Anda di halaman 1dari 14

Ujian Tengah Semester

Pemimpin Beretika

Disusun oleh:

Catra Bhaskara - 2021071031

MAGISTER MANAJEMEN EKSEKUTIF MUDA 25

PPM SCHOOL OF MANAGEMENT 2021


1. Utilitarianism & Categorical Imperative

Utilitarianism sebagai konsep filosofi yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham


di abad ke-18 yang memiliki paham justifikasi terhadap tindakan benar secara moral
adalah tindakan yang menghasilkan paling banyak kebaikan. Dalam kajiannya seiring
waktu, konsep Utilitarianism ini dapat diinterpretasikan menjadi tinjauan terhadap
konsekuensi-konsekuensi tertentu yang timbul dari aksi-aksi yang dilakukan, yang
praktiknya dapat diterapkan secara riil di ruang lingkup perusahaan dan kegiatan
usahanya.

Sementara Categorical Imperative hadir sebagai konsep filosofi yang


dipopulerkan oleh Immanuel Kant di abad yang sama, memiliki paham bahwa
sebuah tindakan bisa wajib diperintahkan tanpa harus disertakan motivasi tambahan
di ujungnya karena perintah tindakan tersebut sudah berupa kebaikan yang murni
secara inheren tanpa harus dilengkapi motivasi tambahan untuk orang lain lakukan,
dimana pun dan kapan pun. Pertanyaan besar yang dikaji Immanuel Kant di dalam
Categorical Imperative, adalah bagaimana akumulasi niat dan logika dibalik sebuah
tindakan bisa dipakai untuk mengukur tindakan tersebut dalam konteks substansi
kebaikannya.

Selama ini saya mencerna substansi dari konsep Utilitarianism sebagai konsep
yang tidak bisa dijalankan secara tunggal tanpa pertimbangan lebih jauh untuk
mencapai output ideal, dikarenakan dua prinsip dasar dari Utilitarianism adalah
mencapai kebaikan terbesar untuk golongan yang memiliki jumlah individu
terbanyak dan mencapai kebaikan sembari menghindari keburukan sebisa mungkin.
Dapat kita lihat makna tersiratnya bahwa kepentingan dari individu-individu yang
berada di luar golongan mayoritas tersebut tidak dapat dipuaskan atau bahkan
dipenuhi bila pilihan mereka bukan pilihan yang ideal dalam konteks kebaikan untuk
golongan dengan individu terbanyak, walaupun kebaikan yang dipilih golongan
minoritas tersebut bersubstansi kebaikan yang jauh lebih besar daripada pilihan
kebaikan dari golongan mayoritas. Makna tersirat lainnya yang saya belum bisa
sepakat sepenuhnya dengan Utilitarianism adalah menghindari kompromi dengan
keburukan/kerugian dalam bentuk apapun dengan tidak mengindahkan potensi
kebaikan yang mungkin bisa didapat lebih banyak daripada pilihan tindakan kebaikan
yang paling aman dan paling tidak merugi.

Entitas perusahaan-perusahaan yang beroperasi di antara masyarakat tidak


lepas dari lingkup tinjauan dan penerapan konsep-konsep Utilitarianism dan
Categorical Imperative. Sebagai contoh dari praktik etika Utilitarianism, ketika ada
sebuah perusahaan farmasi merilis obat tertentu yang berefek samping kecil secara
jangka pendek dan telah disetujui oleh pemerintah, kemudian diperbolehkan untuk
dijual ke umum karena hasil akhir yang diinginkan berupa kebaikan berupa
kesembuhan dari penyakit besar secara jangka panjang menjadi justifikasi terhadap
efek samping minor yang disebutkan tadi.

Sementara contoh riil penerapan etika Categorical Imperative di dunia usaha,


ketika sebuah perusahaan memilih untuk tidak melakukan iklan yang mengandung
misinformasi walaupun berpotensi mendatangkan keuntungan yang sangat besar.
Bisa dilihat secara inheren, tindakan tersebut bila dilakukan adalah dilakukan atas
dasar itikad tidak baik untuk memanipulasi konsumen dan masyarakat umum
terhadap produk yang ditawarkan dengan informasi yang tidak tepat. Categorical
Imperative mencegah hal ini terjadi karena secara hakikatnya, hal ini tidak didasari
kebaikan maka dari itu tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan apapun output positif
yang dapat diperoleh nantinya.

Dalam konteks perusahaan, tindakan tertentu dalam berkegiatan usaha dapat


dibenarkan adanya tidak peduli bila didasari itikad baik atau buruk, selama hasil
akhir yang didapat adalah berupa kebaikan dengan jumlah sebesar-besar mungkin
bila merujuk secara mutlak pada Utilitarianism. Di sini lah perlu kompromi dan
tinjauan ulang untuk entitas-entitas perusahaan berperilaku dengan mengacu pada
ajaran Kant yaitu Categorical Imperative, dimana tindakan yang membawa kebaikan
harus dijunjung dimana pun dan kapan pun, tanpa terpengaruh potensi hasil
akhirnya yang terkait dampak tindakan tersebut. Contohnya, bila sebuah kegiatan
Corporate Social Responsibility dilakukan dengan cara membagikan makanan dan
minuman kepada masyarakat, bisa dilihat secara sekilas sebagai tindakan yang baik.
Tapi secara jangka panjang, metode CSR ini tidak memberdayakan dan tidak
menimbulkan kemandirian masyarakat tersebut dalam hal kapabilitas produksi dan
kemandirian pangan. Dari dua kemungkinan hasil akhir tersebut yang sama-sama
membawa kebaikan, tetap bisa kita lihat bahwa memberdayakan sesama untuk
mencapai kapabilitas/kemandirian tertentu merupakan pilihan yang lebih bijak,
hemat biaya dan waktu, serta viable bagi perusahaan untuk melaksanakannya.

Dengan menyeimbangkan kajian-kajian Utilitarianism dan Categorical


Imperative, perusahaan dapat mencapai kebaikan dari output-output yang
diharapkan dari berbagai tindakannya dengan mengoptimalisasi substansi kebaikan
di niat dan tindakannya (Categorical Imperative) dengan hasil akhir yang diharapkan
(Utilitarianism), tanpa meninggalkan kesan atau bahkan dampak buruk kepada
golongan-golongan tertentu yang terdampak secara langsung ataupun tidak
langsung.
2. Corporate Social Responsibility sebagai lisensi untuk
beroperasi

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau sering dikenal sebagai Corporate


Social Responsibility, merupakan salah satu konsep manajemen yang dimulai dengan
regulasi diri berupa kewajiban memberi balik kepada masyarakat, untuk menjaga
perusahaan tersebut tetap akuntabel secara sosial dan tidak bertindak semena-mena
yang bisa berdampak kepada lingkungan alam dan masyarakat yang hidup di sekitar
perusahaan tersebut. Urgensi Corporate Social Responsibility bisa kita lihat juga
semakin disuarakan di muka umum mengingat ketimpangan ekonomi yang semakin
melebar di era new normal pasca beredarnya virus Covid-19.

Sayangnya, kesadaran perusahaan untuk memberi balik kepada masyarakat


tidak selalu dijunjung oleh berbagai perusahaan. Maka dari itu, hadir peran
pemerintah Indonesia sebagai regulator yang menerapkan wajibnya Corporate Social
Responsibility melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Tetapi tidak sedikit juga perusahan-perusahaan yang menyambut baik
diwajibkannya Corporate Social Responsibility, karena penggelontoran dana
Corporate Social Responsibility adalah untuk memberdayakan dan mensejahterakan
masyarakat serta bentuk tanggung jawab kesadaran lingkungan yang eksis di
sekitar perusahaan tersebut berada dan beroperasi.

Konsep Corporate Social Responsibility yang hakikatnya adalah pengeluaran


ekstra yang ditunaikan oleh perusahaan, saya rasa tidak bisa dilihat semata-mata
sebagai sebuah iuran wajib yang dikeluarkan secara rutin. Hadirnya Corporate Social
Responsibility di Indonesia pada tahun 1990-an adalah untuk menjawab
kekhawatiran dari LSM-LSM lingkungan alam, buruh, dan perempuan. Bahwa
disamping eksploitasi sumber daya yang ada dari masyarakat dan lingkungan sekitar
oleh perusahaan, perlu adanya bentuk memberi balik yang menjamin kelangsungan
dan kesejahteraan masyarakat serta lingkungan alam yang ada demi menjamin
kelangsungan hidup yang berkualitas dan humanis untuk bisa terus co-exist dengan
tujuan utama perusahaan sebagai pencari profit.
Corporate Social Responsibility yang ada sekarang hadir sebagai regulasi
wajib bagi perusahaan yang berkegiatan usaha di wilayah hukum Indonesia. Tetapi
bila Corporate Social Responsibility dimajukan eksistensinya lebih muncul di muka
sebagai lisensi dari syarat pendirian perusahaan, maka ini dapat menimbulkan
pertimbangan baru baik bagi para pengusaha dan pemerintah. Hadirnya komitmen
besar seperti Corporate Social Responsibility sebagai lisensi yang harus dipenuhi
sejak awal pendirian perusahaan merupakan pagar tambahan bagi perusahaan
untuk berkegiatan di Indonesia, bahkan menjadi pertimbangan besar perusahaan
tersebut lanjut atau tidak berusaha di Indonesia. Hal ini juga bisa berujung
hengkangnya penyerapan investasi di berbagai daerah Indonesia, mempengaruhi
laju pembangunan Indonesia.

Di sisi pemerintah, hal ini akan menjadi prospek baru dalam memberi izin
usaha hanya kepada perusahaan yang akan patuh dan tekun dalam melaksanakan
Corporate Social Responsibility, mendorong kesejahteraan dan kesadaran lingkungan
alam dengan lebih baik. Tentunya bisa kita lihat adanya kompromi di topik Corporate
Social Responsibility sebagai lisensi untuk beroperasi ini. Tetapi saya meyakini
penerapan konsep ini tidak akan melambatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pemindahan Corporate Social Responsibility dari kewajiban rutin menjadi


lisensi perusahaan untuk operasi tidak mengubah kenyataan bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia telah menyanggupi kewajiban tersebut sejak
20-an tahun lebih kewajiban Corporate Social Responsibility ini diterapkan.
Kesadaran perusahaan-perusahaan terhadap potensi 3P (Profit, People, & Planet)
yang muncul dari nilai perusahaan yang berpijak pada konsep Triple Bottom Line
dibandingkan dengan perusahaan yang berpijak hanya pada nilai Single Bottom Line
saja yaitu Profit.

Dr. Bronner’s sebagai produsen produk-produk perawatan badan terkemuka


dari Amerika Serikat, terkenal dengan sabun serba gunanya yang berkemasan botol
besar, telah melaksanakan program Corporate Social Responsibility miliknya yang
patut dicontoh dan menjadi gold standard di industri manufaktur produk body care.
Program-program yang produsen sabun tersebut lakukan dimulai dari pemberdayaan
dan menyediakan akses pendidikan, menjamin kesejahteraan para petani yang
menjadi pemasok bahan baku mereka, dan turut serta secara aktif untuk mendidik
para petani tersebut dan masyarakat di sekitarnya untuk bergaya hidup emisi karbon
minimal atau bahkan nol.

Kehadiran Dr. Bronner’s yang sejak awal mengandalkan sabun serba gunanya
yang sepenuhnya organik dan dapat didaur ulang serta diurai di alam merupakan
keunggulan tersendiri yang menarik loyalitas konsumen, dikarenakan pesan tersirat
dari produknya yang menyampaikan bahwa Dr. Bronner’s peduli dengan
kelangsungan alam dan planet Bumi ini. Sebuah langkah yang jarang ditemui di
multinational corporations dan terbukti mengundang impresi baik yang bertahan
jangka panjang dari konsumen domestik dan internasional.

Dapat saya simpulkan dengan temuan-temuan dan penerapan konsep


Corporate Social Responsibility di atas, bahwa semakin sejahteranya masyarakat dan
asrinya lingkungan alam di sekitar perusahaan, maka dapat berdampak positif juga
kepada impresi dan kinerja perusahaan tersebut. Sehatnya masyarakat dan
melimpahnya sumber daya alam yang ada di lingkungan tempat perusahaan berdiri
dan operasi merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja,
profitabilitas, dan bahkan kelangsungan perusahaan tersebut untuk terus eksis dan
berdagang.
3. Pemimpin Beretika dan kinerja perusahaan

Walk the talk, merupakan idiom yang menjadi populer di topik kepemimpinan
yang bermakna kita menunjukkan ke sekitar bahwa kita patuh terhadap prinsip yang
kita pegang dan melaksanakannya secara aktif dimana perilaku kita bisa dilihat dan
dinilai oleh sekitar. Di dalam konteks sebuah perusahaan, di dalamnya dapat banyak
ditemukan para karyawan/ti yang bertanggung jawab terhadap tugas dan
kontribusinya terhadap badan usaha tersebut. Dengan hierarki yang ada, mereka
ada yang bekerja secara sendirian, ada juga yang bekerja bersama-sama di dalam
tim. Apapun posisi individu di dalam perusahaan tersebut, apakah dia memiliki
anggota bawahan atau tidak, etika kerja dan rasa kepemimpinan tetap relevan dan
penting untuk diyakini. Hal ini akan lebih mudah lagi untuk dicapai bila kolega dan
atasan-atasan para karyawan/ti tersebut menjunjung nilai walk the talk.

Perusahaan sebagai entitas yang muncul di antara masyarakat dengan tujuan


utama untuk mencari keuntungan, beroperasi dengan sistem yang telah berjalan di
dalamnya dengan dukungan berbagai organ internal berupa divisi-divisi tertentu
dengan fungsinya masing-masing. Dalam aktivitas usahanya, itikad baik perusahaan
dapat dinilai bekerja dalam spektrum yang berada di antara etika dan tidak beretika.
Bagaimana perusahaan memudahkan konsumen untuk meminta refund, seberapa
cepatnya perusahaan mengganti produk telah beredar ke masyarakat namun cacat,
dan lain semacamnya merupakan contoh extra effort perusahaan dalam menjaga
impresi konsumen dan kegiatan usaha perusahaan untuk tetap etis dan manusiawi.

Urgensi perusahaan untuk memiliki impresi dan kesan yang baik di mata
konsumen semakin membesar di era modern ini. Ditambah lagi dengan akses
informasi yang semakin luas dengan murahnya internet dan gadget, menjadikan
nama baik perusahaan dapat terbang atau jatuh hanya dalam waktu pendek. Maka
dari itu bagaimana menjamin etika kerja perusahaan untuk terus dijunjung oleh
semua tenaga kerja di dalamnya?

Walk the talk merupakan prinsip yang bisa menjadi rujukan utama bagaimana
perusahaan menjamin hal tersebut dan menerapkan nilai-nilai perusahaan serta
kode etik mereka bekerja secara menyeluruh oleh organ internalnya, tidak hanya
oleh eksekutif atau bintang iklan yang merepresentasikan perusahaan tersebut
ketika muncul di panggung publik. Sudah hakikatnya perusahaan muncul di antara
masyarakat dan ingin terus diterima oleh masyarakat, maka dari itu diperlukan
persepsi dan kesan positif yang berkelanjutan dari masyarakat juga. Walk the talk
dapat ditinjau dan diutilisasi sebagai dasar perusahaan menanamkan etika kerja
yang produktif namun humanis ke dalam tiap individu yang bekerja di dalam
perusahaan.

Tidak peduli bagaimanapun idealnya substansi pendidikan dan pelatihan yang


dilakukan perusahaan, namun bila para pekerja frontline perusahaan tersebut yang
berinteraksi langsung dengan konsumen dan masyarakat tidak dapat melihat contoh
penerapan kode etik perusahaan dilakukan secara aktif oleh supervisor dan
eksekutif-eksekutif di atasnya, hanya akan membuahkan hasil yang subpar dan
memunculkan resiko tercorengnya impresi baik perusahaan di mata umum. Tahun
2012 lalu saat Nintendo merilis konsol terbarunya saat itu - Wii-U yang gagal
diterima banyak konsumen domestik Jepang dan internasional, CEO-nya saat itu
Satoru Iwata (Alm.) bertanggung jawab dan meminta maaf di depan publik, dengan
tindak lanjutnya berupa memotong gaji pribadinya sebesar 50%. Hal ini muncul
sebagai contoh bagaimana etika perusahaan dijunjung oleh posisi tertinggi
perusahaan tersebut, yang tentunya selama ini menjadi contoh oleh para
karyawan/ti Nintendo.

Gestur rendah hati yang ditunjukkan oleh eksekutif Nintendo tersebut


berbuah impresi yang baik secara jangka panjang, karena Nintendo masih memiliki
kesan yang baik dan diterima di mata konsumen. Lima tahun kemudian sejak rilisnya
Wii-U, Nintendo merilis Switch yang kemudian sukses besar di pasar domestik
Jepang dan internasional, salah satu faktor kesuksesan ini ditunjukkan dengan
gestur rendah hati Nintendo pasca kesalahan besar yang dialaminya terkait rilis
konsol Wii-U, yang menunjukkan perusahaan tersebut mengakui adanya kesalahan
yang terjadi dan mau belajar serta memperbaiki kinerja yang ada untuk menjadi
lebih baik di kemudian hari. Dengan menjaga Nintendo untuk berkegiatan usaha
dengan etika, kinerja perusahaan dapat kembali optimal bahkan eksponensial
dengan sukses dan populernya konsol Switch di pasaran bahkan hingga saat ini,
empat tahun sejak rilis awalnya.

Bentuk lain dari penerapan Pemimpin Beretika selain prinsip walk the talk,
adalah rasa memiliki seorang karyawan/ti terhadap tugas yang dijalankan di dalam
perusahaan, atau sering juga disebut sebagai working for the greater good. Dengan
perusahaan menentukan nilai-nilai positif tertentu sebagai identitas perusahaan
tersebut dan mendidiknya ke dalam pola pikir para tenaga kerjanya, dapat
menjadikan investasi positif yang hanya akan membantu impresi dan kinerja
perusahaan dalam jangka panjang. Dengan ini, para karyawan/ti dapat melihat
tujuan lain perusahaan selain mencari profit yaitu menjunjung nilai-nilai positif
tersebut dan akan meyakini serta menerapkannya dalam ruang lingkup tanggung
jawab pekerjaan masing-masing. Ditambah juga dengan rasa akuntabilitas pribadi
yang tiap individu staf junjung dalam melaksanakan tugas mereka di dalam
perusahaan tersebut dari tingkat blue collar worker hingga top executives, merubah
nilai pekerjaan lebih dari sekedar rutinitas bekerja harian tetapi menjadi misi pribadi
dalam membawa nilai-nilai positif perusahaan ke masyarakat sekitar.

Dari temuan-temuan tersebut serta penerapan ajaran Pemimpin Beretika,


dapat saya rekomendasikan bahwa edukasi dan pelatihan etika kerja kepada setiap
individu tenaga kerja perusahaan dari tingkat lini depan hingga eksekutif atas adalah
worth it, walaupun hasilnya sering tidak dapat diukur secara metrik. Namun begitu
salah satu hasil yang didapat adalah kesan dan impresi baik oleh konsumen yang
dapat bertahan lama bahkan menyebar antara satu sama lain di antara masyarakat,
menjadikan Pemimpin Beretika sebagai prinsip yang penting dijunjung oleh
perusahaan dimana pun mereka berdagang.
4. Diversity dan peningkatan kinerja perusahaan

Diversity sebagai isu yang semakin populer urgensinya di dunia profesional,


semakin mustahil untuk tidak diacuhkan oleh badan-badan usaha yang beroperasi di
pasar domestik Indonesia. Dengan riwayat diskriminasi akses terhadap pendidikan
dan kesempatan bekerja yang mengakar ke abad ke-17 di Indonesia oleh VOC,
praktek rekrutmen perusahaan yang diskriminatif sayangnya masih ditemukan
hingga saat ini yang tidak mengindahkan diversity. Tetapi di balik itu, menurut saya
meningkatkan kuota diversity secara mentah tanpa kajian dan SOP yang matang
tidak serta merta akan berbanding lurus dengan peningkatan kinerja perusahaan.

