Anda di halaman 1dari 27

MK MASYARAKAT DAN KEBUDAYAN INDONESIA

“ASPEK KEBUDAYAAN SUKU BUGIS MAKASSAR”

DI SUSUN OLEH :

MUH. ZULFAHMI MALIK

F021211049

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan memberikan kita nikmat yang di anataranya nikmat Kesehatan nikmat
kesmpatan dan terlebih lebih-Nya lagi yang Namanya nikmat Iman dan Islam
sehingga kita masih sempat merasakan seluruh kenikmatan yang ada di muka Bumi
ini. Sholawat serta salam tidak lupa pula kita kirimkin kepada baginda kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman gelap gulita
menuju zaman yang terang benerang seperti yang kita rasakan saat ini.

Penulis di sini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah


menyelesaikan makalah yang kami beri judul aspek Kebudayaan Bugis – Makassar
sebagai tugas mata kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Dalam makalah
ini kami mencoba menguraikan beberapa aspek Kebudayaan yang ada pada suku
Bugis-Makassar.

Penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah


membantu menyelasaikan makalah ini. Dan penulis memahami bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna
memperbaiki atau belajar kesalahan - kesalahan kami pada makalah yang sederhana
ini.

Maros, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................... 3
BAB II ................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 4
A. Letak wilayah suku Bugis – Makassar ......................................................................... 4
B. Sejarah suku bangsa Bugis-makassar.......................................................................... 4
C. Jumlah penduduk Suku Bugis-Makassar ..................................................................... 5
D. Bentuk Rumah dan Makanan Khas Suku Bugis-Makassar .......................................... 6
E. Bahasa dan Kesusastraan Suku Bugis-Makassar ....................................................... 10
F. Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Suku Bugis-Makassar .................................. 10
G. Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Bugis-Makassar ........................................... 11
H. Sistem Pengetahuan Suku Bugis-Makassar .............................................................. 12
I. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial ........................................................ 17
J. Religi Suku Bugis-Makassarr ...................................................................................... 19
K. Kesenian Suku Bugis Makassar ................................................................................. 20
BAB III ................................................................................................................................ 23
PENUTUP ........................................................................................................................... 23
A. KESIMPULAN ……………………………………………………………………………………………………………23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta yaitu Buddhayyah,
yang meruapakan bentuk jamak dari Buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia.

Dalam bahasa inggris, Kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata
latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau Bertani. Kata culture juga kadang juga diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,


abstrak, dan luas. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali angota-
anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia
makna dan dunia logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling
bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang


koheren untuk mengorganisasikan aktivitas sesorang dan memungkinnya
meramalkan perilaku orang lain.

Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku-suku Bugis-


Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi.2
suku ini adalah 2suku utama di Sulawesi Selatan, Suku Bugis merupakan suku yang

1
tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu yang masuk ke Nusantara setelah
gelombang migrasi pertama daridaratan Asia.

Kata Bugis sendiri berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi"lahir pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana
(Kabupaten Wajo/Berada diSulawesi Selatan) yang bernama La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakandirinya, maka rakyat merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugiatau orang-orang pengikut dari
La Sattumpugi. La Sattumpugi mempunyai anak yang bernama We Cudai dan
bersaudara dengan Batara Lattu, Batara Lattu sendiri adalahayahanda dari
Sawerigading, dan Sawerigading adalah suami dari We Cudai yang melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia
dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware
(Yang dipertuan diWare) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis. Lain halnya dengan suku Bugis

Nama Makassar berasal dari nama Melayu untuk yang mendiami pesisir
selatan pulau Sulawesi. Orang Makassar menyebutnya dengan namaMangkassara’
yang berarti Mereka yang Bersifat Terbuka. Etnis Makassar ini adalah etnisyang
berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya
dilaut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka
berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut
yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari
keseluruhan pulau Sulawesi, Kalimantan Bagian Timur, NTT, NTB, Maluku,
Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin kerjasama dengan Bali,
Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun
Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang
dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap
Kerajaan taklukannya

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Letak wilayah suku Bugis-Makassar


2. Sejarah suku bangsa Bugis-Makassar
3. Jumlah penduduk Suku Bugis-Makassar
4. Bentuk rumah dan makanan khas suku Bugis-Makassar
5. Bahasa dan Kesusastraan suku Bugis-Makassar
6. Sistem teknologi dan peralatan hidup suku Bugis-Makassar
7. Sistem mata pencaharian hidup suku Bugis-Makassar
8. Sistem pengetahuan suku Bugis-Makassar
9. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial suku Bugis-Makasssar
10. Religi suku Bugis-Makassar
11. Kesenian Suku Bugis Makassar

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Letak wilayah suku Bugis – Makassar


Suku bangsa Bugis – Makassar mendiami bagian terbesar dari jazirah
selatan dari Pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan suatu provinsi. Ialah provinsi
Sulawesi Selatan, yang sekarang terdiri atas 23 Kabupaten, di antaranya dua buah
kota-madya.

Penduduk Provinsi Sulawesi Selatan, terdiri dari empat suku bangsa ialah ;
Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Orang Bugis mendiami Kabupaten –
Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Didenreng – Rappang,
Pinrang, Polewali-mamasa, Enrekang, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene
kepulauan dan maros. Kabupaten Pangkajene kepulauan dan Maros merupakan
daerah-daerah peralihan dan penduduknya pada umumnya menggunakan bahasa
Bugis dan Bahasa Makassar.

