jelas dan
nyata tanpa menyinggung perasaan orang lain.
3. Positif training. Mendorong dan menguatkan perilaku positif yang baru
dipelajari berdasarkan pengalaman yang menyenangkan untuk digunakan
pada perilaku yang akan datang.
4. Self regulasi. Dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama
melatih serangkaian standart perilaku yang harus dicapai oleh klien.
Selanjutnya klien diminta untuk melakukan self observasi dan self evaluasi
terhadap perilaku yang ditampilkan. Langkah terakhir adalah klien diminta
untuk memberikan reinforcement (penguatan terhadap diri sendiri) atas
perilaku yang sesuai.

32
8) Medik
Model keperawatan ini menyatakan bahwa gangguan perilaku disebabkan
oleh penyakit biologis. Gejala yang timbul sebagai akibat dari kombinasi faktor
fisiologis, genetik, lingkungan, dan sosial. Model medik meyakini bahwa
penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan sistem syaraf pusat
(SSP). Dicurigai bahwa depresi dan schizophrenia dipengaruhi oleh transmisi
impuls neural, serta gangguan synaptic. Sehingga fokus penatalaksanaannya
harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostik, terapi somatik, farmakologik dan
teknik interpersonal.
Prinsip proses terapi pada model medik adalah pemeriksaan diagnostic dan
pengobatan meliputi terapi somatik, dan farmakologis, serta berbagai teknik
interpersonal. Peran perawat dalam model medik ini adalah melakukan
kolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostik dan terapi
jangka panjang, terapis berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai
dampak terapi, menentukan diagnosa, dan menentukan jenis pendekatan terapi
yang digunakan.
9) Model Stress Adaptasi
Pandangan terhadap penyimpangan perilaku pada model ini yaitu individu
dalam keadaan sehat maupun sakit diidentifikasi sebagai hasil berbagai
karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan. Proses
terapeutik dalam Stress Adaptasi adalah mengidentifikasi faktor predisposisi,
presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping
yang digunakan pasien (Yusuf, 2015). Peran perawat dalam model ini adalah
membantu pasien lebih adaptif dalam menghadapi stressor.

B. Masalah Pelayanan Keperawatan Jiwa Pada Lansia


1. Paranoid
Respons perilaku yang ditunjukkan dapat berupa curiga, agresif, atau
menarik diri. Lansia selalu curiga pada orang lain, bahkan curiga pada
televisi. Oleh karena lansia tidak mendengar suara TV, tetapi melihat
gambarnya tersenyum atau tertawa, maka TV dianggap mengejek lansia.
Pembantu dianggap mencuri, karena mengambil gula atau beras untuk

33
dimasak, padahal instruksi pembantu berasal dari majikan yang tidak
diketahui lansia.
Tindakan untuk mengatasi hal ini adalah jangan mendebat, karena kita
dianggap menantang, serta jangan mengiyakan, karena dianggap kita
berteman. Berikan aktivitas sesuai kemampuan lansia, sehingga lansia tidak
sempat memperhatikan apa yang dapat menimbulkan paranoid (Yusuf et al,
2015)
2. Gangguan Tingkah Laku
Sifat buruk pada lansia bertambah seiring perubahan fungsi fisik. Lansia
merasa kehilangan harga diri, kehilangan peran, merasa tidak berguna, tidak
berdaya, sepi, pelupa, kurang percaya diri, dan sebagainya. Akibatnya
bertambah sangat banyak sifat buruk setiap adanya penurunan fungsi fisik.
Tindakan untuk mengatasi hal ini adalah berikan kepercayaan kepada
lansia untuk melaksanakan hobi lama sesuai kemampuannya, sehingga harga
diri lansia meningkat dan merasa tetap berguna dalam masyarakat (Yusuf et
al, 2015)
3. Gangguan Tidur
Lansia mengalami tidur superfisial, tidak pernah mencapai total bed
sleep, merasa tengen, setiap detik dan jam selalu terdengar, desakan mimpi
buruk, serta bangun lebih cepat dan tidak dapat tidur lagi. Lansia selalu
mengeluh tidak bisa tidur. Padahal jika diamati, kebutuhan tidur lansia tidak
terganggu, hanya pola tidur yang berubah. Hal ini terjadi karena lansia
mengalami tidur superfisial, sehingga tidak pernah merasa tidur nyenyak.
Misalnya, jam 04.00 sudah bangun, lalu aktivitas beribadah, jalan-jalan,
minum kopi atau susu dengan makanan ringan, selanjutnya mengantuk dan
tertidur. Waktunya sarapan bangun, beraktivitas sebentar, mengantuk lagi,
lalu tertidur. Pada siang hari, setelah makan siang tertidur lagi dan jam 8
malam sudah tertidur. Oleh karena kebutuhan tidur sudah terpenuhi di pagi
dan siang hari, maka jam 3 pagi atau jam 4 pagi sudah bangun dan tidak dapat
tidur lagi.
Tindakan untuk mengatasi hal ini adalah membuat lansia tidak tidur
siang (schedulling), sehingga malam dapat tidur lebih lama. Batasi konsumsi