Idealnya, saya melihat performa kolektif sekelompok yang terbaik dan optimal
bisa dicapai bila anggota-anggota dari kelompok tersebut adalah berasal dan
direkrut dari para kandidat yang membawa kompetensi dan etika kerja terbaik,
melalui proses rekrutmen yang adil dan akuntabel. Dan terkait topik ini, saya melihat
ada korelasi kuat dengan akses ke pendidikan yang non-diskriminatif. Contohnya
golongan/ras minoritas yang sering tidak mendapatkan prioritas menuju akses
pendidikan yang prospektif, akan menjadi isu yang akumulatif seiring tahun,
menjadikan kaum minoritas tersebut semakin kurang bersaing di dunia profesional.
Bisa kita lihat juga bagaimana maraknya bangku SD dilelang oleh oknum kepala
sekolah dari SD Negeri, bagaimana sekolah-sekolah swasta di pusat kota mematok
harga di luar jangkauan warga-warga menengah ke bawah, menjadikan akses
pendidikan yang kurang adil dan merata adalah isu yang riil dan sistemik, sebagai
akar praktik rekrutmen diskriminatif di dunia profesional yang tidak menjunjung
diversity.

Sayangnya situasi di era modern masih dapat ditemukan praktik-praktik


rekrutmen yang tidak mencerminkan akses pendidikan dan kesempatan kerja
non-diskriminatif, bisa dilihat juga contoh lain di luar Indonesia berupa adanya
praktik diskriminasi sistemik di beberapa institusi pemerintahan Amerika Serikat yang
mengutamakan Whites/ras Kaukasoid dan mengesampingkan kepentingan dari
ras-ras minoritas seperti African-American, Latinos, Arabs, dan Asians. Bagaimana
kaum-kaum minoritas tersebut harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencapai
akses pendidikan umum dan juga sering terjadinya diskriminasi terhadap mereka di
proses seleksi rekrutmen dunia profesional yang membatasi prospek karir mereka
hanya di posisi-posisi pekerja kerah biru tertentu.

Di beberapa daerah Indonesia juga pun tidak bersih dari praktik diskriminatif
dalam akses pendidikan dan rekrutmen perusahaan. Lima tahun terakhir bisa kita
lihat gerakan mahasiswa/i asal Papua di kampus-kampus yang tersebar dari
Sumatera hingga Sulawesi, bergerak menolak rasisme dan diskriminasi. Puncaknya
di Agustus 2019 saat Asrama Mahasiswa Papua dikepung berbagai elemen
masyarakat, dari LSM hingga oknum ASN dan TNI hanya karena provokasi dari
sebaran hoax.

Di sisi lain, saya berpendapat bahwa pemberlakuan rekrutmen yang


menjunjung diversity semata bisa menghambat performa perusahaan. Ini
dikarenakan rekrutmen tenaga kerja tidak lagi berfokus pada merit-based atau
orientasi serupa yang murni mengutamakan kompetensi, tetapi hanya
mementingkan kuota diversity/golongan tertentu terisi, tidak acuh terhadap
kompetensi tenaga-tenaga kerja baru yang dibawa oleh proses rekrutmen semacam
itu. Perlu tinjauan yang mendalam untuk merancang proses rekrutmen yang adil,
yang menjamin kesempatan bekerja bagi semua kalangan sehingga tidak membatasi
diversity yang ada di dalam perusahaan, tetapi tetap menjunjung standar
kompetensi yang produktif bagi perusahaan secara keseluruhan.

