Anda di halaman 1dari 18

BAHAN AJAR

A. Identitas Mata Kuliah

Nama Mata Kuliah : Pengantar Filologi


Sks :2 Kode: IND1.62.1011
Bahan Kajian : Kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu lain
Pertemuan ke :3
Program Studi : Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Dosen : Dr. Nurizzati, M. Hum.

B. Learning outcomes (Capaian Pembelajaran) terkait KKNI :

Berpikir kritis tentang kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu lain yang


membantu dan dibantu filologi

C. Materi:

KEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU-ILMU LAIN

1. Ilmu-ilmu bantu filologi


2. Filologi sebagai ilmu bantu ilmu-ilmu lain

HUBUNGAN FILOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAIN

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa filologi adalah ilmu yang
mempersoalkan keberadaan teks yang terkandung dalam naskah yang ditulis ratusan tahun
sebelumnya dengan tulisan tangan, dengan huruf dan bahasa yang mungkin tidak dikenal
dan dipahami masyarakat saat ini. Tujuan utamanya adalah penyuntingan dan pelestarian
teks agar tetap ada, apa saja jenis teksnya, agar berlanjut, dan sebaliknya dapat memberi
bantuan pada bidang ilmu lain, bahkan untuk kehidupan sehari-hari dalam masyarakat yang
masih memerlukan informasi nilai-nilai rohaniah kebudayaan lama. Karena itu, filologi

20
21

memiliki hubungan timbal-balik dengan sejumlah ilmu lain. Untuk kelancaran pekerjaan
menelaah dan menyunting teks, seorang filolog membutuhkan bantuan ilmu lain yang terkait
dengan pekerjaannya membaca, memahami, dan memperbaiki kesalahan tulis atau bacaan
naskah; di satu sisi filologi dibantu ilmu-ilmu lain, di sisi lain filologi membantu ilmu-ilmu
lain.
Ilmu-ilmu yang membantu filolog menelaah naskah dan teks nusantara yang berisi
berbagai informasi tentang pemikiran, tindakan, dan perilaku masyarakat tradisional adalah
linguistik, bahasa-bahasa yang mempengaruhi teks, ilmu sastra, ajaran agama (Hindu, Buda,
Islam), sejarah kebudayaan Indonesia, Ilmu Antropologi, folklor, dan ilmu tentang tulisan-
tulisan kuno di atas prasasti (paleografi), khususnya untuk penelaahan naskah Jawa yang
memiliki sejarah penulisan naskah yang paling panjang. Artinya, seorang filolog perlu
memiliki ilmu-ilmu yang terkait dengan teks yang ditelaahnya, agar dia terbantu
memecahkan misteri yang menghambat pekerjaannya menelaah naskah dan menyunting
teks. Kebalikannya, beberapa ilmu yang disebutkan itu kemudian mendapatkan bantuan pula
oleh filologi berupa teks yang sudah bersih dari kesalahan atau bantuan filolog untuk
membacakan naskah yang masih dalam tulisan lama untuk sumber data penelitian ilmu
terkait, seperti: linguistik, ilmu sastra, sejarah perbandingan agama, ilmu sejarah, sejarah
kebudayaan, hukum adat, dan filsafat. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan adanya ilmu
lain yang membantu menyelesaikan tugasnya menyunting naskah, terutama kalau naskah
yang ditelaah tentang bidang ilmu itu. Hal itu berarti bahwa seorang filolog itu harus
memiliki wawasan yang luas, ilmu yang bermacam-macam, karena dia harus menggarap
naskah yang bermacam-macam. Kedudukan filologi di antara ilmu-ilmu lain yang bersifat
timbal balik itu terlihat pada bagan berikut.
22

LINGUISTIK LINGUISTIK

BAHASA YG
ILMU SASTRA
MEMPENGARU
HI TEKS
ILMU SEJARAH
ILMU SASTRA
SEJ. KEB.
INDONESIA
AGAMA: HINDU.
BUDA, ISLAM FILOLOGI
SEJARAH
SEJ. KEB. PERKEMBANGAN
INDONESIA AGAMA

ILMU
ANTROPOLOGI HUKUM ADAT

FOLKLOR

FILSAFAT
PALEOGRAFI

Ilmu yang membantu filologi Ilmu yang dibantu filologi

A. Ilmu-ilmu Bantu Filologi


Sebagaimana disampaikan sebelumnya, dan sesuai dengan arah panah yang ada pada
bagan, ilmu-ilmu yang membantu filologi adalah linguistik, bahasa-bahasa yang
mempengaruhi teks, ilmu sastra, Sejarah Kebudayaan Indonesia, ilmu Antropologi, agama
(Hindu, Buda, Islam), folklor, dan paleografi adalah ilmu yang membantu filologi. Artinya,
seorang filolog perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap ilmu-ilmu
yang membantu dan memudahkan pekerjaannya sebagai filolog. Berikut ilmu-ilmuyang
membantu filologi itu diuraikan satu per satu.
23

1. Bantuan Linguistik terhadap Filologi


Linguistik adalah bidang ilmu yang paling banyak bantuannya terhadap filologi.
Kelancaran pekerjaan seorang filolog sangat ditentukan oleh pengetahuannya tentang bahasa,
kemahirannya memahami bahasa tulis, dan kepekaannya terhadap nilai rasa bahasa.
Pengetahuan bahasa yang memberikan bantuan mendasar pada filolog adalah etimologi,
sosiolinguistik, dan stilistika. Etimologi adalah ilmu bahasa yang membahas tentang asal-
usul kata, karena kosa kata bahasa Indonesia banyak diperkaya oleh bahasa daerah atau
bahasa asing. Penguasaan filolog terhadap bidang etimologi akan membantu dia memahami
makna sebuah kata yang logika maknanya bertentangan dengan makna yang dipergunakan
sekarang. Jika filolog menafsirkan sebuah kata lama dengan makna yang berlaku sekarang,
arti dari kata itu tidak sesui dengan konteksnya. Dalam hal ini, filolog harus tanggap bahwa
dia perlu melihat kamus untuk memastikan makna kata lama yang tidak cocok dengan makna
yang berlaku sekarang. Dia perlu mengkaji sejarah perubahan bentuk dan makna kata.
Upaya filolog untuk melacak perubahan bentuk dan makna kata itu perlu pula
pengetahuan tentang fonologi, morfologi, dan semantik yang juga merupakan bagian kajian
linguistik. Sebagai contoh, timbulnya kata ‘pungkir’ dan ‘ungkir’ adalah sebagai akibat
kurangnya pengetahuan tentang fonologi, morfologi dalam pengkajian etimologis (Baried,
dkk. 1985:11). Kedua kata itu secara etimologis bentuknya yang benar adalah ‘mungkir’
yang diserap dari bahasa Arab munkir. Contoh lain adalah kata ‘cinta’ yang berarti ‘sedih’,
‘susah’, dalam Hikayat Si Miskin. Kata masygul (bahasa Arab) yang bentuk serapannya
dalam bahasa Indonesia masgul dalam naskah-naskah karangan Nuruddin Ar-Ranirri berarti
sibuk, yaitu arti yang masih asli dari bahasa Arab, bukan berarti ‘sedih’, ‘gundah’ seperti arti
yang terdapat dalam teks-teks sastra hikayat yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia
sekarang. Kata-kata seperti itulah yang dikaji secara etimologis dengan alat analisis berupa
pengetahuan tentang fonologi, morfologi, dan semantik (Baried, 1985:11).
Kemahiran filolog memahami bahasa tulis memberi bantuan kemudahan memahami
bahasa lama yang digunakan di dalam naskah. Bahasa tulis yang taat asas pada kaidah
bahasa baku akan memberikan tuntunan memahami struktur bahasa lama, khususnya yang
memiliki kemiripan dengan struktur linguistik modern.
Kepekaan filolog terhadap nilai rasa bahasa mempermudah dia membaca naskah,
khususnya untuk menafsirkan bentuk tulisan yang karakter hurufnya tidak jelas, sudah kabur,
24

atau menafsirkan adanya bagian naskah (seukuran kata) yang hilang, atau yang tertukar
varian lain. Dengan mempedomani konteks tempat munculnya kata, dia mencoba
menafsirkan bacaan yang tidak jelas tersebut.
Kerja filologi berhubungan dengan kesahihan bahasa dalam teks. Karena itu linguistik
sangat membantu kelancaran kerja filologi. Bidang linguistik yang membantu filologi adalah
etimologi, sosiologi, dan stilistika.
a. Etimologi adalah bidang linguistik tentang asal-usul kata. Di dalam naskah lama banyak
ditemukan kata-kata yang tidak diketahui lagi artinya, atau tidak cocok lagi artinya
dengan arti yang dipahami oleh masyarakat sekarang. Hal ini dapat dimengerti karena
bahasa-bahasa naskah nusantara banyak mengandung kata serapan dari bahasa asing yang
dalam proses penyerapannya mengalami perubahan bentuk dan makna. Kata-kata yang
termasuk kategori ini perlu dikaji asal-usulnya untuk keterpahaman teks. Pengkajian
perubahan bentuk dan makna kata menuntut pengetahuan tentang fonologi, morfologi,
dan semantik. Munculnya kata pungkir dan ungkir, misalnya, adalah akibat kurangnya
pengetahuan tentang fonologi dan morfologi dalam pengkajian etimologis. Secara
etimologis, bentuk yang benar dari kedua kata tersebut adalah mungkir yang diserap dari
kata Arab munkir. Kata cinta dalam teks-teks naskah lama sering berarti ‘sedih’, ‘susah’.
Kata masyghul (kosa kata Arab) yang bentuk serapannya dalam bahasa Indonesia masgul
yang lazim diartikan ‘sedih’, ‘gundah’, dalam naskah karangan Nuruddin Ar-Raniri
berarti sibuk sama dengan arti aslinya dalam bahasa Arab. Kata-kata seperti itu perlu
dikaji secara etimologi dengan alat analisis pengetahuan fonologi, morfologi, dan
semantik (Baried, dkk, 1985:11).
b. Sosiolinguistik; sebagai cabang linguistic yang mempelajari hubungan bahasa dengan
perilaku masyarakat sangat bermanfaat untuk menekuni keragaman bahasa teks.
Misalnya, ada tidaknya kode-kode tertentu penggunaan bahasa, ragam bahasa, erat
kaitannya dengan konvensi masyarakat pemakai bahasa. Hasil kajian sosiolinguistik
terhadap bahasa teks diharapkan dapat membantu pengungkapan kondisi sosiobudaya
yang terkandung di dalam naskah.
c. Stilistika; cabang linguistik yang meneliti gaya bahasa berguna untuk membantu filolog
dalam menentukan teks asli atau teks yang mendekati aslinya, juga dalam penentuan usia
teks. Adanya tradisi penyalinan terbuka dalam penurunan teks, atau satu naskah disalin
25

dengan menggabungkan dua naskah induk sebagai sumber salinan (penyalinan secara
horizontal) menyulitkan untuk pelacakan naskah asli. Dengan mencermati gaya bahasa
teks, mungkin akan terlihat kelainan gaya bahasanya dan diperkirakan bentuk itu bukan
termasuk teks asli. Selain itu, stilistika diharapkan pula dapat membantu penentuan usia
teks, karena banyak naskah lama tidak memiliki tanggal penyalinan dan nama
pengarangnya. Perbandingan gaya bahasa naskah yang demikian dengan gaya bahasa
naskah-naskah yang diketahui usianya meskipun hanya sekedar perkiraan zaman
penulisannya dapat digunakan untuk memberi perkiraan umur naskah yang gaya
bahasanya diperbandingkan itu. Misalnya dalam sastra Jawa, kitab Brahmandapurana
yang tidak punya angka tahun penulisan dan nama penulisnya, oleh Purbatjaraka
ditempatkan sezaman dengan Sang Hyang Kamahayanikan atas dasar kesamaan struktur
dan gaya bahasanya (dalam Baried, dkk., 1985:12).
2. Bantuan Bahasa-bahasa yang Mempengaruhi Teks terhadap Filologi
Naskah-naskah nusantara dipengaruhi oleh berbagai bahasa yang erat kaitannya dengan
teks. Karena itu, seorang filolog perlu memiliki pengetahuan dan memahami bahasa-bahasa
yang mempengaruhi teks. Dalam hal ini, ada tiga bahasa yang berpengaruh besar pada teks
naskah lama, yaitu bahasa Sanskerta, bahasa Arab, dan bahasa daerah yang berdekatan.
Berikut diuraikan satu per satu.
a. Bahasa Sanskerta
Bahasa Sanskerta berpengaruh besar terhadap naskah-naskah Jawa yang berisi ajaran
agama Hindu dan Buda. Naskah-naskah yang berisi ajaran agama Hindu dan Buda itu dalam
bahasa Jawa Kuno masih banyak menggunakan kosa kata, bahkan cuplikan-cuplikan
berbahasa Sanskerta. Setelah naskah-naskah tersebut disalin ke dalam tulisan Kawi
menggunakan bahasa Jawa Tengahan, bagian-bagian tertentu yang berbentuk istilah
kegamaan masih ditulis dengan bahasa Sanskerta. Contohnya adalah Kakawin Ramayana,
Uttarakanda, Sang Hyang Kamahayanikan. Dalam naskah Melayu, terutama karya yang
disadur dari sastra Jawa pengaruh Hindu, bantuan bahasa Sanskerta dibutuhkan untuk
memahami dan memaknai kata-kata serapan dari bahasa Sanskerta tersebut.
b. Bahasa Arab
Sama halnya dengan bahasa Sanskerta yang berpengaruh terhadap naskah-naskah yang
berisi ajaran Hindu dan Buda, bahasa Arab berpengaruh terhadap naskah-naskah yang berisi
26

ajaran Islam. Naskah-naskah nusantara yang menggunakan aksara Arab-Melayu umumnya


tanpa tanda baca. Karena itu, filolog-filolog yang menelaah naskah-naskah yang berisi
ajaran Islam perlu bantuan pengetahuan bahasa Arab, mereka harus mengerti bahasa Arab.
Apalagi kalau filolog ingin melacak atau memperbandingkan teks-teks nusantara yang kena
pengaruh Islam dengan sastra Islam berbahasa Arab atau sumbernya yang berbahasa Arab,
butuh sekali bantuan pengetahuan bahasa Arab. Contoh naskah-naskah yang membutuhkan
bantuan bahasa Arab dalam penanganannya adalah naskah-naskah karya Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Assamatrani, Nurudddin Arraniri, Abdurrauf Assinkli, seperti Syarabul
Asyikin, Mir’atul Mukminin, Sirathal Mustaqim, dan Daqa’iqul Huruf; dalam sastra Jawa
adalah naskah-naskah yang berjudul suluk, seperti Suluk Sukarsa dan Suluk Wujil.
3. Bahasa Daerah yang Berdekatan terhadap Filologi
Bahasa daerah yang berdekatan biasanya mempengaruhi naskah-naskahnya, karena
daerah-daerah yang berdekatan tersebut pernah mengalami kontak budaya. Naskah-naskah
daerah Minangkabau misalnya dipengaruhi oleh bahasa Melayu; naskah-naskah daerah
Sunda dipengaruhi oleh bahasa Jawa, karena Sunda dengan Jawa pernah mengalami kontak
budaya pada masa lampau. Tanpa pengetahuan bahasa daerah yang berdekatan ini, filolog
bisa direpotkan oleh bacaan kata yang ternyata bukan dari bahasa asing, tetapi kosa kata
salah satu daerah yang berdekatan. Adakalanya naskah yang ditemukan sekarang tidak
diketahui asal-usulnya, baik asal daerah penemuannya, daerah tempat penyalinannya, apalagi
asal daerah penulisan naskah aslinya.
Kesulitan membaca bacaan naskah sering dijumpai dalam naskah-naskah berhuruf Jawi
(Arab-Melayu), karena ejaannya kebanyakan tidak menyertakan tanda vokal. Begitu juga
ketika menggarap naskah-naskah saduran dan terjemahan teks-teks lama nusantara ke dalam
bahasa Indonesia, butuh bantuan pengetahuan bahasa daerah yang berdekatan itu. Misalnya,
dalam sejarah sastra Jawa, kegiatan penyaduran telah dilakukan oleh Yasadipura I dan
Yasadipura II. Karya-karya sastra Jawa Kuno yang sudah hampir musnah dihayatinya,
kemudian diciptakannya kembali dalam bentuk baru bentuk prosa. Untuk menjadi seperti
Yasadipura dalam sejarah sastra Indonesia, para filolog dengan sendirinya harus membekali
diri dengan pengetahuan bahasa daerah nusantara, terutama bahasa-bahasa daerah yang
berdekatan yang terbuka untuk saling pengaruh-mempengaruhi dalam perkembangannya.
(Baried, dkk, 1985:11).
27

4. Bantuan Ilmu Sastra terhadap Filologi


Bantuan ilmu sastra terhadap filologi adalah teori dan pendekatan untuk pemahaman teks
sastra yang terkandung di dalam naskah dan menganalisis isi teksnya. Empat teori utama
ilmu sastra adalah strukturalisme, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan resepsi sastra, dan 4
pendekatan pemahaman teks sastra yang dikemukakan Mh. Abrams, yaitu pendekatan
objektif, pendekatan mimesis, pendekatan ekspresif, dan pendekatan pragmatik (Atmazaki,
2005). Prinsip-prinsip pendekatan objektif perlu dipahami filolog kalau dia ingin menggali
struktur karya sastra secara intrinsik. Penelaahan teks prosa dengan pendekatan objektif
menuntut filolognya mengetahui dan memahami dengan baik konsep pendekatan objektif
dalam menelaah prosa bahwa prosa secara objektif terdiriatas unsure alur, penokohan, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, dan tema-amanat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang
memiliki hubungan sebab-akibat; alur yang baik terdiri atas unsur pengenalan, perumitan,
konflik, klimaks, dan penyelesaian. Penokohan adalah persoalan bagaimana pengarang
memperkenalkan dan menggambarkan tokoh, peran tokoh, dan watak tokoh. Latar adalah
tempat, waktu, dan situasi social-budaya terjadinya peristiwa. Sudut pandang menyangkut
unsur penceritaan, pada posisi apa dan bagaimana pengarang menyikapi informasi tentang
cerita, apakah sebagai orang pertama (berada dalam diri tokoh utama dengan sapaan aku),
atau pada posisi orang ketiga (pengarang sebagai pencerita netral masuk ke semua tokoh).
Sedangkan gaya bahasa adalah unsur prosa yang berhubungan dengan kekhasan bahasa yang
digunakan pengarang; dan tema-amanat menyangkut permasalah pokok atau gagsan sentral
yang dibahas oleh pengarang di dalam karyanya, serta jalan ke luar dari masalah
(penyelesaian) yang disodorkan pengarang.
Kalau filolog ingin menemukan kaitan karya sastra yang ditelitinya dengan realitas yang
ada di dalam masyarakat, dia butuh pengetahuan yang baik tentang pendekatan mimesis.
Penerapan pendekatan mimesis berupaya untuk mengungkapkan seberapa jauh nilai-nilai
yang ada di tengah masyarakat tergambar di dalam karya sastra, atau mengungkap
bagaimana gambaran dalam karya sastra mempengaruhi kehidupan masyarakat. Seterusnya,
filolog perlu memahami dengan baik prinsip-prinsip pendekatan ekspresif kalau dia ingin
menganalisis aspek pengarang di dalam karya sastra; apakah pengarang seorang yang idealis,
fanatis, memihak raja atau tidak. Bila yang ingin dikaji filolog dari teks karya sastra segi
28

penerimaan pembaca terhadap teks karya sastra tersebut, dia perlu memahami denga baik
prinsip-prinsip pendekatan pragmatik.

5. Bantuan Sejarah Kebudayaan Indonesia terhadap Filologi


Naskah-naskah klasik dari berbagai babakan sejarah penciptaan dan penulisannya
menggambarkan kebudayaan masa yang diacunya. Babakan sejarah kebudayaan Indonesia
menurut Soekmono (1973:16) dibagi menjadi 4 masa, yaitu: (a) zaman prasejarah, sejak dari
permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai kira-kira abad ke-5 Masehi; (b) zaman
purba, sejak dari datangnya pengaruh India pada abad-abad pertama Masehi sampai
lenyapnya kerajaan Majapahit sekitar tahun 1500 M; (c) zaman madya, sejak dari datangnya
agama dan pengauh Islam menjelang akhir zaman Majapahit sampai akhir abad ke-19; dan
(d) zaman modern, sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik modern pada kira-kira
tahun 1900 sampai sekarang.
Pengaruh India dalam perkembangan kebudayaan Indonesia yang teramat penting bagi
khasanah sastra nusantara adalah aksara Pallawa dan Pranagari yang membukakan
kesempatan untuk megabadikan pemikiran bangsa Indonesia ke dalam tulisan di samping
pengaruh sastra klasik India itu sendiri. Adanya aksara dan contoh karya sastra yang
merangsang fantasi dan imajinasi membukakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk menulis
karya-karya sendiri tentang alam dan kehidupan bangsa Indonesia sendiri di samping
penyaduran cerita-cerita klasik India tersebut ke dalam berbagai bahasa nusantara. Karya
sastra pengaruh kebudayaan India yang paling banyak adalah di daerah Jawa, Sunda, dan
Melayu. Karya sastra pengaruh India yang sampai sekarang masih ada antara lain:
Mahabrata, Ramayana, Sang Hyang Kamahayanikan, Arjunawiwaha, Nagarakertagama,
Sutasoma, (Soekmono, 1973). Aksara-aksara yang digunakan dalam penulisan naskah Jawa
adalah aksara Pallawa, aksara Pranagari, aksara Kawi, dan aksara Jawi (setelah pengaruh
Islam masuk ke Jawa). Dari jenis tulisan, bentuk huruf, dan ciri khas tulisan tangan tertentu
dapat dirunut kembali daerah asal, waktu penulisan teks membrikan bahan dalam
memperkirakan sejarah terjadinya teks dan seluk-beluk teks itu untuk penafsiran yang tepat
(Baried, dkk., 1985:62-64).
Kebudayaan Indonesia pengaruh Arab adalah kebudayaan Indonesia yang mencerminkan
nilai-nilai Islami, di samping pengdaptasian aksara/huruf Hijaiyah untuk menulis, terutama
oleh komunitas Melayu. Komunitas Melayu memang belum memiliki budaya tulis sebelum
29

agama Islam dan pengaruh Arab kemudian Parsi masuk ke daerah Melayu sebagai jalan
masuk pertama kali agama Islam ke Indonesia. Hal itu dibuktikan oleh catatan sejarah bahwa
hasil karya tulis bangsa Melayu yang pertama baru ada akhir abad ke-14 dengan judul karya
Kitab Risalah (Soekmono, 1973). Setelah agama Islam masuk ke Indonesia mulai melalui
Aceh, kebudayaan Indonesia pengaruh Islam pun berkembang. Cerita-cerita yang bernuansa
Islami, seperti cerita Nabi Muhammad, cerita para sahabat Nabi Muhammad, cerita nabi
seperti Kitab Anbia, Hikayat NabiYusuf, cerita para penyebar dan pahlawan Islam, seperti
Iskandar Zulkarnain dan Amir Hamzah disadur ke dalam bahasa Melayu dan bahasa
nusantara lainnya. Naskah-naskah tasauf Islam ditulis oleh para ulama, seperti Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Assamatrani, Abdurrauf Assinkeli, dan Nuruddin Arraniri.
Selain menyadur cerita-cerita yang bernafas Islam dan karya tasauf yang dihasilkan oleh
para ulama kerajaan Aceh, sastra daerah Melayu juga menyadur cerita-cerita pengaruh Hindu
dan cerita-cerita panji Jawa dengan menambah istilah hikayat di depan judul aslinya.
sehingga, selain mengenal Mahabrata versi Jawa di dalam sastra Melayu dikenal Hikayat
Pandawa, atau Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Pandawa Jaya; di samping Ramayana versi
Jawa, dalam sastra Melayu dikenal Hikayat Sri Rama (Soekmono, 1973). Dari segi
penggunaan huruf untuk menulis naskah pun sejarah kebudayaan memberikan bantuan untuk
filolog bahwa masing-masing babakan waktu memiliki huruf untuk menuliskan naskah.
Semuanya harus dipahami filolog dalam menelaah naskah yang bervariasi menggunakan
huruf tersebut.

6. Bantuan Ilmu Antropologi terhadap Filologi


Bantuan ilmu antropologi terhadap filolog adalah untuk pengetahuan bagaimana
masyarakat memperlakukan naskah dan bagaimana nilai naskah bagi masyarakat. Menurut
Baried, dkk. (1985:19) masalah yang erat kaitannya dengan antropologi adalah sikap
masyarakat terhadap naskah yang masih hidup, terhadap naskah yang dimilikinya, apakah
dipandang sebagai benda keramat atau sebagai benda biasa. Karya-karya pujangga keratin
yang sekarang tersimpan di perpustakaan keraton Surakarta dan Yogyakarta tampak
dikeramatkan seperti benda-benda pusaka. Masyarakat Jawa melakukan tradisi chaos dahar
‘memberi sesaji’ dan nyirami ‘memandikan’ yang biasanya dilakukan terhadap benda-benda
pusaka. Tetapi, tradisi nyirami naskah bukan ‘memandikan’, melainkan ‘mengangin-
anginkan’.
30

Tradisi lain masyarakat Jawa yang bersifat menghormati dan mengeramatkan naskah
adalah mutrani yang berarti ‘membuat putra’ dilihat dari tindakan penyalinan naskah. Kata
mutrani diturunkan dari kata ‘putra’ yang berkonotasi hormat terhadap naskah. Ada juga
naskah-naskah magis yang memerlukan pendekatan antropologis, seperti naskah-naskah
yang mengandung mantra. Selain itu, ada pula naskah yang oleh penyalinnya dikatakan
dapat menghapuskan dosa pembacanya apabila dibaca sampai tamat, seperti Hikayat Nabi
Bercukur (Baried, dkk., 1985:19). Dengan demikian, filolog bisa memberikan pernyataan
yang sesuai dengan perilaku masyarakat terhadap naskah tersebut di dalam kajiannya.

7. Bantuan Agama Hindu, Buda, dan Islam terhadap Filologi


Naskah-naskah nusantara pada dasarnya membutuhkan bantuan agama Hindu, Buda, dan
Islam dalam penelaahannya. Dalam naskah-naskah Jawa kuno, tampak adanya pengaruh
agama Hindu dan Budha, karena itu butuh bantuan pengetahuan agama Hindu dan Budha
dalam penelaahannya. Naskah Brahmandapurana dan naskah Agastyaparwa berisi ajaran
agama Hindu; naskah Sang Hyang Kamahayanikan dan Kunjarakarna berisi ajaran agama
Budha.
Dalam naskah-naskah Melayu, pengaruh Islam banyak mewarnai teks-teksnya. Naskah-
naskah karya penulis-penulis tokoh mistik seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Assamatrani, Abdurrauf Assinkeli, dan Nuruddin Arraniri yang berisi tasauf Islam butuh
bantuan pengetahuan tentang ajaran Islam. Penelaah naskah yang berisi ajaran Islam tersebut
harus memiliki pengetahuan dan pamahaman yang baik tentang ajaran agama Islam. Bila
penelaah tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tetang ajaran Islam, dia
akan mengalami kesulitan menghadapi bagian-bagian naskah yang kurang jelas.
8. Bantuan Folklor terhadap Filologi
Pengetahuan tentang folklore perlu pula dimiliki oleh penelaah naskah, khususnya naskah
yang berasal dari tradisi lisan. Folklor itu sendiri adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif
yang tersebar dan diwarikan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1991:2). Jenis folklore itu ada 3 macam,
yaitu folklor lisan, folklor setengah lisan, dan folklor nonlisan.
31

Folklor berbeda dengan kebudayaan lain yang dimiliki suatu kolektif (kelompok).
Danandjaja (1991:3-4) mengemukakan cirri-ciri folklore agar mudah dibedakan dengan
kebudayaan yang lain, sebagi berikut.
a. Penyebaran dan pewarisan dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata
dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya;
b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam
bentuk standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama, paling sedikit
dua generasi;
c. Folklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda dikibatkan oleh cara
penyebarannya dari mulut ke mulut, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses
interpolasi dapat mengalami perubahan;
d. Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi;
e. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya,
selalu mempergunakan kata-kata klise, seperti “bulan empat belas hari” untuk
menggambarkan kecantikan seorang gadis, dan “seperti ular berbelit-belit” untuk
menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-
ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku , seperti
kata sahibul hikayat…dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya” (Danandjaja,
1991:4);
f. Folklor mempunyai kegunaan ataufungsi dalam kehidupan bersama suatu koleltif. Cerita
rakyat misalnya, mempunyai fungsi alat pendidikan, pelipur lara, protes social, dan
proyeksi keinginan terpendam;
g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum, terutama folklore lisan dan sebagian lisan;
h. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, karena pencipta pertmanya tidak
diketahui lagi;
i. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar dan
terlalu spontan.
Folklor yang diperlukan untuk kelancaran pekerjaan seorang filolog adalah folklor lisan,
karena di antara folklor lisan itu ada yang berbentuk cerita yang kemudian disalin ke dalam
bentuk tulis. Karena folklor lisan yang sudah ditulis tidak hilang sifat kelisanannya, karakter
32

kelisanan itu harus digunakan menyikapi teks yang berasal dari folklor tersebut. Sebagai
contoh adalah naskah-naskah kaba Minangkabau yang disalin ke dalam bentuk tulis. Ketika
naskah itu ditelaah dan diedisi, bahasa edisinya mengikuti bahasa kaba itu ketika dilisankan,
yaitu berbahasa Minangkabau. Meskipun masyarakat Minang lebih suka menggunakan
bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) ketika menulis, edisi kaba Minangkabau tetap
harus mengikuti bahasa tuturnya, bahasa Minangkabau.
9. Bantuan Paleografi terhadap Filologi
Paleografi adalah ilmu tentang tulisan di atas prasasti. Baried, dkk. (1985:62) mengatakan
bahwa paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuno. Ilmu ini diperlukan untuk
penelitian tulisan kuno di atas batu, logam, atau bahan lainnya termasuk kertas, daun, bambo,
dan rotan.
Filologi yang membutuhkan bantuan bidang ilmu paleografi adalah filologi naskah Jawa,
karena kebudayaan Jawa memiliki bermacam-macam jenis tulisan dan aksara untuk menulis
naskahnya. Naskah-naskah yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Budha membutuhkan
bantuan paleografi mengenali tulisan aksara Pallawa, aksara Pranagari, dan aksara Kawi,
karena kemungkinan untuk satu naskah yang sejudul, penyalinannya menggunakan aneka
ragam tulisan aksara tersebut. Bila penelaah naskah mengetahui dan memahami karakter
semua jenis tulisan dan aksara yang digunakan dala naskah-naskah yang ditelaahnya, dia
tidak akan menemukan kesulitan dalam mengedit dan menyajikan teks suntingan.

B. Ilmu-ilmu yang Dibantu Filologi


Sebagaimana yang tertera pada bagan hubungan filologi dengan ilmu-ilmu lain, ilmu-
ilmu yang dibantu filologi ada 7, yaitu linguistik, ilmu sastra, ilmu sejarah, sejarah
perkembangan agama, sejarah Kebudayaan Indonesia, hukum adat, dan filsafat. Berikut
diuraikan satu per satu.
1. Bantuan Filologi terhadap Linguistik
Linguistik dibantu oleh filologi dalam bentuk teks yang sudah bersih dari kesalahan
yang siap dipergunakan untuk data penelitian linguistik. Filolog dapat pula membantu
linguis yang tidak mengerti aksara lama untuk membaca dan mentransliterasikan naskah
lama yang menjadi sumber data penelitian bahasa yang dilakukannya. Bidang linguistik
yang telah memanfatkan suntingan teks adalah linguistic historis komparatif dan sejarah
perkembangan bahasa.
33

a. Linguistik Historis Komparatif


H. Kern (dalam Soekmono, 1993) pernah melakukan penelitian Linguistik Historis
Komparatif untuk memperbandingkan kesamaan rumpun bahasa-bahasa yang ada di
nusantara. Indikator yang dijadikannya alat ukur adalah kosa kata (morfologi); berpedoman
pada varian kosa kata yang menjadi nama satu benda di seluruh bahasa daerah yang ada di
nusantara dia menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa nusantara di Indonesia itu serumpun.
Ahli Sejarah Purbakala menjadikan hasil penelitian H. Kern ini sebagai data pendukung
untuk memastikan penduduk yang ada di wilayah nusantara ini memiliki kebudayaan yang
sama, merupakan suku bangsa yang sama atau tidak.
b. Sejarah Perkembangan Bahasa
Setiap bahasa pada dasarnya berkembang sejalan dengan berkembangnya masyarakat
penuturnya. Berjalannya waktu, berubahnya zaman akan ikut membawa perubahan pada
masyarakat. Perubahan pada masyarakat membawa perubahan pula pada kebudayaannya,
dalam hal ini adalah bahasanya. Naskah-naskah nusantara yang ditulis dalam berbagai bahasa
dan telah ditelaah secara filologis telah menyumbangkan pula hasil telaahannya untuk
pengkajian perkembangan bahasa.
Masyarakat Jawa yang memiliki naskah-naskah yang ditulis dalam berbagai bahasa
akibat pengaruh kebudayaan India dengan berbagai aksara yang digunakan untuk menulis,
juga naskah-naskah yang dipengaruhi kebudayaan Islam memanfaatkan naskah-naskah itu
untuk menyusun buku Sejarah Perkembangan Bahasa Jawa. Berdasarkan kajian sejarah
perkembangan bahasa, bahasa Jawa itu dapat dikelompokkan menjadi: bahasa Jawa kuno,
bahasa Jawa Tengahan, dan bahasa Jawa Baru (Soekmono, 1973).
Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu telah melahirkan bahasa Indonesia. Kebanyakan
ahli bahasa setuju dengan pendapat bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu
pasar yang digunakan sebagai “lingua farnca”. Prasasti tentang kerajaan Sriwijaya abad ke-7
Masehi ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa. Sampai masuknya agama
Islam, masyarakat Melayu tidak mengenal bahasa yang lain.
2. Bantuan Filologi terhadap Ilmu Sastra
Kegiatan penelaahan naskah-naskah lama nusantara telah banyak dilakukan oleh peneliti
naskah, tidak kecuali naskah-naskah kesastraan. Sejak abad ke-19, peneliti-peneliti naskah
berkebangsaan Belanda telah melakukan penelaahan naskah nusantara. Bahkan yang mereka
34

