C. Materi:
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa filologi adalah ilmu yang
mempersoalkan keberadaan teks yang terkandung dalam naskah yang ditulis ratusan tahun
sebelumnya dengan tulisan tangan, dengan huruf dan bahasa yang mungkin tidak dikenal
dan dipahami masyarakat saat ini. Tujuan utamanya adalah penyuntingan dan pelestarian
teks agar tetap ada, apa saja jenis teksnya, agar berlanjut, dan sebaliknya dapat memberi
bantuan pada bidang ilmu lain, bahkan untuk kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang
masih memerlukan informasi nilai-nilai rohaniah kebudayaan lama. Karena itu, filologi
20
21
memiliki hubungan timbal-balik dengan sejumlah ilmu lain. Untuk kelancaran pekerjaan
menelaah dan menyunting teks, seorang filolog membutuhkan bantuan ilmu lain yang terkait
dengan pekerjaannya membaca, memahami, dan memperbaiki kesalahan tulis atau bacaan
naskah; di satu sisi filologi dibantu ilmu-ilmu lain, di sisi lain filologi membantu ilmu-ilmu
lain.
Ilmu-ilmu yang membantu filolog menelaah naskah dan teks nusantara yang berisi
berbagai informasi tentang pemikiran, tindakan, dan perilaku masyarakat tradisional adalah
linguistik, bahasa-bahasa yang mempengaruhi teks, ilmu sastra, ajaran agama (Hindu, Buda,
Islam), sejarah kebudayaan Indonesia, Ilmu Antropologi, folklor, dan ilmu tentang tulisan-
tulisan kuno di atas prasasti (paleografi), khususnya untuk penelaahan naskah Jawa yang
memiliki sejarah penulisan naskah yang paling panjang. Artinya, seorang filolog perlu
memiliki ilmu-ilmu yang terkait dengan teks yang ditelaahnya, agar dia terbantu
memecahkan misteri yang menghambat pekerjaannya menelaah naskah dan menyunting
teks. Kebalikannya, beberapa ilmu yang disebutkan itu kemudian mendapatkan bantuan pula
oleh filologi berupa teks yang sudah bersih dari kesalahan atau bantuan filolog untuk
membacakan naskah yang masih dalam tulisan lama untuk sumber data penelitian ilmu
terkait, seperti: linguistik, ilmu sastra, sejarah perbandingan agama, ilmu sejarah, sejarah
kebudayaan, hukum adat, dan filsafat. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan adanya ilmu
lain yang membantu menyelesaikan tugasnya menyunting naskah, terutama kalau naskah
yang ditelaah tentang bidang ilmu itu. Hal itu berarti bahwa seorang filolog itu harus
memiliki wawasan yang luas, ilmu yang bermacam-macam, karena dia harus menggarap
naskah yang bermacam-macam. Kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu lain yang bersifat
timbal balik itu terlihat pada bagan berikut.
22
LINGUISTIK LINGUISTIK
BAHASA YG
ILMU SASTRA
MEMPENGARU
HI TEKS
ILMU SEJARAH
ILMU SASTRA
SEJ. KEB.
INDONESIA
AGAMA: HINDU.
BUDA, ISLAM FILOLOGI
SEJARAH
SEJ. KEB. PERKEMBANGAN
INDONESIA AGAMA
ILMU
ANTROPOLOGI HUKUM ADAT
FOLKLOR
FILSAFAT
PALEOGRAFI
atau menafsirkan adanya bagian naskah (seukuran kata) yang hilang, atau yang tertukar
varian lain. Dengan mempedomani konteks tempat munculnya kata, dia mencoba
menafsirkan bacaan yang tidak jelas tersebut.
Kerja filologi berhubungan dengan kesahihan bahasa dalam teks. Karena itu linguistik
sangat membantu kelancaran kerja filologi. Bidang linguistik yang membantu filologi adalah
etimologi, sosiologi, dan stilistika.
a. Etimologi adalah bidang linguistik tentang asal-usul kata. Di dalam naskah lama banyak
ditemukan kata-kata yang tidak diketahui lagi artinya, atau tidak cocok lagi artinya
dengan arti yang dipahami oleh masyarakat sekarang. Hal ini dapat dimengerti karena
bahasa-bahasa naskah nusantara banyak mengandung kata serapan dari bahasa asing yang
dalam proses penyerapannya mengalami perubahan bentuk dan makna. Kata-kata yang
termasuk kategori ini perlu dikaji asal-usulnya untuk keterpahaman teks. Pengkajian
perubahan bentuk dan makna kata menuntut pengetahuan tentang fonologi, morfologi,
dan semantik. Munculnya kata pungkir dan ungkir, misalnya, adalah akibat kurangnya
pengetahuan tentang fonologi dan morfologi dalam pengkajian etimologis. Secara
etimologis, bentuk yang benar dari kedua kata tersebut adalah mungkir yang diserap dari
kata Arab munkir. Kata cinta dalam teks-teks naskah lama sering berarti ‘sedih’, ‘susah’.
Kata masyghul (kosa kata Arab) yang bentuk serapannya dalam bahasa Indonesia masgul
yang lazim diartikan ‘sedih’, ‘gundah’, dalam naskah karangan Nuruddin Ar-Raniri
berarti sibuk sama dengan arti aslinya dalam bahasa Arab. Kata-kata seperti itu perlu
dikaji secara etimologi dengan alat analisis pengetahuan fonologi, morfologi, dan
semantik (Baried, dkk, 1985:11).
b. Sosiolinguistik; sebagai cabang linguistic yang mempelajari hubungan bahasa dengan
perilaku masyarakat sangat bermanfaat untuk menekuni keragaman bahasa teks.
Misalnya, ada tidaknya kode-kode tertentu penggunaan bahasa, ragam bahasa, erat
kaitannya dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian sosiolinguistik
terhadap bahasa teks diharapkan dapat membantu pengungkapan kondisi sosiobudaya
yang terkandung di dalam naskah.
c. Stilistika; cabang linguistik yang meneliti gaya bahasa berguna untuk membantu filolog
dalam menentukan teks asli atau teks yang mendekati aslinya, juga dalam penentuan usia
teks. Adanya tradisi penyalinan terbuka dalam penurunan teks, atau satu naskah disalin
25
dengan menggabungkan dua naskah induk sebagai sumber salinan (penyalinan secara
horizontal) menyulitkan untuk pelacakan naskah asli. Dengan mencermati gaya bahasa
teks, mungkin akan terlihat kelainan gaya bahasanya dan diperkirakan bentuk itu bukan
termasuk teks asli. Selain itu, stilistika diharapkan pula dapat membantu penentuan usia
teks, karena banyak naskah lama tidak memiliki tanggal penyalinan dan nama
pengarangnya. Perbandingan gaya bahasa naskah yang demikian dengan gaya bahasa
naskah-naskah yang diketahui usianya meskipun hanya sekedar perkiraan zaman
penulisannya dapat digunakan untuk memberi perkiraan umur naskah yang gaya
bahasanya diperbandingkan itu. Misalnya dalam sastra Jawa, kitab Brahmandapurana
yang tidak punya angka tahun penulisan dan nama penulisnya, oleh Purbatjaraka
ditempatkan sezaman dengan Sang Hyang Kamahayanikan atas dasar kesamaan struktur
dan gaya bahasanya (dalam Baried, dkk., 1985:12).
2. Bantuan Bahasa-bahasa yang Mempengaruhi Teks terhadap Filologi
Naskah-naskah nusantara dipengaruhi oleh berbagai bahasa yang erat kaitannya dengan
teks. Karena itu, seorang filolog perlu memiliki pengetahuan dan memahami bahasa-bahasa
yang mempengaruhi teks. Dalam hal ini, ada tiga bahasa yang berpengaruh besar pada teks
naskah lama, yaitu bahasa Sanskerta, bahasa Arab, dan bahasa daerah yang berdekatan.
Berikut diuraikan satu per satu.
a. Bahasa Sanskerta
Bahasa Sanskerta berpengaruh besar terhadap naskah-naskah Jawa yang berisi ajaran
agama Hindu dan Buda. Naskah-naskah yang berisi ajaran agama Hindu dan Buda itu dalam
bahasa Jawa Kuno masih banyak menggunakan kosa kata, bahkan cuplikan-cuplikan
berbahasa Sanskerta. Setelah naskah-naskah tersebut disalin ke dalam tulisan Kawi
menggunakan bahasa Jawa Tengahan, bagian-bagian tertentu yang berbentuk istilah
kegamaan masih ditulis dengan bahasa Sanskerta. Contohnya adalah Kakawin Ramayana,
Uttarakanda, Sang Hyang Kamahayanikan. Dalam naskah Melayu, terutama karya yang
disadur dari sastra Jawa pengaruh Hindu, bantuan bahasa Sanskerta dibutuhkan untuk
memahami dan memaknai kata-kata serapan dari bahasa Sanskerta tersebut.
