Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH PSIKOLOGI DAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah SatuTugas Kelompok pada Mata Kuliah


Psikologi Pendidikan, Fakultas Tarbiyah, Prodi Manajemen
Pendidikan Islam (MPI), Kelompok 2, Semester l

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2

IRMAWATI
NIM 862312021033
SARINA ANWAR
NIM 862312021036

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


BONE

2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul sejarah psikologi dan psikologi pendidikan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak Syahril S.pd.,M.pd
pada mata kuliah psikologi pendidikan. Selain itu makalah ini juga bertugas untuk menambah
wawasan tentang sejarah psikologi dan psikologi pendidikan bagi pembaca maupun kami sebagai
penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada pak Syharil selaku dosen pembimbing mata
pelajaran psikologi pendidikan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami pelajari saat ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Watampone, 6 Oktober 2021

Kelompok 2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2

A. Awal Perkembangan........................................................................................................2

B. Era Kemajuan.......................................................................................... .........................5

C. Perkembangan Lebih Lanjut........................................................................... ................6

D. Perkembangan Psikologi Pendidikan di Indonesia............................... ........................9

BAB III PENUTUP.......................................................................................11

A. Simpulan..........................................................................................................................11

B. Saran................................................................................................................................11

DAFTAR RUJUKAN....................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ditinjau dari asal katanya, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, dan Ligos yang
berarti ilmu.Jadi secara istilah, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-
gejala kejiwaan. Tetapi dalam sejarah perkembangannya , kemudian arti psikologi menjadi ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia. Ini di sebabkan karena jiwa yang mengandung arti yang abstrak itu
sukar untuk di pelajari secara objektif.Kecuali itu, keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya
hampir setiap tingkah laku.

Beragamnya pendapat para ahli psikologi tentang pengertian dari psikologi, sehingga bisa di
simpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan perbuatan
individu dimana individu tersebut tidak dapat di lepaskan dari lingkungannya. Pada zaman sebelum
masehi, psikologi sudah dipelajari orang dan banyak di hubungkan dengan filsafat.Para ahli filsafat
pada waktu itu sudah membicarakan tentang aspek-aspek kejiwaan manusia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian psikologi pendidikan?

2. Bagaimana hubungan psikologi dengan pendidikan?

3. Bagaimana pendapat menurut para tokoh psikologi?

4. Apa perkembangan lebih lanjut tentang psikologi pendidikan?

5. Bagaimana perkembangan psikologi pendidikan di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN

Mengetahui dan memahami tentang psikologi dan psikologi pendidikan, menyangkut pengertian,
awal perkembangan, era kemajuan, perkembangan lebih lanjut dan dan perkembangan psikologi di
Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Awal Perkembangan

Esensi psikologi telah ada jauh sebelum istilah "psikologi" itu sendiri lahir sebagaimana
diperkenalkan oleh Rudolph Goclenius pada tahun 1590. Sampai dengan akhir abad ke-19, psikologi
dipandang sebagai bagian dari filsafat dan ilmu faal. Studi psikologi dalam konteks filsafat telah ada
sejak peradaban Mesir, Yunani, Cina, India, dan Persia Kuno. Tulisan-tulisan filsuf Yunani Kuno, seperti
Thales, Plato, dan Aristoteles, merupakan karya akademik penting dalam sejarah pemikiran psikologi
selanjutnya.

Pada era jayanya, Plato (427-347 SM) sebagai salah seorang dari filsuf-filsuf besar pada zamannya
telah mengupas secara cukup mendalam mengenai konsep berfikir atau mentalitas sebagai kombinasi
dimensi jiwa dan raga. Sumbangsih Plato yang terpenting adalah mengenai ide dan konsepsinya
bahwa dunia fana sebagai refleksi atau bayangan dunia ideal. Bagi Plato, dunia ideal itu sangat
sempurna, yang tidak hanya merujuk kepada fenomena yang tidak hanya dapat dipegang, melainkan
juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual. Misalnya, konsepsinya mengenai
"kebajikan" dan "kebenaran". Plato merupakan filsuf terbesar dalam sejarah manusia. Disadari atau
tidak, "kebijakan" dan "kebenaran" tidak lepas dari masalah jiwa, mental, dan pikiran manusia.

Para filsuf atau ahli filsafat Yunani Kuno telah memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Produk pemikiran
mereka tentang masalah ini masih berupa hasil penalaran tingkat tinggi atau naturalistik, karena pada
saat itu belum ada pembuktian secara empiris atau ilmiah, apalagi penelitian eksperimental seperti
sekarang. Gejala-gejala kejiwaan mereka jelaskan melalui mitologi, misalnya, sebagaimana termuat
dalam Mitologi Yunani. Thales (624-548 SM) yang kemudian dikenal sebagai Bapak Filsafat merupakan
salah seorang filsuf yang menggunakan pendekatan naturalistik ini. Thales meyakini bahwa jiwa dan
hal-hal supernatural itu sesungguhnya tidak ada, karena tidak ada gejala alam (natural phenomenon)
yang menerangkannya.

Sekarang orang percaya bahwa jiwa itu ada, tetapi bukan jiwanya yang dipelajari, melainkan sikap
dan perilaku yang muncul sebagai representasi dari jiwa itu. Bukan jiwa yang menjadi penjelas sikap
dan perilaku yang nampak. Melainkan sebaliknya, sikal dan perilaku yang nampaklah yang
menjelaskan kecenderungan jiwa seseorang. Psikologi kriminal pun menggunakan hasil tes untuk
menentukan apakah seseorang terduga pidana itu normal atau gila. Hasil tes itulah yang menggiring
mereka pada sebuah kesimpulan. Itu pun harus dilakukan dengan multicara.

Tokoh lainnya adalah Hipocrates (460-375 SM) yang sepakat dengan Empedocles (490-430 SM),
bahwa dalam diri manusia terdapat empat cairan tubuh bumi/tanah, udara, api, dan air. Menurut
Hipocrates (460-375 SM), Bapak Ilmu Kedokteran, elemen-elemen cairan itu memiliki kesesuaian sifat
dengan keempat elemen dasar perilaku manusia. Berdasarkan komposisi cairan yang ada dalam tubuh
manusia tersebut, Hipocrates (460-375 SM) mengelompokkan manusia dalam empat golongan.

1. Sanguine, yaitu orang yang mempunyai kelebihan darah dalam tubuhnya mempunyai temperamen
penggembira.

2. Melancholic, yaitu orang yang terlalu banyak sumsum hitam, bertemperamen pemurung.

3. Choleric, yaitu orang yang terlalu banyak sumsum kuning, dengan bertemperamen semangat dan
gesit.

4. Plegmatic, yaitu orang yang terlalu banyak lender, dengan bertemperamen lamban.

Tokoh Yunani lainnya adalah Democritus (460-370 SM) yang berpendapat bahwa pada dasarnya
jiwa adalah satu dengan raga. Menurut Democritus, jiwa dan raga berasal dari unsur-unsur yang sama
dan tunduk pada hukum-hukum yang sama atau monoisme. Selain pandangan monoisme, tumbuh
pula pandangan dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan jiwa dari raga. Jiwa tidak sama dengan
raga. Masing-masingnya tunduk pada aturan-aturan atau hukum-hukum yang terpisah. Socrates (469-
399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan tokoh yang menganut
pandangan dualisme ini.

Bagi Socrates, pada setiap manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dalam dunia
nyata, meski kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Fenomena "terpendam" itu oleh Socrates
digali dengan metode dialog atau tanya Jawab. Dialog selalu mengandung makna lebih dari dua orang.
Kedudukan "orang lain" ini, menurut Socrates, penting untuk memunculkan atau menarik "ide" orang
lain yang terpendam di dalam jiwanya, seperti halnya bidan atau dukun paraji membantu kelahiran
seorang anak manusia. Ide-ide terpendam dan aneka persoalan yang dialami oleh individu itu oleh
Socrates dipandang hanya akan "keluar" jika digali melalui dialog atau tanya jawab. Metode ini dikenal
dengan metode Socrates (Socratic Method). Dengan metode ini akan lahir pemahaman atau
pengertian yang disebut "maieutics", menarik ide terpendam atau aneka persoalan individu dari
dalam dirinya, selayaknya tindakan seorang bidan atau dukun paraji tadi.

Socrates menekankan akan pentingnya pengertian dan pemahaman manusia mengenai "dirinya
sendiri" sebagai persyaratan untuk memahami dan mengerti mengenai hal-hal diluar dirinya.
Semboyannya yang terkenal adalah "belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar tentang
manusia". Metode Socrates dengan "maieutics-nya" kemudian mengilhami Rogers dalam
mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut teknik-teknik tidak langsung "nondirective
rechniques" pada tahun 1943. Dengan teknik ini, psikologi atau psikoterapi dapat menggali persoalan-
persoalan dalam diri pasien sehingga mereka menyadari sendiri persoalan-persoalannya tanpa terlalu
diarahkan.
Plato, murid dan pengikut setia Socrates, juga penganut dualisme dalam makna sesungguhnya.
Menurut Plato, dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri terlepas dari pengalaman hidup
sehari-hari. Bagi Plato, orang dewasa dan intelektual dapat membedakan antara jiwa dan raga.
Sebaliknya, bagi anak-anak jiwa dan raga itu masih bercampur, karena mereka belum bisa
memisahkan dan membedakan antara ide-ide dengan dunia konkret. Plato merupakan penganut
paham deteminisme dan nativisme, antara lain ditandai dengan keyakinannya bahwa sejak lahir setiap
orang telah ditetapkan status dan kedudukannya di masyarakat, apakah akan menjadi seorang filsuf,
prajurit, atau pekerja. Dengan pemikiran semacam itu, Plato pun dinilai sebagai perintis atau tokoh
pemula dari paham perbedaan individual (individual differences). Pada era "psikologi modern" sebagai
pemeriksaan psikologis seorang dengan instrumen tertentu.

Siswa Plato yang juga menjadi filsuf sangat adalah Aristoteles (385-322 SM). Dia berkeyakinan
bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati sesuatu wujud tertentu
(matter). Dimana "jiwa" berada pada “wujud” tertentu. Wujud itu pada hakikatnya merupakan
pernyataan atau ekspresi dari jiwa, seperti halnya sikap dan perilaku seserorang merupakan
perwujudan dari kondisi kejiwaannya. Bagi Aristoteles kemudian diberi gelar sebagai Bapak Psikologi
Empiris, segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu matter sebagai sumber utama
pengetahuan. Aristoteles pun membedakan antara hule dan morphe. Hule adalah “yang terbentuk"
(noes phoreticos) dan morphe adalah “yang membentuk" (noes poericos).

Menurut Aristoteles manusia adalah makhluk rasional yang memungkinkannya malakukan


penalaran (reasoning) dan membentuk konsp-konsep. Berkaitan dengan “jiwa”. Aristoteles
berpendapat bahwa fungsi jiwa ada dua, yaitu kemarnpuan untuk mengenal dan kemampuan
berkehendak, yang kemudian dikenal dengan istilah dikotomi (dichotomy). Pada abad ke-8 dokter
Islam, Ibnu al-Haytham. mengembangkan pendekatan kuantitatif dan empiris modern. dianggap oleh
beberapa penulis sebagai perintis metode ilmiah modem, serta psikofisik dan psikologi eksperimental.
Aplikasinya terutama dilakukan pada orang-orang dengan penyakit mental di rumah sakit jiwa yang
dibangun di Fez, Maroko.

Jadi, ringkas sejarah, berabad-abad setelah zaman Yunani Kuno, psikologi masih merupakan bagian
dari filsafat. Pada tahun 1500-an Juan Luis Vives, humanis Spanyol menekankan pada nilai praktik,
kebutuhan untuk menekan kepentingan siswa dan mengadaptasi pengajaran untuk perbedaan-
perbedaan individual, serta keuntungan menggunakan perbandingan kompetisi diri dibandingkan
dengan kompetisi sosial kompetitif dalam mengevaluasi karya siswa. Rene Descartes (1596-1650)
mengemukakan bahwa manusia memiliki dimensi jiwa dan raga yang tidak dapat dipisahkan.