Untuk menjawab kekhawatiran terhadap isu diversity dan peningkatan kinerja


perusahaan, saya memiliki rekomendasi berupa rancangan alokasi khusus untuk
kandidat tenaga kerja dari golongan/ras minoritas tetapi masih diterapkan seleksi
kredensial kompetensi dan pendidikan terhadap setiap individu secara adil dan
akuntabel. Contoh bentuk penerapan rekrutmen yang membawa kesempatan
diversitas golongan tenaga kerja, tetapi tetap menjunjung kompetensi, ini adalah
Rekrutmen Bersama oleh KemenBUMN di tahun 2019 lalu dan Seleksi Calon Aparatur
Sipil Negara oleh Badan Kepegawaian Negara sejak beberapa tahun lalu yang telah
membuka kuota/slot khusus untuk Putra/i Papua dan golongan difabel tetapi tetap
menerapkan persyaratan pendidikan dan kompetensi yang sesuai kebutuhan tiap
instansi pemerintahan/BUMN di kedua contoh praktik rekrutmen tersebut.

Rekomendasi saya di atas memang belum sempurna, karena sebagian orang


masih bisa berargumen terdapat unsur favoritism di dalamnya berupa alokasi kuota
khusus untuk golongan/ras minoritas. Tetapi walaupun begitu saya pikir metode ini
masih satu langkah ke depan yang solid dalam mencapai rekrutmen dunia
profesional yang adil dan akuntabel, di tengah upaya mencapai diversitas yang adil
di mata masyarakat. Jangan dilupakan juga bahwa saya menekankan seleksi
kompetensi dan kredensial pendidikan terhadap kuota khusus golongan/ras
minoritas tersebut untuk tetap menjunjung profesionalisme dan kinerja perusahaan
untuk terus produktif dan naik dari tenaga-tenaga kerja yang diserap melalui metode
ini.

Hal ini bisa membawa perusahaan-perusahaan tersebut, atau dalam konteks


ini mencakup institusi pemerintahan dan perusahaan milik pemerintah untuk
menjaga atau bahkan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan, dengan
dicapainya regenerasi angkatan kerja, impresi positif dari masyarakat dari
kesempatan diversitas yang disediakan, dan rekrutmen yang dilakukan dengan asas
adil dan akuntabel. Dapat dilihat bahwa elemen diversitas tidak mengorbankan
proses seleksi kompetensi dan pendidikan dari dua contoh kasus proses rekrutmen
di atas.

Namun tetap sangat disayangkan situasi sekarang adalah seperti ini, dimana
diversitas dikorbankan sejak lama sebagai efek dari akses pendidikan umum dan
proses rekrutmen pekerjaan yang diskriminatif dan kepalang dimaklumi masyarakat.
Saya berharap di masa depan nanti, akses pendidikan di Indonesia dapat dicapai
oleh siapa pun dari golongan mana pun, sehingga tenaga kerja yang bersaing di
dunia profesional memiliki kredensial pendidikan yang dicapai secara fair dan
berujung pada penyerapan tenaga kerja yang adil secara sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Daftar Pustaka

Topik 1

https://www.afrik21.africa/en/africa-when-csr-comes-to-the-rescue-of-biodive
rsity/

https://progressivegrocer.com/doing-good-and-thinking-big

Topik 2

https://www.drbronner.com/media-center/all-one-reports/

https://www.forbes.com/sites/stevebanker/2020/08/01/a-progressive-manufa
cturer-thrives-despite-coronavirus/?sh=7376487f1457

https://www.belfasttelegraph.co.uk/life/weekend/how-the-quirky-family-comp
any-that-makes-meghan-markles-favourite-body-care-products-got-police-in-a
-lather-38093872.html

Topik 3

https://www.bbc.com/news/business-25941070

Topik 4

https://news.temple.edu/news/2021-10-05/unravelling-systemic-oppression-t
hrough-scholarship-advocacy-and-education

https://www.umassmed.edu/news/news-archives/2021/11/addressing-racism-
in-medicine-is-everyones-job-and-not-a-few/

https://nasional.kompas.com/read/2021/04/09/18073491/pemerintah-sediaka
n-formasi-cpns-khusus-untuk-lulusan-terbaik-warga-papua

https://www.antaranews.com/berita/2174666/rekrutmen-papua-papua-barat-
untuk-bumn-terealisasi-77-persen

Anda mungkin juga menyukai