Anda di halaman 1dari 15

RESUME DISKUSI E-LEARNING PEDODONTIA

STAINLESS STEEL CROWN

Disusun oleh:
HILAL SUNU WIDAGDO
40618095

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


INSTITUT ILMU KESEHATAN
BHAKTI WIYATA KEDIRI
2020
SKENARIO KASUS :

Skenario :

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun datang ke RSGM dengan keluhan ingin
memperbaiki gigi depan dan belakang, gigi belakang pasien terkadang merasa sakit sejak 6
bulan lalu, saat ini kondisinya tidak sakit. Ibu mengeluhkan anaknya gigi depannya tumpang
tindih. Pada pemeriksaan Intra oral didapatkan gigi 74 karies profunda, gigi 51, 52, 62, 63
karies media.

Pertanyaan :

1. Apakah diagnosis pada kasus tersebut dan jelaskan?


2. Jelaskan hasil pemeriksaan yang mendukung penetapan diagnosis?
3. Bagaimana rencana perawatan kasus diatas?
4. Jelaskan tata laksana prosedur perawatan kasus diatas?

Jawaban :

1. Gigi 74 Pulpitis Ireversible. Dikarenakan pada gigi 74 karies profunda perforasi dan
pernah merasakan sakit sejak 6 bulan lalu, dan serta saat ini kondisinya tidak sakit.
Untuk gigi 51,52,62,63 Deep bite dan Pulpitis Reversible dikarenakan pada
pemeriksaan intra oral kariesnya adalah media.
2. Rencana perawatan :
Gigi 74 dilakukan pulpoltomi atau pulpektomi tergantung kedalaman kariesnya,
setelah itu kemudian dilakukan pembuatan stainless steel crown. Untuk gigi 51, 52,
62, 63 dilakukan pembuatan stainless steel crown dengan sisi labial yang dipotong
dan diganti dengan tambalan yang sewarna dengan gigi seperti Self cured acrylic resin
dengan pertimbangan pasien mengalami deepbite yang mana perlu restorasi yang
kuat untuk gigi anterior
I. TAHAPAN TES VITALITAS

Tes vitalitas merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah suatu
gigi masih bisa dipertahankan atau tidak. Tes vitalitas terdiri dari empat pemeriksaan, yaitu
tes termal, tes kavitas, tes jarum miller dan tes elektris.

 Tes termal, merupakan tes kevitalan gigi yang meliputi aplikasi panas dan dingin pada
gigi untuk menentukan sensitivitas terhadap perubahan termal (Grossman, dkk, 1995).
 Tes dingin, dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bahan, yaitu etil klorida,
salju karbon dioksida (es kering) dan refrigerant (-50oC). Aplikasi tes dingin dilakukan
dengan cara sebagai berikut.
o Mengisolasi daerah gigi yang akan diperiksa dengan menggunakan cotton roll
maupun rubber dam
o Mengeringkan gigi yang akan dites.
o Apabila menggunakan etil klorida maupun refrigerant dapat dilakukan dengan
menyemprotkan etil klorida pada cotton pellet.
o Mengoleskan cotton pellet pada sepertiga servikal gigi.
o Mencatat respon pasien.

Apabila pasien merespon ketika diberi stimulus dingin dengan keluhan nyeri
tajam yang singkat maka menandakan bahwa gigi tersebut vital. Apabila tidak ada respon
atau pasien tidak merasakan apa-apa maka gigi tersebut nonvital atau nekrosis pulpa.
Respon dapat berupa respon positif palsu apabila aplikasi tes dingin terkena gigi
sebelahnya tau mengenai gingiva (Grossman, dkk, 1995). Respon negatif palsu dapat
terjadi karena tes dingin diaplikasikan pada gigi yang mengalami penyempitan
(metamorfosis kalsium).

