T Dga 1335500676
T Dga 1335500676
Karya
tulis
ini
berjudul
“Bahasa
Mempengaruhi
Budaya
atau
Sebaliknya”
yang
berisi
pembahasan
tentang
bahasa
merupakan
suatu
produk
budaya
suatu
bangsa,
suatu
bangsa
tercermin
dari
budayanya
dalam
hal
kosa
kata,
kata,
paragraph,
wacana
atau
retorika.
Juga
membahas
tentang
Fungsi
bahasa
secara
umum,
hakekat
kebudayaan
yang
sangat
kompleks,
kebudayaan
juga
selalu
dipandang
sebagai
suatu
yang
khas
dari
manusia
karena
dihubungkan
dengan
keindahan,
kebebasan
dan
keluhuran.
Selain
itu
Bahasa
dan
budaya
mempunyai
hubungan
yang
koordinatif
yakni
hubungan
yang
sederajat
yang
kedudukannya
sangat
tinggi.
Bahasa
dapat
juga
diwujudkan
sebagai
refleksi
diri,
artinya
bahasa
yang
dipergunakan
oleh
masyarakat
adalah
suatu
refleksi
atau
cermin
keseluruhan
kebudayaan
masyarakat
tersebut.
Bahasa
juga
sebagai
fenomena
bahasa,
artinya
puluhan
bahasa
daerah
punah
dan
lainnya
berpotensi
punah
juga.
Bahasa
mempengaruhi
budaya
karena
apa
ang
diungkapkan
pengguna
bahasa
mencerminkan
kebiasaan
s
penutur.
Budaya
pengaruhi
Bahasa
karena
dalam
pembentuan
bahasa
juga
lahir
dari
pola
piker
manusia.
1. Pendahuluan
Bahasa
merupakan
suatu
produk
budaya
suatu
bangsa.
Bahkan
dengan
bahasa
kita
bias
mengetahui
budaya
orang
lain.
Lebih
jauh
lagi
ada
yang
mengatakan
suatu
bangsa
tercermin
dari
budayanya.
Cerminan
bahasa
dan
budaya
tidak
hanya
dalam
kosa
kata
kata,
pararaf,
wacana
atau
retorika.
Hubungan
antara
bahasa
dan
kebudayaan
adalah
hal
yang
menarik
untuk
dibicarakan,
sehingga
membuat
masyarakat
luas
dengan
berbagai
latar
belakang
tertarik
untuk
membicarakannya.
1
Ditinjau
dari
sudut
kebudayaan,
bahasa
adalah
wujud
dari
kebudayaan.
Bahasa
sebagai
wadah
dan
refleksi
kebudayaan
masyarakat
pemiliknya
dan
dari
bahasa
kita
dapat
mengetahu
seberapa
tinggi
tingkat
kebudayaan
suatu
bangsa.
Koentjoroningrat
dalam
Chaer
(1995:217)
menyatakan
kebudayaan
itu
hanya
dimiliki
manusia
dan
tumbuh
bersama
berkembangnya
masyarakat
manusia.
2.1 Bahasa
Batasan
bahasa
ditegaskan
Widjono
(2007:15)
adalah
system
lambing
bunyi
ujaran
yang
digunakan
untuk
berkomuniksi
oleh
masyarakat
pemakainya.
Digunakan
dalam
berbagai
lingkungan,
tingkatan
dan
kepentingn
yang
beraneka
ragam,
misalnya
komunikasi
ilmiah,
bisnis,
kerja,
sosial
dan
budaya.
Sebagai
suatu
system
bahasa
sekaligus
bersifat
sistematis.
Artinya
bahasa
tersusun
menurut
suatu
pola,
tidak
tersusun
secara
acak,
dengan
kata
lain,
bahasa
itu
bukan
merupakan
suatu
system
yang
tunggal,
tetapi
dari
subsistem,
seperti
fonologi,
morfologi,
sintaksisi
dan
semantic.
Sedangkan
arbitrer
di
sini
artinya
tidak
ada
hubungan
wajib
antara
lambing
bahasa
(yang
berwujud
bunyi
itu)
dengan
konsep
atau
pengertian
yang
dimaksud
lambing
tersebut.
2
Secara
umum
fungsi
bahasa,
yaitu
alat
komunikasi
antar
anggota
masyarakat.
Dijelaskan
Nababan
(1993:38),
jika
dikaji
dalam
kaitannya
dengan
masyarakat
dapat
dibedakan
menjadi
empat
golongan
fungsi,
(1)
kebudayaan,
(2)
kemasyarakatan,
(3)
perorangan,
dan
(4)
pendidikan.
Keempat
fungsi
tersebut
berkaitan,
sebab
‘perorangan’
adalah
‘anggota
masyarakat’
yang
hidup
dalam
masyarakat
itu
sesuai
dengan
pla-‐pola
‘kebudayaan
yang
diwariskan
dan
dikembangkan
melalui
‘pendidikan”.
Sebagai
makhluk
social,
manusia
tidak
dapat
hidup
seorang
diri.
Dalam
memenuhi
kebutuhannya
setiap
orang
memerlukan
kerjasama
dengan
orang
lain,
terlebih
lagi
kebutuhan
manusia
banyak
dan
beragam.
Mereka
perlu
berkomuikasi
dalam
berbagai
lingkungan
di
tempat
mereka
berada.
2.2 Kebudayaan
Dari
beberapa
define
mengenai
kebudayaan
dapat
kita
temukan
dasar
pijakan
yang
sama
yaitu
manusia
dengan
segala
macam
kelebihannya
disbanding
dengan
makhluk
lain.
Kebudayaan
selalu
dipandang
sebagai
suatu
yang
khas
manusia
dan
karena
itu
selalu
dihubungkan
dengan
keindahan,
kebebasan
dan
keluhuran.
3
3.
Bahasa
Dalam
Kebudayaan
Tentang
hubungan
bahasa
dan
kebudayaan
ini
juga
pernah
dibahas
oleh:
D.
Bloomfield,
harris
dan
Voegeli
dalam
Oka
(1974:113)
Menurut
mereka
bahasa
jika
ditinjau
dari
luar
dirinya
adalah
sebagai
alat
dan
wadah
kebudayaan
dalam
wujud
kegiatan
berbahasa
baik
dalam
bentuk
tulisan
maupun
dalam
bentuk
lisan.
Hubungan
bahasa
dengan
kebudayaan
memang
erat
sekali,
bahkan
sering
sulit
mengidentifikasi
hubungan
antarkeduanya
karena
mereka
saling
mempengaruhi,
saling
mengisi
dan
berjalan
berdampingan.
Menurut
Nababan
(1993:82)
ada
dua
macam
hubungan
bahasa
dan
kebudayaan,
yakni
(1)
bahasa
adalah
bagian
dari
kebudayaan
(filogenetik),
dan
(2)
seseorang
belajar
kebudayaan
melalui
bahasanya
(ontogenetik).
Di
sisi
lain
pola
hidup,
tingkah
laku,
adat
istiadat,
dan
cara
berpakaian
dan
unsure
budaya
lain
juga
bisa
disampaikan
atau
ditransmisi
melalui
bahasa.
Bahkan
kebudayaan
nenek
moyang
dapat
diterima
dan
kita
wariskan
kepada
anak
cucu
kita
melalui
bahasa.
Kebudayaan
nenek
moyang
yang
terkandung
dalam
naskah-‐naskah
lama,
yang
mungkin
ditulis
berates-‐ratus
tahun
lalu,
bisa
kita
nikmati
sekarang
ini
hanya
karena
ditulis
dalam
4
bahasa.
Pengetahuan
sebagai
unsure
budaya
dapat
kita
sampaikan
pada
murid
dan
anak
cucu
kita
hanya
karena
diutarakan
dengan
bahasa.
Contoh:
Dari
uraian
di
atas,
jelas
bahasa
mempunyai
latar
makna
dalam
latar
kebudayaan
yang
menjadi
wadahnya.
Bentuk
bahasa
yang
sama
mempunyai
makna
yang
berbeda
sesuai
dengan
kebudayaan
yang
menjadi
wadahnya.