34
makanan yang membuat mengantuk, serta cegah nonton TV yang
menakutkan atau menegangkan. Obat farmokologi tidak disarankan kecuali
ada indikasi (Yusuf et al, 2015).
4. Keluyuran
Hal ini biasanya terjadi akibat bingung dan demensia. Lansia keluar
rumah dan tidak dapat pulang, hilang, berkelana, atau menggelandang.
Sebenarnya ini tidak dikehendaki oleh lansia. Hal tersebut terjadi karena
lansia tidak betah di rumah, tetapi saat keluar tidak tahu jalan untuk pulang
Tindakan yang dapat dilakukan adalah beri tanda pengenal, cantumkan
nama, nama keluarga, dan nomor telepon, sehingga jika ditemukan
masyarakat dapat menghubungi anggota keluarga. Tingkatkan aktivitas
harian, sehingga lansia tidak ingin keluar rumah. Untuk penyegaran,
dampingi saat keluar rumah (tapi yang sejalur) dan setelah hafal, boleh jalan
sendiri. Pagar di kunci apabila ditinggal oleh pendamping (Yusuf et al, 2015).
5. Sun downing
Lansia mengalami kecemasan meningkat saat menjelang malam (di
rumah), terus mengeluh, agitasi, gelisah, atau teriak ketakutan. Jika di panti,
hal tersebut dapat memengaruhi lansia yang lain. Keadaan ini terjadi karena
lansia gelisah pada saat malam. Pada zaman dahulu, belum ada listrik,
sehingga saat menjelang malam, kecemasan lansia meningkat. Oleh
karenanya, semua anak dan cucunya dicari dan disuruh pulang, semua hewan
peliharaan harus sudah ada di kandang, serta semua anggota keluarga harus
sudah di dalam rumah. Semua itu terjadi karena kekhawatiran dengan
gelapnya malam.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah berikan orientasi realitas, aktivitas
menjelang maghrib, dan penerangan yang cukup (Yusuf et al, 2015).
6. Depresi
Ada banyak jenis depresi yang terjadi pada lansia, di antaranya depresi
terselubung, keluhan fisik menonjol, berkonsultasi dengan banyak dokter
(umum/spesialis), merasa lebih pusing, nyeri, dan sebagainya. Depresi sering
dialami oleh lansia muda wanita karena terjadinya menopause. Apabila lansia
muda wanita tidak siap menghadapi menopause, maka depresi sangat

35
menonjol akan dialami. Namun, bagi yang siap menghadapi menopause akan
merasa lebih bahagia karena dapat beribadah sepanjang waktu tanpa harus
cuti haid. Pada lansia pria, penyebab depresi terutama karena sindrom
pascakekuasaan (postpower syndrom). Lansia mulai berkurang penghasilan,
teman, dan harga diri.
Tanda yang sering muncul adalah tidur (sleep) meningkat, ketertarikan
(interest) menurun, rasa bersalah (guilty) meningkat, energi (energy)
menurun, konsentrasi (concentration) menurun, nafsu makan (appetite)
menurun, psikomotor (psycomotor) menurun, bunuh diri (suicide) meningkat
—SIGECAPS.
Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan penyebab yang ditemukan.
Selain itu, tingkatkan harga diri lansia, serta yakinkan bahwa lansia masih
tetap dihargai dalam keluarga dan tetap bermanfaat bagi masyarakat (Yusuf et
al, 2015)
7. Demensia
Demensia adalah suatu sindrom gejala gangguan fungsi luhur kortikal
yang multipel, seperti daya ingat, daya pikir, daya tangkap, orientasi,
berhitung, berbahasa, dan fungsi nilai sebagai akibat dari gangguan fungsi
otak. Demensia banyak jenisnya yang bergantung pada penyebab dan gejala
yang timbul, di antaranya demensia, multiinfark demensia, alzheimer, atau
bahkan retardasi mental (Yusuf et al, 2015).
Respon yang menjadi ciri khas pada lansia yang mengalami demensia
adalah terjadinya penurunan daya ingat kronis yang membuatnya bingung
melakukan sesuatu, hal ini menjadi pertimbangan ditegakkannya diagnose
keperawatan konfusi kronis pada lansia yang mengalami demensia (Missesa
et al, 2019)
Tindakan yang dapat dilakukan adalah berikan aktivitas sesuai
kemampuan dan kolaborasi pengobatan dengan farmakologis.
8. Sindrom Pascakekuasaan (Post Syndrom)
Sindrom pascakekuasaan adalah sekumpulan gejala yang timbul setelah
lansia tidak punya; kekuasaan, kedudukan, penghasilan, pekerjaan, pasangan,
teman, dan sebagainya. Beberapa faktor penyebab lansia tidak siap

