Anda di halaman 1dari 26

Tugas Gizi

Menu Satu Minggu yang berkaitan dengan Penyakit Diabetes Meilitus


Yang Berhubungan dengan Gigi serta Memahami STUNTING di
Indonesia

Oleh :

Fatimah Fauzi Basalamah

M-KES 4

PASCASARJANA KESEHATAN MSYARAKAT


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
Senin Selasa Rabu Kamis Jumaat

Pagi hari : Pagi Hari : Pagi Hari : Pagi Hari : Ubi Pagi Hari :
Oatmeal dan susu Roti gandum Oatmeal dan susu jalar dan susu Oatmeal dan susu
diabetasol dan susu diabetasol diabetasol diabetasol
diabetasol

Siang Hari : Nasi merah, Siang hari : Nasi Siang Hari : Nasi Siang Hari : Siang Hari : Nasi
sayur bayam dan daging Merah, Brokoli, Merah, sayur Nasi Merah, merah Sayur
tanpa lemak dan air ikan laut dan air sawi,ayam Sayur bayam, bening, ayam
mineral mineral kampung dan air ikan laut, dan air kampung dan air
mineral mineral mineral

Malam Hari : Nasi merah Malam Hari : Malam Hari : Malam Hari : Malam Hari : Nasi
dengan takaran sedikit, Nasi Merah Nasi Merah Nasi Merah Merah dengan
ikan laut, air mineral dan dengan takaran dengan takaran dengan takaran takaran sedikit,
susu diabetasol sedikit, tempe yang sedikit, sedikit, brokoli tempe tahu, sayur
tahu, sayur sayur kubis, dan daging bayam, air mineral
bayam, air tempe tahu,air tampa lemak, air dan susu
mineral dan susu mineral dan susu mineral serta diabetasol
diabetasol diabetasol susu diabetasol

Penjelasan Gizi untuk pasien Diabetes Meilitus

Oatmeal :
Gandum utuh yang berada dalam oatmeal diketahui dapat membantu menjaga kadar
kolesterolserta gula darah dalam diri seseorang. Oatmeal juga diketahui kaya akan serat dan
juga memiliki kandungan protein, magnesium, fosfor, dan vitamin B1 sebagai sumber energi.

Susu Diabetasol :

Kaya Nutrisi
Nutrisi yang terkandung di dalam susu diabetes sangat beragam. Beberapa
kandungan nutrisi yang biasa dijumpai pada susu sapi juga bisa dijumpai. Salah satu
diantaranya adalah kalsium. Manusia membutuhkan kalsium setiap harinya. Namun
karena penderita diabetes memiliki pantangan untuk minum susu sapi ataupun susu full
cream, memenuhi kebutuhan tersebut tentunya akan cukup menantang. Di sinilah peran
susu diabetes seperti susu Diabetasol dalam memenuhi kebutuhan kalsium dan
menekan risiko osteoporosis.

Rendah Gula

Pantang bagi penderita diabetes untuk mengonsumsi gula. Padahal, sebagian


besar susu yang beredar di pasaran mengandung gula. Bahkan takaran gula yang
digunakan cukup tinggi pada beberapa varian rasa susu. Namun beda halnya
dengan susu diabetes yang relatif rendah gula. Jadi, penderita diabetes bisa tetap
memenuhi kebutuhan nutrisinya tanpa harus khawatir dengan kadar gula yang ada pada
susu diabetes termasuk susu Diabetasol.
 

Membantu Mengendalikan Kadar Gula Darah

Salah satu manfaat penting yang dimiliki susu diabetes adalah membantu


menjaga kadar gula dalam darah. Dengan mengonsumsi susu diabetes, kadar gula darah
cenderung lebih stabil. Selain itu susu ini juga mampu mencegah beberapa penyakit
lain yang kerap menyertai penyakit diabetes.
 
Saat sudah didiagnosa menderita diabetes, ada banyak hal yang tadinya bisa
dinikmati kini harus dibatasi. Bahkan memenuhi kebutuhan nutrisi juga bisa cukup
menantang untuk para penderita diabetes. Karena itu, sebelum semuanya terlambat,
diabetes harus dicegah. Sedini mungkin, mengonsumsi susu seperti  susu
Diabetasol juga bisa menjadi langkah cerdas untuk menekan risiko penyakit ini.

Nasi Merah :

Nasi putih dibuat dengan pemurnian yang menghilangkan bagian kulit padi dan bubuk
atau dedak dibandingkan dengan komposisi yang terkandung beras merah.
Melalui proses ini, sebagian besar seratnya hilang , sedangkan nasi merah mengandung lebih
dari 4 kali serat nasi putih.

Permurnian yang lebih sedikit pada beras merah juga menyebabkan masih banyak vitamin
dan mineral penting lainnya yang tidak terbuang.

nasi merah mengandung hampir 4 kali lebih banyak magnesium dan 2 kali lebih banyak
mangan daripada nasi putih.

Karena perbedaan kandungan serat, beras putih memiliki indeks glikemik lebih tinggi
daripada beras merah (ini meningkatkan kadar gula darah lebih cepat).

Sayur Bayam :

1.Antioksidan
Sayuran hijau seperti bayam kaya akan β-karoten dan vitamin C. Keduanya bertindak sebagai
antioksidan dengan menurunkan pembentukan radikal bebas yang bisa merusak kerja sel
tubuh, salah satunya sel pankreas, penghasil insulin. Bila radikal bebas menyerang pankreas
atau reseptor insulin, risiko diabetes akan meningkat.

2.Polifenol
Bayam kaya akan polifenol yang juga bertindak sebagai antioksidan. Polifenol adalah salah
satu jenis antioksidan yang biasanya terdapat pada tumbuhan seperti sayur, buah, bunga, dan
biji-bijian.

3.Magnesium
Bayam mengandung magnesium yang. Kandungan ini dapat membantu menurunkan risiko
diabetes karena perannya dalam perbaikan sensitivitas insulin.

4. Asam lemak tak jenuh

Sayuran hijau juga merupakan sumber α-linolenic acid (asam lemak tak jenuh) yang
baik. Asam lemak tak jenuh pada makanan dipercaya memiliki manfaat positif bagi tubuh,
salah satunya dapat mempengaruhi sensitivitas insulin. Hal ini tentu saja sangat baik bagi para
penderita diabetes.

Ternyata, bayam kaya akan manfaat, khususnya bagi para diabetesi untuk menjaga pola
makan sehat mereka. So, bayam bisa menjadi alternatif yang baik dalam mencukupi
kebutuhan asupan sayuran harian Anda. Mari mulai mengonsumsi bayam

Daging Tanpa lemak :


Tak ada masalah makan daging bagi penderita diabetes. Yang perlu diingat adalah
hilangkan bagian lemaknya dan jangan digoreng dengan minyak. Akan lebih sehat jika
direbus, dipanggang, atau dibakar. Kandungan tinggi protein pada daging tidak memengaruhi
tingkat gula darah sebagaimana karbohidrat. Ketika dikonsumsi dengan porsi yang cukup,
daging ikan, dada ayam tanpa kulit, dan daging rendah lemak menjadi pilihan tepat bagi
penderita diabetes.

Roti Gandum :
Gandum adalah karbohidrat yang baik untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes.
Makanan yang termasuk ke dalam jenis gandum adalah roti dan oatmeal. Mengonsumsi roti
dan oatmeal yang baik untuk penderita diabetes adalah dengan tidak menambahkan gula dan
menghindari roti dan oatmeal yang mengandung gula. Berdasarkan ulasan kajian yang
dilakukan oleh ilmuan Beijing yang diulas oleh Reader’s Digest, mengonsumsi roti gandum
dan oatmeal dapat membuat level gula darah rendah.

Brokoli :
Brokoli  sangat kaya atas kandungan sulforphane ang diketahui dapat memperbarui
produksi enzim dan melindungi pembuluh darah serta mencegah kerusakan sel akibat
tingginya kadar gula dalam darah.
Brokoli juga mengandung kromium, dimana peningkatan senyawa ini dalam tubuh akan
mendorong peningkatan sensitivitas insulin dalam tubuh yang bermanfaat dalam
pengendalian glukosa dan faktor-faktor terkait lainnya yang menyertai timbulnya diabetes.

Tempe dan Tahu :


Tahu dan tempe mengandung isoflavon yang baik untuk memperbaiki resistensi
insulin sehingga gula darah dapat terkontrol. Serat di dalamnya juga sangat baik untuk
memperlambat pergerakan usus halus.

Sayur :
Sayuran berdaun hijau gelap diketahui tinggi serat, protein, serta nutrisi vital lainnya.
Serat dapat membantu mengontrol kadar glukosa. Sayuran, buah, kacang-kacangan, dan
legume memiliki kandungan serat yang tinggi.

Selain itu, sayuran juga bisa bermanfaat untuk memperbaiki kadar kolesterol dan
menurunkan tekanan darah. Sama dengan protein, serat juga bisa membantu Anda merasa
kenyang lebih lama.

Ayam Kampung :
1. Kandungan toksin yang sedikit
Memang hanya sedikit orang saja yang sangat perduli akan mengkonsumsi ayam yang
mengandung sedikit toksin atau tidak. Sebab efek samping yang akan mengenai juga tidak
terlalu terasa pada jangka dekatnya. Padahal produk unggas mungkin juga berbahaya.
Misalnya kandungan hormon, antibiotik dan jejak pestisida yang sudah mereka konsumsi saat
di pekarangan. Berbeda dengan ayam kampung yang besar dengan sendirinya tanpa campur
tangan bahan kimia.
Salah satu bentuk pengaruh antibiotik yang mengenai manusia adalah resistensi
kuman pada beberapa orang. Sedangkan hormonal dari luar yang di berikan ke pada ayam
potong adalah menyebabkan resiko kanker meningkat, pubertas pada anak lebih cepat.
Bahkan anda juga tidak bisa menjamin ayam potong yang anda konsumsi tidak mengandung
logam berat.

2. Mutu gizi lebih tinggi


Ayam kampung memiliki kandungan gizi lebih tinggi dari sekedar ayam potong biasa.
Sebab mereka mendapatkan makan secara alami dari daun dedaunan, serangga kecil, dan
sebagainaya. Tidak mendapatkan suntikan hormonal, antibiotic dan pestisida. Sehingga
tubuhnya tidak terkontaminasi langsung dengan zat kimia. Untuk itulah mengapa hasil daging
ayam kampung lebih lembut dan lebih gurih.
3. Lemak lebih sedikit
Ayam organik hanya memiliki kandungan lemak lebih sedikit dari ayam potong.
Itulah mengapa bentuk tubuh ayam organic lebih kecil dibandingkan dengan ayam potong.
Dagingnya pun juga lebih tipis, sehingga untuk proses pemotongannya tidak memerlukan
waktu yang banyak.
4. Protein tinggi kualitas terbaik
Daging ayam merupakan salah satu penghasil protein terbanyak setelah daging sapi.
Manfaat protein berjenis hewani ini lebih banyak dan mutu kesehatannya lebih tinggi jika
anda menggunakan ayam organik. Alasan inilah yang di pakai oleh para binaragawan.
Tingginya kandungan protein yang berjumlah 19 jenis serta asam amino yang sangat baik
untuk tubuh. Bahkan protein protein inilah yang membantu pembentukan tubuh agar terlihat
sispact.

Ubi Jalar :
ubi jalar memiliki indeks glikemik yang rendah. Umbi-umbian ini juga mengandung
banyak serat. Indeks glikemik yang rendah pada ubi jalar tak akan mempengaruhi tingkat
gula darah pada pasien diabetes,

Jagung :

Dilansir dari Asian Journal, profesor dari University of Philippines Los Banos, Dr.
Artemio Salazar menjelaskan bahwa jagung punya nilai glikemik rendah sehingga bisa
dijadikan makanan pokok pengganti nasi yang baik untuk penderita diabetes. Mengutip
dalam laman Harvard Medical School, skor IG dari 100 gram jagung adalah 46, sementara
beban glikemiknya bernilai 14. Sebagai perbandingan, beban glikemik dari 150 gram nasi
putih adalah 29. Pada dasarnya, semakin rendah beban glikemik suatu makanan semakin baik
untuk gula darah. Selain itu, jagung juga mengandung serat pati resisten yang lebih sulit
dicerna oleh tubuh. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa rutin makan jagung kaya
pati resisten setiap hari dapat membantu diabetes mengendalikan gula darahnya lebih baik.
Makanan berserat tinggi juga membuat Anda kenyang lebih lama.

Hubungan Gigi dengan Diabetes Meilitus

Diabetes mellitus dan kesehatan gigi sangat erat kaitannya, terutama dengan jaringan
pendukung gigi. Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kompleks yang ditandai dengan
hiperglikemia kronis, yaitu pengurangan produksi insulin, terganggunya aksi insulin, atau
kombinasi keduanya yang menghasilkan ketidakmampuan glukosa untuk ditransportasikan
dari aliran darah ke jaringan tubuh. Mengakibatkan tingkat glukosa darah meningkat dan
terjadi pengeluaran gula di urin. Beberapa perubahan di dalam rongga mulut yang terjadi
pada penderita diabetes antara lain, luka pada sudut mulut, mukosa mulut kering dan pecah-
pecah, sensasi rasa terbakar pada mulut dan lidah, berkurangnya aliran ludah, serta
terpengaruhnya jumlah bakteri di rongga mulut yang didominasi oleh Candida albicans,
Streptococcus hemolitik, dan Staphylococcus. Peningkatan resiko gigi berlubang juga
ditemukan pada pasien dengan diabetes tidak terkontrol. Sedangkan perubahan pada jaringan
pendukung gigi yang terjadi pada penderita diabetes antara lain, kecenderungan untuk terjadi
pembengkakan gusi, polip gusi, proliferasi polip gusi, pembentukan abses, infeksi jaringan
pendukung gigi (periodontitis), dan terjadi kehilangan gigi. Namun, perubahan yang paling
menyolok pada penderita diabetes yang tidak terkontrol adalah berkurangnya sistem
pertahanan tubuh dan lebih mudah terkena infeksi, yang menyebabkan kerusakan jaringan
pendukung gigi. Terutama setelah usia 30 tahun, penderita diabetes lebih beresiko untuk
mengalami kerusakan jaringan pendukung gigi. Mayoritas penelitian yang telah dilakukan,
menunjukkan prevalensi dan keparahan penyakit pendukung gigi lebih tinggi pada penderita
diabetes dibandingkan dengan non diabetes. Antara lain peningkatan kehilangan perlekatan
jaringan pendukung gigi, peningkatan perdarahan gusi, dan peningkatan kegoyangan gigi.
Penyebab penderita diabetes rentan terkena infeksi disebabkan oleh peningkatan glukosa
pada cairan gusi dan darah, kekurangan sel darah putih polimorfonuklear, peningkatan
aktivitas kolagen dan penurunan sintesis kolagen. Semua hal ini akan mengubah lingkungan
mikroflora di dalam mulut, yang menyebabkan kualitatif bakteri berubah. Sehingga penderita
diabetes rentan terhadap infeksi dan mengakibatkan terjadinya penyakit pada jaringan
pendukung gigi. Hal-hal yang perlu dilakukan penderita diabetes dalam menjaga kesehatan
rongga mulutnya, antara lain:
1.    Melakukan kontrol tahunan terkait penyakit diabetes ke Dokter Spesialis Penyakit
Dalam.
2.    Mengunjungi Dokter Gigi secara rutin untuk melakukan pemeriksaan
keseluruhan rongga mulut.
3.    Melakukan pemeriksaan rutin di Dokter Gigi Spesialis Periodonsia
(Drg.,SpPerio), khusus untuk menangani gejala-gejala penyakit gusi  dan
penyakit pendukung gusi (antara lain perdarahan saat menyikat gigi, gusi
bengkak dan berwarna merah mengkilat, serta gigi goyang).
4.    Melakukan perawatan rutin di rumah untuk menyikat gigi dan lidah secara teratur
3 kali sehari dengan sikat gigi berbulu lembut dan teknik menyikat gigi yang
tepat dengan tekanan ringan, serta menggunakan pasta gigi khusus untuk
perawatan gusi.
5.    Mengkonsumsi banyak air mineral, sayuran hijau, serta buah untuk menstimulasi
aliran air ludah di dalam mulut anda.
6.    Mengurangi frekuensi makanan karbohidrat olahan diantara waktu makan utama.
Karena begitu eratnya kaitan antara diabetes mellitus dan kesehatan rongga
mulut, maka anda harus rajin mengontrol penyakit diabetes-nya dan lebih
memperhatikan perawatan rongga mulut di rumah, serta rajin mengunjungi
Dokter Gigi. Langkah pertama saat ini, tentu saja mengunjungi Dokter Gigi untuk
mengatasi penyakit gusi dan jaringan pendukung gigi yang telah terjadi.
Kemudian kunjungi Dokter Spesialis Penyakit dalam untuk melakukan kontrol
diabetes. Demikian Mas Reza, semoga lekas sembuh. Salam gigi sehat.

2. Stunting
Stunting pada balita, Balita atau anak umur lima tahun adalah anak usia kurang dari
lima tahun, sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini.
Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak
yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan
usia pra-sekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif. Anak usia 1- 3 tahun merupakan
konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju
pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra- sekolah sehingga diperlukan jumlah
makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah
makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya
lebih besar. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat
memilih makanan yang disukainya. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar
memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini
berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak
dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan (Uripi, 2004). Anak balita merupakan
golongan rawan gizi karena berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relatif pesat dan
memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar.

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses lanjutan sejak dari konsepsi


sampai maturasi atau dewasa yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan
(Soetjiningsih, 1995). Menurut Khomsan (2004) pertumbuhan fisik seseorang dipengaruhi
oleh dua faktor dominan yaitu lingkungan dan genetis. Kemampuan genetis dapat muncul
secara optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang kondusif, yang dimaksud dengan
faktor lingkungan adalah asupan gizi. Apabila terjadi tekanan terhadap dua faktor di atas akan
terjadi growth faltering. Pengukuran pertumbuhan penting untuk menentukan status gizi
(Atmarita dan Veronica, 1992).

Status gizi merupakan keadaan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi
yang diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk anak balita, aktifitas,
pemeliharan kesehatan, penyembuhan bagi mereka yang menderita sakit dan proses biologis
lainnya di dalam tubuh. Kebutuhan bahan makanan pada setiap individu berbeda karena
adanya variasi genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses metabolisme.
Sasaran yang dituju yaitu pertumbuhan yang optimal tanpa disertai oleh keadaan defisiensi
gizi. Status gizi yang baik akan turut berperan dalam pencegahan terjadinya berbagai
penyakit, khususnya penyakit infeksi dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak yang
optimal (Depkes RI, 2008).

Dalam menentukan status gizi seseorang stunted / pendek dapat dilakukan dengan
metode antropometri. Metode antropometri merupakan metode pengukuran ukuran fisik dan
komposisi tubuh. Pengukuran dibedakan berdasarkan umur (kadang juga berdasarkan jenis
kelamin dan ras) dan tingkat kebutuhan gizi. Dengan pengukuran antropometri dapat
diperoleh informasi terhadap status gizi masa lampau. (Gibson, 2005). Penilaian status gizi
secara antropometrik (menggunakan ukuran- ukuran tubuh) merupakan cara yang paling
sering digunakan. Cara ini merupakan cara yang sederhana, bisa dilakukan oleh siapa saja
yang telah dilatih, menggunakan alat yang relatif murah dan mudah dibawa, dan terdapat
baku referensi yang memastikan validitas dari cara ini. Namun, pengukuran gizi antropometri
tidak dapat digunakan untuk mendeteksi status gizi makro serta kesalahan saat pengukuran
akan mempengaruhi validitas dan analisis status gizi.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak,
pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan
menurut umut (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan
istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Z- score untuk kategori pendek
adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek adalah <-3 SD.
Penggunaan istilah panjang badan jika anak yang diukur belum mencapai linier 85
cm, sementara tinggi badan baru diukur setelah anak mencapai 85 cm. Ukuran panjang 85 cm
diambil sebagai patokan populasi di negara maju, sebaiknya di negara berkembang dipatok
pada angka 80 cm karena pertumbuhan sebagian besar anak “terlambat” (Arisman, 2008).
Pengukuran panjang badan atau tinggi badan anak umumnya tidak mendapatkan perhatian
yang besar seperti kenaikan berat badan balita. Pengukuran tinggi badan tidak rutin dilakukan
karena pertambahan yang sedikit dan tidak signifikan, sehingga tidak menjadi isu masalah di
masyarakat.

Terpenuhinya kebutuhan gizi anak akan menentukan laju tumbuh kembang anak.
Manifestasi dan adanya hambatan pertumbuhan adalah menjadi tidak sesuainya berat badan
anak dengan usinya. Dengan membandingkan berat badan yang sama pada waktu KMS dapat
diketahui ada tidaknya hambatan pertumbuhan (Moehji, 2003). Pertumbuhan balita dapat
juga diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS.
Pengukuran tinggi badan sering diabaikan petugas kesehatan di pencatatan KMS dikarenakan
pertambahan tinggi badan tidak signifikan bertambah setiap bulannya, berbeda dengan berat
badan yang fluktuatif berubah setiap bulan.

Stunting sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Hasil penelitian


menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak usia dini, salah satunya tercermin dari keadaan
stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ yang diasumsikan
dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di sekolah. Stunting dapat
menyebabkan anak kehilangan IQ sebesar 5-11 poin (World Bank, 2006). Penelitian lain
mengungkapkan bahwa anak yang tidak dapat mengejar pertumbuhan yang optimal sejak
dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran akan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
lemahnya perkembangan kognitif. Kemampuan kognitif yang lemah akan berdampak buruk
pada prestasi di sekolah, sehingga menghasilkan pekerja buruh rendah dan produktifitas
rendah di tahap kehidupan selanjutnya (Martorell, 2010).

Tingkat kognitif rendah dan gangguan pertumbuhan pada balita stunting, merupakan
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kehilangan produktifitas pada saat dewasa. Orang
dewasa yang pendek memiliki tingkat produktifitas kerja yang rendah serta upah kerja yang
lebih rendah dibandingkan dengan dewasa yang tidak pendek. Tinggi badan menjadi salah
satu faktor yang menjadi syarat pada jenis pekerjaan tertentu, sehingga orang yang lebih
tinggi memiliki kesempatan memperoleh penghasilan yang lebih tinggi karena lebih besarnya
peluang mendapatkan pekerjaan. Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa pria yang lebih
tinggi dapat memperoleh penghasilan yang lebih banyak, dimana peningkatan tinggi badan
sebanyak 1 persen diasosiasikan dengan kenaikan upah sebesar persen (Strauss & Thomas,
1998).

Anak yang kurang diberi makan pada dua tahun pertama kelahirannya dan anak
dengan kenaikan berat badan dengan cepat pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa akan
lebih berisiko tinggi terkena penyakit kronis terkait gizi seperti obesitas dan hipertensi
(Victora C.G., Adair Linda, Caroline Fall, Hallal Pedro C., Martorell R., Richter L., Sachdev
H.S., 2008). Anak-anak yang mengalami stunting pada dua tahun kehidupan pertama dan
mengalami kenaikan berat badan yang cepat berisiko tinggi terhadap penyakit kronis, seperti
obesitas, hipertensi, dan diabetes (Hoddinott Hoddinott J , Behrman JR, Maluccio Jhon A,
Melgar Paul, Quisumbing Agnes R, Ramirez-Zea Manuel, Stein Aryeh D, Yount Kathryn M,
Martorell Reynaldo., 2008; World Bank, 2006). Hales dan Barker (2001) menyebutkan
Hipotesis thrifty phenotype phenomena yang menyatakan adanya asosiasi epidemiologi
antara pertumbuhan janin yang buruk yang berakibat pada rendahnya outcome kehamilan
dengan penyakit diabetes melitus tipe dua dan sindrom metabolik sebagai dampak dari gizi
buruk pada awal kehidupan. Kondisi ini menghasilkan perubahan permanen dalam
metabolisme glukosa-insulin.

Satu dari empat anak di dunia mengalami stunted (de Onis, M Blossne and E Borghi,
2011). Di beberapa negara berkembang bahkan lebih tinggi, yakni satu dari tiga anak. Ini
menunjukkan bahwa tubuh dan otak mereka gagal untuk berkembang dengan baik karena
malnutrisi. Malnutrisi menjadi penyebab utama dari meniggalnya 2,6 juta jiwa setiap tahun
dari sepertiga total kematian anak (Black R.E, Valentiner- Branth P., Lanata C.F., 2008).
Pada tahun 2005-2011 Indonesia menduduki peringkat kelima prevalensi stunting tertinggi
(WHO, 2012).

Masalah balita stunting merupakan masalah global yang dialami di beberapa negara di
dunia. Tercatat jumlah angka stunting di dunia sebanyak 178 juta anak balita. Di Indonesia
pada Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 %,
meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Artinya, pertumbuhan tak maksimal
diderita sekitar 8 juta anak Indonesia atau 1 dari tiga anak Indonesia. Dapat disimpulkan lebih
dari sepertiga anak berusia dibawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-
rata. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia
Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%). Dan menurut data
Riskesdas tersebut proporsi kejadian stunting paling besar terdapat pada balita usia 24-59
bulan. Berdasarkan Laporan Riskesdas tahun 2013, prevalensi kejadian stunting pada balita
di provinsi Sumatera Utara adalah 42,5 persen. Angka prevalensi tersebut lebih

Tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi nasional yaitu 37,2 persen serta
provinsi-provinsi disekitarnya yaitu provinsi Aceh sebesar 41,4 persen dan Provinsi Sumatera
Barat 39,2 persen (Riskesdas, 2013). Menurut WHO 2010, dianggap sebagai masalah
kesehatan masyarakat menurut indikator tersebut adalah Prevalensi tinggi bila kependekan
(TB/U) sebesar 30-39 persen, dan prevalensi sangat tinggi bila ≥ 40 persen.

Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi penyebab
terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah
tangga, makanan tambahan / komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi.
Pertama, faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor
lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,
kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja,
kesehatan mental, Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan
aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang
tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah
tangga yang tidak sesuai, edukasi pengasuh yang rendah. Kedua, faktor dari makanan
komplementer yang tidak adekuat dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah,
cara pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas makanan
yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan yang
dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung
nutrisi, dan makanan komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang
tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang
tidak adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus,
pemberian makan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat
berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan
dan persiapan makanan yang tidak aman. Ketiga, Air Susu Ibu (ASI) yang salah bisa karena
inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang terlalu cepat. Dan
faktor yang keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus : diare,
environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan, malaria, nafsu makan yang
kurang akibat infeksi dan inflamasi.

1. Faktor- faktor yang berhubung dengan kejadian stunting, karakteristik balita dan usia balita
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010)

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5
tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan
kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan
sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Usia anak yang sering
ditemukan dengan kejadian stunting adalah usia 24 bulan keatas. Pada penelitian Linda Adair
(1997) kejadian stunting paling banyak terjadi pada anak usia 2-3 tahun.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita.
Perempuan lebih banyak mengandung lemak dalam tubuhnya yang berarti bahwa lebih
banyak jaringan tidak aktif dalam tubuhnya meskipun berat badan yang sama dengan anak
laki-laki. Energi yang diperlukan 10 persen lebih rendah dari laki- laki. Kebutuhan gizi anak
laki-laki lebih besar dari perempuan (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2008).

Gershwin (2004) pada tahun pertama laki laki lebih berisiko malnutrisi karena ukuran
tubuh lebih besar dan membutuhkan asupan lebih besar, jika tidak terpenuhi dalam jangka
waktu lama akan meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan. Pada tahun pertama
kehidupan, laki-laki lebih rentan mengalami malnutrisi daripada perempuan karena ukuran
tubuh laki-laki yang besar dimana membutuhkan asupan energi yang lebih besar pula
sehingga bila asupan makan tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu
lama dapat meningkatkan gangguan pertumbuhan. Penelitian (Adair dan Guilkey, 1997) di
Filipina pada 3000 partisipan di Cebu melihat perkembangan bayi sejak lahir hingga berumur
24 bulan. Hasil penelitiannya adalah bayi laki-laki cenderung mejadi stunting saat memasuki
usia satu tahun, dan bayi perempuan pada usia dua tahun. Hal ini terkait pola asuh orang tua
dalam memberikan makanan pada anak. Di Filipina, anak laki-laki cenderung diberikan
makanan kaya akan protein sedangkan perempuan lebih banyak diberikan sayuran. Mahgoub,
S.E., Nnyepi, M., & Bandeke, T. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa
kejadian wasting, stunting dan undernutrition secara signifikan lebih umum terjadi pada anak
laki-laki daripada anak perempuan.

3. Berat badan lahir

Menurut WHO (2003), BBLR dibagi menjadi tiga group yaitu prematuritas, intra
uterine growth restriction (IUGR) dan karena keduanya. Berat lahir yang dikategori-kan
normal (≥2500 g) dan rendah (<2500g) (Kemenkes RI, 2010). Defisiensi energi kronis atau
anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
(Keef, 2008). Tingginya angka BBLR diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian
stunting di Indonesia.

Menurut Puffer dan Serano (1987), BBL (Berat Bayi Lahir) dibagi menjadi tiga
kategori yaitu : 1) bayi dengan BBL <2500 gram, bayi dengan BBL rendah (low birth
weight); 2) Bayi dengan BBL 2500-2999 gram, BBL kurang (deficient birth weight) ; 3) Bayi
dengan BBL 3000 gram atau lebih, BBL baik (favorable birth weight).

Bayi dengan BBL 2000-2499 gram memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami
kematian neonatal dibandingkan bayi dengan BBL 2500-2999 gram, dan 10 kali lebih
berisiko mengalami hal tersebut dibandingkan bayi dengan BBL 3000- 3499 gram (ACC
SCN,2000). BBL <3000 gram sering dihubungkan dengan kejadian growth faltering atau
gangguan pertumbuhan (Achadi, EL., Herawati Anis, Kusharisupeni, Saptawati B,
Kresnawan, 2008). Hales dan Barker (2001) menyebutkan Hipotesis thrifty phenotype
phenomena yang menyatakan adanya

asosiasi epidemiologi antara pertumbuhan janin yang buruk yang berakibat pada
rendahnya outcome kehamilan dengan penyakit diabetes melitus tipe dua dan sindrom
metabolik sebagai dampak dari gizi buruk pada awal kehidupan. Kondisi ini menghasilkan
perubahan permanen dalam metabolisme glukosa-insulin. Risiko ini lebih tinggi pada wanita
atau pria yang memiliki berat badan lahir kurang dari 3000 gram.
4. Panjang badan lahir

Panjang badan lahir yang rendah merupakan cerminan dari gagalnya proses
pertumbuhan yang berkelanjutan atau stunting, sedangkan anak-anak ini mencermin- kan
pernah kegagalan pertumbuhan atau menjadi stunted. Panjang badan diukur setiap setiap
bulannya selama enam bulan. Sedangkan saat bayi usia 6-12 bulan, panjang badan diukur
setiap dua bulan sekali. Defisit panjang badan merupakan hasil dalam waktu yang lama, jadi
penilaian status gizi pengukuran antrorpmetri panjang badan terhadap umur saja dapat
mencerminkan terjadinya malnutrisi pada bayi dalam beberada keadaan. Kemungkinan
pengaruh genetik dan ras terhadap terjadinya defisit tinggi badan terhadap umur (Gibson,
2005).

Panjang badan lahir yang dikategorikan normal (≥48 cm) dan pendek (<48 cm)
(Kemenkes RI, 2010). Penelitian kasus kontrol pada balita usia 12 bulan dengan sampel
sebanyak 24 anak di Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal menunjukkan bahwa panjang
badan lahir panjang badan lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stunting
pada balita menurut Meilyasari dan Isnawati (2013). Penelitian di Pati yang menunjukkan
hasil bahwa panjang badan lahir merupakan

faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan, dan penelitian di
Indramayu yang menunjukkan hasil bahwa anak yang lahir dengan panjang badan dibawah
persentil 10 lebih berisiko tumbuh stunting (Anugrahen HS, 2012). Bayi dengan panjang
badan lahir pendek berpeluang lebih tinggi untuk tumbuh pendek dibanding anak panjang
badan lahir normal (Kusharisupeni, 2002).

5. Riwayat imunisasi dasar

Riwayat imunisasi juga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya stunting (Picauly


& Toy, 2013). Salimar, dkk. (2009) menyatakan bahwa kelengkapan imunisasi berpengaruh
signifikan terhadap stunting. Karena imunisasi memberikan kekebalan tubuh terhadap suatu
penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit
yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang.

Bayi dan balita rentan terkena risiko penyakit infeksi. Bayi dan balita yang pernah
terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai
komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA.
Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
lengkap.

6. Riwayat Diaer

Diare dalam waktu yang lama dan berulang pada anak meningkatkan terjadinya
kejadian stunting. Meskipun hubungan antara malnutrisi, lingkungan dan diare sangat
kompleks, beberapa penelitian menemukan hubungan antara stunting dan patogen beberapa
penyakit disebabkan oleh diare.

Tingginya angka kejadian diare pada dua tahun pertama kehidupan berhubungan
dengan tingginya angka kejadian stunting. Studi yang dilakukan di sembilan penelitian dari
lima negara (Bangladesh, Brazil, Ghana, Guinea-Bissau dan Peru) menunjukkan bahwan 25
persen balita stunting usia 24 bulan terkena diare 5 kali bahkan lebih di 2 tahun pertama
kehidupannya (Checkley, W., Buckley, G., Gilman, R.H., Assis, A.M., Guerrant, R.L.,
Morris, S.S., & Black, R.E., 2008). Diare dihubungkan dengan gagal tumbuh karena terjadi
karena malabsorbsi zat gizi selama diare. Jika zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang
hilang selama diare tidak diganti, maka akan timbul dehidrasi parah, malnutrisi, gagal
tumbuh bahkan kematian (Dewey dan Mayers, 2011). Kejadian diare dapat menyebabkan
efek jangka panjang berupa defisit pertumbuhan tinggi badan pada penelitian di Peru.

7. Riwayat ISPA

Proses anak tersebut menjadi stunting, akibat terbatasnya asupan dan/atau seringnya
terkena penyakit infeksi. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi sering menderita
penyakit infeksi akan menderita kurang gizi. Demikian pula pada anak yang makanannya
tidak cukup baik, maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit.
Sehingga makanan dan penyakit infeksi merupakan penyebab kurang gizi (Supariasa, I.D.N.,
Bakri B., Fajar Ibnu., 2002). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia selalu
menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu
ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas
yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,3 persen dari seluruh
kematian balita (Depkes, 2008). ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting
karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap
tahunnya. Dari seluruh kematian, yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20-30 persen.
Terganggunya pertumbuhan bayi dan anak-anak karena kurang memadainya asupan makanan
dan terjadinya penyakit infeksi berulang, yang mengakibatkan berkurangnya nafsu makan
dan meningkatkan kebutuhan metabolik (Caulfield, L.E., Richard, S.A., Rivera, J.A.,
Musgrove, P., & Black, R. E., 2006).

Infeksi terjadi pada balita salah satu penyebabnya adalah pemberian ASI yang kurang
dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini sehingga dapat meningkatkan risiko stunting karena
saluran pencernaan bayi yang belum sempurna baik diare maupun Infeksi Saluran Pernafasan
Atas (ISPA) (Rahayu, 2011). Penelitian pada anak-anak di Sudan menguji hubungan antara
kurang gizi dan kematian. Didapatkan hasil terdapat hubung signifikan yang kuat antara
infeksi dan bayi kurus atau pendek menjadi prediktor kematian pada anak (Fawzi,1997).

Infeksi berperan penting dalam mencegah anak di beberapa negara berkembang untuk
mencapai potensi peningkatan pertumbuhan mereka. Selain diare yang menjadi faktor risiko
kejadian stunting, beberapa macam infeksi juga berkontribusi dalam menghambat
pertumbuhan, meskipun pengaruhnya tidak terdokumentasi dengan baik. Meskipun demikian,
penyakit infeksi lebih berpengaruh dibandingkan makanan yang menjadi penyebab
lambatnya pertumbuhan (Campbell D.I., Elia M. & Lunn P.G., 2003). Infeksi saluran
pernafasan yang paling sering terjadi adalah infeksi saluran atas. Tetapi infeksi saluran
pernafasan (termasuk demam) menjadi faktor risiko tertinggi dari kejadian stunting. Ini
dibuktikan dari penelitan longitudinal study anak-anak di Filiphina usia 24 bulan, dampak
kumulatif dari infeksi saluran pernafasan hampir sama dengan diare sebagai risiko kejadian
stunting (Adair & Guilkey, 1997). Anak stunting lebih memiliki kemungkinan yang lebih
besar untuk menderita penyakit infeksi ini dengan durasi waktu yang lebih lama. Juga lebih
cenderung mengalami gejala sisa (sekuel) akibat infeksi umum yang akan melemahkan
keadan fisik anak (Gibney MJ, 2002).
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa anak yang memiliki riwayat
penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting lebih besar dibandingkan anak yang
tidak memiliki riwayat infeksi penyakit. Hal ini berarti bahwa jika anak memiliki riwayat
infeksi penyakit maka akan diikuti dengan peningkatan kejadian stunting 2,33 kali. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Aditianti (2010) yang menyatakan bahwa
penyakit infeksi berpengaruh signifikan terhadap stunting pada anak usia 24-59 bulan. Di
samping itu, Pujiadji (2000) dalam Supariasa et al. (2002) juga mengatakan bahwa infeksi
berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan
meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh melalui muntah-muntah dan diare. Selain
itu penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan.
Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Retardasi pertumbuhan atau stunting pada anak-anak di negara berkembang
terjadi terutama sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi yang
mempengaruhi 30 persen dari anak- anak usia di bawah lima tahun (UNSCN, 2004).

Karakteristik Rumah Tangga

1. Tinggi badan ibu

Tinggi badan orang tua berkaitan dengan stunting. Ibu yang pendek memiliki
kemungkinan melahirkan bayi yang pendek pula. Hasil penelitian di Egypt menunjukkan
bahwa anak yang lahir dari ibu tinggi badan <150 cm memiliki risiko lebih tinggi untuk
tumbuh menjadi stunting (Zottarelli, L. K., Sunil, T. S., & Rajaram, S., 2007). Banyak faktor
yang mempengaruhi durasi kehamilan dan pertumbuhan janin yang akhirnya mempengaruhi
outcome kehamilan. Jenis kelamin, urutan kelahiran, dan bayi kembar dapat meningkatkan
risiko berat bayi lahir rendah, sebagian besar dipengaruhi oleh pertambahan berat badan ibu
pada masa konsepsi, perempuan bertumbuh pendek maupun perempuan yang tinggal di
dataran tinggi, dan perempuan yang melahirkan di usia muda memiliki risiko lebih tinggi
untuk memiliki bayi yang lebih kecil. Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari
ekspresi genetik, dan merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan
kejadian stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu maupun keduanya,
lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi badannya
normal (Supariasa, 2002). Tinggi badan ibu merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap kurang gizi. Ibu pada kelompok umur yang paling tinggi memiliki anak dengan
resiko kejadian stunting adalah ibu dengan tinggi badan kurang dari 155 cm (Yang XL, Ye
RW, Zheng JC, Jin K, Liu JM, & Ren AG ; 2010). Orang tua yang pendek karena gen dalam
kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek
tersebut kepada anaknya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena masalah
nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya
(Amigo H, Buston P, Radrigan ME, 1997).

2. Usia IbuUsia

Ibu menjadi faktor yang signifikan memprediksi lahirnya anak stunting di Ghana. Ibu
dengan usia 35-44 tahun lebih berisiko melahirkan anak yang stunting pada penelitian yang
dilakukan pada 2379 anak di Ghana. Selain itu faktor risiko lainnya adalah wilayah tempat
tinggal dan jumlah anak dalam anggota keluarga. (Darteh, E.K.M., Acquah, E., & Kumi-
Kyereme,A., 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nguyen Ngoc Hien & Sin Kam
(2008) di Vietnam menungkapkan bahwa usia ibu <24 tahun dan >35 tahun memiliki resiko
anak lahir dengan malnutrisi seperti underweight, stunting dan wasting. Usia ibu muda (<24
tahun) merupakan usia ibu yang belum siap untuk mengurus anak. Sementara itu,
peningkatan resiko anak malnutrisi pada usia ibu tua (>35 tahun) resiko tinggi untuk
melahirkan anak dengan berat lahir rendah.

3. Jumlah Anggota keluarga

Besar jumlah anggota keluarga sangat penting dalam hal pembatasan jumlah makanan
yang dikonsumsi dalam satu keluarga dengan makanan yang tersedia dalam rumah tangga
terutama pada keluarga dengan perndapatan rendah. jika jumlah anggota keluarga bertambah,
biasanya dalam hal menyiasati kebutuhan dan ketersediaan, rumah tangga tersebut lebih
memilih untuk mengurangi konsumsi bahan pangan hewani diganti menjadi lebih murah atau
tetap mengonsumsi dengan jumlahnya dikurangi (Suhardjo, 1989).

Jumlah anggota dalam rumah tangga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian
stunting pada balita. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita adalah jumlah anggota keluarga yang banyak (Oktarina, 2012). Dari penelitian ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa ketersediaan makanan bagi setiap anggota keluarga yang
berasal dari jumlah anggota yang lebih banyak akan menjadi lebih rendah persediaan
makanannya. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak akan berpeluang
memiliki anak yang malnutrisi dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga yang sedikit
(Ajao, K.O., Ojofeitimi, E.O., Adebayo, A.A., Fatusi, A.O., & Afolabi, O.T., 2000).

4. Pendidikan Ibu

Pengetahuan gizi ibu bisa menjadi penentu status gizi anak-anak maupun ibu itu
sendiri. menurut Engel, Menon dan Hadad (1997) tingkat pendidikan yang rendah
mempengaruhi terbatasnya akses terhadap praktek pengasuhan yang baik dan sarana
kesehatan yang ada. Tingkat pendidikan ibu yang rendah dan pendapatan yang juga rendah
umumnya menyebabkan kepercayaan diri ibu dalam mengakses sarana gizi dan kesehatan
seperti Posyandu dan Puskesmas, termasuk aktivitas bina keluarga balita (BKB) rendah,
sehingga amat perlu untuk dimotivasi. Aktivitas posyandu tampak menurun seiring
berkurangnya perhatian dan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan
posyandu. Posyandu dengan kader umumnya sudah tua dan tidak terjadi regenerasi yang
baik. Mengingat peran pentingnya sebagai agen perubahan di pedesaan, peningkatan kualitas
dan kuantitas kader posyandu diperlukan dalam memperbaiki status gizi dan kesehatan
masyarakat. Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap
kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh (Semba, R. D., de Pee, S., Sun, K.,
Sari, M., Akhter, N., & Bloem, M.W., 2008). Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat
pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang
memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah (Dangour, A. D., Hill, H. L., & Ismail, S.J.,
2002). Berdasarkan penelitian Norliani, Sudargo T, Budiningsari DR (2005) menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1 dan 3,4 kali lebih besar
memiliki anak yang stunting pada usia sekolah. Pada penelitian Leni Sri tahun 2008 telah
dilakukan skrining status stunting pada bayi (6-12 bulan) di kota dan kabupaten Tangerang
dan diperoleh data prevalensi stunting sebesar 15,7 persen.

Judith dan Stand (1996) dalam penelitiannya di Filipina menunjukkan bahwa


pendidikan Ibu memengaruhi kejadian wasting dan stunting. Sejalan dengan itu Semba, R.D.,
de Pee, S., Sun, K., Sari, M., Akhter, N., & Bloem, M.W. (2008) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan penentu kejadian
stunting di Indonesia dan Bangladesh. Pada individu (ibu batita), karena ibu sebagai pembina
pertama dan utama terhadap pendidikan dan kesehatan anak, dan pengelola atau
penyelenggara makanan dalam keluarga, memiliki peranan yang besar dalam peningkatan
status gizi anggota keluarga.

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pendidikan
rendah memiliki peluang anaknya mengalami stunting sebesar 0,049 kali lebih besar
dibandingkan ibu dengan pendidikan tinggi (Picauly Intje & Toy Sarci Magdalena, 2013).
Peneliti lain sebelumnya seperti Yustika (2006), Semba, R.D., de Pee, S., Sun, K., Sari, M.,
Akhter, N., & Bloem, M.W. (2008) dan Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, &
Dibley MJ., (2009) yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan formal dan pengetahuan gizi
ibu sangat berpengaruh pada peluang terjadinya stunting.

5. Pekerjan Ibu

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa ibu yang bekerja memiliki peluang
anaknya mengalami stunting lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Hal ini berarti
bahwa jika ibu bekerja maka akan diikuti dengan peningkatan kejadian stunting sebesar
3,623. Berg (1986) mengatakan bahwa ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu
untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta
kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak.

6. Pekerjaam Ayah

Pekerjaan ayah menjadi faktor penting sebagai tolak ukur kemampuan sosial dan
ekonomi dalam rumah tangga. Penghasilan dalam keluarga yang tinggi selaras dengan
kemampuan rumah tangga tersebut dalam menyediakan makanan. Hasil penelitian oleh
Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, & Dibley MJ (2009) pada 2168 bayi dibawah
lima tahun menunjukkan bahwa pendapatan, status pekerjaan ayah merupakan faktor risiko
kejadian stunting.

7. Wilayah tempat tinggal


Faktor risiko lainnya terhdap kejadian stunting adalah wilayah tempat tinggal.
Riskesdas 2013 menjelaskan bahwa persentase rumah tanga di pedesaan yakni 42,1 persen
lebih tinggi jumlah balita yang mengalami stunting dibandingkan dengan perkotaan yaitu 32
persen. Penelitian yang dilakukan odi daerah miskin Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh
Bunga Ch Rosha, Hardinsyah dan Yayuk Farida Baliwati (2012) menunjukkan bahwa anak
yang tinggal di wilayah perkotaan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 32 persen
terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah perkotaan. Ini disebabkan
karena di kota akses mendapatkan makanan dengan variasi beragam lebih mudah ditemukan
baik di pasar maupun pusat perbelanjaan. Makanan yang segar maupun bentuk produk olahan
dengan kualitas ekspor dan impor tetapi dengan harga yang cukup mahal. Sedangkan di
perdesaan, variasi serta akses memperoleh sumber makanan lebih terbatas. Selain itu, wilayah
tempat tinggal adalah tempat tinggal perkotaan lebih beragam jenis pekerjaan sehingga orang
tua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi dibandingkan di pedesaan yang
umumnya jenis pekerjaanya di bidang pertanian.

8. Kebiasaan Merokok

Merokok adalah bagian dari gaya hidup sebagian besar orang. Tidak hanya mereka
dengan gaya hidup dengan pendapatan tinggi, begitu pula bagi mereka dengan pendapatan
rendah. Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah perokok terbesar di dunia. Lebih dari
60 juta orang membelanjakan uang setiap hari untuk membeli rokok (WHO Report on Global
Tobacco Epidemic, 2008). Tahun 2013 rata- rata jumlah bantang rokok yand dihisap 12,3
batang per hari. Pengeluaran untuk rokok di rumah tangga termiskin jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pengeluaran penting seperti pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan,
telur, susu, dan 6,5 kali lebih besar dari biaya kesehatan, dan 9 kali lebih banyak dari
pengeluaran untuk daging (Infodatin Kemenkes RI, 2015).

Pada hasil penelitian lain di Bangladesh oleh Cora M, B., Kaisun, Saskia, D., Martin
W, B., Gudrun, S, & Richard D, S. (2007) disebutkan bahwa orangtua yang merokok
berkaitan dengan risiko yang lebih tinggi anak mengalami stunting, hal ini dikarenakan
merokok memperburuk kondisi kurang gizi pada anak dan mengalihkan uang yang dimiliki
rumah tangga dari memenuhi makanan keluarga dan berbagai kebutuhan lain. Pendapatan
dan pengeluaran rumah tangga semakin tidak tahan pangan suatu rumah tangga, semakin
tinggi proporsi pengeluaran untuk tembakau, atau rumah tangga rawan pangan mempunyai
alokasi pengeluaran tembakau yang paling banyak dibanding dengan kelompok rumah tangga
lainnya (Saliem dan Ariningsih, 2012).

Merokok dapat menghambat kemajuan status gizi anak melalui kejadian infeksi
saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang terekspos lingkungan dengan asap rokok lebih
banyak mengalami infeksi saluran pernapasan bawah (Hawamdeh A, Kasasbeh FA, &
Ahmad MA, 2003). Ditemukan abnormalitas fungsi leukosit pada anak yang orangtuanya
merokok. Nikotin yang ada dalam rokok secara langsung bereaksi dengan kondrosit (sel
tulang rawan) melalui reseptor khusus nikotin sehingga menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan tulang (Kyu HH, Georgiades K, & Boyle MH, 2009).

9. Sumber Air

Indonesia adalah negara dengan 13 persen dari penduduk Indonesia sumber air adalah sumber
utama kehidupan manusia terutama digunakan untuk kebutuhan minum dan menjaga
kebersihan tubuh. Air yang bersih menjadi faktor lingkungan yang berpengaruh pada
kesehatan. Dua sampai lima juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang
ditularkan melalui air. Penularan penyakit infeksi dapat terjadi melaui air yang
terkontaminasi oleh mikroorganisme seperti diare, cholera, disentri, tifoid, dan hepatitis.
Anak – anak yang bertahan hidup dengan air minum yang terkontaminasi kemuungkinan
besar akan menderita malnutrisi, stunted, dan perkembangan otak (intelektual) yang
terhambat (Clean water changed lives). Penelitian di Tanzania, determinan kejadian balita
pendek dengan jumlah responden 7324 anak, yakni ibu yang tidak sekolah, bayi laki-laki,
ukuran tubuh yang kecil, dan sumber dari air minum yang tidak aman (ChirandeLulu,
Charwe D., Mbwana H., Victor Rose , Kimboka Sabas , Issaka AI, Baines SK., Dibley MJ.,
& Agho KE., 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Citaningrum Wiyogowati (2012)
menunjukkan bahwa hubungan air bersih dan stunting adalah kejadian stunting 2,1 kali lebih
besar berpeluang terjadi pada responden yang tindak memiliki air bersih dibandingkan
dengan responden yang memiliki air bersih.

10. Fasilitas Sanitasi


UNICEF (2013) melaporkan 51 juta penduduk melakukan praktik buang air besar
sembarangan. Indonesia merupakan negara kedua tertinggi di dunia yang melakukan praktik
buang air besar sembarangan. Tiga puluh sembilan persen dari rumah tangga tidak
menggunakan fasilitas sanitasi yang baik. Air dan Sanitasi sangat berhubungan dengan
pertambahan tinggi badan anak (Merchant AT, Jones C, KiureA, Kupka R, Fitzmaurice G,
Herrera MG & Fawzi WW, 2003). Steven meneliti 17.000 anak yang terkena diare dan
pertumbuhan tinggi badannya di 8 negara yang telah meningkat kualitas sanitasi dan air.
Hasilnya adalah Sanitasi dan air menjadi indikator yang lebih sensitif dalam peningkatan
pertumbuhan dibandingkan dengan diare. Dengan meningkatkan kualitas sanitasi dan air
dapat meningkatkan 0,1- 0,6 poin SD pada pengukuran antropometri TB/U. Checkley (2008)
di Peru melakukan penelitian kohort pada balita usia 24 bulan dengan mengukur
pertumbuhan dan diare. Penelitain ini membuktikan adanya pengaruh sanitasi dan air. Balita
usia 24 bulan rata-rata memiliki tinggi badan lebih pendek 2,4 cm. Balita dengan kasus diare
sekitar 16% mengalami defisit sebesar 0,4-2,4 cm, sedangkan 40% balita terjadi defisit 1-2,4
cm akibat buruknya sanitasi dan air. Data dari Water Sanitation Program (WSP) World Bank
tahun 2008 me- nunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian bayi dan balita, serta
kurang gizi sangat terkait dengan masalah kelangkaan air bersih dan sanitasi. Telah
dibuktikan bahwa cuci tangan dengan air bersih dan sabun mengurangi kejadian diare 42-47
persen. Dengan demikian program air bersih dan sanitasi tidak diragukan sangat sensitif
terhadap pengurangan risiko infeksi. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan
air bersih, sarana sanitasi, perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun,
buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya
(Bappenas, 2012).

Sanitasi menjadi perhatian utama dalam kesehatan masyarakat karna diperkirakan 40


persen dari populasi kekurangan akses sanitasi yang aman dan 15 persen masih buang air
ditempat terbuka (UNICEF & WHO, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah, dkk.
(2014) pada anak usia 0-23 bulan di beberapa provinsi seperti Bali, Jawa Barat, dan Nusa
Tenggara Timur dengan menggunakan data Riskesdas 2010 sebanyak 1554 anak
menunjukkan berat badan lahir rendah, tinggi badan ibu kurang dari 150 cm, sanitasi kurang
baik dan pemberian makanan pre- lakteal menjadi faktor risiko stunting. Steven (1996)
meneliti 17.000 anak yang terkena diare dan pertumbuhan tinggi badannya di 8 negara yang
telah meningkat kualitas sanitasi dan air. Hasilnya adalah sanitasi dan air menjadi indikator
yang lebih sensitif dalam peningkatan pertumbuhan dibandingkan dengan diare. Peningkatan
kualitas sanitasi dan air dapat meningkatkan 0,1-0,6 poin SD pada pengukuran antropometri
TB/U. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan saluran
pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh
menghadapi infeksi (Schmidt & Charles W., 2014).

Anda mungkin juga menyukai