Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diatesis dan Batasannya

Salah satu cabang lingusitik (gengogaku) yang mengkaji tentang struktur pola kalimat

adalah sintaksis (touguron) atau (sintakusu). Objek kajian sintaksis adalah kalimat itu sendiri.

Menurut Nita (1997: 14) yang dikutip oleh Sutedi (2003: 61) bidang garapan sintaksis adalah

kalimat, yang mencakup: jenis dan fungsinya, unsur-unsur pembentuknya, serta struktur dan

maknanya. Kalimat berdasarkan strukturnya dapat dibagi menjadi dua yaitu kalimat berpredikat

dan kalimat yang tidak berpredikat. Dalam hal ini, beberapa kelas kata yang dapat dijadikan

sebagai predikat adalah kata kerja/verba (doushi), kata sifat/adjektiva (keiyoushi), dan kata

benda/nomina (meishi). Setiap perubahan fungsi sintaksis yang dikaitkan dengan perubahan

verba disebut dengan voice atau diatesis.

Diatesis atau voice menurut Verhaar (2001: 130 ) adalah bentuk verba transitif yang

subjeknya sedemikian rupa sehingga dapat atau tidak dapat berperan ajentif. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia, diatesis diartikan sebagai pembedaan bentuk verba (KK) untuk

menandai pertalian antara subjek dan predikat yang dinyatakan oleh verba. Contoh: mengambil

dalam frase mengambil buku berdiatesis aktif. Hampir senada dengan pengertian dalam KBBI,

Kridalaksana (1982 : 34), memberikan pengertian umum diatesis sebagai kategori gramatikal

yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan

oleh verba dalam klausa.

Menurut kamus besar bahasa dan linguistik, Harmann dan Stork (1973: 251-252)

mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan Voice yaitu : a verb form or particular syntactic

construction indicating certain relationships between the subject and object of a verb (suatu

bentuk kata kerja atau pembentukan sintaksis khusus yang mengindikasikan beberapa

hubungan antara subjek dan objek dari sebuah verba). Senada dengan Harmann dan Stork, Mc

Arthur (1992: 1094) dalam bukunya mendefinisikan Voice seperti berikut voice is a category that
involves the relationships of subject and object in a sentence or clause. (sebuah kategori yang

meliputi hubungan-hubungan antara subjek dan objek dalam sebuah kalimat atau klausa).

Menurut Iori (2001: 98) yang dimaksud dengan voice dalam bahasa Jepang yaitu:

“Sebuah konsep yang menunjukkan sudut pandang dari orang-orang yang terlibat dalam

sebuah peristiwa”. Pada bagian selanjutnya, Iori (2001: 112) menambahkan lagi bahwa yang

dimaksud dengan voice yaitu sebuah ungkapan mengenai (sudut pandang) orang yang terlibat

dalam sebuah peristiwa dilihat dari apakah pengaruhnya datang dari pemberi atau penerima,

lalu apakah pengaruhnya datang dari dalam atau dari luar peristiwa tersebut.

Sementara itu Muraki (1991: 173) dalam bukunya yang berjudul “Nihongo Doushi no

Shosou”, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan diatesis dalam bahasa Jepang yaitu

bentuk verba yang menyatakan hubungan antara inti pekerjaan dengan faktor lain yang

berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Seperti dalam diatesis dalam bahasa Indonesia,

diatesis dalam bahasa Jepang pun dapat dikatakan sebagai kategori gramatikal yang

berhubungan dengan sintaksis dan morfologis sebuah verba, sehingga Muraki (1993: 174)

menyimpulkan bahwa diatesis sebagai susunan korelasi antara peran semantis (pelaku,

penderita) dengan bentuk sintaksis (subjek, objek) segala sesuatu yang terlibat dalam kejadian

yang dinyatakan dengan bentuk verba.

Dalam berbagai bahasa Voice atau diatesis juga mengenal istilah marker atau markah,

baik bersifat morfemik maupun bersifat leksikal. Menurut Verhaar (2001: 213-214) pembatasan

alternasi diatetis dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, diantaranya :

1. Morfologis semata-mata. Misal, pasif dari bentuk latin amo ‘aku mencintai’ adalah amor

‘aku dicintai’, dsb.

2. Paradigmatis yang bersifat frasa. Contoh pasif Inggris : (I) am loved, (you) are loved,

dst. Hal ini dikenal juga dengan sebutan perifrasis yaitu penuturan dalam bentuk frasa,

tidak dalam bentuk hanya satu kata saja.


3. Klausal. Dalam sudut pandang ini, hal yang paling diamati yaitu apa yang menjadi ciri

sintaksis yang khas dari klausa dengan predikat aktif dan klausa dengan predikat pasif.

Untuk pemarkahan diatesis dalam bahasa Indonesia Sudaryanto,dkk (1991: 2),

memberikan contoh seperti berikut :

(10) Dia mencukur Saya. (Diatesis aktif)

(11) Saya dicukurnya. (Diatesis pasif)

(12) Dia bercukur. (Diatesis refleksif)

(13) Mereka berangkulan.(Diatesis resiprokal)

Diatesis itu akan selalu dapat dikenali secara baik karena selalu ada penandaannya.

Penandaan yang dimaksud dapat formatif dan dapat pula tidak formatif. Penanda yang formatif

dapat disebut pemarkah (marker), yang dapat berwujud morfem (terikat) atau kata, sedangkan

penanda yang tidak formatif biasanya berupa susunan beruntun atau urutan unsur (Sudaryanto

dkk,1991: 6).

Batasan diatesis secara tradisional tersebut, ditentukan berdasarkan kriteria semantik

berdasarkan posisi agent atau pelaku. Jika pelaku menduduki posisi subjek disebut aktif dan

jika pelaku tidak menduduki posisi subjek disebut pasif. Bila pelaku melakukan pekerjaan dan

mengenai diri pelaku atau sebagian dari diri pelaku disebut middle (Shibatani, M dan Bynon, T

dalam Sawardi, 2003). Setiap perubahan fungsi sintaksis yang dikaitkan dengan perubahan

verba disebut dengan voice atau diatesis.

B. Jenis–jenis Diatesis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang

1. Jenis Diatesis dalam Bahasa indonesia

Berbeda dengan beberapa bahasa di dunia yang memiliki banyak jenis diatesisnya,

bahasa Indonesia hanya memiliki empat atau lima jenis diatesis. Kridalaksana dan Sudaryanto

mengklasifikasikan jenis diatesis dalam bahasa Indonesia menjadi empat yaitu: diatesis aktif,

diatesis pasif, diatesis refleksif, dan diatesis resiprokal, sedangkan Chaer (1994: 265)

mengklasifikasikannya menjadi lima jenis diatesis, yaitu:


1. Diatesis Aktif, subjek yang berbuat atau melakukan suatu perbuatan.

Contoh : Ibu menulis surat.

2. Diatesis Pasif, subjek menjadi sasaran perbuatan.

Contoh : Surat ditulis Ibu.

3. Diatesis Refleksif, subjek melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri. Contoh : Nenek

sedang berhias.

4. Diatesis Resiprokal, subjek terdiri dari dua pihak yang berbuat tindakan berbalasan.

Contoh : Mereka akan berdamai.

5. Diatesis Kausatif, subjek menjadi penyebab atas terjadinya sesuatu.

Contoh : Kakek menghitamkan rambutnya.

2. Jenis- Jenis Diatesis dalam Bahasa Jepang

Jenis diatesis dalam bahasa Jepang jauh lebih banyak dibandingkan diatesis dalam

bahasa Indonesia. Iori (2001) hanya mengelompokkan diatesis bahasa Jepang menjadi empat

jenis saja, yaitu: diatesis aktif (noudoutai), diatesis pasif langsung & tidak langsung (judoutai),

kausatif (shieki), dan aksi memberi-menerima (jujudoushi). Tetapi menurut Muraki (1991), ada

11 jenis diatesis yang terdapat dalam bahasa Jepang, yang diurutkan seperti berikut ini:

a. Noudobun (Diatesis Aktif),


Contoh : 太郎が 次郎を おいかけた。
Tarou ga Jirou wo oikaketa.
<Taro mengejar Jiro.>
b. Judoubun (Diatesis Pasif)
Contoh : 次郎が 太郎に おいかけられた。
Jirou ga Tarou ni oikakerareta.
<Jiro dikejar oleh Taro.>
c. Sougobun (Diatesis Resiprokal)
Contoh : 太郎が 次郎と なぐりあった・たたかった。
Tarou ga Jirou to naguriatta / tatakatta.
<Taro baku hantam/berkelahi dengan Jiro.>
d. Jujubun (Aktivitas memberi dan menerima)
Contoh : 先生が 生徒を ほめてくれる。
Sensei ga seito wo homete kureru.
<Guru memuji (memberikan pujian pada) murid.>
e. Shakakudoushi no Koutai (Pergantian tidak langsung)
Contoh : - 山田が 日本語を 英語と くらべた。
Yamada ga Nihongo wo Eigo to kurabeta.
<Yamada membandingkan bahasa Jepang dengan bahasa Inggris.>
- 山田が 英語を 日本語と くらべた。
Yamada ga Nihongo wo Eigo to kurabeta.
<Yamada membandingkan bahasa Inggris dengan bahasa Jepang.>
f. Shiekibun (Diatesis Kausatif)
Contoh : 太郎が 次郎に 木を よませた。
Tarou ga Jirou ni hon wo yomaseta.
<Taro menyuruh membaca buku pada Jiro.>
g. Tadoushi (Transitif)
Contoh : 太郎が 餅を やいた。
Tarou ga mochi wo yaita.
<Taro membakar mochi.>
h. Jidoushi (Intransitif)
Contoh : 餅が やけた。
Mochi ga yaketa.
<Mochi terbakar>
i. Saikidoushi (Diatesis Refleksif)
Contoh : 太郎は 頭から 水を あびた。
Tarou wa atama kara mizu wo abita.
<Taro mandi mulai dari kepala.>
j. Kanoubun (Diatesis Potensial)
Contoh : 太郎に(は)英語が よめる。
Tarou ni (wa) Eigo ga yomeru.
<Taro bisa membaca bahasa Inggris.>
k. Jihatsubun (Spontaneous)
Contoh : 太郎に(は)故郷が しのばれる。
Tarou ni (wa) kokyou ga shinobareru.
<Taro terkenang tanah kelahirannya.> (tiba-tiba teringat)
C. Diatesis Pasif ter- dan di -dalam Bahasa Indonesia

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, voice atau diatesis

berkaitan dengan pembedaan bentuk verba sehingga dapat mempengaruhi hubungan antara

subjek dan predikat. Bentuk verba itu sendiri sesuai dengan fungsinya dalam bahasa Indonesia

dapat ditandai dengan penggunaan imbuhan me-, me-kan, me-i, ber-, di-, di-kan, di-i, ke-an, ter-

dan lain sebagainya. Imbuhan me-, me-kan, me-i adalah imbuhan-imbuhan yang berfungsi

membentuk kalimat berverba aktif transitif. Imbuhan ber- berfungsi membentuk kalimat

berverba aktif intransitif. Imbuhan di-, di-kan, di-i berfungsi membentuk kalimat berverba pasif

transitif, sedangkan imbuhan ke-an dan ter-an membentuk kalimat pasif intransitif.

1. Konstruksi Verba ter-

Dalam kaidah tata bahasa, imbuhan (awalan) ter- termasuk awalan yang produktif.

Pengimbuhannya dilakukan dengan cara merangkaikan di muka kata yang diimbuhinya. fungsi

awalan ter- adalah membentuk kata kerja pasif yang menyatakan keadaan, dan membentuk

kata benda yang menyatakan orang (Chaer 1998:252), sedangkan makna yang didapat

sebagai hasil dari pengimbuhannya, antara lain menyatakan:

• paling

• dapat atau sanggup

• tidak sengaja

• sudah terjadi

• terjadi dengan tiba-tiba

• orang yang dikenai

Aturan pengimbuhannya adalah sebagai berikut:


1. Untuk mendapatkan makna ‘paling’ awalan TER- harus di imbuhkan pada kata

sifat.

Contoh: - Siapa yang terpandai di kelas ini.

terpandai → paling pandai

2. Untuk mendapatkan makna ‘dapat atau sanggup’ awalan TER- harus diimbuhkan

pada kata kerja.

Contoh : - Batu seberat itu terangkat juga oleh adik.

terangkat → dapat diangkat

3. Untuk mendapatkan makna ‘tidak sengaja’ awalan TER- harus diimbuhkan pada kata

kerja.

Contoh : - Pinsilmu terbawa oleh saya kemarin.

terbawa → tidak sengaja dibawa

4. Untuk mendapatkan makna ‘sudah terjadi’ awalan TER- harus diimbuhkan pada kata

kerja.

Contoh : - Rumahnya terbakar habis.

terbakar → peristiwa kebakaran itu telah terjadi.

5. Untuk mendapatkan makna ‘terjadi dengan tiba-tiba’ awalan TER- harus diimbuhkan

pada kata kerja.

Contoh : - Melihat orang tua itu teringat saya akan kakek yang sudah tiada.

teringat → tiba-tiba menjadi ingat.

6. Untuk mendapatkan makna ‘dalam keadaan’ awalan TER- harus diimbuhkan pada kata

dasar yang menyatakan keadaan (terutama dari bentuk dasar prahatejarial).

Contoh : - Tubuhnya kaku tergeletak di pinggir sawah.

tergeletak → dalam keadaan geletak.


7. Untuk mendapatkan makna ‘orang yang dikenai’ awalan TER- harus diimbuhkan

pada beberapa kata kerja.

Contoh : - Tertuduh tidak dapat memberi keterangan yang jelas.

tertuduh → orang yang dituduh.

Arti kata-kata berawalan TER- pada 2, 3 dan 4 tampaknya sangat tergantung pada

konteks kalimatnya, sedangkan TER- pada 7 tampaknya hanya terbatas pada bidang

pengadilan saja.

Bentuk ter- dapat ergatif, dan dapat pula pasif. Pada bentuk di- yang ergatif, agen wajib

hadir , dan letak kanan verba; oleh wajib hadir. Agen berupa persona pertama, kedua, atau

ketiga; dan dapat pula berwujud nomina. Secara pronominal, agen dapat berupa bentuk bebas

atau diklitikakan pada oleh. Semua ini berlaku pula bagi bentuk ter- yang pasif, kecuali bahwa

kehadiran agen itu opsial pada konstruksi pasif. Secara sistematis, bentuk ter- mengandung

makna ‘ketidaksengajaan’ , dan bentuk seperti ini digunakan untuk tindakan atau kejadian yang

tak direncanakan; tidak peduli apakah ada agen atau tidak sebab agen memang tidak memiliki

kendali atas tindakan. Oleh karena itu, bentuk ter- ini kebanyakan dipakai dengan “verba

bermakna ‘mengalami’”, yang secara sintaksis, tetapi tidak secara semantis, merupakan

“tindakan” (Verhaar, 1989).

NP pasien dengan bentuk ter- senantiasa berupa bentuk “bebas”, dapat dipisahkan dari

bentuk ter-, dengan kedudukannya yang letak kanan atau letak kiri verba. Oleh karena itu,

dalam hal ini pasien pada bentuk ter- memang menyerupai Pasien pada bentuk di-. Berikut ini

beberapa contoh :

(14) Kemudian terdengar olehku suara nyaring. (Verhaar dalam Kaswanti,1989: 213)

(15) Rumah itu terlewati oleh mereka. (Verhaar dalam Kaswanti,1989: 213)

(16) Dia kurang tahu, sehingga tertipu. (Verhaar dalam Kaswanti,1989: 213)

Yang menjadi agen pada (14) adalah olehku, dengan pengklitikaan ku, dan pada (15) oleh

mereka, dengan pronomina bebas mereka; berbeda dengan itu semua, tertipu pada (16) tidak
mempunyai agen. Pasien menyusul bentuk ter- pada (14) ( suara nyaring ), dan mendahuluinya

pada (15) (rumah itu); dapat pula pasien berupa nol, seperti pada sehingga ø tertipu .

Verba yang berprefiks ter- pada umumnya erat berkaitan dengan verba yang berprefiks

di-. Pembentukan dengan ter- juga produktif karena pada umumnya verba transitif yang

berprefiks me- bisa diubah menjadi verba ter- (Alwi,1998: 130-131).

Ada beberapa makna umum verba ter- menurut Alwi (1998). Pertama, secara semantis

konstruksi verba ter- mengandung makna “ketidaksengajaan” dan bentuk seperti itu digunakan

untuk tindakan atau kejadian yang tidak direncanakan, tidak peduli apakah ada agen atau tidak

sebab agen memang tidak memiliki kendali atas tindakan (Verhaar dalam Kaswanti, 1989: 213).

(17) Ali membawa buku saya ke sekolah.

(18) Buku saya dibawa oleh Ali ke sekolah. (Alwi, 1998: 131)

(19) Buku saya terbawa oleh Ali ke sekolah. (Alwi, 1998: 131)

Pada kalimat (17) dan (18) Ali dengan sengaja membawa buku itu ke sekolah, tetapi

pada kalimat (19) perbuatan membawa buku itu dia lakukan tidak dengan sengaja. Pada

umumnya prefiks ter- pada semua verba yang menyatakan perbuatan memiliki makna seperti

itu.

Makna yang kedua yaitu “dapat di (dasar)”. Umumnya verba dengan makna ini didahului

oleh pernyataan negatif tidak atau tak. Contoh :

(tidak) terbeli → (tidak) dapat dibeli

(tidak) terangkat → (tidak) dapat diangkat

Makna ketiga menyatakan bahwa peristiwa atau keadaan yang dinyatakan oleh verba

tersebut telah tercapai, tetapi tidak ada penekanan mengenai siapa yang melakukan perbuatan

tersebut. seperti kalimat berikut ini.

(20) Telkom memutuskan hubungan Jakarta-Medan.