36
menghadapi pensiun adalah kepribadian yang kurang matang, kedudukan
sebelumnya terlalu tinggi dan tidak menduduki jabatan lain setelah pensiun,
proses kehilangan terlalu cepat, serta lingkungan tidak mendukung.
Alternatif tindakan yang dapat dilakukan adalah optimalkan masa
persiapan pensiun (MPP) selama 1 tahun, serta gaji penuh tetapi masih boleh
mencari pekerjaan lain untuk menyiapkan alih kerja. Jika lansia bukan
seorang PNS, maka siapkan jaminan sosial hari tua yang memadai ketika
masih muda.
Upayakan lingkungan tetap kondusif, seperti keluarga dan anak tetap
menghargai. Usahakan kebiasaan di rumah masih tetap dilakukan, misalnya
makan bersama, mengobrol bersama, dan sebagainya. Usahakan tetap ada
kedudukan di masyarakat, seperti menjadi ketua yayasan sosial, koperasi,
atau takmir masjid. Dengan demikian, lansia masih akan tetap merasa
dihormati dan berguna bagi masyarakat.
9. Kecemasan
Istilah kecemasan dalam Bahasa Inggris yaitu anxiety yang berasal dari
Bahasa Latin angustus yang memiliki arti kaku, dan ango, anci yang berarti
mencekik (Annisa D.F & ifdil 2016).
Definisi lain tentang ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang
samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu
respons. Seringkali sumber perasaan tidak santai tersebut tidak spesifik atau
tidak diketahui oleh individu.Ansietas dapat pula diterjemahkan sebagai suatu
perasaan takut akan terjadi sesuatu yang disebabkan oleh antisipasi bahaya.
Ansietas merupakan sinyal yang menyadarkan/memperingatkan akan adanya
bahaya yang akan datang dan membantu individu untuk bersiap mengambil
tindakan untuk menghadapi ancaman (Nurhalimah, 2016)

C. Model Pelayanan Keperawatan Pada Lansia


a. Keluarga
Keluarga adalah merupakan unit terkecil dari masyarakat. Oleh
karena itu, kesehatan jiwa masyarakat ditentukan pula oleh kondisi

37
keluarga. Menurut Good & Good, kesehatan jiwa masyarakat dapat terjadi
apabila keluarga dan masyarakat dalam keadaan sejahtera.
1. Lansia dengan keterbatasan fisik dan mental yang mental yang
memerlukan bantuan dari keluarga.
2. Ketenagaan:
a. Tenaga keperawatan dengan dukungan tenaga kesehatan/sosial lain
dan keluarga.
b. Keluarga dengan bimbingan dan pemantauan tenaga keperawatan.
3. Intervensi:
a. Bentuk pelayanan/bantuan: keperawatan langsung/teknis
keperawatan, konsultasi, nutrisi, fisoterapi, bantuan kegiatan rumah
tangga (berbelanja, menyiapkan makanan dan lain-lain).
b. Asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan diikuti
dengan catatan perkembangan dengan sistem SOAP.
c. Pelayanan ini memerluka nkerja sama antar tim kesehatan dengan
keluarga.
4. Pemberdayaan keluarga:
a. Keperawatan oleh keluarga/tenaga sukarela dengan bimbingan atau
pemantauan tenaga keperawatan.
b. Berbagai program perlu disiapkan untuk mendukung keluarga dalam
merawat lansia dirumah. Antara lain, konsultasi, pelatihan career
group.
b. Rumah Sakit Umum
Pelayanan kesehatan jiwa integratif merupakan pelayanan kesehatan
jiwa yang dilaksanakan di rumah sakit umum. Pelayanan ini berbentuk
unit perawatan intensif kejiwaan (psychiatric intensive care unit—PICU)
dan konsultan penghubung keperawatan kesehatan mental (consultant
liaison mental health nursing—CLMHN). Unit psikiatri di rumah sakit
umum merupakan sarana pelayanan keperawatan kesehatan jiwa jangka
pendek (short term hospitalization), sedangkan CLMHN merupakan sarana
merawat pasien gangguan fisik umum yang mengalami masalah
psikososial. Pelayanan kesehatan jiwa berfokus pada masyarakat dimulai

