Alat Alat Bukti
Alat Alat Bukti
DI SUSUN OLEH:
WAHYUDI : 040 2018 0854
C17
Surat otentik meliputi surat-surat Notaris (Akta Notaris) atau surat-surat yang dikeluarkan
oleh pejabat-pejabat yang berwenang mengeluarkan surat tersebut. Sedangkan Surat tidak
otentik hanya meliputi surat-surat biasa seperti surat yang dibuat antara para pihak yang
berkepentingan.
Dalam acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti Dalam acara perdata, bukti
tertulis merupakan alat bukti yang penting dan paling utama di banding yang lain.
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang
yang ditujukan untuk dirinya dan atau pikiran seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan
orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian.
Ada dua macam alat bukti tertulis atau surat, yaitu:
1. Surat yang bukan akta, dan
2. Surat yang berupa akta; yang dapat dibagi lagi atas:
a. Akta Otentik; dan
b. Akta dibawah tangan.
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar atau mengalami kejadian yang diperkarakan.
Dalam peradilan perdata ada istilah unus testis nullus testis (Pasal 1905 KUHPerdata),
seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercaya, sehingga saksi yang diajukan
minimal 2 orang.
Adapun orang-orang yang tidak dapat dijadikan saksi adalah :
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-
syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri,
sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Adapun syarat-syarat saksi, yakni
terdiri dari syarat formil dan materiil.
Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai
pembuktian bebas. Hakim bebas menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak
terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkannya asal dipertimbangkan
dengan cukup berdasarkan argumentasi yang kuat.
Dalam hal menimbang harga kesaksian Hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya
tentang permufakatan dari saksi-saksi, cocoknya kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari
tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab – sebab yang mungkin ada
pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perikelakuan atau
adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu
dapat dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). Unus testis nulus testis (pasal 169 HIR/306 R.Bg)
artinya satu saksi bukan saksi. Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar
pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus
disempurnakan dengan alat bukti lain seperti sumpah atau lainnya.
Testimonium de auditu (pasal 171 HIR) ialah kesaksian yang diperoleh secara tidak
langsung dengan melihat, mendengar, dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain.
Dalam bahasa fiqih disebut istifadhoh, pada dasarnya tidak dilarang mendengarkan kesaksian
mereka.
3. Alat Bukti Persangkaan
Alat bukti persangkaan (presumptie, vermoeden) termasuk yang minim dijelaskan dalam
HIR, sehingga memerlukan penjelasan lebih detail pada pembentukan hukum acara perdata ke
depan. Menurut Pasal 1915 BW (KUH Perdata), persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan
yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah
suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada persangkaan berdasarkan undang-undang dan ada
yang tidak berdasarkan undang-undang. Contoh persangkaan berdasarkan undang-undang
adalah setiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan memberikan status bapak bagi si suami
dalam keluarga. Artinya, suami dianggap sebagai bapak dari bayi yang lahir dalam
perkawinan tersebut. Persangkaan hakim memberikan kebebasan kepada hakim untuk
mempersangkaan sesuatu asalkan tetap berdasarkan fakta penting.
Persangkaan oleh hakim sangat potensial menimbulkan perdebatan di lapangan. Apalagi
jika dianut pandangan bahwa alat bukti persangkaan hakim mempunyai kekuatan yang bebas.
Kebebasan hakim melakukan persangkaan bukan tanpa syarat. Pasal 1922 BW misalnya
mengatur bagaimana cara hakim menarik persangkaan. Pasal ini, plus Pasal 173 HIR,
memberi warning kepada hakim agar berhati-hati menarik persangkaan.
Putusan Mahkamah Agung No. 1083/K/Pdt/1984 adalah contoh kasus alat bukti
persangkaan. Dalam kasus ini pihak penggugat mengajukan fakta-fakta yang terdiri dari
pengukuran dan pembayaran retribusi kayu terperkara. Dengan latar belakang tersebut,
pengadilan mengkonstruksikan alat bukti persangkaan untuk membuktikan kebenaran tentang
hubungan kerja pengelola kayu log di areal konsesi tergugat.
Dalam kasus itu, penggugat mendalilkan antara penggugat dan tergugat telah terjadi
perjanjian lisan pengolahan kayu log di areal konsesi tergugat sebagai lanjutan dari perjanjian
tertulis sebelumnya. Perjanjian lisan itulah yang harus dibuktikan penggugat sedangkan bukti
konkret dan pasti untuk itu tidak dimilikinya. Untuk itu penggugat mengajukan fakta berupa
berupa pengukuran kayu log, pembayaran retribusi dan perjanjian tertulis sebelumnya.
Melalui fakta yang diketahui itu hakim menarik kesimpulan tentang adanya persangkaan
konkret mendekati kepastian bahwa antara penggugat dan tergugat telah terjadi perjanjian
lisan mengenai kerjasama pengolahan kayu log di areal konsesi hutan tergugat sebagai
lanjutan dari perjanjian tertulis yang telah disepakati sebelumnya.
4. Alat Bukti Pengakuan
Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan pengakuan pada urutan keempat
mengenai alat bukti. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 1923 BW
dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan salah satu pihak
kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara; (ii) pernyataan atau keterangan tersebut
diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii) keterangan itu bersifat pengakuan
(confession) bahwa apa yang dilakukan pihak lawan benar untuk sebagian atau seluruhnya.
Jika salah satu pihak sudah mengakui fakta tertentu, menurut Yahya Harahap dalam
bukunya, hakim tidak lagi dapat dibenarkan untuk memberi pendapat tentang masalah atau
objek pengakuan. ‘Hakim tidak boleh lagi menyelidiki kebenaran pengakuan itu’.
Pengakuan bisa dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Pengakuan yang disampaikan
para pihak langsung di depan hakim akan sangat kuat. Tetapi pengakuan lewat kuasa hukum
juga dibenarkan. Pasal 174 HIR menyebutkan: ‘Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim
cukup menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain yang khusus dikuasakanuntuk itu’.
Pengakuan yang tulus dari salah satu pihak berperkara mengenai objek yang disengketakan
tak semudah membalik telapak tangan. Made Sutrisna, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menyatakan pengakuan memang merupakan salah satu alat bukti penting dalam
proses persidangan. Tetapi dalam kenyataannya sulit sekali orang mengakui apa yang
didalilkan oleh para lawannya sebab mereka akan mencoba mempertahankan argumen dalil
dari masing-masing pihak. “Pengakuan juga salah satu bukti utama tapi dalam persidangan
jarang sekali terjadi. Kalaupun pengakuan, pengakuan sebagian. Punya utang Rp1 juta dia
ngaku Rp100 ribu,” kata Made.
Alat Bukti Sumpah sebagai alat bukti yan g terakhir sesuai dengan apa yang tercantum
dalam Pasal 1866 BW yang menyatakan bahwa Macam-Macam alat-alat bukti dalam
perkara perdata meliputi Alat Bukti Surat, Saksi, Persangkaan-persangkaan, Pengakuan dan
Alat Bukti Sumpah. Alat bukti yang inilah yang akan menjadi pembicaraan mengenai Alat-
alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata. Sumpah sendiri dalaam KUHPerdata
diatur dalam Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.
Pengertian Sumpah seperti apa yang tercantum dalaam Pasal 1929 ialah suatu pernyataan
hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah. Sumpah hanya dikenal bagi
orang yang beragama Islam, sedangkan Orang yang Beragama lain terutama Yang BerAgama
Kristen menurut para sarjana Hukum Indonesia tidak mengenal adanya Sumpah, tapi lebih
lazim dikenal adanya Janji. Sehingga kesimpulannya sumpah yang dikenal sebagai alat bukti
dipersamakan dengan pengertian Janji.
Setelah pemaparan tentang Macam-macam Alat Bukti Sumpah berikut Penjelasan
Jenis-Jenis Sumpah di dalam Hukum Acara Perdata.
a) Sumpah Penambah (Subsisoir) Yaitu sumpah yang dilakukan jika terdapatt alat bukti lain
akan tetapi bukti tersebut masih sangat minim atau belum memenuhi syarat sebagaimana
yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Contohnya sumpah yang dilakukan terhadap
alat bukti surat yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti, sehingga sumpah disini
berperan untok melegalisasi alat bukti tersebut.
b) Sumpah Pemutus (Decesoir) Yaitu sumpah yang dilakukan karena tidak alat bukti yang
lain sama sekali.
Perlu diketahui bahwa sumpah juga dapat dilakukan di luar pengadilan, akan tetapi
sumpah tersebut mempunyai daya kekuatan sebagai alat bukti jika sumpah tersebut dilakukan
di depan Hakim, baik itu di depan Hakim Ketua yang memeriksa perkara maupun di depan
Hakim Anggotanya. Misalnya Sumpah Pocong.
Sumpah bukan hanya dapatt dilakukan di depan Hakim akan tetapi juga juga dapat
dilakukan di depan Advokat, dimana advokat disini mempunyai kuasa istimewa untuk
dilegalisasinya sumpah yang dilakukan di depannya. Misalnya: AKTE NOTARIS.
Kalau seorang hakim merasa belum memiliki kepastian bukti-bukti yang diajukan,
sementara itu keberadaan objek sengketa seperti barang tetap (tanah, gedung dan sebagainya)
yang tidak dapat dihadirkan di dalam persidangan sebagaimana layaknya barang bergerak,
maka persidangan dapat dilakukan di mana barang tersebut berada. Pemeriksaan setempat
diakui keberadaannya dalam hukum acara perdata. Praktek pemeriksaan setempat dilakukan
oleh Ketua Mejelis Hakim yang memeriksa perkara dan yang memimpin persidangan.
Pemeriksaan setempat dilakukan dengan memberikan putusan mengenai pengabulan atau
penolakannya setelah ada permintaan para pihak.
Meskipun pemeriksaan setempat bukan alat bukti sebagaimana Pasal 164 HIR, tetapi oleh
karena tujuannya agar hakim memperoleh kepastian peristiwa yang disengketakan, maka
fungsi pemeriksaan setempat hakekatnya adalah sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktiannya
sendiri diserahkan kepada hakim. Dikabulkannya sebuah permohonan pemeriksaan setempat
dilakukan dengan putusan sela, yakni putusan interlocutoir. Putusan sela ini berbeda dengan
putusan sela jenis lainnya yang tidak berkaitan dengan putusan akhir, akan tetapi hanya agar
memperlancar pemeriksaan perkara seperti misalkan putusan penggabungan dua perkara atau
menolak pemeriksaan seorang saksi, atau masuknya seseorang dalam perkara.
Alat bukti keterangan ahli berpengaruh penting dalam pembuktian yang dimana penyidik,
penuntut, maupun hakim belum jelas atau terang memandang suatu tindakan pidana.
Pengaturan keterangan ahli dalam HIR tidak ditegaskan dalam satu pasalpun, oleh karena
keterangan ahli digabung dengan keterangan saksi. Padahal alat bukti tersebut dua sisi yang
berbeda. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh orang yang mengalami,
melihat dan mendengar suatu peristwa tindak pidana. Sedangkan keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang mempunyai pengetahuan khusus (keahlian/
expertise) yang dapat mendukung benar/ tidaknya telah teradi peristiwa tindak pidana.
Pasal 186 menegaskan bahwa keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan
dalam persidangan. Dari uraian Pasal tersebut tidak menegaskan secara jelas, yang mana
sesungguhnya dikatakan keahlian yang dimiliki oleh seorang yang dapat mendukung titik
terang suatu tindak pidana. Penjelasan keterangan ahli sebagaimana dikemukakan oleh
Hamzah (2009: 13) dapat dilacak dalam Pasal 343 Ned. SV, “keterangan ahli adalah pendapat
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa
yang dimintai pertimbagannya.”
Jadi dari keterangan tersebut, menurut Van Bemmelen (dalam Hamzah, ibid: hal. 13)
bahwa keterangan ahli ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seorang.
Pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) diperluas pengertiannya oleh hogoo raad yang
meliputi kriminalistik. Ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan tentang sidik jari, termasuk
dalam kategori klasifikasi wetenschap. Oleh karena itu seorang ahli dapat didengar
keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu
mengetahui bidang itu secara khusus.
Keterangan saksi ahli tidak hanya dapat digunakan dalam persidangan atau pembuktian
guna mengungkap fakta-fakta baru dalam persidangan. Keterangan saksi ahlipun dapat
digunakan/ diberikan oleh seorang saksi ahli baik dalam penyidkan, penuntutan. Ataupun
dihadirkan kembali ke dalam persidangan jika ketua majelis hakim menganggap penting
untuk menghadirkan saksi ahli tersebut. Ataukah, tidak dihadirkan dalam penyidikan maupun
penuntutan oleh hakim kemudian meminta untuk dihadirkan dalam persidangan, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 186 KUHAP “jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan
keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Pengetahuan hakim adalah alat bukti. Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 416 K/TUN/2014 yang menerapkan pengetahuan hakim menjadi alat bukti
untuk memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Penerapan pengetahuan hakim
tersebut berdasarkan petunjuk-petunjuk dan pengakuan penggugat bahwa benar telah terjadi
pelanggaran disiplin. Pengetahuan hakim sebagai wujud dari kebebasan hakim dalam
menemukan kebenaran materiil sehingga hakim harus aktif. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui kedudukan pengetahuan hakim menjadi alat bukti dan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 416 K/TUN/2014 perihal adanya pertentangan dengan Pasal 1888
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 3609 K/Pdt/1985 juncto Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 112 K/Pdt/1986. Metode penelitian yang digunakan dalam menjawab
masalah diatas adalah penelitian normatif dengan pendekatan kasus. Analisis yang digunakan
adalah yuridis kualitatif. Hasil penelitian bahwa penerapan pengetahuan hakim menjadi alat
bukti adalah bukti yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi penilaian kekuatan buktinya sama
dengan bukti-bukti lainnya. Kata kunci: Pembuktian bebas, Pengetahuan Hakim.