Penulis: Inayah
Auwalur Rizqi Al-Firori , nama asli Rev, pemuda kelahiran Mojokerto, 1995 adalah
salah satu dari banyaknya generasi milenial Indonesia terpintar dibidangnya. Seorang
musik produser, sinematografer, dan sutradara.
Sewaktu kecil ia tinggal di desa Trawas, Mojokerto, Jawa Timur. Ia mengaku hanyalah
anak yang lahir di lingkungan pedesaan. Lingkungannya sangat religius, ia pun bersekolah
di Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Tsanawiyah.
“Saya izinkan kamu di dunia musik tapi kamu harus bisa menyampaikan pesan lewat
musik itu. Musisi itu punya pengaruh besar jika dikemas secara positif” ucapannya yang ia
ingat merupakan wasiat dari ayahnya. Ia pun bertekad untuk menyampaikan semangat
nasionalisme dan patriotisme lewat musik dan lagu.
Setelah belajar bermain gitar, ia merasa bahwa dengan gitar saja tak cukup untuk
menyampaikan segala keinginannya dalam menyampaikan pesan lewat musik. Launcpad
yang saat itu dikenal sebagai alat musik baru di Indonesia, Ia pun memulai perjalanan
karirnya dengan alat musik elektronik tersebut.
Hingga munculah nama panggung yang ia inginkan yaitu “Rev” yang berasal dari kata
revolution yang memiliki makna perubahan secara drastis.
Di lain cerita, setelah 3 tahun ia belajar musik di SMK Musik Klasik. Suatu ketika ia
membuat produksi musik video yang bekerja sama dengan orang-orang yang
berkecimpung di dunia videographer. Ia berpikir bahwa hasil dari musik video tersebut
tidak bisa tersampaikan imajinasinya secara keseluruhan. Sampai akhirnya ia merasa tidak
bisa jika begini seterusnya.
Ia mengatakan bahwa ia hanya cukup 3 semester untuk menguasai semua itu lalu
memutuskan untuk keluar dari bangku perkuliahan dan langsung menerapkannya dengan
memproduksi beberapa karya. Senja dan Pagi, Indonesia Raya dan Greet Tomorrow
merupakan beberapa karyanya yang bisa kita nikmati di Youtube. Viewsnya pun tidak
main-main, rata-rata sudah menyentuh angka jutaan. Ini membuktikan bahwa karya-
karyanya sangat diapresiasi.
Ia juga bercerita tentang cita-cita dan visi yang dimilikinya yaitu ingin menjadi
manusia yang idealis seutuhnya. Di era milenial untuk menjadi diri sendiri itu bukanlah hal
yang mudah. Selain memiliki jiwa yang idealis, ia juga seorang yang nasionalis. Salah satu
keinginannya yaitu memadukan unsur budaya Indonesia dengan electronic dance music
(EDM). Baginya mengaransemen lagu nasional itu bukan sekedar seni musik, tapi sebuah
pesan sejarah, nilai-nilai kebangsaan yang harus dijaga kesakralannya lalu dapat diterima
para generasi muda dengan senang hati.
Seperti yang kita tahu, lagu nasional hanya didengar saat upacara, acara-acara
kebangsaan dan hari-hari nasional. Pemuda ini ingin mengubah presepsi bahwa lagu
nasional adalah lagu yang indah untuk dinikmati dan masuk playlist anak milenial sehingga
dapat sejajar dengan lagu-lagu barat. Bukan itu saja keinginannya, tak hanya senang untuk
dinikmati karya-karyanya melainkan dapat tersampaikan pesan sehingga dapat membuat
para audience merinding mendengarnya.
Sempat ia berpikir bahwa ia ingin difasilitasi oleh seseorang untuk memenuhi segala
keinginan dan kebutuhannya dalam berkarya, tapi sampai saat itu belum ada orang yang
percaya. Akhirnya, ia mengatakan bahwa dirinyalah yang harus menciptakan orang
tersebut pada dunianya sendiri.
Maka dari itu ia bertekad untuk mempunyai seluruh kebutuhan yang didasari
bakatnya secara kompleks. Hingga saat ini, untuk membuat lagu tanpa label produksi itu
adalah suatu kemerdekaan baginya.
Project Asian Games sampai saat ini menjadi salah satu karya terbaiknya. Ini
merupakan project independen tidak dibayar dari pihak manapun, hanya sekedar untuk
ikut memeriahkan. Kunci dari semuanya adalah menjadi peran utama tidak cukup, tapi kita
harus menciptakan peran itu sendiri. Baginya aktor utama dalam sebuah film adalah
sutradara, karena sutradaralah yang menggerakkan jalannya sebuah film.
Dan pada akhirnya project Asian Games miliknya berhasil dikenal di berbagai negara.
Pada project itu, ia memperkenalkan alam Indonesia yang begitu indah dipadu dengan
alunan-alunan musik gamelan ciri khas Nusantara. “Generasi milenial jangan hanya
menjadi generasi menunggu tapi jadilah generasi mencipta”, ujarnya.
Untuk menghasilkan karya yang sangat hebat itu, ia mengaku biaya produksinya
tidaklah kecil. Meskipun begitu, karya baginya adalah sebuah investasi.
Untuk menunjang finansial atas karya-karya yang ia ciptakan, ia menjual apa yang ia
bisa lakukan. Misal menjadi orang dibalik layar atas project-project tawaran seperti kabin
Garuda Indonesia, dan masih banyak lainnya. Ia mengatakan bahwa banyaknya uang uang
ia miliki tidak akan ia diamkan, melainkan akan diubah kebentuk alat-alat yang dapat
menjunjang kualitas karyanya. “Berinvesatsi jauh lebih baik dari pada menabung”,
tuturnya.
Sebenarnya jiwa nasionalisme telah menjadi tanggung jawab dalam dirinya sejak ia
dipanggil ke London dalam acara Indonesian Weekend yang di adakan di Kedutaan Besar
Republik Indonesia. Kehadirannya dalam acara tersebut karena karyanya yang bisa
mengkolaborasikan budaya ethnic dengan EDM. Menduniakan Indonesia menjadi tujuan
terbesarnya, dengan fokus terhadap karya mengaransemen lagu. Memadukan musik
tradisional yang menjadi aset bangsa Indonesia ke musik EDM agar lebih universal.