Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“PENGARUH INHIBITOR TERHADAP METABOLISME OBAT”

DOSEN PENGAMPU : Sinta Ratna Dewi, S. Farm., M. Si., Apt

DI SUSUN OLEH :

NAMA : NUR ISMI AULIA SHIFA


KELAS :G
NIM : 1811102415094

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan percobaan
1. Mahasiswa mampu mempelajari beberapa senyawa terhadap enzim
metabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya.
2. Mahasiswa mampu mengamati daya analgetika dari setiap perlakuan yang
diberikan kepada hewan uji.
B. Latar belakang
Obat yang masuk kedalam tubuh melalui berbagai cara pemberian. Pada
umunya mengalami absorbsi, distribusi dan pengikatanuntuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek, kemudian dengan atau tanpa biotransformasi,
obat diekskresikan dari dalam tubuh(Anief, 2000).
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh
termasuk menentukan toksisitasnya. Jalur pemakaian obat meliputi secara
oral, rektal dan parental serta yang lainnya harus ditentukan dan ditetapkan
petunjuk tentang dosi-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai
umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk
pemakaiannya (Katzung, 2001).
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi, dan bioavabilitas ( total obat yang diserap),
cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat
bkerja(duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang
dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respon tertentu (Katzung,
2001).
Tidur merupakan suatu fenomena fisiologis penting dalam menjaga
kesimbangan regulasi sistem tubuh, juga merupakan suatu proses otak yang
dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik (Nelson, 2006).
Pada dasarnya, tiap obat merupakan zat asing bagi badan yang tidak
diinginkan, maka badan berusaha merombak zat tadi menjadi metabolit
sekaligusbersifat hidrofil agar lebih lancar diekresi melalui ginjal. Jadi reaksi
biotransformasi adalah peristiwa detoksifikasi (Anief, 1984).
Pada dasarnya, semua obat mempunyai kemampuan hipotik bekerjadengan
menekan aktifitas Ascending Reticular Activating System (ARAS) diotak.
Salah satu contoh obat yang mempunyai kemampuan hipotik adalah golongan
barbiturat berkaitan reesptor GABA (neurotransimer inhibitorik) di otak dan
memfasilitasi kerja GABA (Nelson, 2006).
C. Tinjauan pustaka
Metabolisme atau biotarnsformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam
jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat
dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme ekskresi. Hati
merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif
mengekresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami
reabsorbsi di tubulus setelah melalui filtrasi glomerus. Oleh karena itu, obat
yang lipofil harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih
polar supaya reabsorbdinya berkurang sehingga mudah diekskresi (Mardjono,
mahar, 2007).
Proses metabolisme terbagi menjadi beberapa fase. Fase I merubah senyawa
lipofil menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti OH, NH2,
dan COOH. Ini bertujuan agar senyawa lebih mudah mengalami perubahan
selanjutnya. Hasil metabolisme fase I kebanyakan menggunakan enzim
sitokrom P450 yang banyak terdapat di sel hepar dan Gl. Enzim ini juga
berperan penting dalam metabolisme zat endogen sepeti steroid, lemak dan
detoksifikan zat eksogen. Namun demikian ada juga metabolisme fase I yang
tidak menggunakan enzim sitokrom, p450, seperti pada oksidasi katekolamin,
histamine danetanol (Mardjono, mahari 2007).
Reaksi fase II atau reaksi jungasin terjadi jika zat belumcukup polar setelah
mengalami metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat
lipofil. Konjugasi ialah reaksi penggabungan antara obat dengan zat endogen
seperti asam glukoranat, asam sulfat, asam asetat, dan asam amino. Hasil
reaksi reaksi kongjusi berupa zat yang polar dan tidak aktif secara
farmakologi. Glukoronidasi adalah reaksi konjugasi yang paling umu dan
paling penting dalam ekskresi dan inaktifasi (Mardjono, mohar, 2007).
Untuk obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH
mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk metabolime fase II.
Dengan demikian tidak semua zat mengalami reaksi fase Iterlebih dahulu
sebelum reaksi fase II. Bahkan zat dapat mengalami metabolisme fase II
terlebih dahulu sbelum mengalami metabolisme fase I (mycek,2001)
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmik
retikulum(mikrosom) dan cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstra
hepatik) adalah dinding usus, ginjal, paru, darah otang dan kulit, otak, juga
dilumen kolon (oleh flora usus) (Mardjono, mohar, 2007)
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non-polar (larut
lemak) menjadi polar (larut air)agar dapat diekresikan melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya menjadi inaktif. Tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug). kurang aktif, atau
menjadi toksik (Mardjono,Mahar, 2007).
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cyrocrome
p450n(cyp) yang disebut juga enzim monooksigenase atauu Mfo ( mixed
fungtion oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom) hati. Interaksi
dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme,
terutama enzim cyp (Mardjono,mahar, 2007)
Induksi bararti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat
transkripsi sehingga terjadi peningkatamn kecepatan metabolisme obat yang
menjadi substrat enzim yang bersangkutan (Mardjono,mahar, 2007).
Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung
dengat akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga
terjadi secara langsung ( Mardjono, 2007. hal 8)
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis masa kerja, dan
toksisitas obat. Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat
penting dalam studi. Suatu obat dapat menimbulkan suatu respon biologis
dengan melalui dua jalur, yaitu :

a. Obat aktif setelah masuk melalui predaran darah, langsung berinteraksi


dengan reseptor dan menoimbulkan repon biologis.
b. Pra obat setelah masuk ke predaran darah mengalami proses metabolisme
terjadi dan menjadi obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respon biologis (bioaktivasi) (Mardjono, Mahar, 2007)
Secara umum tujuan metabolime obat adalah mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik (bioaktivasi atau detoksifikasi), mudah
larut dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolit obat
bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk ( nbiootoksifikasi) dan
adapula hasil metabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda
dengan senyawa. Contoh : iproniazid, suatau obat perangsang system saraf
pusat, dalam tubuh dimetabolisme menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai
antituberkolosis (Mardjono, Mahar, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat :
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi
dan enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu matebolit. Jumlah metabolit
ditentukkan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan dalam proses
metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa kerja
obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinkan berbeda-beda pada masing-
masing individu. Masing individu, penurunan kecepatan metabolisme akan
meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan
meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan
intensitas dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif
pada dosis normal (Ganiswara, dkk, 1995).
1. Faktor genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang
terjadi terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan
metabolisme obat (Ganiswara, dkk, 1995).
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat. Perubahan kimia yang terjadi pada spesies
dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tapi kadang-kadang ada
perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya (Ganiswara, dkk,
1995).
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat (Ganiswara, dkk, 1995).
4. Perbedaan umur
Bayi dlam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah jumlah enzim-enzim
mikrosom hari yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih
sedikit sehingga sangat peka terhadap obat (Ganiswara, dkk, 1995).
5. Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu
senyawa yang mneghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat
meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat, dan
kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas (Ganiswara,
dkk, 1995).
6. Induksi enzim metabolisme
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal ini disebabkan
senyawa tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim
metabolisme dan bukan karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi
penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu
atau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan
kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat dan
menurunkan dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga
mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena apat meningkatkan
metabolisme dan metabolit reaktif (Ganiswara, dkk, 1995).
Tempat metabpolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan
dan oragan-organ seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati merupakan
organ tubuh tempat utama metabolisme obat karena mengandung enzim-enzim
metabolisme dibanding orang lain. Metabolisme obat dihati terjadi pada
membrane reticulum endoplasma sel. Reticulum endoplasma terdiri dari 2 tipe
yang berbeda, baik bentuk maupun fungsinya. Tipe 1 mempunyai permukaan
membrane yang kasar, terjadi dari ribosom-ribosom yang tersususn secara ahas
dan berfungsi mengatur susunan genetik asam amino yang diperlukan untuk
sintesis problem. Tipe 2 mempunyai permukaan membrane yang halus tidak
mengandung ribosom. Keuda tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang
diperlukan untuk metabolisme obat. Jalur umum metabolisme obat dan senyawa
organik asing reaksi metabolisme o at dan senyawa organis asing itu ada 2 tahap.
Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase 1 :
a. Reaksi oksidasi
Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada
berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-masing
struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril dan
heterosiklik, reaksi oksidasi alkohol dan aldehid, eaksi pembentukan N-oksida
dan sulfoksida, reaksi deaminasi oksidatif. Pembukaan inti dan sebagainya
(Anonim, 1999). reaksi oksidasi dibagi menjadi 2, yaitu oksidasi yang
melibatkan sitokrom p450 (enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi
oksidasi) dan oksidasi yang tidak melibatkan sitokrom p450.
b. Reaksi reduksi (reduksi aldehid, azo dan nitro).
Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. reduksi terutama
berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada
karbon (Anonim, 1999). Hanya beberapa oabta yang mengalami metabolisme
dengan jalannya reduksi baik dalam letak mikrosomal maupun non mikrosomal.
c. Reaksi hidrolisis (deesterifikasi)
Proses lain yang menghasilkan senyawa lebih polar adalah hidrolisis dari ester
dan amida oleh anzim. Eterase yang terletak baik mikrosomal dan
nomikrosomal dan menghidrolisis obat yang mengandung gugus ester. Di
hepar, lebih banyak menjadi reaksi hidrolisis dan konsentrasi, seperti hidrolisis
peptidin oleh suatu enzim. Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan
beberapa jaringan (Anief, 1995).
Reaksi fase II (fase sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau
metabolit fase 1 nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu
kurang aktif dan merupakan molekul pola yang mudah diekskresi oleh ginjal
(Neal, 2005). Reaksi konjugasi bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan
proses enzimatik terikat pada gugus reaktip yang telah sebelumnya atau terbentuk
pada fase 1. reaksi yang terjadi pada fase 2 ini meliputi kunjugasi glukoronidasi,
asilasi, metilasi, pembentukan asam merkapturat, dan konjugasi sulfat (Gordon
dan stett, 1991). reaksi fase ini terjadi dari :
a. Konjugasi asam glukoronat
Konjugasi dengan glukoronat merupakan cara konjugasi umum dalam
proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi ini karena
sejumlah besar gugus fungsional obat dapat berkombunasi secara enzimatik
dengan asam glukoronat dan tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah
yang cukup pada tubuh (Siswandono dan soekardjo, 2000). koenzi antara
(UDPGA : Urinide diphosphoglucorinic acid) bereaksi dengan obat dengan
bantuan enzim UDP glukoronosil-trnasfase (UGT) untuk memindahkan
glukoronida ke atom o pada alkohol, fenol atau asam karboksilat. Atau atom s
pada senyawa tiol, atau atom N pada senyawa-senyawa amino dan
sulfonamida.
b. Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa
senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin dan histamin serta untuk
proses bioaktivasi obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah s-
adenosil-metionin (SAM), reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase
yang terdapat dalam sitoplasma dan mikrosom (Siswandono dan soekardjo,
2000).

c. Ko njugasi sulfat
Terutama terjadi pada senyawa yang mengandung gugus fenol dan kadang-
kadang juga terjadi pada senyawa alkohol, amin aromatik dan senyawa H-
hidroksil. Konjugasi sulfat pada umunya untuk meningkatkan kelatutan
senyawa dalam air dan membuat senyawa menjadi tidak toksik (Siswandono
dan soekardjo, 2000).
d. Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer,
sulfa namida, hidrasin, hidroksid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama
asetilasi adalah membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi
(Siswandono dan soekardjo, 2000).

