Oleh
Kelompok 04
Puji Syukur kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan rahmatNya kami diberi kekuatan dan kesehatan yang baik sehingga dapat
mengerjakan menyelesaikan Laporan Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah
lapangan 2 ini dengan baik.
Dalam penyusunan Laporan Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah lapangan
2 ini, kami banyak mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu
Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah lapangan 2 dan Asisten laboratorium yang
telah membimbing kami selama melakukan Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah
lapangan 2 dan menyusun Laporan Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah lapangan
2 ini.
Kami sadar bahwa dalam menyusun Laporan Eksplorasi Geofisika Terpadu
Kuliah lapangan 2 ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar Laporan Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah lapangan 2
ini dapat lebih baik lagi.
Kami berharap, semoga Laporan Eksplorasi Geofisika Terpadu Kuliah
lapangan 2 ini dapat bermanfaat baik bagi kami sendiri dan pembaca untuk
menambah pengetahuan ilmu geografis pada umumnya. Kami juga mohon maaf
yang sebesar-besarnya jika ada kata – kata yang kurang berkenan.
Kelompok 04
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi
DAFTAR TABEL...............................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................ix
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG........................................................x
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang....................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................
1.2. Maksud dan Tujuan.............................................................................................
1.4. Hipotesa Awal.....................................................................................................
1.5. Luaran.................................................................................................................
1.6. Lokasi Penelitian.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
1.5. Luaran
Dengan dilaksanakannya penelitian ini maka diharapkan dapat
menghasilkan luaran sebagai berikut:
1. Mendapatkan model Konseptual Basement
2. Mendapatkan model Konseptual Struktur
3. Mendapatkan bentuk cekungan Yogyakarta
Gambar 1.1. merupakan peta Desain Survei yang digunakan pada saat
pengukuran metode geomagnetik dan VLF (Very Low Frequency). Peta tersebut
menginformasikan letak titik pengukuran yang akan diukur dengan menggunakan
kedua metode tersebut. Terdapat 6 Lintasan yang mencakup daerah Yogyakarta,
baik dari Kabupaten Kulonprogo, Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Masing
– masing lintasan pada desain survei tersebut terdiri dari 30 titik pengukuran,
yang dimana jarak antar titiknya ±1 km. Kelompok 4 memiliki lintasan yang
ditandai dengan kotak merah.
Peta desain tersebut dibuat berdasarkan peta geologi yang dimana terdapat
terdapat beberapa formasi yang ditandai dengan beberapa warna diantaranya,
alluvium yang ditandai dengan warna hijau muda, Endapan Gunung Merapi Muda
yang ditandai dengan warna cokelat muda formasi sentolo yang ditandai dengan
warna kuning muda, Formasi Jonggrangan yang ditandai dengan warna hijau,
Formasi Kebobutak yang ditandai dengan warna cokelat, Formasi Nanggulan
yang ditandai dengan warna Hijau Neon, Formasi Wonosari yan ditandai dengan
warna biru, Formasi Sambipitu yang ditandai dengan Kuning, Formasi
Nglanggran yang ditandai dengan warna orange, Formasi Semilir yang ditandai
dengan warna orange muda, dan andesit yang ditandai dengan warna merah
muda.
.
1.6.2. Lokasi Penelitian Gravity
Gambar 1.2. merupakan peta Desain Survei yang digunakan pada saat
pengukuran metode Gravity. Peta tersebut menginformasikan letak titik
pengukuran yang akan diukur dengan menggunakan metode Gravity. Terdapat 6
Lintasan yang mencakup daerah Yogyakarta, baik dari Kabupaten Kulonprogo,
Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta. Pengukuran Gravity ini mengukur 13 titik
pengukuran. Kelompok 4 memiliki lintasan yang ditandai dengan kotak merah.
Peta desain tersebut dibuat berdasarkan peta geologi yang dimana terdapat
terdapat beberapa formasi yang ditandai dengan beberapa warna diantaranya,
alluvium yang ditandai dengan warna hijau muda, Endapan Gunung Merapi Muda
yang ditandai dengan warna cokelat muda formasi sentolo yang ditandai dengan
warna kuning muda, Formasi Jonggrangan yang ditandai dengan warna hijau,
Formasi Kebobutak yang ditandai dengan warna cokelat, Formasi Nanggulan
yang ditandai dengan warna Hijau Neon, Formasi Wonosari yan ditandai dengan
warna biru, Formasi Sambipitu yang ditandai dengan Kuning, Formasi
Nglanggran yang ditandai dengan warna orange, Formasi Semilir yang ditandai
dengan warna orange muda, dan andesit yang ditandai dengan warna merah
muda.
Gambar 1.3. merupakan peta Desain Survei yang digunakan pada saat pengukuran
metode VES dan Pole-Pole. Peta tersebut menginformasikan letak titik
pengukuran yang akan diukur dengan menggunakan kedua metode tersebut.
Pengukuran metode VES dilakukan pada titik pengukuran 12 dan titik pengukuran
16.
Peta desain tersebut dibuat berdasarkan peta geologi yang dimana terdapat
terdapat beberapa formasi yang ditandai dengan beberapa warna diantaranya,
warna cokelat muda yang menandai Endapan Gunung Merapi Muda, warna
cokelat yang menandai formasi kebobutak, warna Hijau Neon menandai Formasi
Nanggulan, warna hijau menunjukkan formasi Jonggrangan, warna kuning muda
menandai Formasi Sentolo, warna kuning yang menandai Formasi Sambipitu.
Gambar 2.1. Peta Geologi Daerah Yoyakarta (Wartono Rahardjo, dkk. 1977)
Gambar 2.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992) dan
penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu.
Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke
muda sebagai berikut:
a. Formasi Wungkal – Gamping
Formasi Wungkal dicirikan oleh kalkarenit dengan sisipan batupasir dan
batulempung, sedangkan Formasi Gamping dicirikan oleh kalkarenit dan
batupasir tufaan. Formasi Gamping ini dicirikan oleh batugamping yang
berasosiasi dengan gamping terumbu. Formasi Gamping-Wungkal yang
merupakan satu formasi yang tidak terpisahkan dengan umur Eosen Tengah-
Eosen Atas. Di atas Formasi Wungkal dan Formasi Gamping ditutupi secara
tidakselaras oleh sedimen vulkanoklastik.
b. Formasi Kebo – Butak
Formasi Kebo terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir tufaan, serpih
dan lanau. Di beberapa tempat dijumpai adanya lava bantal dan intrusi diorit.
Ketebalan formasi ini sekitar 800 meter dan diendapkan di lingkungan laut, dan
pada umumnya memperlihatkan endapan aliran gravitasi (gravity-flow deposits).
Formasi Butak berlokasi tipe formasi ini terdapat di Gunung Butak yang terletak
di Sub-zona Baturagung. Formasi ini tersusun oleh litologi breksi, batupasir
tufaan, konglomerat batuapung, batulempung dan serpih yang memperlihatkan
perselingan, dan menunjukkan ciri endapan aliran gravitasi di lingkungan laut.
c. Formasi Semilir
Formasi ini tersingkap baik di Gunung Semilir di sekitar Baturagung, terdiri
dari perselingan tufa, tufa lapili, batupasir tufaan, batulempung, serpih dan
batulanau dengan sisipan breksi, sebagai endapan aliran gravitasi di lingkungan
laut dalam. Formasi ini berumur Oligosen Awal (N1-N2).
d. Formasi Nglanggran
Formasi ini berlokasi di Desa Nglanggran. Formasi ini terdiri dari breksi
dengan sisipan batupasir tufaan, yang memperlihatkan sebagai endapan aliran
gravitasi pada lingkungan laut. Formasi ini berumur Oligosen Akhir (N3).
Formasi Nglanggran, pada umumnya selaras di atas Formasi Semilir, akan tetapi
di tempat-tempat lainnya, kedua formasi tersebut saling bersilangjari.
e. Formasi Sambipitu
Formasi ini berlokasi tipenya terdapat di Desa Sambipitu. Formasi ini
tersusun oleh perselingan antara batupasir tufaan, serpih dan batulanau, yang
memperlihatkan ciri endapan turbidit. Di bagian atas sering dijumpai adanya
struktur slump skala besar. Satuan ini selaras di atas Formasi Nglanggran, dan
merupakan endapan lingkungan laut pada Miosen Awal bagian tengah – Miosen
awal bagian akhir (N6 - N8).
f. Formasi Oyo
Formasi ini tersingkap baik di Kali Oyo sebagai lokasi tipenya, terdiri dari
perselingan batugamping bioklastik, kalkarenit, batugamping pasiran dan napal
dengan sisipan konglomerat batugamping. Satuan ini diendapkan pada lingkungan
paparan dangkal pada Miosen Tengah (N10-N12).
g. Formasi Wonosari
Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk
morfologi karts, terdiri dari batugamping terumbu, batugamping bioklastik
berlapis dan napal. Satuan batuan ini merupakan endapan karbonat paparan
(carbonate plateform) pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (N9-N18).
Formasi Wonosari ini mempunyai hubungan selaras di atas Formasi Oyo, akan
tetapi di beberapa tempat, bagian bawah formasi ini saling berhubungan silang jari
dengan Formasi Oyo.
h. Formasi Kepek
Lokasi tipenya terdapat di Kali Kepek, tersusun oleh batugamping dan napal
dengan ketebalan mencapai 200 meter. Litologi satuan ini nenunjukkan ciri
endapan paparan laut dangkal dan merupakan bagian dari sistem endapan
karbonat paparan pada umur Miosen Akhir (N15-N18). Formasi ini mempunyai
hubungan silang jari dengan satuan batugamping terumbu Formasi Wonosari. Di
atas batuan karbonat tersebut, secara tidakselaras terdapat satuan batulempung
hitam, dengan ketebalan 10 meter. Satuan ini menunjukkan ciri sebagai endapan
danau di daerah Baturetno pada waktu Plistosen.
i. Endapan Vulkanik Merapi
Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava tak
terpisahkan yang berumur Pleistosen–Holosen dan merupakan endapan darat,
Formasi Yogyakarta yang disusun oleh endapan vulkanik Merapi, terletak tidak
selaras diatas semua formasi yang lebih tua, dan penyebaran sisi timur Kubah
Kulon Progo mempunyai ketebalan lebih 20 meter.
Gambar 3.1. Gaya magnetik antara 2 buah kutub magnet q1 dan q2yang terpisah
dengan jarak sejauh r (Blakely, 1996).
m1 m2
F=
⃗ r^ (3.1)
μ0 r 2
ruang hampa adalah 4 x 10-7 w / A.m. F adalah gaya Coloumb (N), m1 dan m2
kuat kutub magnet (A/m) dan r adalah jarak kedua kutub (m).
Dan medan magnet benda sebagai penyebab timbulnya anomali dapat dituliskan
sebagai:
r
1
H ( r 0 ) =∇ ∫ M ( r ) ∇ dV (3.8)
∞ r 0−r
M =kH (3.13)
Besaran yang tidak berdimensi ini merupakan parameter dasar yang digunakan
dalam metode magnetik. Harga k pada batuan semakin besar apabila dalam batuan
tersebut banyak dijumpai mineral-mineral yang bersifat magnetik.
2. Base – Rover
Pengukuran yang menggunakan minimal dua buah alat PPM seri
G-856 atau lebih, dimana satu buah untuk pengambilan data base yang
penempatan alat PPM tersebut dipasang pada tempat yang bebas dari
noise guna mencatat nilai variasi harian dan tetap sedangkan satunya untuk
pengambilan data di lapangan guna mencatat intensitas medan total dari
tiap lintasan.
Pada Gambar 3.7 adalah data survei geomagnetik udara pada bidang
pengamatan dan data geomagnetik pada bidang kontinuasi. Noise frekuensi tinggi
dalam data geomagnetik akan diperbesar secara jelas akibat ketidakstabilan
downward continuation. Dengan demikian, digunakan metode regularisasi
Tikhonov iteratif dan metode regularisasi Landweber iteratif untuk menyelesaikan
masalah kekeliruan dari downward continuation.
Keterangan :
α adalah faktor amplitudo
α = 2M sin d( 1- cos2(I)sin2(A))
h = kedalaman
M = kuat kemagnetan
d = kemiringan
I = inklinasi vektor kemagnetan
A = arah vektor kemagnetan
Nibighian (1972) menggambarkan anomali sinyal analitik sebagai fungsi
kedalaman (h) dengan didasarkan persamaan:
X 1 /2 =2 √ 3 h=3.46 h (3.19)
Dengan
X1/2 = lebar anomali pada setengah amplitudo
h = kedalaman.
Analitik sinyal digunakan untuk menentukan kedalaman di sumber magnetik
dengan menggunakan lebar pada setengah amplitudo untuk menentukan
kedalaman.
Gambar 3.8. Bentuk kurva amplitudo sinyal analitik (Ma, Guoqing, 2013)
Hubungan antara ketebalan dan kedalaman adalah ketebalan sama atau lebih
besar dari kedalaman. Untuk mempermudah interpretasi, peta anomali magnet
total difilter dengan menggunakan sinyal analitik. Transformasi sinyal analitik
dibuat sebagai panduan dalam membuat model, proses ini akan merubah sifat
dipolar anomali magnetik menjadi monopolar.
3.1.13. Pseudogravity
Potensial magnetik pada suatu benda magnet pada dasarnya menunjukkan
kesamaan dengan percepatan gravitasi suatu elemen masa yang ditunjukkan pada
persamaan berikut.
m
g ( P )=−γ r^ (3.20)
r2
Keterangan :
g(P) = Percepatan gravitasi di titik P
Cm = Konstanta
m = massa benda utama
r = Jarak pisah antara pusat massa
γ = Gravitasi universal
m . r^
V ( P )=C m (3.21)
r2
Keterangan :
V(P) = Potensial magnetik di titik P
Cm = Konstanta
m = momen magnet dipole
r = Jarak pisah antara kutub
Melalui kedua persamaan di atas, maka dapat terlihat bahwa potensial
magnetik dan percepatan gravitasi sama-sama berbanding terbalik dengan kuadrat
jarak pisahnya. Melalui persamaan tersebut maka dapat dibuat suatu persamaan
yang menunjukkan hubungan antara medan magnet dan juga medan gravitasi.
Penguraian persamaan potensial gravitasi dan magnetik dalam bentuk skalar dapat
dituliskan sebagai berikut.
❑
1
V ( P )=C m∫ M . ∇Q dv (3.22)
R r
❑
1
= −C m . ∇ P ∫ dv (3.23)
R r
❑
ρ
U ( P )=γ ∫ dv (3.24)
R r
❑
ρ
¿ γρ ∫ dv (3.25)
R r
❑
∫ 1r dv = Uγρ (3.26)
R
∂ g z (x , y) 2 ∂ g z ( x , y ) 2
h ( x , y )=
√( ∂x )( +
∂y ) (3.28)
Keterangan :
𝐹⃗ = Besar gaya tarik menarik antara kedua benda (N)
𝐺 = Konstanta Gravitasi (6.672 x 10-11 Nm2/kg2)
𝑚1 = Massa benda 1 (kg)
𝑚2 = Massa benda 2 (kg)
r = Jarak antara pusat kedua benda (M)
𝑟̂ = Vektor jarak.
F)
Dalam pengukuran gravitasi yang diukur bukanlah gaya gravitasi (⃗
melainkan percepatan gravitasi (𝑔). Hubungan antara gaya gravitasi dengan
percepatan gravitasi dijelaskan didalam hukum kedua Newton yakni:
F = m ⃗g
⃗ (3.31)
Interaksi antara bumi dengan massa (M) dengan benda di permukaan bumi
dengan massa (m) sejauh jarak R dari pusat kedua benda juga memenuhi hokum
tersebut, maka persamaan diatas menjadi:
M
F = −𝐺
⃗ 𝑚 = 𝑚⃗g (3.32)
R2
M
⃗g = −𝐺 (3.33)
R2
Menurut persamaan diatas, besarnya percepatan gravitasi disemua tempat
di permukaan bumi merata, tetapi kenyataan tidaklah demikian. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya bentuk bumi itu sendiri yang
ellipsoidal, rotasi bumi, dan bentuk relief bumi yang berbeda ketinggiannya, serta
juga perbedaan distribusi densitas bawah permukaan bumi.
𝑈 = ∫ ⃗g dr (3.35)
∞
R
dr ❑
𝑈 = GM ∫ (3.36)
∞ r2
GM
𝑈= (3.37)
R
Secara umum dari definisi ini, derivatif dari U pada arah manapun
memberikan percepatan pada titik massa di arah tersebut. Merepresentasikan gaya
yang berkerja pada suatu medan per kilogram dari titik massa 𝑚0 ketika 𝑚0
bergerak dari titik manapun dengan jarak sejauh r dari m (Telford dkk, 1990).
Dari persamaan ini, terlihat bahwa besarnya Gravitasi berbanding langsung
dengan massa penyebabnya, sedangkan massa berbanding langsung dengan rapat
massa (𝜌) dan volume benda (yang berhubungan dengan geometri benda). Dengan
demikian, besarnya Gravitasi yang terukur akan mencerminkan kedua besaran
tersebut.
Teori divergensi Gauss menyatakan bahwa bentuk integral dari divergensi
medan gravitasi pada suatu daerah dalam volume bernilai sama dengan integral
komponen yang keluar menembus bidang medan gravitasi pada permukaan.
❑ ❑
∫ ∇ . ⃗g dv=∫ ∇ . ⃗g ds (3.39)
ϑ s
Jika tidak ada massa yang menarik di dalam volume, integral menjadi 0
dan ∇. 𝑔⃗= 0. Namun dengan M merupakan massa bumi dan R merupakan jari –
jari bumi yang homogen dan tidak berotasi, maka medan gravitasi dapat
dinyatakan sebagai gradien dari fungsi potensial skalar U, sehingga didapatkan
persamaan :
−∇. 𝑔⃗= ∇. ∇𝑈 = ∇2𝑈 = 0 (3.40)
yang merupakan persamaan potensial dalam ruang hampa memenuhi perhitungan
Laplace. Dalam bidang kartesian, persamaan laplace dapat ditulis sebagai
berikut :
2 ∂2 g ∂2 g ∂2 g
∇ . U =¿ 2 + 2 + 2 (3.41)
∂x ∂ y ∂z
Jika ada partikel massa pada pusat bola dengan jari jari sebesar r maka
dapat ditulis :
❑
−(Gm)
∫ g→ ds= r 2
( 4 π r 2) (3.42)
s
= -4 πGm (3.43)
Tanda minus berarti gaya gravitasi 𝑔 berbanding terbalik dengan arah gaya
keluar normalnya. Jika permukaan membungkus beberapa massa dari total massa
m, dapat ditulis sebagai :
❑ ❑
Jika volume V sangat kecil, membungkus hanya satu titik, bentuk integral
dapat dihilangkan sehingga:
❑ ❑
∫ ∇ . ⃗g dv=∫ ⃗g ds (3.45)
v s
❑ ❑
∇ . ⃗g ∫ dv=−4 πGρ ∫ dv (3.47)
v v
Gambar 3. 11 Gambaran skala besar pembengkokan pada geoid, dan spheroid referensi
(Telford dkk, 1990)
Karena adanya veriasi densitas secara lateral, maka geoid dan spheroid
referensi tidak pernah berhimpitan dalam satu garis. Adanya anomali local
membuat adanya pembengkokan upward bentuk geoid dibenua karena efek dari
material diatasnya dan pembengkokan downward pada samudera karena densitas
air yang kecil. Tetapi penyimpangan dari spheroid tersebut tidak pernah
berkorelasi dengan benua maupun litosfer, kemungkinan akibat adanya perbedaan
densitas bawah permukaan yang berada dibawah litosfer.
dimana,
gakhir : pembacaan gravimeter pada titik akhir looping (Mgal)
gawal : pembacaan gravimeter pada titik base awal (Mgal)
T akhir : waktu pembacaan gravimeter pada titik akhir looping (s)
T awal : waktu pembacaan gravimeter pada titik base awal (s)
T pengukuran : waktu pembacaan gravimeter pada titik pengukuran n (s)
Gambar 3.15. Parameter yang menggambarkan perkiraan bentuk bumi (Blakely, 1995)
Besar koreksi medan dihitung oleh Hammer yang dirumuskan seperti pada
persamaan berikut:
g=Gσθ {( r 2−r 1 ) + √ r 21+ L2−√ r 22+ L2 } (3.65)
Persamaan di atas telah disusun oleh Hammer dalam sebuah tabel yang digunakan
bersama Terain Chart dengan densitas 2,0 gr/cm3.
3.2.12. G FAC
Perubahan nilai gravitasi yang di berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
membuat adanya koreksi mengenai perubahan elevasi antara masing masing titik
pengukuran untuk mereduksi pembacaan nilai gravitasi ke permukaan datum.
Koreksi free air correction (FAC) tidak memperhitungkan massa antara titik
pengukuran dan bidang datum (Telford dkk, 1990).
Koreksi udara bebas merupakan proses pemindahan medan gravitasi
normal di referensi sferoida (z = 0) menjadi medan gravitasi normal di permukaan
topografi. Menurut (Li dan Gotze, 2001) rumus dari koreksi udara bebas orde satu
adalah
𝑔𝑓𝑎= −(0,30867691−0,0004398 𝑠𝑖𝑛2∅)ℎ 𝑚𝐺𝑎𝑙 (3.66)
Dengan h adalah ketinggian titik amat dari referensi sferoida. Untuk ∅=45𝑜 akan
diperoleh
𝑔𝑓𝑎= −0,3085672ℎ 𝑚𝐺𝑎𝑙 (3.67)
Di mana :
gFA : nilai koreksi Free Air
h : ketinggian titik ukur (m)
Asumsi yang digunakan pada koreksi ini adalah hanya memperhitungkan
elevasi antara permukaan topografi dengan referensi sferoida, massa yang terletak
antara topografi dan referensi sferoida diabaikan (Dermawan, 2010).
Menggunakan koreksi udara bebas akan diperoleh anomali medan
gravitasi udara bebas di topografi yang secara matematis dirumuskan sebagai
berikut:
Δ𝑔𝑓𝑎(𝑥,𝑦,𝑧)=𝑔𝑜𝑏𝑠(𝑥,𝑦,𝑧)−[𝑔𝑁(𝑥,𝑦,0)+𝑔𝑓𝑎] (3.68)
Atau
Δ𝑔𝑓𝑎(𝑥,𝑦,𝑧)=𝑔𝑜𝑏𝑠(𝑥,𝑦,𝑧)−𝑔𝑁(𝑥,𝑦,𝑧) (3.69)
3.2.13. ∆G
Nilai gravitasi yang terukur di titik amat adalah nilai gravitasi relatif.
Disebut nilai gravitasi relatif karena nilai yang terukur adalah perbedaan nilai
gravitasi dari satu titik terhadap titik lainnya.
Nilai gravitasi mutlak didefinisikan sebagai nilai gravitasi yang sebenarnya di titik
pengukuran. Untuk mendapatkan nilai gravitasi mutlak, maka nilai gravitasi
relatif perlu diikatkan ke suatu titik yang dinamakan titik ikat gravitasi. Titik ikat
adalah titik yang sudah diketahui nilai gravitasi mutlaknya. Nilai gravitasi di titik
ikat inilah yang akan ditambahkan ke nilai gravitasi relatif di titik amat untuk
mendapatkan nilai gravitasi mutlak di titik amat.
𝑔𝑜𝑏𝑠=𝑔𝑡𝑖+(𝑔𝑑−𝑔𝑑𝑡𝑖) (3.70)
dengan 𝑔𝑜𝑏𝑠 adalah nilai gravitasi mutlak dititik amat, 𝑔𝑡𝑖 adalah nilai
gravitasi mutlak di titik ikat, 𝑔𝑑 adalah nilai gravitasi terkoreksi drift di titik amat
dan 𝑔𝑑𝑡𝑖 adalah nilai gravitasi terkoreksi drift di titik ikat (mgal).
3.2.14. G Observasi
Nilai medan gravitasi observasi didapatkan dari nilai pengukuran
dilapangan yang dikoreksikan terhadap koreksi tinggi alat, koreksi pasang surut
dan koreksi drift. Saat pengukuran, nilai gravitasi observasi yang terbaca pada alat
terdapat sumbangan nilai medan karena pengaruh tinggi alat, pasang surut dan
drift. Untuk itu perlu dilakukan koreksi terhadap pengaruh-pengaruh tersebut yang
secara matematis dapat ditulis sebagai :
𝑔𝑜𝑏𝑠(𝑥,𝑦,𝑧)=𝑔𝑚 (𝑥,𝑦,𝑧) + 𝑔𝑃𝑆(𝑥,𝑦,𝑧) − 𝑔𝑑(𝑥,𝑦,𝑧) (3.71)
dengan 𝑔𝑜𝑏𝑠(𝑥,𝑦,𝑧) adalah nilai medan gravitasi observasi di permukaaan
topografi, 𝑔𝑚 (𝑥,𝑦,𝑧)=⌊𝑔𝑚𝑇𝐴(𝑥,𝑦,(𝑧−ℎ𝑇𝐴)+𝑔𝑇𝐴⌋ merupakan pembacaan nilai
medan gravitasi terkoreksi tinggi alat, 𝑔𝑃𝑆(𝑥,𝑦,𝑧) adalah koreksi pasangsurut dan
𝑔𝑑(𝑥,𝑦,𝑧) adalah koreksi drift.
3.2.18. G Teoritis
Untuk mendapatkan nilai medan gravitasi teoritis, pertama yang dilakukan
adalah mencari nilai medan gravitasi normal. Nilai medan gravitasi normal
analitis, secara fisis terletak pada bidang referensi (z=0) sferoida sebagai titik
referensi geodesi. Konsesi tentang rumusan medan gravitasi normal diterbitkan
oleh dua badan, yaitu International Association of Geodesy (IAG) dan National
Imagery and Mapping Agency (NIMA).
Langkah selanjutnya, nilai medan gravitasi normal yang secara fisis
terdefinisi pada posisi (bidang) referensi sferoida 𝑔 (𝑥,𝑦,0) dibawa ke posisi
(bidang) topografi 𝑔 (𝑥,𝑦,𝑧). Hal ini dilakukan karena nilai medan gravitasi
observasi secara fisis berada pada posisi (bidang) topografi. Proses ini merupakan
koreksi udara bebas (free-air correction).
Kemudian, medan gravitasi normal diperhitungkan atau dikoreksi terhadap
massa yang terletak di antara bidang referensi sferoida dengan permukaan
topografi karena massa ini turut mempengaruhi harga anomali medan gravitasi.
Koreksi ini disebut koreksi topografi.
Deskripsi di atas secara matematis ditulis sebagai berikut :
𝑔𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠(𝑥,𝑦,𝑧)=𝑔𝑁(𝑥,𝑦,0)+𝑔𝐹𝐴(𝑥,𝑦,𝑧)+𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑝𝑜𝑔𝑟𝑎𝑓𝑖 (3.76)
𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑝𝑜𝑔𝑟𝑎𝑓𝑖 =𝑔𝑏𝑜𝑢𝑔𝑢𝑒𝑟(𝑥,𝑦,𝑧)−𝑔𝑡𝑒𝑟𝑟𝑎𝑖𝑛(𝑥,𝑦,𝑧) (3.77)
Dimana 𝑔𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠(𝑥,𝑦,𝑧) adalah nilai gravitasi teoritis di topografi,
𝑔𝑁(𝑥,𝑦,0) adalah nilai gravitasi normal, 𝑔𝐹𝐴(𝑥,𝑦,𝑧) adalah koreksi free air,
𝑔𝑏𝑜𝑢𝑔𝑢𝑒𝑟(𝑥,𝑦,𝑧) adalah koreksi bouguer, 𝑔𝑡𝑒𝑟𝑟𝑎𝑖𝑛(𝑥,𝑦,𝑧) adalah koreksi medan
(terrain).
Gambar 3.21. Perkiraan Massa Benda Tiga Dimensi Oleh Kumpulan Prisma
Segiempat (Grandis, 2009)
∇ 2 E=iωμσ E−εμω 2 E
∇ 2 H=i ωμσ H−εμω2 E (3.82)
dengan permitivitas dielektrik (F/m), permeabilitas magnetik (H,m), dan
kondukivitas listrik (S/m). Bagian kiri pada sisi kanan persamaan (3.82)
menunjukkan arus konduksi, sedangkan bagian kanannya menunjukkan
sumbangan arus pergeserannya.
Di dalam VLF (pada frekuensi < 100 KHz), arus pergeseran akan lebih
kecil daripada arus konduksi karena permitivitas dielektrik batuan rata-rata cukup
kecil (sekitar 100 dengan 0 sebesar 910-12 F/m) dan konduktivitas target VLF
biasanya 10-2 S/m. Hal ini menunjukkan bahwa efek medan akibat arus
konduksi memegang peranan penting ketika terjadi perubahan konduktivitas
medium.
e
s
R S S cos
R sin
P
0
R cos S sin
Gambar 3.21. Hubungan Amplitudo dan Fase Gelombang Sekunder (S) dan Primer (P)
Andaikan Z(=R + iL) adalah impedansi efektif sebuah konduktor dengan
tahanan R dan induktans L, maka arus induksi (eddy), Is (=es/Z) akan menjalar
dalam medium dan menghasilkan medan sekunder S. Medan S tersebut memiliki
fase tertinggal sebesar yang besarnya tergantung dari sifat kelistrikan medium.
Besarnya ditentukan dari persamaan tan = L/R. Total beda fase antara medan
P dan S akan menjadi 90o + tan-1 (L/R).
Berdasar hal ini dapat dikatakan bahwa, jika terdapat medium yang sangat
konduktif (R0), maka beda fasenya mendekati 180o, dan jika medium sangat
resistif (R) maka beda fasenya mendekati 90o.
Kombinasi antara P dan S akan membentuk resultan R. Komponen R yang
sefase dengan P (Rcos) disebut sebagai komponen real (in-phase) dan komponen
yang tegak lurus P (Rsin) disebut komponen imajiner (out-of-phase, komponen
kuadratur).
3.3.3. Polarisasi Elipt
Dalam pengukurannya, alat T-VLF akan menghitung parameter sudut tilt
dan eliptisitas dari pengukuran komponen in-phase dan out-of phase medan
magnet vertikal terhadap komponen horisontalnya. Besarnya sudut tilt (%) akan
sama dengan perbandingan Hz/Hx dari komponen in-phase-nya, sedangkan
besarnya eliptisitas (%) sama dengan perbandingan komponen kuadraturnya.
Jika medan magnet horisontal adalah Hx dan medan vertikalnya sebesar Hx
ei (gambar 2), maka besar sudut tilt diberikan sebagai;
Ho
tan ( 2 θ )=¿
2
( )
Hx
cos ∅
¿
2
H
( )
1− o
Hx
(3.83)
dan eliptisitasnya diberikan sebagai;
b H o H x cos ∅
ε= =
a [ H ei ∅ sin θ+ H cos θ ]2
o x
(3.84)
a
b H
x
H
x
(3.85)
Persamaan filter linear (Karous dan Hjelt) di atas adalah persamaan untuk
menentukan rapat arus ekuivalen dan merupakan filter terpendek yang
memberikan kesalahan kurang dari 8% untuk medan dari lintasan arus tunggal
tilt (n−1 )+2 tilt n +tilt (n +1) elipt ( n−1) +2 elipt n + elipt (n +1)
MA Tilt = MA Elipt = (3.86)
4 4
Dimana :
MA tilt: moving average tilt
MA elipt : moving average elipt
Elipt : data elipt
Tilt : data tilt
(n-1) : data sebelumnya
(n+1) : data selanjutnya
Moving average elipt adalah nilai rata – rata pengolahan data yang di
jumlahkan kemudian dibagi 4. Biasanya data yang diolah yaitu data tilt dan elipt.
Dengan perhitungan sebagai berikut :
tilt (n−1 )+2 tilt n +tilt(n +1) elipt ( n−1) +2 elipt n + elipt (n +1)
MA Tilt = MA Elipt = (3.87)
4 4
Dimana :
MA tilt: moving average tilt
MA elipt : moving average elipt
Elipt : data elipt
Tilt : data tilt
(n-1) : data sebelumnya
(n+1) : data selanjutnya
Keterangan:
H0 = sinyal output hasil filterkarous-hjelt
𝑀𝑖 = datake-i
2. Geolistrik pasif
Dimana energy (arus) yang dibutuhkan dalam melakukan pengukuran
berasal dari batuan-batuan yang berada di dalam bumi. Contoh
metodenya adalah Self Potensial.
Gambar 3.23. Siklus Elektrik Determinasi Resistivitas dan Lapangan Elektrik Untuk
Stratum Homogenous Permukaan Bawah Tanah (Todd, D.K, 1959).
3.4.1. Kelistrikan
Dalam metode geolistrik terdapat beberapa hokum yang berlaku
diantaranya yaitu hokum Couloumb yang menjelaskan bagaimana interaksi dua
muatan listrik yang berbeda, yaitu muatan positif dan negative.
Gambar 3.24. Hukum Couloum (Duffy,1999)
Besarnya gaya interaksi antara dua muatan listrik telah diselidiki oleh Charles
Augustin de Couloumb menghasilkan:
q1 q2
F=K (3.89)
r2
Keterangan:
F = Gaya Listrik
q = Muatan
K = Faktor Geometrik
r = Jarak
Dalam hal ini, elektrode arus dan elektrode potensial mempunyai jarak yang
berbeda yaitu antar elektrode arus adalah maksimal lima kali jarak antar
elektrode potensial. Perlu dimedan listrik q ingat bahwa keempat elektrode dengan
titik datum harus membentuk satu garis.
Pada resistivitas mapping, jarak spasi elektrode tidak berubah-ubah untuk
setiap titik datum yang diamati (besarnya a tetap), sedang pada resistivitas
sounding, jarak spasi elektrode diperbesar secara bertahap, mulai dari harga a
kecil sampai harga a besar, untuk satu titik sounding. Batas pembesaran spasi
elektrode ini tergantung pada kemampuan alat yang dipakai. Makin sensitif dan
makin besar arus yang dihasilkan alat maka makin leluasa dalam memperbesar
jarak spasi elektrode tersebut, sehingga makin dalam lapisan yang terdeteksi atau
teramati.
Dari gambar, dapat diperoleh besarnya Faktor Geometri untuk Konfigurasi
Schlumberger adalah
π AB 2−mN 2
k= (3.90)
4 MN
3.5. Mikroseismik
Mikroseismik merupakan metode geofisika yang dapat menggambarkan
tingkat kerentanan lapisan tanah permukaan terhadap deformasi saat terjadi gempa
bumi [ CITATION Nak08 \l 1057 ] . Kerentanan lapisan tanah bermanfaat untuk
memprediksi
zona lemah saat terjadi gempa bumi[ CITATION Gur00 \l 1057 ][ CITATION Sai04 \l
1057 ] dan
rekahan tanah akibat gempa bumi [CITATION Dar11 \l 1057 ]. Kerawanan gempa dan
potensi longsor dapat diketahui berdasarkan frekuensi dominan dan amplifikasi
batuan sehingga dapat ditentukan nilai kerawanan gempa, percepatan tanah
maksimum dan ketebalan lapisan lapuk. Nilai frekuensi natural dan amplifikasi
batuan dapat ditentukan dengan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio
(HVSR) [ CITATION Sul16 \l 1057 ].
+∞
X ( f )= ∫ x ( t ) e− j 2 πft dt (3.93)
−∞
dengan x(t) merupakan fungsi dalam kawasan waktu, X(f) merupakan fungsi
frekuensi, dan fungsi kernel e− j2 πft dengan j = −1 . Satuan frekuensi f dalam Hz
dan waktu t dalam sekon. Persamaan (3.3) akan mempunyai nilai jika
+∞
∫ |x (t )|dt< ∞ (3.94)
−∞
+∞
1
X ( t )= ∫ x ( t ) e+ j 2 πft df
2 π −∞
(3.95)
Terdapat tiga metode untuk menentukan persamaan DFT yaitu yang pertama
metode analitis. Dengan mengubah operasi integral pada persamaan (3.84)
menjadi operasi penjumlahan dan mengubah ωmenjadi θn dengan ω=2 πf , akan
diperoleh Discrete-Time Fourier Transform (DTFT) seperti pada persamaan
(3.87).
n=+ ∞
X ( k )= ∑ x ( n ) e− jθn (3.96)
n=−∞
dengan merupakan frekuensi digital dengan satuan radian per sampel. Algoritma
DTFT seperti ditunjukkan pada persamaan (3.6) belum bersifat diskret pada
domain frekuensi, sehingga diperlukan sampling pada domain frekuensi. Sampel
tersebut berada pada rentang 0 hingga 2 π yang ekuivalen dengan 0 sampai f s Hz.
Frekuensi digital (θ) yang telah dilakukan sampling dapat diwakilkan oleh θ [k],
dengan k merupakan indeks frekuensi. Nilai θ [k] didefinisikan sebagai.
2 πk
θ [ k ]= (3.97)
N
dengan mengganti sampling frekuensi pada persamaan (3.6) dengan nilai θ [k]
pada persamaan (3.7), maka algoritma Discrete Fourier Transform (DFT) dapat
didefinisikan sebagai:
N −1 − j 2 πkn
N
X ( k )= ∑ x ( n ) e (3.98)
N =0
dengan indeks domain frekuensi k, sinyal input x(n) dengan indeks waktu diskrit
n, dan panjang data N. Metode kedua yaitu menggunakan faktor twiddle sebagai
berikut.
N −1
X ( k )= ∑ x ( n ) W nk
N (3.99)
N =0
nk − j2 πkn
dimana faktor twiddle W N = . Kemudian metode ketiga yaitu metode
N
matrik seperti ditunjukkan pada persamaan (3.10).
dimana
W 0N W 0N W 0N ⋯ W 0N
[W 0N W 1N
0
W N WN
⋯
N −1
W 2N
[ W nkN ]= W 0N W 2N W 4N
⋯ ⋯
W N−2
N
⋯ W NN −1
⋯
⋯
⋯
⋯
⋯ W NN −1
]
Fast Fourier Transform (FFT) merupakan algoritma pengolahan sinyal
(3.101)
yang lebih cepat daripada DFT. Dalam FFT terdapat dua algoritma yaitu
decimation in frequency algorithm (DIF) dan decimation in time algorithm (DIT).
Kedua algoritma tersebut merujuk pada algoritma FFT radix, yang mana
merupakan metode dalam FFT yang digunakan untuk pengolahan sinyal sehingga
lebih efisien dan cepat [ CITATION LTa \l 1057 ]. Dari persamaan (3.9) faktor twiddle
− j2 πkn
W nk
N= dengan N = 2,4,6,8,16, .. 2m dapat dikembangkan sebagai.
N
kemudian pada suku x(n) dilakukan pengelompokan antara suku ganjil dan suku
N N
−1 −1
2 2
X [ n ] = ∑ x [2n ]W 2Nnk + ∑ x [2n+ 1]W (2N n+1)k (3.102)
n=0 n=0
N N
−1 −1
2 2
X [ n ] = ∑ x [2n ]W 2Nnk +W kN ∑ x [2 n+1]W (2N n+1)k (3.103)
n=0 n=0
3.5.2. HVSR
TH
T SITE = (3.104)
TV
T HS
T H= (3.105)
T HB
dengan SHS dalah spektrum sinyal dari komponen horizontal di permukaan tanah,
dan SHB adalah spektrum dari komponen gerak horizontal pada dasar lapisan
tanah. Besarnya faktor amplifikasi vertikal (TV) yang dirumuskan Nakamura
adalah
T VS
T V= (3.106)
T VB
dengan SVS adalah spektrum dari komponen gerak vertikal di permukaan tanah,
dan SVB adalah spektrum dari komponen gerak vertikal pada dasar lapisan tanah.
Pada sinyal mikrotremor, gelombang Reyleigh menjadi gelombang yang
mendominasi di antara gelombang lainnya. Pengaruh gelombang Reyleigh pada
rekaman sinyal mikrotremor memiliki besar yang sama untuk komponen vertikal
dan horizontal saat rentang frekuensi 0,2 Hz – 20,0 Hz, sehingga rasio spektrum
komponen horizontal dan vertikal di batuan dasar mendekati satu [ CITATION Bou98
\l 1057 ].
S HB
≈1 (3.107)
S VB
2 2
S
HVSR=T SITE = HS =
√[ ( S UTARA−SELATAN ) + ( S BARAT−TIMUR ) ] (3.109)
SVS S VERTIKAL
3.5.3. Amplifikasi
Pada umumnya semua tembok, rangka rumah dan fondasi rusak. Beberapa
bangunan dari kayu yang kuat dan jembatan-jembatan rusak. Kerusakan berat
terjadi pada bendungan-bendungan, tanggul-tanggul dan tambaktambak. Terjadi
tanah longsor yang besar. Air dalam kolam, sungai dan danau tumpah/muncrat.
Terjadi perpindahan tempat secara horisontal di daerah pantai dan di daerah-
daerah yang permukaan tanahnya rata. Jalur-jalur kereta api menjadi sedikit
bengkok. [ CITATION Ari13 \l 1033 ]
Tabel 3.1 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Nilai Frekuensi Dominan Mikrotremor oleh
Kanai [ CITATION Ari13 \l 1033 ]
Frekuensi
Klasifikasi Tanah Dominan Klasifikasi Kanai Deskripsi
(Hz)
Tipe Jenis
Ketebalan sedimen
Batuan tersier atau
permukaannya
lebih tua. Terdiri
Jenis II 6,667-20 sangat tipis,
dari Batuan Hard
didominasi oleh
Sandy, grafel, dll.
batuan keras
Tipe IV Batuan alluvial,
Ketebalan sedimen
dengan ketebalan 5
permukaannya
m. terdiri dari
Jenis I 4-10 masuk dalam
sandy-gravel,
kategori menengah
sandy hard clay,
5-10 meter
loam, dll
Tipe III Jenis I 2,5-4 Batuan alluvial, Ketebalan sedimen
dengan ketebalan > permukaan masuk
5 m. terdiri dari dalam kategori
sandy-gravel,
menengah 5- 10
sandy hard clay,
meter
loam, dll.
Batuan Alluvial,
Tipe II
yang terbentuk dari
sedimentasi delta, Ketebalan sedimen
Jenis I <2,5 top soil, lumpur, permukaannya
Tipe I dll. Dengan sangatlah tebal
ketebalan 30 m atau
lebih
Analisis data mikrotremor dapat memberikan informasi nilai frekuensi
dominan. Nilai frekuensi dominan pada suatu tempat dapat digunakan dalam
perencanaan bangunan tahan gempa sebagai keperluan mitigasi bencana
gempabumi [ CITATION Tul04 \l 1033 ]. Nilai frekuensi dominan diperoleh dari
tampilan kurva H/V hasil dari pengolahan mikrotremor. Nilai frekuensi dominan
yang sangat rendah bukan hanya mengakibatkan adanya efek resonansi tetapi juga
dapat meningkatkan kerentanan terhadap bahaya dengan periode yang panjang.
δ
γ= A ∙ (3.111)
h
a
gempa δ = dan h adalah ketebalan lapisan lapuk. Hubungan antara nilai
( 2 πfo )2
kerentanan gempa (Kg) dan regang-geser ( ) dituliskan dalam persamaan:
a
γ =Kg ∙ 2 (3.112)
π Cb
A2 a
γ= (3.113)
Fo π 2 Cb
A a
γ= A ∙ (3.114)
fo π 2 Cb
Cb
4 hfo a (3.115)
γ= A ∙
fo π 2 Cb
Cb 1 a
γ= A ∙ (3.116)
4 hfo fo π 2 Cb
A a
γ= ∙ (3.117)
h 4 π 2 fo 2
Tabel 3.2 Nilai Regangan sifat Dinamis Tanah [ CITATION YNa97 \l 1057 ]
BAB IV
METODE PENGAMATAN
Mulai
Tinjauan
pustaka
Desain Survei
Persiapan Alat
4.1.2. Pembahasan Diagram Alir Pengambilan Data Metode Geomagnetik
Berikut adalah pembahasan diagram alir pengambilan data :
1. Sebelum melakukan penelitian diharapkan melakukan tinjauan pustaka
berupa informasi mengenai geologi regional dan geologi lokal daerah
penelitian agar dalam penentuan lintasannya dapat meng-cover struktur
geologi pada daerah penelitian.
2. Selanjutnya, membuat Desain Survey. Pembuatan desain survey ini perlu
mempertimbangkan struktur geologi pada daerah penelitian, agar data
lintasan yang didapatkan dapat lebih representatif.
3. Kemudian menentukan lintasan pengukuran berdasarkan desain survey dan
tinjauan pustaka yang telah dilakuakan sebelumnya.
4. Setelah itu, melakukan akuisisi data. Akuisisi data yang dilakuakn dengan
menggunakan alat base-rover. Yang dimana alat di base akan menghitung
koreksi harian setiap 5 menit sekali. Alat yang di rover akan melalukan plot
koordinat berdasarkan desain survey dan menghitung pembacaan PPM pada
tiap titik koordinat yang akan diukur.
5. Setelah pengukuran selesai dilakukan pada seluruh titik, maka alat dapat
disimpan berdasarkan SOP dan pengambilan data telah selesai dilakukan.
4.1.3. Diagram Alir Pengambilan Data Gravity
Adapun diagram alir pengambilan data pada metode gravity adalah sebagai
berikut
Mulai
Desain Survei
Penyimpanan Alat
Selesai
Mulai
Desain Survei
Penyimpanan Alat
Selesai
Mulai
Desain Survei
Software Geopsy
Akuisisi Mikroseismik
Penyimpanan Alat
Selesai
Mulai
Desain Survei
Set-up Alat
Akuisisi Pole-Pole
Penyimpanan Alat
Selesai
Mulai
Desain Survei
Data
Tilt, elip, dan arah signal
Penyimpanan Alat
Selesai
Mulai
Pengolahan Data
Integrasi Data
Pembahasan
Kesimpulan
Selesai
Mulai Tinjauan
pustaka
Data Lapangan
Picking Data
Nilai Ha
Peta HA
Peta RTP
Penampang
2,5 D
Pembahasan
Kesimpulan
Selesai
Data Lapangan
Nilai G Obs
Nilai ABS
Koreksi Medan
Nilai ABL
Peta ABL
Pemisahan Anomali
Overlay
Sayatan Peta
Overlay Peta
Geologi
Geologi
Pemodelan 2,5 D
Selesai
Mulai
Data VLF
Grafik
Grafik Grafik
MA Tilt dan
Tilt Rata-rata Elipt Rata-rata
MA Elipt
Peta Penampang
Tilt dan Elipt RAE
Peta
Butterworth
Sayatan
Single Profile
Selesai
Mulai
Data Lapangan
Software Geopsy
Tidak
Cek nilai
misfit terkecil
Ya
Matlab
Peta
Peta F0 dan A0 Vp 200, 500, Penampang Vp
1000, 1250
Selesai
Gambar 4.11. Diagram Alir Pengolahan Data Mikroseismik
4.2.9. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data mikroseismik
Mikroseismik adalah salah satu metode dalam seismic. Untuk mengolah
data mikroseismik maka langkah-langkahnya yaitu:
1. Mencari informasi geologi dari daerah penelitian untuk membantu
dalam melakukan interpretasi
2. Membuka software geopsy kemudian memasukan data penelitian yang
akan diolah sehingga menghasilkan H/V
3. Kemudian mempicking gelombang satu persatu dengan memilih antara
noise atau bukan, jika noise maka tidak dipicking,
4. Setelah selesai maka hasil pickingan gelombang akan menghasilkan
spectrum H/V berupa A0 dan F0
5. Mengolah nilai koordinat,A0,F0 untuk menghitung nilai PGA, dan nilai
kerentanan tanah untuk mengetahui kondisi lapisan didaerah penelitian
sehingga dapat menyesuaikan pembangunan yang berlangsung
6. Memasukan data yang telah diolah dengan menggunakan Microsoft
excel kedalam software surfer sehingga mengasilkan peta frekuensi
dominan, peta kerentanan tanah,peta PGA, dan peta amplifikasi.
7. Membuat pembahasan dari setiap penelitian yang dilakukan dengan
membahas peta frekuensi dominan, peta kerentanan tanah,peta PGA,
dan peta amplifikasi yang disesuaikan dengan informasi geologi daerah
penelitian sehingga saling berkorelasi
8. Membuat kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
4.2.10. Diagram Alir Pengolahan Data VES
Adapun diagram alir untuk pengolahan data VES sebagai berikut:
Mulai
Tinjauan
Pustaka
Data Lapangan
Microsoft Excel
Software IP2Win
Nilai Kedalaman,
Kurva Matching Ketebalan, Rho
Software IP2WIN
Profil Bawah
Permukaan
Pembahasan
Kesimpulan
Selesai
Mulai Tinjauan
Pustaka
Data Lapangan
Microsoft Excel
Software RES2Dinv
Penampang Resistivitas
Software Encom
Discover
Korelasi
Penampang Resistivitas
Pembahasan
Kesimpulan
Selesai
Fungsi dari alat-alat yang ada pada gambar 4.2 adalah sebagai berikut.
1. PPM (Proton Precession Magnetometer)
PPM (Proton Precession Magnetometer) merupakan alat yang digunakan
untuk menampilkan nilai yang terbaca oleh sensor.
2. GPS
Global Positioning System (GPS) dapat memberikan informasi mengenai
posisi secara akuat berupa titik koordinat.
3. Handy Talky
Handy Talky (HT) merupakan alat yang berfungsi sebagai alat komunikasi
saat dilapangan
4. Kompas
Kompas geologi berfungsi untuk mengukur arah azimuth dan untuk
menentukan arah utara saat pengukuran dilakukan
5. Tiang Alumunium
Tiang alumunium ini berfungsi untuk sebagai penyangga sensor agar
mampu menangkap sinyal dari satelit dengan mudah.
6. Sensor
Sensor berfungsi untuk menangkap sinyal yang terdapat pada lokasi
penelitian.
7. Palu
Berfungsi untuk mengambil sample batuan yang ada pada lokasi
penelitian.
4.3.2. Peralatan dan Perlengkapan Metode Gravity
1
2 3
4
4
7
8 9
6
2
8 1
3
2
3
Ares merupakan resistivity meter multichannel yang digunakan untuk
mengukur nilai resistivitas bawah permukaan, dimana pengukuran
menggunakan Ares tersebut sudah secara otomatis.
2. Accu
Accu digunakan sebagai sumber arus yang dibutuhkan oleh resistivitymeter.
3. Multimeter
Multimeter merupakan alat yang digunakan untuk kuat arus listrik,
tegangan, dan hambatan, dan dapat digunakan untuk melakukan pengecekan
pada setiap elektroda.
4. Kabel
Kabel digunakan sebagai media penghantar baik sebagai penghantar arus
listrik untuk injeksi arus yang menghubungkan acuu dengan elektroda arus
dan sebagai media penghantar arus untuk mengukur nilai potensial yang
menghubungkan resistivitymeter dengan eletroda potensial.
5. Elektroda.
Elektroda terdiri dari dua jenis, yaitu elektroda arus dan elektroda potensial.
Elektroda arus digunakan sebagai media yang menginjeksikan arus pada
bawah permukaan, dan elektroda potensial digunakan sebagai media untuk
mendapatkan nilai bawah permukaan.
7. Kompas
Kompas merupakan alat yang digunakan untuk mengetahui arah utara dari
lokasi penelitian.
6. HT.
HT digunakan sebagai alat komunikasi.
7. Meteran
Meteran digunakan sebagai alat ukur yang untuk mengukur panjang lintasan
elektroda arus maupun elektroda potensial.
8. Palu
Palu digunakan untuk membantu menancapkan elektroda pada permukaan.
9. Payung
Payung digunakan untuk melindungi resistivitymeter dari sinar langsung
matahari.
10. Alat tulis
Alat tulis digunakan untuk mencatat hasil-hasil akuisisi dan kondisi
lapangan pada saat pengambilan data.
4.3.6. Peralatan dan Perlengkapan Metode Mikroseismik
5.1. Geomagnetik
5.1.1. Peta HA
Gambar 5.1. merupakan peta Ha. Peta ini dibuat dengan menggunakan
data pengukuran metode geomagnet koordinat X, Y dan nilai Ha dengan
menggunakan software geosoft oasis montaj. Pengukuran dilakukan dengan total
lintasan sebanyak 6 lintasan dimana jarak antar lintasan sejauh 1 Km. pengukuran
pada lintasan 1 dilakukam dengan pengukuran sebanyak 26 titik, lintasan 2
dengan 28 titik , lintasan 3 dengan 30 titik, lintasan 4 dengan 30 titik, lintasan 5
dengan 31 titik dan lintasan 6 dengan 30 titik. Skala yang digunakan adalah
1:50000 ditandai dengan skala bar yang tertera dibagian bawah gambar peta.
Terdapat skala warna dibagian kanan peta untuk memberikan informasi mengenai
perbedaan medan magnet yang tertera dibagian timur gambar peta. Kemudian
terdapat arag orientasi dibagian atas dari skala warna.