Orang Makassar, mendiami Kabupaten – Kabupaten Gowa, Takalar,


Jeneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkajene Kepulauan. Penduduk Kepulauan
Selayar, walaupun mengucapkan suatu di alek yang khusus biasanya masih
dianggap orang Makassar juga.

Luas dari seluruh Sulawesi Selatan adalah kira-kira 100.457 km2 dan
wilayahnya terdiri dari 23 kabupaten, dari 165 Kecamatan, dengan 1158 desa gaya-
baru,

B. Sejarah suku bangsa Bugis-makassar


Kata Bugis sendiri berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi"lahir pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana
(Kabupaten Wajo/Berada diSulawesi Selatan) yang bernama La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakandirinya, maka rakyat merujuk pada raja
mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugiatau orang-orang pengikut dari
La Sattumpugi. La Sattumpugi mempunyai anak yang bernama We Cudai dan

4
bersaudara dengan Batara Lattu, Batara Lattu sendiri adalahayahanda dari
Sawerigading, dan Sawerigading adalah suami dari We Cudai yang melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia
dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware
(Yang dipertuan diWare) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo
dalam tradisi masyarakat Bugis.

Nama Makassar berasal dari nama Melayu untuk yang mendiami pesisir
selatan pulau Sulawesi. Orang Makassar menyebutnya dengan namaMangkassara’
yang berarti Mereka yang Bersifat Terbuka. Etnis Makassar ini adalah etnisyang
berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya
dilaut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka
berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut
yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari
keseluruhan pulau Sulawesi, Kalimantan Bagian Timur, NTT, NTB, Maluku,
Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin kerjasama dengan Bali,
Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun
Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang
dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap
Kerajaan taklukannya

C. Jumlah penduduk Suku Bugis-Makassar


Penduduk Suku Bugis-Makassar mendiami Provinsi Sulawesi Selatan yang
jumlah penduduknya lebih dari 5.600.00 orang pada tahun 1969. Orang Bugis
berjumlah kira-kira 3 ½ juta orang yang mendiami beberapa kabupaten di Sulawesi
Selatan dan juga Orang Makassar, yang berjumlah kira-kira 11/2 juta orang.

Kecuali di Provinsi Sulawesi Selatan, ada pula orang Bugis-Makassar yang


tinggal di luar daerah itu. Perantauan itu sudah berlangsung sejak abad ke-16.
Dalam Zaman itu ada suatu rangkaian peperangan antara kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan, yang di sambung dengan peperangan-peperangan melawan
belanda dalam abad ke-19. Demikian telah ada suatu keadaan taka man sejak lebih
dari tiga abad lamanya, yang menyebabkan perantauan itu, misalnya ke daerah-

5
daerah pantai timur dan utara Sumatra , pantai barat Malaya, pantai barat dan
selatan Kalimantan (orang Bugis Pagatan).

D. Bentuk Rumah dan Makanan Khas Suku Bugis-Makassar


Rumah di dalam kebudayaan suku Bugis-Makassar, di bangun di atas tiang
dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsinya yang khusus
ialah sebagai berikut :

1. Rakkeang dalam bahasa Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar,


adalah bagian atas rumah di bawah atap, yang di pakai untuk menyimpan padi
dan persediaan pangan dan juga untuk menyimpan benda benda pusaka.
2. Ale-bola dalam bahasa Bugis atau kale balla’ dalam bahasa makassar, adalah
ruang-ruang dimana orang tinggal, yang terbagi-bagi ke dalam ruang-ruang
khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur, untuk makan dan untuk dapur;
3. Awasao dalam bahasa Bugis atau passringang dalam bahasa Makassar adalah
bagian di bawah lantai panggung, yang di pakai untuk menyimpan alat-alat
pertanian dan untuk kendang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman
sekarang, bagian di bawah rumah ini sering di tutup dengan dinding, dan sering
di pakai untuk tempat tinggal manusia pula.

Rumah di dalam kebudayaan suku Bugis-Makassar, di bangun di atas tiang


dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsinya yang khusus
ialah sebagai berikut :

1. Rakkeang dalam bahasa Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar,


adalah bagian atas rumah di bawah atap, yang di pakai untuk menyimpan padi
dan persediaan pangan dan juga untuk menyimpan benda benda pusaka.
2. Ale-bola dalam bahasa Bugis atau kale balla’ dalam bahasa makassar, adalah
ruang-ruang dimana orang tinggal, yang terbagi-bagi ke dalam ruang-ruang
khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur, untuk makan dan untuk dapur;
3. Awasao dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar adalah
bagian di bawah lantai panggung, yang di pakai untuk menyimpan alat-alat
pertanian dan untuk kendang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman

6
sekarang, bagian di bawah rumah ini sering di tutup dengan dinding, dan sering
di pakai untuk tempat tinggal manusia pula.

