Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual
beli barang atau jasa dalam negeri oleh wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan, dan
pemerintah. Dalam bahasa Inggris, PPN biasa disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
PPN bersifat objektif, tidak kumulatif, dan termasuk jenis pajak tidak langsung. Dimaksud
tidak langsung artinya pajak tersebut disetorkan oleh pihak lain, dalam hal ini pedagang
bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, konsumen akhir yang menjadi penanggung
Dasar hukum PPN di Indonesia mendapatkan tiga kali perubahan. Perubahan yang terjadi
dilakukan agar lebih sederhana dan adil untuk masyarakat. Saati ini dasar hukum PPN
tercantum pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Apa itu PPN? Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak
badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para
Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen
Akhir.
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan
yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-
Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan
faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
Impor Barang Kena Pajak
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Jasa Kena Pajak (JKP) merupakan setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,
kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk dari
pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN.
Seperti halnya cakupan BKP, pengaturan cakupan JKP dalam UU PPN juga bersifat
“negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh jasa merupakan JKP,
kecuali ditetapkan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN.
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
b. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
2. Barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, susu, daging, sayur, dan lainnya.
5. Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi, pendidikan, dan
sebagainya.
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP di dalam Daerah Pabean,
dan/atau melakukan ekspor BKP (baik BKP Berwujud maupun BKP Tidak Berwujud)
dan/atau JKP, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang.
Pengecualian PKP
Dalam rangka lebih memudahkan pemungutan PPN dan/atau PPnBM yang terutang
atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh rekanan, Pemerintah menunjuk pihak
tertentu untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN yang terutang.
Pihak tertentu tersebut meliputi bendahara pemerintah, badan, atau instansi
pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Proses perhitungan tersebut dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
Harga jual dan penggantian adalah biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan BKP/JKP.
Nilai ekspor dan impor adalah nilai yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
ditambah pungutan kepabeanan dan cukai untuk impor BKP atau semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
3. Nilai lain
Sedangkan nilai lain ini diatur dengan atau berdasarkan PMK hanya untuk menjamin
rasa keadilan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Contoh Kasus:
Pada Oktober 2022, PT AAA menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual
Rp25.000.000 pada PT BBB.
PPN sebesar Rp2.750.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak PT AAA dari PT BBB.
Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdapat beberapa objek yang termuat di dalamnya
seperti PPN dalam sektor ekspor dan impor Barang Kena Pajak (BKP).
Selain itu juga pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) baik dari dalam maupun luar Daerah
Pabean atau Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean maupun
PPN Jasa Luar Negeri.
Selanjutnya, terdapat aturan tentang batasan untuk transaksi Jasa Kena Pajak dari luar negeri
yang diatur dalam pasal 4 Ayat 1 SE-147/PJ/2010, bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
akan dikenakan atas Jasa Luar Negeri dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Penyerahan dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal di luar
Daerah Pabean.
2. Pengenaan Jasa Luar Negeri dapat dilakukan di dalam maupun di luar Daerah Pabean,
selama kegiatan pemanfaatan jasa tidak menyebabkan Orang Pribadi atau Badan yang
bertempat tinggal di luar Daerah Pabean menjadi subjek pajak dalam negeri.
3. Aktivitas pemanfaatan Jasa Luar Negeri dilakukan di dalam Daerah Pabean.
4. Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri dimanfaatkan oleh siapapun dalam Daerah
Pabean.
5. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Jasa Luar Negeri tidak melihat status
penggunanya, baik Orang Pribadi maupun Badan, atau telah menjadi Pengusaha Kena Pajak
(PKP) maupun belum.
Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri bisa terutang, sebab terjadi ketika pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sedang dalam proses pembayaran atau baru saja
dimulai.
Dengan catatan pembayaran tersebut diterima sebelum penyerahan Jasa Luar Negeri.
1. Waktu pemanfaatan jasa merupakan saat dimana Jasa Luar Negeri tersebut digunakan
secara nyata digunakan oleh pihak yang berkepentingan.
2. Jasa Luar Negeri dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya.
3. Terjadi penggantian Jasa Kena Pajak ditagih oleh pihak yang menyerahkan.
4. Harga perolehan Jasa Kena Pajak dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh
pengguna.Ditandatanganinya kontrak dan perjanjian yang telah ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas penggunaan Jasa Luar Negeri
harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
Tarif PPN x jumlah yang seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Jasa Luar
Negeri
Perusahaan BBB memiliki beban untuk membayar jasa tenaga ahli dari Singapura yang telah
memberikan pelatihan pengembangan personality pada perusahaannya.
Harta tenaga ahli tersebut adalah sebesar Rp600.000.000.
Sementara tenaga ahli yang disebutkan meminta jumlah gaji yang diterima harus jumlah
bersih termasuk potongan Pajak Pertambahan Nilai.
Tarif PPN yang digunakan sesuai RUU HPP yang sebesar 11%.
Sehingga dalam hal ini, Sobat Klikpajak dapat menerapkan rumus kedua yaitu 11/100 x
Rp600.000.000, untuk menetapkan jumlah PPN yang menjadi beban dan harus dibayarkan
untuk jasa tenaga kerja ahli tersebut.
Dari perhitungan tersebut, maka PPN atas pembayaran jasa tenaga ahli dari Singapura itu
sebesar Rp66.000.000.
Saat terutangnya PPN adalah ketika transaksi barang/jasa kena pajak dalam tahap seperti
berikut:
1. BKP berwujud diserahkan langsung ke pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas
nama pembeli
2. BKP berwujud/JKP diserahkan langsung ke penerima barang pemberian cuma-
cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan antar cabang
3. BKP berwujud diserahkan ke juru kirim atau pengusaha jasa angkutan (kurir)
4. Penyerahan BKP berwujud berdasarkan hukum dan sifatnya berupa barang tidak
bergerak terjadi saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP berwujud
tersebut
5. Impor BKP yang terjadi saat BKP dimasukkan ke dalam daerah pabean
6. Pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar pabean
7. Perjanjian atau kontrak ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian, atau seluruhnya atas BKP tidak
berwujud/JKP
8. Harga atas penyerahan BKP berwujud atau tidak berwujud/JKP diakui sebagai
piutang atau penghasilan, atau saat diterbitkannya Faktur Penjualan sesuai prinsip
akuntansi yang berlaku umum dan diimplementasikan secara konsisten
PPN masukan dan keluaran merupakan dua istilah yang dikenal dalam jenis pajak PPN.
Fungsinya untuk menghitung seberapa besar PPN yang perlu wajib pajak setorkan ke
pemerintah.
PPN masukan merupakan pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP)
melakukan pembelian atas Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Sedangkan PPN keluaran merupakan pajak yang dikenakan saat PKP melakukan penjualan
terhadap BKP/JKP.
Secara sederhana penghitungan PPN masukan dan keluaran itu ketika PKP
mengkreditkan/mengurangkan pajak masukan dalam satu masa pajak dengan PPN keluaran
dalam masa pajak yang sama.
Jika dalam suatu masa pajak PPN keluaran ternyata lebih besar, maka kelebihan pajak
keluaran tersebut harus disetorkan kepada negara. Namun, jika yang kelebihan adalah PPN
masukannya, maka PKP bisa mendapatkan kompensasi di masa pajak selanjutnya atau PKP
bisa mengajukan restitusi pajak.
Pajak Masukan
Pajak Masukan adalah pajak yang dikenakan saat PKP melakukan pembelian
Bagi PKP yang belum berproduksi, Pajak Masukan diperkenankan untuk dikreditkan
Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar daerah pabean
Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar daerah pabean yang
Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak
Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi
Dalam penerapannya, pajak masukan dan pajak keluaran dijadikan kredit pajak
dalam suatu masa pajak yang sama. Kelebihan pajak keluaran harus disetor ke kas
negara saat kondisi pajak keluaran lebih besar dalam masa pajak. Hal tersebut
berlaku sebaliknya pada pajak masukan, saat pajak masukan lebih besar dari pajak
Berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak. Sebagai bukti pungutan PPN maka PKP
Sebagai pajak objektif, pemungutan PPN ditekankan pada objek yang dikenakan
Saat PKP telah melakukan transaksi jual beli, artinya PKP telah memungut rupiah
yang dihasilkan dari penjualan yang dibeli konsumen dan nantinya dapat berfungsi
sebagai kredit pajak. 3 bulan setelah masa pajak berakhir merupakan batas waktu
sebagai bukti
Pengusaha yang sudah PKP menjual laptop sebanyak 20 unit dengan harga satuannya sebesar
Rp5.000.000. Tentukan besar PPN keluarannya!
Untuk menemukan PPN terutang yang harus Anda setorkan ke kas negara, sebelumnya Anda
harus melakukan pengurangan antara PPN keluaran dan masukan yang dapat dikreditkan.
Hasil dari pengurangan tersebutlah yang harus disetorkan oleh PKP ke kas negara.
Meski pajak masukan ini dapat dikreditkan, namun ada batasan waktu pajak masukan bisa
dikreditkan. Pajak masukan dapat dikreditkan dengan PPN keluaran pada masa pajak yang
sama. Dapat pula dikreditkan pada masa pajak berikutnya, namun selambat-lambatnya dalam
waktu 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak.
Agar Anda bisa lebih memahami mekanisme pengkreditan pajak masukan, mari simak
contohnya sebagai berikut:
Pengusaha yang sudah PKP dalam masa pajak Februari 2016 memiliki komposisi PPN
sebagai berikut ini:
Atas penyerahan BKP, PPN keluaran PKP tersebut sebesar Rp100.000.000. Sedangkan pajak
masukannya sebesar Rp90.000.000.
Baik PPN keluaran dan masukan yang dilakukan oleh PKP ini wajib dituangkan dalam faktur
pajak sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atas penyerahan BKP/JKP.
Mengenal Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
Apa itu Pajak Penjualan Barang Mewah?
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi selain
sedan atau station wagon, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan motor bakar cetus api,
baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari
1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi
selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan motor bakar
nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak,
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc.
Kendaraan bermotor dengan kabin yang dirancang untuk 2 baris tempat duduk (double cabin)
untuk penumpang melebihi 3 orang tetapi tidak melebihi 6 orang termasuk pengemudi dan
memiliki bak (terbuka atau tertutup) untuk pengangkutan barang, dengan motor bakar cetus
api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak,
dengan sistem 1 gardan penggerak atau dengan sistem 2 gardan penggerak, untuk semua
kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 ton.
3. Tarif PPnBM sebesar 30% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi,
dengan motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak,
dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc untuk sedan atau station wagon dan
kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak.
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi,
dengan motor bakar nyala kompresi, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak,
dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc untuk sedan atau station wagon dan
kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2 gardan penggerak.
4. Tarif PPnBM sebesar 40% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi
selain sedan ataustation wagon, dengan motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan
motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 gardan penggerak, dengan kapasitas isi silinder
lebih dari 2.500 cc sampai dengan 3.000 cc.
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi
dengan motor bakar cetus api, baik yang dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak,
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan kapasitas 3.000 cc, untuk
sedan atau station wagon dan kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem 2
gardan penggerak.
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 orang termasuk pengemudi
dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik yang dilengkapi dengan motor
listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc,
untuk sedan atau station wagon dan kendaraan selain sedan atau station wagon dengan sistem
2 gardan penggerak.
5. Tarif PPnBM sebesar 50% diberlakukan bagi seluruh kendaraan yang penggunaannya
dikhususkan untuk golf.
Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan
500 cc, yakni sepeda motor (termasuk moped) dan sepeda yang dilengkapi dengan motor
tambahan, dengan atau tanpa kereta pasangan sisi, termasuk kereta pasangan sisi.
Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, digunung, dan
kendaraan semacam itu.
7. Tarif PPnBM 125% diberlakukan untuk kelompok sebagai berikut:
Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 orang termasuk pengemudi, dengan
motor bakar cetus api, dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 3.000 cc yang terdiri dari sedan atau station wagon, selain sedan atau
station wagon dengan sistem 1 gardan penggerak dan dengan sistem 2 gardan penggerak.
Kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi,
dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik
maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc yang terdiri dari, sedan atau
station wagon, selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 gardan penggerak dan dengan
sistem 2 gardan penggerak.
Kendaraan bermotor roda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc yang terdiri dari,
sepeda motor (termasuk moped) dan sepeda yang dilengkapi dengan motor tambahan, dengan
atau tanpa kereta pasangan sisi, termasuk kereta pasangan sisi.
Trailer atau semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
1. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 20% diberlakukan pada:
Rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau
lebih.
Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga jual
sebesar Rp 10 miliar atau lebih.
2. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 40% diberlakukan pada:
Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa
tenaga penggerak.
Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara, yang
terdiri dari peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
3. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 50% diberlakukan pada:
Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga yang
terdiri dari helokopter, pesawat udara dan kendaraan udara lainnya, selain helikopter.
Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara yang terdiri
dari senjata artileri, revolver dan pistol, senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol)
dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.
4. Tarif PPnBM untuk non kendaraan bermotor sebesar 75% diberlakukan pada:
Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam yang dirancang untuk pengangkutan
orang, kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya
dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah tersebut adalah:
o Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
o PPN = 10% x Rp5.000.000,00
= Rp500.000,00
o PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp1.000.000,00
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian
dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM
dengan tarif misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak
dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan
ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai
biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN
dan PPn BM yang terutang adalah :
o Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
o PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
o c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak
masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak
keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat
dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.