Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEMINAR AKUNTANSI

CURRENT ISSUES
“Pada Perusahaan Asuransi Jiwasraya”

Dosen Pengampu: Annisa Rahman, Dr, SE, M.Si, Ak, CA

Disusun Oleh:

RISTI WAHYUNI 1610531004

JONI HIDAYAT 1610531005

ZENITHA NOSALIRA 1610532006

SYNTA AMELIA ASRIL 1610533003

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan pertolongan,
hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah sebagai bahan untuk
memenuhi tugas kelompok matakuliah Seminar Akuntansi, yang dibimbing oleh Ibuk Annisa
Rahman, Dr, SE, M.Si, Ak, CA. Makalah ini membahas tentang current issues pada perusahaan
Jiwasraya.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena masih
banyak kekurangan kami dalam membuat makalah ini. Namun demikian, kami telah berusaha
semaksimal mungkin dengan seluruh kemampuan yang kami miliki untuk menyelesaikan
makalah ini dengan sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dari
para pembaca demi kesempurnaan kami dalam membuat makalah dikemudian hari. Akhir kata,
semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memberikan tambahan ilmu dan pengetahuan bagi
para pembaca umumnya dan kami penulis khususnya.

Padang, Februari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Untuk menjaga diri sendiri dan menjamin barang-barang yang dimiliki, seseorang
membutuhkan keamanan agar mencegah risiko yang akan dijalani dalam kehidupan. Usaha dan
upaya manusia untuk menghindari rasa tidak aman atau resiko tersebut merupakan cikal bakal
perasuransian yang dikelola sebagai sesuatu kegiatan untuk menutupi kekurangan manusia itu
sendiri dalam menanggulangi resikonya tersebut.
Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk
selama hidupnya maupun untuk beberapa waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Orang yang
berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang
yang diasuransikan jiwanya.
Pihak-pihak yang mengikatkan diri secara timbal balik didalam perasuransian itu disebut
penanggung dan tertanggung. Penanggung dengan menerima premi memberikan pembayaran,
tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmatnya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah terbentuknya asuransi Jiwasraya?
2. Permasalahan apa yang dialami oleh perusahaan asuransi Jiwasraya?
3. Kejanggalan apa yang membuat terkuaknya kasus Jiwasraya?
4. PSAK nomor berapa yang menjadi acuan dalam perusahaan asuransi Jiwasraya?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui sejarah dalam perusahaan Jiwasraya
2. Untuk melihat permasalahan yang sedang dialami oleh Jiwasraya
3. Untuk mengetahui kejanggalan penyebab terkuaknya kasus Jiwasraya
4. Untuk mengetahui PSAK yang berkaitan dengan permasalahan Jiwasraya
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Sejarah Asuransi Jiwasraya


Jiwasraya berawal dari NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente
Maatschappij van pada tanggal 31 Desember 1859. Perusahaan jiwasraya merupakan perusahaan
asuransi jiwa yang pertama kali ada di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu) yang didirikan
dengan Akte Notaris William Hendry Herklots Nomor 185.
Pada tahun 1957  perusahaan asuransi jiwa milik Belanda yang ada di Indonesia
dinasionalisasi sejalan dengan program Indonesianisasi perekonomian Indonesia. Tanggal 17
Desember 1960 NILLMIJ van 1859 dinasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
tahun 1958 dengan merubah namanya menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 214 tahun 1961, tanggal  1 Januari 1961, 9
(sembilan) perusahaan asuransi jiwa milik Belanda dengan inti NILLMIJ van 1859 dilebur 
menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera. Pada tanggal 1 Januari 1965
berdasarkan Keputusan Menteri PPP Nomor BAPN 1-3-24, nama Perusahaan negara Asuransi
Djiwa Eka Sedjahtera diubah menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera.
Berdasarkan SK Menteri Urusan Perasuransian Nomor 2/SK/66  tanggal 1 Januari 1966, PT
Pertanggungan Djiwa Dharma Nasional dikuasai oleh Pemerintah dan diintegrasikan kedalam
Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja. Tanggal 23 Maret 1973 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 33 tahun 1972 dengan Akta Notaris Mohamad Ali Nomor 12 tahun 1973,
Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraya berubah status menajdi Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Jiwasraya yang anggaran dasarnya kemudian diubah dan ditambah dengan Akta
Notaris Sri Rahayu Nomor 839 tahun 1984 Tambahan Berita Negara Nomor 67 tanggal 21
Agustus 1984 menjadi PT Asuransi Jiwasraya. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1995, diubah dan ditambah terakhir dengan Akta Notaris Imas Fatimah SH, Nomor 10
tanggal 12 Mei 1988 dan Akte Perbaikan Nomor 19 tanggal 8 September 1998 yang telah
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Nomor 1671 tanggal 16 Maret 2000 dan Akte
Perubahan Notaris Sri Rahayu H.Prasetyo,Sh, Nomor 03 tanggal 14 Juli 2003 menjadi PT
Asuransi Jiwasraya (Persero).

Struktur Organisasi Asuransi Jiwasraya


1.2 Permasalahan dalam Asuransi Jiwasraya
Kasus Jiwasraya diawali dengan penjualan produk asuransi yang berupa JS Saving Plan,
yang menawarkan bunga fix sekian persen. Dalam bisnis asuransi, meningkatnya pendapatan
premi tidak selalu berarti positif, karena hal tersebut akan diiringi dengan kenaikan beban klaim
dan manfaat yang harus dibayar ke nasabah. Jika pendapatannya lebih tinggi dari beban maka
perusahaan akan untung, dan sebaliknya jika pendapatan lebih kecil dibandingkan beban maka
perusahaan akan merugi.

Perusahaan asuransi Jiwasraya menjual produk JS Saving Plan dengan bunga fix, maka
perusahaan tersebut tidak peduli sebesar apapun pendapatan preminya, namun beban klaimnya
akan selalu lebih besar. Jadi, cara yang digunakan oleh Jiwasraya agar tetap untung dengan
menginvestasikan pendapatan premi tersebut ke saham, obligasi dll, untuk memperoleh profit.
Katakanlah 10 – 12% profit per tahun. Sehingga ketika Jiwasraya membayar bunga 6.5% ke
nasabahnya, maka perusahaan masih profit 3.5 – 5.5%. Tapi jika hasil investasinya justru
rugi, maka Jiwasraya tetap harus membayar bunga 6.5% tersebut, sehingga ruginya jadi lebih
besar lagi. Hal ini sama seperti kalau kita membeli saham pake margin, dimana kalau hasilnya
untung maka untungnya jadi besar (karena modalnya lebih besar), tapi kalau rugi maka ruginya
jadi besar juga.
Sejak awal, produk JS Saving Plan sudah berisiko merugikan Jiwasraya karena kegiatan
investasi yang dilakukan tidak membuahkan profit seperti yang diharapkan. Dan semakin besar
pendapatan premi yang diperoleh perusahaan, maka semakin besar pula risiko terjadinya
kerugian tersebut.  Hingga memasuki tahun 2016, pendapatan premi Jiwasraya sudah menembus
Rp17.9 trilyun, atau sudah melejit lebih dari tiga kali lipat sejak JS Proteksi Plan diperkenalkan
pertama kali di tahun 2013.

Tapi pada tahun 2016 inilah, mulai tampak ada beberapa hal yang janggal. Pertama, seperti
yang disebut diatas, seiring dengan kenaikan pendapatan premi, maka beban klaim dan manfaat
yang harus dibayar Jiwasraya ke nasabahnya juga otomatis naik. Untuk produk asuransi jiwanya,
angka beban ini naik menjadi Rp7.0 trilyun di tahun 2016, dan itu masih normal karena
angkanya masih jauh dibawah pendapatan premi yang Rp17.9 trilyun. Dan  beban yang nilainya
juga melonjak adalah ‘kenaikan liabilitas manfaat polis masa depan’, yang  mencapai Rp11.0
trilyun, dibanding tahun 2015 yang hanya Rp4.0 trilyun. Yang disebut ‘manfaat polis masa
depan’ ini adalah dana yang harus dibayarkan Jiwasraya ke nasabah yang memegang produk
asuransi unitlink yang dijual perusahaan, termasuk JS Saving Plan itu tadi. Tetapi, di tahun 2016
itu Jiwasraya justru membukukan rekor laba bersih Rp1.7 trilyun. Maka dapat dilihat dari
laporan keuangan dibawah ini

Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa Jiwasraya mengakui pendapatan Rp1.2 trilyun dari
revaluasi propertinya, yang sebenarnya tidak ada uangnya, dan juga ‘keuntungan dari perubahan
nilai wajar efek-efek’, yang angkanya naik tiga kali lipat menjadi Rp1.5 trilyun. Keuntunga
tersebut berasal dari kenaikan harga saham atau obligasi yang dimiliki oleh Jiwasraya, yang
belum direalisasikan/belum dijual. Dapat dikatakan belum direalisasi karena di laporan arus
kasnya, penerimaan hasil investasi, atau uang tunai yang diperoleh dari menjual saham, tercatat
hanya Rp1 trilyun, sudah termasuk nilai pokok investasinya. Sehingga keuntungan Rp1.5 trilyun
belum terealisasi. Meski demikian, dengan asumsi Jiwasraya bisa dengan mudah menjual
kembali saham-sahamnya sehingga merealisasikan keuntungan investasinya, maka hal ini tidak
jadi masalah. 

Tetapi, terkait hal diatas setelah ditelusuri saham-saham yang dibeli oleh Jiwasraya
merupakan saham ‘gorengan’. Dapat dilihat dari laporan keuangan Jiwasraya sendiri dibawah ini

Berdasarkan data registrasi efek dari BEI, ada dua BUMN yang sampai hari ini sahamnya
masih dipegang Jiwasraya dalam jumlah besar/diatas 5% kepemilikan, yaitu Semen Baturaja
(SMBR), dan PP Properti (PPRO). Berdasarkan informasi dari rapat antara manajemen
Jiwasraya dan DPR, Agustus 2019 kemarin, diketahui bahwa Jiwasraya pada tahun 2016
membeli SMBR pada harga Rp1,555, dan beli PPRO di harga Rp1,000-an (harga sebelum
stocksplit, setara Rp250-an setelah stocksplit). Dan pada akhir tahun 2016, SMBR dan PPRO
masing-masing ditutup di posisi 2,790, dan 1,360. Inilah yang kemudian menyebabkan Jiwasraya
pada akhir tahun 2016 membukukan ‘keuntungan dari perubahan nilai wajar efek-efek’.

Dalam hal ini jelas sekali ada yang janggal seperti yang tampak di tabel diatas, nilai
investasi saham yang dikelola langsung oleh Jiwasraya (tidak melalui reksadana) di tahun 2016
tercatat Rp6.2 trilyun, dan sebagian besar diantaranya terkonsentrasi hanya pada tiga saham yang
disebut diatas yakni SMBR, PPRO, BJBR. Perlu diingat pula bahwa SMBR, PPRO, dan BJBR
adalah saham second liner yang tentu saja tidak se-likuid blue chip, seperti BBCA dll. Sehingga
membeli saham seperti itu sebanyak trilyunan Rupiah tentu saja sangat berisiko, karena akan
sulit jualannya. Apalagi secara fundamental, ketiga perusahaan diatas tidaklah istimewa, bahkan
SMBR kinerjanya turun terus, dan valuasinya ketika itu (di tahun 2016) juga amat sangat mahal. 

Audit BPK mengatakan, Jiwasraya menempatkan portofolio investasi dana preminya pada
saham dengan harga yang anjlok, sehingga terjadi depresiasi nilai aset secara drastis milik
perusahaan. Saham – saham yang dibeli merupakan saham – saham berkualitas rendah karena
memiliki resiko yang tinggi. Selain itu BPK juga mendeteksi ada hubungan yang janggal antara
Manajemen Jiwasraya dengan Manajer Investasi dalam pembelian saham-saham beresiko tinggi
ini. Saham yang dibeli dari pihak berafiliasi tidak menggambarkan saham yang sebenarnya, jadi
pembelian dilakukan dengan negoisasi bersama pihak-pihak tertentu agar bisa memperoleh harga
yang diinginkan.

Selain itu Jiwasraya juga melakukan investasi langsung pada saham yang tidak likuid
dengan harga tak wajar juga ditempatkan pada beberapa produk reksa dana. Lebih lanjut
pembelian dan penjualan saham diduga dilakukan secara pro-forma dan tidak didasarkan atas
data yang valid dan objektif. Kemudian melakukan aktivitas jual beli saham dalam waktu yang
berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized gross, yang diduga window dressing. Jual
beli juga dilakukan dengan pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu
yang diinginkan, dan adanya kepemilikan atas saham tertentu melebihi batas maksimal yaitu di
atas 2,5%. Window Dresssing sendiri merupakan strategi yang digunakan oleh suatu
perusahaan untuk menarik hati investor dengan cara mempercantik laporan atau kinerja
keuangan dan portofolio bisnis yang dimilikinya. Tujuannya tentu saja untuk meyakinkan
investor dalam menanamkan modal investasi yang menguntungkan bagi perusahaan
tersebut. Melalui proses manipulasi tersebut, perusahaan menampilkan hasil atau kinerja
yang baik sehingga investor semakin yakin bahwa dengan berinvestasi dalam perusahaan
tersebut, ia akan menuai keuntungan yang besar.

Jika ditelaah kembali Jiwasraya memegang saham PPRO dengan jumlah yang fantastis
bagaimana ‘keuntungan yang belum direalisasi’ tersebut dapat direalisasi, bahkan untuk saham
bluechip saja jika dimiliki sebesar RP 1 triliun akan sangat sulit untuk dijual, begitupula dengan
saham PPRO yang tidak se-likuid saham-saham bluechip. kemungkinan modus Manajer Investas
(MI) Jiwasraya sengaja membeli SMBR, PPRO, dan BJBR dalam jumlah besar akan membuat
harganya dipasar naik, lalu ketiga saham itu dinaikan kembali bias oleh Manajer Investasi
sendiri, atau bekerja sama dengan pihak ketiga yang ‘spesialis’ goreng saham. Sehingga pada
akhir tahun, perusahaan bisa mengakui keuntungan dari kenaikan nilai investasinya di saham,
tapi tujuannya sebatas untuk membuat laporan keuangan seolah memiliki profit. Dengan kata
lain, MI di Jiwasraya sejak awal tidak pernah berniat untuk menjual/merealisasikan keuntungan
dari ‘investasinya’ di SMBR dll, karena mereka tahu bahwa itu tidak mungkin/sangat sulit untuk
dilakukan. Sehingga tindakan pembelian saham SMBR itu sebatas untuk mempercantik laporan
keuangan di tahun 2016, tapi imbasnya Jiwasraya justru akan rugi sangat besar di masa yang
akan datang, yakni ketika saham yang dibuat naik itu turun lagi dengan sendirinya.

Jiwasraya sejatinya sudah bermasalah sejak tahun 2016, dalam hal ini laporan keuangan
dilaporkan untung, padahal rugi. Tapi karena belum ada kasus gagal bayar, maka perusahaan
terus menjual produk JS Saving Plannya, dan alhasil memasuki tahun 2017, pendapatan premi
Jiwasraya kembali melonjak, namun beban preminya masih lebih besar, sehingga perusahaan
sejatinya kembali merugi. Tapi lagi-lagi, Jiwasraya masih membukukan laba bersih sebesar
Rp2.4 trilyun, yang salah satunya kembali pakai modus ‘keuntungan investasi yang belum
direalisasikan’ tersebut.

Hingga pada tahun 2018, terjadi pergantian direktur utama yang digantikan oleh Asmawi
Syam, demikian pula sebagian besar jajaran direksi diisi oleh orang-orang baru, dan barulah
ketika itu semua rekayasa yang dilakukan oleh manajemen lama terkuak. Dimulai dari
ditemukannya kejanggalan laporan keuangan untuk tahun 2017, sehingga terkuak dari laporan
audit bahwa labanya bukan Rp2.4 trilyun melainkan hanya Rp360 milyar, dan itupun masih
termasuk ‘keuntungan investasi’ sekitar Rp3 trilyun. Setelah itu, manajemen baru Jiwasraya juga
merombak total cara kerja perusahaan, dimana tidak ada lagi aksi goreng saham dll. Sayangnya
pada tahun 2018 ini, kondisi pasar memburuk dimana IHSG sempat anjlok dari 6,600 hingga
5,600, dan khususnya tiga saham diatas yang dipegang oleh Jiwasraya terus menurun sampai saat
ini dan belum lagi kerugian karena penurunan saham-saham yang dipegang melalui reksadana.
Alhasil, Jiwasraya kesulitan likuiditas termasuk tidak bisa bayar polis yang jatuh tempo ke
nasabah.

Pada Oktober 2018, Jiwasraya untuk pertama kalinya mengumumkan penundaan


pembayaran polis kepada nasabahnya, dan efek domino-nya langsung terasa, para nasabah
berhenti membayar premi, dan Jiwasraya kesulitan memperoleh nasabah baru karena nama
produknya sudah jelek. Imbasnya, pendapatan premi perusahaan anjlok. Dan setelah ditambah
kerugian investasi yang gila-gilaan karena saham SMBR dll juga anjlok, kali ini tidak ada lagi
manipulasi ‘keuntungan investasi yang belum direalisasikan’ atau semacamnya, maka Jiwasraya
tanpa ampun langsung mencatat rugi Rp15.9 trilyun di tahun 2018.

Lalu memasuki tahun 2019, kondisi bukannya membaik tapi malah tambah parah, dimana
ada banyak reksadana yang jatuh dan hancur gara-gara main saham IPO gorengan, dan Jiwasraya
juga ikut memegang unit-unit reksadana tersebut. Dan bahkan menurut dirut perusahan, Mr.
Hexana yang menggantikan Mr. Asamawi, aset Jiwasraya sekarang ini tinggal Rp2 trilyun saja,
hanya saja belum tercantum di laporan keuangan. Sejak awal, inovasi manajemen Jiwasraya
dengan membuat produk unitlink yang berani menjanjikan bunga fix yang lebih besar dibanding
bunga deposito, itu sudah salah, dan dari OJK sendiri jelas ada peraturan bahwa perusahaan
keuangan dilarang menjanjikan keuntungan fix sekian persen kepada nasabahnya. Namun
sayangnya untuk Jiwasraya ini, pihak otoritas boleh dibilang terlambat bertindak.

Secara garis besar berikut kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Jiwasraya :

1. Ada dugaan kesalahan pembentukan harga produk atau investasi atas JS Saving Plan
Jiwasaraya tersebut alias mispricing. 
Mispricing  adalah kondisi  harga saham dinilai overvalue atau undervalue dari nilai
wajarnya. Implikasinya, jika saham dinilai overvalue dari nilai wajarnya, maka
perusahaan akan mengeluarkan saham baru. Sebaliknya, jika saham
dinilai undervalue dari nilai wajarnya, maka perusahaan cenderung akan menerbitkan
utang dan membeli kembali sahamnya.Dengan guaranted return 9%-13%, lebih tinggi
dari pertumbuhan IHSG dan yield obligasi serta dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya
terus terkena risiko pasar. Imbal hasil dari obligasi korporasi dengan rating singleA (idA)
hingga tripleA (AAA) berkisar  8%-9,5% per tahun. Adapun sepanjang tahun 2018,
kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya 2,3%.
2. Manajemen Jiwasraya diduga lemah dalam menjalankan prinsip kehati-hatian dalam
berinvestasi.
3. Rekayasa harga saham (window dressing).
Jiwasraya diduga merekayasa harga saham antara lain dengan jual-beli saham
dengan dressing reksadana. Modusnya, dengan saham yang harganya kemahalan
atau overprice dibeli oleh Jiwasraya, kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga
perolehan) kepada perusahaan manajer investasi (MI) untuk kemudian dibeli kembali
oleh Jiwasraya. Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dominan pada
saham dan reksa dana saham yang underlying asset-nya sama dengan portofolio saham
langsung.
4. Tekanan likuiditas produk Saving Plan Jiwasraya karena penurunan kepercayaan nasabah
terhadap produk Saving Plan menyebabkan penurunan penjualan produk ini.
Tidak adanya aset dan pencadangan aset yang cukup untuk memenuhi kewajiban
membuat terjadi gagal bayar polis JS Saving Plan senilai Rop 12,4 triliun di Desember
2019. Penurunan kepercayaan nasabah membuat  klaim atau lapse rate secara signifikan
meningkat ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal tersebut menyebabkan tekanan
likuiditas pada Jiwasraya.
Efeknya, perolehan premi menurun tajam, pendapatan investasi Jiwasaraya menurun.
Dengan klaim yang terus naik membuat terjadi krisis likuiditas di Jiwasraya. Juni 2019, 
ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp 20,2 triliun dan rasio kecukupan modal atau risk
based capital (RBC) Jiwasraya minus hingga 664,4% . Jika merujuk surat menyurat
Menteri BUMN dengan manajemen asuransi Jiwasraya saat itu, Menteri BUMN
menyetujui aksi korporasi Jiwasraya berupa transaksi repo atas aset investasi Jiwasraya
berupa surat berharga pemerintah dan korporasi dengan indikatif proceed  sekitar Rp 1,38
triliun (repo BRI) dan Rp 379 miliar (repo BTN).
Lalu, Jiwasraya melakukan penarikan fasilitas kredit BNI beragunan aset perusahaan atau
Jiwasraya berupa surat berharga pemerintah dan korporasi dengan nilai Rp 242,3 miliar.
Tak hanya itu, Menteri BUMN juga menyetujui penarikan fasilitas kredit oleh Jiwasraya
dari BTN dengan jaminan aset surat berharga senilai Rp 200 miliar untuk pemenuhan
kewajiban jatuh tempo polis. Menteri BUMN juga menyetujui aksi korporasi Jiwasraya
dengan penarikan fasilitas kredit jangka pendek BRI dengan plafon maksimal Rp 400
miliar fasilitasi settlement pada saat roll over transaksi repo BRI serta menyetujui
penerbitan MTN senilai Rp 500 miliar.
2.3 Penyebab Terkuaknya Kasus Jiwasraya

Kasus Jiwasraya terungkap pertama kali dari laporan nasabahnya pada tahun 2018 karena
Jiwasraya melakukan penundaan pembayaran kewajiban polis yang telah jatuh tempo.
Perusahaan menyampaikan alasan terkait penundaan pembayaran kewajiban polis tersebut. Ia
menyebutkan bahwa adanya masalah kesulitan likuiditas yang menyebabkan perusahaan tersebut
terlambat membayar kewajiban polisnya. Hal ini terjadi pada produk bancassurance dan nilainya
mencapai 802miliar rupiah. Terdapat tujuh bank yang memasarkan produk bancassurance yang
diketahui dengan nama JS Proteksi Plan Jiwasraya tersebut yaitu, PT Bank Tabungan Negara
Tbk (BTN), Standard Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ,
Bank QNB Indonesia, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Jiwasraya memberikan tingkat
pengembaliannya dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi.
Dan dana tersebut kemudian diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang
berkualitas rendah.

Selain pengungkapan atas laporan nasabah tersebut ada fakta lain yang menyebabkan
terungkapnya kasus jiwasraya ini yaitu laporan Direktur Utama Jiwasraya yang baru dilantik
pada saat itu, Asmawi Syam. Menurut dugaannya ada ktidakseimbangan antara asset dengan
kewajiban karena penempatan investasi. Kemudian Kementerian meminta audit investigasi
kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Hal tersebut didasarkan pada fakta jika laporan keuangan unaudited Jiwasraya non
konsolidasi pada tahun 2017 mencatat laba bersih senilai Rp 2,4 triliun. Namun setelah
dilakukan audit ulang, ternyata laba bersih yang direvisi berbeda sangat signifikan menjadi Rp
360 miliar. Jika melihat kinerja keuangan Jiwasraya pada tahun 2017, Jiwasraya memang berada
pada kondisi yang sangat tertekan. Hal ini terlihat pada laba bersih perusahaan yang anjlok
98.46% menjadi 328.43miliar sedangkan pada tahun sebelumnya laba jiwasraya tercatat sebesar
2.14 triliun. Hingga tahun ini, keuangan Jiwasraya tak kunjung membaik. Untuk itu, OJK
mengeluarkan izin pembentukan anak usaha Jiwasraya, Jiwasraya Putra, demi menyehatkan
induknya. Direktur Utama Jiwasraya menyatakan perusahaan butuh modal Rp 32,89 triliun untuk
memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko sebesar 120 persen. Sementara, aset
perusahaan tercatat senilai Rp 23,26 triliun, tapi kewajibannya mencapai angka Rp 50,5 triliun.
Ekuitas negatif Rp 27,24 dan liabilitas produk JS Saving Plan mencapai Rp 15,75 triliun hingga
sekarang.

Pengungkapan lainnya terjadi pada akun revaluasi asset Jiwasraya. Pada tahun 2013 direksi
Jiwasraya menyampaikan alternatif penyehatan berupa penilaian kembali aset tanah dan
bangunan sesuai dengan standar akuntansi keuangan konvergen IFRS (nilai buku Rp 278,2
miliar), direvaluasi menjadi Rp 6,56 triliun dan mencatatkan laba sebesar Rp 457,2 miliar. Tetapi
berdasarkan audit BPK pada tahun 2015 menunjukkan bahwa ada penyalahgunaan wewenang
perusahaan dimana laporan asset investasi keuangan melebihi realita dan kewajiban dibawah
nilai yang sebenarnya.

2.4 PSAK yang berkaitan dengan permasalahan Jiwasraya


1. PSAK 62
Standar akuntansi yang mengatur kontrak asuransi yang saat ini berlaku adalah PSAK 62.
Kontrak Asuransi: merupakan standar interim. Standar ini memperkenankan entitas untuk
menggunakan beragam praktik akuntansi untuk kontrak asuransi. Perbedaan dalam
perlakuan akuntansi antar yurisdiksi dan produk menyebabkan investor dan analis
kesulitan untuk memahami dan membandingkan laporan keuangan perusahaan asuransi.
Sebagian besar pemangku kepentingan, termasuk perusahaan asuransi, menyepakati
perlunya standar akuntansi yang mengatur kontrak asuransi yang bersifat global sehingga
dapat meningkatkan keterbandingan laporan keuangan perusahaan asuransi antar
yurisdiksi dan keberagaman produk maupun dengan industri lainnya.
2. DE PSAK 74
Kontrak Asuransi mensyaratkan entitas untuk mengidentifikasi portofolio kontrak
asuransi. Portofolio tersebut terdiri dari kontrak yang memiliki risiko serupa dan dikelola
bersama. Entitas membagi portofolio kontrak asuransi terbitan (insurance contracts
issued) minimal menjadi kelompok kontrak yang merugi (onerous) pada saat pengakuan
awal, kelompok kontrak yang pada saat pengakuan awal tidak memiliki kemungkinan
signifikan untuk selanjutnya menjadi kontrak yang merugi, dan kelompok kontrak tersisa
dalam portofolio.
DE PSAK 74: Kontrak Asuransi mengatur bahwa kelompok kontrak asuransi diukur pada
nilai total atas arus kas pemenuhan (fulfillment cash flows) dan marjin jasa kontraktual
(contractual service margin). Arus kas pemenuhan meliputi estimasi atas arus kas masa
depan danpenyesuaian untuk merefleksikan nilai waktu atas uang dan risiko keuangan
terkait arus kas masa depan, serta penyesuaian risiko nonkeuangan. Pendekatan ini
dimodifikasi untuk mengukur kelompok kontrak reasuransi milikan (reinsurance
contracts held) dan kelompok kontrak asuransi dengan fitur partisipasi diskresioner
(insurance contracts with discretionary participation feature). Namun entitas dapat
menggunakan pendekatan alokasi premi (premium allocation approach) untuk
pengukuran kontrak asuransi jika kontrak memenuhi kriteria tertentu.
DE PSAK 74: Kontrak Asuransi mengatur entitas untuk menyajikan secara terpisah
dalam laporan posisi keuangan jumlah tercatat kelompok berikut:
(a) Kontrak asuransi terbitan yang merupakan aset;
(b) Kontrak asuransi terbitan yang merupakan liabilitas;
(c) Kontrak reasuransi milikan yang merupakan aset; dan
(d) Kontrak reasuransi milikan yang merupakan liabilitas.
DE PSAK 74: Kontrak Asuransi mensyaratkan entitas memisahkan jumlah yang diakui
dalam laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain ke dalam hasil jasa asuransi
yang terdiri dari pendapatan asuransi dan beban jasa asuransi, dan penghasilan atau beban
keuangan asuransi. Pendapatan asuransi dan beban jasa asuransi yang disajikan dalam
laba rugi tidak memasukkan komponen investasi apapun. Pendapatan asuransi merupakan
total dari perubahan dalam liabilitas atas sisa masa pertanggungan dalam periode yang
berkaitan dengan jasa yang atasnya entitas mengharapkan untuk menerima pembayaran.
DE PSAK 74: Kontrak Asuransi diusulkan untuk berlaku efektif per 1 Januari
2022 dengan opsi penerapan dini diperkenankan. DE PSAK 74 akan menggantikan
PSAK 62: Kontrak Asuransi