 Tes panas, pemeriksaan ini jarang digunakan karena dapat menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah apabila stimulus yang diberikan terlalu berlebih. Tes panas dilakukan
dengan menggunakan berbagai bahan yaitu gutta perca panas, compound panas, alat
touch and heat dan instrumen yang dapat menghantarkan panas dengan baik (Grossman,
dkk, 1995). Gutta perca merupakan bahan yang paling sering digunakan dokter gigi pada
tes panas. Pemeriksaan dilakukan dengan mengisolasi gigi yang akan di periksa.
Kemudian gutta perca dipanaskan di atas bunsen. Selanjutnya gutta perca diaplikasikan
pada bagian okluso bukal gigi. Apabila tidak ada respon maka oleskan pada sepertiga
servikal bagian bukal. Rasa nyeri yang tajam dan singkat ketika diberi stimulus gutta
perca menandakan gigi vital, sebaliknya respon negatif atau tidak merasakan apa-apa
menandakan gigi sudah non vital (Walton dan Torabinejad, 2008).
 Tes kavitas, bertujuan untuk mengetahui vitalitas gigi dengan cara melubangi gigi. Alat
yang digunakan bur tajam dengan cara melubangi atap pulpa hingga timbul rasa sakit.
Jika tidak merasakan rasa sakit dilanjutkan dengan tes jarum miller. Hasil vital jika terasa
sakit dan tidak vital jika tidak ada sakit (Grossman, dkk, 1995).
 Tes jarum miller, diindikasikan pada gigi yang terdapat perforasi akibat karies atau tes
kavitas. Tes jarum miller dilakukan dengan cara memasukkan jarum miller hingga ke
saluran akar. Apabila tidak dirasakan nyeri maka hasil adalah negatif yang menandakan
bahwa gigi sudah nonvital, sebaliknya apabila terasa nyeri menandakan gigi masih vital
(Walton dan Torabinejad, 2008).
 Tes elektris, merupakan tes yang dilakukan untuk mengetes vitalitas gigi dengan
listrik, untuk stimulasi saraf ke tubuh. Alatnya menggunakan Electronic pulp tester
(EPT). Tes elektris ini dilakukan dengan cara gigi yang sudah dibersihkan dan
dikeringkan disentuh dengan menggunakan alat EPT pada bagian bukal atau labial, tetapi
tidak boleh mengenai jaringan lunak. Sebelum alat ditempelkan, gigi yang sudah
dibersihkan diberi konduktor berupa pasta gigi. Tes ini dilakukan sebanyak tiga kali
supaya memperoleh hasil yang valid. Tes ini tidak boleh dilakukan pada orang yang
menderita gagal jantung dan orang yang menggunakan alat pemacu jantung. Gigi
dikatakan vital apabila terasa kesemutan, geli, atau hangat dan gigi dikatakan non vital
jika sebaliknya. Tes elektris tidak dapat dilakukan pada gigi restorasi, karena stimulasi
listrik tidak dapat melewati akrilik, keramik, atau logam. Tes elektris ini terkadang juga
tidak akurat karena beberapa faktor antara lain, kesalahan isolasi, kontak dengan jaringan
lunak atau restorasi., akar gigi yang belum immature, gigi yang trauma dan baterai habis
(Grossman, dkk, 1995).

