Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN

REKAYASA LALU LINTAS

“SURVEI SIMPANG BERSINYAL”

DOSEN PEMBIMBING :
Rully Angraeni Safitri, S.Pd., M.Eng
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
1722201053 Ahmad Ibriyan Fernando
1922201039 Rizky Muhammad Fajri
1922201064 Dini Octaviani
1922201060 Alfin Yudhistira Septyana
1922201077 Abdul Yahar

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada kami untuk
menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Laporan survey simpang bersinyal” tepat waktu.
Laporan ini disusun guna memenuhi tugas dari dosen Mata Kuliah Rekayasa Lalu Lintas Ibu
Rully Anggraeni Safitri S.Pd., M.Eng pada bidang Teknik Sipil di Universitas Muhammadiyah
Tangerang. Selain itu, kami juga berharap agar laporan ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
terkait sistem Rekayasa Lalu Lintas dan cara melakukan survey simpang bersinyal.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Rully Anggraeni Safitri S.Pd.,
M.Eng. selaku dosen mata kuliah Rekayasa Lalu Lintas. Semoga tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni kami. Dan tak lupa pula
kami ucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan laporan ini.
Kami menyadari laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan laporan ini.

Tangerang, 20 Agustus 2021

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................1
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................vi
DAFTAR TABEL..............................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
2.1 Pengertian Simpang................................................................................3
2.2 Pengaturan Simpang...............................................................................4
2.3 Pola Pergerakan dan Konflik-konflik pada Simpang..............................4
2.4 Pengendalian Lampu Lalu Lintas...........................................................6
2.5 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL).............................................7
2.6 Waktu Antar Hijau..................................................................................8
2.7 Waktu Hilang..........................................................................................8
2.8 Fase Sinyal............................................................................................10
2.9 Tipe Pendekat.......................................................................................11
2.10 Lebar Pendekat Efektif.........................................................................12
2.11 Arus Jenuh............................................................................................13
2.11.1 Arus Jenuh Dasar (So)......................................................................13
2.11.2 Arus Jenuh Nyata (S).......................................................................14
2.11.3 Faktor-faktor Penyesuaian (F)..........................................................14
2.12 Rasio Arus (FR).........................................................................................16
2.13 Waktu Siklus dan Waktu Hijau............................................................17
2.13.1 Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian (cua)..............................................17
2.13.2 Waktu Hijau (g)................................................................................17
2.13.3 Waktu Siklus yang Disesuaikan (c)..................................................18
2.14 Kinerja Simpang...................................................................................18
2.14.1 Kapasitas Simpang (C).....................................................................18
2.14.2 Derajat Kejenuhan (DS)...................................................................19
2.14.3 Panjang Antrian (NQ)......................................................................19
2.14.4 Kendaraan Terhenti (NS).................................................................20
2.14.5 Tundaan (Delay)...............................................................................20
2.15 Tingkat Pelayanan Simpang.................................................................22
2.16 Prosedur Perhitungan Berdasarkan MKJI.............................................23
BAB III ANALISA DATA LAPANGAN.........................................................25
3.1 Survei bersinyal....................................................................................25
3.2 Peralatan yang di butuhkan...................................................................26
3.3 Pengumpulan data.................................................................................26
3.4 Analisis kerja simpang tak bersinyal....................................................27
3.5 Prosedur pengolahan data.....................................................................27

iv
3.6 Metodologi perhitungan simpang bersinyal..........................................27
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN.................................................................35
5.1 Simpulan...............................................................................................35
5.2 Saran.....................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................36
LAMPIRAN A PETA, LAYOUT DAN POTONGAN SIMPANG.................37
LAMPIRAN B FORMULIR, DATA HASIL SURVEI DAN ANALISIS.......41
LAMPIRAN C DOKUMENTASI....................................................................48

v
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Tangerang merupakan kota yang terletak di Tatar Pasundan Provinsi


Banten. Kota ini terletak tepat di sebelah barat ibu kota Indonesia, Jakarta.
Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di
kawasan Jabodetabek setelah Jakarta dan Bogor. Selain itu Kepolisian di kota ini
juga setara dengan Jakarta, Bekasi, Depok dan Tangerang Selatan. Kota
Tangerang terletak di wilayah barat laut Provinsi Banten dan berada di sisi utara
Pulau Jawa. Secara astronomis, kota ini terletak 106°33'–106°44' Bujur Timur
(BT) dan 6°05'–6°15 Lintang Selatan (LS). Kota Tangerang mempunyai luas
sebesar ±153,9 km². Kota ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang di sebelah
Barat dan Utara, dengan Kota Tangerang Selatan di sisi Selatan, dan dengan DKI
Jakarta di sebelah Timur. Kota Tangerang dilintasi oleh salah satu sungai terbesar
di barat Pulau Jawa yaitu Sungai Cisadane. Sungai ini merupakan bagian dari
identitas Kota Tangerang yang tak dapat dipisahkan. Hulu sungai ini terletak di
lereng Gunung Salak dan Gunung Pangrango, Bogor.
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memiliki peranan sangat
penting dalam sektor perhubungan darat, yang mendukung kesinambungan
distribusi barang dan jasa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi disuatu
daerah. Pembangunan di perkotaan adalah salah satu cermin dari pertumbuhan
ekonomi yang didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai, sehingga
pembangunan dapat dilaksanakan dengan aman, efisien dan tepat waktu. Kondisi
jalan yang dilalui oleh volume lalu lintas yang tinggi dan berulang-ulang, dapat
menurunkan kualitas dari permukaan jalan tersebut, sehingga menjadi tidak
nyaman dan tidak aman untuk dilalui.

Lalu lintas merupakan masalah penting karena lalu lintas adalah sarana
untuk bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Apabila lalu lintas terganggu
atau terjadikemacetan, maka mobilitas masyarakat juga akan mengalami
gangguan. Gangguan ini dapat menyebabkan pemborosan bahan bakar,
pemborosan waktu dan dapat mengakibatkan polusi udara. Masalah lalu lintas
merupakan masalah yang sangat penting, karena masalah ini adalah masalah sulit
yang harus dipecahkan bersama. Apabila masalah lalu lintas tidak terpecahkan,

sg
maka masyarakat sendiri yang akan menanggung kerugiannya, dan apabila
masalah ini dapat terpecahkan dengan baik, maka masyarakat sendiri yang akan
mengambil manfaatnya.
Survei yang dilakukan untuk memenuhi tugas Rekayasa Lalu Lintas
Semester 4 Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Tangerang ini antara lain;
Survei simpang bersinyal bersinyal

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya, maka
pokok permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambar denah dan potongan simpang bersinyal Gatsu -
Supratman ?
2. Bagaimanakah fluktuasi arus lalu lintas pada setiap kaki simpang ?
3. Bagaimanakah diagram waktu siklus simpang tersebut ?
4. Kapankah terjadinya jam puncak pada simpang tersebut ?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian dalam penulisan tugas akhir ini adalah:
1. Membuat gambar denah dan simpang JL. Kh. Ahmad Dahlan.
2. Membuat fluktuasi arus lalu lintas setiap kaki simpang.
3. Membuat gambar diagram waktu siklus simpang tersebut.
4. Mengetahui jam puncak pada simpang tersebut.

sg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Simpang

Simpang adalah bagian terpenting dari sistem jaringan jalan, yang secara
umum kapasitas Simpang dapat dikontrol dengan mengendalikan volume lalu
lintas dalam sistem jaringan jalan. Simpang adalah pertemuan antara dua jalan
atau lebih, baik sebidang maupun tak sebidang atau titik jaringan jalan dimana
jalan-jalan bertemu dan lintasan kendaraan saling berpotongan (Morlok, 1991).
Simpang merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam menentukan
kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya di daerah-
daerah perkotaan. Namun, Simpang merupakan tempat yang rawan terhadap
kecelakaan karena terjadinya konflik antara kendaraan dengan kendaraan
lainnya ataupun antara kendaraan dengan pejalan kaki. Masalah-masalah yang
saling terkait pada Simpang adalah:
1. Volume dan kapasitas (secara langsung mempengaruhi hambatan)
2. Desain geometri dan kebebasan pandang
3. Perilaku lalu lintas dan panjang antrian
4. Kecepatan
5. Pengaturan lampu jalan
6. Kecelakaan dan keselamatan
7. Parkir
Pada Simpang umumnya terdapat empat macam pola dasar pergerakan
lalu lintas kendaraan yang berpotensi menimbulkan konflik, yaitu: Merging
(bergabung dengan jalan utama), Diverging (berpisah arah dari jalan utama),
Weaving (terjadi perpindahan jalur/jalinan), dan Crossing (terjadi perpotongan
dengan kendaraan lain) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.2 Jenis-jenis pergerakan


Sumber : Departemen P.U. (1997)

Simpang jalan terdiri dari dua kategori utama yaitu Simpang sebidang
dan Simpang tak sebidang (Saodang, 2004).
a. Simpang sebidang (At Grade Intersection)
Yaitu pertemuan dua atau lebih jalan raya dalam satu bidang yang
mempunyai elevasi yang sama. Simpang jalan pada pertemuan sebidang
ini sangat potensial untuk menjadi :
1. Titik pusat konflik lalu lintas, yang saling bertemu
2. Penyebab kemacetan, akibat perubahan kapasitas
3. Tempat terjadinya kecelakaan
4. Konsentrasi kendaraan dan penyebrang jalan
b. Simpang tak sebidang (Grade Separated Intersection)
Yaitu Simpang dimana jalan yang satu dengan yang lainnya tidak saling
bertemu dalam satu bidang dan mempunyai beda tinggi antara
keduanya. Tujuan dari pembangunan simpang tidak sebidang ini adalah
untuk menghilangkan konflik dan mengurangi volume lalu lintas yang
menggunakan daerah yang digunakan secara bersama-sama (shared
area), mengurangi hambatan, memperbesar kapasitas, menambah
keamanan dan kenyamanan.

2.2 Pengaturan Simpang


Pengaturan simpang dilihat dari segi pandang untuk kontrol kendaraan
dapat dibedakan menjadi dua (Morlok, 1991) yaitu :
1. Simpang tanpa sinyal, dimana pengemudi kendaraan sendiri yang
harus memutuskan apakah aman untuk memasuki Simpang itu.
2. Simpang dengan sinyal, dimana Simpang itu diatur sesuai sistem
dengan tiga aspek lampu yaitu merah, kuning dan hijau.
Kriteria bahwa suatu Simpang sudah harus dipasang alat pemberi isyarat
lalu lintas (APILL) adalah:
a. Arus minimal lalu lintas yang menggunakan Simpang rata-rata diatas
750 kendaraan/jam, terjadi secara kontinu 8 jam sehari.
b. Waktu tunggu atau hambatan rata-rata kendaraan di Simpang melampaui
30 detik.
c. Simpang digunakan oleh rata-rata lebih dari 175 pejalan kaki/jam, terjadi
secara kontinu 8 jam sehari.
d. Sering terjadi kecelakaan pada Simpang yang bersangkutan.
e. Pada daerah yang bersangkutan dipasang suatu sistem pengendalian lalu
lintas terpadu (Area Traffic Control/ATCS), sehingga setiap Simpang
yang termasuk didalam daerah yang bersangkutan harus dikendalikan
dengan alat pemberi isyarat lalu lintas.
f. Atau merupakan kombinasi dari sebab-sebab tersebut diatas.
Syarat-syarat yang disebut diatas tidak baku dan dapat disesuaikan
dengan situasi dan kondisi setempat. Pada umumnya sinyal lalu lintas
dipergunakan untuk satu atau lebih dari alasan berikut (Departemen P.U.,
1997):
a. Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik lalu lintas,
sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan,
bahkan selama kondisi lalu lintas jam puncak.
b. Untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan pejalan kaki dari
jalan minor memotong jalan mayor.
c. Untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara
kendaraan-kendaraan dari arah yang berlawanan.

2.3 Pola Pergerakan dan Konflik-konflik pada Simpang


Tujuan utama perencanaan simpang adalah mengurangi konflik antara
kendaraan bermotor serta tidak bermotor dan penyediaan fasilitas yang
memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan terhadap pemakai jalan
yang melalui Simpang. Terdapat beberapa cara untuk mengurangi konflik
pergerakan lalu lintas pada suatu Simpang, yaitu
1. Solusi time-sharing
Solusi ini melibatkan pengaturan penggunaan badan jalan untuk
masing-masing arah pergerakan lalu lintas pada setiap periode tertentu.
Contohnya adalah pengaturan siklus pergerakan lalu lintas (Gambar 2.2)
pada Simpang dengan lampu lalu lintas/signalized intersection
(Departemen P.U., 1997).

Gambar 2.2 Contoh siklus pergerakan lalu lintas pada Simpang bersinyal
Sumber: Departemen P.U. (1997)

2. Solusi space-sharing
Prinsip dari solusi jenis ini adalah dengan merubah konflik pergerakan
dari crossing menjadi jalinan atau weaving (kombinasi diverging dan
merging). Contohnya adalah bundaran lalu lintas (roundabout) seperti
pada Gambar 2.3. Prinsip roundabout ini juga bisa diterapkan pada
jaringan jalan yaitu dengan menerapkan larangan belok kanan pada
Simpang. Dengan adanya larangan belok kanan di suatu Simpang, maka
konflik di Simpang dapat dikurangi. Untuk itu, sistem jaringan jalan
harus mampu menampung kebutuhan pengendara yang hendak belok
kanan, yakni dengan melewatkan kendaraan melalui jalan alternatif yang
pada akhirnya menuju pada arah yang dikehendaki (Gambar 2.3). Prinsip
ini dikenal dengan istilah rerouting.