Pendapat Descartes yang sangat terkenal sampai sekarang adalah “cogito ergo sum", “saya
berpikir, jadi saya ada”, atau “saya berpikir, karena itu saya ada.” Lebih longgar lagi pernyataan itu
dapat diberi makna: keberadaan seseorang lebih dinilai dari “pikirannya” ketimbang sekadar
“kehadirannya.” Rene Decartes ini muncul pada masa Renaissance, di Francis. Dia terkenal dengan
teori tentang “kesadaran”, sementara di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti John Locke (1623-1704),
George Berkeley (1685-1753), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (18061873), yang
semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran asosianisme.
B. Era Kemajuan

Pada awal abad XIX psikologi mengalami kemajuan yang cukup pesal. Gustaf Tehodore Fechner
dan Emest Heinrich Weber menemukan hukum penginderaan melalui eksperimen yang dipublikasikan
pada tahun 1860 dalam buku Element of Pschology. Pada 1600, Johann Amos Cominius teolog dan
pendidik dari Ceko memperkenalkan alat bantu Visual dan menyatakan bahwa memahami lebih
merupakan tujuan Pengajar ketimbang menghafal. Tulisan-tulisan filsuf Eropa dan reformis seperti
Jeanjacgues Rousseau (1712—1778), Johann Heinrich Pestalozzi (1740-1827) Johann Fnedrich Herbart
(1776-1841), dan Fniedrich Froebel (1782-1852, menekankan nilai aktivitas, pengalaman sebelumnya,
dan makna atay pencerahan. Semua ide-ide ini konsisten dengan pekerjaan saat ini di bidang psikologi
pendidikan.

Dalam alur sejarah perkembangan psikologi, sumbangsih para sarjana ilmu faal yang memiliki
minat terhadap gejala-gejala kejiwaan sangat bermakna. Beberapa tokoh terkenal untuk ini antara lain
C. Bell (1774-1842), F. Magendie (1785-1855), J.P. Muller (1801-1858), dan P. Broca (1824-1880).
Sarjana Rusia, IP. Pavlov (1849-1936), perlu dicatat secara khusus karena dari teori-teorinya tentang
refleks, yang kemudian memunculkan aliran behaviorisme. Aliran ini hanya mau mengakui tingkah
laku yang nyata sebagai objek studinya dan menolak anggapan sarjana lain. yang mempelajari juga
tingkah laku yang tidak tampak dari luar. William McDaugall (1871-1938) juga telah memberi inspirasi
kepada aliran behaviorisme di Amerika dengan teori-teorinya yang dikenal dengan nama “purposive
psychology” atau psikolosi untuk tujuan—tujuan khusus.

Berbeda dengan sarjana lainnya, FJ. Gall (1785-1328) melakukan cara unik untuk mengetahui
kondisi kejiwaan manusia, yaitu dengan meraba tengkorak kepala orang tersebut. Teori Gall diinspirasi
oleh pengalaman St. Agustine (354-430) yang mengeksplorasi kesadaran manusia melalui metode
“introspeksi diri”, karena di dalam jiwa manusia itu terdapat bagian-bagian atau kemampuan.
Kemampuan (faculty) itu antara lain ingatan, imajinasi, indera, kemauan, dan sebagainya. Menurut
Gall, karena setiap “kemampuan” kejiwaan dicerminkan pada salah satu bagian tertentu di tengkorak
kepala manusia, maka dengan mengetahui bagian-bagian tengkorak mana yang menonjol kita akan
mengetahui kemampuan atau kapasitas kejiwaan mana yang menonjol pada orang tertentu sehingga
kita dapat mengetahui pula keadaan jiwanya. Teori Gall ini kemudian dikenal dengan phenologi.
Memang, teori dilabeli sebagai ilmiah semu (pseudoscience), seperti halnya phiognomi (ilmu wajab/
raut muka). palmisiri (ilmu rajah tangan), astrologi (ilmu perbintangan), numerologi (ilmu
angkaangka), dan lain-lain.

Pada 1802, Pierre Louis Cabanis. fisiolog Perancis, diakui sebagai perintis psikologi fisiologis yang
terkenal dengan esainya tentang hubungan antara aspek fisik dan moral manusia. Pikiran Louis
Cabanis mengambarkan secara jelas, bahwa secara biologi kepekaan dan jiwa adalah sifat-sifat dari
sistem saraf. Dokter Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig
pada tahun 1879. Wundt kemudian dikenal sebagai "Bapak Psikologi Ekspenmental”. Kehadiran
laboratorium ini merupakan babak baru dalam sejarah psikologi. Sebagai tokoh psikologi
eksperimental dan penganut strukturalisme (menguraikan struktur dari jiwa). Wundt
memperkenalkan “metode introspeksi" yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Wilhelm
Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa
yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya, sehingga membentuk keutuhan
struktur kejiwaan yang disebut asosiasi. Pemikirannya ini pulalah yang membawa Wundt menerima
julukan sebagai tokoh asosianisme.

Pada sisi lain, di Eropa muncul aliran gestalt yang sesungguhnya merupakan reaksi terhadap
pemikiran Wundt dengan asosianismenya. Aliran gestalt menolak ajaran elementisme dari Wundt.
Aliran gesralt berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, yang banyak diteliti aliran ini)
harus dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh (gestalt) yang tidak terpecah dalam bagian-bagian.
Tokoh penganut aliran gesralt antara lain adalah Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-
1941), dan Wolfgang Kohler (1887-1967). Di Leipzig, pada tahun 1924 Krueger memperkenalkan istilah
ganzheit. Istilah ini berasal dari kata ganze yang berarti keseluruhan. Meskipun istilah ganzheit masih
dianggap sama dengan istilah gestalt dan aliran ini sering tidak dianggap sebagai aliran tersendiri,
namun menyrut tokohnya, Krueger, ganzheit tidak sama dengan gestalt dan merupakan
perkembangan dari psikologi gestalt. Krueger berpendapat bahwa psikologi gestalt terlalu
menitikberatkan kepada masalah persepsi objek, padahal yang terpenting adalah penghayatan secara
menyeluruh terhadap ruang dan waktu, bukan persepsi atau totalitas objek-objek saja.

C. Perkembangan Lebih Lanjut

Perkembangan lanjutan dari psikologi gestalt adalah munculnya "teori medan" (field theory) dari
Kurt Lewin (1890-1947). Kurt Lewin yang awalnya tertarik pada faham gestalt ini kemudian
mengkritiknya karena dinilainya tidak akurat. Di Amerika Serikat, teori medan ini kemudian
melahirkan teori “psikologi kognitif” (cognitive psychology) sebagai perkawinan antara aliran
behaviorisme tahun 1940-an dengan aliran gestalt. Aliran psikolopi kongnitif bertitik berat pada
proses-proses sentral, reperti sikap, ide, dan harapan dalam mewujudkan tingkah laku. Proses-proses
itu terjadi dalam alam kesadaran (kognisi) sehingga aliran ini sangat besar pengaruhnya dalam
mempelajari hubungan antar manusia yang menjadi fokus psikologi sosial. Tokohnya yang yang
terkenal adalah adalah F. Heider dan L. Fertinger.

Aliran psikoanalisa yang lahir kemudian sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan psikologi
era modern ini. Tokoh utama aliran psikoanalisa adalah Sigmund Freud (1856-1939). Beberapa tokoh
yang andil besar dalam mengembangkan teori psikoanalisa ini adalah Jean Martin Charcot (1825-
1893) dan Pierre Janet (1859-1947), dokter ahli jiwa atau psikiater. Psikoanalisa tidak hanya
menjelaskan apa saja yang tampak dari permukaan, melainkan yang lebih utama adalah menerangkan
apa yang terjadi di dalam atau di bawah kesadaran manusia. Karenanya, psikoanalisa dikenal juga
sebagai “psikologi dalam” atau depth psychology.

Pada sisi lain, tahun 1883 berdiri laboratorium serupa di Universitas John Hopkins. Ajaran Wundt
kemudian dicoba untuk didesiminasikan di Amerika Serikat. Adalah Edward Bradford Titchener (1867
—1927) yang mencoba menyebarluaskan ajaran-ajaran Wundt itu di Negeri Parman Sam ini. Namun
demikian, oleh karena orang Amerika sangat terkenal sebagai masyarakat praktis dan pragmatis,
ajaran Wundt dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan
kehidupam kemasyarakatan. Di Amerika justru kemudian berkembang aliran baru yang disebut
dengan fungsionalisme. Tokoh-tokohnya antara lain William James (1842-1910) dan James McKeen
Cattel (1866-1944). Aliran ini lebih mengutamakan fungsi-fungsi jiwa dari pada mempelajari
strukturnya.
Pada tahun 1890, filsuf dan psikolog Amerika, William James, menerbitkan buku Prinsip-prinsip
Psikologi. Sejak itu hampir semua universitas di Amerika memiliki fakultas yang mandiri. Dia
meletakkan dasar bagi banyak pertanyaan yang psikolog akan melakukan eksplorasi tahun-tahun
berikutnya. Kontributor abad ke-19 untuk bidang psikologi termasuk psikolog Jerman Hermann
Ebbinghaus, pelopor dalam studi eksperimental tentang memori yang menemukan pembelajaran dan
kurva kelupaan di Universitas Berlin. Sementara, di Rusia-Soviet, fisiolog Ivan Pavlov meneliti proses
belajar yang sekarang disebut sebagai pengondisian klasik.

Salah seorang siswa Wilham James, Edward L. Thondike, menulis teks psikologi pendidikan
pertama pada tahun 1903 dan mendirikan Jurnal Psikologi Pendidikan tahun 1910. Perkembangan di
bidang pendidikan terus menjadi terkait erat dengan psikolog pada paruh pertama abad kedua puluh.
Bahkan, pada tahun 1919, Ellwood Cubberly menjuluki psikologi pendidikan sebagai ilmu
"membimbing sekolah". Pada sisi lain, pemikiran dan karya-karya Thorndike, Alfred Binet, Jean Piaget,
dan Benyamin Bloom menggambarkan hubungan antara psikologi dan pendidikan.

Edward L. Thorndike dan banvak peneliti lainnya sangat terkenal dengan penelitian psikologi untuk
pembelajaran, sementara B.F. Skinner sangat terkenal dengan teorinya: operant conditioning atau
pengkondisian operan. Teori Thorndike dan Skinner sangat kuat pengaruhnya di bidang pembelajaran
ketika itu dan era sesudahnya. Thorndike mengembangkan metode untuk mengajar membaca dan
berhitung yang diadopsi secara luas. Dia pun merumuskan skala untuk mengukur kemampuan
membaca, aritmetika, tulisan tangan, menggambar, ejaan, dan komposisi bahasa Inggris. Dia
mendukung gerakan ilmiah dalam pendidikan, sebagai upaya untuk dasar-dasar praktik mengajar
dengan bukti empiris dan pengukuran.

Sementara Thorndike mengembangkan langkah-langkah membaca dan kemampuan berhitung.


Alfred Binet bekerja pada penilaian kecerdasan di Perancis. Binet, seorang psikolog dan aktivis politik
di Paris pada awal 1900-an, dituduh mengembangkan prosedur untuk mengidentifikasi siswa yang
memerlukan kelas-kelas pendidikan khusus. Dia percaya bahwa memiliki ukuran yang obyektif dari
kemampuan belajar siswa dapat melindungi keluarga miskin yang mungkin terpaksa meninggalkan
sekolah karena mereka dianggap pelajar lambat. Binet merupakan perintis tes inteligensi. Konsep
intelligence quotient atau IQ, ditambahkan setelah prosedur Binet dibawa ke Amerika Serikat dan
direvisi di Stanford University yang kemudian dikenal tes Stanford-Binet. Stanford-Binet telah
mengalami revisi berkali-kali. Keberhasilan Stanford-Binet telah mendorong pengembangan beberapa
tes kecerdasan modern lainnya.

Tingkat inteligensi (IQ) merupakan skor yang menginformasikan bagaimana "kecemerlangan"


seseorang dibandingkan dengan yang lain. IQ rata-rata kebanyakan orang adalah 100. Skor di atas 100
menunjukkan IQ lebih tinggi daripada rata-rata dan skor di bawah 100 menunjukkan di bawah rata-
rata. Secara teoritis, skor dapat berkisar antara di bawah atau di atas 100. Sekitar setengah dari
populasi memiliki IQ antara 90 dan 110. sedangkan 25% memiliki IQ tinggi dan 25% lagi memiliki IQ
lebih rendah.

Deskripsi klasifikasi populasi menunut tingkat kecerdasannya diperkirakan seperti berikut ini.

IQ Deskripsi % Penduduk

130 + Sangat unggul 2,2%


120-129 Unggul 6,7%

110-119 Rata-rata tinggi 16,1%

90-109 Rata-rata 50%

80-89 Rata-rata rendah 16,1%

70-79 Perbatasan 6,7%

Di bawah 70 Sangat rendah 2,2%

Pada banyak referensi dikemukakan bahwa tingkat IQ memberikan indikasi yang baik dari jenis
pekerjaan seseorang, meski tidak selalu bermakna demikian Glen Wilson dan Diana Grylls
mengemukakan jenis pekerjaan seseorang berdasarkan tingkat IQ yang dimilikinya, seperti berikut ini.

140 Pegawai puncak, prefesor, dan ilmuwan peneliti.

130 Dokter dan dokter bedah, pengacara, dan insinyur (sipil dan mekanikal).

120 Guru, apoteker, akuntan, perawat, stenograf, dan manajer.

110 Mandor, panitera, operator telepon, salesman, polisi, dan teknisi listrik.

100+ Operator mesin, penjaga toko, tukang las, dan pekerja logam.

100- Tukang masak, petani kecil, supir truk, supir taksi, dan lain-lain.

90 Buruh, tukang kebun, penambang, penyortir, pengepak barang, dan sejenisnya.

Akhir abad 19 penelitian-penelitian dalam lapangan psikologi pendidikan secara ilmiah sudah
semakin maju di banyak belahan dunia. Di Eropa, Ebbinghaus mempelajari aspek daya ingatan dalam
hubungannya dengan proses pendidikan. Hasil penelitian Ebbinghaus yang sangat terkenal adalah
“kurva daya ingatan”. Dia menggambarkan bahwa kemampuan seseorang mengingat sejumlah objek
kesan-kesannya semakin lama semakin berkurang atau menurun, meski tidak sampai hilang sama
sekali.

Pada awal abad ke-20 pemerintah Prancis merasa perlu untuk mengetahui prestasi belajar para
pelajar yang ketika itu dinilai semakin menurun. Pertanyaannya yang ingin dijawab, apakah prestasi
belajar itu semata-mata hanya tergantung pada soal rajin dan malasnya si pelajar ataukah ada faktor
kejiwaan atau mental yang ikut memegang peranan. Untuk memecahkan problem itu ditunjuklah
scorang ahli psikologi yang bernama Alfred Binet. Dengan bantuan Theodore Simon. Binet menyusun
sejumlah tugas yang terbentuk dalam scbuah tes baku untuk mengetahui inteligensi para pelajar. Tes
ini kemudian dikenal dengan tes inteligensi. Tes inteligensi Binet-Simon ini sangat terkenal, yang
kemudian banyak dipakai di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, instrumen tes intelegensi ini
mengalami revisi berkali-kali untuk mendapat tingkat kesesuaiannya dengan masyarakat atau orang-
orang Amerika. Di antara para ahli yang mengambil bagian dalam revisi-revisi itu misalnya Stern,
Terman, Merril, dan lain-lain.
Kembali ke uraian semula, dikemukakan kembali di sini bahwa laboratorium ciptaan Wundt di
Leipzig tidak hanya melakukan aktivitas penelitian di bidang psikologi umum, melainkan juga
menggamit langsung kepentingan psikologi pendidikan. Ketika itu, banyak orang Amerika yang belajar
kepada Wundt di Leipzig. Oleh pakar Amerika, pengalaman yang mereka peroleh dari “berguru”
dengan Wundt menjadi dasar mengembangkan psikologi itu di negaranya. termasuk psikologi
pendidikan.