teliti itu lebih banyak naskah-naskah kesastraan, karena penelaahan naskah kesastraaan bisa
mereka manfaatkan untuk lebih mengenal karakter masyarakat yang diceritakan di dalam
naskah itu. Hasil penafsiran peneliti naskah tentang karakter bangsa Indonesia itu diserahkan
mereka kepada pemerintah mereka, dan dengan penegenalan itu Belanda bisa lebih dalam
mencengkeramkan kuku penjajahan terhadap bangsa Indonesia.
Hasil penelaahan naskah-naskah nusantara juga dimanfaatkan oleh penyusun buku
kesastraan Indonesia; ilmu sastra dibantu oleh filologi dalam hal penyediaan teks-teks
susastra yang dibutuhkan untuk menyusun buku sejarah kesusastraan. Bidang sastra yang
telah memanfaatkan hasil kerja filolog adalah bidang sejarah kesusastraan lama, misalnya
buku Sejarah Kesusteraan Melayu Klasik (1982) susunan Liaw Yock Fang; Menggali
Khasanah Sastera Melayu Klasik (1990) dan buku Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau
(2002) susunan Edwar Djamaris.
Sama halnya dengan yang diterima bidang linguistik, filolog dapat pula membantu
peneliti sastra lama yang tidak mengerti aksara lama untuk membaca dan mentransliterasikan
naskah yang menjadi sumber data penelitian sastranya. Sebelum kesastraan sebuah naskah
cerita lama yang masih bertulisan non-Latin dianalisis oleh ahli sastra, naskah tersebut perlu
dialihaksarakan secara filologis terlebih dahulu. Di sinilah filologi memberikan bantuan
untuk pengembangan ilmu sastra.
3. Bantuan Filologi terhadap Ilmu Sejarah
Kegitan filologi Indonesia juga telah mengkaji naskah-naskah lama yang berisi sejarah,
misalnya Nagarakretagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Babad Dipanegara, Sejarah
Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Aceh, dan Hikayat Banjar (Baried, dkk. 1985:22).
Ekajati (dalam Baried, dkk., 1985:50) telah menelaah naskah Cerita Dipati Ukur dan
Hermansoemantri menelaah naskah Sejarah Sukapura yang berisi sejarah tradisional Sunda.
Suntingan-suntingan naskah yang berisi teks sejarah dapat dimanfaatkan sebagai sumber
sejarah setelah diperbandingkan dengan sumber-sumber lain. Naskah-naskah hikayat tokoh
lama pun bisa membantu ilmu sejarah untuk mengungkapkan kehidupan pemerintahan lama,
misalnya Hikayat Abdullah yang memberikan informasi pendukung untuk mengungkap
kehidupan feodal yang mendapat kritikkan tajam waktu itu. Pada hal di dalam buku sejarah
tidak ditemukan gambaran kehidupan mesyarakat seperti yang dijelaskan di dalam Hikayat
Abdullah tersebut.
35

4. Sejarah Kebudayaan Indonesia


Sejarah kebudayaan Indonesia telah memberikan bantuan terhadap filolog dalam
menyikapi keberadaan naskah dalam babakan perkembangan budaya di Indonesia.
Sebaliknya, setelah filolog meneliti naskah-naskah yang mengungkap kekhasan budaya
dalam naskah yang ditelitinya, hasil penelitian itu akan membantu pula peneliti dan
penyususn sejarah kebudayaan mengungkap khazanah rohaniah warisan nenek moyang
seperti kepercayaan, adat-istiadat, kesenian, dan aktivitas hidup masyarakat lama lainnya
yang terkandung di dalam naskah.
Istilah-istilah budaya lama, seperti musik, takaran, timbangan, ukuran, dan mata
kebudayaan berupa benda, seperti candi, gapura, makam, dan peralatan hidup dan upacara
adat atau agama hanya memberi saksi bisu yang perlu ditafsirkan lagi. Naskah yang berisi
informasi-informasi itu dapat dibaca lagi di dalam naskah-naskah yang telah disunting
secara filologis. Penjelasan peneliti naskah panjang lebar memberikan keterangan tentang
benda-benda budaya atau sistem berpikir dan bertindak masyarakat zaman lampau tersebut.
Kerja filologi bisa secara lugas memberikan penjelasan kepada generasi sekarang.

5. Bantuan Filologi terhadap Sejarah Perkembangan Agama

Filologi juga telahbanyak mengkaji naskah-naskah lama yang berisi ajaran agama, baik
Hindu, Buda, maupun Islam. Suntingan naskah-naskah tersebut akan menjadi bahan
penulisan sejarah perkembangan agama. Dari teks-teks semacam itu akan diperoleh
gambaran perwujudan penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Buda, dan Islam
dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat nusantara, permasalahan aliran-aliran
agama yang masuk ke nusantara. Gambaran itu merupakan permasalahan yang ditangani oleh
ilmu sejarah perkembangan agama. Dengan demikian, penanganan naskah sastra kitab secara
filologis sangat bermanfaat bagi ilmu sejarah perkembangan agama (Baried, dkk., 1985:23).