Gambar 2.3 Prinsip rerouting pada jaringan jalan


Sumber: Departemen P.U. (1997)

Karakteristik Simpang bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai


berikut (Departemen P.U., 1997):
a. Untuk memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang
saling berpotongan dalam pembagian waktu. Hal ini adalah keperluan
mutlak bagi gerakan-gerakan lalu lintas yang datang dari jalan-jalan
yang saling berpotongan (konflik utama).
b. Memisahkan gerakan membelok dari lalu lintas lurus melawan atau
memisahkan gerakan lalu lintas membelok dari pejalan kaki yang
menyebrang (konflik kedua).
Untuk lebih jelasnya data dilihat pada Gambar 2.4 dibawah ini:
Gambar 2.4 Titik konflik utama dan kedua pada Simpang empat lengan
Sumber: Departemen P.U. (1997)

Jika hanya konflik-konflik utama yang dipisahkan, maka kemungkinan


untuk mengatur sinyal lampu lalu lintas hanya dengan dua fase. Masing-
masing sebuah untuk jalan yang berpotongan, metode ini selalu dapat
diterapkan jika gerakan belok kanan dalam suatu Simpang tidak dilarang, karena
pengaturan dua fase memberikan kapasitas tertinggi dalam beberapa kejadian.
Maka pengaturan tersebut disarankan sebagai dasar dalam kebanyakan analisa
lalu lintas.
Jika pertimbangan keselamatan lalu lintas atau pembatasan kapasitas
memerlukan pemisahan satu atau lebih gerakan belok kanan, maka banyaknya
fase harus ditambah. Penggunaan lebih dari dua fase biasanya akan menambah
waktu siklus rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antara fase. Namun
hal ini memberikan suatu keuntungan dari sisi keselamatan lalu lintas pada
umumnya, bukan berarti bahwa kapasitas seluruh dari simpang tersebut akan
berkurang.
Berangkatnya arus bolak-balik selama waktu hijau sangat dipengaruhi
oleh rencana fase yang memperhatikan gerakan belok kanan. Jika arus belok
kanan dari suatu pendekat yang ditinjau dan atau dari arah berlawanan terjadi
dalam fase yang sama dengan arus berangkat lurus dan belok kiri dari
pendekat tersebut, maka arus berangkat tersebut dianggap sebagai terlawan. Jika
tidak ada arus belok kanan dari pendekat tersebut, dan jika arus belok kanan
diberangkatkan ketika lalu lintas dari arah berlawan sedang menghadapi merah,
maka arus tersebut dianggap sebagai terlindung.
Sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu lintas adalah
fungsi dari keadaan geometri dan tuntutan lalu lintas. Dengan menggunakan
sinyal, perancang dapat mendistribusikan kapasitas jalan kepada berbagai
pendekat melalui alokasi waktu hijau pada tiap pendekat. Sehingga untuk
menghitung kapasitas dan perilaku lalu lintas, pertama-tama perlu ditentukan
fase dan waktu sinyal yang paling sesuai dengan kondisi yang ditinjau.

2.4 Pengendalian Lampu Lalu Lintas


Konflik antara arus lalu lintas dikendalikan dengan isyarat lampu.
Konflik juga dapat dihilangkan dengan melepaskan hanya satu arus lalu lintas,
tetapi akan mengakibatkan hambatan yang besar bagi arus pejalan kaki
Simpang dan secara keseluruhan mengakibatkan penggunaan Simpang tidak
efektif. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan untuk mengalirkan beberapa arus
secara bersamaan untuk mempertinggi efisiensi penggunaan Simpang dengan
tidak mengurangi pada aspek keselamatan.
Pengendalian alat pemeberi isyarat lalu lintas dapat dilakukan dengan
cara- cara sebagai berikut (Departemen P.U., 1997):
1. Waktu tetap
Alat pemberi isyarat lalu lintas dikendalikan berdasarkan waktu yang
telah ditetapkan lebih dahulu, berdasarkan hasil survei sebelumnya.
2. Dipengaruhi oleh arus lalu lintas
Pengendaliannya dipengaruhi oleh arus lalu lintas sehingga penggunaan
Simpang menjadi lebih efektif dan waktu tunggu yang lebih pendek.
3. Koordinasi antar alat pemberi isyarat lalu lintas
Hal ini terjadi pada Simpang yang berdekatan sehingga alat pemberi
isyarat lalu lintas akan sangat bermanfaat bila lalu lintas pada Simpang
tersebut dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga hambatan total pada
semua Simpang dapat dikoordinasikan dengan baik.
4. Pengendalian daerah dengan komputer (Area Traffic Control)
Simpang yang dikendalikan dengan computer terjadi pada daerah
Simpang yang luas, sehingga waktu tambahan pada daerah yang
bersangkutan dapat diminimalkan.

2.5 Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL)


Alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) adalah salah satu alat untuk
mengontrol arus lalu lintas disuatu simpang jalan (pertemuan jalan sebidang,
dengan memberikan prioritas bagi masing-masing pergerakan lalu lintas secara
bergantian dalam suatu periode waktu untuk memerintahkan para penegemudi
untuk berhenti atau berjalan. Alat ini menggunakan indikasi lampu hijau, kuning
dan merah. Keberhasilan suatu APILL sebagai alat pengendali Simpang
tergantung dari unsur alat pengatur (controller) yang digunakan yang
merupakan otak (hardware) dari semua program waktu siklus tergantung
kemampuan dari alat pengatur. Alat pengatur pemberi isyarat lalu lintas terbagi
atas alat pengatur waktu tetap (pretimed controller) dan alat pengatur waktu
otomatis (actuated controller). Pada umumnya di Indonesia dan khususnya di
Kota Denpasar menggunakan tipe alat pengatur waktu tetap (pretimed
controller) adalah panjang waktu siklus sudah ditetapkan lebih awal untuk
masing-masing program waktu untuk setiap harinya sebagai input pada alat
pengatur (controller). Alat pengatur waktu tetap dibedakan atas dua jenis, yaitu:

1. Alat pengatur waktu tetap dengan program tunggal (single program)


Alat pengatur adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk
memprogram rencana penyalaan (timing plan) alat pemberi isyarat lalu
lintas (APILL). Alat pengatur waktu tetap dengan program tunggal
(single) ini memiliki kemampuan terbatas yaitu hanya satu program
waktu dalam sehari untuk mengalirkan arus lalu lintas yang bergerak
dari setiap kaki Simpang sangat berubah-ubah setiap jam dalam sehari.
Inilah kelemahan dari alat pengatur ini, dan sangat cocok untuk volume
lalu lintas rendah dan tetap sepanjang hari serta harganya relatif murah.
2. Alat pengatur waktu tetap dengan program banyak (multi program)
Perkembangan terbaru sebagai pengembangan alat pengatur waktu tetap
program tunggal (single) adalah alat pengatur waktu tetap dengan
program banyak (multi). Alat pengatur ini relatif fleksibel walaupun
tidak sebaik alat pengatur waktu otomatis (actuated) memiliki
kemampuan cukup baik, yaitu memiliki program waktu lebih dari 8-10
rencana penyalaan (timing plan) waktu siklus ditambah flashing dalam
sehari dan jumlah fase yang dapat diatur sesuai dengna keinginan.
Rencana penyalaan (timing plan) untuk hari tertentu dan hari khusus
seperti Nyepi dapat diprogramkan.
Lalu lintas pada suatu Simpang yang diatur dengan alat pemeberi isyarat
lalu lintas harus mematuhi aturan yang disampaikan oleh isyarat lampu
tersebut. Keberhasilan dari pengaturan ini dengan alat pemeberi isyarat lalu
lintas ditentukan dengan berkurangnya kecelakaan pada Simpang yang
bersangkutan.

2.6 Waktu Antar Hijau


Waktu antar hijau adalah waktu antara berakhirnya hijau dengan
berawalnya hijau fase berikutnya (Alamsyah, 2005). Maksud dari periode antar
hijau diantara dua fase yang berurutan adalah untuk:
a. Memperingati lalu lintas yang sedang bergerak bahwa fase telah
berakhir.
b. Menjamin agar kendaraan yang terakhir pada fase hijau yang baru saja
diakhiri memperoleh waktu cukup untuk keluar dari daerah konflik
sebelum kendaraan pertama dari fase berikutnya memasuki daerah yang
sama.
Untuk analisa operasional dan perenanaan, disarankan untuk membuat
suatu perhitungan rinci dari waktu pengosongan (merah semua) dan waktu
hilang total. Pada analisa yang dilakukan untuk keperluan perancangan, waktu
antar hijau (kuning+merah semua) dapat dianggap sebagai nilai-nilai normal.
Untuk nilai normal waktu antar hijau dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Nilai normal waktu antar hijau


Ukuran Nilai normal
Lebar jalan rata-rata
simpang waktu antar hijau
Kecil 6-9 m 4 detik/fase
Sedang 10-14 m 5 detik/fase
Besar ≥ 15 m ≥ 6 detik/fase
Sumber: Departemen P.U, (1997)

2.7 Waktu Hilang


Waktu hilang adalah jumlah semua periode antar hijau dalam siklus yang
lengkap (detik). Waktu hilang dapat diperoleh dari beda antara waktu siklus
dengan jumlah waktu hijau dalam semua fase yang berurutan (Departemen P.U.,
1997).
Prosedur untuk perhitungan rinci:
Waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir
setiap fase harus memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis
henti pada akhir sinyal kuning), berangkat dari titik konflik sebelum kedatangan
kendaraan yang datang pertama dari fase berikutnya pada titik yang sama. Jadi
merah semua merupakan fungsi kecepatan dan jarak dari kendaraan yang
berangkat dan yang datang dari garis henti sampai ketitik konflik, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Titik konflik dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan
Sumber: Departemen P.U, (1997)

Titik konflik kritis pada masing-masing fase (i) adalah titik yang
menghasilkan waktu merah semua sebesar:
MERAH SEMUA (2.1)
Dimana:
LEV, LAV : Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk
kendaraan yang berangkat dan datang (m)
lEV : Panjang kendaraan yang berangkat (m)
VEV, VAV : Kecepatan konflik masing-masing untuk kendaraan yang
berangkat dan datang (m/det)
Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV , VAV dan lEV tergantung dari
komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara
berikut dapat dipilih dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan hal ini.
Kecepatan kendaraan yang datang VAV : 10 m/detik (kendaraan bermotor)
Kecepatan kendaraan yang berangkat VEV : 10 m/detik (kendaraan bermotor)
: 3 m/detik (kendaraan tak bermotor)
: 1,2 m/detik (pejalan
kaki) Panjang kendaraan yang berangkat lEV : 5 m (LV atau HV)
: 2 m (MC atau UM)
Perhitungan dilakukan untuk semua gerak lalu lintas yang bersinyal
(tidak termasuk belok kiri jalan terus). Apabila periode merah semua untuk
masing- masing akhir fase telah ditetapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang
dapat
dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau:
LTI = Σ (MERAH SEMUA + KUNING) I = ΣIGi (2.2)
Panjang waktu kuning pada sinyal lalu lintas perkotaan di Indonesia
biasanya adalah 3,0 detik (Departemen P.U., 1997).

2.8 Fase Sinyal


Fase sinyal adalah bagian dari siklus sinyal dengan lampu hijau
disesuaikan bagi kombinasi tertentu dari gerakan lalu lintas (Alamsyah, 2005).
Untuk merencanakan fase sinyal dilakukan berbagai alternatif antara lain:

1. Dua Fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan menggunakan dua fase
tanpa memisahkan arus terlawan, seperi Gambar 2.6 berikut:

Gambar 2.6 Pengaturan dua fase


Sumber: Departemen P.U. (1997)

2. Tiga Fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan tiga fase pergerakan lalu
lintas seperti Gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Pengaturan tiga fase


Sumber: Departemen P.U. (1997)

3. Tiga fase dengan early start


Adalah pengaturan lampu lalu lintas tiga fase dengan start dini pada
salah satu pendekat, agar menaikan kapasitas untuk belok kanan dari
arah ini, seperti pada Gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.8 Pengaturan tiga fase dengan early start


Sumber: Departemen P.U. (1997)
4. Tiga Fase dengan Early Cut Off
Adalah pengaturan lampu lalu lintas tiga fase dengan memutuskan
lebih awal gerak belok kanan, untuk menaikkan kapasitas untuk gerak
lurus seperti Gambar 2.9 berikut:

Gambar 2.9 Pengaturan tiga fase dengan early cut off


Sumber: Departemen P.U. (1997)

5. Empat Fase
Adalah pengaturan lampu lalu lintas dengan empat fase dengan arus
berangkat dari satu-persatu pendekat pada saatnya masing-masing
seperti Gambar 2.10 berikut:

Gambar 2.10 Pengaturan empat fase


Sumber : Departemen P.U. (1997)

2.9 Tipe Pendekat


Pada simpang dilihat kondisi yang berlaku, apakah simpang termasuk
kondisi terlindung atau terlawan. Jika arus yang berangkat tanpa konflik dengan
lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai
pendekat tipe P (terlindung). Sedangkan jika arus yang berangkat dengan
konflik atau terjadi konflik dengan lalu lintas dari arah yang berlawanan, maka
pendekat tersebut disebut sebagai pendekat tipe O (terlawan). Pada Gambar 2.11
diperlihatkan beberapa jenis konfigurasi pendekat.
Tipe Keterangan Contoh pola-pola pendekat
Pendekat
Terlindung Arus berangkat Jalan satu arah Jalan satu arah Simpang T
P tanpa konflik dengan
lalu lintas dari arah
berlawanan

Jalan dua arah,


gerakan belok kanan terbatas

Jalan dua arah,


fase sinyal terpisah untuk masing-masing arah

Terlawan O Arus berangkat Jalan dua arah, arus berangkat dari arah-arah berlawanan
dengan konflik dalam fase yang sama. Semua belok
dengan lalu lintas kanan tidak terbatas.
dari arah
berlawanan

Gambar 2.11 Penentuan tipe pendekat


Sumber: Departemen P.U. (1997)

2.10 Lebar Pendekat Efektif


Lebar pendekat efektif (We), ditentukan berdasarkan data dari lebar
pendekat (Wa), lebar masuk (Wmasuk) dan lebar keluar (Wkeluar). Untuk semua
pendekat, apabila pergerakan belok kiri langsung (Left Turn On Red)
diperkenankan dan tidak terpengaruh oleh pergerakan lain dalam pendekat
(pergerakan belok kiri langsung dapat melewati antrian kendaraan dengan arah
atau membelok kanan pada saat lampu merah), maka lebar efektif ditentukan
berdasarkan nilai dari :
We = Wmasuk = Wa – WLTOR (2.3)
Jumlah lajur dalam satu kaki Simpang ditentukan dari lebar jalur
efektif (Wce) untuk segmen jalan, sesuai pada Tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 Jumlah lajur
Lebar lajur efektif Wce (m) Jumlah lajur
5,00 – 10,50 2
10,50 – 16,00 4
Sumber: Departemen P.U. (1997)
2.11 Arus Jenuh
Arus jenuh adalah besarnya keberangkatan antrian di dalam suatu
pendekat selama kondisi yang ditentukan (Departemen P.U., 1997). Hubungan
antara waktu hijau efektif dengan besarnya keberangkatan antrian pada suatu
periode hijau jenuh penuh dapat dilihat ada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Model dasar untuk arus jenuh


Sumber: Departemen P.U. (1997)

2.11.1 Arus Jenuh Dasar (So)


Arus jenuh dasar adalah besarnya keberangkatan di antrian dalam
pendekat selama kondisi ideal (smp/jam hijau) (Departemen P.U., 1997). Untuk
perhitungan arus jenuh dasar didasari dari jenis tipe pendekat yaitu:

a. Pendekat Terlindung (P)


Adalah arus berangkat tanpa konflik dengan arus lalu lintas yang
berlawanan. Untuk pendekat terlindung, dihitung menggunakan rumus:
So = 600 x We
(2.4)
b. Pendekat Terlawan (O)
Adalah arus berangkat dari pendekat dengan konflik dengan arus lalu
lintas yang berlawanan. Sebagai fungsi dari So adalah lebar pendekat
efektif (We), besarnya arus belok kanan (QRT) dan besar arus belok kanan
terhalang (QRTO).
Gambar 2.13 So untuk pendekat tipe O tanpa lajur belok kanan terpisah
Sumber: Departemen P.U. (1997)

2.11.2 Arus Jenuh Nyata (S)


Arus jenuh nyata ialah hasil perkalian dari arus jenuh dasar untuk
keadaan standar dengan faktor-faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari
kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi ideal yang ditetapkan
sebelumnya (smp/jam hijau) (Departemen P.U., 1997).
(2.5)
Dimana:
S = Arus jenuh nyata (smp/jam).
So = Arus jenuh dasar (smp/jam).
FCS = Faktor koreksi ukuran kota.
FSF = Faktor koreksi hambatan samping.
FG = Faktor koreksi kelandaian.
FP = Faktor koreksi parkir.
FRT = Faktor koreksi belok kanan.
FLT = Faktor koreksi belok kiri.

2.11.3 Faktor-faktor Penyesuaian (F)


Faktor penyesuaian merupakan faktor untuk menyesuaikan nilai ideal ke
nilai sebenarnya dari suatu variabel (Departemen P.U., 1997). Faktor penyesuaian
nilai dasar dan untuk kedua tipe P dan O terdiri dari sebagai berikut :
a. Faktor Ukuran Kota (Fcs)
Faktor ukuran kota adalah ukuran besarnya jumlah penduduk yang
tinggal dalam suatu daerah perkotaan (Departemen P.U., 1997). Untuk
menentukan nilai faktor ukuran kota dapat dilihat dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)
Jumlah penduduk kota Faktor penyesuaian
(juta jiwa) ukuran kota (FCS)
> 3,0 1,05
1,0 – 3,0 1,00
0,5 – 1,0 0,94
0,1 – 0,5 0,83
< 0,1 0,82
Sumber: Departemen P.U. (1997)
b. Faktor Lingkungan atau Hambatan Samping (FSF)
Faktor hambatan samping ialah interaksi antara arus lalu lintas dan
kegiatan di samping jalan yang menyebabkan pengurangan terhadap arus
jenuh di pendekat (Departemen P.U., 1997). Faktor hambatan samping
dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebagai fungsi dari jenis linkungan jalan,
tingkat hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor (KTB) yang
dapat disurvei langsung dilapangan.

Tabel 2.4 Kelas hambatan samping untuk jalan perkotaan


Jumlah
Kelas
berbobot
hambatan
Kode kejadian per Kondisi khusus
samping
200m per jam
(SFC)
(dua sisi)
Sangat Daerah pemukiman; jalan
VL < 100
rendah dengan jalan samping
Daerah pemukiman; beberapa
Rendah L 100 – 299
kendaraan umum, dsb
Daerah industri; beberapa toko
Sedang M 300 – 499
di sisi jalan
Daerah komersil; aktivitas sisi
Tinggi H 500 – 899
jalan tinggi
Daerah komersil dengan
Sangat tinggi VH > 900
aktivitas pasar di samping jalan
Sumber: Departemen P.U. (1997)

Tabel 2.5 Faktor penyesuaian untuk tipe lingkungan jalan, hambatan samping
dan kendaraan tak bermotor (FSF)

Lingkungan Hambatan Rasio Kendaraan Tak Bermotor (KTB)


Tipe fase
jalan samping
0.00 0.05 0.1 0.15 0.2
Terlawan 0.93 0.88 0.84 0.79 0.74 0.7
Tinggi
Terlindung 0.93 0.91 0.88 0.87 0.85 0.81
Komersial Terlawan 0.94 0.89 0.85 0.80 0.75 0.71
Sedang
(COM) Terlindung 0.94 0.92 0.89 0.88 0.86 0.82
Terlawan 0.95 0.90 0.86 0.81 0.76 0.72
Rendah
Terlindung 0.95 0.93 0.90 0.89 0.87 0.83
Terlawan 0.96 0.91 0.86 0.81 0.78 0.72
Tinggi
Terlindung 0.96 0.94 0.92 0.89 0.86 0.84
Pemukiman Terlawan 0.97 0.92 0.87 0.82 0.79 0.73
Sedang
(RES) Terlindung 0.97 0.95 0.93 0.90 0.87 0.85
Terlawan 0.98 0.93 0.88 0.83 0.80 0.74
Rendah
Terlindung 0.98 0.96 0.94 0.91 0.88 0.86
Tinggi/ Terlawan 1.00 0.95 0.9 0.85 0.80 0.75
Akses
Sedang/
Terbatas (RA)
Rendah Terlindung 1.00 0.98 0.95 0.93 0.9 0.88
Sumber : Departemen P.U. (1997)
c. Faktor Jarak Parkir Tepi Jalan (FP)
Faktor jarak parkir tepi jalan dapat disesuaikan dengan rumus sebagai
berikut :
FP = [Lp/3 – (Wa-2) x (Lp/3 – g ) Wa]/g (2.6)
Dimana:
FP = Faktor jarak parkir tepi
jalan Wa = Lebar pendekat (m)
g = Waktu hijau (detik)
Lp = Jarak antara garis henti dan kendaraan yang parkir pertama (m)
d. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)
Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau,
dapat dihitung dnegan rumus:
FRT = 1 + PRT x 0,26 (2.7)
Dimana:
PRT = QRT/Qtotal, Rasio untuk lalu lintas yang berbelok ke kanan
e. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
Faktor koreksi terhadap arus belok kiri pada pendekat yang ditinjau,
dapat dihitung menggunakan rumus:
FLT = 1 – PLT x 0,16 (2.8)
Dimana:
PLT = QLT/Qtotal, Rasio untuk lalu lintas yang berbelok kiri

2.12 Rasio Arus (FR)


Rasio arus (FR) merupakan perbandingan antara arus lalu lintas dan
arus jenuh nyata (S) pada setiap pendekat yang ditinjau. (Departemen P.U.,
1997). Rasio arus dapat dihitung menggunakan rumus:
FR = Q/S (2.9)
Dimana:
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
S = Arus jenuh nyata (smp/jam hijau)
Nilai kritis FRcrit (maksimum) dari rasio arus simpang diperoleh dari
penjumlahan rasio arus kritis dari masing-masing pendekat simpang. Dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
IFR = ∑ (FRcrit) (2.10)
Dari kedua nilai di a t a s maka diperoleh rasio fase (Fase Ratio) FR
untuk tipe fase yaitu:
PR = FRcrit/IFR (2.11)
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Jika nilai FRcrit > 0,8 ini menunjukkan pada pendekat tersebut telah
terjadi kemacetan dan simpang dalam kondisi jenuh.
b. Jika nilai IFR mendekati atau lebih dari 1 maka simpang sudah dalam
keadaan lewat jenuh dan akan dihasilkan waktu siklus yang tinggi
sehingga tundaan rata-rata simpang meningkat.
2.13 Waktu Siklus dan Waktu Hijau
Waktu siklus dan waktu hijau meliputi Waktu Siklus Sebelum
Penyesuaian, Waktu Hijau, dan Waktu Siklus yang Disesuaikan.
2.13.1 Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian (cua)
Waktu siklus adalah waktu untuk urutan lengkap dan indikasi sinyal
(Departemen P.U., 1997). Waktu siklus sebelum penyesuaian (c ua) untuk
pengendalian waktu tetap dapat dihitung menggunakan rumus:
cua = (1,5 x LTI+5)/(1-IFR) (2.12)
Dimana:
cua = Panjang siklus sebelum penyesuaian (detik)
LTI = Jumlah waktu yang hilang setiap siklus
(detik) FR = Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat
pada suatu fase sinyal
IFR = ∑(FRcrit) = Rasio arus simpang = Jumlah FRcrit
dari seluruh fase pada siklus tersebut.
Waktu siklus yang didapat kemudian disesuaikan dengan waktu siklus
yang direkomendasikan seperti Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Pengaturan waktu siklus


Waktu Siklus yang Layak
Tipe Pengaturan
(detik)
2 Fase 40 – 80
3 Fase 50 – 100
4 Fase 80 – 130
Sumber : Departemen P.U. (1997)

Jika waktu siklus lebih rendah dari waktu yang disarankan, akan
menyebabkan kesulitan bagi para pejalan kaki untuk menyebrang jalan. Siklus
yang melebihi 130 detik harus dihindari kecuali pada kasus sangat khusus
(simpang sangat besar). Karena hal itu sering kali menyebabkan kerugian dalam
kapasitas keseluruhan. Jika perhitungan menghasilkan waktu siklus yang jauh
lebih tinggi dari batas yang disarankan, maka hal ini menandakan bahwa
kapasitas dari denah simpang tersebut adalah tidak mencukupi.

2.13.2 Waktu Hijau (g)


Waktu hijau adalah waktu nyala hijau dalam suatu pendekat
(Alamsyah,2005). Perhitungan waktu hijau untuk setiap fase dapat dihitung
dengan rumus:
g (i) = (cua – LTI) x PRi ≥ 10 detik (2.13)
Dimana:
g (i) = Tampilan waktu hijau pada fase i
(detik) cua = Waktu siklus (detik)
LTI = Waktu hilang total persiklus (detik)
PRi = Rasio Fase FRcrit / ∑(FRcrit)
Syarat untuk waktu hijau minimal adalah 10 detik, apabila lebih kecil
dari 10 detik dapat mengakibatkan pelanggaran lampu lalu lintas yang
berlebihan dan kesulitan bagi pejalan kaki untuk menyebrang jalan, dan bila
disesuaikan harus dimasukkan dalam waktu siklus.

2.13.3 Waktu Siklus yang Disesuaikan (c)


Waktu siklus yang disesuaikan (c) dihitung pada waktu hijau yang
diperoleh dan telah dibulatkan dengan waktu hilang. Dinyatakan dengan rumus
sebagai berikut (Departemen P.U.,1997):
c = ∑ g + LTI (2.14)
Dimana:
c = Waktu siklus yang telah disesuaikan (detik)
∑g = Jumlah waktu hijau pada setiap fase (detik) LTI =
Waktu hilang total (detik)

2.14 Kinerja Simpang


Unsur terpenting didalam pengevaluasian kinerja Simpang bersinyal
adalah lampu lalu lintas, kapasitas dan tingkat pelayanan. Sehingga untuk
menjaga agar kinerja Simpang dapat berjalan dengan baik kapasitas dan
tingkat pelayanan perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi operasi daripada
Simpang dengan lampu lalu lintas. Ukuran dari kinerja Simpang dapat
ditentukan berdasarkan panjang antrian, jumlah kendaraan terhenti dan tundaan,
syarat dari perhitungan kinerja simpang adalah: Tundaan ≤ 40 detik/smp,
Tingkat pelayanan ≤ D (TRB., 1994). Ukuran kualitas dari kinerja Simpang
adalah dengan menggunakan variable sebagai berikut (Departemen P.U., 1997):

2.14.1 Kapasitas Simpang (C)


Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan.
Kapasitas simpang dinyatakan dengan rumus:
C = S x g/c (2.15)
Dimana:
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/jam
hijau) g = Waktu hijau (detik)
c = Panjang siklus (detik)
Arus lalu lintas (Q) untuk setiap gerakan (Q LT, QRT, dan QST) dikonversi
dari kendaraan per jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per-jam dengan
menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing
pendekat terlindung dan terlawan.

Tabel 2.7 Konversi kendaraan terhadap satuan mobil penumpang

emp untuk tipe pendekat


Jenis kendaraan
Terlindung Terlawan
Kendaraan Berat (KB) 1,3 1,3
Kendaraan Ringan (KR) 1,0 1,0
Sepeda Motor (SM) 0,2 0,4
Sumber: Departemen P.U. (1997)

2.14.2 Derajat Kejenuhan (DS)


Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio volume (Q) terhadap
kapasitas (C) (Alamsyah, 2005). Rumus untuk menghitung derajat kejenuhan
adalah:
DS = Q/C (2.16)
Dimana:
DS = Derajat kejenuhan.
Q = Total arus aktual
(smp/jam). C = Kapasitas aktual.

2.14.3 Panjang Antrian (NQ)


Panjang antrian adalah banyaknya kendaraan yang berada pada
Simpang tiap jalur saat nyala lampu merah (Departemen P.U., 1997). Parameter
ini digunakan untuk perencanaan pengendalian parkir tepi jalan atau angkutan
umum stop, panjang kebutuhan perlebaran Simpang dan panjang kebutuhan
lebar belok kiri boleh langsung. Rumus untuk menentukan rata-rata panjang
antrian berdasarkan MKJI 1997, adalah:
Untuk derajat kejenuhan (DS) > 0,5

(2.17)

Untuk DS < 0,5 ; NQ1 = 0


Dimana :
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau
sebelumnya. DS = Derajat kejenuhan.
C = Kapasitas (smp/jam)
Jumlah antrian selama fase merah (NQ2):
(2.18)

Dimana :
NQ2 = Jumlah smp yang datang dari fase
merah. GR = Rasio hijau.
c = Waktu siklus (detik).
Qmasuk = Arus lalu lintas yang masuk diluar LTOR
(smp/jam). Jumlah kendaraan antri menjadi :
NQ = NQ1 + NQ2 (2.19)

Maka panjang antrian kendaraan adalah dengan mengalikan NQ max


dengan luas rata – rata yang dipergunakan per smp (10 m 2) kemudian dibagi
dengan lebar masuknya. NQmax didapat dengan menyesuaikan nilai NQ dalam
hal peluang yang diinginkan untuk terjadinya pembebanan lebih P OL (%)
dengan menggunakan Gambar 2.14. Untuk perencanaan disarankan P OL ≤ 5%,
untuk operasi suatu nilai POL = 5 – 10 % mungkin dapat diterima:
QL = (NQmax x 20)/Wmasuk (2.20)

Gambar 2. 14 Perhitungan jumlah antrian NQmax dalam smp


Sumber : Departemen P.U. (1997)

2.14.4 Kendaraan Terhenti (NS)


Angka henti (NS) masing – masing pendekat yang didefinisikan sebagai
jumlah rata – rata kendaraan berhenti per smp, ini termasuk henti berulang
sebelum melewati garis stop Simpang (Departemen P.U., 1997).
Dihitung dengan rumus:
(stop/smp) (2.21)
Dimana:
c = Waktu siklus (detik)
Q = Arus lalu lintas
(smp/jam) Jumlah kendaraan
terhenti (Nsv) :
Nsv = Q x NS (smp/jam) (2.22)
(2.23)

2.14.5 Tundaan (Delay)


Tundaan adalah rata – rata waktu tunggu tiap kendaraan yang masuk
dalam pendekat (Departemen P.U., 1997). Tundaan pada Simpang terdiri dari
2 komponen yaitu tundaan lalu lintas (DT) dan tundaan geometri (DG):
Dj = DTj + DGj (2.24)
Dimana:
Dj = Tundaan rata – rata pendekat j (detik/smp)
DTj = Tundaan lalu lintas rata – rata pendekat j
(detik/smp) DGj = Tundaan geometri rata – rata
pendekatj (detik/smp)

1. Tundaan lalu lintas (DT) yaitu akibat interaksi antar lalu lintas pada
Simpang dengan faktor luar seperti kemacetan pada hilir (pintu keluar)
dan
pengaturan manual oleh polisi, dengan rumus:

(2.25)
Atau
(2.26)

(2.27)
Dimana:
c = Waktu siklus (detik)
C = Kapasitas (smp/jam)
DS = Derajat kejenuhan
GR = Rasio hijau (g/c) (detik)
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya

Gambar 2.15 Penetapan tundaan lalu lintas rata-rata


Sumber: Departemen P.U. (1997)

2. Tundaan geometri (DG) adalah tundaan akibat perlambatan percepatan


pada simpang atau akibat terhenti karena lampu merah
DGj = ( 1 – Psv ) x PT x 6 + ( Psv x 4 ) (2.28)
Atau masukkan DGj rata-rata 6
detik/smp Dimana :
Psv = Rasio kendaraan terhenti pada pendekat
PT = Rasio kendaraan berbelok pada
pendekat
3. Tundaan rata-rata simpang (DI) adalah tundaan rata-rata tiap pendekat
dikalikan dengan rumus tiap pendekat (Q x DI) dibagi dengan arus lalu
lintas total (Qtotal). Dihitung menggunakan rumus :
DI = (Q x DI)/ (Qtotal) (2.29)
Dimana:
Qtotal = Arus lalu lintas yang masuk total termasuk QLTOR (smp/jam)
DI = Tundaan rata-rata simpang (detik/smp)
(Q x DI) = Jumlah Tundaan rata-rata tiap pendekat (detik/smp
2.15 Tingkat Pelayanan Simpang
Tingkat pelayanan Simpang adalah suatu ukuran kuantitatif yang
memberikan gambaran dari pengguna jalan mengenai kondisi lalu lintas aspek
dari tingkat pelayanan dapat berupa kecepatan dan waktu tempuh, kepadatan,
tundaan kenyamanan, keamanan, dan lain - lain (TRB, 1994). Pada analisis
kapasitas didefinisikan enam tingkat pelayanan. Hubungan tundaan (delay)
dengan tingkat pelayanan terbaik A dan tingkat pelayanan F yang terburuk.
Hubungan tundaan (delay) dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian
Simpang, seperti Tabel 2.8 berikut :

Tabel 2.8 Hubungan tundaan dengan tingkat pelayanan


Tingkat pelayanan Tundaan (detik/smp)
A 5,0
B 5,0 15,0
C 15,0 25,0
D 25,0 40,0
E 40,0 60,0
F 60,0
Sumber : TRB., 1994

1. Tingkat pelayanan A berarti operasi pada simpang memiliki tundaan


yang sangat rendah kurang dari 5,0 detik perkendaraan. Hal ini terjadi
bila sebagian besar kendaraan datang pada saat hijau sehingga banyak
kendaraan yang tidak berhenti. Panjang siklus yang pendek juga dapat
menghasilkan tundaan rendah.
2. Tingkat pelayanan B berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 5,1 – 15,0 detik perkendaraan. Biasanya hal ini terjadi
bila panjang siklus pada simpang pendek. Kendaraan berhenti lebih
banyak dari tingkat pelayanan A, menghasilkan tundaan rata – rata
sedang dan tidak terjadi kemacetan.
3. Tingkat pelayanan C berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 15,1 – 25,0 detik perkendaraan. Tundaan yang lebih
besar ini di hasilkan dari lebih panjangnya siklus. Pada tingkat ini
jumlah kendaraan yang berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup
banyak kendaraan yang terus melalui simpang tanpa harus berhenti.
4. Tingkat pelayanan D berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 25,1 – 40,0 detik perkendaraan. Pada tingkat pelayanan D
pengaruh dari kemacetan sudah lebih terlihat. Tundaan yang lebih besar
dapat dihasilkan dari kombinasi panjang siklus yang lebih rendah.
Banyak kendaraan yang harus berhenti pada simpang.
5. Tingkat pelayanan E berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
dalam rentang 40,1 – 60,0 detik perkendaraan. Pada tingkat pelayanan E
ini dijadikan sebagai batas tundaan yang sudah tidak bisa diterima.
Tundaan besar ini dihasilkan dari panjang siklus yang panjang, serta
rasio Q/C yang tinggi, dan kemacetan terjadi disetiap kaki Simpang.
6. Tingkat pelayanan F berarti operasi pada simpang memiliki tundaan
lebih besar dari 60,0 detik peerkendaraan. Pada tingkat pelayanan F ini
tundaan sudah tidak dapat diterima, hal ini biasanya karena terjadinya
kejenuhan pada simpang akibat arus melalui simpang melampaui
kapasitas simpang dan dapat juga karena panjang siklus yang terlalu
panjang.

2.16 Prosedur Perhitungan Berdasarkan MKJI


Prosedur perhitungan dilakukan berdasarkan manual kapasitas jalan
Indonesia 1997. Perhitungan dengan metode ini memerlukan lima (5) buah
formulir mulai dari formulir SIG I sampai dengan formulir SIG V. adapun
penjelasan dari formulir-formulir tersebut adalah sebagai berikut:
1. Formulir SIG I untuk Geometri
Pengaturan lalu lintas dan Kondisi lingkungan. Langkah-langkah yang
dilakukan dalam pengisian formulir SIG I adalah:
a. Pada bagian atas formulir ini dimasukkan data umum (tanggal, kota,
simpang, waktu dan judul formulir), diagram fase yang ada, data
waktu sinyal (waktu hijau, waktu antar hijau dan waktu hilang) dan
identitas pendekat (tunjukkan dalam diagram fase pendekat-pendekat
mana yang terdapat gerakan belok kiri langsung, belok kiri, belok
kanan dan lurus).
b. Pada bagian bawah formulir ini dimasukkan kode pendekat (utara,
Timur, Barat, dan Selatan), dan tipe lingkungan jalan untuk setiap
pendekat (komersial, pemukiman, akses terbatas), tingkatan
hambatan samping (tinggi atau rendah), median (terdapat atau tidak),
kelandaian, belok kiri langsung (ada atau tidak), jarak kendaraan
parkir (ada atau tidak), data pendekat (lebar pendekat, lebar masuk,
lebar keluar dan lebar LTOR) dan lajur belok kanan terpisah (ada
atau tidak).
2. Formulir SIG II untuk kondisi lalu lintas
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengisisan formulir SIG II
adalah dengan memasukkan data arus lalu lintas masing-masing
pendekat sesuai arah pergerakannya (kendaraan ringan, kendaraan berat,
sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor).
3. Formulir SIG III untuk waktu antar hijau dan waktu hilang
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengisisan formulir SIG II
adalah sebagai berikut:
a. Masukkan data kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang
berangkat dan kendaraan yang datang (Vev dan Vav)
b. Masukkan jarak dari garis henti ke titik konflik untuk kendaraan
yang berangkat dan kendaraan yang datang (Lev dan Lav)
c. Masukkan ukuran kendaraan yang berangkat (lev)
4. Formulir SIG IV untuk penentuan fase
Formulir ini memperlihatkan hasil analisis dari data yang telah
dimasukkan dalam formulir sebelumnya. Pada formulir ini didapat
besarnya waktu sinyal (waktu siklus dan alokasi waktu hijau), kapasitas
dari masing-masing pendekat dan pembahasan mengenai perubahan-
perubahan yang apabila kapasitas simpang tidak mencukupi (meliputi:
perubahan fase sinyal, dan pelarangan pergerakan belok kanan).
5. Formulir SIG V untuk tundaan,
Panjang antrian dan jumlah kendaraan terhenti. Formulir ini
memperlihatkan hasil analisis dari data yang telah dimasukkan dalam
formulir sebelumnya. Pada formulir ini didapat perilaku lalu lintas pada
simpang bersinyal berupa antrian, jumlah kendaraan terhenti, dan
tundaan. Dari besarnya tundaan dapat ditentukan tingkat pelayanan pada
simpang bersinyal.

Anda mungkin juga menyukai