Pada peta tersebut nilai medan magnet terbagi menjadi 3 yaitu nilai medan
magnet yang tinggi ditandai dengan warna merah muda sampai jingga pada
rentang nilai 531.1 nT – 197.0 nT, nT – 52.9 nT dan nilai medan magnet yang
rendah ditandai dengan warna biru muda hingga biru tua dengan rentang nilai
52.8 nT - -120.8 nT. Pada peta tersebut menunjukkan bahwa bagian tengah peta
didominasi oleh medan magnet yang tinggi pada koordinat 914000 – 913000 serta
nilai suseptibilitas yang rendah dibagian utara dan selatannya. Terdapat beberapa
closur kecil yang menunjukkan nilai kemagnetan rendah dibagian timurlaut dan
baratdaya. Peta ini belum dapat diinterpretasi dan diperlukan pengolahan lebih
lanjut menggunakan filter Reduce to Pole karena peta ini masih dipengaruhi oleh
2 kutub medan magnet.
5.1.2. Peta RTP (Reduce to Pole)
Filter Reduce to Pole merupakan filter yang sangat umum digunakan
dalam pengolahan data dan peta dari pengukuran metode geomagnetik. Peta
Reduce to Pole ini berfungsi untuk memonopolekan pengaruh dari 2 kutub. Filter
ini dapat digunakan untuk interpretasi nilai suseptibilitas yang sebenarnya dan
dapat digunakan untuk menggambarkan beberapa pola struktur secara regional.
Gambar 5.3. merupakan peta Tilt Derivative. Peta ini dibuat dengan
menggunakan software geosoft oasis montaj dan metode gridding Krigging. Peta
TDR ini merupakan hasil pemfilteran peta Reduce To Pole dengan filter Tilt
Derivative. Skala yang digunakan adalah 1:1126000 ditandai dengan skala bar
yang tertera dibagian bawah gambar peta. Terdapat skala warna dibagian kanan
peta untuk memberikan informasi mengenai perbedaan nilai intensitas medan
magnet. Pada peta tersebut nilai medan magnet terbagi menjadi 3 yaitu nilai yang
tinggi ditandai dengan warna merah muda sampai jingga pada rentang nilai 0,2 –
1.3 rad, nilai menengah (intermediate) ditandai dengan warna kuning sampai
warna hijau dengan rentang nilai -0.5 – 0.2 Rad dan nilai medan magnet yang
rendah ditandai dengan warna biru muda hingga biru tua dengan rentang nilai -1.3
– -0.5 Rad. Dapat diketahui, filter ini akan menggambarkan tepi struktur geologi
yang berupa struktur patahan/sesar.
Berdasarkan Gambar 5.3. didapatkan banyak kenampakan struktur
patahan/sesar yang tergambarkan pada peta tilt derivative. Pada peta tersebut
terdapat sesar – sesar minor yang terdeteksi tersebar pada kavling penelitian.
Struktur geologi berupa patahan/sesar yang terdeteksi tersebut dapat dibagi
menjadi dua macam pola. Sesar yang umumnya berarah North East – South West
(Timur laut – Barat daya) merupakan sesar yang berpola Meratus serta merupakan
bagian dari segmen sesar mayor segmen Opak. Sesar berpola Meratus ini
digambarkan dengan garis putus – putus berwarna hitam dan umumnya terdapat
pada bagian Timur dari kavling penelitian. Pada bagian kavling penelitian ini
terdapat pula sesar dengan pola yang lain. Sesar ini merupakan sesar yang relatif
berarah North West – South East (Barat laut – Tenggara) yang merupakan sesar
berpola Jawa. Sesar ini merupakan salah satu segmen dari sesar mayor segmen
Progo. Sesar berpola Jawa ini digambarkan dengan garis berwarna hitam dan
umumnya terdapat pada bagian Barat dari kavling penelitian.
Apabila ditinjau dari daftar pustaka tentang tektonika lempeng dan geologi
struktur pulau Jawa terutama pada wilayah Yogyakarta, pola – pola patahan/sesar
tersebut dapat diindikasikan terbentuk oleh karena adanya pengaruh dari gaya
kompresi oleh penunjaman lempeng tektonik samudra Indo-Australia yang
menunjam lempeng benua Eurasia. Gaya ini menyebabkan adanya struktur –
struktur geologi lainnya yang berupa horst dan graben, dimana berdasarkan
tinjauan pustaka geologi daerah tinggian Kulonprogo dan tinggian Gunung
Kidul/Pegunungan Selatan merupakan daerah horst, sedangkan pada bagian kota
Yogyakarta atau Yogyakarta tengah merupakan bagian graben. Adanya gaya
kompresi dari penunjaman lempeng ini juga menjadi sebab atau faktor dari
terangkatnya basement pada cekungan Yogyakarta, dimana jika dikorelasikan
dengan peta RTP (Reduce to Pole), maka daerah bagian tengah hingga Utara pada
kavling penelitian merupakan daerah tinggian basement (high basement)
sedangkan pada bagian selatan kavling penelitian merupakan daerah low
basement.
Gambar 5.4. di atas merupakan hasil pemodelan dari model 2,5D pada
sayatan 3 (A-A’) yang berarah relatif Utara-Selatan. Model 2.5D tersebut
merupakan hasil pemodelan bawah permukaan pada sayatan di peta RTP (Reduce
to Pole) pada kavling daerah penelitian (Gambar 5.2.). Sayatan dari penampang
tersebut memotong hampir semua rentang nilai intensitas medan magnet pada
kavling daerah penelitian. Pada pemodelan 2,5D di atas diperlihatkan kedalaman
dari pemodelan bawah permukaan tersebut yang memiliki kedalaman sebesar
3.406 meter di bawah permukaan bumi. Pemodelan 2.5D tersebut dibuat
berdasarkan data anomali magnetik serta tinjauan pustaka geologi daerah setempat
yang bertempat pada daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
Pada pemodelan 2.5D tersebut dapat dilihat bahwa kavling daerah
penelitian mempunyai susunan litologi bagian terbawah berupa basement yang
digambarkan dengan simbol warna ungu. Basement ini tersusun oleh batuan
metamorf yang berjenis sekis yang masuk ke dalam batuan metamorf derajat
rendah. Pada bagian basement ini terdapat banyak patahan/sesar akibat dari
adanya gaya kompresi yang dikarenakan oleh penunjaman lempeng, sehingga
bagian basement ini terpecah menjadi bebebrapa segmen yang posisinya (tinggi-
rendahnya) tidak seragam pada masing – masing segmennya. Pada segmen Utara
terdapat tinggian dari basement ini (high basement). Kemudian lanjut ke arah
Selatan basement ini diterobos oleh intrusi batuan beku (simbol warna merah).
Menurut tinjauan pustaka geologi, intrusi batuan beku ini berjenis batuan beku
intermediete berupa andesit dan diorit. Intrusi ini menerobos basement kemudian
lapisan batuan sedimen yang berada diatasnya yang merupakan formasi
Nanggulan, formasi Sentolo, dan endapan Merapi Muda, hingga muncul dan
tersingkap pada permukaan.
Pada segmen basement tengah (garis putus – putus warna merah)
didapatkan adanya tinggian basement yang merupakan bagian horst dari sistem
horst-graben Yogyakarta, kemudian di atasnya diendapkan secara tidak selaras
oleh lapisan batuan sedimen dari formasi Nanggulan dengan litologi berupa
batulempung, batupasir, dan breksi yang berumur Eosen-Oligosen yang
diendapkan pada fasies darat. Kemudian diendapkan lagi lapisan batuan sedimen
dari formasi Sentolo yang berumur Miosen-Pliosen dengan litologi berupa
batugamping klastik yang diendapkan pada fasies laut dangkal yang pada
beberapa tempat tersingkap hingga ke permukaan. Kemudian yang terkhir
diendapkan endapan Merapi Muda pada masa Kuarter.
Pada segmen basement tengah yang lebih selatan (garis putus – putus
warna biru) didapatkan adanya rendahan basement (low basement) yang
merupakan bagian graben dari sistem horst-graben Yogyakarta. Kemudian pada
bagian atas basement ini diendapkan satuan batuan sedimen formasi Nanggulan
dan formasi Sentolo, yang pada akhirnya pada bagian atasnya diendapkan lagi
endapan Merapi Muda.
Pada segmen selatan terdapat zona tinggian basement hasil dari
pengangkatan akibat gaya kompresi yang terjadi pada daerah Yogyakarta dan
Pulau Jawa secara umumnya. Pada segmen ini di bagian atas dari batuan
metamorf diendapkan secara tidak selaras lapisan batuan sedimen dari formasi
Nanggulan dan formasi Sentolo. Pada atas lapisan batuan sedimen tersebut
diendapkan lagi endapan Merapi Muda yang mendominasi dan menutup
permukaan daerah ini.
Pada Gambar 5.5. di atas diperlihatkan model 2,5D pada sayatan 4 A-A’
pada peta RTP kavling daerah penelitian (Gambar 5.2.). Sayatan dari penampang
tersebut berarah relatif Utara – Selatan dan memotong hampir semua rentang nilai
intensitas medan magnet pada kavling daerah penelitian. Pada pemodelan 2,5D di
atas diperlihatkan kedalaman dari pemodelan bawah permukaan tersebut yang
memiliki kedalaman sebesar 4.092,69 meter di bawah permukaan bumi.
Pada pemodelan tersebut dapat dilihat bahwa kavling daerah penelitian
mempunyai susunan litologi berupa basement yang terletak pada posisi paling
bawah dari model dan digambarkan dengan simbol warna ungu. Basement ini
merupakan batuan metamorf yang berjenis sekis yang masuk ke dalam batuan
metamorf derajat rendah. Pada bagian basement ini terdapat banyak patahan
akibat dari adanya gaya kompresi yang dikarenakan oleh penunjaman lempeng,
sehingga posisi dari basement ini tidak seragam di semua lokasi segmennya. Pada
segmen Utara (titik A) terdapat tinggian basement yang kemudian diterobos oleh
intrusi batuan beku (simbol warna merah), yang menurut tinjauan pustaka geologi
berjenis andesit dan diorit. Intrusi ini menerobos basement kemudian lapisan
batuan sedimen yang berada diatasnya yang merupakan formasi Nanggulan,
formasi Sentolo, dan endapan Merapi Muda, hingga muncul sampai ke
permukaan.
Pada segmen basement tengah (garis putus – putus warna merah)
didapatkan adanya tinggian basement yang kemudian diendapkan secara tidak
selaras oleh lapisan batuan sedimen dari formasi Nanggulan dengan litologi
berupa batulempung, batupasir, dan breksi yang berumur Eosen-Oligosen.
Kemudian diendapkan lagi lapisan batuan sedimen dari formasi Sentolo yang
berumur Miosen-Pliosen dengan litologi berupa batugamping klastik. Kemudian
yang terkhir diendapkan endapan Merapi Muda yang berumur Kuarter. Pada
beberapa lokasi formasi Sentolo ini naik hingga tersingkap di permukaan.
Kemudian pada segmen tengah lainnya (garis putus – putus warna biru)
merupakan daerah rendahan basement (low basement) dimana pada bagian ini
memiliki segmen basement dari Pulau Jawa memiliki posisi yang lebih rendah
dibandingkan dengan basement pada bagian tengah-utara. Pada segmen ini juga
terdapat lapisan batuan sedimen dari formasi Nanggulan dan formasi Sentolo
Pada segmen selatan terdapat zona rendahan basement. Pada segmen ini di
bagian atas dari batuan metamorf diendapkan secara tidak selaras lapisan batuan
sedimen dari formasi Nanggulan dan formasi Sentolo, serta batuan sedimen yang
masuk ke dalam stratigrafi Pegunungan Selatan yaitu formasi Nglanggeran dan
formasi Wonosari. Formasi Nglanggeran dan formasi Wonosari ini juga
tersingkap pada permukaan.
5.2. Gravity
5.2.1. Peta Anomali Bouguer Lengkap
(Utara – Selatan)
Peta Tilt Butterworth HG merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menganalisa batas-batas dari suatu tubuh anomali. Analisa batas anomali
dilakukan dengan menghitung magnitudo gradien horizontal. Gradien horizontal
dengan pola yang paling curam dapat diinterpretasikan sebagai batas suatu
anomali yang menunjukkan perubahan horizontal yang tiba-tiba pada magnetisasi
(Cordell dan Grauch, 1987).
Gambar 5. . meruapakan hasil peta tilt butterworth HG pada daearah
Penelitian. Adapun daerah penelitian mencakup wilayah regional yogyakarta
yang membentang dari barat (Kabupaten Kulon Progo) hingga bagian timur
(Kabupaten Gunung Kidul). Adapun hasil peta menghasilkan pola closure yang
mengidentifikasikan pola nilai konduktivitas pada daerah peneitian dengan
diidentifikasikan dengan respon besar konduktivitas yang dihasilkan
Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan membagi 3 zona yaitu nilai tilt
tinggi yang disimbolkan dengan warna merah memiliki nilai range dari 0,011 –
0,023 rad. Nilai menengah disimbolkan dengan warna hijau hingga kuning yang
memiliki nilai range sebesar 0,002 - 0,005 rad. Dan Nilai terendah disimbolkan
dengan warna biru yang memiliki nilai range sebesar 0,001 s.d 0,002 rad. Adanya
respon tersebut menunjukkan terdapat persebaran beberapa formasi di daerah
yogyakarta dan sekitarnya yang mana formasi tersebut terbentuk melalui proses
tektonik dan vulkanik pada masa lampau.
Selain pola persebaran nilai konduktivitas (tilt) pada masing – masing
daerah, terdapat juga pola – pola struktur pembentukan pulau jawa yang nampak
pada peta ini. Pulai jawa sendiri memiliki 3 (tiga) pola struktur yang dominan,
masing-masing adalah Pola Meratus, Pola Sunda dan Pola Jawa (Hilmi, 2008). Di
Jawa, sesar regional berarah timurlaut-baratdaya dinamakan seba-gai pola
Meratus, diwakili oleh sesar Cimandiri (Pulunggono dan Marto-djojo, 1994).
5.3.3. Peta Elipt
Gambar 5.1. Grafik Tilt Butterworth, Elipt Butterworth, Tilt Horizontal Gradient, Elipt
Horizontal Gradient
Sayatan 2
Sayatan 3
Sayatan 4
5.4. Vertical Electrical Sounding
5.4.1. Line 1
Curve Matching Line 1
5.4.2. Line 5
Curve Matching Line 5
5.4.9. Line 13
Curve Matching Line 13
Gambar Curve Matching Line 13 adalah gambar curve matching dari hasil
pengolahan data menggunakan software IPI2WIN. Akan tetapi sebelum data
diolah menggunakan software IPI2WIN, data terlebih dahulu diolah menggunakan
Microsoft Excell untuk mendapatkan data. Pada curve tersebut terdapat beebrapa
komponen, diantaranya garis berwarna hitam, garis berwarna biru, dan garis
berwarna merah. Yang dimana garis hitam merupakan data yang diinput, garis
biru merupakan true resistivity, dan garis merah merupakan garis yang
menunjukkan nilai eror nya. Untuk mencocokkan eror, maka warna merah
tersebut dilakukan trial and eror untuk mencocokkan data. Trial and eror tersebut
dilakukan dengan cara menggeser dan mencocokkan garis biru dengan garis
berwarna hitam. Yang dimana ketika garis biru nya digeser secara horizontal
maka akan menunjukkan nilai resistivitas, sedangkan ketika garis biru digeser
secara vertikal maka akan menunjukkan nilai ketebalan lapisan batuan. Setelah
melakukan trial and eror maka peneliti mendapatkan angka eror sebesar 4,12%
dengan banyak lapisan sebanyak 8. Nilai eror ini masih bisa dibilang cukup besar,
namun setelah melakukan beberapa kali pencobaan trial and eror, angka eror
yang muncul disekitaran nilai 50 %. Maka dapat diasumsikan bahwa dengan
kisaran eror di angka tersebut maka, data hasil akuisisinya kurang baik.
Berdasarkan pemodelan dengan acuan kurva hitam maka didapatkan delapan
buah lapisan di bawah permukaan yang terdeteksi pada penelitian ini dengan nilai
error sebesar 4,12%. Kedelapan lapisan yang terdeteksi memiliki nilai resistivitas
sebesar masing-masing 13,4, dengan ketebalan 1 meter yang berada pada
kedalaman 1 meter dibawah permukaan lapisan kedua berada memiliki nilai
resistivitas sebesar 17,5 Ohm.meter dan memiliki nilai ketebalan 0,539 meter
yang berada pada kedalaman 1,54 meter dibawah permukaan. Untuk lapisan
ketiga memiliki nilai resistivitas sebesar 4,72 Ohm.meter dengan ketebalan
sebesar 5,56 meter dan berada pada kedalaman 7,1 meter dibawah permukaan.
Sedangkan lapisan keempat memiliki nilai resistivitas sebesar 10.5 Ohm.meter
dengan nilai ketebalan sebesar 11,2 meter yang berada pada kedalaman sebesar
18,3 meter dibawah permukaan. Lapisan kelima memiliki nilai resistivitas sebesar
0.673 Ohm.meter dengan nilai ketebalan sebesar 7,05 meter yang berada pada
kedalaman 25,4 meter dibawah permukaan. Lapisan keenam memiliki nilai
resistivitas sebesar 0.756 Ohm.meter dengan ketebalan sebesar 2,77 meter yang
berada pada kedalaman 28,1 meter dibawah permukaan. Lapisan ketujuh memiliki
nilai resistivitas sebesar 37.6 Ohm.meter dengan ketebalan sebesar 12,6 meter
yang berada pada kedalaman 40,28 meter dibawah permukaan dan lapisan terakhir
memiliki nilai resistivitas sebesar 60.9 Ohm.m dengan nilai ketebalan sebesar
43,6 meter yang berada pada kedalaman 60,9 meter dibawah permukaan. Urut
dari lapisan yang paling atas. Kedalaman maksimum yang diperoleh adalah
sebesar 60,9 meter dibawah permukaan.
Berdasarkan nilai resistivitas tersebut didapatkan urutan litologi batuan dari
atas yaitu batu pasir,pasir kasar,lempung, batu pasir, lanau,pasir kasar
1250m.