TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu cabang lingusitik (gengogaku) yang mengkaji tentang struktur pola kalimat
adalah sintaksis (touguron) atau (sintakusu). Objek kajian sintaksis adalah kalimat itu sendiri.
Menurut Nita (1997: 14) yang dikutip oleh Sutedi (2003: 61) bidang garapan sintaksis adalah
kalimat, yang mencakup: jenis dan fungsinya, unsur-unsur pembentuknya, serta struktur dan
maknanya. Kalimat berdasarkan strukturnya dapat dibagi menjadi dua yaitu kalimat berpredikat
dan kalimat yang tidak berpredikat. Dalam hal ini, beberapa kelas kata yang dapat dijadikan
sebagai predikat adalah kata kerja/verba (doushi), kata sifat/adjektiva (keiyoushi), dan kata
benda/nomina (meishi). Setiap perubahan fungsi sintaksis yang dikaitkan dengan perubahan
Diatesis atau voice menurut Verhaar (2001: 130 ) adalah bentuk verba transitif yang
subjeknya sedemikian rupa sehingga dapat atau tidak dapat berperan ajentif. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, diatesis diartikan sebagai pembedaan bentuk verba (KK) untuk
menandai pertalian antara subjek dan predikat yang dinyatakan oleh verba. Contoh: mengambil
dalam frase mengambil buku berdiatesis aktif. Hampir senada dengan pengertian dalam KBBI,
Kridalaksana (1982 : 34), memberikan pengertian umum diatesis sebagai kategori gramatikal
yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan
Menurut kamus besar bahasa dan linguistik, Harmann dan Stork (1973: 251-252)
mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan Voice yaitu : a verb form or particular syntactic
construction indicating certain relationships between the subject and object of a verb (suatu
bentuk kata kerja atau pembentukan sintaksis khusus yang mengindikasikan beberapa
hubungan antara subjek dan objek dari sebuah verba). Senada dengan Harmann dan Stork, Mc
Arthur (1992: 1094) dalam bukunya mendefinisikan Voice seperti berikut voice is a category that
involves the relationships of subject and object in a sentence or clause. (sebuah kategori yang
meliputi hubungan-hubungan antara subjek dan objek dalam sebuah kalimat atau klausa).
Menurut Iori (2001: 98) yang dimaksud dengan voice dalam bahasa Jepang yaitu:
“Sebuah konsep yang menunjukkan sudut pandang dari orang-orang yang terlibat dalam
sebuah peristiwa”. Pada bagian selanjutnya, Iori (2001: 112) menambahkan lagi bahwa yang
dimaksud dengan voice yaitu sebuah ungkapan mengenai (sudut pandang) orang yang terlibat
dalam sebuah peristiwa dilihat dari apakah pengaruhnya datang dari pemberi atau penerima,
lalu apakah pengaruhnya datang dari dalam atau dari luar peristiwa tersebut.
Sementara itu Muraki (1991: 173) dalam bukunya yang berjudul “Nihongo Doushi no
Shosou”, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan diatesis dalam bahasa Jepang yaitu
bentuk verba yang menyatakan hubungan antara inti pekerjaan dengan faktor lain yang
berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Seperti dalam diatesis dalam bahasa Indonesia,
diatesis dalam bahasa Jepang pun dapat dikatakan sebagai kategori gramatikal yang
berhubungan dengan sintaksis dan morfologis sebuah verba, sehingga Muraki (1993: 174)
menyimpulkan bahwa diatesis sebagai susunan korelasi antara peran semantis (pelaku,
penderita) dengan bentuk sintaksis (subjek, objek) segala sesuatu yang terlibat dalam kejadian
Dalam berbagai bahasa Voice atau diatesis juga mengenal istilah marker atau markah,
baik bersifat morfemik maupun bersifat leksikal. Menurut Verhaar (2001: 213-214) pembatasan
1. Morfologis semata-mata. Misal, pasif dari bentuk latin amo ‘aku mencintai’ adalah amor
2. Paradigmatis yang bersifat frasa. Contoh pasif Inggris : (I) am loved, (you) are loved,
dst. Hal ini dikenal juga dengan sebutan perifrasis yaitu penuturan dalam bentuk frasa,
sintaksis yang khas dari klausa dengan predikat aktif dan klausa dengan predikat pasif.
Diatesis itu akan selalu dapat dikenali secara baik karena selalu ada penandaannya.
Penandaan yang dimaksud dapat formatif dan dapat pula tidak formatif. Penanda yang formatif
dapat disebut pemarkah (marker), yang dapat berwujud morfem (terikat) atau kata, sedangkan
penanda yang tidak formatif biasanya berupa susunan beruntun atau urutan unsur (Sudaryanto
dkk,1991: 6).
berdasarkan posisi agent atau pelaku. Jika pelaku menduduki posisi subjek disebut aktif dan
jika pelaku tidak menduduki posisi subjek disebut pasif. Bila pelaku melakukan pekerjaan dan
mengenai diri pelaku atau sebagian dari diri pelaku disebut middle (Shibatani, M dan Bynon, T
dalam Sawardi, 2003). Setiap perubahan fungsi sintaksis yang dikaitkan dengan perubahan
Berbeda dengan beberapa bahasa di dunia yang memiliki banyak jenis diatesisnya,
bahasa Indonesia hanya memiliki empat atau lima jenis diatesis. Kridalaksana dan Sudaryanto
mengklasifikasikan jenis diatesis dalam bahasa Indonesia menjadi empat yaitu: diatesis aktif,
diatesis pasif, diatesis refleksif, dan diatesis resiprokal, sedangkan Chaer (1994: 265)
3. Diatesis Refleksif, subjek melakukan sesuatu terhadap dirinya sendiri. Contoh : Nenek
sedang berhias.
4. Diatesis Resiprokal, subjek terdiri dari dua pihak yang berbuat tindakan berbalasan.
Jenis diatesis dalam bahasa Jepang jauh lebih banyak dibandingkan diatesis dalam
bahasa Indonesia. Iori (2001) hanya mengelompokkan diatesis bahasa Jepang menjadi empat
jenis saja, yaitu: diatesis aktif (noudoutai), diatesis pasif langsung & tidak langsung (judoutai),
kausatif (shieki), dan aksi memberi-menerima (jujudoushi). Tetapi menurut Muraki (1991), ada
11 jenis diatesis yang terdapat dalam bahasa Jepang, yang diurutkan seperti berikut ini:
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, voice atau diatesis
berkaitan dengan pembedaan bentuk verba sehingga dapat mempengaruhi hubungan antara
subjek dan predikat. Bentuk verba itu sendiri sesuai dengan fungsinya dalam bahasa Indonesia
dapat ditandai dengan penggunaan imbuhan me-, me-kan, me-i, ber-, di-, di-kan, di-i, ke-an, ter-
dan lain sebagainya. Imbuhan me-, me-kan, me-i adalah imbuhan-imbuhan yang berfungsi
membentuk kalimat berverba aktif transitif. Imbuhan ber- berfungsi membentuk kalimat
berverba aktif intransitif. Imbuhan di-, di-kan, di-i berfungsi membentuk kalimat berverba pasif
transitif, sedangkan imbuhan ke-an dan ter-an membentuk kalimat pasif intransitif.
Dalam kaidah tata bahasa, imbuhan (awalan) ter- termasuk awalan yang produktif.
Pengimbuhannya dilakukan dengan cara merangkaikan di muka kata yang diimbuhinya. fungsi
awalan ter- adalah membentuk kata kerja pasif yang menyatakan keadaan, dan membentuk
kata benda yang menyatakan orang (Chaer 1998:252), sedangkan makna yang didapat
• paling
• tidak sengaja
• sudah terjadi
sifat.
2. Untuk mendapatkan makna ‘dapat atau sanggup’ awalan TER- harus diimbuhkan
3. Untuk mendapatkan makna ‘tidak sengaja’ awalan TER- harus diimbuhkan pada kata
kerja.
4. Untuk mendapatkan makna ‘sudah terjadi’ awalan TER- harus diimbuhkan pada kata
kerja.
5. Untuk mendapatkan makna ‘terjadi dengan tiba-tiba’ awalan TER- harus diimbuhkan
Contoh : - Melihat orang tua itu teringat saya akan kakek yang sudah tiada.
6. Untuk mendapatkan makna ‘dalam keadaan’ awalan TER- harus diimbuhkan pada kata
Arti kata-kata berawalan TER- pada 2, 3 dan 4 tampaknya sangat tergantung pada
konteks kalimatnya, sedangkan TER- pada 7 tampaknya hanya terbatas pada bidang
pengadilan saja.
Bentuk ter- dapat ergatif, dan dapat pula pasif. Pada bentuk di- yang ergatif, agen wajib
hadir , dan letak kanan verba; oleh wajib hadir. Agen berupa persona pertama, kedua, atau
ketiga; dan dapat pula berwujud nomina. Secara pronominal, agen dapat berupa bentuk bebas
atau diklitikakan pada oleh. Semua ini berlaku pula bagi bentuk ter- yang pasif, kecuali bahwa
kehadiran agen itu opsial pada konstruksi pasif. Secara sistematis, bentuk ter- mengandung
makna ‘ketidaksengajaan’ , dan bentuk seperti ini digunakan untuk tindakan atau kejadian yang
tak direncanakan; tidak peduli apakah ada agen atau tidak sebab agen memang tidak memiliki
kendali atas tindakan. Oleh karena itu, bentuk ter- ini kebanyakan dipakai dengan “verba
bermakna ‘mengalami’”, yang secara sintaksis, tetapi tidak secara semantis, merupakan
NP pasien dengan bentuk ter- senantiasa berupa bentuk “bebas”, dapat dipisahkan dari
bentuk ter-, dengan kedudukannya yang letak kanan atau letak kiri verba. Oleh karena itu,
dalam hal ini pasien pada bentuk ter- memang menyerupai Pasien pada bentuk di-. Berikut ini
beberapa contoh :
(14) Kemudian terdengar olehku suara nyaring. (Verhaar dalam Kaswanti,1989: 213)
(15) Rumah itu terlewati oleh mereka. (Verhaar dalam Kaswanti,1989: 213)
(16) Dia kurang tahu, sehingga tertipu. (Verhaar dalam Kaswanti,1989: 213)
Yang menjadi agen pada (14) adalah olehku, dengan pengklitikaan ku, dan pada (15) oleh
mereka, dengan pronomina bebas mereka; berbeda dengan itu semua, tertipu pada (16) tidak
mempunyai agen. Pasien menyusul bentuk ter- pada (14) ( suara nyaring ), dan mendahuluinya
pada (15) (rumah itu); dapat pula pasien berupa nol, seperti pada sehingga ø tertipu .
Verba yang berprefiks ter- pada umumnya erat berkaitan dengan verba yang berprefiks
di-. Pembentukan dengan ter- juga produktif karena pada umumnya verba transitif yang
Ada beberapa makna umum verba ter- menurut Alwi (1998). Pertama, secara semantis
konstruksi verba ter- mengandung makna “ketidaksengajaan” dan bentuk seperti itu digunakan
untuk tindakan atau kejadian yang tidak direncanakan, tidak peduli apakah ada agen atau tidak
sebab agen memang tidak memiliki kendali atas tindakan (Verhaar dalam Kaswanti, 1989: 213).
(18) Buku saya dibawa oleh Ali ke sekolah. (Alwi, 1998: 131)
(19) Buku saya terbawa oleh Ali ke sekolah. (Alwi, 1998: 131)
Pada kalimat (17) dan (18) Ali dengan sengaja membawa buku itu ke sekolah, tetapi
pada kalimat (19) perbuatan membawa buku itu dia lakukan tidak dengan sengaja. Pada
umumnya prefiks ter- pada semua verba yang menyatakan perbuatan memiliki makna seperti
itu.
Makna yang kedua yaitu “dapat di (dasar)”. Umumnya verba dengan makna ini didahului
Makna ketiga menyatakan bahwa peristiwa atau keadaan yang dinyatakan oleh verba
tersebut telah tercapai, tetapi tidak ada penekanan mengenai siapa yang melakukan perbuatan
dengan sengaja dan ada orang atau instansi yang melakukan pemutusan tersebut (Telkom),
sedangkan pada (22), peristiwa terputusnya hubungan tersebut telah terjadi dan tidak
dipermasalahkan siapa yang melakukan pemutusan itu atau apa yang menyebabkan hal itu
terjadi. Bisa saja pelakunya adalah alam seperti badai atau halilintar.
Selain digunakan pada verba transitif, konstruksi verba ter-juga dapat dipakai pada
verba intransitif. Verba intransitif yang berawalan ter- yang tidak berhubungan dengan verba
transitif terbatas jumlahnya (Alwi, 1998: 144). Kebanyakan barasal dari verba dasar. Contoh :
duduk → terduduk
tidur → tertidur
jatuh → terjatuh
Tetapi tidak semua verba dasar dapat dipakai dalam pembentukan ini, misalnya
Makna verba intransitif ter- umumnya adalah “menjadi dalam keadaan (dasar)” dan ada
unsur makna yang menyatakan bahwa perbuatan atau peristiwa itu terjadi bukan karena
kemauan si pelaku. Oleh karena itu, antara duduk (23) dan terduduk (24) ada perbedaan
makna meskipun sedikit. Sementara itu, kalimat (25) dapat diterima, tetapi (26) tidak dapat
diterima.
Imbuhan di- merupakan pemarkah dalam diatesis pasif (passive voice) yang
hanya dapat diimbuhkan pada kata kerja transitif. Contohnya, kata kerja bentuk dasar “bakar”,
jika diimbuhkan imbuhan ter- akan menjadi “terbakar”, dan jika diimbuhkan imbuhan di- akan
menjadi “dibakar”, dsb. Kedua imbuhan inilah yang menjadi konstruksi verba dalam diatesis
Selanjutnya kita akan melihat beberapa fungsi dan makna dari konstruksi verba di-
seperti yang dipaparkan oleh Sutedi (2006). Kalimat bahasa Indonesia dikatakan sebagai
bahasa yang bertipe SVO. Di dalam bahasa Indonesia hal yang paling ingin diungkapkan oleh
pembicara (apakah itu agen/subjek, pasien/objek atau tindakan) diletakkan di awal kalimat. Hal
ini disebut dengan fokus/sudut pandang. Singkatnya, dalam bahasa Indonesia terdapat tiga
buah cara menangkap sudut pandang suatu wacana yaitu subject focus, object focus, dan
action focus. Dalam bahasa Indonesia pembicara dapat meletakkan hal yang ingin
diungkapkannya di awal kalimat dengan menggunakan sudut pandang/fokus subjek, objek dan
tindakan.
Lalu dalam penggunaan bahasa sehari-hari, Sutedi (2006) menurunkan fungsi asli
object focus menjadi dua buah makna baru, yaitu instruksi (jussive) dan kesopanan
(politeness).
Seperti yang telah dijelaskan di atas, konstruksi verba di- merupakan konstruksi yang
produktif sekali karena hampir semua bentuk aktif transitif dalam bahasa Indonesia dapat
dipasifkan dengan menggunakan konstruksi verba di-. Maknanya tentu saja berubah karena
(27) a.Tuti memakai baju kurung malam itu. (Alwi, 1998: 130)
(28) a. Ali sedang membaca buku itu. (Chung dalam Kaswanti, 1989: 3)
b. Buku itu sedang dibaca (oleh) Ali (Chung dalam Kaswanti, 1989: 5)
Pada penggantian prefiks me- dengan di- ini tidak mempengaruhi kehadiran sufiks.
Artinya, bila pada bentuk aktif verba tersebut memiliki sufiks, sufiks itu tetap ada. Misalnya, dari
memperbaiki dan memanjakan diperoleh verba pasif yang masih memiliki sufiks -i dan –kan,
yaitu diperbaiki dan dimanjakan. Namun ada sekelompok kecil verba yang sufiksnya dapat
dilesapkan. Dari verba aktif meninggalkan, verba pasifnya bisa ditinggal atau ditinggalkan
(30) Dia ditinggal(kan) oleh suaminya tahun lalu. (Alwi, 1998: 130)
Selanjutnya kita akan melihat ciri lain morfemik verba di- melalui contoh-contoh berikut.
Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui bahwa pasif dengan konstruksi verba di-
lazimnya mempunyai agen yang wajib hadir, seperti pada contoh (33), (34) dan (35). Agen
dapat didahului preposisi oleh dan dapat pula tidak. Selain itu agen dapat berupa nomina (32)
atau pronomina (35). Agen yang berupa pronomina dapat berupa pronomina terikat (-nya)
tanpa oleh dan –ku, -mu, atau –nya yang diklitikakan pada oleh.
Tetapi ada juga konstruksi verba di- yang tanpa agen seperti terlihat pada contoh (31),
(32), dan (36). Ketiadaan agen di dalam konstruksi di- dapat dihasilkan oleh dua proses yang
berbeda, yaitu: agen itu memang tidak pernah hadir secara formatif, atau agen (secara
opsional) dilesapkan didalam konteks tertentu (Kaswanti, 1989: 359). Untuk jenis yang pertama
dapat terlihat pada contoh (31) dan (32), sedangkan untuk contoh (36) menggunakan jenis yang
kedua.
Pada semua contoh itu, agen merupakan persona ketiga, kecuali pada (34) yang
merupakan persona pertama (oleh kita). Konstruksi verba di- dengan persona bukan ketiga
jarang terjadi, sedangkan yang kita temukan pada contoh (34) pemunculan kita hanya sebagai
penegasan bahwa pekerjaan itu dilakukan oleh kita bukan oleh orang lain.
Kategori gramatikal adalah penggolongan satuan bahasa atas dasar bentuk, fungsi, dan
makna. Untuk itu, predikat dalam suatu kalimat merupakan bagian yang penting, karena
dengan predikat tersebut, maka bentuk, fungsi, dan makna kalimat akan berbeda-beda. Khusus
untuk kalimat verbal, baik transitif maupun intransitif, maknanya akan ditentukan dan
dipengaruhi oleh berbagai kategori gramatikal (Sutedi Dedi 2004: 73) seperti :
d. Modalitas
Pada penelitian ini hanya akan dibahas mengenai Voice atau diatesis saja. Bentuk
verba yang mempengaruhi fungsi dan makna kalimat verbal, yaitu diatesis (voice). Dalam
bahasa Jepang, yang termasuk ke dalam kategori ini bermacam-macam, seperti: ukemi
<bentuk pasif>, shieki <kausatif>, kanou <bentuk dapat> dan yang lainnya.
Kala dan aspek dalam bahasa Jepang merupakan hal yang sulit untuk dipilah-pilah.
Aspek dalam bahasa Jepang bisa diekspresikan dengan cara menggunakan berbagai bentuk
verba. Untuk menyatakan aspek dalam bahasa Jepang, secara garis besarnya dapat
dikelompokan menjadi dua macam yaitu: (1) menggunakan verba bentuk “TE + Verba bantu
(hojo-doushi)”, (2) menggunakan verba selain bentuk TE (Sutedi Dedi 2004: 89).
Verba bantu (hojo-doushi) yang mengikuti verba utama (hondoushi) bentuk TE yang
berhubungan dengan aspek, yaitu : IRU, KURU, IKU,ARU,dan OKU. Namun pada penelitian ini
(~てある)
a. ~te aru(~てある)sudah di / ter ~
Cara pemakaian kata kerja untuk membantu kata lain (hojo-dooshi) “~te aru”.
“~te aru” yang digabungkan dengan kata kerja transitif (tadooshi) menyatakan keadaan
sesuatu hasil pekerjaan seseorang. Dan biasanya mempergunakan kata bantu (joshi)”ga”.
“~te aru” tidak dapat digabungkan dengan kata kerja intransitif (jidooshi).
(Transitif + te aru)
(39) そんなことは手紙に書いてある。
(40) 電気代が上がるということは二ヶ月も前に発表してある。
(~ておく)
b. ~ te oku(~ておく): me...terlebih dahulu / (persiapkan) ~ dulu.
Cara pemakaian kata kerja untuk membantu kata lain <hojo-doushi> ~te oku: yang
“~te oku” dipergunakan untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai persiapan atau
sebelum kegiatan lainnya dilakukan, menghadapi suatu kejadian yang akan datang yang
Kata kerja intransitif (jidooshi) + te oku selalu mengandung arti suatu persiapan.
(41) ドアを開けておく。
(42) 土曜日は旅館が込むから、部屋を予約しておきます。
<Karena hari sabtu penginapan penuh, (saya) akan memesan kamar terlebih
dahulu>
Aspek yang menggunakan jenis verba selain bentuk TE, diantaranya dengan
menggunakan sufik pada verba majemuk, atau menggunakan bentuk verba yang lainnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Muraki (1991), shite- aru dan shite –
oku termasuk dalam 11 jenis diatesis yang terdapat dalam bahasa Jepang.
a. ~ te aru
Menurut Muraki (1991: 196), kata kerja yang membentuk kalimat pasif bahasa Jepang
tidak hanya terbatas pada bentuk kata kerja yang diiringi akhiran -Rare- saja. Kata kerja yang
diiringi akhiran -Te aru- pun mengandung makna pasif dalam diatesis bahasa Jepang.
Pola ini digunakan ketika menyatakan suatu keadaan yang merupakan hasil dari suatu
Pola ini berpasangan dengan pola ~te iru yang juga menyatakan suatu keadaan dari
hasil aktivitas yang terjadi. Namun keduanya mempunyai perbedaan pada kata kerja yang
diimbuhkannya. Pola ~ te iru diimbuhkan pada kalimat intransitif, sedangkan pola ~te iru
diimbuhkan pada kalimat transitif. Selain itu, pola ~te aru lebih terfokus pada aktivitas yang
dilakukan dan aktivitas tersebut terjadi akibat dari keinginan seseorang, sedangkan pola ~te iru
b. ~ te oku
Pola kalimat ~te oku mempunyai makna dasar “melakukan sesuatu terlebih dahulu, dan
Pola kalimat ~te oku penulisannya menggunakan hiragana, dan mempunyai fungsi
untuk: menyatakan persiapan untuk tujuan tertentu (44) dan untuk menunjukkan sesuatu hasil
B : いえ、(そのまま)開けておいてください。
Ada dua macam bahasa yang persoalannya perlu mendapat perhatian. Pertama adalah
bahasa pertama (B1), disebut juga bahasa ibu yang diajarkan, dikuasai, dan umumnya
digunakan di daerah tempat seseorang tinggal. Kedua adalah bahasa kedua (B2), yang disebut
juga bahasa asing. Dalam hal ini seseorang yang mempelajari bahasa asing sementara sehari-
diantara keduanya. Namun tak jarang dalam penerapannya terjadi transfer negatif karena
kebiasaan dalam penggunaan satu bahasa. Sehingga hal ini menjadi penyebab terjadinya
Menurut Tarigan (1992: 4), analisis kontrastif adalah aktivitas atau kegiatan yang
perbedaan di antara kedua bahasa. Perbedaan antara dua bahasa yang didapat melalui
analisis kontrastif ini kemudian dapat digunakan sebagai landasan untuk memprediksi
kesulitan-kesulitan dalam mempelajari bahasa asing (B2). Dengan adanya analisis kontrastif ini
diharapkan akan meminimalisir kesulitan dan kesalahan dalam penguasaan bahasa asing.
diantaranya:
1. Sikap sosial dan budaya masyarakat pemakai B2 yang sedang dipelajari oleh para
siswa.
2. loyalitas atau kesetiaan para siswa kepada B1nya. yaitu perasaan emosi para siswa
Analisis kontrastif muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan perbaikan pengajaran B2.
Sebagai prosedur kerja, maka melalui langkah langkahnya analisis kontrastif mencoba
yang akan dipelajari oleh para siswa . Perbandingan bahasa ini menyangkut segi
linguistik.
2. Perkiraan kesulitan dan kesalahan berbahasa. Memprediksi kesulitan belajar dan
kesulitan belajar yang akan dihadapi oleh para siswa dalam belajar B2.
Analisis kontrastif memiliki dua aspek yakni aspek linguistik dan aspek psikologis. Pada
Analisis kontrastif berfungsi sebagai penjelas dan bukan sebagai peramal, menyatakan
bahwa analisis kontrastif sebaiknya membatasi diri pada perbandingan bagian-bagian bahasa,
menganalisis bagian tata bahasa ,yang diperkirakan mendatangkan kesukaran belajar bagi
para siswa.
Baik pengajar maupun pembelajar bahasa asing, khususnya dalam hal ini bahasa
Jepang, perlu memahami atau minimalnya mengetahui tentang analisis kontrastif. Pengetahuan
ini merupakan suatu media untuk mempermudah pemahaman dan penguasaan bahasa
Jepang, serta sejauh mana perbedaan dengan bahasa asing yang diajarkan.
Dalam penelitian ini akan diulas mengenai persamaan dan perbedaan diatesis aktif-pasif
yang ada dalam verba bentuk ter- pada bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Karena
sebagaimana kita ketahui, terdapat perbedaan yang dalam struktur kalimat, makna dan fungsi