38
dari pelayanan tingkat kabupaten/kota, puskesmas, kelompok khusus
sampai keluarga. Pelayanan ini dikenal dengan keperawatan kesehatan
jiwa masyarakat (community mental health nursing—CMHN). Pelayanan
kesehatan jiwa di CMHN ini dimulai dari level lanjut (advance),
menengah (intermediate), dan dasar (basic).
1. Lansia dengan gangguan fisik dan mental yang memerlukan bantuan
tenaga professional.
2. Ketenagaan: tenaga keperawatan dengan dukungan tenaga
kesehatan/sosial lain, dan keluarga.
3. Intervesi:
a. Bentuk pelayanan atau bantuan berupa keperawatan langsung/teknis
keperawatan, terapi medik, konsultasi, nutrisi, fisioterapi, dan lain-
lain.
b. Asuhan keperawatan sesuai tingkat ketergantungan pasien dengan
pendekatan proses keperawatan, diikuti dengan catatan perkembangan
keperawatan dengan sistem SOAP.
c. Rumah Sakit Jiwa
Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan
adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat
yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur
yaitu anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Aktivitas pada pencegahan
primer adalah program pendidikan kesehatan, program stimulasi
perkembangan, program sosialisasi kesehatan jiwa, manajemen setres,
Persiapan manjadi orang tua
1. Psikogeriatri
Psikogeriatri adalah cabang dari ilmu kedokteran jiwa yang
mempelajari masalah kesehatan jiwa yang menyangkut aspek promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif serta masalah psikososial yang
menyertai Lanjut Usia. Tim Terpadu Psikogeriatri adalah suatu tim
multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin untuk menangani

39
masalah kesehatan jiwa lansia dengan prinsip tatakelola pelayanan
terpadu dan paripurna dengan mendekatkan pelayanan kepada pasien
lansia. Pelayanan geriatri diberikan kepada pasien lansia dengan kriteria
memiliki lebih dari satu penyakit fisik dan/atau psikis, atau memiliki
satu penyakit dan mengalami gangguan akibat penurunan fungsi organ,
psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan
pelayanan kesehatan dan juga pasien dengan usia 70 tahun keatas yang
memiliki satu penyakit fisik dan/atau psikis
2. Pemberian obat Anti Demensia
seperti Donepezil dan Rivastigmin bermanfaat untuk menghambat
kemunduran fungsi kognitif pada demensia ringan sampai sedang, tapi
tidak dianjurkan untuk demensia berat. Untuk mengendalikan perilaku
agresif dapat diberikan obat antipsikotik dosis rendah (haloperidol 0,5-1
mg/hari atau Risperidon 0,5-1 mg/hari). Untuk mengatasi gejala
Depresi dapat diberikan Antidepresan (Sertralin25mg/hari)
3. Pada lansia yang mengalami depresi akan dilakukan terapi. Tujuan
utama terapi yaitu mengakhiri episode depresi saat ini dan mencegah
timbulnya episode penyakit di masa yang akan dating.
Untuk itu dibagi menjadi 3 fase:
a. Fase akut
Dimulai dari keputusan untuk terapi dan berakhir dengan remisi.
Skala penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat
membantu menentukan beratnya penyakit dan perbaikan gejala.
Target pengobatan pada fase akut tercapainya respon atau remisi
(lebih baik). Lama terapi pada fase akut 2-6 minggu. Indikasi yang
pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah
1). Prosedur diagnostik
2). Risiko bunuh diri atau pembunuhan
3). Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi
kebutuhan makan dan perlindungan
4). Cepatnya perburukan gejala
5). Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya

40
Kombinasi terapi psikososial dan farmakoterapi memberikan
hasil yang baik. Untuk kasus ringan terapi psikososial saja juga
memberikan hasil yang baik. Panduan memilih medikasi:
1). Riwayat respons pengobatan
2). Prediksi respons gejala terapi
3). Adanya gangguan psikiatri/medik lain
4). Keamanan
5). Potensi Efek Samping
b. Fase lanjutan
Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan
mencegah relaps. Remisi yaitu bila HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8,
bertahan paling sedikit 3 minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.

c. Fase rumatan
Tujuan untuk mencegah rekurensi. Hal yang perlu
dipertimbangkan adalah risiko rekuren, biaya dan keuntungan
perpanjangan terapi. Pasien yang telah tiga kali atau lebih
mengalami episode depresi atau dua episode berat dipertimbangkan
terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang telah
berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama
masa pemeliharaan

41
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal. Masalah mental
emosional yang tidak diselesaikan akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan anak, terutama terhadap pematangan karakternya, hal ini
mengakibatkan terjadinya gangguan mental emosional yang dapat berupa perilaku
berisiko tinggi (Farida, 2014).
Proses pembentukan kesehatan mental anak bisa terbentuk dari peran
keluarga. Pola asuh orang tua dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan
secara modeling menurun pada anak. Pola komunikasi dan interaksi yang di
jalankan oleh keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan dan
pembentukan mental anak yang sehat. Cara cara keluarga dalam nengekpresikan
dan mengkomunikasikan sesuatu dapat membentuk kesehatan anak atau justru
kesakitan mental anak ( setiyawati, 2016)

3.2 Saran

42
Demikian makalah yang telah kami susun, semoga dengan makalah ini
dapat menambah pengetahuan serta lebih bisa memahami tentang pokok bahasan
makalah ini bagi para pembacanya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama http://scholar.unand.ac.id/54578/8/BAB%20I%20.pdf . Diakses pada


tanggal : 1 Oktober 2020 RI, MENKES. 2009. PEDOMAN PELAYANAN
KESEHATAN JIWA KOMUNITAS. Jakarta. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.
Annisa D.F & ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) Pada Lanjut Usia
(Lansia). Konselor, 5(2), 93-99
Dewi, Suzy Yusna. Link : https://rsjsh.co.id/kesehatan-jiwa-anak-dan-remaja .
diakses pada tanggal: 2 Oktober 2020
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan. 21 Oktober 2019. Link :
http://dinkes.sumselprov.go.id/2019/10/peran-keluarga-menentukan-
kecerdasan-emosional-dan-kesehatan-jiwa-remaja/ . Diakses pada tanggal :
2 Oktober 2020.
Drs. Sunaryo, M.Kes, Wijayanti, Hj. Rahayu, S. Kp., M. Kep., S. Kom., dll.
Asuhan Keperawatan Gerontik. CV Andi Offset. (2015).
Farida. 2014. Buku Ajar Keperawatan JIwa. Jakarta : Salemba Medika.
Sandu Siyoto, Abdul Muhith. Pendidikan Keperawatan Gerontik. CV Andi
Offset. (2016).
Keliat, B A. dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic
Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Keliat, Budi Anna et all. 2012 Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta:
EGC
Keliat, Budi Anna et all. Manajemen Keperawatan Psikososial & Kader
Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa.
Jakarta: Kemenkes RI. Diakses pada tanggal 30 September 2021 dari
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-

43
MENKES-73-
2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf
Nasriati, Ririn. KESEHATAN JIWA REMAJA. Ponorogo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Nasriati, Ririn. 2011. Kesehatan Jiwa Remaja. Ponorogo: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan
KEMKES RI
Nurhalimah. 2016. Keperawatan Jiwa. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan Videbeck,
Sheila L. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC
Ohrnberger, J., Fichera, E., & Sutton, M. (2017). The Relationship Between
Physical and Mental Health: A Mediation Analysis. Social Science &
Medicine, 195, 42-49.
Potter, A & Perry, A 2012, Buku ajar fundamental keperawatan; konsep, proses,
dan praktik, vol.2, edisi keempat, EGC, Jakarta.
Setiawati, Dewi. (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan
Perawatan Diri Pada Lansia Di Desa Windujaya Kecamatan
Kedaungbanteng Kabupaten Banyumas, Purwokerto: Naskah Publikasi.

44
Yosep, Iyus & Sutini, Titin. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Yusuf, Ah, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai