Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

MARCELINO SUPIT
NIM : 18 502 022

PROGRAM STUDI BIOLOGI MURNI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MANADO

The Years of Living Dangerously adalah film yang menceritakan kisah petualangan seorang
wartawan yang ditugaskan meliput situasi di Jakarta/Indonesia pada tahun 1965. Film ini
memberikan cara baru dalam memandang isu pemanasan global melalui kacamata permasalahan
sosial. Tema yang diusung ialah permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh dunia.
Permasalahan yang diangkat ialah yang ukurannya telah menyumbang emisi gas rumahkaca dalam
jumlah yang besar secara global. Salah satu permasalahan yang diangkat ialah tentang deforestasi
yang terjadi di Indonesia. Artikel ini membahas tentang bagaimana dan dengan cara apa film ini
membingkai komunikasi lingkungan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif
dengan pendekatan analisis framing model William A. Gamson. Objek penelitian ditujukan pada
dialog-dialog verbal yang terjadi antara Harrison Ford dengan tokoh yang menjadi narasumber dalam
film dokumenter ini. Juga ada capture shot dari adegan sebagai pendukung penelitian. Hasil
menunjukan bahwa komunikasi lingkungan di Indonesia yang membahas tentang permasalahan
deforestasi dikonstruksi melalui bingkai bahwa “peristiwa deforestasi di Indonesia merupakan bagian
dari permasalahan sosial yang sulit dikendalikan”. Hal ini ditandai dengan empat frame central
idea mengenai buruknya kepercayaan para aktivis terhadap pemerintah dan pebisnis. Sedangkan
pemerintah terbingkai sebagai komunikator politik yang tidak transparan sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan publik. Pebisnis disini juga terbingkai sebagai tokoh antagonis yang seharusnya
bertanggungjawab atas perusakan hutan telah ia perbuat.
Kondisi lingkungan di Indonesia tidak sehijau dulu lagi, degradasi hutan terjadi di mana-
mana. Degradasi hutan atau kerusakan sumber daya hutan Indonesia terjadi karena paradigma
pembangunan yang bercorak sentralistis yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dan
didukung oleh instrumen hukum yang represif (Nurjaya, 2005: 36). Rendahnya tingkat ekonomi
masyarakat dan kebiasaan melakukan perdagangan ilegal tidak selalu dapat dipersalahkan, karena
yang bisa memberikan solusi untuk permasalahan lingkungan ialah lembaga pemerintah juga lembaga
non-pemerintah (Garrard, 2012: 21). Sebagai media yang populer saat ini, film dianggap dapat
memberikan pengaruh besar bagi masyarakat. Beragam adeganserta dialog di dalamnya mampu
memengaruhi emosi penonton sehingga ikut terlarut pada problematika yang ditampilkan. Dengan
kata lain, sesuai dengan fungsi media massa, film berfungsi untuk memberikan hiburan, edukasi, dan
inspirasi bagi penontonnya. “The Years of Living Dangerously” merupakan film bergenre
dokumenter yang berusaha mengungkapkan fakta-fakta terkait masalah perubahan iklim di bumi
secara menyeluruh. Indonesia, sebagai salah satu negara yang dijuluki paru-paru dunia karena luas
hutannya, secara ironis mendapat sorotan dalam film ini akibat turut menyumbangkan ketidakstabilan
alam melalui kerusakan-kerusakan pada hutannya. Pembukaan lahan hutan secara besar-besaran yang
terjadi di Kalimantan dikupas mendalam pada dokumenter ini. Harrison Ford sebagai tim peneliti
diceritakan endatangi Indonesia untuk mencari tahu seluk beluk permasalahan perhutanan di
dalamnya. Melalui “The Years of Living Dangerously”, bentuk komunikasi lingkungan di Indonesia
terangkat ke permukaan perfilman dunia. Mentri Perhutanan saat itu, Zulkifli Hasan dan Presiden
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono muncul sebagai narasumber di beberapa scene di film ini.
Selain itu banyak aktifis dan warga indonesia yang juga menjadi narasumber. Konteks komunikasi
lingkungan dirasa sangat tepat untuk dibahas di dalam penelitian ini. Sebagai media komunikasi
massa, film ini tidak terlepas dari teori konstruksi realitas, dimana sebuah realitas dibangun dengan
cara-cara tertentu untuk menghasilkan paradigma atau gagasan tertentu. Komunikasi Lingkungan di
Indonesia terbingkai dalam film The Years of Living Dangerouslyyang tayang di beberapanegara.
Melalui film ini, citra Indonesia akan dinilai secara subjektif oleh orang-orangdariseluruh penjuru
dunia. Penelitian ini akan membongkar bagaimana film The Years of Living Dagnerously
membingkaiwajah komunikasi lingkungan di Indonesia.
endatangi Indonesia untuk mencari tahu seluk beluk permasalahan perhutanan di dalamnya.
Melalui “The Years of Living Dangerously”, bentuk komunikasi lingkungan di Indonesia terangkat ke
permukaan perfilman dunia. Mentri Perhutanan saat itu, Zulkifli Hasan dan Presiden Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono muncul sebagai narasumber di beberapa scene di film ini. Selain itu banyak
aktifis dan warga indonesia yang juga menjadi narasumber. Konteks komunikasi lingkungan dirasa
sangat tepat untuk dibahas di dalam penelitian ini. Sebagai media komunikasi massa, film ini tidak
terlepas dari teori konstruksi realitas, dimana sebuah realitas dibangun dengan cara-cara tertentu untuk
menghasilkan paradigma atau gagasan tertentu. Komunikasi Lingkungan di Indonesia terbingkai
dalam film The Years of Living Dangerouslyyang tayang di beberapanegara. Melalui film ini, citra
Indonesia akan dinilai secara subjektif oleh orang-orangdariseluruh penjuru dunia. Penelitian ini akan
membongkar bagaimana film The Years of Living Dagnerously membingkaiwajah komunikasi
lingkungan di Indonesia. endatangi Indonesia untuk mencari tahu seluk beluk permasalahan
perhutanan di dalamnya. Melalui “The Years of Living Dangerously”, bentuk komunikasi lingkungan
di Indonesia terangkat ke permukaan perfilman dunia. Mentri Perhutanan saat itu, Zulkifli Hasan dan
Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono muncul sebagai narasumber di beberapa scene di
film ini. Selain itu banyak aktifis dan warga indonesia yang juga menjadi narasumber. Konteks
komunikasi lingkungan dirasa sangat tepat untuk dibahas di dalam penelitian ini. Sebagai media
komunikasi massa, film ini tidak terlepas dari teori konstruksi realitas, dimana sebuah realitas
dibangun dengan cara-cara tertentu untuk menghasilkan paradigma atau gagasan tertentu. Komunikasi
Lingkungan di Indonesia terbingkai dalam film The Years of Living Dangerouslyyang tayang di
beberapanegara. Melalui film ini, citra Indonesia akan dinilai secara subjektif oleh orang-