II. KARIES
a. Definisi
Karies merupakan penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan
sementum yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganismeyang meragikan karbohidrat
(Kidd et al, 2012). Karies membentuk kavitas yang dapat berkembang ke dentin dan
masuk ke dalam ruang pulpa hingga menyebabkan nekrosis dan abses periapikal
(Bjorndal, 2008).
b. Etiologi
Faktor yang berperan dalam terbentuknya karies adalah gigi, plak gigi, diet
makanan, waktu, kadar fluor, saliva, dan sosial demografik. Gigi terdiri dari mineral
kalsium fosfat yang terdemineralisasi saat pH lingkungan rendah (Amerongen et al.,
2006).
c. Penyakit Pulpa
Penyakit pada jaringan pulpa dan periapikal bersifat dinamis dan progresif
karena tanda dan gejalanya yang bervariasi tergantung pada stadium penyakit dan
status pasien. Pemberian perawatan yang tepat untuk penyakit pulpa yaitu dengan
diagnosis lengkap endodontik berdasarkan : tanda dan gejala, pemeriksaan klinis
secara menyeluruh dan pemeriksaan radiograf terperinci (Ali dan Mulay, 2015).
1. Pulpitis Reversibel adalah radang pulpa yang ringan, jika penyebab radang
dihilangkan maka pulpa akan kembali normal. Faktor-faktor yang menyebabkan
pulpitis reversibel adalah erosi servikal, stimulus ringan atau sebentar contohnya
karies insipien, atrisi oklusal, kesalahan dalam prosedur operatif, kuretase
perodontium yang dalam, dan fraktur email yang menyebabkan tubulus dentin
terbuka (Walton & Torabinejad, 2008). Gejala-gejala pulpitis reversibel diantaranya
rasa sakit hilang saat stimulus dihilangkan, rasa sakit sulit terlokalisir, radiografik
periradikuler terlihat normal, dan gigi masih normal saat diperkusi,kecuali jika
terdapat trauma pada bagian oklusal (Heasman, 2006)
2. Pulpitis Ireversibel adalah radang pada pulpa yang disebabkan oleh inflamasi
jaringan keras, sehingga sistem pertahanan jaringan pulpa tidak dapat memperbaiki
dan pulpa tidak dapat pulih kembali (Rukmo, 2011). Gejala dari pulpitis ireversibel
diantaranya adalah nyeri spontan yang terus menerus tanpa adanya penyebab dari
luar, nyeri tidak terlokalisir, dan nyeri berkepanjangan jika terdapat stimulus panas
atau dingin (Walton & Torabinejad, 2008).
3. Nekrosis Pulpa adalah keadaan pulpa yang sudah mati, aliran pembuluh darah sudah
tidak ada, dan syaraf pulpa sudah tidak berfungsi kembali. Pulpa yang sepenuhnya
nekrosis, menunjukkan gejala asimtomatik hingga gejala-gejala timbul sebagai hasil
dari perkembangan proses penyakit ke dalam jaringan periradikuler (Cohen dan
Hargreaves, 2011). Secara radiografis, jika pulpa yang nekrosis belum sepenuhnya
terinfeksi, jaringan periapikalnya akan terlihat normal. Secara klinis, pada gigi yang
berakar tunggal biasanya tidak merespon pada tes sensitivitas, namun pada gigi
yang berakar jamak pada tes sensitivitas terkadang masih mendapatkan hasil positif
atau negatif tergantung syaraf yang berdekatan pada permukaan gigi yang diuji
(Harty, 2010).

III. PULPOTOMI
Pulpotomi adalah pembuangan pulpa vital dari kamar pulpa kemudian diikuti
oleh penempatan obat di atas orifise yang akan menstimulasikan perbaikan atau
memumifikasikan sisa jaringan pulpa vital pada akar gigi (Curzon et al.,1996).
Pulpotomi disebut juga pengangkatan sebagian jaringan pulpa. Biasanya jaringan pulpa
di bagian mahkota yang cedera atau mengalami infeksi dibuang untuk mempertahankan
vitalitas jaringan pulpa dalam saluran akar (Bence, 1990, Welbury, 2001). Tujuan
pulpotomi Pulpotomi bertujuan untuk melindungi bagian akar pulpa, menghindari rasa
sakit dan pembengkakan, dan pada akhirnya untuk mempertahankan gigi (Kennedy,
1992).
Pulpotomi dapat dibagi 3 bagian yaitu :
(1) pulpotomi vital
(2) pulpotomi devital/ mumifikasi (devitalized pulp amputatio)
(3) pulpotomi non vital/ amputasi mortal.
1. Pulpotomi vital atau amputasi vital adalah tindakan pengambilan jaringan pulpa
bagian koronal yang mengalami inflamasi dengan melakukan anestesi, kemudian
memberikan medikamen di atas pulpa yang diamputasi agar pulpa bagian radikular
tetap vital. Pulpotomi vital umunya dilakukan pada gigi sulung dan gigi permanen
muda. Pulpotomi gigi sulung umunya menggunakan formokresol atau glutaraldehid
(Andlaw dan Rock, 1993; Kennedy, 1992).
2. Pulpotomi devital atau mumifikasi adalah pengembalian jaringan pulpa yang terdapat
dalam kamar pulpa yang sebelumnya di devitalisasi, kemudian dengan pemberian
pasta anti septik, jaringan dalam saluran akar ditinggalkan dalam keadaan aseptik.
Untuk bahan devital gigi sulung dipakai pasta para formaldehid (Tarigan, 1994).
3. Pulpotomi non vital (mortal) adalah amputasi pulpa bagian mahkota dari gigi yang
non vital dan memberikan medikamen/ pasta antiseptik untuk mengawetkan dan tetap
dalam keadaan aseptik. Tujuan dari pulpotomi non vital adalah untuk
mempertahankan gigi sulung non vital untuk space maintainer (Andlaw dan Rock,
1993; Kennedy, 1992).
Indikasi perawatan pulpotomi adalah perforasi pulpa karena proses karies atau
proses mekanis pada gigi sulung vital, tidak ada pulpitis radikular, tidak ada rasa sakit
spontan maupun menetap, panjang akar paling sedikit masih dua pertiga dari panjang
keseluruhan, tidak ada tanda-tanda resorpsi internal, tidak ada kehilangan tulang
interradikular, tidak ada fistula, perdarahan setelah amputasi pulpa berwarna pucat dan
mudah dikendalikan (Budiyanti, 2006).

IV. PULPEKTOMI
Pulpektomi merupakan prosedur dimana pulpa vital dieliminasi seluruhnya
karena cedera ireversibel akibat karies maupun trauma mekanik. Prosedur ini efektif
mengeliminasi rasa nyeri dan mencegah infeksi sekunder, sehingga gigi dapat
dipertahankan dalam lengkung rahang (Clinical Affairs Committee, 2014).
Pulpektomi dapat dilakukan dengan 3 cara : 1) Pulpektomi vital. 2) Pulpektomi
devital. 3) Pulpektomi non vital.
Indikasi:
1. Pulpektomi di indikasikan pada gigi sulung dengan diagnosa pulpitis
irreversibel atau nekrosis pulpa.
2. Mahkota gigi masih dapat direstorasi.
3. Dalam gambaran radiografi terdapat resorpsi akar kurang dari sepertiga apikal
masih diindikasikan untuk perawatan pulpektomi (Ahmed, 2014).
4. Gigi sulung dengan peradangan pulpa yang meluas namun akar dan tulang
alveolar bebas dari resorpsi patologis sehingga jaringan periodontal masih
sehat.
5. Gigi sulung dengan adanya abses periapikal (Welbury, dkk, 2005).
6. Perdarahan yang berlebihan pasca perawatan pulpotomi atau pulpotomi yang
tidak berhasil
7. Kerusakan jaringan periradikular yang minimal sehingga tidak terdapat
kegoyongan gigi (Clinical Affairs Committee, 2014).
Kontraindikasi :
1. Resorpsi patologis akar eksternal yang melibatkan lebih dari sepertiga apikal.
2. Gigi dengan mahkota yang sudah tidak dapat di restorasi.
3. Keterlibatan jaringan periradikular dari gigi sulung yang meluas ke bagian
tooth bud dari gigi permanen.
4. Resorpsi internal yang berlebihan.
5. Pasien dengan penyakit sistemik seperti penyakit jantung bawaan, hepatitis,
atau leukemia (Welbury, 2005).