Sejauh ini, indikasinya adalah kesalahan dalam pengelolaan investasi. Mayoritas dana
kelolaan diinvestasikan dalam bentuk sekuritas (efek) di pasar modal. Persoalannya, pasar modal
tengah lesu sehingga harga efek turun sehingga tidak bisa segera dilepas untuk memenuhi
kebutuhan likuiditas. Disisi lain masih banyak yang belum jelas dalam kasus tunda bayar
Jiwasraya semisal siapa manager investasi , sekuritas dan kustodian. Kedepan dalam jangka
pendek dan menengah ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan Jiwasraya  dalam tahap yang
bisa disebut rekonstruksi dan rehabilitasi setelah melalui tahap tanggap darurat diatas.
Pertama, menghentikan produk saving plan untuk sementara. Menata kembali struktur
biaya, margin bersih, fitur yang ditawarkan dan koordinasi yang lebih baik antara pemasaran,
aktuaris dan investasi. Dibentuk semacam  Asset Liability Committee (ALCO)  seperti halnya
bank.   Kedua, memisahkan pencatatan pendapatan premi yang murni proteksi dengan produk
asuransi  yang dikaitkan  dengan investasi
Ketentuan di dalam IFRS (International Financial Reporting Standards) mengharuskan
laporan keuangan perusahaan asuransi memisahkan transaksi premi proteksi dan premi investasi.
Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia
melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi
laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah
dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca
atau pengguna lain.
Ketiga, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh perjanjian bancassurance .
Memastikan tidak ada komitmen licence fee atau up front fee yang bersifat tetap serta
menyusun exit plan  bila kerjasama bancassurance  harus diakhiri .
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesmpulan
Perusahaan Jiwasraya merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang perasuransian
jiwa yang Bermula dari NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente
Maatschappij van 1859, tanggal 31 Desember 1859. Perusahaan asuransi Jiwasraya menjual
produk JS Saving Plan dengan bunga fix, dimana sejak awal produk JS Saving Plan sudah
berisiko merugikan Jiwasraya karena kegiatan investasi yang dilakukan tidak membuahkan profit
seperti yang diharapkan. Dan semakin besar pendapatan premi yang diperoleh perusahaan,
maka semakin besar pula risiko terjadinya kerugian tersebut.  Kasus Jiwasraya terungkap
pertama kali dari laporan nasabah pada tahun 2018, nasabah tersebut melapor karena Jiwasraya
melakukan penundaan pembayaran kewajiban polis yang telah jatuh tempo, dan terkuaknya
kejanggalan yang terjadi pada asuransi Jiwasraya yang terlihat pada Laporan Keuangan tahun
2017, yang mencantumkan laba sebesar 2.4 Triliun yang seharusnya laba sebesar 328 Triliun
yang disebabkan karena manajemen lama membuat premi lebih kecil, dan terkuak kabar bahwa
ternyata perusahaan Jiwasraya melakukan penanaman modal pada saham gorengan.

3.2 Saran
Sebagai peusahaan BUMN, sebaiknya perusahaan asuransi Jiwasraya lebih mengutamakan
transparansi dalam melaporkan keuangannya, sehingga masyarakat lebih cekatan dalam
mengambil keputusan.
DAFTAR PUSTAKA

https://keuangan.kontan.co.id/news/tabir-investasi-jiwasraya-terbuka-dari-modus-mispricing-
sampai-window-dressing?page=all

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200108155950-78-463524/jiwasraya-dari-salah-
investasi-hingga-gagal-bayar-rp124-t

https://www.cnbcindonesia.com/market/20191115114506-17-115525/total-utang-rp-40-t-
benarkah-kasus-jiwasraya-seseram-ini

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4143520/kronologi-masalah-jiwasraya-versi-ojk

https://money.kompas.com/read/2020/01/09/063000926/simak-ini-kronologi-lengkap-kasus-
jiwasraya-versi-bpk?page=all.

https://analisis.kontan.co.id/news/setelah-jiwasraya-membayar-bunga-bancasassurance

Anda mungkin juga menyukai