b. Bahasa Arab
Sama halnya dengan bahasa Sanskerta yang berpengaruh terhadap naskah-naskah yang
berisi ajaran Hindu dan Buda, bahasa Arab berpengaruh terhadap naskah-naskah yang berisi
26
penerimaan pembaca terhadap teks karya sastra tersebut, dia perlu memahami denga baik
prinsip-prinsip pendekatan pragmatik.
agama Islam dan pengaruh Arab kemudian Parsi masuk ke daerah Melayu sebagai jalan
masuk pertama kali agama Islam ke Indonesia. Hal itu dibuktikan oleh catatan sejarah bahwa
hasil karya tulis bangsa Melayu yang pertama baru ada akhir abad ke-14 dengan judul karya
Kitab Risalah (Soekmono, 1973). Setelah agama Islam masuk ke Indonesia mulai melalui
Aceh, kebudayaan Indonesia pengaruh Islam pun berkembang. Cerita-cerita yang bernuansa
Islami, seperti cerita Nabi Muhammad, cerita para sahabat Nabi Muhammad, cerita nabi
seperti Kitab Anbia, Hikayat NabiYusuf, cerita para penyebar dan pahlawan Islam, seperti
Iskandar Zulkarnain dan Amir Hamzah disadur ke dalam bahasa Melayu dan bahasa
nusantara lainnya. Naskah-naskah tasauf Islam ditulis oleh para ulama, seperti Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Assamatrani, Abdurrauf Assinkeli, dan Nuruddin Arraniri.
Selain menyadur cerita-cerita yang bernafas Islam dan karya tasauf yang dihasilkan oleh
para ulama kerajaan Aceh, sastra daerah Melayu juga menyadur cerita-cerita pengaruh Hindu
dan cerita-cerita panji Jawa dengan menambah istilah hikayat di depan judul aslinya.
sehingga, selain mengenal Mahabrata versi Jawa di dalam sastra Melayu dikenal Hikayat
Pandawa, atau Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Pandawa Jaya; di samping Ramayana versi
Jawa, dalam sastra Melayu dikenal Hikayat Sri Rama (Soekmono, 1973). Dari segi
penggunaan huruf untuk menulis naskah pun sejarah kebudayaan memberikan bantuan untuk
filolog bahwa masing-masing babakan waktu memiliki huruf untuk menuliskan naskah.
Semuanya harus dipahami filolog dalam menelaah naskah yang bervariasi menggunakan
huruf tersebut.
Tradisi lain masyarakat Jawa yang bersifat menghormati dan mengeramatkan naskah
adalah mutrani yang berarti ‘membuat putra’ dilihat dari tindakan penyalinan naskah. Kata
mutrani diturunkan dari kata ‘putra’ yang berkonotasi hormat terhadap naskah. Ada juga
naskah-naskah magis yang memerlukan pendekatan antropologis, seperti naskah-naskah
yang mengandung mantra. Selain itu, ada pula naskah yang oleh penyalinnya dikatakan
dapat menghapuskan dosa pembacanya apabila dibaca sampai tamat, seperti Hikayat Nabi
Bercukur (Baried, dkk., 1985:19). Dengan demikian, filolog bisa memberikan pernyataan
yang sesuai dengan perilaku masyarakat terhadap naskah tersebut di dalam kajiannya.
Folklor berbeda dengan kebudayaan lain yang dimiliki suatu kolektif (kelompok).
Danandjaja (1991:3-4) mengemukakan cirri-ciri folklore agar mudah dibedakan dengan
kebudayaan yang lain, sebagi berikut.
a. Penyebaran dan pewarisan dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata
dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya;
b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam
bentuk standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama, paling sedikit
dua generasi;
c. Folklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda dikibatkan oleh cara
penyebarannya dari mulut ke mulut, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses
interpolasi dapat mengalami perubahan;
d. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi;
e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya,
selalu mempergunakan kata-kata klise, seperti “bulan empat belas hari” untuk
menggambarkan kecantikan seorang gadis, dan “seperti ular berbelit-belit” untuk
menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-
ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku , seperti
kata sahibul hikayat…dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya” (Danandjaja,
1991:4);
f. Folklor mempunyai kegunaan ataufungsi dalam kehidupan bersama suatu koleltif. Cerita
rakyat misalnya, mempunyai fungsi alat pendidikan, pelipur lara, protes social, dan
proyeksi keinginan terpendam;
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum, terutama folklore lisan dan sebagian lisan;
h. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, karena pencipta pertmanya tidak
diketahui lagi;
i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar dan
terlalu spontan.
Folklor yang diperlukan untuk kelancaran pekerjaan seorang filolog adalah folklor lisan,
karena di antara folklor lisan itu ada yang berbentuk cerita yang kemudian disalin ke dalam
bentuk tulis. Karena folklor lisan yang sudah ditulis tidak hilang sifat kelisanannya, karakter
32
kelisanan itu harus digunakan menyikapi teks yang berasal dari folklor tersebut. Sebagai
contoh adalah naskah-naskah kaba Minangkabau yang disalin ke dalam bentuk tulis. Ketika
naskah itu ditelaah dan diedisi, bahasa edisinya mengikuti bahasa kaba itu ketika dilisankan,
yaitu berbahasa Minangkabau. Meskipun masyarakat Minang lebih suka menggunakan
bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) ketika menulis, edisi kaba Minangkabau tetap
harus mengikuti bahasa tuturnya, bahasa Minangkabau.
9. Bantuan Paleografi terhadap Filologi
Paleografi adalah ilmu tentang tulisan di atas prasasti. Baried, dkk. (1985:62) mengatakan
bahwa paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuno. Ilmu ini diperlukan untuk
penelitian tulisan kuno di atas batu, logam, atau bahan lainnya termasuk kertas, daun, bambo,
dan rotan.
Filologi yang membutuhkan bantuan bidang ilmu paleografi adalah filologi naskah Jawa,
karena kebudayaan Jawa memiliki bermacam-macam jenis tulisan dan aksara untuk menulis
naskahnya. Naskah-naskah yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Budha membutuhkan
bantuan paleografi mengenali tulisan aksara Pallawa, aksara Pranagari, dan aksara Kawi,
karena kemungkinan untuk satu naskah yang sejudul, penyalinannya menggunakan aneka
ragam tulisan aksara tersebut. Bila penelaah naskah mengetahui dan memahami karakter
semua jenis tulisan dan aksara yang digunakan dala naskah-naskah yang ditelaahnya, dia
tidak akan menemukan kesulitan dalam mengedit dan menyajikan teks suntingan.
teliti itu lebih banyak naskah-naskah kesastraan, karena penelaahan naskah kesastraaan bisa
mereka manfaatkan untuk lebih mengenal karakter masyarakat yang diceritakan di dalam
naskah itu. Hasil penafsiran peneliti naskah tentang karakter bangsa Indonesia itu diserahkan
mereka kepada pemerintah mereka, dan dengan penegenalan itu Belanda bisa lebih dalam
mencengkeramkan kuku penjajahan terhadap bangsa Indonesia.
Hasil penelaahan naskah-naskah nusantara juga dimanfaatkan oleh penyusun buku
kesastraan Indonesia; ilmu sastra dibantu oleh filologi dalam hal penyediaan teks-teks
susastra yang dibutuhkan untuk menyusun buku sejarah kesusastraan. Bidang sastra yang
telah memanfaatkan hasil kerja filolog adalah bidang sejarah kesusastraan lama, misalnya
buku Sejarah Kesusteraan Melayu Klasik (1982) susunan Liaw Yock Fang; Menggali
Khasanah Sastera Melayu Klasik (1990) dan buku Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau
(2002) susunan Edwar Djamaris.
Sama halnya dengan yang diterima bidang linguistik, filolog dapat pula membantu
peneliti sastra lama yang tidak mengerti aksara lama untuk membaca dan mentransliterasikan
naskah yang menjadi sumber data penelitian sastranya. Sebelum kesastraan sebuah naskah
cerita lama yang masih bertulisan non-Latin dianalisis oleh ahli sastra, naskah tersebut perlu
dialihaksarakan secara filologis terlebih dahulu. Di sinilah filologi memberikan bantuan
untuk pengembangan ilmu sastra.
3. Bantuan Filologi terhadap Ilmu Sejarah
Kegitan filologi Indonesia juga telah mengkaji naskah-naskah lama yang berisi sejarah,
misalnya Nagarakretagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Babad Dipanegara, Sejarah
Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Aceh, dan Hikayat Banjar (Baried, dkk. 1985:22).
Ekajati (dalam Baried, dkk., 1985:50) telah menelaah naskah Cerita Dipati Ukur dan
Hermansoemantri menelaah naskah Sejarah Sukapura yang berisi sejarah tradisional Sunda.
