Anda di halaman 1dari 21

1

Materi Inisiasi Keenam

SISTEM MANAJEMEN KINERJA

Ada tiga fokus dalam sistem manajemen kinerja yaitu (1) individu sebagai
manusia dan inputnya, (2) penilaian pada proses, dan (3) penilaiannya pada output.
Sistem manajemen kinerja yang memfokuskan pada individu sebagai manusia dan
inputnya meliputi: (1) menjelaskan metode peringkat paksa (forced ranking), (2)
menjelaskan metode peringkat paksa bebentuk lonceng, (3) menjelaskan metode
manajemen kinerja yang berorientasi pada input, dan (4) menjelaskan metode Grafic
Rating Scale (GRS). Sistem manajemen kinerja yang memfokuskan penilaiannya
pada proses meliputi: (1) menjelaskan metode Proper Man, dan (2) menjelaskan
kelebihan dan kelemahan metode Proper Man. Sistem manajemen kinerja yang
memfokuskan penilaiannya pada output meliputi: (1) menjelaskan konsep dasar
MBS, (2) menjelaskan kelebihan dan kelemahan MBS, dan (3) menjelaskan
penggunaan MBS.

A. Sistem Manajemen Kinerja yang Memfokuskan Penilaiannya pada


Inputnya

Pada materi inisiasi ini akan dibahas berbagai sistem yang disebut metode
"Peringkat Paksa" (Forced Ranking) Biasa dan "Peringkat Paksa" yang
berbentuk "Kurva Lonceng". SeteIah itu, dibahas metode lain yang juga
menekankan pada "manusia/pelaku kerja",
Tujuan Instruksional Khusus: setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa diharapkan
mampu menjelaskan:
1. metode peringkat paksa (forced ranking),
2. metode peringkat paksa bebentuk lonceng,
3. metode manajemen kinerja yang berorientasi pada input, dan
4. metode Grafic Rating Scale (GRS).

1. Metode Peringkat Paksa


Metode peringkat paksa atau forced ranking adaIah metode yang paling
sederhana, mudah dan murah dari semua macam metode dalam sistem penilaian
kinerja karyawan. Menurut metode ini, pertama-tama ditetapkan kriteria bagi
2

"karyawan terbaik" dan "karyawan terjelek" bagi setiap unit kerja’


Selanjutnya, dipilih dari semua karyawan yang ada dalam unit tersebut satu
orang yang memenuhi kriteria sebagai karyawan terbaik dan satu orang sebagai
karyawan terjelek. Setelah kedua orang ini dipilih, maka sisa karyawan yang ada
ditetapkan peringkatnya. Dengan demikian, karyawan dari setiap unit dari
yang terendah dalam struktur organisasi misalnya yang dibawahi oleh seorang
supervisor akan disusun berdasarkan peringkat. Contoh peringkat tersebut adalah
seperti di bawah ini.
Contoh:
Untuk program pengembangan sumber daya manusia dan khususnya nama-
nama karyawan berdasarkan peringkatnya atas dasar "ciri-ciri kepribadian dan
kompetensi" adalah sebagai berikut.
Departement/Seksi
Peringkat tertinggi
1. 11.
1. 12.
2. 13.
3. 14.
4. 15.
1. 16
5. 17.
6. 18.
7. 19.
8. 20
(20 = Peringkat terendah!)

Jadi jelaslah bahwa metode ini sangat sederhana dan mudah dipahami.
Kemudian, kemungkinan bahwa seorang supervisor akan memberikan
predikat "Rata-rata" (average) pada sebagian besar anak buahnya tidak akan
terjadi lagi. Metode ini juga dianggap ideal untuk menilai orang dan cocok
untuk diterapkan pada sebuah organisasi kecil. Sebaliknya, metode ini tidak
layak digunakan bila jumlah karyawan pada sebuah unit kerja yang
jumlahnya lebih dari 25 orang (Ruky, 2006). SeIain itu, manfaat yang
diperoleh dari metode ini sangat terbatas sekali.U ntuk pelatihan hampir
3

tidak ada informasi yang diperoIeh, yang dapat membantu perusahaan.


Akhirnya, kemungkinan untuk terjadinya "subjektivitas" dan rasa "suka
atau tidak suka" dalam pemiIihan orang-orang untuk tiap peringkat jeIas sangat
besar sekali.

2. Metode Peringkat Paksa Berbentuk Kurva Lonceng


Sebenarnya ada metode "Peringkat Paksa" yang lain walaupun caranya agak
berbeda. Caranya adalah bahwa perusahaan melaIui departemen SDM
menetapkan, misalnya bahwa karyawan pada tiap unit kerja yang terendah harus
diperingkat atas dasar prestasi, sikap, dan perilaku kerja mereka dalam lima
kategori: (1) istimewa, (2) bagus, (3) rata-rata, (4) kurang, dan (5) buruk.
Kemudian ditetapkan, misalnya, yang dapat masuk ke kategori istimewa
adalah 5% (dari jumIah karyawan yang ada pada unit yang bersangkutan).
Selanjutnya, yang masuk kategori bagus 15%. Yang masuk pada kategori
kurang 15%. Yang masuk pada kategori buruk 5%. Sementara yang masuk
kategori rata-rata adalah 60%. Dengan begitu, setiap supervisor harus
mengelompokkan anak buahnya atas dasar lima kategori kuota penilaian
tersebut.
Jika digambarkan ke dalam grafik berbentuk kurva, maka kondisi kuota
penilaian tersebut akan berbentuk "lonceng tertelungkup". Oleh karena itu, kurva
tersebut disebut Bell Curve.

5% 15% 60% 15% 5%

Gambar 1. Kurva Lonceng


4

3. Metode Manajemen Kinerja yang Berorientasi pada Input


Bagian ini akan membahas metode-metode yang masih memfokuskan
penilaiannya pada input dalam konsep "input----proses----output". Putti (1990)
menyebut metode ini sebagai metode yang individual centered atau Person
Centered Approach, yaitu cara tradisional yang menekankan pada pengukuran
atau penilaian ciri-ciri kepribadian karyawan daripada hasil (prestasi)
kerjanya. Ciri-ciri kepribadian yang banyak dijadikan objek pengukuran adalah
kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, krea tivitas, adaptasi,
komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun, dan lain-lain.
Karena fokus perhatian dari metode ini adalah pada manusianya, maka
disebut Person Oriented Performance Management yang disingkat POPMAN.
Faktor-faktor yang dianggap penting jelas bukanlah "prestasi", tetapi lebih tepat
disebut "persyaratan" atau "karakteristik" yang harus dipenuhi oleh karyawan
agar mereka mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar dan
"sempurna" sehingga pada akhirnya akan menghasilkan prestasi yang
"bagus". Dengan kata lain, faktor-faktor kinerja tersebut sebenarnya adalah
"input" dari konsep "input – proses - output", yaitu apa yang harus dimiliki
oleh seorang karyawan untuk dapat meIaksanakan "prosesnya" dengan berhasil.
Masuk dalam kelompok "input" ini termasuk juga "faktor kemampuan",
yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan. Contoh, di bawah ini adalah
daftar faktor-faktor yang tercantum dalam formulir penilaian prestasi kerja
karyawan digunakan oleh sebuah perusahaan lembaga keuangan (Bank
Pembangunan Daerah).
5

1. Hasil pekerjaan
2. Kecakapan kerja
3. Kemampuan mengatur pekerjaan
4. Tanggung jawab atas pemeliharaan atas perlengkapan
5. Tanggung jawab atas pekerjaan
6. Pengertian tentang pekerjaan
7. Minat/perhatian terhadap pekerjaan
8. Inisiatif
9. Loyalitas terhadap Bank
10. Kerja sama dalam tugas
11. Sikap terhadap atasan
12. Sikap terhadap bawahan
13. Sikap terhadap sesama rekan
14. Kedisiplinan
15. Kreativitas
16. Kejujuran
17. Ketekunan Kerja
18. Cara berpakaian
19. Efektivitas kepemimpinan dlm membina kemampuan dan hasrat kerja
20. Kemampuan membuat perencanaan
21. Penguasaan administrasi Bank Pembangunan Daerah)
22. Pengetahuan perbankan
23. Cara berkomunikasi
24. Kemampuan mengorganisasikan
25. Prestasi/kehadiran (?)

4. Metode Grafic Rating Scale (GRS)


GRS adalah termasuk dalam metode POPMAN, yaitu memfokuskan penilaian
pada orang yang melakukan pekerjaan, bukan pada hasil kerjanya. Mula-mula
sejumlah karakteristik yang dianggap penting dan menentukan bagi
keberhasilan seseorang melakukan pekerjaannya diidentifikasi, kemudian
karyawan dinilai atas dasar karakteristik tersebut. Beberapa karakteristik yang
6

seringkali digunakan untuk menilai kinerja karyawan pelaksana antara lain


kemampuan untuk belajar, pengetahuan tentang pekerjaan (job knowledge),
inisiatif, kerja sama, dan dapat diandalkan. Sedangkan untuk karyawan
manajerial, karakteristik tersebut ditambah antara lain kemampuan
kepemimpinan, kreativitas, kemampuan perencanaan, ketegasan dan kemampuan
mengekspresikan diri.
Sejumlah karakteristik yang dianggap mutlak menentukan sukses seseorang
harus diidentifikasi dan uraian ringkas tentang karakteristik-karakteristik
tersebut harus dibuat agar terdapat keseragaman dalam pengertian. Kemudian,
setiap karakteristik harus mempunyai skala penilaian yang bisa bersambung atau
tidak. Skala yang bersambung mempunyai angka atau bobot yang rendah
pada sebuah ujungnya dan bobot yang tinggi pada ujung lainnya. Point-point
antara kedua ujung ini kemudian diberi bobot sendiri (lihat contoh di
bawah ini).

INISIATIF:
Tingkat atau derajat sampai sejauh mana pemegang jabatan ini mencari dan
menerima tanggung jawab, mengambil tindakan yang tepat tanpa harus
menunggu perintah dari atasan
5 10 15 20 25
Harus Harus Kadang- Meminta Mengambil inisiatif penuh
didorong disuruh kadang tugas
terus
menerus
(Ruky, 2006)
Atas dasar pedoman seperti di atas, seorang atasan yang menjadi penilai
membandingkan bawahan yang dinilainya dengan patokan-patokan tersebut dan
menetapkan penilaiannya dengan melingkari angka (point) yang dianggapnya
menggambarkan kondisi anak buahnya. Setelah semua karakteristik atau
faktor yang ditetapkan diberi skor, jumlah skor untuk setiap karyawan
kemudian dihitung.
Penggunaan skor ini memberikan kemungkinan bagi penilai untuk
membandingkan satu karyawan dengan karyawan lainnya dalam satu unit kerja
dan memberi perasaan aman kepada peniIai dan departemen SDM karena
dianggap bersifat kuantitatif. Angka-angka tersebut kemudian dijadikan standar
untuk menentukan apakah seorang karyawan akan mendapat kenaikan upah
7

atau bonus atau tidak. ini adalah salah satu sebab mengapa cara ini cukup
populer dan banyak digunakan, terutama bila tujuan penerapan manajemen
kinerja/penilaian prestasi kerja memang khusus untuk menjadi dasar kenaikan
upah/gaji atau pembagian bonus.
Bila yang digunakan adalah skala yang tidak bersambung (discontinuous),
uraian ringkas disediakan untuk setiap skala. Uraian ini tidak merupakan
urut-urutan dari yang jelek ke yang baik, atau sebaliknya, sehingga seperti tidak
ada korelasi antara satu dan lainnya. Contohnya adalah seperti berikut.
Sikap terhadap: kehadiran dan usaha untuk berada di tempat kerja dan pekerjaan,
ketaatan untuk datang tepat waktu tanpa bolos atau datang terlambat
a. Jarang absen dan terlambat
b. Seringkali absen dan terlambat
c. Sangat tepat waktu dan hadir secara teratur
d. Kadang-kadang absen dan kadang-kadang lambat
e. Sangat tepat waktu, hadir secara teratur dan sukarela pulang lambat.

(Ruky, 2006)
Dengan menggunakan skala yang tidak bersambung, penilai dipaksa untuk
membaca uraian skala dengan berhati-hati sebelum memberi tanda kotak yang
disediakan. Kadang-kadang dalam beberapa kasus disediakan pula ruangan untuk
komentar tambahan. Tujuan penggunaan skala seperti ini adalah untuk mengurangi
unsur subjektivitas.

B. Sistem Manajemen Kinerja yang Memfokuskan Penilaiannya pada Proses


Sehubungan dengan kesulitan-kesulitan dalam penerapan Individual
Centered Approach, maka para pakar dan praktisi kemudian berargumentasi
bahwa untuk menilai prestasi kerja seorang karyawan, sebaiknya meneliti
bagaimana baiknya atau buruknya karyawan tersebut melaksanakan pekerjaan
dan tugas-tugas yang telah diberikan kepadanya. Metode ini disebut oleh Putti
(1987) sebagai Job Centered Approach. Dengan demikian, tanggung jawab dan
persyaratan yang dituntut oleh pekerjaannya menjadi tolok ukur
keberhasilannya. Dalam metode ini prestasi karyawan diukur dengan cara
menilai sikap dan perilaku seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan
8

tanggung jawabnya. Yang dilakukan adalah meneliti bagaimana tugas-tugas


dilakukan dan membandingkan perilaku dan sikap yang diperlihatkan dengan
standar yang telah ditetapkan untuk setiap tugas yang telah dibebankan
kepadanya. Metode ini tiada lain adalah penjabaran dari pergeseran fokus pe-
nilaian dari input ke proses, yaitu bagaimana proses tersebut dilaksanakan. Oleh
karena itu metode ini disebut Proper Man yaitu singkatan dari Process
Oriented Performance Management.

1. Metode Proper Man


Metode Proper Man adalah salah satu metode job centered atau metode
Behaviorally Anchored Rating Scales (BARS). Metode ini termasuk kelompok
Job Centered Approach. Dalam metode Proper Man, fokus penilaian
tidak lagi ditujukan pada traits (ciri-ciri kepribadian), tetapi pada baik buruknya
pelaksanaan tugas oleh seorang karyawan.

Contoh metode Proper Man

Jabatan/Pekerjaan : Pengemudi Kendaraan Sedan Direksi


Tugas I : Mengemudikan
Tingkat keahlian : Keterangan:

5 Mengemudikan dengan cara tertentu yang menimbulkan perasaan aman,


nyaman dan menyenangkan bagi penumpang, bagi dirinya sendiri, dan
terpelihara kondisi yang baik bagi kendaraan.
4 ………………………………………………………………………..
3 ………………………………………………………………………..
2 ………………………………………………………………………..
1 Mengemudikan kendaraan dengan cara tertentu yang menimbulkan perasaan
tidak aman dan kemungkinan membahayakan penumpang dan dirinya
sendiri, orang lain, dan merusak kendaraan.

Contoh lain, tentang salah satu tugas instruktur berbunyi: "mengorganisir


pelatihan", yang didefinisikan sebagai suatu konstruksi terarur dari bahan pe-
latihan yang bergerak secara lancar dari satu topik ke topik yang lain; rancangan
pelatihan yang mengoptimalkan minat peserta pelatihan; peserta pelatihan
dapat dengan mudah mengikuti jalannya pelatihan; silabus pelatihan diikuti
dengan cermat.
C O N T O H
PENERAPAN SISTEM PENILAIAN
9

PRESTASI KERJA YANG BERORIENTASI


PADA PROSES ("PROPER-MAN")
Nama Jabatan : Pengemudi Kendaraan Direksi
Nama Karyawan :
Nama Atasan :
Jabatan Atasan :
Tanggung Jawab Pokok Karyawan :
Mengemudikan kendaraan perusahaan yang digunakan sebagai kendaraan dinas
direktur dan diserahkan kepada pengemudi ini untuk dikemudikan ke tujuan-
tujuan yang ditentukan oleh Direktur pemegang kendaraan tersebut dengan
nyaman, aman dan selamat.

PENILAIAN UNTUK PERIODE: S/D 20...


Nama Tugas/Tanggung Jawab NILAI*
1. Mengemudikan kendaraan yang ditugaskan
Ke tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kenda-
raan atau oleh orang yang dikuasakannya.
2. Merawat kebersihan dan kondisi kendaraan agar
terasa aman, nyaman dan bersih baik di dalam
dan di luarnya
3. Mengecek kelaikan dokumen kendaraan secara
rutin agar diperpanjang tepat waktunya
4. Melaksanakan pengisian "log book"
(buku tugas harian dan kondisi
kendaraan harian dan daftar kerja
lembur harian)
Total Nilai:
antara I untuk Sangat Buruk, 2. Buruk, 3. Cukup, 4 Baik dan 5 untuk Sangat Baik
(Tiap tingkatan harus dijelaskan/didefinisikan)
Catatan Tentang Prestasi Kerja:
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
10

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------
Penilaian Disiplin Dan Moral
1. Terlambat 5 menit dan lebih lama dari waktu mulai kerja yang ditetapkan:
kali. (Diisi oleh Pemegang kendaraan)
2. Tidak( Masuk Tanpa Ijin: .................. Hari (Diisi oleh Pemegang kendaraan)
3. Sakit. hari (Diisi oleh Bagian SDM)
4. Ditilang Polisi Lalu Lintas. kali (Disi oleh Kepala Pool)

Dibuat/Diisi
Di...............................................
Oleh:______________Tanda Tangan:__________________
(Direktur pemegang kendaraan)
Catatan:
Buatlah "Skala" lengkap dengan kriteria "prestasi" untuk semua tugas yang harus
dilakukan oleh pengemudi tersebut dan disajikan kepada kelas untuk dibahas dan
difinalkan.

2. Kelebihan Metode Proper Man


Ada empat kelebihan penggunaan metode ini.
1. Apabila dirancang, disiapkan dan dilaksanakan dengan benar maka
metode ini akan membantu mendorong peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki oleh perusahaan/organisasi tersebut karena fokus
penilaiannya adalah "proses" atau "bagaimana" seorang karyawan
melakukan tugas-tugasnya. Karena karyawan tabu bahwa "hadiah" yang
akan diberikan kepadanya tergantung kepada keahliannya, caranya dan
sikapnya dalam bekerja maka is akan terdorong untuk berusaha terus
meningkatkan kompetensi masing-masing!
2. Terjadinya peningkatan kualitas SDM yang berkesinambungan seperti
yang disebutkan diatas akhirnya mendorong kemampuan seluruh
organisasi sebagai kesatuan ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
3. Peningkatan kualitas SDM yang berkesinambungan pada gilirannya
akan menghasilkan peningkatkan "output" baik dalam kuantitas maupun
kualitas.
11

4. Pekerjaan perancangan dan persiapan menerapkan metode Proper Man


dapat sekaligus dimanfaatkan untuk menerapkan metode dan sistem
penggajian yang didasarkan pada "Kompetensi" atau Competency
Based-Pay.

3. Kelemahan Metode Proper Man


Ada dua kelemahan metode Proper Man yaitu:
1. Metode ini cukup sulit membuatnya dan harus disiapkan oIeh sejumlah
tenaga spesialis yang bekerja penuh waktu. Para penanggtmg jawab unit
kerja yang dianggap mengetahui banyak tentang profil kompetensi bagi
tiap-tiap pekerjaan atau jabatan yang ada di dalam unitnya juga harus
dilibatkan. Mereka ini harus menyetujui kompetensi tersebut dan tingkatan-
tingkatannya. Metode ini harus dirancang dan disiapkan dengan rnatang,
teliti dan tidak asal-asalan.
2. Kemungkinan terjadinya subyektivitas dan "KKN" dalam penilaian juga
masih cukup besar. Penyebabnya adalah bahwa penilaian atas tingkatan
kompetensi untuk tiap faktor atau elemen kompetensi masih tetap bersifat
pertimbangan pribadi atasan yang bersangkutan. Bisa saja seorang karyawan
dinilai "bagus" dalam "Hubungan Antar Pribadi" karena yang dijadikan
patokan adalah bagaimana sikap dan perilaku karyawan tersebut dengan sang
atasan, padahal mungkin sebenarnya karyawan tersebut seringkali terlibat
konflik dengan banyak orang di dalam organisasinya.

C. Sistem Manajemen Kinerja Karyawan yang Memfokuskan Penilaiannya


pada Output
Sistem manajemen kinerja yang memfokuskan penilaiannya pada output
12

seringkali disebut sebagai sistem manajemen kinerja yang berbasiskan


pencapaian sasaran kerja individu (SKI). Sistem ini memfokuskan pada hasil
yang diperoleh atau dicapai oleh karyawan yang tiada lain adalah output dalam
konsep "input-proses-output". Karena itu, disebut juga sebagai Results Oriented
Performance Management atau disingkat menjadi "ROPER-MAN". Sistem
manajemen kinerja ini berbasiskan pada konsep Management By Objectives
(MBO) yang pernah dipopulerkan di Indonesia dengan istilah Manajemen
Berdasarkan Sasaran (MBS).
MBS mensyaratkan bahwa manajer harus menetapkan tujuan-tujuan yang
spesifik yang harus dicapai di masa datang dan mendorong mereka untuk terus
bertanya, ”Apakah ada sasaran lain lagi yang harus dicapai?”. Pertanyaan ini
sebagai salah satu cara untuk mempertahankan vitalitas dan kreativitas organi-
sasi. Istilah MBO (Management By Objectives) pertama kali digunakan oleh
Drucker pada tahun 1954 sebagai suatu sistem manajemen. Kemudian di
Indonesia diterjemahkan menjadi MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran).
MBO ini telah dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Mc Gregor, Odiorne
dan Humble.
Manajemen berdasarkan sasaran merupakan proses umpan-balik yang
memerlukan definisi sasaran organisasi yang akan dijabarkan kedalam sasaran
bagi masing-masing unit kerja. Tahap berikutnya adalah pembicaraan dan
kesepakatan bersama mengenai bidang-bidang hasil terpenting, sasaran serta
rencana tindakan oleh masing-masing manajer secara individu. Hal ini diikuti
dengan mengevaluasi ulang hasil yang dicapai oleh masing-masing manajer
diumpan-balikkan kembali untuk perbaikan masing-masing sasaran dan rencana
dari masing-masing individu, unit dan organisasi. Proses ini diilustrasikan pada
Sasaran-sasaran
gambar berikut. Sasaran-sasaran
Organisasi
Organisasi

Sasaran-sasaran
Sasaran-sasaran
Unit Kerja
Unit Kerja
Evaluasi Kinerja Perlu perbaikan
Evaluasi Kinerja
Perusahaan
Perusahaan

Evaluasi Kinerja Unit


Evaluasi Kinerja Unit
Kerja Karyawan perseorangan Para Manajer Menentukan
Kerja Karyawan perseorangan Para Manajer Menentukan
Mempersiapkan Sasaran Sasaran-sasaran
Mempersiapkan Sasaran
Masing-masing Sasaran-sasaran
Masing-masing

Karyawan dan Manajer


Karyawan dan
Bersepakat Manajer
Tentang
Perlu perbaikan Bersepakat
Sasaran Tentang
Sasaran

Evaluasi Kinerja
Evaluasi
Karyawan Kinerja
Perseorangan
Karyawan Perseorangan
13

Gambar 2. Proses Manajemen Berdasarkan Sasaran


(Amstrong, 1994)

Pada akhir tahun 70-an, MBO sebagai suatu sistim secara meluas dianggap
sebagai suatu sistim yang kurang baik. Program MBO seringkali menghasilkan
benteng-benteng tumpukan surat-menyurat yang dipergunakan oleh para manajer
untuk berlindung dari keharusan membuat tuntutan. Pada program MBO, sementara
daftar sasaran menjadi semakin banyak dan dokumennya menjadi semakin tebal,
fokusnya menjadi kian memudar. Tebalnya dokumen dirancukan dengan kualitas
dan energi dihabiskan pada mekanismenya dan bukan pada hasilnya. Seorang
manajer yang kinerja kelompoknya dipertanyakan dapat dengan tenang menunjuk
kepada tumpukan kertas dihadapannya dan mengatakan: “para manajer saya telah
menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengembangkan target-target mereka untuk
tahun ini”.

Manajemen berdasarkan sasaran cenderung untuk gagal, bukan hanya karena


sifatnya yang birokratis dan sentralistik, tetapi juga karena sistim ini terlalu
menekankan kepada sasaran serta output yang dapat dihitung secara kuantitatif,
serta sangat sedikit ataupun bahkan sama sekali tidak memperhatikan faktor-faktor
kualitatif serta aspek perilaku dari kinerja. Alasan yang lebih lanjut dari kegagalan
14

ini adalah bahwa manajemen berdasarkan sasaran ini seringkali lebih banyak
bersifat proses dari atas ke bawah dengan kurangnya terjadi dialog antara para
manajer dan karyawan-karyawan yang bertanggung-jawab kepada mereka. Sistim
ini juga cenderung terkonsentrasikan pada manajer dan memberikan staf lainnya
untuk diatur dengan suatu cara evaluasi "merit rating“. Proses MBO diilustrasikan
pada Gambar 3 berikut.

ATASAN
ATASAN

Tindakan individu: Bersama


Tindakan individu: Bersama
menilai
Bersama-sama menilai
Bersama-sama - Bawahan pencapaian
menetapkan - Bawahan pencapaian
menetapkan
sasaran kinerja melaksanakan tugas sasaran dan
sasaran kinerja melaksanakan tugas sasaran dan
kembali pada
kembali pada
- Supervisor proses MBO
- Supervisor proses MBO
BAWAHAN memberikan
BAWAHAN memberikan
dukungan
dukungan

(Surya Dharma, 2005)

Gambar 3: Proses Management berdasarkan Sasaran (MBS)

Gambar tersebut menunjukkan kerjasama antara atasan dan bawahan dalam


menetapkan sasaran yang akan dicapai dan melalui kebersamaan ini pada gilirannya
dapat digunakan untuk penetapan sasaran evaluasi kinerja melalui pendekatan yang
partisipatif. Dengan demikian penetapan sasaran dalam konsep MBS meliputi
berbagai pertanyaan kunci sebagai berikut:
(1) what must be done?
(2) Who will performance be measured?
(3) What is the performance standard?
(4) What are the deadline for the goals?
(5) What is the relative importance of the goals?
(6) How difficult one the goals?
Konsep MBS adalah sebagai berikut.
1. MBS adalah proses atau sistem yang dirancang untuk memandu manajer di
mana seorang atasan dan bawahannya bersama-sama menetapkan sasaran
yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu dan untuk pencapaian itu
bawahan dibebani tanggung jawab sepenuhnya.
15

2. Semua organisasi didirikan dengan tujuan tertentu dan untuk mencapai


tujuan tersebut. Pimpinan puncak harus menetapkan tujuan jangka panjang
(visi) yang ingin dicapai dalam kurun waktu 10 sampai 15 tahun yang akan
datang. Visi tersebut kemudian dipecah-pecah rnenjadi tujuan jangka
menengah yang berkurun waktu 3 sampai 5 tahun dan akhirnya menjadi
sasaran-sasaran kerja tahunan yang berlaku untuk seluruh bagian dari
organisasi itu. Dalam organisasi yang tidak menerapkan sistem MBS,
kegiatan perencanaan dan penetapan sasaran untuk mencapai tujuan
organisasi yang menyeluruh dilakukan berdasarkan instruksi atasan. Rencana
dan sasaran diturunkan dari atas ke bawah dari satu tingkat ke tingkat
lain dan bawahan hanya menerima perintah tentang apa yang dibebankan
kepadanya.
3. MBS menekankan dialog ke dalam proses mengalihkan rencana dan
sasaran dari satu tingkat ke tingkatan lain dalam organisasi itu. Atasan
membawa sasaran dan indikator keberhasilannya. Sebaliknya, bawahan juga
membawa sasaran dan indikator keberhasilannya. Selanjutnya, atasan dan
bawahan secara bersama-sama mendiskusikan dan menyepakati sejumlah
sasaran untuk dicapai bawahannya dalam waktu tertentu. Bawahan dibebani
tanggung jawab untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah disepakati
bersama.

4. Atasan dan bawahan akan melakukan penilaian secara berkala atas kemajuan
yang dicapai. Tetapi pada akhir periode yang disetujui, bawahan akan dinilai
berdasarkan hasil-basil yang telah ia capai. Dalam proses penilaian tersebut
atasan dan bawahan dapat bersama-sama rnengevaluasi apa yang telah
dicapai dengan sangat sukses dan mana yang belum dan apa penyebabnya.
Pada saat membicarakan penyebab kegagalan, bawahan dapat meminta
bantuan kepada atasan untuk mengatasi kesulitannya, baik berupa
peningkatan kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) maupun aspek
lain, misalnya wewenang untuk bertindak. Atasan juga akan mencatat
dalam hal apa saja bawahannya sangat unggul, dan dalam hal apa ia masih
harus meningkatkan diri, dan upaya-upaya apa saja yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kinerja bawahannya.
16

5. Sebagai hasil dari seluruh proses penilaian, bawahan yang sukses mencapai
indikator kinerja yang telah disepakati atau berprestasi lebih tinggi diberi
penghargaan berupa kenaikan gaji atas dasar prestasi atau bahkan promosi
atau kemudahan atau fasilitas lain. Sebaliknya, bawahan yang tidak
berprestasi diberi peringatan, diberi latihan dan bimbingan atau
mungkin disuruh mengundurkan diri dengan pesangon sesuai
ketentuan yang berlaku. Apa pun yang terjadi padanya, keputusannya
akan didasarkan pada hasil usahanya dalam mencapai tujuan dan sasaran,
di mana ia terlibat dalam menetapkannya dan terikat secara sukarela dalam
usaha mencapainya.

Kelebihan Penggunaan MBS


Kelebihan penggunaan MBS menurut Ruky (2006) antara lain adalah
sebagai berikut.
1. MBS adalah suatu proses yang efektif dan membantu manajemen dalam
kegiatan:
a. mengarahkan para manajer, supervisor pada hasil-hasil yang harus dicapai,
b. memaksa semua orang dalam organisasi mengikatkan diri mereka secara
moral pada usaha pencapaian tujuan yang spesifik,
c. mengarahkan cara berpikir mereka dalam kerangka kebutuhan-kebutuhan
organisasi di masa depan dan menetapkan sasaran-sasaran untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, dan
d. mempercepat usaha melakukan perubahan dalam "budaya organisasi" dari
yang bernuansa sentralisasi ke desentralisasi.
2. MBS membantu mendorong usaha pengembangan sumber daya manusia
karena:
a. bawahan menetapkan sasaran kerjanya sendiri atau paling sedikit ia yang
mengambil inisiatif dalam prosesnya sehingga fungsi penilaian
sebenarnya dialihkan dari atasan ke bawahan sendiri;
b. fokus dari seluruh proses adalah pengembangan diri karyawan yang
dinilai karena sistem MBS memberikan kesempatan kepada karyawan
untuk merealisasi kebutuhan akan aktualisasi diri mereka;
c. cara ini merupakan suatu pendekatan yang berorientasi bukan hanya
pada perbaikan tetapi juga pada inovasi;
17