V. SSC (Stainless Steel Crown)


1. Pengertian Stainless Steel Crown (SSC)
SSC adalah mahkota logam yang dibuat oleh pabrik dalam berbagai ukuran
dan mempunyai bentuk anatomis sesuai gigi asli. Materialnya mengandung 18%
chromium dan 8% nikel. Adanya chromium mengurangi korosi logam. Sejak
diperkenalkan oleh Humphrey (1950) dalam bidang kedokteran gigi anak, disamping
sebagai retainer pada beberapa kasus, SSC menjadi bahan restorasi pilihan dalam
perawatan gigi sulung dengan kerusakan gigi yang luas karena dapat menutupi
seluruh mahkota gigi dan membentuk kembali bentuk anatomi gigi serta lebih tahan
lama dibandingkan restorasi lainnya.
2. Macamnya Ada dua macam SSC :
Festooned : dengan merek Ni-Chro primary crown, keluaran ion 3M (USA)
adalah metal crown yang sudah dibentuk menurut anatomis gigi, baik kontour oklusal,
bukal / lingual, proksimal dan tepi servikal. Penyelesaian preparasi SSC jenis
festooned ini tinggal membentuk/menggunting permukaan servikal mahkota tersebut.
Unfestooned : dengan merek Sun Platinum, keluaran Sankin, Jepang adalah metal
crown yang telah dibentuk permukaan oklusal saja sedangkan bagian bukal / lingual
dan servikal harus dibentuk dengan tang khusus.
Kedua macam bentuk mahkota harus dimanipulasi agar tetap baik marginalnya.
a : Bentuk unfestooned, tepi servikal mahkota belum digunting.
b : Bentuk festooned tepi servikal sudah digunting dan dibentuk cembung.
c : Bentuk festooned tepi servikal sudah digunting sesuai dengan servikal gigi
3. Indikasi
SSC banyak digunakan dalam perawatan gigi anak anak karena banyak
keuntungannya SSC merupakan suatu bahan restorasi yang ideal untuk mencegah
kehilangan gigi susu secara prematur. Kerusakan yang meluas pada gigi susu. Finn
(1973) menyatakan pemakaian SSC sangat efektif untuk perawatan karies rampan
atau frekwensi kariesnya tinggi, dimana gigi sudah banyak kehilangan struktur
mahkota, sehingga tidak dapat ditambal dengan bahan tambalan biasa. SSC
merupakan restorasi mahota penuh, menutupi gigi secara keseluruhan sehingga
kemungkinan terjadinya sekunder karies menjadi kecil.
4. Teknik Preparasi Gigi
Sebelum dimulai pemasangan SSC, dilakukan preparasi gigi susu untuk
mendapatkan adapatasi, stabilisasi dan retensi yang baik. Preparasi gigi susu
dilakukan dengan tujuan pembuangan jaringan karies, membebaskan titik kontak
dengan gigi tetangga dan pengurangan struktur gigi pada seluruh ukuran. Preparasi
dianggap cukup bila sewaktu mencoba SSC sudah berhasil baik.

Teknik preparasi gigi meliputi :


a. Preparasi gigi anterior
Pengukuran materi gigi Sebelum gigi dipreparasi jarak mesio-distal diukur
dengan kapiler, tujuannya untuk memilih ukuran SSC yang akan dipakai, sesuai
dengan besarnya gigi asli. Pembuangan seluruh jaringan karies dengan
menggunakan ekskavator atau round bor pada kecepatan rendah Mengurangi
permukaan proksimal Sebelum melakukan preparasi permukaan proksimal, gigi
tetangga dilindungi dengan prositektor atau steel matrik band. Permukaan
proksimal dikurangi 0,5 1,0 mm dengan bur diamond tapered, dinding proksimal
bagian distal dan mesial dibuat sejajar. Permukaan proksimal diambil jika masih
berkontak dengan gigi tetangga dibuang sampai kontak tersebut bebas
b. Mengurangi permukaan insisal
Bagian insisal dikurangi 1 1,5 mm sehingga nantinya crown sesuai dengan
panjang gigi tetangga Mengurangi permukaan palatal Preparasi permukaan palatal
0,5 mm dan dilakukan jika permukaan tersebut berkontak dengan gigi antagonis.
Jika pada kasus open bite untuk gigi anterior atas, permukaan palatal tidak perlu
dipreparasi.
c. Mengurangi permukaan labial
Permukaan labial dipreparasi 0,5 1,0 mm cukup dengan membuang karies
dan tidak membuang undercut Penghalusan pinggir pinggir yang tajam Pinggir
pinggir yang tajam bagian proksimal mengakibatkan crown sukar beradapatasi
dengan gigi. Bagian pinggir yang tajam dari preparasi harus dibulatkan.
d. Perlindungan pulpa
Setelah dilakukan pembuangan jaringan karies mencapai dentin yang
dalam, sebaiknya ditutupi dengan kalsium hidroksida yang berfungsi untuk
melindungi pulpa terhadap iritasi.
5. Preparasi gigi posterior
a. Preparasi mahkota.
Pandangan labial, Pandangan proksimal, Pandangan insisal (J. R.Pinkham
Dentistry, 1988, 253). Pengukuran materi gigi Sebelum gigi dipreparasi jarak
mesio distal diukur dengan kaliper. Pengukuran ini bertujuan untuk memilih
besarnya SSC yang akan dipakai, sesuai dengan besarnya gigi. Pembuangan
seluruh jaringan karies dengan round bur putaran rendah atau dengan
menggunakan ekskavator
b. Mengurangi permukaan oklusal
Fisur fisur yang dalam pada permukaan oklusal diambil sampai
kedalaman 1-1,5 mm dengan tapered diamond bur.
c. Mengurangi permukaan proksimal
Sebelum melakukan preparasi, gigi tetangga dilindungi dengan
prositektor atau suatu steel matrik band. Tempatkan tapered diamond bur
berkontrak dengan gigi pada embrasur bukal atau lingual dengan posisi sudut kira
kira 20 dari vertikal dan ujungnya pada margin gingiva. Preparasi dilakukan
dengan suatu gerakkan bukolingual mengikuti kontour proksimal gigi. Untuk
mengurangi resiko kerusakan pada gigi tetangga akibat posisi bur yang miring,
maka slicing dilakukan lebih dahulu dari lingual ke arah bukal atau sebaliknya,
baru kemudian dari oklusal ke gingival.
d. Mengurangi permukaan bukal dan lingual
Dengan tapered diamond bur permukaan bukal dan lingual dikurangi
sedikit sampai ke gingival margin dengan kedalaman lebih kurang 1 1,5 mm.
Sudut sudut antara ke-2 permukaan dibulatkan. Pengambilan permukaan bukal
dan lingual. Perlindungan pulpa: Pembuangan jaringan karies yang telah mencapai
dentin cukup dalam sebaiknya ditutupi dengan kalsium hidroksida, yang berfungsi
melindungi pulpa terhadap iritasi.
6. Langkah Langkah Persiapan Pemasangan SSC
Sebelum Dipasang, Pemilihan ukuran SSC dipilih sesuai jarak mesio-distal
gigi susu sebelum preparasi. Jika jarak mesio-distal dari gigi yang akan dipreparasi
sudah tidak dapat diukur, dapat diambil jarak gigi tetangga sebelah mesial ke gigi
tetangga sebelah distal dari gigi yang dipreparasi. Bila gigi tetangga tidak ada, dapat
diambil ukuran dari gigi yang kontra lateral pada satu rahang. Ukuran crown yang
dipilih harus cukup besar untuk disisipkan diantara gigi di bawah gingival margin
dan sedikit bisa berotasi.
a. Memilih SSC dengan mencocokannya pada gigi asli
Letakkan SSC yang sudah dipilih di atas gigi yang telah dipreparasi.
Tekan SSC ke arah gingiva : bila terlalu tinggi atau rendah maka oklusi tidak baik.
bila terlalu besar atau kecil, SSC tidak dapat memasuki sulkus gingiva. Periksa
apakah tepi SSC pada daerah aproksimal sudah baik. Pemeriksaan adaptasi
margin
b. Tentukan kelebihan SSC, kemudian buang dengan stone bur atau potong dengan
gunting (Scissor crown). Pemotongan mahkota 1 mm di bawah goresan SSC dan
perhatikan : oklusi gigi geligi. jika gingiva terlihat pucat berarti SSC masih
kepanjangan dan perlu pemotongan bagian servikalnya.
c. Pembentukan SSC
Diperlukan tang tang khusus : Tempatkan tang dengan paruh cembung
sebelah dalam dan paruh cekung sebelah luar mahkota yang akan dibentuk.
Bagian bukal dan lingual serta servikal dibentuk dengan konfigurasi yang sesuai
dengan giginya. Bagian servikal harus benar menempel pada posisi gigi untuk
mendapatkan retensi yang maksimal.
d. Penghalusan SSC
Penghalusan merupakan langkah terakhir dan penting jika SSC telah
sesuai. Permukaan kasar akan mengiritasi gingiva dan memudahkan penumpukan
plak. Untuk tindakan ini daerah margin SSC diasah ke arah gigi supaya
pinggirnya tidak mengiritasi gingiva, kemudian pinggir dihaluskan dan dilicinkan
dengan stone bur atau rubber whell.
e. Pemasangan SSC
Setelah gigi selesai dipreparasi, SSC dipersiapkan, gigi dikeringkan dan
diisolasi dengan gulungan kapas. Saliva ejektor dipasang agar gigi tetap kering
dan bebas dari saliva. Gunakan adhesif semen misalnya polikarboksilat, diaduk
sampai konsistensi seperti krim dan dialirkan ke dinding sebelah dalam SSC
hingga hampir penuh. Pasang SSC dari lingual ke bukal, tekan dengan jari sampai
posisi yang tepat kemudian pasien disuruh menggigit dengan wooden blade
diletakkan di atas gigi
f. Pengisian mahkota dengan semen..
Jika semen telah mengeras, bersihkan semua kelebihan bahan terutama
pada celah gingiva dan daerah interdental papil dengan menggunakan skeler.
Semen yang berlebihan dapat mengakibatkan inflamasi gingiva dan
ketidaknyamanan. Pasien diinstruksikan untuk diet setengah lunak selama satu
hari dan dianjurkan untuk membersihkan celah gingiva dan daerah interdental
papil dengan dental floss.
7. Keuntungan dan Kerugian
a. Keuntungan SSC
Kerja lebih cepat, oleh karena mahkota SSC sudah tersedia sesuai
dengan ukuran dan bentuk gigi. Lebih tahan lama oleh karena terbuat dari logam.
SSC dapat diselesaikan dalam 1 kali kunjungan, hal ini sangant baik terutama
untuk anak anak.
b. Kerugian SSC
Estetis kurang baik, warna mahkota SSC tidak sesuai dengan warna gigi
asli. Untuk mengatasinya maka pada bagian labial SSC tersebut digunting dan
dibuatkan jendela yang kemudian jendela tersebut diisi / ditambal dengan bahan
yang sama warnanya dengan gigi misalnya self curing acrylic, composit resin.
Pemotongan jendela pada lapisan mahkota Stainless steel yang telah disemenkan
dan pembuatan undercut lateral dan insisal secara mekanik dengan bur kerucut
terbalik (J.R.Pinkham, Pediatric Dentistry, 1988, 253). SSC Mudah terjadi
penumpukan plak disekeliling servikal sehingga dapat menyebabkan inflamasi
gingiva.
8. Pertimbangan Keberhasilan Penggunaan SSC
a. Pembuangan karies dan yang dibutuhkan serta tepat untuk terapi pulpa.
b. Pengurangan struktur gigi yang optimal untuk retensi mahkota yang adekuat.
c. Kurangnya kerusakan gigi tetangga setelah pembukaan kontak interproksimal.
d. Pemilihan ukuran mahkota yang tepat untuk menentukan panjang lengkungan.
e. Adaptasi marginal yang akurat dan kesehatan gingiva.
f. Fungsi oklusal yang baik.
g. Prosedur penyemenan yang optimal.
9. Beberapa Faktor yang Dapat Menyebabkan Kegagalan SSC
a. Preparasi gigi yang tidak baik.
b. Adaptasi mahkota yang tidak baik dan kemudian disertai dengan retensi yang
buruk.
c. Metode sementasi yang tidak tepat dengan mahkota yang lepas atau margin yang
terbuka.
d. Kegagalan perawatan pulpa.
Daftar Pustaka :

Ahmed HMA. Pulpectomy procedures in primary molar teeth. European Journal of General
Dentistry. 2014 January-April : 3(1) : Welbury RR, Duggal MS, Hosey MT. Pediatric
dentistry. 3rd ed. New York: Oxford. 2005. 185 p.
Amerongen, J. v., Loveren, C. v., & Kidd, E. A. 2006. Fundamentals of Operative
Dentistry(3rded.). Texas: Quintessence books.
Andlaw, R. J., dan W. P. Rock. 1993. A Manual of Paedodontics. 3rd edition. New York :
Churchill Livingstone.
Bence, R. 1990. Buku Pedoman Endodontik Klinik. Diterjemahkan dari Handbook of
Clinical
Endodontics oleh E. H. Sundoro. Jakarta : Penerbit UI.
Bjorndal, L. (2008). Indirect Pulp Therapy and Stepwise Excavation. Journal of Endodontics,
34 (7S). 32.
Budiyanti. E. A. 2006. Perawatan Endodontik Pada Anak. EGC. Jakarta
Clinical Affairs Committee, Pulp Therapy Subcommittee. 2014. Guideline on pulp therapy
for
primary and immature permanent teeth. American Academy Of Pediatric Dentistry.
37(15) : 3
Cohen. 2011. Pathways of The Pulp(10thed.). Missouri: MOSBY ELSEVIER.
Curzon, M. E. J., J. F. Roberts., dan D. B. Kennedy. 1996. Kennedy’s Paediatric Operative
Dentistry. 4th edition. London : Wright.
Finn SB. Clinical Pedodontics. 4th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company. 1973:354-53
Pinkham JR. Pediatric dentistry: infancy through adolescence. Philadelphia: W.B.
Saunders Company, 1988: 141,196,239,293-4,340-1,455
Grosman, L. I., Seymour, O., Carlos, E., D., R., 1995, Ilmu Endodontik dalam Praktek, edisi
kesebelas, EGC, Jakarta.
Harty. 2010. Endodontics in Clinical Practice(6thed.). London: Churchill Livingstone
ELSEVIER
Heasman, P. 2006. Master Dentistry Restorative Dentistry, Paediatric Dentistry, and
Orthodontics. China: Churchill Livingstone.
Kennedy, D. B. 1992. Konservasi Gigi Anak. Diterjemahkan dari Paediatric Operative
Dentistry oleh N. Sumawinata dan S. H. Sumartono. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kidd, EA., Bechal, SJ. 2012. Dasar-dasar karies dan penanggulangannya. Jakarta:EGC
Rukmo, Mandojo. (2011). The Development of Method on Assessment of Periapical Disease
Healing After Endodontic Treatment. Procedding Kongres IKORGI ke IX dan
Seminar
Ilmiah Nasional Recent advances in Conservative Dentistry, 1-15. Surabaya.
S. G. Ali dan S. Mulay , “IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS),”
Pulpitis: A Review, vol. 14, no. 8, pp. 92-97, 2015.
Torabinejad M, Walton RE. Endodontics principles and practice. 4th ed. India: Elsevier,
2008:
259-86
Walton, R.E., Torabinejad, M., 2008, Prinsip & Praktik Ilmu Endodonsia, EGC, Jakarta.
Lampiran diskusi online via zoom

Anda mungkin juga menyukai