MAKANAN SUKU BUGIS MAKASSAR

Suku Bugis memiliki keanekaragaman warisan kuliner tradisional yang


melimpah dan tidak kalah menarik dari Suku lain di Indonesia dan patut untuk
dilestarikan (Emdy, 2009). Kekayaan kuliner khas Suku Bugis meliputi makanan
berat, makanan ringan hingga minuman segar dan menyehatkan.

Dibalik asimilasi budaya, hidangan khas Suku Bugis memiliki ciri khasnya
tersendiri. Makanan khas Bugis dominan dengan makanan yang berkuah dan
bersaus. Baik untuk hidangan pembuka dan hidangan utama. Hidangan utama
biasanya dibuat dengan bahan daging sapi, ayam dan ikan.

Hidangan penutup Masyarakat Bugis dominan terbuat dari buah pisang. Hal
ini dikarenakan pisang adalah tumbuhan yang hanya berbuah satu kali dalam sekali
hidup (Ayudhistira,2017). Pisang-pisang baru akan hadir melalui tunas-tunas baru
yang bermunculan setiap kali pohon pisang telah mengeluarkan buah. Dari cara
hidup ini, masyarakat Bugis menganggap pisang sebagai tumbuhan yang selalu
mempersiapkan generasi penerusnya sebelum pergi. Setandan pisang biasanya
tergantung pada sebuah rumah baru. Ini menjadi media pengharapan agar manusia
yang menempati rumah tersebut dapat meninggalkan manfaat selama hidup dan
meninggalkan generasi yang bermanfaat bagi kehidupan kelak.

Adapun makanan khas dari suku Bugis makassar adalah sebagai berikut :

1. Juku’ Pallumara

Juku’ dalam bahasa Makassar berarti Ikan, ‘Pallu’ berarti masak dan ‘Mara’
berarti asam, merupakan hidangan sup dengan kuah kuning yang asam dan gurih
(Anwar,2015). Hidangan berkuah kuning lain yang serupa dengan Palumara adalah

7
Palubasa, perbedaannya terletak pada penggunaan santan. Jika pada Palumara
kuahnya kuning bening namun pada Palubasa kuahnya kuning pekat karena ada
penambahan santan. Kuah Palumara yang asam dan gurih diperkaya dengan kaldu
ikan yang dimasak bersamaan dengan bumbu kuning, selain itu penambahan serai
dan daun jeruk pun menambah aroma sedap pada sajian ini. Palumara Ulu Juku’
sangat cocok disajikan dengan sambal mangga khas Makassar untuk menambah
rasa pedas dan segar.

Figure 1 pallumara ulu juku’ (sumber : https://dentistvschef.files.wordpress.com/2013/11/fish-soup-recipe-


palumara-ulu-juku-sup-kelapa-kakap.jpg)

2. Cucuru’ Te’ne
Cucuru Te’Ne merupakan hidangan kue tradisional Suku Bugis. Kue ini
selalu tersaji saat masyarakat setempat mengadakan acara hajatan seperti
pernikahan dan khitanan (Bugi,2015). Hidangan ini dibuat dengan campuran
tepung beras dan gula merah dengan taburan wijen di bagian luarnya. Citarasa yang
menonjol dari Cucuru Te’ne adalah manis dengan teksturnya yang renyah.
Bentuknya khas lonjong dan sedikit mengerucut dibagian ujungnya.

8
Figure 2 Cucuru’ Te’ne (Sumber : http://fs.genpi.co/uploads/data/images/2019/09/kudapan.jpeg)

3. Toppa Lada

Toppa Lada merupakan hidangan berkuah dengan bahan utama yaitu daging
sapi. “Lada” dalam bahasa Makassar berarti Cabai, ini mengacu pada Cabe yang
digunakan dalam resep masakan hidangan ini (Ilham,2017). Hidangan ini dibuat
dengan cara memasak perlahan semua bumbu beserta daging, hingga bumbu
meresap ke dalam daging dan daging pun menjadi lunak. Selain daging sapi, bahan
lain yang menjadi bahan utama adalah kentang yang juga dimasak bersamaan
dengan bumbu. Hidangan ini biasa disajikan masyarakat Bugis dalam acara-acara
sakral maupun hari raya keagamaan.

Figure 3 Toppa lada (Sumber:


https://i.pinimg.com/474x/1b/be/aa/1bbeaabbd2341f93c0a6b3c61c1360e7.jpg)

9
E. Bahasa dan Kesusastraan Suku Bugis-Makassar
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi’ dan orang Makassar mengucapkan
bahasa Mangkasara’. Kedua bahasa tersebut pernah dipelajari dan diteliti secara
mendalam oleh seorang ahli bahasa Belanda B.F Matthes, dengan mengambil
sumber Kesusastraan tertulis yang sudah dimiliki oleh orang Bugis dan Makassar
itu sejak berabad-abad lamanya.

Huruf yang dipakai dalam naskah-naskah Bugis-Makassar kuno adalah


aksara Lontara, sebuah sistem huruf yang asal hurufnya dari huruf Sanskerta.
Dalam abad ke-16, sistem aksara Lontara itu disederhanakan oleh Syahbandar
kerajaan Goa. Daeng Panette dan dalam naskah-naskah zaman itu, sistem Daeng
Pamatte itulah yang di pakai. Sejak permulaan abad ke-17 waktu Agama Islam dan
Kesusastraan Islam mulai mempengaruhi Sulawesi Selatan, maka kesusastraan
Bugis dan Makassar ditulis dalam huruf Arab, yang disebut aksara serang.

Di antara buku terpenting dalam kesusastraan Bugis dan Makassar adalah


buku Sure’ Galigo, suatu himpunan amat besar dari mitologi yang bagi orang Bugis
dan Makassar masih mempunyai nilai yang keramat

F. Sistem Teknologi dan Peralatan Hidup Suku Bugis-Makassar


Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka
secaraperlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan
berkelompok,kemudian membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya
bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat
pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil
ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya
dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi
Selatan terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat piawai dalam
mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara
dengan menggunakan perahu Pinisi.

1. Perahu Pinisi

10
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat
Bugisyang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di
dalamnaskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad
ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat
olehSawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat
perahutersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal
sangatkokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih
dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah
ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai
produsen Perahu Pinisi.

2. Sepeda dan Bendi

Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini


adalahbukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia
khususnyamasyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang
bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian
terutamatanaman padi sebagai bahan makanan pokok.

3. Koleksi Peralatan tenun Tradisional

Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwabudaya


menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah,yakni
ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerahseperti
leang – leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat
pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan
manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih
baik yakni alat pemintal tenun dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai
tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.

G. Sistem Mata Pencaharian Hidup Suku Bugis-Makassar


Penduduk Sulawesi Selatan, adalah pada umumnya petani seperti penduduk
dari lain-lain daerah di Indonesia. Mereka menanam padi bergiliran dengan

11
palawija di sawah. Tekhnik bercocok tanamnya juga seperti di lain-lain tempat di
indonesia yang masih bersifat tradisional berdasarkan cara-cara intensif dengan
tenaga manusia. Di berbagai tempat di pegunungan, di pedalaman dan tempat-
tempat terpencil lainnya di Sulawesi Selatan, seperti di daerah Toraja, banyak
penduduk masih melakukan bercocok tanam dengan tekhnik perladangan.

Adapun pada orang Bugis-Makassar yang tinggal di desa-desa daerah


pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting.
Dalam hal ini orang Bugis-Makassar menangkap ikan dengan perahu-perahu layar
mengarungi lautan yang jauh. Suku Bugis-Makassar memang sudah terkenal
dengan Suku Bangsa pelaut di indonesia yang telah mengembangkan suatu
Kebudayaan maritime sejak beberapa abad lamanya. Perahu-perahu layar orang
Bugis-Makassar dari tipe perahu Pinisi dan Lambo yang telah mengarungi lautan
Nusatara dan bahka lebih jauh dari itu mereka pernah sampai berlayar ke Srilangka
dan Flipina untuk berdagang. Orang-orang Bugis-Makassar tidak hanya
mengembangkan perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang tinggi, tetapi
juga meninggalkan suatu hukum niaga dalam pelayaran, yang di sebut ade’ allopi-
loping Bicaranna Pabbalu’e dan yang tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa
dalam abad ke-17. Bakat berlayar rupanya telah dimiliki oleh orang-orang Bugis-
Makassar sejak dari abad-abad yang telah lampau itu.

Sebelum perang Dunia ke-II, Daerah Sulawesi Selatan merupakan daerah


surplus bahan makanan, yang mengeksport beras dan jagung ke lain-tempat di
Indonesia.

H. Sistem Pengetahuan Suku Bugis-Makassar


Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia tentang
benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Menurut Koentjaraningrat (1979,hlm.
372-373) setiap suku bangsa di dunia biasanya mempunyai pengetahuan tentang:
Alam sekitarnya, Alam flora di daerah tempat tinggalnya, Alam fauna di daerah
tempat tinggalnya, Zat-zat, bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya,
Tubuh manusia, Sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, dan tata Ruang waktu.

12
Demikian juga dengan sistem pengetahuan orang Bugis, yang memiliki
sistempengetahuan di antaranya:

1. Sistem Pengetahuan Tentang Alam

Sistem pengetahuan suku bangsa bugis tentang alam representatif dengan


melihat kepercayaan asli dari Sebagian masyarakat Bugis Makassar yaitu animisme
dan dinamisme, yang masih di anggap ada.Warisan inilah yang dianggap oleh
mereka sebagai agama dan kepercayaan yang benardan dikenal dengan nama Toani
Tolotang, Patuntung, dan Aluk Todolo. (Mukhlis, dkk,1995, 30-31).

Contoh sistem pengetahuan tentang alam dalam sebuah dongeng mitologi


terkenal diSuku Bugis, yaitu mitologiI Lagaligo, ini yang menghubungkan antara
‘dunia atas’dengan ‘dunia bawah’. Baik ‘dunia atas’ maupun ‘dunia bawah’ adalah
tempat keluarnyadewa yang nanti akan menurunkan para raja mereka. Adanya
gejala alam sepertihujanlebat disertai kilat dan petir, bumi berguncang, dan lain-
lain adalah pertanda kedatangandewa dari ‘dunia atas’. Sementara gejala alam
seperti bambu petung, buih air (biasanyadari lautan), dan sebagainya adalah
pertanda datanganya dewa dari ‘dunia bawah’.(Mukhlis, dkk, 1995, hlm. 78).

2. Pengetahuan Tentang Flora

Dalam masyarakat Bugis dulu dikenal penggunaan serat tumbuh-tumbuhan


dan kulitkayu untuk pembuatan pakaian. Ketika pengetahuan manusia pada zaman
itu mulaiberkembang mereka menemukan bahan yang lebih baik yakni bahan baku
benang kapas.Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain sarung dan
pakaian tradisional.

3. Pengetahuan Fauna

Orang Bugis sudah mengenal olahan fauna untuk dijadikan makanan khas
mereka,contohnya olahan ikan mentah untuk dijadikan makanan yang lebih dikenal

13
dengan istilah lawa’ bale, jenis makanan ini mirip dengan sushi di Jepang.Lawa’
bale terdiri dari ikan mentah yang sudah dipisahkan dari tulang dan kepalanya yang
dicampurkan dengan parutan kelapa.

Selain itu ada beberapa fauna yang menjadi khas dan sering dijumpai para
orang Bugisini, mereka cukup bersahabat dengan mereka, hewan-hewan itu seperti
anoa (hewan yangmirip kerbau tapi kecil seperti kambing), kura-kura paruh betet
(karena mulutnya yangruncing seperti paruh burung betet), burung maleno (yang
telurnya lima kali lebih besardari telur ayam kampung), babi rusa (hewan yang
sepert babi tapi memiliki ukuran yanglebih besar dan punya taring yang panjang),
dan kera hitam.

4. Pengetahuan Tentang Tubuh Manusia

Pengetahuan tentang tubuh manusia, tetutama dulu saat ilmu kedokteran


belum begituberkembang seperti saat ini, sangat dibutuhkan dan seringkali memang
sudah diketahuisecara luas sendiri oleh masyarakat. Di desa, orang yang biasanya
dapat menyembuhkanorang sakit disebut dengan dukun, tukang pijat. Seorang
dukun ilmunya disebut denganilmu dukun. Ilmu dukun ini biasanya banyak
menggunakan banyak sekali ilmu gaib, disamping itu mereka juga banyak memiliki
ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia, letak, dansusunan urat-urat, dan lain
sebagianya. (Koentjaraningrat, 1979, hlm. 374).

Pengobatan tradisional leluhur Bugis berdasarkan lontarak Bone ini juga


didasarkan padapemahaman terhadap tumbuh-tumbuhan alam yang ada di
lingkungan sekitar, filsosofiyang diajarkan dalam kebudayaan mereka, serta ajaran
Islam. Salah satu filosofi yangdipegang teguh adalah bahwa setiap penyakit pasti
ada obatnya yang disediakan olehTuhan di alam semesta (Abdul Hamid, 2008).

5. Pengetahuan Tentang Hubungan dengan Sesama Manusia

Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum


terpengaruhilmu psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan

14
sesamanya biasanya berpegangan dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-
tipe wajah) atau pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa
dikategorikan ada di dalamnyayaitu pengetahuan tentang sopan-santun, adat-
istiadat, sistem norma, hukum adat, silsilah,sejarah, dsb. (Koentjaraningrat, 1979,
hlm. 374-375).

Dalam Suku Bugis, adat istiadat (yang juga dikenal dengan


konsepade‘),kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di masa lalu
mengacu kepadakehidupan dewa - dewa yang diyakini. Di sana juga dikenal istilah
pamali sebuahungkapan yang bersifat spontan sebagai bentuk pelarangan dengan
penekanan pada kejiwaan, untuk tidak melanggar hal yang dianggap pemali.

Ada pula istilah siri’,yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan


mempertahankan diri dankehormatannya.Siri’juga bisa dikatakan hukum adat
karena jika seorang anggotakeluarga melakukan tindakan yang membuat malu
keluarga, maka ia dianggap menginjak ajaran siri’dan akan diusir atau dibunuh.
Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini.Siri’terbagi menjadi dua yaitu,
siri' nipakasiri‘dan siri' masiri'.

Sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem


bilateralatau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak
ibu. Dalamsuku Bugis zaman dulu dikenal tiga strata sosial atau kasta, yaituana’
arung(bangsawan)yang punya beberapa sub kasta lagi (kasta tertinggi),to
maradekaatau orang merdeka(orang kebanyakan sebagai kasta pertengahan), dan
yang terakhir kasta terendah yaitukasta ataa tau budak. Perlu dicatat pula dalam
status sosial yang berhubungan denganstatus gender di suku Bugis ada yang dikenal
dengan istilahbissu,sebutan untuk seorang trans gender (waria), menariknya bissu
dalam masyarakat Bugis memiliki kedudukan terhormat dan mendapat julukan
manusia setengah dewa.

6. Pengetahuan tentang Ruang dan Waktu

Ada juga pengetahuan tentang bahasa dan tulisan etnografi, di mana huruf
yang jadiunsur di dalamnya dapat mengabstraksikan suatu konsep dan suara.

15
Masyarakat atau sukubangsa sering manganalisa alam sekeliling tampat tinggal
mereka dan mengupassuara-suara dalam bahasa. (Koentjaraningrat, 1979, hlm.
375).

Umumnya orang Bugis berbentuk rumah yang bisa dipindahkan dari satu
tempat ketempat lain dengan konstruksi yang dibuat secara lepas-pasang(knock
down). OrangBugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi
juga sebagai ruangpusat siklus kehidupan, tempat manusia dilahirkan, dibesarkan,
menikah, dan meninggal.Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi
dan kepercayaan yangdiwarisisecara turun temurun dari leluhur.

Sistem pengatahuan tentang ruang dan waktu juga berhubungan dengan


sistempernikahan dalam suku. Mereka mengenal tahap-tahap dalam pernikahan
jugawaktu-waktu baik untuk menetapkan tanggal nikah. Tahap pernikahan itu
adalettu(lamaran),mappettuada(kesepakatan pernikahan) di sinilah pihak laki-laki
dan pihakperempuan membicarakan waktu pernikahan, jenissunrang atau mas
kawin,balanja atau belanja pernikahan, penyelanggaran pesta, dan sebagainya, lalu
adamadduppa(mengundang)ialah kegiatan kesepakatan antar kedua belah pihak
untuk memberi tahu kepada semuakaum kerabat mengenai pelaksanakan nikah.
Kemudianmappaccing(pembersihan) ialahritual ini dilakukan pada malam sebelum
akad nikah dimulai yang biasanya hanyadilakukan oleh kaum bangsawan, dengan
mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yangdihormati, cara
pelaksanaannya dengan menggunakan daunpacci(daun pacar), kemudian
paraundangan dipersilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon
mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai,
dilanjutkan dengansungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.

7. Pengetahuan tentang Bahasa dan Tulisan

Ada juga pengetahuan tentang bahasa dan tulisan etnografi, di mana huruf
yang jadiunsur di dalamnya dapat mengabstraksikan suatu konsep dan suara.
Masyarakat atau sukubangsa sering manganalisa alam sekeliling tampat tinggal

16
mereka dan mengupassuara-suara dalam bahasa. (Koentjaraningrat, 1979, hlm.
375).

I. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial


Di dalam sebuah disertasi yang di tulis oleh H.J. Frediericy yang di mana ia
menggambarkan pelapisan masyarakat orang-orang Bugis-Makassar dari zaman
sebelum pemerintah colonial Belanda mengusasai langsung daerah Sulawesi
Selatan. Sumber yang dia pakai untuk melakukan rekonstruksinya adalah buku
kesusastraan Bugis-Makassar asli La Galigo. Menurut Freidericy dahulu ada
lapisan tiga lapisan pokok, ialah Ana’arung (ana’ Karaeng dalam bahasa Makassar)
ialah lapisan kaum kerabat raja-raja, To-maradeka (Tu mara-deka dalam bahasa
Makassar) ialah lapisan orang yang merdeka dari rakyat Sulawesi Selatan, Dan
yang terakhir adalah Ata ialah lapisan budak atau ialah orang-orang yang di tangkap
dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang
melanggar pantangan adat.

Pada sistem perkawinan, adat Bugis-Makassar menetapkan perkawinan


yang ideal ialah :

1. Perkawinan yang disebut Assilang Marola atau dalam bahasa makassar disebut
Passialleang baji’na, ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu
baik dari pihak ayah ataupu ibu.
2. Perkawinan yang diseut Assialanna memang atau dalam bahasa Makassar
disebut Passialleanna, ialah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua
.
3. Perkawinan antara Ripadeppe’ mabelae atau dalam bahasa Makassar disebut
Nipakambani Bellaya, ialah perkawinan antara saudara sepupu sederajat
ketiga.

Perkawinan antara saudara sepupu tersebut, meskipun di anggap Ideal di


dalam Sistem perkawinan Suku Bugis-Masyarakat tetapi perkawinan itu tidak di
wajibkan, sehingga masyarakat Bugis-makassar masih bisa saja kawin degan gadi-
gadis yang bukan dari saudara-saudara sepupu.

17
Adapun perkawinan-perkawinan yang di larang karena di anggap sumbang
(Salimara’) adalah perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah, antara saudara-
saudara sekandung, antara menantu dan mertua, dan nenek dan cucu.

Perkawinan yang di langsungkan secara adat yang melalui deretan-deretan


kegiatan sebagai berikut :

1. Mappuce’ puce’ atau akkusissing ialah kunjungan dari keluarga si laki-laki


kepada keluarga perempuan untuk memeriksa kemungkinan apakan
peminangan dapat dilakukan. Kalau kemungkinan itu tampak ada, maka di
adakan.
2. Massuro atau Assuro yang merupakan kunjungan dari utusan pihak laki-laki
kepada keluarga pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,
jenis Sunreng atau mas-kawinnya, balanja (belanja perkawinan),
penyelenggaraan pestanya dan sebagainya.
3. Madduppa (ammuntuli), ialah pemberian kabar kepada semua kaum kerabat
mengenai perkawinan yang akan datang.
4. Mappaenre’ balanja (appanai’leko) ialah prosesi dimana mempelai laki-laki
disertai rombongan dari seluruh kaum kerabatnya dengan membawa macam-
macam makanan, pakaian Wanita, dan maskawin. Sesampai di rumah
mempelai Wanita maka akan dilangsungkan acara pernikahan.
5. Aggaukeng (Pa’gaukang) adalah prosesi pesta perkawinan, pada pesta itu para
tamu yang diluar di undang memberi kado atau uang sebagai sumbangan atau
disebut soloreng.

Beberapa hari sesudah hari pernikahan, penganten baru mengunjungi


keluarga si suami dan tinggal beberapa lama di sana. Dan kemudian ada kunjungan
ke keluarga isteri pengantin baru juga harus tinggal untuk beberapa lama di rumah
keluarga itu. Barulah mereka dapat menempati rumah mereka sendiri sebagai
nalaoanni alena (naentengammi kalenna) hal itu berarti mereka sudah membentuk
rumah tangga sendiri.

18
Perkawinan yang tidak dilakukan menurut adat disebut silariang, maksud
dari silariang dalam hal ini laki-laki membawa membawa lari si gadis, silariang ini
biasa terjadi karena hal pinangan laki-laki ini ditolak oleh pihak keluarga
perempuan atau karena belanja perkawinan yang amat tinggi diberikan oleh
keluarga pihak perempuan sehingga tidak bisa di jangkau oleh pihak laki-laki yang
ingin meminang. Dalam hal ini termasuk penolakan pinangan secara halus.

Para kerabat atau keluarga dari perempuan ini yang tidak setuju dengan
silariang ini disebut tomasiri’ (orang yang malu), maksudnya keluarga dari pihak
perempuan malu akan perbuatan silariang ini. Dan biasanya bila kerabat atau
keluarga dari pihak perempuan menemukan laki-laki yang membawa lari anak
perempuannya akan dibunuh. Dalam keadaan silariang ini laki-laki biasanya
bersembunyi selama berbulan-bulan lamanya, si laki-laki kemudian akan berusaha
meminta perlindungan kepada tokoh-tokoh masyarakat atau seseoang terkemuka di
kalangan masyarakat. Apabila seorang yang terkemuka ini sudi akan menggunakan
kewibawaanya untuk meredakan amarah dari keluarga pihak perempuan dan
menyarankan mereka untuk menerima baik Kembali kedua mempelai baru itu
sebagai kerabat. Kalau memang ada tanda-tanda yang memungkinkan keluarga
perempuan ini menerima mereka dengan baik maka keluarga dari pihak laki-laki
akan akan mengambil inisiatif untuk mengunjungi keluarga si gadis. Penerimaan
pihak keluarga perempuan untuk untuk berbaik kembali disebut madeceng atau
mabbaji.

J. Religi Suku Bugis-Makassarr


Pranata-pranata dan hukum Islam, orang Bugis-Makassar disebut dengan
nama sara’, sara’ ini adalah satu unsur bagian dari aturan-aturan adat yang keramat
dan sakral yang keseluruhannya disebut pangaderreng. Sara’ ini yang menjadi
pelengkap dari lima sistem adat yang dikeramatkan oleh orang Bugis-Makassar

19
yang di antaranya adalah : yang pertama Ade’ ( ada’ dalam bahasa Makassar), yang
kedua Bicara, ketiga Rapang, ke empat wari’, dan yang kelima sara’.

Religi orang Bugis Makassar dalam zaman pra-islam, seperti yang tampak
dari Sure’ Galigo, Orang Bugis-Makasar telah mengandung kepercayaan kepada
satu dewa yang tunggal, dan disebut dengan beberapa nama seperti : Patoto’e ( Dia
yang menentukan nasib), Dewata seuwa-e (Dewa yang tunggal), Turie a’rana
(kehendak yang tertinggi). Sisa-sisa kepercayaan lama seperti ini masih terlihat
jelas misalnya pada orang To lotang di kabupaten Sidenreng-Rapang dan pada
orang Amma-Towa kajang, kabupaten Bulukumba.

Agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, maka
ajaran tauhid dalam Islam, mudah dipahami oleh penduduk penduduk yang telah
percaya kepada kepada dewa yang tunggal dalam La Galigo. Agama Islam dapat
mudah diterima dan prosesnya berlangsung cepat oleh karena kontak terus-menerus
dengan pedagang-pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar,
maupun dengan kunjungan-kunjungan orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain
yang sudah menganut Agama Islam.

Hukum Islam atau Syari’ah di integrasikan ke dalam pangaderreng dan


menjadi sara’ sebagai suatu unsur pokok darinya dan menjiwai keseluruhannya.
Unsur-unsur dari kepercayaan lama seperti seperti pemujaan dan upacara bersaji
kepada ruh nenek moyang atau attoriolong, pemeliharaan tempat keramat atau
saukung, upacara turun ke sawah, upacara mendirikan dan meresmikan rumah dan
sebagainya, semuanya di jiwai oleh konsep-konsep dari Agama Islam. Saat zaman
kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar itu menjadi swapraja-swapraja (Zefibesturende
Landschappen) di bawah kekuasaan Hindia-Belanda, sara’ itu disusun menurut
organisasi ade’ dan berkembanglah pembagian lapangan yang di mana sara’
mengatur kehidupan kerohanian dan ade’ mengatur kehidupan ke duniawian dan
politik dari negara. Demikian dalam tiap-tiap negara swapraja diadakan seoerang
pejabat sara’ tertinggi disebut kadhi.

K. Kesenian Suku Bugis Makassar

20
1. Tari Paduppa Bosara
Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa
orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang
dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedtangan tamu senantisa
menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
2. Tari Pakarena
Tari Pakarena Merupakan tarian khas Sulawesi Selatan, Nama Pakarena
sendiri di ambil dari bahasa setempat, yaitu karena yang artinya main.
Tarian ini pada awalnya hanya dipertunjukkan di istana kerajaan, namun
dalam perkembangannya tari Pakarena lebih memasyarakat di kalangan
rakyat.

Tari Pakarena memberikan kesan kelembutan. Hal tersebut mencerminkan


watak perempuan yang lembut, sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-
laki terutama pada suami. Sepanjang Pertunjukan Tari Pakarena selalu
diiringi dengan gerakan lembut para penarinya sehingga menyulitkan bagi
masyarakat awam untuk mengadakan babak pada tarian tersebut.
3. Tari Ma’badong
Tari Ma’badong hanya diadakan pada saat upacara kematian. Penari
membuat lingkaran dengan mengaitkan jari-jari kelingking, Penarinya bisa
pria atau bisa wanita. Mereka biasanya berpakaian serba hitam, namun
terkadang memakai pakaian bebas karena tarian ini terbuka untuk
umum.Tarian yang hanya diadakan pada upacara kematian ini hanya
dilakukan dengan gerakan langkah yang silih berganti sambil
melangtungkan lagu kadong badong. Lagu tersebut syairnya berisikan
riwayat manusia malai dari lahir hingga mati, agar arwah si Mati diterima
di negeri arwah atau alam baka. Tarian Badong bisanya belansung berjam-
jam, sering juga berlansung semalam suntuk.Tarian Ma’badong bisanya
dibawakan hanya pada upacara pemakaman yang lamanya tiga hari tiga
malam khusus bagi kaum bangsawan di daerah Tana Toraja Sulawesi
Selatan.

21
4. Tari Pa’gellu

Tari Pagellu merupakan salah satu tarian dari Tana Toraja yang di pentaskan
pada acara pesta tambu Tuka, Tarian ini juga dapat ditampilkan untuk
menyambut patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan
membawa kegembiraan.

5. Tari Mabissu

Tari Mabissu merupakan tarian bissu yang biasanya dipertunjukkan ketika


upacara adat. Para penarinya bissu (orang yang kebal) yang selalu
mempertontokan kesaktian mereka dalam bentuk tarian komunitas bissu
bisa kita jumpai didaerah pangkep sigeri sulawesi selatan.

6. Ganrang Bulo

Gandrang Bulo merupakan sebuah pertunjukan musik dengan perpaduan


tari dan tutur kata. Nama Gandrang bulo sendiri diambil dari perpaduan dua
suku kata, yaitu gendang dan bulo, dan jika disatukan berarti gendang dari
bambu. Ganrang Bulo merupakan pertunjukan kesenian yang
mengungkapkan kritikan dan dikemas dalam bentuk lelucon atau banyolan.

7. Kecapi

Kecapi Merupakan sala satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan,
khusunya suku Bugis. Baik itu Bugis Makassar ataupun Bugis Mandar.
Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut
sehingga betuknya menyerupai perahu. Kecapi, biasanya ditampilkan
sebagai musik pengiring pada acara penjemputan para tamu pada pesta
perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.

8. Gendang

Gendang merupakan sala satu alat musik perkusi yang mempunyai dua
bentuk dasar, yakni bulat panjang dan bundar mirip seperti rebana.

22
9. Suling

Suling bamboo terdiri dari tiga jenis yaitu :

a. Suling Panjang (Suling Lampe) yang memiliki lima lubang nada dan jenis
suling ini telah punah.
b. Suling calabai (suling ponco) suling jenis ini sering dipadukan dengan
biola, kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
c. Suling dupa Samping (musik bambu) musik bambu masih sangat
terpelihara biasanya digunakan pada acara karnaval atau acara penjemputan
tamu.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebudayaan Bugis Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis
Makassar yang mendiami bagian terbesar dari Jazirah selatan dari Pulau Sulawesi.
Seacara garis besar penduduk provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku
bangsa yaitu suku bugis, suku Makssar, Suku, Toraja Dan suku
Mandar.Kebudayaan Bugis Makassar dari segi Kependudukan mendiami
Kabupaten-Kabupaten diataranya adalah Sinjai, Bone,soppeng,Wajo,Sidenreng-
Rappang,Pinrang, Polewali-Mamasa,Enrekang, Luwu,Pare-Pare, Pangkajenne
Kepulauan dan Maros.

Kebudayaan Bugis Makssar juga memliki beberapa kerajaan diantaranya yaitu


kerajaan Bone, kerajaan Makassar, kerajaan Soppeng, kerajaan Luwu dan kerajaan
Wajo.Adapun bahasa orang Bugis adalah Bahasa Ugi,sedangkan orang Makassar
adalah Mangkasara ,Huruf yang dipakai adalah naskah-naskah Bugis Makassar
kuno adalah Aksara Lontara.

23
DAFTAR PUSTAKA
Koenjaraningrat.2004. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
https://manajemen2015uniwidyagama.wordpress.com/2017/03/07/kebudayaan-
suku-bugis-makassar/
Sejarah Suku Bugis, Rumah Adat, Bahasa, Kebudayaan & Kesenian (gurupendidikan.co.id)

Anda mungkin juga menyukai