Lalu, muncullah tokoh-tokoh psikologi pendidikan yang sangat terkenal dari Negeri Paman Sam ini,
seperti Charles H. Judd, E.L. Thorndike, dan B.F. Skinner. Orang-orang ini sangat besar pengaruhnya
terhadap pendidikan di Amerika Serikat, terutama E.L. Thorndike yang belakangan digelari sebagai
“Bapak Psikologi Pendidikan” di negeri ini. Menurut Perry, seorang pakar psikiatri dan psikologi dari
Amerika Serikat. yang telah meneliti tentang penggunaan jasa psikologi di negeri ini, banyak pihak
menggunakan jasa psikologi bagi lapangan-lapangan tertentu, yaitu: 25% para pendidik, 25% ahli
psikologi klinis dan konsultan, 16% peneliti psikologi sendiri, dan 34% tersebar pada lapangan atau
pakar yang lain. Belakangan ini kemajuan psikologi semakin pesat, ini terbukti dengan
bermunculannya tokoh-tokoh baru, misalnya BF Skinner (pendekatan behavioristik), Maslow (teori
aktualisasi diri) Roger Wolcott (teori belahan otak), Albert Bandura (social learning teory), Daniel
Goleman (kecerdasan emosi), Howard Gadner (multiple intelligences), dan sebagainya.

D. Perkembangan Psikologi di Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia. Di Indonesia, baik psikologi maupun psikologi pendidikan


berkembang relatif cepat. Dari aneka referensi terungkap bahwa di Indonesia perkembangan psikologi
dimulai pada tahun 1953. Profesor Slamet Iman Santoso adalah pelopornya. Dia mendirikan lembaga
Psikologi Pendidikan pertama yang mandiri dan pada tahun 1960. Lembaga psikologi ini sejajar
dengan fakultas-fakultas lain di Universitas Indonesia. Lembaga sejenis juga dikembangkan di
Universitas Padjajaran (Unpad) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). serta di banyak perguruan tinggi
lainnya yang menyusul kemudian.

Pada era jajahan, psikologi dan psikologi pendidikan telah menjadi mata pelajaran pada semua
jenis sekolah guru. Hal ini terus berlangsung ketika Indonesia merdeka. Calon guru yang belajar pada
Sekolah Guru B, Kursus Pendidikan Guru (KPG), Sekolah Guru Atas (SGA), Sekolah Pendidikan Guru
(SPG), Sekolah Guru Olahraga (SGO), dan sebagainya menerima pelajaran psikologi pendidikan,
termasuk juga bimbingan penyuluhan atau bimbingan konseling. Pada jenjang perguruan tinggi yang
menjadi penyedia tenaga kependidikan, mata kuliah psikologi pendidikan atau yang sejenisnya pun
diajarkan untuk semua jurusan atau program studi. Sementara itu, pada Fakultas Psikologi di
beberapa Universitas, serta di lingkungan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Penddikan (STKIP) atau Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) psikologi pada umumnya atau psikologi pendidikan khususnya, tidak hanya
dipelajari sebagai mata kuliah, melainkan juga diteliti sebagai ilmu pengetahuan. Beberapa perguruan
tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan, termasuk pada universitas-universitas
yang “berbasis” IKIP mengasuh program khusus Bimbingan Penyuluhan, Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan, atau nama lain yang sejenis.
BAB IIl

PENUTUP

A. SIMPULAN
Dengan mempelajari psikologi, berarti kita berusaha untuk mengenal manusia, mengetahui aspek-
aspek kepribadian manusia dan memahami agar dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah
laku manusia. Salah satu aspek kepribadian itu misalnya keterbukaan, yaitu sikap terbuka terhadap
dunia luar, sikap mau memahami perasaan orang lain, sikap mudah menerima pendapat orang lain
dan sikap ini bersifat menetap dan menjadi ciri bagi orang yang bersangkutan, yang individual dari
orang tersebut.

B. SARAN

Supaya proses pembelajaran dapat berlagsung dengan baik dan terjadi keseimbangan antara pihak
pendidik dan peserta didik maka perlulah dikaji dan dipelajari lebih dalam mengenai psikologi
pendidikan.

DAFTAR RUJUKAN
https://sajakpenaanakdesa.blogspot.com/2017/02/makalah-psikologi-pendidikan.html?m=1

http://huseinsyauqiazmi.blogspot.com/2012/12/makalah-sejarah-psikologi-pendidikan.html?m=1
PSIKOLOGI PENDIDIKAN (Dalam perspektif baru) SYAHRIL. S.pd...M.pd (Materi yang telah di berikan)
AL- ISLAM http://huseinsyauqiazmi.blogspot.com/2012/12/makalah-sejarah-psikologi-
pendidikan.html?m=1 : oktober 2021

Anda mungkin juga menyukai