d. cara ini menumbuhkan komunikasi yang baik dan memperkuat


hubungan antara atasan dan bawahan;
e. cara ini membantu perusahaan untuk mengidentifikasi kebutuhan
latihan karyawan;
f. karyawan menetapkan sasaran sendiri, ia akan memperoleh rasa
puas apabila telah mencapai sesuatu hasil; dan
g. meningkatkan atau memperbaiki proses pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab dari atasan ke bawahan.
3. MBS dapat memberikan cara kepada manajer, supervisor untuk
mendayagunakan sumber daya mereka yang paling besar yaitu manusia
karena itu mereka akan memperoleh: (1) komitmen lebih besar dari
bawahannya, (2) kontrol dan koordinasi yang lebih baik atas pencapaian
sasaran, dan (3) peningkatan kemampuan untuk membantu bawahan
a. Manajer dan supervisor akan memperoleh komitmen lebih besar dari
bawahan dengan cara:
(1) Membuat mereka merasa bahwa tujuan yang harus mereka capai tidak
begitu saja diberikan pada mereka, tetapi harus merasa bahwa tujuan-
tujuan itu adalah milik mereka juga karena mereka dilibatkan dalam
menetapkannya.
(2) Memberikan pada bawahan perasaan yang lebih baik berkaitan
dengan keberadaan mereka di dalam organisasi itu, dengan cara
menjelaskan bagaimana tujuan-tujuan bawahan berkaitan dengan
gambaran keseluruhan.
(3) Menginjeksikan suatu vitalitas pada organisasi berupa enerji yang
dihasilkan oleh usaha karyawan untuk mencapai suatu sasaran,
terhadap mana mereka telah mengikatkan diri secara psikologis dan
kadang-kadang juga secara finansial.
b. Manajer dan supervisor akan memperoleh kontrol dan koordinasi yang
lebih baik atas pencapaian sasaran dengan cara:
(1) Mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang "Siapa mengerjakan
apa" dan bagaimana bagianbagian organisasi satu sama fain
berkaitan.
(2) Mempunyai bawahan yang akan mengendalikan dan
mengkoordinasikan kegiatan mereka sendiri, karena mereka tahu
18

apa yang akan membantu, dan apa yang menghalangi tercapainya


tujuan mereka.
(3) Mampu mengetahui yang mana dari anak buahnya secara konsisten
terus mencapai hasil dan yang mana yang tidak.

c. Manajer dan supervisor akan memperoleh peningkatan kemampuan


untuk membantu bawahan dengan cara:

(1) Lebih mampu melihat kekuatan dan kelemahan mereka dalam


kegiatan mencapai suatu tujuan yang spesifik.
(2) Secara sederhana menggunakan pendekatan manajemen yang
mengajari anak( buahnya (dan sebenarnya dirinya sendiri) untuk
berpikir dalam kerangka mencapai hasil di masa depan dan yang
mengajari mereka mengantisipasi dan mencoba perubahan,
merumuskan secara jelas tujuan/sasaran yang spesifik dan jelas, dan
merumuskan ukuran yang kongkret yang akan memberitahu
mereka bila mereka telah mencapai tujuan yang diinginkannya.

Kelemahan-kelemahan Penggunaan MBS


Sejak mulai diperkenalkan, MBS sudah banyak mendapatkan kritik dan
ulasan negatif. Kritik-kritik dan ulasan negatif tersebut antara lain menurut
Ruky (2006) adalah seperti berikut ini.
1. MBS agak bertentangan dengan sistem n ilai budaya mayoritas bangsa
Asia

Sistem MBS berasal dari negara Barat yaitu Inggris dan USA yang
salah satu dari ciri budayanya adalah sikap individualistis. Karena itu,
konsep MBS ini sangat tepat bagi mereka karena menekankan pada
pencapaian sasaran kerja (hasil kerja) perseorangan (individu). Sistem
MBS memang menuntut agar setiap karyawan sebagai perseorangan
menetapkan sasaran kerja sendiri dan berusaha mencapainya sendiri. Kon-
sep dan prinsip ini tentunya bertentangan dengan sistem nilai budaya di
banyak negara Asia, termasuk Jepang, Cina, dan negara-negara ASEAN
termasuk Indonesia, di mana sikap dan. nilai "kebersamaan kelompok"
19

(kolektivisme) masih sangat kuat. Dalam kenyataannya, banyak perusahaan


yang berasal dari negara Barat ”memaksakan" penerapan sistem ini wa-
laupun mayoritas karyawan mungkin enggan melakukannya. Karena alasan
tersebut sistem manajemen Jepang lebih menekankan pada hasil kerja
kelompok, hasil kerja jangka panjang, dan pada proses bagaimana
sebuah sasaran dicapai. Pada perusahaan Jepang termasuk yang beroperasi
di Indonesia hampir tidak pernah ditemukan penerapan MBS ini untuk
karyawan sebagai perseorangan. Tetapi itu tidaklah berarti bahwa
penggunaan MBS sebagai konsep manajemen sama sekali tidak
digunakan. Mereka yang pernah terlibat dalam gerakan Pengendalian
Mutu Terpadu (PMT) dan Gugus Kendali Mutu (GKM) akan pernah
mengenal teknik PDCA yang merupakan singkatan dari Plan, Do,
Chek, Action. Dalam tahap plan atau merencanakan sudah termasuk di
dalamnya penerapan target-target kerja yang harus dicapai oleh
kelompok-kelompok kerja atau GKM. Oleh karena itu, pimpinan
perusahaan harus berhati-hati bila ingin menerapkan sistem MBS ini. Bila
perusahaan lebih memberikan nilai tinggi pada kerja sama kelompok dan
kekompakan kelompok, maka penerapan MBS harus direnungkan ulang
dan dipertimbangkan kembali. Jika tetap ingin menerapkan system MBS,
maka harus dipertimbangkan penetapan sasaran-Sasaran Kerja
Kelompok (SKK) atau Sasaran Kerja Tim (SKT) sebagai dasar
penilaian dan bukan Sasaran Kerja Individu (SKI) karyawan.
2. MBS terlalu menekankan pada HASIL tanpa memperdulikan CARA
mencapai hasil tersebut
Banyak pakar manajemen, termasuk yang datang dari negara Barat
dari mana konsep ini dikembangkan, mempertanyakan apakah prestasi
seseorang cukup hanya dinilai dari "hasil" yang benar-benar dicapainya?
Apakah cara atau proses bagaimana hasil tersebut dicapai
tidal( menjadi soal? Kemungkinan ini telah dinyatakan Levinson (1989)
bahwa penekanan yang terlalu besar pada "hasil" dari sebuah perilaku
kerja dan mengabaikan perilaku itu sendiri dapat mengakibatkan
penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk menekan anak
buah secara terus-menerus sehingga dapat meruntuhkan moral mereka.
MBS sangat memfokuskan perhatian pada hasil akhir sehingga
20

sistem ini dapat dengan mudah disalahgunakan, dan seringkali memang


demikian. Apa yang seharusnya merupakan sistem yang mendorong
dialog dan komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan seringkali
merosot menjadi suatu sistem di mana atasan secara terus-menerus me-
nekan anak buah untuk memperoleh hasil dan lupa untuk
menggunakan MBS untuk memperoleh ko mitmen, keinginan untuk
berkontribusi dan pengembangan perusahaan untuk jangka panjang.
3. MBS sering dianggap sebagai resep untuk mengobati semua penyakit
organisasi
Banyak manajer yang cenderung menganggap MBS sebagai suatu
sistem terpadu yang begitu diterapkan dapat memecahkan semua masalah
manajemen. Anggapan ini menjurus pada kebiasaan melemparkan
semua soal kepada sistem MBS yang sebenarnya tidak dilengkapi dengan
cara pemecahan yang diperlukan, sehingga menimbulkan frustrasi.
Beberapa belas tahun yang lalu ada sebuah karikatur dalam majalah
The New Yorker terbitan New York USA yang menggambarkan seorang
"Guru yang Bijak" badannya terbungkus dengan jubah sutera putih dan
kepalanya dibalut turban, duduk bersila di depan sebuah gua di gunung
Himalaya. Di depannya duduk bersimpuh beberapa belas pengikut dan
muridnya yang setia dan terus-menerus memperhatikan mulutnya, dan
menunggu kata-kata yang keluar dari mulutnya yang seolah-olah akan
berubah menjadi intan berlian! Akhirnya ia berkata dengan keras
kepada para murid tersebut dan berkata, "Okay, Okay, itu memang
bagus tapi janganlah itu dijadikan agama baru!"
Karikatur tersebut adalah sindiran terhadap para manager dan pakar
manajemen yang berusaha menerapkan konsep-konsep baru seperti MBS
dengan cara yang sangat kaku seperti layaknya menerapakan ajaran agama.
Sepertinya konsep tersebut akan meyelamatkan kita dari dosa apa pun
yang pernah kita lakukan apabila kita menerapkan ajaran tersebut secara
ketat, tanpa kekeliruan sama sekali. Apabila kemudian ternyata apa yang
kita lakukan seperti diuraikan dalam buku tersebut tidak berjalan seperti yang
kita harapkan, maka kita menyalahkan konsep tersebut dan mencapnya
sebagai "konsep yang gagal" dan tidak ada manfaatnya sama sekali!
Demikian pula yang terjadi dengan sistem MBS yang dalam perjalanan
21

hidupnya kemudian diperlakukan sebagai sesuatu yang seolah-olah sakral.


Penerapanannya dilakukan dengan sangat kaku, penuh aturan dan paksaan.
Pada waktu sebagaian perusahaan ternyata tidak mencapai hasil yang
diinginkan, mereka kemudian juga mencaci-maki MBS sebagai sistem
yang gagal! Akhirnya pada tahun tujuh puluhan sampai delapan puluhan
terjadi pengelompokan orang yang "Pro MBS" dan "Anti MBS".

Anda mungkin juga menyukai