BAB II
JALANNYA PERCOBAAN
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
Spuit injeksi 1,0 ml
2. Bahan
Penghambat enzim : simetidin (80 mg/kg BB)
Obat yang diuji : paracetamol (400 mg/kg BB)
Rangsang Kimia injeksi : asam asetat 1% (300 mg/kg BB)
Pelarut : Cmc Na 0,5 %
B. PEROSEDUR KERJA
1. Hewan uji 1 diberi perlakuan Cmc Na 0,5 % IP (0,5ml/ 20g BB)
Hewan uji 2 diberi perlakuan dengan sediaan uji analgetika.
Hewan uji 3 diberi perlakuan dengan sediaan uji analgetika, seblum nya
diberiperlakuan dengan cimetidin IP 80 mg/kgBB.
2. Setelah ketiga kelompok hewan uji diberi perlakuan, 10 menit kemudian,
disuntik di intraperitonial larutan steril asam asetat 1% v/v dengan dosis 300
mg/kg BB.
3. Catatlah jumlah kumulatif geliat (perut kejang dan kaki ditarik ke
belakang) yang timbul setiap selang waktu 15 menit selama 60 menit.
Hitung persen daya analgetik dengan rumus = % daya analgetik 100-(p/k x
100). dengan p jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgetika k
= rata-rata jumlah kumlatif geliat mencit yang diberi Cmc-Na 0,5% (kontrol
negatif).

BAB III
PERHITUNGAN
% analgesik = 100- (p/k .100)
= 100 -(93,5/205.100)
=100 -45,6 = 54,4

% analgesik =100 -(p/k.100)


100-(13,5/205. 100)
= 24,7%
=100-6,5 = 93,5

% Na CMC = rata-rata BB mencit Na


Rata-rata @ PCT + (cime + pct)
= 26,5/92,5 + 13,5 x 100 %
= 26,5/107 x 100 %

1. Na CMC =500MG/100 ML
0,5 ML +20 gran BB mencit
Volume = 0,5/209 x 26 gram = 0,65 ml
2. PCT = 10 mg/ml = 500 mg/ ml
Konsentrasi = 70 kg x 500 mg = 700mg
BB mencit = 30 gram
1,82/ 20 kg x 30= 2,73
=2,73/10 =0,27
3. Siemtidin =200 mg/50 ml = 4 mg/ml LB =200 mg/50 ml= 1 tab//kg 50 ml
=4 kg/ml
Konsentrasi = 70 kg/50 kg x 200 mg = 280 mg
Volume pembarian = 0,0026 x 280 mg = 0,728 mg
Mencit 32= 0,0708/20 x 32 = 1,16 ml

4. Asam asetat =262,5 mg/kg = 1,041 gram


1 ml asam asetat 1,041 gr
30 gram mencit /1000 gram x 262,5 mg =7,875 mg
Volume = 7,875 mg/1, 041 mg x 50 ml = 0,35 ml
Mencit 32 = 0,708/20 x 32 = 1,16
V2. = 1,16 ml/4 mg/ml =0,29 ml.

BAB IV
HASIL ANALISIS DATA
N Jumlah geliat % angka BB mencit/jumlah yang
o disuntikkan
Na CMC 1 295 26 gram/0,5 ml Na CMC
0,34 ml asam asetat
2 115 27 gram/0,5 ml Na CMC
0,35 ml asam asetat
Rata rata 205
PCT 1 95 54,4 % 30 gram/ pct 0,27 ml
0,34 asam asetat
2 92 26 gram/pct o,23 ml
0,34 asam asetat
93,5
Simetidin + 1 21 93,5 gram 32 gram/sime 0,29 ml pct,
pct 0,29 ml, 0,4 ml asam asetat
2 6 30 gram/ sime 0,27 ml, pct
0,27 ml 0,38 ml asam asetat
Rata rata 13,5

BAB V
PEMBAHASAN
Praktikum kali ini melakukan percobaan pemberian secara intraperitonial
(yang disuntikkan di bagian perut diatas kelamin kurang lebih 1 cm sejajar dengan
kaki). bahan yang digunakan pada praktikum ini adalag paracetamol, dan asam
asetat juga simetidin dan Na CMC. Alat yang digunakan adalah spuit injeksi
ukuran 1 ml.
Pada hewan pertama adalah pemberian secara intraperitonial ,bahannya
adalah CMC Na, asam asetat, pertama tama timbang mencit,sedidapat berat
mencit kemudian hitung volume obat yang akan diberikan kepada mencit. Dan
didapat BB mencit seberat 33 gram. Kemudian diusntikkan CMC Na sebanyak
0,8 dari hasil yang didapat dari jumlah perhitungan. Setelah disuntikkan CMC
tunggu 15 menit kecudian suntikkan lagi asam asetat sebanyak 0,4 ml. Memakai
0,4 karean saat dibetikan 0,2 ml tidak menimbulkan efek apapun sehingga dosis
ditambah menjadi 0,4 ml. Kemudian dilaukan pengamatan pada 15 , menit
pertama mencit menggeliat sebanyak 12 kali, kemudian diamati kembali pada 15
kedua mencit menggeliat sebanyak 1 kali, kemudian mencit tidak beraktivitas
hanya diam saja merasakan efek dari obat yang diberikan, kemudian 15 ketiga
mencit menggeliat kembali sebanyak 3 kali, lalu di 15 menit terakhir mencit juga
menggeliat dan itu menandakan bahwa praktikumnya berhasil.
Pada hewan mencit yang kedua juga mendapat perlakuan secara
intraperitonial. Lartan yang digunakan adalah paracetamol dan asam asetat, alat
yang digunakan untuk praktijum adalah spiut injeksi ukuran 1 ml. Untuk
mendapat volume obat yang akan diberikan mencit haruslah ditimbang terlebih
dahulu, setelah ditimbang di dapat hasilnya sebanyak 0,6 ml untuk paracetamol.
Setelah disuntikkan paracetamol tunggu 10 menit kemudian disuntikkan asam
asetat, asam asetat yang digunakan untuk membuat rasa nyeri pada mencit.
Kemudian dilakukan pengamatan pada 15 menit pertam mencit menggeliat
sebanyak 5 kali, pada 15 menit kedua mencit juga menggeliat sebanyak 1 kali,
pada 15 menit ketiga mencit tidak menggeliat dan pada 15 terakhir mencit
kembali memberiakn reaksi menggeliat sebanyak 1kali. Pada praktikum di emncit
yang kedua ini juga dinyatakan berhasil.
Pada mencit yang ketiga didapat berat badan mencit 23 gram, larutan yang
digunakan adalah simetidin, paracetamol, dan asam asetat. Prosedur yang
dilaukan sama seperti pada mencit pertama dan mencit kedua. Saat 15 menit
pertama mencit menggeliat sebanyak 20 kali, kemudian 15 kedua mencit
menggeliat lagi sebanyak 40 kali, 15 menit selanjutnya mencit kembali
menggeliat sebanyak 5 kali dan 15 menit terakhie mencit menggeliat 3 kali. Dari
praktikum yang ketiga ini juga dinyatakan berhasil.
Pada saat praktikum, geliat mencit ketiga lebih banyak daripada mencit yang
pertama, seharusnya geliat mencit yang pertama lebih banyak dari pada mencit
ketiga. Kemungkinan saat menyuntikkan asam asetan dosis nya kurang.

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk praktikum yang ketiga ini, semua percobaan berhasil memberikan
efek yang diinginkan, hanya saja geliat mencit yang pertama lebih sedikit dari
pada mencit yang ketiga dikarenakan kemungkinan dosis asam asetat untuk
mencit yang pertama kurang.
B. Saran
Untuk praktikan diharapkan lebit teliti dalam melakukan praktikum, agar bisa
mendapatkan hasil efek yang diinginkan

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh, 2000, Ilmu Meracik Obat , Gajah Mada University.
Anief, Moh, Prof,Drs,Apt., Prinsip Utama Dalam Farmakologi, Gadjah Mada Unit
Press. Yogyakarta.
Anief, Moh, 995, Perjalanan Dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada Univ
Press, Yogyakarta.
Anonim, 1999, Majalah Farmasi Indonesia Vol 10 No 4, Mandiri Jaya Offest,
Yogyakarta
Ganiswara, dkk, 1995, Farmakologi dan terapi Edisi IV, UIP, Jakarta.
Gordon Dan Paul Skett, 1991, Pengantar Metabolisme Obat, UI Press, Jakarta.
Katzung, Bertramg, 1989, Farmakologi Dasar Dan Klinik,EGC, Jakarta
Mardjono,Mahar, 2007. Farmakologi dan terapi.Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Neal, M,J,2006 At A Glance, Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
Siswandono dan soekardjo, Bambang, 2000, Kimia Medisinal, Airlangga
University Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai