Anda di halaman 1dari 4

Pada 

zaman simbiotik, banyak orang dari timur mengembara ke bagian barat


pegunungan pusat. Salah satu marga yang pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia
adalah marga Tekege. Adalah Obasso Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara
melarikan diri dari Tage (dimiya) ke Mapia karena bagian daging burung yang
diinginkannya tidak diberikan oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara
ke Tigi, pindah lagi ke Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan
tidak lama kemudian pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut;
Dodota, Menani, Wateisa, Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan
Bedoubainawi (dikenal Auki). 

Disebut Bedoubainawi karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung


(Bedo = burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah mengoleksi berbagai jenis burung.
Sebagian besar dari burung yang dikoleksi adalah burung Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya
mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan koleksi burung Cenderawasih. Ia sering kali berjanji
kepada masyarakatnya bahwa pada suatu saat ia akan menghadirkan Ogai-pii (dunia modern).
Menginjak usia dewasa, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering
dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao). Di Isago ia berkenalan dengan
seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Sering mereka berdua berjualan hasil bumi kepada orang-
orang Kamoro (pantai selatan), dan diganti dengan kulit bia (mege = alat pembayaran), sambil latihan
bahasa Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari demi hari
mereka dua mulai belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.

Bedoubainawi sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia
kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya tidak disenangi
masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun. Orang-orang Modio bertanya kepada
Bedoubainawi “dimana ogaipii yang dari dulu kamu janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil
TAPEHAUGI yang artinya orang yang tidak beruntung. Pada waktu itu hampir seluruh daerah Mapia
terjadi perang. Perang itu terjadi antar klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan yang
berbuntut pada pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana. Sistem sangsi hukum pun
tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.

Tapehaugi hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup aman,
damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota mana. Pada suatu hari Tapehaugi
memutuskan pergi mengunjungi rekannya Ikoko Nokuwo di daerah Isago. Awal tahun 1930
Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga Gobay mulai berjalan menuju pantai selatan. Selama satu
minggu mereka berjalan dari Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung
Bidau. Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga Gabou-Kahame.
Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju kampung Dowudi dan malam ketujuh
mereka sampai di kampung Makaihawido. Di kampung itu Tapehaugi menetap lama dan membuat
rumah.

Tak lama kemudian mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk ditukarkan
dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka masuk dirumah kepala suku Kamoro.
Pada malam hari Kepala Suku Kamoro menceritakan tentang orang-orang barat yang sedang
mewartakan Injil di daerah Kokonao. Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para
misionaris tersebut. Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan dimana keberadaan para
misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati Kepala Suku dan berjanji setelah tiga bulan
Tapehaugi dan rombongannya akan membawah hasil buruan dan makanan. Janji Tapehaugi diterima
baik oleh Kepala Suku Kamoro.

Tiga bulan kemudian Tapehaugi bersama rombongannya membawah 40 ekor burung


Cenderawasih (tune mepiha) yang sudah dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau.
Orang Kamoro pun sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi) dan hasil laut lain
sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai, Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah
para misionaris untuk berkenalan dengan Maihora (panggilan orang Kamoro kepada Tapehaugi).
Dengan hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama rombongannya kembali ke Wagikunu.

Pada suatu hari sementara Tapehaugi sedang membuat kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga
memanggil: “Ke-ke..tobouga-gogo wake, akogeima kedeke kamena keino owegaimi”. Artinya ‘’hai
orang Tobousa, jangan melamun, sahabat-sahabatmu sedang datang, mari jemput mereka”.
Tapehaugi pun bergegas menjemput mereka. Sesampai dirumah ia berpapasan dengan orang-orang
berkulit putih persis seperti anak yang baru lahir (detamagawa). Kepala suku Kamoro berkata kepada
Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan kabar gembira”. Maka mereka saling
berkenalan satu sama lain. Orang-orang berkulit putih itu antara lain Pater Tillemans MSC dan dr
Bijmler. Pada kesempatan itu tepat bulan April 1932. Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung
sana, orang seperti saya banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan kepada rakyat saya yang
berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap. Pater Tillemans berjanji setelah tiga tahun
dirinya akan datang menuju Modio – Mapia. Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke
Modio.

Dalam perjalanan pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di kampung /
gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI – artinya laki-laki yang hebat
dalam nada keheranan. Sesampainya di Modio, Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao
termasuk nama yang baru diberikan itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki antara lain
Minesaitawi Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman sedawar lain yang masih hidup
pada masa itu.

Pada tanggal 21 Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju Modio.
Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan P. Tillemans dan Tuan
Bijmler tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko Nokuwo memakai topi yang dibuat dengan rotan.
Mereka disambut dengan Tupi Wani (Kapauku Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai
pengucapan syukur atas kehadiran dua orang barat tersebut.

Selanjutnya Auki memerintahkan kepada Minesaitawi Tatago dan Dakeugi Makai untuk memanggil
seluruh pimpinan masyarakat (Tonawi) yang ada diseluruh pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian,
para Tonawi tersebut tiba dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta perdamaian
[tapa dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara lain Zoalkiki Zonggonao dan Kigimozakigi
Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari Paniai, Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa
Goo dari Kamu, Tomaigai Degei dari Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai Degei
dari Putapa, Enagobi Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari Toubay, Mote Pouga Mote dari
Adauwo dan Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.

Pada tanggal 7 Januari 1936, Pater Tillemans memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu
didepan rumah Bapak Auki. Itulah misa pemberkatan pertama di kampung Modio. Setelah misa
kudus, dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa dei) yang dipimpin oleh Auki. Dalam doa inti Auki
meminta Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor babi yang telah dipersiapkan
(Sabakina dan Bunakina). Ketika membunuh bunakina (babi hitam) Minesaitawi berkata: Aki
mogaitaitage Mee (bagi yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang akan
mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki Mee ewegaitage Mee (bagi yang
akan menceritakan orang lain), aki pusa mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama
dani kategaine. Artinya:saya samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota Mana dengan babi
yang saya bunuh agar tidak terulang lagi.” Selanjutnya Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah
diikat di Pohon Otika. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan mengeluarkan darah merah
pertanda persembahan diterima.

Setelah upacara perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan melaporkan
perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan Pemerintah Hinda Belanda bahwa
dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan itu diketahui Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten
di Kaimana dan meminta Pilot Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri daerah
Pegunungan. Pada awal bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang dari Utara (Serui = Geelvink) ke
arah Selatan (Babo) menggunakan pesawat Sikorsky milik perusahaan Nederlands Nieuw Guinea
Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau dan perkampungan disekitar
danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau Tage dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa
Belanda artinya danau-danau Wisel). Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans MSC ikut
Ekspedisi Van Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos pelayanan sekaligus menemui
Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh sebelumnya di Modio, 1936.

Berita adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar pula oleh Pendeta R. A. JAFFAR. Akhir tahun
1937 Pdt. R. A. Jaffar mengajukan permohonan dan meminta ijin kepada Pemerintah Hindia Belanda
untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman Paniai dan permohon tersebut dikabulkan. Dari
Makasar beliau berangkat menuju Bumi Cenderawasih untuk melihat secara langsung keadaan
penduduk disana. Selanjutnya Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Dabler
untuk merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka berdua dijemput Yineyaikawi
Edowai dan menuju daerah Paniai melalui sungai Yawei. Begitu tiba mereka bermalam di rumah Itani
Mote di Yaba (Waghete).

Tahun-tahun berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti Sam Pattipeiloi


dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal Kalimantan Timur bersama 20 orang dari
Kalimantan Timur meninggalkan Makasar pada 5 Maret 1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih
pada 20 April 1939. Berikut tahun 1941 datang pula beberapa lulusan SAM pada route yang sama
yaitu Ch. D. Paksoal, P. Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan
Teringan asal Kalimantan Timur. Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa guru-guru muda
seperti Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali, gr Meteray di Kugapa dan Petrus Letsoin di
Yaba.
Segera sesudah itu perang dunia kedua meletus dan seluruh pelayanan misi dan zending
diberhentikan. Beberapa misionaris dan pemerintah Belanda diinternir oleh tentara Jepang. Salah satu
surat yang dilayangkan berbunyi: “Als de kontreleurs en de Pastoors zich niet aan de Japanners
overgeven, hebben nedaar voor reeds twee grote kapmessen gereedliggen, een voor de pastoor en een
voor mij”. Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan diri kepada pemerintah
Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya. Orang-orang Jepang telah menyediakan dua buah pisau
besar, satu untuk penggal kepala para pastor, dan satu untuk saya (de Bruijn).

Mendengar informasi ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda segera disembunyikan oleh orang-
orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan Pegaitakamai. Orang-orang
yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain Pater Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn.
Di gunung ini dokter Rubiono yang mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang bayi
kecil (tuan tanah) dan disembunyikan dalam tas. Menurut orang Mapia hingga saat ini, dokter
Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam dokumen-
dokumen sejarah Suku Me dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama Soekarno, kecuali nama
dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio Belanda – dan juga Ir Soekarno sebelum tahun
1945 belum pernah injak daerah pedalaman Irian.
Tak lama kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Paniai
melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman kekuasaan Jepang di Paniai menyebabkan
HPB de Bruijn terpaksa mengungsi ke Australia. Dalam pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi
dan Migani. Mereka adalah Markus Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus Gobay, Kornelis
Madai, Obeth Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote, Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo,
Kosmos Ekee dan Animalo Adi. Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi seperti Manatadi
Gobay, Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph Yeimo. Sedangkan yang lain
masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu untuk memerangi sisa-sisa tentara Jepang.
Sementara itu, de Bruijn membawah tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay,
Zakeus Pakage dan Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono bersama
beberapa guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali untuk menunggu pesawat menuju
Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan rombongannya disembunyikan di gunung Bobaigo. Di gunung
ini, dr Rubiono menangkap burung Garuda (Imu = penjaga gunung, menurut orang Mee).

Pada tanggal 24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan pesawat terbang
dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah keberangkatan mereka, daerah Paniai dan sekitarnya
diduduki oleh tentara Dai Nippon. Usai perang dunia kedua, misionaris dan zending kembali ke
daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga guru, suster, Pater untuk membangun daerah yang
telah “dipagari Allah”. Dari Misi seperti Gerardus Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di
Enarotali. Pasca Amerika membom kota Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945
diJepan maka pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan seluruh
pasukan Jepang ditarik keJepang selanjutnya dengan momentum itu Indonesia mengibarkan bendera
merah putih di Tanah Nusantara pada tanggal 17 Agustus 1945.

Anda mungkin juga menyukai