Suntingan-suntingan naskah yang berisi teks sejarah dapat dimanfaatkan sebagai sumber
sejarah setelah diperbandingkan dengan sumber-sumber lain. Naskah-naskah hikayat tokoh
lama pun bisa membantu ilmu sejarah untuk mengungkapkan kehidupan pemerintahan lama,
misalnya Hikayat Abdullah yang memberikan informasi pendukung untuk mengungkap
kehidupan feodal yang mendapat kritikkan tajam waktu itu. Pada hal di dalam buku sejarah
tidak ditemukan gambaran kehidupan mesyarakat seperti yang dijelaskan di dalam Hikayat
Abdullah tersebut.
35
Filologi juga telahbanyak mengkaji naskah-naskah lama yang berisi ajaran agama, baik
Hindu, Buda, maupun Islam. Suntingan naskah-naskah tersebut akan menjadi bahan
penulisan sejarah perkembangan agama. Dari teks-teks semacam itu akan diperoleh
gambaran perwujudan penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Buda, dan Islam
dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat nusantara, permasalahan aliran-aliran
agama yang masuk ke nusantara. Gambaran itu merupakan permasalahan yang ditangani oleh
ilmu sejarah perkembangan agama. Dengan demikian, penanganan naskah sastra kitab secara
filologis sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah perkembangan agama (Baried, dkk., 1985:23).
sebenarnya merupakan adat yang terbentuk dalam masyarakat selama peredaran masa,
bukan peraturan yang seluruhnya dibuat oleh raja sebagai penguasa. Penulisannya baru
dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian peraturan hukum oleh raja atau
setelah ada pengaruh dunia barat.
Beberapa naskah undang-undang dalam sastra Melayu adalah Undang-undang Negeri
Malaka (Risalah Hukum Kanun). Undang-undang Minangkabau; di Jawa terkenal Raja Niti,
Praniti Raja, Kapa-kapa, Surya Ngalam, Nawala Pradata, dan Angger Sadasa; ada juga
dalam sastra Melayu Adat Raja-raja Melayu. Tersedianya teks-teks semacam itu akan sangat
berguna bagi ilmu-ilmu adat (Baried, 1985:23). Masyarakat akan menjadikannya sebagai
aturan-aturan hidup yang akan dipatuhi bersama. Bahkan, mungkin saja teks-teks semacam
itu dijadikan bahan untuk menyusun buku hukum adat.
Teori struktural Roman Ingarden tentang lapis-lapis suatu karya sastra berujung pada kajian
metafisika, karena hakikat hidup manusia hanya dapat ditemukan pada penafsiran filsafat.
Keagungan, kesucian, dan kedahsyatan kehidupan yang diceritakan dalam karya sastra
menyebabkan kita, pembaca, tertarik untuk memikirkannya. Hal ini melahirkan makna
filsafat suatu karya sastra.
Teks-teks sastra hikayat banyak mengandung nasihat –nasihat, pepatah-petitih yang
menandakan bahwa sastra merupakan penjaga keselamatan moralitas yang dijunjung oleh
masyarakat pada umumnya. Moralitas yang demikian bersumber pada keyakinan yang
bersifat filsafatatau pemikiran keagamaan. Lukisan tokoh-tokoh dalam hikayat berupa tokoh
baik dan tokoh jahat mencerminkan filsafat yang berdasarkan pandangan hidup yang
sederhana bahwa hidup ini pada intinya berupa peperangan antara yang baik dengan yang
buruk; menurut moralitas yang umum berakhir dengan kemenangan di pihak yang baik
(Baried, dkk., 1985:25).
Al-Attas (dalam Baried, dkk., 1985:25), mengatakan bahwa naskah-naskah yang berisi
ajaran tasauf mengandung filsafat yang meliputi aspek ontology, kosmologi, dan psikologi;
ilmu tasauf dipandang sebagai filsafat Islam yang sejati. Namun, penggalian filsafat dari
teks-teks sastra nusantara belum banyak dilakukan. Sumbangan utama filologi kepada
filsafat adalah berupa suntingan naskah disertai transliterasi dan terjemahan ke dalam bahasa
nasional yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh ahli filsafat.
Referensi
1. Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: P3B
2.Nurizzati. 2019. Ilmu Filologi: Teori dan Prosedur Penelitiannya. Malang: CV IRDH.
3.Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta Yayasan Media
Alo Indonesia.
4.Soebadio, Haryati. 1975. “Penelitian Naskah Lama Indonesia”. Buletin Yaperna, Nomor 7
Tahun II. Jakarta.
5. dan lain-lain.