orangdariseluruh penjuru dunia. Penelitian ini akan membongkar bagaimana film The Years of Living
Dagnerously membingkaiwajah komunikasi lingkungan di Indonesia.
Sebagai upaya untuk mengkomunikasikan permasalahan lingkungan di Indonesia, film The
Years of Living Dangerously membingkai kondisi hutan yang tidak terawat. Deforestasi terjadi di
beberapa kawasan hutan termasuk daerah Taman Nasional. Hal ini terjadi karena pembukaan lahan
hutan yang diprakarsai oleh pengusaha, khususnya dari bidang industri kelapa sawit. Banyak
pengusaha kelapa sawit yang membuka lahan Komunikasi Lingkungan di Indonesia dalam Film The
Years of Living Dangerously| 101 Jurnalistik, Gelombang 2, Tahun Akademik 2014-2015 secara
ilegal. Perusahaan minyak kelapa sawit dibingkai sebagai korporasi yang tidak mempedulikan hal lain
selain profit. Mereka akan melakukan apapun dalam membuka lahan perkebunan. Dalam film The
Years of Living Dangerously, sosok pengusaha kelapa sawit direpresentasikan oleh Franky Widjaja.
Ia ialah seorang pengusaha yang memiliki grup dagang Sinarmas. Salah satu produk dari Grup ini
ialah perusahaan kelapa sawit Golden Agri yang dipimpin langsung oleh Franky Widjaja. Pada tahun
2010 Franky Widjaja menandatangani kesepakatan untuk tidak membuka lahan hutan baru. Dengan
ini maka Franky Widjaja mendeklarasikan kepeduliannya terhadap kondisi perhutanan di Indonesia.
Namun hal tersebut dikonstruksi ulang dalam film ini bahwa Franky melakukan kesepaakatan tersebut
demi membersihkan nama baiknya yang tidak lain berfungsi untuk meningkatkan daya jual produk
minyak kelapa sawitnya. Hal ini sejalan dengan adanya praktik penyalah gunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh oknum pemerintah dengan cara menerbitkan surat izin kepengurusan hutan ilegal.
Pembicara yang merepresentasikan hal ini ialah Kuntoro Mangkusubroto sebagai sosok pejabat tinggi
pemerintah yang peduli terhadap kondisi perhutanan. Kuntoro saat itu ialah ketua dari UKP4 atau
Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Instansi kepemerintahan tersebut
merupakan bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berfungsi untuk mengawasi proyek
pembangunan di Indonesia. Kuntoro mengungkapkan bahwa permasalahan deforestasi tidak terlepas
dari kejahatan legalisasi oleh pemerintah dimana sering diterbitkannya surat izin palsu kepengurusan
hutan. Beliau dibingkai dalam film ini sebagai sosok yang merasa kesulitan dalam memberantas
tindak korupsi di negaranya. Meskipun Kuntoro memiliki jabatan yang tinggi, ia tidak begitu saja
dapat mengendalikan permasalahan korupsi begitu saja. Analisis Framing Central Idea film The Years
of Living Dangerously membingkai kondisi hutan yang tidak terawat. Deforestasi terjadi di beberapa
kawasan hutan termasuk daerah Taman Nasional. Hal ini terjadi karena pembukaan lahan hutan yang
diprakarsai oleh pengusaha, khususnya dari bidang industri kelapa sawit. Banyak pengusaha kelapa
sawit yang membuka lahan secara ilegal. Perusahaan minyak kelapa sawit dibingkai sebagai korporasi
yang tidak mempedulikan hal lain selain profit. Mereka akan melakukan apapun dalam membuka
lahan perkebunan. Dalam film The Years of Living Dangerously, sosok pengusaha kelapa sawit
direpresentasikan oleh Franky Widjaja. Ia ialah seorang pengusaha yang memiliki grup dagang
Sinarmas. Salah satu produk dari Grup ini ialah perusahaan kelapa sawit Golden Agri yang dipimpin
langsung oleh Franky Widjaja. Pada tahun 2010 Franky Widjaja menandatangani kesepakatan untuk
tidak membuka lahan hutan baru. Dengan ini maka Franky Widjaja mendeklarasikan kepeduliannya
terhadap kondisi perhutanan di Indonesia. Namun hal tersebut dikonstruksi ulang dalam film ini
bahwa Franky melakukan kesepaakatan tersebut demi membersihkan nama baiknya yang tidak lain
berfungsi untuk meningkatkan daya jual produk minyak kelapa sawitnya. Berdasarkan temuan
penelitian dari aspek framing devices berupa unsur metaphors, catchphrases, exemplar, depiction, dan
visual images dari film The Years of Living Dangerously didapatkan sebuah kesatuan yang
memperlihatkan bagaimana permasalahan deforestasi dalam komunikasi lingkungan di Indonesia
dibingkai, yakni sebagai berikut: a.Metaphors, dari temuan penelitian yang didapat, degradasi
lingkungan di Indonesia secara garis besar selalu diumpamakan sebagai permasalahan yang
merupakan turunan dari permasalahan yang lebih besar. Metafor ialah pengandaian fakta menjadi
sebuah ungkapan. Adapun fungsi dibalik penggunaan unsur metafor ini ialah sebagai pengalihan
kesan sehingga suatu fakta menjadi dapat lebih mudah untuk diterima atau ditolak. Penggunaan unsur
metafor dalam membingkai kesan dari kekuatan uang, politik, dan media ini juga sebagai pengalihan
kesan. Istilah „give something up’ misalnya, digunakan untuk mengandaikan tindakan yang harus
dilakukan untuk mendapatkan perhatian dari penguasa. Istilah ini memberikan kesan terhadap
pembingkaian bahwa permasalahan politik uang di Indonesia menjadi hambatan bagi terciptanya
kondisi hutan yang baik. Penggunaan unsur metafor ini digunakan oleh produser untuk membangun
kesan buruk dari kekuatan politik, uang, dan media. b.Catchphrases, temuan berupa kata yang
menarik perhatian ini membingkai bahwa permasalahan deforestasi di Indonesia sangat umum dan
kronis. Unsur catchphrases ini menunjukkan bahwa cara orang Indonesia menanggapi persoalan
sebesar deforestasi dan korupsi dengan nada santai ialah hal yang sangat menarik bagi media
Amerika. Di Indonesia, korupsi sudah menjadi hal yang sering terjadi sehingga telah menjadi
anggapan umum di masyarakatnya sehingga mereka tidak lagi merasa aneh ketika melihat praktik
ilegal tersebut masih terjadi. Produser film ini membingkai permasalahan tersebut sebagai
permasalahan yang menarik untuk disingkap. Dibingkai bahwa praktik ilegalisasi di Indonesia
merupakan hal yang biasa terjadi. c.Exemplar, dari temuan yang telah didapat, terlihat bahwa para
tokoh yang berperan dalam memegang kepentingan atas lahan perhutanan memiliki fokus yang
berbeda secara drastis. Ketidakselarasan antara berbagai fungsi dari elemen masyarakat ini dijelaskan
melalui unsur exemplar karena bukti yang konkrit dapat memperkuat bingkai bahwa permasalahan
deforestasi yang terjadi di Indonesia sangat kompleks. Hal ini terlihat dari cara berkomunikasi para
tokoh sebagai narasumber yang menunjukkan sikap ketidak percayaan terhadap elemen masyarakat
lainnya. d.Depiction, dari temuan ini didapat bahwa secara garis besar pemerintah Indonesia dibingkai
