Anda di halaman 1dari 5

B.

Kedudukan Tasawuf dalam Islam


Mengenai kedudukan Tasawuf dalam Islam, terdapat beberapa pendapat yang mengatakan,
bahwa hal itu tidak termasuk bagian integral dari ajaran Islam, dengan mengemukakan
argumentasi sebagai berikut:
1.      Tidak terdapat satupun kata Tasawuf dan Sufi dalam Al-Qur’an maupun Hadith;
2.      Banyak istilah Tasawuf yang sering digunakan oleh Sufi, tidak ditemukan dalam Al-Qur’an
dan Hadith;
3.      Timbulnya istilah Tasawuf dan Sufi beserta dengan ajarannya, baru dikenal pada abad ketiga
Hijriyah;
4.      Ajaran Tasawuf yang diamalkan oleh orang Islam, mirip dengan ajaran Mistik yang telah
diamalkan oleh umat terdahulu.
Penulis tidak sependapat dengan keterangan di muka, dan tetap menganggap bahwa
Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam, yang sama dengan kedudukan akhlaq, meskipun
dari sisi lain ada perbedaannya.
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-
rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawuf bersifat sunnat.
Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-
amalan yang hukumnya lebih afdal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang memuat kata
Tasawuf atau Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha membukukan
ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain. Upaya Ulama Tasawuf
memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah,
dengan metode peribadatan dan istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari
pengalaman batinnya, yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-
Qur’an dan Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut, didasarkan
pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru” atau “Fadhkuru”.
Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat suatu metode untuk melakukannya
dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada
bedanya dengan akhlaq mulia terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih
tergolong ajaran Akhlaq.
Dan kalau dikatakan lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk kelanjutan dari
ajaran Mistik umat terdahulu, penulis memandang bahwa kemiripannya tidak berarti bahwa
Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat
terdahulu masih dipertahankan oleh Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jual-
beli, sewa-menyewa, pegadaian dan sebagainya.
Untuk melihat hal ini, perlu kita memperhatikan watak ajaran Islam yang berfungsi untuk
melestarikan ajaran maupun tradisi umat terdahulu, meskipun kadang-kadang masih dilakukan
penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Islam yang menggunakannya.
Kemudian watak ajaran Islam yang lain, adalah menggantikan ajaran umat terdahulu
dengan ajaran yang baru, kalau ajaran atau tradisi itu sangat berbahaya terhadap martabat
manusia, merusak kesehatannya, serta mengganggu tatanan masyarakatnya; misalnya larangan
berzina, minum khamar, mencuri dan sebagainya.
Lalu watak ajaran Islam yang lain lagi, adalah menciptakan suatu ajaran baru, yang
sebenarnya tidak pernah ada pada umat terdahulu, dan hal itu merupakan kesempurnaan ajaran
Islam dibandingkan dengan ajaran agama yang mendahuluinya. Maka tidaklah berarti bahwa
ajaran Tasawuf yang mempunyai tradisi sama dengan tradisi mistik, sehingga dianggap bukan
ajaran Islam.
Memang kalau ajaran Tasawuf itu hanya dilihat dari metodenya, yang sering disebut
suluk, tentu tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, karena hal itu
merupakan penetapan ulama Tasawuf, yang barangkali dapat disamakan dengan hasil ijtihad
Fuqaha dalam bidang hukum. Tentu saja hasil ijtihad itu juga tidak ditemukan teksnya secara
nyata dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadith, namun bukan berarti bahwa hal itu berada di luar
ajaran Islam.
Ulama Tasawuf, yang sering juga disebut “Ulama’ al-Muhaqqin” membuat tata cara
peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi beberapa
ayat Al-Qur’an dan Hadith, antara lain berbunyi:
Artinya:
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Q. S. At-Tiin: 4-5.
Artinya:
                Hai orang-orang yang beriman; berdhikirlah (dengan) menyebut (nama) Allah, dhikir
yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbhilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Q. S. Al-
Ahzab: 41-42.
Artinya:
                ……… Sembahlah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya; maka apabila engkau tidak
dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu. H. R. Bukhary Muslim, yang bersumber dari
Abu Hurairah.
            Dalam ayat pertama, diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan sebaik-
baik kejadian, namun karena perbuatan manusia itu sendiri, maka Allah mengembalikannya
kepada tempat yang sangat hina. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh Sufi sebagai neraka. Dan
untuk menghindarinya, maka Sufi membuat tata cara mengabdikan diri kepada Allah, yang
disebut dengan “Suluk”, di mana di dalamnya diwarnai oleh zikir, sebagaimana anjuran dalam
ayat kedua di muka, dengan kalimat “Udhkurullah Dhikran Katsira”… Sehingga Salik (peserta
suluk) dapat mencapai tujuan Tasawufnya, yang disebut Ma’rifah; yaitu suatu pengenalan batin
terhadap Allah, yang disebut dalam hadith di muka, sebagai perkataan pengabdian hamba kepada
Allah, yang seolah-olah dapat melihat-Nya (A’budillah Kannaka Tarahu …).
Keterangan inilah yang memberikan gambaran, bahwa ajaran Tasawuf termasuk ajaran
Islam,yang tercakup dalam sendi Ihsan, yang berfungsi untuk memperkuat pengamalan sendi
Aqidah (Keimanan) dan sendi Shari’ah. Maka sering kita jumpai pembagian Tasawuf menjadi
tiga macam, yaitu:
1.      Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-
masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap
Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan
kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai
kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai
kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat
Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian
melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah
satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut
dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk
mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai
hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
2.      Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia
ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia
Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah),
rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di
samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.       Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;
b.      Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua;
c.       Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai
tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya,
maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan
ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah
atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi
Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh
persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering
mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya
menjadi empat tingkatan:
a.       Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis;
b.      Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa;
c.       Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela;
d.      Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di
luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang
sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan
Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
3.      Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang
akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya
dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
a.       Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga
ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;
b.      Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan
segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c.       Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya.
d.      Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah
berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan;
e.       Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuk-
nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan.
Ini baru sebagian kecil saja akhlaq baik terhadap Tuhan yang kita bicarakan, tetapi
pembicaraan Tasawuf selalu menuju kepada pembahasan yang lebih dalam lagi, yaitu hingga
menelusuri kerahasiaannya. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas
dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan
akhlaq; tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk Tasawuf.
Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan Akhlaq dengan Tasawuf, namun dari sisi lain
dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga
(Ihsan).
Pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya, maka dapat
menghasilkan Tasawuf Aqidah, Tasawuf Ibadah dan Tasawuf Akhlaqi. Tetapi bila ditinjau dari
sisi corak pemikiran atau konsepsi (teori-teori) yang terkandung di dalamnya, maka hal itu bisa
menjadi Tasawuf Salafi, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi.
Dalam Tasawuf Salafi dan Tasawuf Sunni, system peribadatan dan teori-teori yang
digunakannya, sama dengan yang telah dilakukan oleh Ulama-Ulama Salaf, sehingga kadang-
kadang Tasawuf Sunni disebut juga Tasawuf Salafi. Lain halnya dengan Tasawuf Falsafi,
ajarannya sudah dimasuki oleh teori-teori Filsafat; misalnya dipengaruhi oleh Filsafat Yahudi;
Filsafat Kristen dan Filsafat Hindu. Maka tidak sedikit ajarannya yang hampir sama dengan
agama yang mempengaruhinya, terutama konsepsi yang digunakan untuk mendapat hakikat
ketuhanan; dengan istilah “Al-Hulul” (larutnya sifat ketuhanan ke dalam sifat kemanusiaan),
“Al-Ittihad” (leburnya sifat hamba dengan sifat Allah), “Wihdatu al-Wujud” (menyatunya hamba
dengan Allah) dan sebagainya. Dan barangkali inilah yang dimaksudkan oleh orang-orang yang
mengatakan bahwa Tasawuf Islam itu tidak lain, kecuali hanya ajaran Mistik umat-umat
terdahulu, yang telah ditransformasikan oleh Ulama Tasawuf ke dalam Islam. Tetapi tuduhan
itupun dialamatkan pada Tasawuf Sunni dan Salafi, padahal sebenarnya ajaran Tasawuf tersebut
masih konsisten dalam ajaran Islam. Hanya saja, barangkali ada tata caranya yang sudah
dikembangkan oleh Ulama Tarekat pada masa sesudahnya yang akhirnya tidak persis sama
dengan Tasawuf yang telah dipraktekkan oleh Ulama Sahabat dan Tabin di abad pertama dan
kedua Hijriyah. Tentu saja, perkembangannya itu hanya sekedar memenuhi tuntutan zaman yang
dilaluinya, sedangkan prinsipnya tidak bertentangan dengan pengalaman Ulama-Ulama Salaf.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Tasawuf berada pada sendi Ihsan,
yang berfungsi untuk memberi warna yang lebih mendalam bagi sendi Aqidah dan sendi
Syari’ah

Anda mungkin juga menyukai