Jika
dikaitkan
dengan
budi
bahasa
dalam
bahasa
Indonesia
dapat
dirtikan
dengan
perilaku,
karena
dalam
bahasa
itu
tercermin
perilaku
penuturnya.
Keeratan
ini
5
mengakibatkan
kesulitan
penerjemahan
kata-‐kata
atau
ungkapan
dari
bahasa
yang
satu
ke
dalam
bahasa
yang
lain
karena
yang
diterjemahkan
atau
yang
dialihkan
bukan
saja
kata-‐kata
atau
ungkapan-‐ungkapan
tersebut,
melainkan
juga
konsep
budaya
yang
mendasari
mereka.
Contoh:
Jika
dibandingkan
antara
bahasa
Sunda
dan
jawa,
meskipun
beberapa
kata
kadang-‐
kadang
mengacu
pada
objek
yang
sama,
maka
kata-‐kata
tersebut
sering
berbeda
apabila
ditinjau
dari
segi
tutur
(undak-‐undak)
sesuai
dengan
budaya
yang
mendasarinya.
Dari
kacamata
social,
memang
bahasa
dan
budaya
bagai
dua
sisi
mata
uang,
hubungan
bahasa
dan
budaya
bisa
dirunut
dari
pandangan
yang
berbeda.
Pertama
menace
pada
kesemestaan
budaya
yang
menyatakan
bahwa
bahasa
seperti
halnya
kepercayaan
dan
mata
pencaharian
adalah
komponen
penting
budaya.
Menurut
Koentjoroningrat,
dalam
Mustafa
(2008),
jika
budaya
didefinisikan
sebagai
totalitas
pola
perilaku
seni,
kepercayaan,
hsil
karya
dan
buah
pemikiran
manusia
signifikansi
bahasa
terletak
pada
kenyataan
bahwa
bahasa
memegng
peranan
penting
sebagai
alat
transmisi
budaya
dari
satu
generasi
ke
generasi
selanjutnya.
6
Para
ahli
budaya
menilai
bahasa
sebagai
cermin
budaya
member
pengaruh
signifikan
pada
kemajuan
sebuah
bangsa.
Penelitian
Arief
Rahman
Hakim
dalam
Mukhamad
(http://suara
pembaca.detik.com/read/2009/10/29/175539/1231296/47,
diunduh
tanggal
2
Desember
2009),
menyebutkan
di
Kalimantan
satu
dari
50
bahasa
tak
lagi
digunakan.
Di
Sumatera
dari
13
bahasa
dua
diantaranya
kritis
dan
satu
punah.
Di
Sulawesi,
satu
dari
110
bahasa
telah
lenyap
dan
36
dalam
kondisi
terancam.
Di
Timor
flores
dan
Samba
tercatat
50
bahasa
masih
bertahan,
tapi
delapan
diantaranya
hamper
punah.
Hal
tersebut
menunjukkan
bangsa
Indonesia
saat
ini
dihadapkan
pada
fenomena
bahasa
yang
mempeihatinkan.
Puluhan
bahasa
daerah
punah
dan
lainnya
berpotensi
punah
juga.
Kenyataan
ini
pelu
dicermati
karena
denan
melemahnya
bahasa
daerah,
membuat
bahasa
Indonesia
akan
seakin
terpuruk.
Apalagi
saat
ini
hanya
sebagian
kecil
saja
kosa
kata
bahasa
Indonesia
yang
diserap
dari
bahasa
daerah.
Selebihnya
adalah
bahasa
asing.
Ini
mengidentifikasikan
bahasa
daerah
sebagai
sumber
kekayaan
bahasa
(budaya)
Indonesia
keberadaannya
terabaikan.
Karena
itu
kalau
tidak
segera
diantisipasi
serbub
bahasa
asing
akan
semakin
mendomonasi
perbendaharaan
kosa
kata
bahasa
Indonesia.
Banyak
ahli
bahasa
dan
budaya
dua
hal
yang
saling
terkait
dan
dalam
teori
Sapir-‐
Whorf
dinyatakan
bahwa
bahasa
mempengaruhi
budaya.
Mereka
mengatakan
demikian
karena
apa
yang
diungkapkan
pengguna
bahasa
mencerminkan
kebiasaan
si
penutur.
Contoh,
untuk
menyatakan
waktu,
Indonesia
terkenal
dengan
‘jam
karet’
karena
bahasa
Indonesia
tidak
menunjukkan
‘batas
waktu’
yang
jelas.
Selanjutnya
kata
‘nanti’
di
sini
juga
tidak
jelas
batas
waktunya.
Makanya
bisa
untuk
pada
hari
yang
sama
atau
hari
berikutnya
atau
hari
berikutnya
lagi
yang
tak
jelas
kapan.
Beda
dengan
bahasa
Inggris,
misalnya
ada
kalimat
I
bought
a
book
dan
I
buy
abook.
Kedua
kata
tersebut
memiliki
makna
yang
sama
dalam
bahasa
Indonesia
‘membeli’
,
namun
kedua
kata
tersebut
diletakkan
dalam
konteks
waktu
yang
berbeda.
Bought
digunakan
untuk
waktu
yang
berlalu,
sedangkan
buy
digunakan
untuk
waktu
sekarang.
7
Dalam
teori
sapir-‐Whorf,
kebiasaan
tersebut
timbul
dari
bahasa
sehingga
ia
menegaskan
bahwa
bahasa
mempenagruhi
budaya
(kebiasaan).
Dalam
masyarakat
Inggris
yang
tidak
terbiasa
(budaya)
makan
nasi,
mereka
tidak
memiliki
kosa
kata
yang
lengkap
untuk
menyatakan
beras,
padi,
dan
nasi.
Dalam
bahasa
Inggris
hanya
ada
satu
kata
untuk
itu
semua,
yakni
rice.
Contoh
lain
pada
masyarakat
Eksimo
karena
sudah
berbudaya
hidup
dalam
salju,
sedangkan
dalam
ahasa
Indonesia
hanya
ada
satu
kata
‘salju
untuk
menyatakan
salju
dengan
beragam
jenisnya.
Kita
juga
sering
kesulitan
dalam
dalam
menerjemahkan
kata-‐kata
atau
ungkapan
dari
suatu
bahasa
ke
bahasa
lain.
Contoh,
perkataan
village
dalam
bahasa
Inggris
tidaklah
sama
dengan
‘desa’
dalam
bahasa
Indonesia.
Sebab
konsep
village
dalam
kebudayaan
Inggris
atau
Amerika
sangat
berbeda
dari
konsep
‘desa’
dalam
ebudayaan
Indonesia.
Karena
itu
ungkapan
yang
pernah
dikeluarkan
penulis
asing
menyebutkan
kota
Jakarta
sebagai
suatu
big
village
akan
hilang
artinya
jika
diterjemahkan
dengan
‘desa
yang
besar’.
Jika
menunjuk
teori
sapir-‐Whorf,
dalam
pembentukan
bahasa
juga
lahir
dari
pola
piker
manusia,
teori
tersebut
dapat
dibenarkan.
Lantas,
apa
sih
dapat
disebutkan
bahasa
mempengaruhi
budaya,
sedangkan
ketiadaan
budaya
di
suatu
daerah
telah
menyebabkan
ketiadaan
kosa
kata
untuk
mengutarakan
budaya
atau
yang
mewakili
budaya
tersebut.
Hal
ini
jelas
memperlihatan
bahwa
tidak
selamanya
bahasa
itu
mempengaruhi
budaya.
Namun
ada
kalanya
budaya
mempengaruhi
bahasa.
Menjadi
wajar,
manakala
teori
sapir-‐Whorf
masih
dipertanyakan
saat
ini.
Bahkan
dalam
tindakan
sehari-‐hari,
kebanyakan
budaya
lebih
dahulu
ada
disbanding
bahasa.
Misal
dalam
masyarakat
Aceh,
alat
yang
digunakan
untuk
membajak
sawah
disebut
langlai.
Benda
itu
(langlai)
semula
tidak
ada
nama,
namun
setelah
bendanya
tercipta
dan
menjadi
kebiasaan
manusia
membajak
sawah
dengan
benda
tersebut,
barulah
kemudian
muncul
nama
(bahasa)
untuk
menyebutkan
benda
tersebut.