sebagai pemerintah yang tidak menggubris permasalahan yang terjadi. Konsep Taman Nasional tidak
terbukti dapat melindungi hutan dari aktivitas pembukaan lahan. Mentri kehutanan diketahui telah
mengunjungi area Taman Nasional yang rusak tersebut, namun masih saja tidak ada perbaikan.
Penjelasan yang diutarakan oleh produser melalui unsur depiction ini dibuat untuk memperjelas
bagaimana pemerintahan Indonesia dibingkai sebagai pemerintahan yang tidak kompeten dalam
menghadapi permasalahan deforestasi. e.Visual images, unsur visual yang paling sering terlihat dalam
film ini ialah adegan ketika Harrison Ford mewawancarai tokoh-tokoh terkait dengan permasalahan
degradasi hutan di Indonesia. Gambaran wawancara dalam film ini membangun suasana pembicaraan
serius dengan cara pengambilan gambar yang close up dan mendetail. Cara pengambilan gambar ini
menunjukkan kesan bahwa persoalan yang dijadikan bahan pembicaraan ialah hal yang penting. Lalu
pemandangan hutan yang terdegradasi menjadi sisipan yang paling sering muncul sebagai setting
betapa parahnya kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Namun di antara visualisasi tersebut tidak
ada satu pun yang dapat menunjukkan lokasi secara tepat sehingga kebenarannya dapat diragukan.
Berdasarkan temuan penelitian dari aspek reasoning devices yang terbagi menjadi unsur roots, appeals
to principle, dan consequences dari film The Years of Living Dangerously didapatkan sebuah
kesatuan yang memperlihatkan bagaimana permasalahan deforestasi dalam komunikasi lingkungan di
Indonesia dibingkai, yakni sebagai berikut: a.Roots, atau analisis sebab akibat memperlihatkan
bagaimana suatu isu koheren untuk dipahami sebagai sebuah permasalahan. Isu yang diangkat ialah
mengenai deforestasi yang terjadi di Indonesia. Melalui unsur roots ini, produser film dapat
menentukan aspek mana saja yang menjadi inti permasalahan dari degradasi hutan di Indonesia.
Didapat bahwa kaitan antara pejabat korup dan pengusaha rakus ialah aktor yang bermain di balik
peristiwa degradasi hutan yang terjadi di Indonesia. b.Appeal to Principle, melalui temuan penelitian,
didapat bahwa klaim moral dari film The Years of Living Dangerously ini berbicara soal pentingnya
untuk memahami bahwa setiap manusia juga memiliki itikad yang baik bagi lingkungan tempat
tinggalnya. Berdasarkan temuan-temuan penelitian, produser dapat menggunakan unsur appeal to
principle untuk membingkai bahwa setiap manusia juga memiliki kemampuan untuk berbuat hal yang
baik. Produser ingin membubuhkan nilai-nilai ini pada filmnya agar penonton dapat menyadari betapa
pentingnya tindakan kolektif individu dapat merubah sesuatu yang bersifat masif seperti kerusakan
hutan. c.Consequences, dari temuan penelitian yang berdasarkan unsur ini, didapati bahwa produser
menunjukan dua konsekuensi yang ditampilkan. Yaitu pertama, bahwa manusia sudah sepatutnya
sedih bila melihat lingkungan tempat tinggalnya rusak. Dan kedua, untuk menyelesaikan
permasalahan lingkungan maka manusia harus mengambil tindakan yang dapat menunjang bagi
kebaikan lingkungan. Manusia akan menyadari sesuatu hal itu baik atau buruk bila telah menyadari
apa konsekuensinya. Oleh karena itu, produser menanamkan nilai-nilai berdasarkan temuan dalam
unsur consecuences agar dapat menumbuhkan kesadaran bagi penonton. Melalui film The Years of
Living Dangerously, sutradara ingin menanamkan kesadaran akan betapa berharganya lahan hutan
gambut karena dapat menyimpan unsur karbon lebih banyak dibandingkan dengan hutan biasa.
Sebagian besar hutan di Indonesia berdiri di lahan gambut. Hal ini dikaitkan oleh produser dengan
data bahwa Indonesia memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Dampak pembakaran hutan di
Indonesia selain membunuh hewan eksotis seperti gajah dan orangutan, ternyata juga menghilangkan
lahan gambut sama berharganya dengan hutan itu sendiri. Yang bertanggung jawab atas perusakan ini
ialah manusia yang dibingkai sebagai makhluk dengan arogansi intelektual yang mampu melakukan
apa saja sesuai dengan kehendaknya, termasuk membumi hanguskan jutaan hektar lahan hutan agar
kekayaan yang terkandung di dalamnya dapat dimiliki secara pribadi. Pada akhirnya kerusakan alam
yang dibuatnya akan berbalik merugikan manusia berupa perubahan iklim global yang dapat
menghadirkan krisis sumber daya dan bencana alam. Maka dari itu, produser ingin agar penontonnya
menyadari akan kerugian yang mungkin timbul dari kegiatan destrukstif manusia terhadap lingkungan
hidupnya, salah satunya hutan. Komunikasi lingkungan yang dibingkai dalam film The Years of
Living Dangerously ialah “peristiwa deforestasi di Indonesia merupakan bagian dari permasalahan
sosial yang dikendalikan oleh segelintir aktor”. Hal ini tercermin dari bagaimana produser
memperkuat bingkai ini melalui unsur framing central idea, framing devices dan reasoning devices
yang menjadi temuan penelitian ini. Peliknya komunikasi antara pelaku komunikasi lingungan seperti
pejabat, pengusaha, dan aktivis lingkungan mencerminkan bagaimana rumitnya permasalahan
deforestasi di Indonesia karena menyangkut pada masalah yang lebih luas seperti ekonomi dan
politik. Produser membingkai permasalahan ini untuk menjelaskan bagaimana permasalahan
deforestasi dapat terjadi di Indonesia. Bingkai degradasi hutan di Indonesia sesuai seperti pendapat
Oepen (1999: 11) bahwa terdapat kompleksitas dalam permasalahan lingkungan yang berkaitan
dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan alam, kekuatan ekonomi & politik, hukum, manajemen
bisnis, perilaku sosial, dan komunikasi. Film The Years of Living Dangerously menunjukkan kaitan-
kaitan yang kompleks antar kekuatan-kekuatan tersebut. Film ini menunjukkan bahwa Kekuatan
aktivis masih belum dapat mancapai solusi karena tidak terintegrasi dengan dukungan kekuatan
politik. Film ini membingkai bahwa kekuatan politik di Indonesia cenderung dikuasai oleh mereka
yang memiliki modal. Pendapat Oepen yang menyatakan bahwa komunikasi lingkungan memicu
reaksi yang tidak rasional yang melibatkan dimensi emosi dan spiritual dari masyarakat juga
bersesuaian dengan film ini bahwa ketika kegiatan korupsi sangat lumrah di Indonesia sehingga
masyarakat telah terbiasa untuk menganggap bahwa sebagian besar aparatur pemerintah ialah
seseorang yang korup. Oleh sebab itu, masyarakat cenderung bersikap cuek dalam menanggapi
peristiwa deforestasi karena mereka mengerti bahwa hal tersebut tidak jauh dari perkara korupsi.

Satu-satunya periode sejarah Indonesia yang paling banyak dibicarakan dan paling sulit untuk
dijelaskan oleh para sejarawan adalah situasi politik menjelang G30 September 1965. G30 September
yang dikenal sebagai gerakan pengambilalihan kekuasaan itu hingga sekarang masih menyisakan
misteri. Kendati telah banyak buku sejarah yang mencoba menjelaskan peristiwa ini, jawaban final
mengenai siapa dalang dibalik peristiwa tersebut tak pernah tuntas. Ada banyak versi mengenai
peristiwa ini. Namun, tak ada satu pun versi yang pernah dianggap benar-benar mewakili kesahihan
rekaman masa lalu kecuali versi sejarah yang tulis pemerintahan Suharto selama lebih dari 30 tahun.
Kembali kebelakang ketika Suharto menuliskan versi sejarahnya. Rezim yang dibangun dari
reruntuhan pemerintahan Sukarno pada tahun 1966 ini, sejak awal telah mencipta narasi sejarah
mereka sendiri. Suharto yang kala itu mendapat dukungan penuh dari militer, dengan segera
mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) berada dibalik G30 September. Klaim tersebut
segera menjadi propaganda militer, tidak hanya untuk menyingkirkan PKI dari pusaran politik secara
sistematis, tetapi juga menjadi bekal dikemudian hari untuk membenarkan tindakan-tindakan tentara
terhadap mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI. Selama 32 tahun versi sejarah ini pun
dipertahankan di atas upaya pembungkaman atas versi sejarah lainnya. Versi sejarah yang ditulis para
sejarawan asing “diberangus”. Sejarah peristiwa G30 S pun lebih identik dengan G30S/PKI dengan
judul besar “Penghiatan PKI”.

Proyek sejarah yang kemudian digarap rezim Suharto untuk mengenang peristiwa ini adalah
sebuah film yang disutadarai oleh Arifin C. Noor. Film yang digarap tahun 1970-an ini mendapat
sponsor penuh dari negara. Isinya sudah bisa ditebak. Film berdurasi lebih dari 3 jam tersebut seperti
sebuah penguat atas narasi G30S dengan PKI sebagai dalang utamanya. Selama Suharto berkuasa,
film ini mendapatkan tempatnya untuk selalu diputar setiap malam 30 September –persis seperti
malam ketika terjadi penculikan terhadap 7 jendral di Jakarta. Rezim memutar film tersebut di televisi
nasional sebagai bentuk peringatan sekaligus imbauan bahaya komunisme. Di luar film tersebut,
sebuah film berjudul “The Yeras of Living Dangerously” mengambil latar belakang peristiwa yang
sama. Film yang dibintangi Mel Gibson ini mengambil setting Kota Jakarta pada tahun 1965
menjelang peristiwa G 30S. Mel Gibson memerankan tokoh Guy Hamilton, seorang jurnalis Australia
yang bekerja untuk Australia Broadcast Service. Tugas sebagai jurnalis yang memburu berita --disaat
kebebasan pers di Indonesia sedang dibatasi oleh pemerintahan Sukarno-- membuat Hamilton frustasi.
Beruntung ia bertemu Billy Kwan, seorang fotografer Australia yang telah lama tinggal di Indonesia.
Billy membantu Hamilton berhubungan dengan tokoh-tokoh penting Indonesia, diantaranya D.N
Aidit. Hamilton merupakan representasi jurnalis Barat yang menaruh perhatian besar terhadap
perkembangan situasi politik Indonesia. Sejak Sukarno mengendalikan pemerintahan di bawah
payung demokrasi terpimpin, negara-negara Barat seperti Amerika dan Inggris tak pernah luput
mengawasi perubahan konstelasi politik saat itu. Perhatian di arahkan ke Indonesia karena haluan
politik Sukarno secara tidak langsung membawa Indonesia memasuki pusaran perang dinging antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kendati secara teoritis Indonesia menganut politik luar negeri bebas
aktif, Amerika menganggap Sukarno cenderung condong mendukung blok Komunis Soviet.
Kampanye anti-kapitalis dan anti-imperialisme yang digaungkan Sukarno serta kedekatan pemimpin
besar revolusi tersebut dengan pemerintah Cina, mengundang kecurigaan Amerika. Hari-hari
Hamilton disibukkan dengan perkembangan situasi politik Indonesia yang terpecah menjadi tiga faksi
utama saat itu, yakni Sukarno, militer, dan PKI. Jalan cerita The Year of Living Dangerously
berpuncak pada peristiwa G30S. Film tersebut menggambarkan bom waktu konflik politik ketiga
fraksi yang meletus dengan adanya pengambilalihan kekuasaan oleh gerakan tersebut. G30S menurut
versi film ini adalah konspirasi antara PKI, Sukarno, dan pemerintah Cina. Sebelum peristiwa G30S,
film tersebut mengambarkan persetujuan Sukarno mempersenjatai masyarakat sipil yang nantinya
dimasukan ke dalam angkatan kelima. Kelompok paramiliter sipil tersebut awalnya diusulkan ketua
PKI, D.N. Aidit. Tak lama setelah usulan itu, dikabarkan pemerintah Cina sukses menyelundupkan
senjata ke Indonesia. Narasi yang diciptakan film ini tak berbeda jauh dengan versi “Penghianatan
PKI”. PKI dan Cina diposisikan menjadi aktor utama di balik upaya mengambilalih kekuasaan.
Angkatan kelima dan kudeta ditempatkan sebagai bagian dari upaya PKI merebut kekuasaan dan
mengganti ideologi negara menjadi negara komunis. Film tersebut juga menggambarkan kesiapan
PKI membuat daftar nama orang-orang yang akan dibunuh. Hamilton, si jurnalis Australia, juga
masuk ke dalam salah satu nama yang akan dibunuh.
Film The Years of Living Dangerously memang sangat kental dengan nuansa Amerika. Tak
hanya artis yang memerankan beberapa tokoh –dan kenyataan bahwa film tersebut di buat di Filipina,
narasi dalam film tersebut menggambarkan PKI sebagai partai pengacau yang siap menggambil alin
kekuasaan negara. Selain itu, PKI juga digambarkan sebagai partai yang sangat anti-Barat. Klaim
yang melekat pada PKI ini nampak ketika massa partai berlambang palu arit menyerang kedutaan
besar Amerika Serikat.

Dalam sejarah Indonesia, peristiwa September 1965 akan selalu terpatri sebagai tragedi. Sekitar
setengah juta orang, yang diduga terkait dengan Partai Komunis Indonesia, dibunuh dan dihapus
eksistensinya dari muka bumi. Kemudian, terjadi perpindahan kekuasaan dari
rezim Sukarno ke Suharto. Setelah 33 tahun propaganda dan pembatasan hak-hak kemanusiaan, fakta
di balik peristiwa September 1965 tidak juga diluruskan di mata publik. Parahnya lagi, kejahatan
terhadap kemanusiaan tersebut kurang mendapat perhatian di komunitas internasional, dan kerap
terabaikan dalam memori kolektif dunia luar sana, terutama dunia Barat.

Pada tahun 1982, Peter Weir punya kesempatan mengangkat peristiwa September 1965 lewat The
Year of Living Dangerously. Disokong dengan bujet enam juta dollar dari MGM, film tersebut
menandai kerja sama pertama antara Hollywood dan Australia dalam industri perfilman dunia. Bagi
Indonesia, film tersebut adalah satu-satunya film tentang penumpasan PKI yang tidak diproduksi oleh
rezim Suharto. Meski begitu, film ini tidak punya agenda meluruskan kenyataan yang dikaburkan
selama Suharto berkuasa. Lebih parah lagi, film ini hanya memperlebar jarak simpati antara dunia
Barat dan Indonesia. Pasalnya, tragedi berdarah dalam sejarah Indonesia tersebut diperlakukan
sebagai latar belakang roman kedua protagonisnya, yang berasal dari Australia dan Inggris.

Pembuat film The Year of Living Dangerously berusaha keras membuat Casablanca dengan setting


Indonesia, namun gagal dalam dua aspek. Pertama, relasi romantis antara kedua protagonis, Guy
Hamilton (Mel Gibson) dan Jill Bryant (Sigourney Weaver), hanyalah tempelan standar ala
Hollywood. Tidak ada chemistry di antara mereka, dan tidak ada perkembangan yang berarti di antara
keduanya. Keduanya datang ke Indonesia, dan bertindak sebagai orang yang meliput dan memantau
segala yang terjadi di sana. Tidak ada yang mengaitkan keberedaan mereka dengan kejadian di
Indonesia secara organis. Berbeda, misalnya, dengan Rick Blaine, protagonis Casablanca. Meski dia
orang Amerika, dia memang tinggal dan cari makan di Maroko. Keberjarakan tersebut menjadikan
romansa antara Hamilton dan Bryant masalah bertahan hidup belaka. Pindahkan mereka ke genosida
di Rwanda atau demo mahasiswa di Cina, dijamin The Year of Living Dangerously akan sama
serunya.

Dangkalnya romansa antara kedua protagonis berdampak pada makin dangkalnya penggambaran
kejadian yang melatari hubungan keduanya. Inlah kegagalan kedua The Year of Living Dangerously.
Sebagai sebuah tragedi nasional, peristiwa September 1965 dipotret seadanya. Tidak ada investigasi
lebih lanjut ke dalam mekanisasi politik di balik kejadian tersebut. Referensi perihal kegagalan
pemberontakan partai komunis, yang didukung Sukarno, dan kesuksesan politik tandingan para
petinggi militer, yang didukung CIA, disajikan secara minim. Konsekuensinya: peristiwa September
1965 hanya tergambar sebagai kejadian yang mempengaruhi orang-orang asing yang kebetulan ada di
Indonesia. The Year of Living Dangerously lebih merekam para ekspatriat yang frustasi menghadapi
krisis, ketimbang golongan buruh dan mahasiswa yang juga sama frustrasinya. Cerita yang berpotensi
bicara banyak soal rezim Sukarno, dan mengangkat peristiwa September 1965 ke perhatian
internasional, berakhir sebagai drama kejar-kejaran Hollywood belaka.

Eksotisme yang terkandung sekujur film semakin menegaskan cap Hollywood dalam The Year of
Living Dangerously. Titik berangkatnya adalah musik pengiring rasa oriental, yang digubah oleh
Maurice Jarre, komposer new age asal Prancis. Musik tersebut secara romantis mengiringi adegan-
adegan kehidupan sehari-hari di Indonesia: mulai dari bagaimana para pribumi terlihat eksotis di mata
para protagonisnya, lanjut ke rasa takjub para pribumi terhadap keberadaan orang dari luar negeri,
hingga kondisi centang perenang para pribumi selama pergolakan para otoritas negara. Jarre mungkin
lupa kalau bangsa Indonesia punya musiknya sendiri, di mana hanya sedikit di antaranya yang
bernuansa oriental.

Satu-satunya penebusan dosa The Year of Living of Dangerously, walau tidak berarti banyak, terletak
pada karakter Billy Kwan. Ada dua alasan kenapa tokoh laki-laki keturunan Tionghoa yang
diperankan Linda Hunt itu terasa unik. Pertama, karena tantangan seni peran yang harus ia lakukan.
Bayangkan, seorang perempuan Amerika memainkan laki-laki peranakan Cina. Kedua, karena
perkembangan karakternya yang mewakili satu-satunya pernyataan film Hollywood ini tentang
Indonesia. Di awal film, dia sangat optimis dengan rezim Sukarno. Seiring berkembangnya cerita, dia
makin hilang simpati dan berujung pada penolakan segala hal yang berbau Sukarno. Baginya,
Sukarno hanyalah seorang tukang bangun monumen, yang tidak melambangkan apa-apa kecuali ego
dirinya. Hanya pada kesimpulan sempit tersebut, The Year of Living Dangerously berani bersuara
nyaring. Film yang berkisah tentang perubahan iklim yang dituturkan dengan pendekatan dokumenter
ini oleh sejumlah pekerja film di Amerika Serikat ini mencoba menyoroti berbagai dampak yang
dialami oleh manusia akibat pemanasan global yang kini semakin memburuk. Film ini dibintangi oleh
sejumlah nama besar, seperti Harrison Ford (aktor utama di film Indiana Jones), Jessica Alba (aktris),
Matt Damon (Elysium), America Ferrera (bintang serial TV Ugly Betty), Michael C. Hall (pemeran
Dexter dalam serial berjudul sama), hingga Arnold Schwarzenegger (aktor dan mantan Gubernur
California) serta sejumlah pakar dan jurnalis.

Film drama romantik ini menceritakan kisah petualangan seorang wartawan Australia yang
ditugaskan meliput situasi di Jakarta pada tahun 1965, sebelum hingga saat meletusnya Gerakan 30
September. Karya layar lebar ini disutradarai oleh Peter Weir, dan dirilis pada tahun 1982. Film ini
dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Mel Gibson (Guy Hamilton), Sigourney Weaver (Jill
Bryant), dan Linda Hunt (Billy Kwan). Melalui perannya di film inilah, Mel Gibson melambungkan
namanya di panggung sinema dunia. Aktris Linda Hunt, yang berperan sebagai kontak Guy Hamilton,
dianugerahi penghargaan untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Perayaan Academy Award tahun
1983. Ini adalah Piala Oscar pertama yang diberikan kepada pemain yang berperan alih kelamin
karena Linda Hunt memerankan tokoh pria. Peran Soekarno dilakonkan oleh Mike Emperio.
Pembuatan film ini dilakukan di Filipina, setelah sebelumnya permohonan untuk syuting di Indonesia
tidak dikabulkan. Di dalam film ini terdapat adegan penembakan massal yang dilakukan oleh pasukan
tentara Baret Merah. Oleh rezim Orde Baru, film ini dilarang beredar di Indonesia karena dianggap
menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sejarah. Waktu itu, tidak ada sejarah yang benar
kecuali sejarah versi Orde Baru. Larangan ini dicabut pada tahun 1999, setelah rezim Orde Baru
berakhir. Kini, setelah sepuluh tahun, cerita tersebut hadir di tengah-tengah kita dalam wujud novel,
bukan film. Ini lebih baik baik daripada tidak. Sejarah mencatat, tahun 1965 merupakan masa di mana
Indonesia berada dalam situasi bahaya, sehingga diistilahkan oleh Soekarno dengan vivere pericoloso
(hidup penuh bahaya), yang membelokkan arah hidup bangsa Indonesia. Pemerintahan Soekarno
membawa Indonesia ke arah ketidakpastian. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang lemah, Soekarno
malah menghamburkan uang untuk membangun proyek mercusuar berupa monumen-monumen
megah, seraya menyulut api kebencian terhadap Barat dan mengobarkan semangat konfrontasi dengan
negara tetangga yang baru-baru ini mengemuka lagi: Ganyang Malaysia! Sementara itu, di Jakarta
yang penuh gejolak, intrik politik saling berkelit dan bahaya senantiasa terendus seperti bau rokok
kretek, terkisahlah Guy Hamilton seorang wartawan Australia yang baru dipindah ke Indonesia untuk
menggantikan pendahulunya, Potter. Guy bertemu dengan seorang juru kamera lepas, Billy Kwan.
Sebagai bekal Guy dalam mencari berita, Potter mewariskan beberapa daftar “contact person” yang
menurut Kwan tidak akan benyak membantu. Manurut Kwan, yang dicatat Potter bisa dibaca di
majalah Time, padahal Time tidak menempatkan seorang pun di Jakarta. Jika Guy ingin menorehkan
namanya dengan membuat laporan berita yang menggegerkan, maka menurut Kwan, contact person
yang baik adalah pemerintah dan militer. Sejatinya, contact person yang baik itu adalah Kwan. Kwan
adalah mata bagi Guy. Saat itu, pintu akan ditutup untuk pencari berita dari Barat. Hanya beberapa,
seperti Willy O’Sullivan dan Pete Curtis, yang telah mendapat reputasi yang tidak dapat diabaikan,
dapat menembusnya kadang-kadang–mereka pun tidak mendapatkannya terlalu sering. Sementara itu,
para jurnalis blok Timur mendapatkan lebih banyak kesempatan, dan itu pun semakin jarang. Setelah
Soekarno berbicara tentang poros Jakarta-Peking, maka Pekinglah yang menjadi favorit. Kwan,
memberikan kejutan dengan membawa Guy untuk mewawancarai Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ketua
Partai Komunias Indonesia (PKI). Rekaman wawancara dengan Aidit disindikasikan luas di jaringan
televisi Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara-negara Eropa Barat. Di Barat, D.N Aidit tidak
pernah terlihat dalam sebuah wawancara yang mendalam. Wawancara itu menjadi subjek komentar
banyak koran, serta tebak-tebakan ilmiah para akademisi penyiaran yang mengkhususkan diri di
wilayah Asia Tenggara. Aidit sekarang tidak hanya ketua Partai Komunis terbesar ketiga di dunia,
tetapi anggota Kabinet inti Soekarno; dan kedekatan dengan Peking adalah kemenangan Aidit. Ini saja
sudah akan menjamin daya tarik berita tersebut, tetapi selain itu, Aidit telah memutuskan akan
menggunakan hasil wawancara dengan Guy Hamilton untuk memberikan tekanan pada Soekarno
dalam pembentukan Angkatan Kelima di Indonesia, yaitu usulan untuk mempersenjatai petani. Ini
disebut oleh Aidit sebagai “Tentara Rakyat”, di samping tiga kekuatan angkatan bersenjata dan polisi
yang sudah ada. Pertemuan pertamanya dengan Jill Bryant, seorang sekretaris di Kedutaan Besar
Inggris juga berkat campur tangan Kwan. Belakangan hubungan tersebut memicu tumbuhnya cinta
segitiga di antara mereka. Inilah sebuah drama berliku tentang revolusi, cinta segi tiga, kesetiaan, dan
pengkhianatan. Selain itu, novel yang terdiri dari tiga bagian ini bercerita tentang peristiwa politik
sepanjang tahun yang penuh pergolakan sampai hari-hari terakhir Presiden Soekarno yang

Secara keseluruhan, sutradara mengkonstruksi komunikasi lingkungan di Indonesia dengan


karakteristik yang diwarnai dengan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah,
masyarakat terhadap pebisnis, dan dari pemerintah terhadap pebisnis.1.Ditinjau dari aspek frame
central idea, maka didapatkan sembilan aspek konstruksi komunikasi lingkungan di Indonesia melalui
sembilan tokoh yang diwawancara oleh Ford didalam berbagai scene yang berbeda. Di mana tiap
karakter mengkomunikasikan ketidakpercayaan tertentu terhadap pemerintah. Dan pemerintah
berkomunikasi dengan cara yang berbelit-belit dan membuatnya sulit untuk dipercaya sebagai tokoh
yang berwenang dalam bidang perhutanan di Indonesia. Setiap tokoh memiliki permasalahan yang
bergantung pada pemerintah. Sedangkan tokoh dari kalangan pengusaha tidak begitu bermasalah
terhadap pemerintah namun merasa tidak nyaman dengan isu yang sering dilontarkan oleh aktivis
lingkungan karena citranya sebagai pebisnis menjadi rusak. Maka dapat disimpulkan bahwa
permasalahan deforestasi di Indonesia berkaitan dengan permasalahan sosial seperti ekonomi dan
politik. 2.Jika ditinjau dari aspek framing devices beberapa pandangan yang menunjukan bingkai
komunikasi lingkungan di Indonesia yang ingin memperlihatkan bahwa permasalahan deforestasi
yang yang terjadi telah melibatkan banyak pihak di tingkat kompleksitas yang cukup tinggi. Solusi
menjadi sulit ditemukan karena pemerintah tidak melakukan komunikasi yang transparan pada
masyarakat. Sehingga tokoh aktivis cenderung tidak begitu percaya terhadap pemerintah. Sedangkan
sebaliknya, pemerintah terlalu berhati-hati dalam menyampaikan pesannya sehingga terbingkai
sebagai sosok yang berbelit-belit. Dan pengusaha terbingkai sebagai sosok yang enggan
bertanggungjawab atas apa yang telah ia perbuat dalam deforestasi. 3.Jika ditinjau dari aspek
reasoning devices, aspek kausal sebab akibat menekankan bahwa pemerintah tidak mengelola hutan
dengan baik dan di dalam badan pemerintahan sendiri terjadi praktik korupsi besar-besaran. Hal ini
terlihat dari beredarnya rumor bahwa pemerintah sering kali menerbitkan illegal licence terhadap
tanah hutan konsesi. Ini menyebabkan kepercayaan terhadap pemerintah menjadi menurun dan
permasalahan deforestasi terus berlanjut. Sedangkan pemerintah sendiri tidak memberikan informasi
yang lugas atas permasalahan deforestasi yang terjadi. Dan dari kalangan pengusaha justru
sustainability atau keberlanjutan perusahaannya ialah hal yang paling ia perjuangkan. Hal ini
membuat para pengusaha takut terhadap ancaman aktivis lingkungan yang dapat membuat penjualan
produknya menurun. Juga dalam aspek reasoning devices ini ditunjukan secara detail bagaimana
dampak buruk deforestasi terhadap lingkungan hidup juga perubahan iklim secara global. Hutan di
indonesia yang kebanyakan berdiri di ataas lahan gambut mengandung unsur karbon yang sangat
tinggi. Deforestasi juga berpengaruh terhadap ekosistem. Eksistensi hewan-hewan eksotis yang hidup
di areal perhutanan Indonesia ikut terancam. Konsekuensi yang didapat ialah bahwa harus ada
kesadaran dari masyarakat untuk menjaga kondisi hutan agar tidak lagi terjadi kerusakan. 4.Secara
keseluruhan, dalam film The Years of Living Dangerously terdapat bingkai bahwa “peristiwa
deforestasi di Indonesia merupakan bagian dari permasalahan sosial yang dikendalikan oleh segelintir
aktor”. Terdapat banyak masalah ketidakpercayaan dalam komunikasi lingkungan di Indonesia.
Indonesia dikuasai oleh unsur politik uang dimana sektor perhutanan didominasi oleh para pengusaha
yang kebanyakan melakukan konversi lahan. Namun banyak dari pengusaha ini telah menduduki
hutan semenjak puluhan tahun silam semenjak Indonesia belum berdemokrasi sehingga permasalahan
hutan ini masih terbilang baru. Telah banyak usaha dari para pemerhati lingkungan seperti developer
perhutanan swasta, Greenpeace, WWF, dan pejabat pemerintah namun mereka belum dapat
memberantas aksi perusakan hutan secara konstan dan menyeluruh. Hutan ialah unsur yang sangat
penting untuk dijaga karena kandungan karbonnya yang tinggi dan juga tanaman menghasilkan
oksigen yang menunjang kehidupan manusia. Hutan ialah paru-paru dunia yang perlu dilestarikan
keberadaannya.

Anda mungkin juga menyukai