(21) Hubungan Jakarta-Medan diputus. (Alwi, 1998: 132)

(22) Hubungan Jakarta-Medan terputus. (Alwi, 1998: 132)


Dalam kalimat (20) dan (21) tersimpan pengertian bahwa pemutusan itu dilakukan

dengan sengaja dan ada orang atau instansi yang melakukan pemutusan tersebut (Telkom),

sedangkan pada (22), peristiwa terputusnya hubungan tersebut telah terjadi dan tidak

dipermasalahkan siapa yang melakukan pemutusan itu atau apa yang menyebabkan hal itu

terjadi. Bisa saja pelakunya adalah alam seperti badai atau halilintar.

Selain digunakan pada verba transitif, konstruksi verba ter-juga dapat dipakai pada

verba intransitif. Verba intransitif yang berawalan ter- yang tidak berhubungan dengan verba

transitif terbatas jumlahnya (Alwi, 1998: 144). Kebanyakan barasal dari verba dasar. Contoh :

duduk → terduduk

tidur → tertidur

jatuh → terjatuh

Tetapi tidak semua verba dasar dapat dipakai dalam pembentukan ini, misalnya

*terhilang, *tertiba, dan sebagainya.

Makna verba intransitif ter- umumnya adalah “menjadi dalam keadaan (dasar)” dan ada

unsur makna yang menyatakan bahwa perbuatan atau peristiwa itu terjadi bukan karena

kemauan si pelaku. Oleh karena itu, antara duduk (23) dan terduduk (24) ada perbedaan

makna meskipun sedikit. Sementara itu, kalimat (25) dapat diterima, tetapi (26) tidak dapat

diterima.

(23) Dia duduk di kursi. (Alwi, 1998: 145)

(24) Dia terduduk di kursi itu. (Alwi, 1998: 145)

(25) Saya mau bangun pukul 04.00. (Alwi, 1998: 145)

(26) *Saya mau terbangun pukul 04.00. (Alwi, 1998: 145)

2. Konstruksi Verba di-

Imbuhan di- merupakan pemarkah dalam diatesis pasif (passive voice) yang

hanya dapat diimbuhkan pada kata kerja transitif. Contohnya, kata kerja bentuk dasar “bakar”,
jika diimbuhkan imbuhan ter- akan menjadi “terbakar”, dan jika diimbuhkan imbuhan di- akan

menjadi “dibakar”, dsb. Kedua imbuhan inilah yang menjadi konstruksi verba dalam diatesis

pasif bahasa Indonesia.

Selanjutnya kita akan melihat beberapa fungsi dan makna dari konstruksi verba di-

seperti yang dipaparkan oleh Sutedi (2006). Kalimat bahasa Indonesia dikatakan sebagai

bahasa yang bertipe SVO. Di dalam bahasa Indonesia hal yang paling ingin diungkapkan oleh

pembicara (apakah itu agen/subjek, pasien/objek atau tindakan) diletakkan di awal kalimat. Hal

ini disebut dengan fokus/sudut pandang. Singkatnya, dalam bahasa Indonesia terdapat tiga

buah cara menangkap sudut pandang suatu wacana yaitu subject focus, object focus, dan

action focus. Dalam bahasa Indonesia pembicara dapat meletakkan hal yang ingin

diungkapkannya di awal kalimat dengan menggunakan sudut pandang/fokus subjek, objek dan

tindakan.

Lalu dalam penggunaan bahasa sehari-hari, Sutedi (2006) menurunkan fungsi asli

object focus menjadi dua buah makna baru, yaitu instruksi (jussive) dan kesopanan

(politeness).

Seperti yang telah dijelaskan di atas, konstruksi verba di- merupakan konstruksi yang

digunakan sebagai pemarkah diatesis pasif bahasa Indonesia. Penggunaannya sangat

produktif sekali karena hampir semua bentuk aktif transitif dalam bahasa Indonesia dapat

dipasifkan dengan menggunakan konstruksi verba di-. Maknanya tentu saja berubah karena

urutan sintaksisnya pun berubah.

(27) a.Tuti memakai baju kurung malam itu. (Alwi, 1998: 130)

b.Baju kurung dipakai Tuti malam itu. (Alwi, 1998: 130)

(28) a. Ali sedang membaca buku itu. (Chung dalam Kaswanti, 1989: 3)

b. Buku itu sedang dibaca (oleh) Ali (Chung dalam Kaswanti, 1989: 5)
Pada penggantian prefiks me- dengan di- ini tidak mempengaruhi kehadiran sufiks.

Artinya, bila pada bentuk aktif verba tersebut memiliki sufiks, sufiks itu tetap ada. Misalnya, dari

memperbaiki dan memanjakan diperoleh verba pasif yang masih memiliki sufiks -i dan –kan,

yaitu diperbaiki dan dimanjakan. Namun ada sekelompok kecil verba yang sufiksnya dapat

dilesapkan. Dari verba aktif meninggalkan, verba pasifnya bisa ditinggal atau ditinggalkan

seperti terlihat pada kalimat berikut.

(29) Suaminya meninggalkan dia tahun lalu. (Alwi, 1998: 130)

(30) Dia ditinggal(kan) oleh suaminya tahun lalu. (Alwi, 1998: 130)

Selanjutnya kita akan melihat ciri lain morfemik verba di- melalui contoh-contoh berikut.

(31) Jangan dimakan! (Kaswanti, 1989: 361)

(32) Banyak karya seni dapat dibeli di Indonesia.

(Verhaar dalam Kaswanti, 1989 :211)

(33) Hal seperti itu tidak disukai (*oleh) orang.

(Verhaar dalam Kaswanti, 1989: 211)

(34) Tetapi perjuangan itu dimenangkan (*oleh) kita.

(Verhaar dalam Kaswanti, 1989: 211)

(35) Lalu diambilnya barangnya. (Verhaar dalam Kaswanti, 1989: 211)

(36) Bunda mengangkat daku, diayunkan, kemudian digendong-nya.

(Siegel dalam Kaswanti, 1989: 361)

Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui bahwa pasif dengan konstruksi verba di-

lazimnya mempunyai agen yang wajib hadir, seperti pada contoh (33), (34) dan (35). Agen

dapat didahului preposisi oleh dan dapat pula tidak. Selain itu agen dapat berupa nomina (32)

atau pronomina (35). Agen yang berupa pronomina dapat berupa pronomina terikat (-nya)

tanpa oleh dan –ku, -mu, atau –nya yang diklitikakan pada oleh.

Tetapi ada juga konstruksi verba di- yang tanpa agen seperti terlihat pada contoh (31),

(32), dan (36). Ketiadaan agen di dalam konstruksi di- dapat dihasilkan oleh dua proses yang
berbeda, yaitu: agen itu memang tidak pernah hadir secara formatif, atau agen (secara

opsional) dilesapkan didalam konteks tertentu (Kaswanti, 1989: 359). Untuk jenis yang pertama

dapat terlihat pada contoh (31) dan (32), sedangkan untuk contoh (36) menggunakan jenis yang

kedua.

Pada semua contoh itu, agen merupakan persona ketiga, kecuali pada (34) yang

merupakan persona pertama (oleh kita). Konstruksi verba di- dengan persona bukan ketiga

jarang terjadi, sedangkan yang kita temukan pada contoh (34) pemunculan kita hanya sebagai

penegasan bahwa pekerjaan itu dilakukan oleh kita bukan oleh orang lain.

D. Diatesis ~te aru dan ~te oku Bahasa Jepang

Kategori Gramatikal dalam Predikat

Kategori gramatikal adalah penggolongan satuan bahasa atas dasar bentuk, fungsi, dan

makna. Untuk itu, predikat dalam suatu kalimat merupakan bagian yang penting, karena

dengan predikat tersebut, maka bentuk, fungsi, dan makna kalimat akan berbeda-beda. Khusus

untuk kalimat verbal, baik transitif maupun intransitif, maknanya akan ditentukan dan

dipengaruhi oleh berbagai kategori gramatikal (Sutedi Dedi 2004: 73) seperti :

a. Tingkat kesalahan dan Bentuk Positif-Negatif

b. Voice atau Diatesis

c. Kala dan Aspek

d. Modalitas

Pada penelitian ini hanya akan dibahas mengenai Voice atau diatesis saja. Bentuk

verba yang mempengaruhi fungsi dan makna kalimat verbal, yaitu diatesis (voice). Dalam

bahasa Jepang, yang termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti: ukemi

<bentuk pasif>, shieki <kausatif>, kanou <bentuk dapat> dan yang lainnya.

Kala dan aspek dalam bahasa Jepang merupakan hal yang sulit untuk dipilah-pilah.

Aspek dalam bahasa Jepang bisa diekspresikan dengan cara menggunakan berbagai bentuk

verba. Untuk menyatakan aspek dalam bahasa Jepang, secara garis besarnya dapat
dikelompokan menjadi dua macam yaitu: (1) menggunakan verba bentuk “TE + Verba bantu

(hojo-doushi)”, (2) menggunakan verba selain bentuk TE (Sutedi Dedi 2004: 89).

1. Aspek yang menggunakan verba bentuk TE

Verba bantu (hojo-doushi) yang mengikuti verba utama (hondoushi) bentuk TE yang

berhubungan dengan aspek, yaitu : IRU, KURU, IKU,ARU,dan OKU. Namun pada penelitian ini

hanya akan membahas verba bantu TE ARU dan TE OKU saja.

(~てある)
a. ~te aru(~てある)sudah di / ter ~

Cara pemakaian kata kerja untuk membantu kata lain (hojo-dooshi) “~te aru”.

“~te aru” yang digabungkan dengan kata kerja transitif (tadooshi) menyatakan keadaan

sesuatu hasil pekerjaan seseorang. Dan biasanya mempergunakan kata bantu (joshi)”ga”.

Contoh : (...ni)...ga...te arimasu.

(37) Kabe ni chizu ga hatte arimasu.

<Di dinding tertempel peta.>

“~te aru” tidak dapat digabungkan dengan kata kerja intransitif (jidooshi).

(38) Karendaa ga kakete arimasu.

(Transitif + te aru)

<Kalender tergantung. (Seseorang telah menggantungkan kalender tersebut)>

Jadi pada kata kerja transitif TE + ARU tersirat ada pelakunya.

 Keadaan sebagai hasil perubahan akibat suatu perbuatan.

(39) そんなことは手紙に書いてある。

Sonna koto wa tegami ni kaite aru.

<Hal seperti itu sudah tertulis dalam surat.>

 Perbuatan yang telah dilakukan.

(40) 電気代が上がるということは二ヶ月も前に発表してある。

Denki- dai ga agaru to iu koto wa nikagetsu mo mae ni happyou shite aru.


<Mengenai kenaikan harga listrik, sudah diumumkan dua bulan yang lalu.>

(~ておく)
b. ~ te oku(~ておく): me...terlebih dahulu / (persiapkan) ~ dulu.

Cara pemakaian kata kerja untuk membantu kata lain <hojo-doushi> ~te oku: yang

menyatakan suatu keadaan hasil perbuatan.

“~te oku” dipergunakan untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai persiapan atau

sebelum kegiatan lainnya dilakukan, menghadapi suatu kejadian yang akan datang yang

maksudnya mendapatkan hasil yang lebih baik.

Kata kerja intransitif (jidooshi) + te oku selalu mengandung arti suatu persiapan.

 Menyatakan kegiatan sebagai persiapan.

(41) ドアを開けておく。

Doa o akete oku.

<Membuka pintu terlebih dahulu.>

(42) 土曜日は旅館が込むから、部屋を予約しておきます。

Dooyobi wa ryokan ga komukara, heya o yoyakushite okimasu.

<Karena hari sabtu penginapan penuh, (saya) akan memesan kamar terlebih

dahulu>

2. Aspek yang tidak menggunakan verba bentuk TE

Aspek yang menggunakan jenis verba selain bentuk TE, diantaranya dengan

menggunakan sufik pada verba majemuk, atau menggunakan bentuk verba yang lainnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Muraki (1991), shite- aru dan shite –

oku termasuk dalam 11 jenis diatesis yang terdapat dalam bahasa Jepang.

a. ~ te aru

Menurut Muraki (1991: 196), kata kerja yang membentuk kalimat pasif bahasa Jepang

tidak hanya terbatas pada bentuk kata kerja yang diiringi akhiran -Rare- saja. Kata kerja yang

diiringi akhiran -Te aru- pun mengandung makna pasif dalam diatesis bahasa Jepang.
Pola ini digunakan ketika menyatakan suatu keadaan yang merupakan hasil dari suatu

aktivitas yang terjadi.

(43) 机の上に手紙がおいてある。 (Muraki, 1991 : 196)

Diatas meja tersimpan surat.

Pola ini berpasangan dengan pola ~te iru yang juga menyatakan suatu keadaan dari

hasil aktivitas yang terjadi. Namun keduanya mempunyai perbedaan pada kata kerja yang

diimbuhkannya. Pola ~ te iru diimbuhkan pada kalimat intransitif, sedangkan pola ~te iru

diimbuhkan pada kalimat transitif. Selain itu, pola ~te aru lebih terfokus pada aktivitas yang

dilakukan dan aktivitas tersebut terjadi akibat dari keinginan seseorang, sedangkan pola ~te iru

merupakan kebalikan dari pola ~te aru tersebut.

b. ~ te oku

Pola kalimat ~te oku mempunyai makna dasar “melakukan sesuatu terlebih dahulu, dan

meramalkan apa yang akan terjadi setelahnya” (Ichikawa, 2005: 214).

Pola kalimat ~te oku penulisannya menggunakan hiragana, dan mempunyai fungsi

untuk: menyatakan persiapan untuk tujuan tertentu (44) dan untuk menunjukkan sesuatu hasil

perbuatan yang dibiarkan (45) (Ichikawa, 2005: 214).

(44) 行く前に相手先に電話しておく。 (Ichikawa, 2005: 214)

(Saya) akan menelepon terlebih dahulu ke rumahnya sebelum pergi (45) A :

窓を閉めましょうか。 (Ichikawa, 2005: 214)

B : いえ、(そのまま)開けておいてください。

A : Jendelanya tutup ya?

B : Jangan, biarkan saja terbuka seperti itu.

E. Keutamaan Analisis Kontrastif

Ada dua macam bahasa yang persoalannya perlu mendapat perhatian. Pertama adalah

bahasa pertama (B1), disebut juga bahasa ibu yang diajarkan, dikuasai, dan umumnya
digunakan di daerah tempat seseorang tinggal. Kedua adalah bahasa kedua (B2), yang disebut

juga bahasa asing. Dalam hal ini seseorang yang mempelajari bahasa asing sementara sehari-

harinya ia menggunakan bahasa pertama akan menemukan persamaan dan perbedaan

diantara keduanya. Namun tak jarang dalam penerapannya terjadi transfer negatif karena

kebiasaan dalam penggunaan satu bahasa. Sehingga hal ini menjadi penyebab terjadinya

kesalahan berbahasa yang kemudian akan mengakibatkan kurang lancarnya proses

komunikasi antar dua orang yang berbeda bahasa.

Menurut Tarigan (1992: 4), analisis kontrastif adalah aktivitas atau kegiatan yang

mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-

perbedaan di antara kedua bahasa. Perbedaan antara dua bahasa yang didapat melalui

analisis kontrastif ini kemudian dapat digunakan sebagai landasan untuk memprediksi

kesulitan-kesulitan dalam mempelajari bahasa asing (B2). Dengan adanya analisis kontrastif ini

diharapkan akan meminimalisir kesulitan dan kesalahan dalam penguasaan bahasa asing.

Keterampilan berbahasa kedua ditentukan oleh sejumlah faktor (efek transfer)

diantaranya:

1. Sikap sosial dan budaya masyarakat pemakai B2 yang sedang dipelajari oleh para

siswa.

2. loyalitas atau kesetiaan para siswa kepada B1nya. yaitu perasaan emosi para siswa

terhadap masyarakat dan budaya B2 yang sedang dipelajarinya.

3. Strategi belajar individu dalam belajar B2.

Analisis kontrastif muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan perbaikan pengajaran B2.

Sebagai prosedur kerja, maka melalui langkah langkahnya analisis kontrastif mencoba

mengefisienkan dan mengefektifkan PB2. Langkah- langkah tersebut diantaranya yaitu:

1. Pengidentifikasian perbedaan struktur bahasa, yaitu memperbandingkan B1 dan B2

yang akan dipelajari oleh para siswa . Perbandingan bahasa ini menyangkut segi

linguistik.
2. Perkiraan kesulitan dan kesalahan berbahasa. Memprediksi kesulitan belajar dan

kesalahan berbahasa. Hasil perbandingan struktur bahasa berupa identifikasi

perbedaan antara B1 dan B2. Berdasarkan identifikasi ini disusunlah perkiraan

kesulitan belajar yang akan dihadapi oleh para siswa dalam belajar B2.

Analisis kontrastif memiliki dua aspek yakni aspek linguistik dan aspek psikologis. Pada

langkah- langkah analisis diatas lebih tertuju pada aspek linguitik.

Analisis kontrastif berfungsi sebagai penjelas dan bukan sebagai peramal, menyatakan

bahwa analisis kontrastif sebaiknya membatasi diri pada perbandingan bagian-bagian bahasa,

menganalisis bagian tata bahasa ,yang diperkirakan mendatangkan kesukaran belajar bagi

para siswa.

Baik pengajar maupun pembelajar bahasa asing, khususnya dalam hal ini bahasa

Jepang, perlu memahami atau minimalnya mengetahui tentang analisis kontrastif. Pengetahuan

ini merupakan suatu media untuk mempermudah pemahaman dan penguasaan bahasa

Jepang, serta sejauh mana perbedaan dengan bahasa asing yang diajarkan.

Dalam penelitian ini akan diulas mengenai persamaan dan perbedaan diatesis aktif-pasif

yang ada dalam verba bentuk ter- pada bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Karena

sebagaimana kita ketahui, terdapat perbedaan yang dalam struktur kalimat, makna dan fungsi

kedua bahasa ini.

Anda mungkin juga menyukai