Contoh
lain
suatu
kata,
ungkapan
atau
konsep
yang
ada
dalam
dalam
bahasa
suatu
kebudayaan
belum
tentu
mempunyai
padanan
yang
sesuai
dengan
bahasa
kebudayaan
lain.
8
Karena
tu
Jika
ingin
membicarakan
suatu
konsep
dari
kebudayaan
lain.
Kita
sering
menggunakan
istilah
dalam
bahasa
aslinya
untk
mengungkapkan
konsp
tersebut,
sebab
jika
kata
itu
diterjemahkan
sering
artinya
terlalu
jauh
dari
apa
yang
diungkapkan.
Inilah
mengapa
kadang-‐kadang
bahasa
memakai
suatu
kata
atau
istilah
bahasa
lain
dalam
menyatakan
sesuatu.
Ada
juga
yang
berpendapat
cara
berfikir
mempengaruhi
cara
bahasa
atau
dengan
kata
lain
pikiran
yang
masuk
kebudayaan
mempengaruhi
bahasa.
Wardhaugh
dalam
Sibarani
(1992:109),
menyatakan
pikiran
(kebudayaan
mental)
mengarahkan
bahasa
menjadi
bahasa
yang
berisi,
bermakna
dan
bermanfaat.
Jikalau
terjadi
keruskan
dalam
pikiran
seseorang
,
maka
akan
mempengaruhi
bahasanya.
Mungkin
bahasa
orang
yang
mengalami
kerusakan
pikiran
ini
masih
dapat
dimengerti,
tetapi
makna,
manfaat
dan
tujuan
tidak
dapat
dipahami.
Padahal
bahasa
sebagai
system
komunikasi
harus
dapat
dipahami
makna
dan
tujuannya
terutama
bagi
penyapa
dan
pesapa.
Hubungan
lain
yang
perlu
diperhatikan
dalam
komunikasi,
tata
cara
berbahasa
harus
sesuai
dengan
norma-‐norma
kebudayaan.
Apabila
tidak
sesuai
dengan
norma-‐norma
kebudayaan,
tak
jarang
dituduh
orang
yang
aneh,
egois,
sombong,
acuh,
tidak
beradat
dan
berbudaya.
Menurut
Nababan
(1993:53)
tata
cara
berbahasa
ini
mengatur,
(1)
apa
yang
sebaiknya
kita
katakana
pada
waktu
dan
eadaan
tertentu,
(2)
ragam
bahasa
apa
yang
sewajarnya
kit
pakai
dalam
situasi
sosiolingistik
tertentu,
(3)
kapn
dan
bagaimana
kita
menggunakan
giliran
berbicara
dan
menyela
pembicaraan
orang
lain,
dan
(4)
kapan
kita
dian
dan
jangan
berbicara.
Tata
cara
berbahasa
selalu
dikaitkan
dengan
penggunaan
bahasa
sebagai
system
komunikasi.
Suara
keras
yang
menyertai
tanda
verbal
seorang
ketika
berkomunkasi
dengan
atasannya
mungkin
dianggap
kurang
sopan.
Akan
tetapi
mungkin
hal
itu
dimaklumi
apabila
yang
berbicara
itu
orang
dari
suku
Batak.
Sebaiknya
kalau
kita
menyapa
atasan
kita
pagi-‐
pagi
di
kantor,
adalah
wajar
kalau
kita
menapa,
“Selamat
Pagi,
Pak/Bu”,
dan
tidak
wajar
mengatakan
Apa
kabar
Pak/Bu”,
karena
kata-‐kata
itu
lebih
tepat
dipakai
kepada
orang
yang
setingkat
dengan
pembicara
dan
bernada
ragam
santai.
9
sudah
mendarah
daging
sangat
berpenagruh
pada
bahasa
seseorang.
Itulah
sebabnya
kita
perlu
mempelajari
atau
memahami
norma-‐norma
kebudayaan
sebelum
atau
selain
mempelajari
bahasa.
5. Kesimpulan
10
DAFTAR
PUSTAKA
11