6. Bantuan Filologi terhadap Hukum Adat


Banyak naskah nusantara yang berisi ganbaran adat-istiadat, dan ada juga teks yang
dimaksudkan sebagai hukum: masyarakat Melayu menyebutnya undang-undang, di Jawa
disebut angger-angger. Yang disebut undang-undang dalam masyarakat Melayu berbeda
dengan yang ada dalam masyarakat sekarang. Undang-undang dalam masyarakat Melayu
36

sebenarnya merupakan adat yang terbentuk dalam masyarakat selama peredaran masa,
bukan peraturan yang seluruhnya dibuat oleh raja sebagai penguasa. Penulisannya baru
dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian peraturan hukum oleh raja atau
setelah ada pengaruh dunia barat.
Beberapa naskah undang-undang dalam sastra Melayu adalah Undang-undang Negeri
Malaka (Risalah Hukum Kanun). Undang-undang Minangkabau; di Jawa terkenal Raja Niti,
Praniti Raja, Kapa-kapa, Surya Ngalam, Nawala Pradata, dan Angger Sadasa; ada juga
dalam sastra Melayu Adat Raja-raja Melayu. Tersedianya teks-teks semacam itu akan sangat
berguna bagi ilmu-ilmu adat (Baried, 1985:23). Masyarakat akan menjadikannya sebagai
aturan-aturan hidup yang akan dipatuhi bersama. Bahkan, mungkin saja teks-teks semacam
itu dijadikan bahan untuk menyusun buku hukum adat.

7. Bantuan Filologi terhadap Filsafat


Definisi filsafat secara ringkas adalah cara berpikir menurut logika dengan bebas
sedalam-dalamnya hingga sampai ke dasar persoalan (Shadily dalam Baried, dkk. 1985:24).
Tafsir (2010:10) mengatakan filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapat
kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Renungan yang bersifat
filsafat dapat digali melalui warisan budaya lama yang berwujud naskah yang berisi teks
sastra. Sastra dalam masyarakat lama tidak hanya karya-karya kreatif, tetapi juga karya yang
memperlihatkan nilai-nilai seni dan agama (seni mengamalkan dan menghayati ajaran
agama). Bahkan pandangan hidup asli ‘Melayu-Indonesia’ adalah berdasarkan seni (Al-Attas
dalam Baried, dkk., 1985:24).
Kedatangan kebudayaan Hindu tidak mengubah dasar pandangan hidup asli ‘Melayu-
Indonesia’ yang berdasarkan seni. Pernyataan sikap beragama penganut Hindu dan Buda
justru diperlihatkan dalam bentuk-bentuk yang bernilai seni, seperti candi, gapura, benda-
benda upacara, juga teks-teks yang berisi pemujaan terhadap dewa. Pemikiran rasional yang
bersifat filsafat baru kelihatan muncul setelah pengaruh Islam. Dengan demikian renungan
filsafat yang dapat digali dari naskah-naskah atau teks-teks lama adalah renungan filsafat
yang erat kaitannya denga seni dan agama, yaitu estetika, etika, dan metafisika.
Semua karya sastra pada hakikatnya mengandung pandangan hidup yang bermuatan
filsafat. Karya sastra yang baik menampilkan gambaran estetika, etika, bahkan metafisika.
37

Teori struktural Roman Ingarden tentang lapis-lapis suatu karya sastra berujung pada kajian
metafisika, karena hakikat hidup manusia hanya dapat ditemukan pada penafsiran filsafat.
Keagungan, kesucian, dan kedahsyatan kehidupan yang diceritakan dalam karya sastra
menyebabkan kita, pembaca, tertarik untuk memikirkannya. Hal ini melahirkan makna
filsafat suatu karya sastra.
Teks-teks sastra hikayat banyak mengandung nasihat –nasihat, pepatah-petitih yang
menandakan bahwa sastra merupakan penjaga keselamatan moralitas yang dijunjung oleh
masyarakat pada umumnya. Moralitas yang demikian bersumber pada keyakinan yang
bersifat filsafatatau pemikiran keagamaan. Lukisan tokoh-tokoh dalam hikayat berupa tokoh
baik dan tokoh jahat mencerminkan filsafat yang berdasarkan pandangan hidup yang
sederhana bahwa hidup ini pada intinya berupa peperangan antara yang baik dengan yang
buruk; menurut moralitas yang umum berakhir dengan kemenangan di pihak yang baik
(Baried, dkk., 1985:25).
Al-Attas (dalam Baried, dkk., 1985:25), mengatakan bahwa naskah-naskah yang berisi
ajaran tasauf mengandung filsafat yang meliputi aspek ontology, kosmologi, dan psikologi;
ilmu tasauf dipandang sebagai filsafat Islam yang sejati. Namun, penggalian filsafat dari
teks-teks sastra nusantara belum banyak dilakukan. Sumbangan utama filologi kepada
filsafat adalah berupa suntingan naskah disertai transliterasi dan terjemahan ke dalam bahasa
nasional yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh ahli filsafat.

Referensi
1. Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: P3B
2.Nurizzati. 2019. Ilmu Filologi: Teori dan Prosedur Penelitiannya. Malang: CV IRDH.
3.Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta Yayasan Media
Alo Indonesia.
4.Soebadio, Haryati. 1975. “Penelitian Naskah Lama Indonesia”. Buletin Yaperna, Nomor 7
Tahun II. Jakarta.
5. dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai