Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

FIQH MUAMALAH
“ JUAL BELI (AL - BAI’) ”

Dosen Pengampu
MUH. BAIHAQI., M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 1

1. Cik Kartika Candra Hafazha (190501051)


2. Muh. Khaerul Turmuzi (190501065)
3. Laela Fitri (190501071)
4. Muhammad Rifa’i (190501090)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH V/B


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

i
KATA PENGANTAR

Pertama marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kita ke hadirat Allah SWT. yang
telah memberikan kami nikmat sehat dan kesempatan untuk menyusun makalah Fiqh
Muamalah di semester lima ini yang membahas tentang “ JUAL BELI (AL - BAI’) ”.

Kedua kalinya kita haturkan shalawat serta salam kepada Rasulullah Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa kita semua berhijrah menuju masa yang kita tepati
sekarang ini. Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata
Kuliah Fiqh Muamalah, Bapak Muh. Baihaqi, M.Si. yang telah memberikan tugas penulisan
makalah ini dan membantu dalam penyelesaiannya. Dan juga kami berterima kasih kepada
seluruh teman-teman serta beberapa orang yang terkait, yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Kami dari Kelompok Satu menyadari di dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna serta banyak kekurangan-kekurangan, baik dari segi tata bahasa ataupun
data-data yang telah kami peroleh. Oleh karena itu, kami menerima kritik serta saran yang
membangun untuk bisa lebih menyempurnakan makalah-makalah kami dilain waktu. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat menjadi bahan tambahan referensi bagi teman-teman pembaca
yang membutuhkan.

Mataram, 12 September 2021

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................2
C. TUJUAN PENULISAN..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. DEFINISI JUAL BELI (AL-BAI’).................................................................................3
B. DASAR HUKUM KEBOLEHAN JUAL BELI.............................................................4
C. SYARAT DAN RUKUN JUAL BELI...........................................................................5
D. MACAM-MACAM JUAL BELI..................................................................................11
E. BA’I AL-GHAIB (MENJUAL BARANG YANG TIDAK ADA SAAT JUAL BELI) 13
F. HUKUM JUAL BELI...................................................................................................16
BAB III PENUTUP..................................................................................................................17
A. KESIMPULAN.............................................................................................................17
B. SARAN.........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Bai’ dalam bahasa Arab berarti menukar. Jual beli (al-bai’) secara bahasa
artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti,
dikatakan: “Ba’a asy syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika
dia membelinya dan memasukkannya ke dalam hak miliknya, dan ini masuk dalam
kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan
lawan seperti perkataan al-qur’ yang berarti haid dan suci. Demikian juga dengan
perkataan syara artinya mengambil dan syara yang berarti menjual.
Bai’ (jual beli) menurut istilah adalah bahwa “Akad saling mengganti dengan
harta yang berakibat pada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo
waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.” Jual beli telah disahkan
oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ umat. Rasulullah SAW, beliau bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika ditanya tentang usaha apa
yang paling utama, Rasulullah SAW menjawab: “Usaha seseorang dengan tangannya
sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur.” Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli
yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta itu adalah penyamaran dalam barang
yang dijual, dan penyamaran itu adalah menyembunyikan aib barang dari penglihatan
pembeli.
Di dalam jual beli, syarat dan rukun merupakan hal yang teramat penting, sebab
tanpa rukun dan syarat maka jual beli tersebut tidak sah hukumnya. Oleh karena itu
Islam telah mengatur tentang syarat dan rukun jual beli itu, antara lain: Syarat Sighat
Lafadz Ijab Qabul, Syarat Bagi Penjual Dan Pembeli, Syarat Barang Yang Diperjual
Belikan, dan Syarat-Syarat Nilai Tukar.
Berdasarkan beberapa pendapat ulama (fuqaha) tersebut, maka secara ringkas
rukun jual beli yang ideal yaitu adanya kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual
beli, adanya barang yang menjadi transaksi jual beli dan lafadz dalam transaksi jual beli
tersebut.
1. Sah (Memenuhi Syarat dan Rukun)
2. Sah tapi Terlarang
3. Tidak Sah Sehingga di Larang
Ada lima hukum yang ada dalam akad jual beli yaitu: Jual beli bisa menjadi wajib
ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub pada waktu harga mahal, bisa
menjadi makruh seperti menjual mushaf, berbeda dengan Imam Al-Ghazali, bisa juga
menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa membuat arak, atau kurma
basah kepada orang yang biasa membuat minuman arak walaupun si pembeli adalah
orang kafir dan selain yang ada diatas hukumnya boleh.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Definisi Jual Beli
2. Dasar Hukum Kebolehan Jual Beli
3. Syarat dan Rukun Jual Beli
4. Macam-Macam Jual Beli
5. Bai’ Al-Ghaib (Menjual Barang yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
6. Hukum Jual Beli

C. TUJUAN PENULISAN
1. Dapat mengetahui dan paham tentang definisi jual beli (Al-Bai’).
2. Tahu mengenai bagaimana dasar hukum kebolehan dalam jual beli.
3. Mengetahui syarat dan rukun-rukun jual beli.
4. Mengetahui macam-macam jual beli.
5. Paham tentang Bai’ Al-Ghaib (Menjual barang yang tidak ada saat jual beli).
6. Mengetahui dan paham tentang hukum dalam jual beli.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI JUAL BELI (AL-BAI’)


Al-Bai’ dalam bahasa Arab berarti menukar. Jual beli (al-bai’) secara bahasa
artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti,
dikatakan: “Ba’a asy syaia jika dia mengeluarkannya dari hak miliknya, dan ba’ahu jika
dia membelinya dan memasukkannya ke dalam hak miliknya, dan ini masuk dalam
kategori nama-nama yang memiliki lawan kata jika disebut ia mengandung makna dan
lawan seperti perkataan al-qur’ yang berarti haid dan suci. Demikian juga dengan
perkataan syara artinya mengambil dan syara yang berarti menjual. Allah SWT
berfirman: Dan mereka menjualnya dengan harga yang sedikit, artinya mereka menjual
Yusuf, karena masing-masing pihak telah mengambil ganti dan pemberi dengan apa yang
ia ambil maka kedua nama ini layak untuk dijadikan sebagai sebutannya.

Adapun makna bai’ (jual beli) menurut istilah adalah bahwa “Akad saling
mengganti dengan harta yang berakibat pada kepemilikan terhadap satu benda atau
manfaat untuk tempo waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.”
Dengan kata ‘saling mengganti’, maka tidak termasuk di dalamnya hibah, dan yang lain
tidak ada saling ganti, dan dengan kata ‘harta’ tidak termasuk akad nikah sebab
walaupun ada saling ganti namun ia bukan mengganti harta dengan harta akan tetapi
halalnya bersenang-senang antara suami dan istri, dan dengan kata ‘kepemilikan harta
dan manfaatnya untuk selama-lamanya’, maka tidak termasuk di dalamnya akad sewa
karena hak milik dalam sewa buka kepada bendanya tapi manfaatnya setimpal dengan
jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini juga dibatasi dengan waktu
tertentu. Adapun maksud manfaat yang langgeng dalam definisi jual beli adalah seperti
menjual hak tempat aliran air jika air itu tidak akan sampai ke tujuan kecuali jika melalui
perantara hak orang lain. Dan tidak masuk dengan ucapan ‘tidak untuk bertaqarrub
kepada Allah’ seperti hibah, sebab ia hanya pemberian manfaat yang mubah untuk
selamanya kepada pihak yang menerima namun bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.
Ada juga yang mendefinisikan jual beli sebagai kepemilikan terhadap harta atau manfaat
untuk selamanya dengan bayaran harta.

3
B. DASAR HUKUM KEBOLEHAN JUAL BELI
Jual beli telah disahkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ umat. Adapun dalil
dari Al-Qur’an yaitu firman Allah SWT dalam Qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat: 275.

Riba adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad jual beli
adalah haram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang berdasarkan ayat ini. hal
ini dikarenakan huruf alif dan lam dalam ayat tersebut untuk menerangkan jenis, dan
bukan untuk yang sudah dikenal karena sebelumnya tidak disebutkan ada kalimat al-bai’
yang dapat dijadikan referensi, dan jika ditetapkan bahwa jual beli adalah umum, maka
ia dapat dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan berupa riba dan yang lainnya
dan benda yang dilarang untuk diakadkan seperti minuman keras, bangkai, dan yang
lainnya dari apa yang disebutkan dalam sunnah dan ijma para ulama akan larangan
tersebut.
Di sisi lain, Allah SWT juga berfirman dalam Qur’an Surah An-Nisa’ (4) ayat 29:

Allah telah mengharamkan memakan harta orang lain dengan cara batil yaitu
tanpa ganti dan hibah, yang demikian itu adalah batil berdasarkan ijma umat dan
termasuk di dalamnya juga semua jenis akad yang rusak yang tidak boleh secara syara’
baik karena ada unsur riba atau jahalah (tidak diketahui), atau karena kadar ganti yang
rusak seperti minuman keras, babi dan yang lainnya dan jika yang diakadkan itu adalah
harta perdagangan, maka boleh hukumnya, sebab pengecualian dalam ayat di atas adalah
terputus karena harta perdagangan buka termasuk harta yang tidak boleh dijual-belikan.
Ada juga yang mengatakan istitsna (pengecualian) dalam ayat bermakna lakin (tetapi)

4
artinya, akan tetapi, makanlah dari harta perdagangan, dan perdagangan merupakan
gabungan antara penjualan dan pembelian.
Adapun dalil sunnah diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah
SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha.” Ketika
ditanya tentang usaha apa yang paling utama, Rasulullah SAW menjawab: “Usaha
seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur.” Jual beli yang
mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta itu
adalah penyamaran dalam barang yang dijual, dan penyamaran itu adalah
menyembunyikan aib barang dari penglihatan pembeli. Adapun makna khianat ia lebih
umum dari itu sebab selain menyamarkan bentuk barang yang dijual, sifat, atau hal-hal
luar seperti dia menyifatkan dengan sifat yang tidak benar atau memberi tahu harga yang
dusta.

C. SYARAT DAN RUKUN JUAL BELI


Di dalam jual beli, syarat dan rukun merupakan hal yang teramat penting, sebab
tanpa rukun dan syarat maka jual beli tersebut tidak sah hukumnya. Oleh karena itu
Islam telah mengatur tentang syarat dan rukun jual beli itu, antara lain:

1. Syarat Jual Beli


Syarat asal maknanya itu dari janji. Menurut istilah syara’, ialah sesuatu yang
harus ada, dan menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu
itu tidak berada di dalam pekerjaan itu.1
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang
tepat, maka harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu, yaitu ada yang
berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang
diperjual belikan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli yaitu:
a. Syarat Sighat Lafadz Ijab Qabul
Ijab adalah perkataan penjual, seperti “saya jual barang ini sekian....”.
sedangkan qabul adalah perkataan si pembeli, seperti “saya beli dengan harga
sekian.......”.
Adapun syarat-syarat-syarat ijab dan qabul menurut para ulama fiqh yaitu:
1) Orang yang mengucapkan telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Misalnya penjual mengatakan “saya jual buku ini
seharga Rp. 1.000”, lalu pembeli menjawab “saya beli buku ini dengan
1
M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah dan Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.,
hlm. 301.

5
harga Rp. 1.000”, namun apabila terdapat tidak sesuaian antara ijab dan
qabul, maka jual beli dianggap tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, maksudnya kedua belah pihak
yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum
mengucapkan qabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas lain yang tidak
terkait dengan masalah jual beli, kemudian ia ucapkan qabul, maka menurut
kesepakatan para ulama fiqh jual beli ini dianggap tidak sah.
Berdasarkan beberapa syarat ijab dan qabul di atas, yang menjadi
perselisihan pendapat adalah ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
Dimana ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan
qabul boleh saja diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa pihak pemebli
sempat untuk berpikir.2 Namun ulama Syafi’iyah dan Hambaliah berpendapat
bahwa jarak antara ijab dan qabul tidak terlalu lama, yang dapat menimbulkan
dugaan bahwa objek pembicaraan telah berubah.3
Terkait dengan masalah ijab qabul ini adalah jual beli yang melalui
perantara, baik itu melalui orang yang diutus maupun melalui media cetak
seperti surat menyurat, media elektronik, seperti telephone, faximile, dan lain
sebagainya, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jual beli melalui
perantara atau dengan mengutus seseorang melalui surat menyurat adalah sah,
apabila antara ijab dan qabul sejalan.4
b. Syarat Bagi Penjual Dan Pembeli
Bagi orang yang melakukan akad jual beli, diperlukan adanya syarat-syarat
yaitu sebagai berikut:
1) Berakal
Jual beli hendaknya dilakukan dalam keadaan sadar dan sehat. Jual beli
yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal, orang gila, dan mabuk
hukumnya tidak sah atau haram. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW
dalam sabdanya yang berbunyi:

2
Ibnu Abidin, Rad dal-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Jilid IV, Al-Amiriyah terjemahan, Mesir., Hlm. 113.
3
Asy-Syarbaini al-Khatib, Muqhni al-Muhtaj, Jilid II, Dar al-Fikr Beirut, 1982., Hlm 5-6.
4
Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Al-‘Uqud al Musammah, Mathabi Fata al-‘Arab, Damaskus, 1965., Hlm. 43-44.

6
Artinya: Dari Aisyah ra. Nabi Muhammad SAW bersabda:
diangkatnya kalam dari 3 orrang (perkara), dari orang yang tidur hingga dia
bangun, dari anak kecil hingga dia dewasa, dari orang gila hingga ia barakal
atau sembuh dari gilanya. (Hari Abu Dawud dan Nasa’i).5
2) Baligh
Baligh berarti sampai atau jelas. Baligh merupakan masa kedewasaan
seseorang, yang menurt kebanyakan para ulama yaitu apabila seseorang
telah mencapai usia 15 tahun, atau orang belum mencapai umur yang
dimaksud, akan tetapi sudah dapat bertanggung jawab secara hukum. Yakni
anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang menjadi jelas baginya
segala urusan atau persoalan yang dihadapi. Pikirannya telah mampu
mempertimbangkan atau memperjelas mana yang baik dan mana yang
buruk. Adapun setiap orang yang telah terdapat padanya salah satu tanda
kebalighan maka ia berarti sudah mukallaf, yang berarti sudah terkena
kewajiban-kewajiban syari’at agama Islam..
3) Tidak pemboros
Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli tersebut
bukanlah manusia yang boros, karena orang yang boros dipandang sebagai
orang yang tidak cakap dalam hukum. Bagi orang yang pemboros apabila ia
melakukan jual beli maka dianggap tidak sah, sebab bagi orang yang
pemboros itu suka menghambur-hamburkan hartanya. Sehingga apabila
diserahkan harta kepadanya akan menimbulkan kerugian pada dirinya.
Seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 27:

4) Atas kemauan sendiri


5
M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah dan Syafi’ah AM., Op. Cit., Hlm. 37.

7
Artinya prinsip jual beli adalah suka sama suka tanpa ada paksaan
antara si penjual dan si pembeli. Maka jika perilaku tersebut tidak tercapai,
jual beli itu tidak saha, sebagimana firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat
29:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama suka diantara kamu”.
Perkataan suka sama suka pada ayat diatas menjadi landasan bahwa
jual beli yang dilangsungkan haruslah kehendak sendiri yang bebas dari
unsur tekanan atau paksaan.
5) Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda
Maksud dari orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda
yaitu, seseorang yang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan
sebagai penjual sekaligus menjadi pembeli.
c. Syarat Barang Yang Diperjual Belikan
Mengenai syarat-syarat barang yang diperjualbelikan menurut Sayid Sabiq
yaitu sebagai berikut:6
1) Bersih barangnya;
2) Dapat dimanfaatkan;
3) Milik orang yang melakukan akad/milik sendiri;
4) Mampu menyerahkan;
5) Diketahui barangnya dengan jelas; dan
6) Barang yang diakadkan ada di tangan.

d. Syarat-Syarat Nilai Tukar

6
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki, Terjemah Fikih Sunnah, Jilid XII, Al-Ma’arif,
Bandung, 1987., Hlm. 52.

8
Unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual
(uang). Terkait dengan masalah nilai tukar ini, para ulama membedakan ats-
tsaman dengan as-si’r, menurut mereka kata ast-tsaman harga pasar yang
berlaku di tengah-tengah masyarakat secara nyata, sedangkan as-si’r adalah
modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke
konsumen. Dengan demikian harga barang itu ada dua, yaitu harga pedagang
antara pedagang, dan harga pedagang dengan konsumen (harga jual pasar).7
Karena harga yang dapat dipermainkan para pedagang ats-tsaman, maka
para ulama mengemukakan syarat-syarat ats-tsaman yaitu sebagai berikut:
1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti
pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar
kemudian (berhutang), maka waktu pembayarannya harus jelas.
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-
muqa’yadhah), maka barang yang dijadikan nilai tukar barang yang
diharamkan syara’.8
2. Rukun Jual Beli
Arkan adalah bentuk jamak dari rukn. Rukun sesuatu berarti sisinya yang
paling kuat, sedangkan arkan berarti hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya satu
akad dari sisi luar, yang menentukan sah (apabila dilakukan) dantidak sahnya
(apabila ditiggalkan) sesuatu pekerjaan dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan
itu.
Jual beli dapat dikatakan sah apabila kedua pihak telah memenuhi rukun dan
syarat dalam jual beli tersebut. Adapun rukun dan syarat dalam jual beli adalah
ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual beli menjadi sah
menurut Hukum Islam. Abdurrahman Aljaziri, mendefinisikan rukun jual beli
sebagai berikut:
a) Al-‘Aqidani, yaitu dua pihak yang berakad yakni penjual dan pembeli.
b) Mauqud ‘alaih, yaitu sesuatu yang dijadikan akad yang terdiri dari harga dan
barang yang di perjual belikan.
c) Sighat, yaitu ijab dan qabul.

7
Fathi ad-Duraini, al-Fiqh al-Islami al-Muwaran ma’a al-Muzahib, Mathba’ah ath-Tharriyin, Damaskus, 1979.,
Hlm. 56.
8
Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Op. Cit., Hlm. 67.

9
Adapun rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu ijab (ungkapan
pembeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka
yang menjadi rukun jual beli itu hanyalah kerelaan kedua belah pihak untuk
melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi karena unsur kerelaan itu merupakan
unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan
indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang
menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli,
menurut mereka boleh tergantung dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling
memberikan barang dan harga barang.9

Menurut jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat, yaitu:

a) Ada orang yang melakukan akad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
b) Ada shigat (lafal dan qabul).
c) Ada barang yang dibeli.
d) Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut Imam Taqiyudin Abi Bakar Muh. Al-Husaini menyatakan rukun


jual beli yaitu sebagai berikut:10

a) Penjual
b) Pembeli
c) Barang yang dijual
d) Harga
e) Ucapan ijab dan qabul.

Yang dimaksud dengan rukun disini adalah sesuatu yang harus ada untuk
adanya sesuatu yang lain, walaupun tidak termasuk hakikatnya, karena
sesungguhnya rukun dari sesuatu adalah asal (pokok) yang termasuk ke dalamnya.
Dan pokok (asal) dari jual beli adalah sighat yang tanpa sighat tersebut maka orang
yang mengadakan perjanjian jual beli tidak disebut penjual dan pembeli.

Berdasarkan beberapa pendapat ulama (fuqaha) tersebut, maka secara ringkas


rukun jual beli yang ideal yaitu adanya kedua belah pihak yang melakukan transaksi
jual beli, adanya barang yang menjadi transaksi jual beli dan lafadz dalam transaksi
jual beli tersebut.
9
Ibnu Abidin, Op. Cit., Hlm. 5.
10
Taqiyudin Abi Bakar Muh. Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz IV, Al-Ma’arif, Bandung, tt., Hlm. 89.

10
D. MACAM-MACAM JUAL BELI
Macam-macam jual beli berdasarkan keabsahannya sesuai syari’at yaitu sebagai
berikut:

1. Sah (Memenuhi Syarat dan Rukun)


Sah artinya memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun dalam jual beli.
2. Sah tapi Terlarang
Sah tapi terlarang di sini maksudnya, Sah karena sesuai dengan syarat-
syaratnya namun dilarang oleh syari’at. Contohnya:
a. Membeli barang yang sudah di beli oleh orang lain, artinya barang tersebut
sudah di beli orang lain namun masih dalam masa khiyar atau dalam masa
memilih atau dibatalkan lalu barang itu di jual lagi atau dibeli oleh orang lain
maka hal ini dilarang.
b. Jual beli Najasy, yaitu ketika seseorang berpura-bura melakukan penawaran
suatu barang untuk menjerumuskan calon pembeli lain yang serius atau yang
sungguh-sungguh untuk membeli. Jadi di sini maksudnya ada persekongkolan
antara orang yang berpura-pura melakukan penawaran dengan penjual dengan
tujuan untuk mengelabui atau mempengaruhi pembeli yang lain.
c. Menemui penjual sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli barangnya
dengan harga murah sebelum mereka tahu harga pasar untuk kemudian dijual
lagi dengan harga tinggi. Contohnya seperti penjual mencegat atau menemui
penjual lain yang datang dari luar kota dan mereka membawa barang-barang
yang untuk dijual di pasar namun di cegat di luar pasar, sebelum masuk pasar
untuk di beli barangnya dengan harga murah, sehingga penjual dari luar kota
tidak tahu harga pasaran atau harga normal dari pasar yang hendak
dimasukinya. Namun apabila si penjual tahu harga normal namun ia ikhlas di
beli dengan harga yang murah maka hal tersebut tidak masalah.
d. Memborong barang (kebutuhan pokok) untuk ditimbun, kemudian akan dijual
ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut, sehingga dapat merugikan
dan menyusahkan masyarakat.
e. Menjual barang berguna tapi untuk digunakan maksiat oleh pembelinya.
Contohnya, Pisau, pisau ini sebenarnya bisa digunakan untuk sesuatu yang
bermanfaat atau kebaikan, tetapi ia menjualnya untuk digunakan maksiat oleh
pembelinya, misalnya untuk membunuh dan sebagainya, maka hal ini termasuk

11
Sah dalam jual beli namun dilarang karena mengandung kemaksiatan. Namun,
jika si penjual tidak mengetahui maksud penggunaan barang dari si pembeli,
maka itu tidak masalah bagi si penjual.
f. Jual beli yang dilakukan setelah adzan shalat jum’at dikumandangkan sampai
selesainya shalat jum’at. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-
Jumu’ah ayat 9:

g. Jual beli yang dilakukan dengan penipuan, misalnya menyembunyikan cacat


pada barang, mengurangi takaran dan sebagainya, sehingga ia tidak diketahui
oleh pembeli, dan dengan sengaja disembunyikan.
3. Tidak Sah Sehingga di Larang
Tidak sah sehingga dilarang ini karena tidak cukup syarat dan rukunnya
sehingga tidak sah atau batal, yang akhirnya dilarang oleh dilaksanakan.
a. Jual beli barang yang dzatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan.
b. Jual beli sperma hewan jantan untuk memperoleh keturunan.
c. Jual beli dengan syarat, maksudnya jual beli yang dibatasi dengan syarat-syarat
tertentu, misalnya Ahmad menjual mobilnya jika Si Bayu menjual motornya
kepada si Ahmad.
d. Jual beli tsunaya, yaitu jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang
dijual tapi tidak jelas. Misalnya, ia menjual garapan di kebun tetapi ia
mengecualikan sebagian dari padanya. Namun, jika antara penjual dan pembeli
mengetahui dengan jelas mengenai pengecualian tersebut maka tidak masalah.
e. Jual beli inab, yaitu menjual barang kepada orang lain dengan cara kredit
kemudian barang yang sama di beli kembali namun masih dalam masa kredit
dengan harga yang lebih murah secara tunai. Hal ini tidak sah karena pembeli
pertama yang kredit akan merasa rugi.
f. Jual beli urbun, yaitu menjual suatu barang dengan membayar panjar/jaminan
kepada penjual (sebelum benda yang dibeli diterima), jika jual beli jadi
dilaksanakan, maka uang panjar itu dihitung sebagian dari harga, namun jika
pihak pembeli mengundurkan diri, maka uang panjar menjadi milik penjual.

12
g. Jual beli yang belum jelas, mengandung ketidakpastian (gharar), jual beli yang
masih spekulatif atau masih samar-samar, hal ini karena dapat merupakan salah
satu pihak. Jual beli ini antara lain:
1) Menjual barang yang tidak dapat diserahkan, seperti menjual ikan di laut,
menjual anak binatang yang masih dalam perut induknya.
2) Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
3) Menjual barang yang tidak jelas harga dan barangnya, sifat dan ukuran
barang masih samar-samar.
h. Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanaman-tanaman yang masih di ladang atai
di sawah atau belum di panen.
i. Jual beli mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum siap panen.
j. Jual beli mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh, misalnya disini,
calon pembeli menyentuh barang yang dijual dan itu dianggap membeli, maka
hal ini tidak diperbolehkan.
k. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar.
l. Jual beli muzabanah, yaitu menjual buah basah yang ditukar dengan buah
kering.

E. BA’I AL-GHAIB (MENJUAL BARANG YANG TIDAK ADA SAAT JUAL BELI)
Menurut pendapat yang unggul tidak boelh menjual barang yang ghaib, yaitu
barang yang tidak dilihat oleh kedua orang yang berakad atau salah satunya., berbeda
dengan pendapat-pendapat lain, walaupun ia menentukan akan segera menyerahkannya
karena kabar tidak sama dengan melihat secara langsung. Pendapat ini berlaku jika
barang yang dijual tidak diketahui ciri atau jenisnya, tapi jika jenis atau macamnya
diketahui seperti dia mengatakan: “Saya jual kepadamu baju yang terbuat dari Yaman
yang ada di dalam rumahku, atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada di
kandangku,” ada dua pendapat ulama terkait hal ini.

Dalam qaul qadim-nya, Imam Asy-Syafi’i mengatakan: Jual beli demikian sah,
dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika dia melihatnya, dengan dalil apa yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa Usman ra. membeli sebidang tanah dari
Thalhah di Madinah dengan bayaran sebidang tanah di Kuffah kemudian Usman berkata:
“Aku menjual tanahku dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya”, lalu Thalhah
berkata: “Yang berhak melihat itu adalah saya, sebab saya membeli sesuatu yang belum
saya lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli”. Lalu keduanya mengadukan

13
masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan kepada Usman bahwa
jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia membeli sesuatu yang ghaib dan
karena ia satu bentuk akad terhadap benda, maka boleh walaupun ada yang tidak
diketahui tentang sifatnya sama halnya seperti nikah.

Sedangkan dalam qaul jadid-nya, Imam Asy-Syafi’i menyatakannya tidak sah,


dengan dalil hadi Abu Hurairah ra: Bahwa nabi SAW melarang menjual sesuatu yang
tidak di ketahui. Alasan lain dalam akad ini ada unsur gharar, sebab ia termasuk dalam
jual beli, maka tidak sah jika ada yang tidak diketahui dari sifatnya sana seperti jual beli
sistem salam (ordering). Namun jika kita mengambil qaul qadim, apakah sahnya akad
mengharuskan kita untuk menyebutkan semua sifat (ciri barang) atau tidak? Disini
terdapat tiga pendapat yaitu sebagai berikut:

1. Tidak sah sampai semua sifat (ciri) nya disebutkan sebagaimana barang yang
dipesan (musallam fihi).
2. Tidak sah sampai sifat-sifat utamanya disebutkan.
3. Sah dan tidak perlu menyebutkan sifatnya. Ini adalah pendapat yang dipilih dalam
mazhab kami (Syafi’i) karena yang menjadi patokan adalah ru’ya (melihat) dan dia
memiliki hak khiyar ketika meilhat, sehingga tidak perlu menyebutkan cirinya.

Jika diterangkan sifatnya lalu setelah melihat ternyata ada yang tidak sama, maka
pada saat itu pembeli ada hak khiyar, namun jika sama atau lebih baik, maka dua
pendapat. Pertama, tidak ada khiyar karena dia mendapatinya sama dengan yang
dijelaskan sama seperti barang yang dipesan. Kedua, ada hak khiyar (sehingga ia boleh
meneruskan atau membatalkan akad), karena dia tahu ada khiyar ru’ya, maka tidak
boleh tanpa khiyar.

Lebih lanjut, jika memang harus ada khiyar, apakah harus segera? Abu Hanifah
mengatakan harus segera karena khiyar terkait dengan melihat, maka harus segera
seperti khiyar karena ada aib. Abu Ishaq berkata: “Disuruh memilih khiyar majlis karena
akad baru menjadi sempurna ketika sudah melihat seolah-olah akad baru terjadi ketika
dia melihat, sehingga pada saat itu ia mempunyai khiyar majlis, waktu khiyar bisa
diperpanjang jika majlis semakin lama dan ini pendapat yang lebih shahih. Tidak ada
khiyar bagi penjual, ada juga yang mengatakan dia juga ada hak khiyar jika belum
melihat barang yang akan dijual sebelumnya.

14
Walau kita sudah mensyaratkan dalam barang yang dijual harus diketahui baik
zat, ukuran, dan sifatnya namun sudah dianggap cukup jika hanya dengan melihat
barang yang akan dijual, jika dia adalah barang, maka cukup dengan melihat dengan
mata tanpa harus mengetahui ukurannya dan hanya dengan taksiran saja, jika di
mengatakan, saya jual kepadamu tas ini dengan setumpuk kurma, padahal tidak
diketahui berapa jumlahnya tetapi akad tetap sah. Jika tempat longgokan ada yang
menurun atau meninggi dan si pembeli atau penjual tahu tentang itu, akad menjadi batal
karena tidak bisa ditaksir dan sama dengan yang tidak bisa dilihat.

Tetapi jika dia mengira yang dibawah sama jumlahnya , maka sah akad dan ada
khiyar, dan jika yang dibawah ada lubang, maka akad tetap sah dan penjual bisa
mendapatkan haknya. Se-andainya dia menjual setumpuk kurma kecuali satu sha’ akad
tetap sah jika jenis sha’-nya diketahui, namun jika tidak diketahui maka akad tidak sah.
Jika ada yang bertanya, bagaimana Anda mengatakan batal sedangkan Anda sudah
membolehkan menjual setumpuk kurma yang tidak diketahui ukurannya, dikira-kira dan
ditaksir saja? Kami katakan bahwa taksiran dengan pengecualian tidak bisa dipercaya
penuh.

Faedah yang dapat kita ambil dari adanya khiyar bagi dua orang yang berakad
bahwa pembelian orang yang buta adalah tidak sah walaupun kita mengatakan sah
menjual barang yang ghaib dengan menyebutkan ciri, karena khiyar tidak bisa diberikan
kepadanya karena dia tidak bisa melihat sehingga bisa mendapat hak khiyar. Ada yang
mengatakan, sah dan diganti oleh orang lain untuk melihatnya. Sedangkan dalam jual
beli salam (ordering) sah jika modal salam ada dalam tanggungan karena dia tidak bisa
melihat sama dengan akad jual beli. Perbedaan antara jual beli salam dan yang lainnya
bahwa salam mengandalkan sifat atau ciri sedangkan jual beli, sewa, dan gadai
mengandalkan penglihatan dan satu-satunya cara bagi orang yang buta adalah dengan
mencari wakil. Ada yang mengatakan, jika dia buta sebelum bisa membedakan sesuatu
atau lahir dalam keadaan buta, maka tidak sah akad salam karena dia tidak bisa
mengetahuinya, namun pendapat ini dibantah bahwa dia bisa mengetahui dengan cara
mendengar dan membayangkan perbedaan antara keduanya.11

11
Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, FIQH MUAMALAT Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, Amzah:
Jakarta, 2010., Hlm. 60-62

15
F. HUKUM JUAL BELI
Ada lima hukum yang ada dalam akad jual beli yaitu: Jual beli bisa menjadi wajib
ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub pada waktu harga mahal, bisa
menjadi makruh seperti menjual mushaf, berbeda dengan Imam Al-Ghazali, bisa juga
menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa membuat arak, atau kurma
basah kepada orang yang biasa membuat minuman arak walaupun si pembeli adalah
orang kafir dan selain yang ada diatas hukumnya boleh.

Termasuk jual beli menjadi wajib jika lebih dari keperluannya dalam setahun dan
orang lain membutuhkannya, penguasa berhak memaksanya untuk menjual dan tidak
makruh menyimpan, makanan jika diperlukan, dan termasuk yang diharamkan adalah
menentukan harga oleh para penguasa walaupun bukan dalam kebutuhan pokok sesuai
dengan hadist Nabi SAW: “Janganlah kalian menentukan harga sebab Allah-lah yang
menentukan harga” dan tidak haram seandainya dia tetap menjual dengan harga yang
sudah ditentukan namun hakim (penguasa) berhak untuk memberikan hukuman ta’zir
(dera) mereka yang menentangnya jika dia mengetahuinya sebab dia telah melanggar
ketaatan atau mengganggu aturan, maka ta’zir di sini boleh dilakukan dan ada juga yang
mengatakan haram. Dan keluar dengan ucapan “dengan membeli” seandainya ia
menyimpan hasil panennya untuk dijual saat harga naik secara sengaja dari pada
seandainya dia membeli sesuatu untuk dirinya atau untuk siapa saja kemudian tiba-tiba ia
berniat menyimpannya. Dan keluar dengan ucapan “pada saat harga mahal” pada saat
harga murah, dan tempat harga mahal seperti dia membeli barang dari Mesir lalu dibawa
ke Mekah untuk dijual dengan harga yang mahal, maka ini tidak termasuk yang dilarang
menurut pendapat yang unggul, berbeda dengan Ibnu Hajar yang melarang dalam
sebagiannya.12

BAB III

PENUTUP

12
Ibid., Hlm. 89-90.

16
A. KESIMPULAN
Dalam penjelasan makalah ini, dapat disimpulkan jual beli merupakan
penukaran harta atas dasar saling rela. Hukum jual beli adalah mubah, artinya hal
tersebut diperbolehkan selagi suka sama suka.
Dari pelaksanaan jual beli, juga terdapat syarat serta rukun-rukun yang harus
dilakukan dalam jual beli agar kegiatan jual beli yang dilakukan sah dan di ridhai oleh
Allah SWT. Yaitu adanya penjual dan pembeli, uang dan benda yang dibeli, serta
lafadz ijab dan kabul.
Terdapat berbagai macam jenis jual beli, dari pembahasan di atas, macam-
macam jual beli dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu, Sah (Memenuhi Syarat dan
Rukun), Sah tapi Terlarang, dan Tidak Sah Sehingga di Larang.
Terdapat lima hukum yang ada dalam akad jual beli yaitu: Jual beli bisa
menjadi wajib ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub pada waktu
harga mahal, bisa menjadi makruh seperti menjual mushaf, berbeda dengan Imam Al-
Ghazali, bisa juga menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa
membuat arak, atau kurma basah kepada orang yang biasa membuat minuman arak
walaupun si pembeli adalah orang kafir dan selain yang ada di atas hukumnya boleh.

B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu,
kami dari kelompok satu memohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat
kekeliruan dari data yang kami per oleh. Demi menyempurnakan makalah ini, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari dosen pengampu mata kuliah Fiqh
Muamalah dan juga dari teman-teman pembaca sekalian, agar makalah ini bisa
menjadi bermanfaat bagi kita semua sebagai bahan tambahan referensi Fiqh
Muamalah mengenai materi Jual Beli (Al-Bai’).

DAFTAR PUSTAKA
M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah dan Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, PT.
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

17
Ibnu Abidin, Rad dal-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Jilid IV, Al-Amiriyah
terjemahan, Mesir.

Asy-Syarbaini al-Khatib, Muqhni al-Muhtaj, Jilid II, Dar al-Fikr Beirut, 1982.

Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Al-‘Uqud al Musammah, Mathabi Fata al-‘Arab,


Damaskus, 1965.

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A. Marzuki, Terjemah Fikih
Sunnah, Jilid XII, Al-Ma’arif, Bandung, 1987.

Fathi ad-Duraini, al-Fiqh al-Islami al-Muwaran ma’a al-Muzahib, Mathba’ah ath-


Tharriyin, Damaskus, 1979.

Taqiyudin Abi Bakar Muh. Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz IV, Al-Ma’arif,
Bandung, tt.

Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, FIQH MUAMALAT Sistem Transaksi
dalam Fiqh Islam, Amzah: Jakarta, 2010.

18

Anda mungkin juga menyukai