Anda di halaman 1dari 28

PEMANFAATAN SEMUT RANGRANG (Oecophylla

smaragdina) SEBAGAI PENGENDALI HAYATI TANAMAN


YANG TERSERANG HAMA

SEMINAR WAJIB

Theodorus H. Tambuwun
NIM: 201331002

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
2016
PEMANFAATAN SEMUT RANGRANG (Oecophylla
smaragdina) SEBAGAI PENGENDALI HAYATI TANAMAN
YANG TERSERANG HAMA

SEMINAR WAJIB

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Akademik


Penyelesaian Studi di FMIPA-UKIT

Theodorus H. Tambuwun
NIM: 201331002

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Pemanfaatan Semut Rangrang (Oecophylla


smaragdina) Sebagai Pengendali Hayati
Tanaman Yang Terserang Hama
Nama Mahasiswa : Theodorus H. Tambuwun
Nomor Pokok Mahasiswa : 201331002

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Joke L. Tombuku,S.Si.,M.Si Ferdy A. Karauwan,S.Si.,M.Si


NIDN: 091606502 NIDN: 0919027401

Dekan, Ketua Program Studi,

Joke L. Tombuku,S.Si.,M.Si DR. Hariyadi,S.Si.,M.Si


NIDN: 091606502 NIDN: 0920126803

Tanggal Seminar: 1 Desember 2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur patut saya panjatkan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan tuntunan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Pemanfaatan Semut Rangrang (Oecophylla
smaragdina) Sebagai Pengendali Hayati Tanaman yang Terserang
Hama”.
Terwujudnya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak
yang telah mendorong dan membimbing serta membantu baik lewat
tenaga,ide-ide, maupun pemikiran. Semoga segala bantuan yang telah
diberikan kepada akan mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan
Yesus Kristus.
Dalam pembuatan makalah ini saya merasa masih terdapat banyak
kekurangan mengingat akan pengetahuan yang saya miliki. Karena itu,
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Tuhan Yesus memberkati.

Tomohon, November 2016


Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan........................................................................3
1.3. Manfaat Penulisan......................................................................3
1.3.1. Manfaat Teoritis................................................................3
1.3.2. Manfaat Praktis.................................................................3
1.4. Metode Penulisan.......................................................................3

BAB II SEMUT RANGRANG SEBAGAI PENGENDALI HAYATI TANAMAN


YANG TERSERANG HAMA.............................................................4
2.1. Deskripsi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)...............4
2.1.1. Klasifikasi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)....4
2.1.2. Morfologi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina).....4
2.1.3. Siklus Hidup Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) 5
2.1.4. Aktifitas Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina).......6
2.1.5. Manfaat Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina).......7
2.2. Hama..........................................................................................8
2.2.1. Deskripsi Hama.................................................................8
2.2.2. Jenis-Jenis Hama.............................................................8
2.3. Pengendalian Hayati................................................................11
2.3.1. Komponen-Komponen Pengendalian Hayati.................11
2.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian Hayati.........13
2.3.3. Penerapan Pengendalian Hayati....................................14
2.3.4. Kelebihan dan Kekurangan Pengendalian Hayati..........14

BAB III. PEMBAHASAN.............................................................................16

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................19


4.1. Kesimpulan...............................................................................19
4.2. Saran........................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................20

iii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada umumnya pengendalian hama pada tanaman budidaya masih
menggunakan insektisida kimiawi. Penggunaan insektisida kimiawi yang
tidak tepat akan membawa dampak yang buruk, lebih merugikan
dibanding manfaat yang dihasilkan, antara lain dapat menyebabkan
timbulnya resistensi hama, munculnya hama sekunder, pencemaran
lingkungan dan ditolaknya produk karena masalah residu yang melebihi
ambang batas toleransi. Penggunaan insektisida kimiawi secara intensif
juga dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan terkait dengan
kerusakan ekosistem lahan pertanian, terganggunya eksistensi flora dan
fauna di sekitar lahan pertanian dan kesehatan petani (Regnault dan
Roger, 2005). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa
setiap tahun di seluruh dunia terjadi keracunan pestisida yang jumlahnya
berkisar antara 44.000-2.000.000 orang dan dari angka tersebut yang
terbanyak terjadi di negara berkembang (Sintia, 2006).
Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dilakukan
pembenahan cara budidaya tanaman yang lebih berwawasan lingkungan
termasuk dalam pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
UU no. 12 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah no. 6 tahun 1995,
menyatakan bahwa kegiatan penanganan OPT merupakan tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat dengan menerapkan sistem
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT atau yang dikenal juga dengan
Integrated Post Management (IPM) merupakan suatu konsep atau
paradigma yang dinamis yang selalu menyesuaikan dengan dinamika
ekosistem pertanian dan sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
setempat. PHT mendorong kemandirian dan keberdayaan dalam
pengambilan keputusan daripada ketergantungan terhadap pihak-pihak
lain (Untung, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka petani yang
berhubungan langsung dengan kegiatan pertanian tersebut diharapkan
dapat berperan sebagai manager di kebunnya sendiri yang mampu

1
mengambil keputusan dan melakukan tindakan untuk mengatasi masalah
OPT.
Salah satu hewan yang bisa dimanfaaatkan sebagai indikator
hayati, yaitu semut. Semut merupakan salah satu kelompok serangga
yang keberadaannya sangat umum dan hampir menyebar luas, paling
suskes dari kelompok serangga, terdapat dimanamana di habitat
teresterial dan jumlahnya melebihi hewanhewan darat lainnya.
Keberadaannya dimulai dari kutub sampai tropis dan daerah peisisir
sampai pegunungan (Borror, Triplehorn dan Johnson, 1992). Semut juga
dapat berperan sebagai alat monitoring perubahan kualitas lingkungan
dan penentuan kawasan konservasi. Hal ini didukung oleh beberapa sifat
yang dimiliki semut, yaitu hidup diberbagai habitat, mempunyai toleransi
yang sempit terhadap perubahan lingkungan, biomassa dominan, mudah
dikoleksi, mempunyai sifat yang penting dalam ekosistem serta secara
taksonomi relative maju (Andersen, 1993); (Agosti et al.,2000).
Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) banyak digunakan
dalam mengendalikan hama pertanian. Dari beberapa penelitian yang
telah ada, banyak petani yang menggunakan semut rangrang sebagai
pengendalinya. Lim (2008) menggunakan Oecophylla smaragdina sebagai
musuh alami dalam pengendalian hama di pohon mahogani. Semut ini
mampu mengatasi hama mangga sekitar 70% pada perkebunan di
Australia (Peng dan Christian, 2005) dan 40% menurunkan hama jeruk di
Vietnam (Offenberg, 2009).
Oecophyilla smaragdina adalah semut yang dominan di hutan
terbuka mulai dari India, Australia, Cina dan Asia Tenggara, yang daun
sarangnya diselenggarakan bersamasama dengan sutra larva.
Oecophylla smaragdina telah menjadi subjek penting dalam penelitian
tentang integrasi kontrol, komunikasi, teritorial dan koloni biologis serta
pengendalian biologis pada hama pertanian atau perkebunan. Semut
Rangrang (Oecophylla smaragdina) merupakan serangga eusosial (sosial
sejati), dan kehidupan koloninya sangat tergantung pada keberadaan

2
pohon (arboreal). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin
melakukan penelitian berdasarkan studi literatur.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengendalian hayati tanaman yang terserang hama menggunakan semut
Rangrang (Oecophylla smaragdina).

1.3. Manfaat Penulisan


1.3.1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan informasi ilmiah tentang pemanfataan semut
Rangrang (Oecophylla smaragdina) sebagai pengendali hayati tanaman
yang terserang hama.
1.3.2. Manfaat Praktis
Sebagai referensi bagi mahasiswa maupun instansi terkait untuk
melakukan penelitian lebih lanjut.

1.4. Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini yaitu menggunakan metode studi
literatur.

3
BAB II
SEMUT RANGRANG SEBAGAI PENGENDALI HAYATI TANAMAN
YANG TERSERANG HAMA

2.1. Deskripsi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) termasuk serangga
dalam ordo Hymenoptera, family Formicidae. Semut ini juga disebut
sebagai serangga sosial hidup dalam suatu masyarakat yang disebut
koloni. Semut Rangrang yang kecil dengan warna coklat kemerahan dan
hijau ini terkenal dengan gigitannya yang amat menyakitkan. Gigitan
ditangan atau kaki yang terasa pedas menyengat dan gatal. Meskipun
semut Rangrang berukuran relatif kecil, namun mampu membuat
lawannya kesakitan. Hal ini karena gigitannya mengandung racun yang
dikeluarkanya mampu menyerang saraf (Yustiani, 2016).

2.1.1. Klasifikasi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


Adapun klasifikasi dari semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)
menurut Maskoery (1987), yaitu:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insekta
Order : Hymenoptera
Family : Formicidae
Genus : Oecophylla
Species : Oecophylla smaragdina

2.1.2. Morfologi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


Tubuh semut terbagi atas tiga bagian, yakni kepala, mesosoma
(dada), dan metasoma (perut). Morfologi semut cukup jelas dibandingkan
dengan serangga lain yang juga memiliki antena, kelenjar metapleural,
dan bagian perut kedua yang berhubungan ke tangkai semut membentuk
pinggang sempit (pedunkel) di antara mesosoma (bagian rongga dada

4
dan daerah perut) dan metasoma (perut yang kurang abdominal segmen
dalam petiole). Petiole yang dapat dibentuk oleh satu atau dua node
(hanya yang kedua, atau yang kedua dan ketiga abdominal segmen ini
bisa terwujud) (Bayu, 2012)

.
Gambar 1. Morfologi Semut Rangrang
(www.krotocilacap.com)

2.1.3. Siklus Hidup Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


Siklus hidup semut Rangrang dimulai dari seekor semut betina
yang sudah dikawini (haplometrosis) atau sekelompok betina yang sudah
dikawini (pleometrosis) yang ditandai dengan terbentuknya sarang baru
dan semut pekerja mulai mencari dan mengumpulkan bahan makanan
(Romi, 2015).
Seperti halnya jenis semut lainnya, semut Rangrang memiliki
struktur sosial yang terdiri atas: Ratu; betina, berukuran 2025 mm,
berwarna hijau atau coklat, bertugas untuk menelurkan bayibayi semut.
Pejantan bertugas mengawini ratu semut, dan ketika ia selesai
mengawini ratu semut ia akan mati. Pekerja betina, berukuran 56 mm,
berwarna orange dan terkadang kehijauan, bertugas mengasuh semut-
semut muda yang dihasilkan semut ratu. Prajurit; betina, berukuran 8-
10mm, umumnya berwarna oranye, memiliki kaki panjang yang kuat,
antena panjang dan rahang besar, bertugas menjaga sarang dari
gangguan pengacau, mencari dan mengumpulkan makanan untuk semua
koloninya serta membangun sarang di pohonpohon atau di daun
(Falahudin, 2012).

5
Gambar 2. Siklus Hidup Semut Rangrang
(www.gemaperta.com)

2.1.4. Aktifitas Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


Aktivitas pencarian makan dilakukan semut Rangrang hanya di
daerah teritorinya. Suhu lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh
secara langsung terhadap aktivitas pencarian makan. Semut ini mencari
makan saat suhu udara 23-30ºC, pada saat suhu udara diatas 30ºC
aktivitas pencarian makan berkurang. Aktivitas diurnal semut Rangrang
lebih besar dibandingkan dengan aktivitas nokturnalnya, yaitu antara
pukul 09.00 - 10.30 dan 15.00 - 18.00 merupakan waktu yang paling
banyak digunakan semut Rangrang untuk mencari makan, selebihnya
waktu digunakan di dalam sarang. Selain kebutuhan nutrisi, ketersediaan
makanan sekitar sarang dan tingkat pertumbuhan koloni juga
mempengaruhi aktivitas pencarian makan (Yustiani. 2016).
Semut rangrang akan berkembang biak secara maksimal pada
pohon-pohon yang tinggi yang jauh dari gangguan manusia. Pohon yang
disukai oleh semut rangrang adalah pohon yang memiliki daun lebar dan
lentur seperti pohon  mangga, mahoni, Jambu air dan lain-lain. Tidak
hanya itu, koloni semut rangrang juga akan membuat sarang untuk
bertempat tinggal dan berkembang biak dibeberapa pohon yang banyak
memiliki hama daun seperti jeruk, sirsak dan jambu mete yang akan
menjadi lumbung makanan bagi koloni semut rangrang. Hama daun yang
sangat disukai oleh koloni semut rang rang antara lain kepik, kutu perisai,
penggerek daun, dan ulat daun (Warta, 2016).

6
2.1.5. Manfaat Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)
Huang dan Yang (1987) menuliskan bahwa semut Rangrang sudah
dikenal oleh bangsa China pada tahun 304 Masehi untuk mengendalikan
hama kutu-kutuan pada tanaman jeruk. Perilaku agresif semut Rangrang
dalam mempertahankan daerah kekuasaannya barangkali menjadi salah
satu pertimbangan bagi para petani untuk menggunakannya sebagai
“penjaga” tanaman terhadap gangguan hama. Hasil kajian Van Mele dan
Truyen (2002) di Vietnam membuktikan bahwa penerapan teknologi
pengelolaan O. smaragdina yang tepat di lapangan, mampu
meningkatkan potensi mereka sebagai musuh alami seperti yang
diperlihatkan oleh Offenberg et al., (2006) bahwa semut Rangrang mampu
melindungi tanaman mangrove dari serangan kepiting Episesarma
versicolor.
Menurut Way dan Khoo (1992) semut Rangrang menjadi musuh
alami pada sekitar 16 spesies hama yang menyerang tanaman yaitu
kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, eukaliptos dan jeruk. Semut
Rangrang dikenal sebagai predator yang agresif dan aktif memburu
mangsa. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Falahudin (2012),
menyatakan bahwa semut ini efektif pada beberapa ulat diperkebunan
kelapa sawit terutama ulat api dengan kematian 83 %.
Semut juga mempunyai fungsi ekologis dalam membantu
tumbuhan untuk menyebarkan biji-bijian (dispersal), menggemburkan
tanah, dan sebagai predator atau pemangsa serangga lain (Schultz dan
McGlyinn, 2000). Selain itu, hal yang paling diharapkan dari semut yaitu
untuk membantu mengendalikan hama pertanian (Mele dan Cuc, 2004)
karena semut merupakan predator yang penting dan diprediksikan dapat
melindungi tanaman dari hama jika dapat dimengerti dan diteliti dengan
benar (Philpott dan Armbrecht, 2006). Semut Rangrang juga sangat peka
terhadap perubahan udara sehingga semut ini dapat digunakan sebagai
indikator keadaan udara di suatu lingkungan Semut Rangrang menyukai
lingkungan yang berudara bersih. Jangankan asap pabrik atau asap

7
kendaraan bermotor, asap yang berasal dari pembakaran sampah di
kebun saja dapat membuat mereka menyingkir (Fitry, 2016).

2.2. Hama
2.2.1. Deskripsi Hama
Menurut Smith (1983) hama adalah semua organisme atau agen
biotik yang merusak tanaman dengan cara yang bertentangan dengan
kepentingan manusia. Hama dalam arti luas adalah semua bentuk
gangguan baik pada manusia, ternak dan tanaman. Pengertian hama
dalam arti sempit yang berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman
adalah semua hewan yang merusak tanaman atau hasilnya yang mana
aktivitas hidupnya ini dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis.
Adanya suatu hewan dalam satu pertanaman sebelum menimbulkan
kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian ini belum termasuk
hama. Namun demikian potensi mereka sebagai hama nantinya perlu
dimonitor dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring).
Secara garis besar hewan yang dapat menjadi hama dapat dari jenis
serangga, moluska, tungau, tikus, burung, atau mamalia besar. Mungkin
di suatu daerah hewan tersebut menjadi hama, namun di daerah lain
belum tentu menjadi hama (Dadang, 2006).

2.2.2. Jenis-Jenis Hama


Menurut Wikipedia (2012) terdapat beberapa filum yang anggotanya
diketahui berpotensi sebagai hama tanaman, yaitu Aschelminthes
(nematoda), Mollusca (siput), Chordata (binatang bertulang belakang),
dan Arthropoda (serangga, tungau, dan lain-lain).
2.2.2.1. Filum Nematoda
Menurut Dropkin (1991) Nematoda berbentuk memanjang, seperti
tabung, kadang- kadang seperti kumparan, yang dapat bergerak seperti
ular. Mereka hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar, di dalam
film air, di dalam tanah, di dalam jaringan jasad hidup berair. Filum
Nematoda merupakan kelompok besar kedua setelah serangga apabila

8
didasarkan atas keanekaragaman jenisnya. Nematoda adalah
mikroorganisme yang berbentuk cacing, bentuk tubuh bilateral simetris,
dan spesiesnya bersifat parasit pada tumbuhan, berukuran sangat kecil
yaitu antara 300 – 1000 mikron, panjangnya sampai 4 mm dan lebar 15 –
35 mikron (Ivan. 2013).
Sastrosuwignyo (1990) menyatakan bahwa tidak semua anggota
Nematoda berperan sebagai hama tanaman atau bersifat parasit, namun
ada juga yang bersifat saprofag yang tidak merugikan tanaman.
Nematoda yang menyebabkan kerusakan pada tanaman hampir
semuanya hidup didalam tanah, baik yang hidup bebas didalam tanah
bagian luar akar dan batang didalam tanah bahkan ada beberapa parasit
yang hidupnya bersifat menetap didalam akar dan batang (Ivan, 2013).
Meloidogyne spp. merupakan salah satu nematoda parasit pada
tanaman. Nematoda ini memiliki jangkauan inang yang sangat beragam,
sehingga dapat ditemukan pada beberapa tanaman penting pertanian.
Kerugian yang telah ditimbulkan oleh nematoda ini sangat besar, banyak
hasil tanaman pertanian rusak, mati, dan hasil panen menurun drastis
(Ivan, 2013).

2.2.2.2. Filum Mollusca (Siput)


Menurut Rhidayanti (2014) Kelas Gastropoda merupakan salah
satu kelas anggota filum Mollusca yang banyak berperan sebagai hama
tanaman. Tubuh anggota kelas Gastropoda ada yang dilindungi oleh
cangkang (shell), adapula yang tidak. Sebagai contoh yaitu bekicot
(Achatina fullica Bowd.), Semperula maculata, siput bugil (Parmarion
pupillaris Humb.), dan Sumpil (Lamellaxis gracilis Hutt.).

2.2.2.3. Filum Chordata (Hewan Bertulang Belakang)


Menurut Rhidayanti (2014) filum Chordata mempunyai banyak
anggota, namun tidak semuanya berperan sebagai hama tanaman.
Anggota filum ini yang banyak berperan sebagai hama adalah Kelas
Mamalia (hewan menyusui) dan kelas Aves (burung).

9
Menurut Mersy (2012) hama dari kelas mamalia terdiri dari ordo
Rodentia (binatang mengerat) yang merupakan ordo paling merugikan,
misalnya tupai (Callosciurus notatus) dan tikus sawah (Rattus rattus
argentiventer). Disamping itu kelelawar, musang, landak, dan satwa liar
seperti gajah, kera, babi hutan, rusa, dan beruang juga dapat berperan
sebagai hama yang merugikan. Sedangkan dari kelas aves yang berperan
sebagai hama misalnya burung pipit (Lonchura leucogastroides)

2.2.2.4. Filum Arthropoda


Sebagian besar hama tanaman yang kita kenal merupakan anggota
filum Arthropoda. Filum ini mempunyai ciri yang sangat khas yaitu :tubuh
terbagi menjadi 2 atau 3 bagian, tubuh dan kaki beruas-ruas, alat
tambahan beruas-ruas dan berpasangan, dinding tubuh bagian luar
berupa skeleton yang secara periodik dilepas dan diperbaiki/diganti
(Mersy, 2012). Menurut Ananda (1983) anggota filum Arthropoda yang
berperan sebagai hama berasal dari Kelas Arachnida dan Insekta
(serangga).
Anggota kelas Arachnida ada yang berperan sebagai hama
tanaman, dan adapula yang berperan sebagai predator hama tanaman.
Salah satu contoh jenis yang berperan sebagai hama tanaman adalah
tungau merah (Tetranichus bimaculatus) yang menyerang tanaman ketela
pohon terutama pada musim kemarau. Gejala yang ditimbulkannya
berupa bercak-bercak kekuningan, karena cairan sel daun diisapnya.
Daun ini akhirnya kering dan rontok. Contoh yang berperan sebagai
predator adalah laba-laba (Ananda, 1983).
Menurut Mersy (2012) anggota kelas Insekta juga ada yang berperan
sebagai hama tanaman dan adapula yang berperan sebagai predator
hama tanaman. Salah satu contoh jenis yang berperan sebagai hama
tanaman adalah kutu daun (Aphis sp.) yang menyerang tanaman dengan
cara menyerang tunas dan daun muda kemudian menghisap cairan
tanaman sehingga helaian daun menggulung (Lutfi, 2012).

10
2.3. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah manipulasi secara langsung dan
sengaja menggunakan musuh alami, pesaing organisme pengganggu,
seluruhnya atau sebagian, atau sumberdaya yang diperlukan oleh agensi
hayati untuk pengendalian organisme pengganggu atau dampak
negatifnya (Tampubolon, 2004).
Sedangkan DeBach (1964) lebih lanjut memperbaiki istilah
pengendalian hayati dan membedakan antara pengendalian alami dari
pengendalian hayati. Pengendalian alami ialah proses pengaturan
kepadatan populasi suatu organisme yang berfluktuasi di antara batas
bawah dan batas atas populasi selama kurun waktu tertentu oleh
pengaruh faktor-faktor lingkungan abiotik atau biotik. Pengendalian hayati
(dari pandangan ekologis) ialah “aksi parasitoid, predator dan patogen”
dalam pemeliharaan kepadatan populasi organisme lain pada suatu rata-
rata populasi yang lebih rendah daripada yang akan terjadi jika musuh
alami tersebut tidak ada.
Musuh alami yang berupa parasitoid, predator dan patogen dikenal
sebagai faktor pengatur dan pengendali populasi serangga yang efektif
karena sifat pengaturannya yang tergantung kepadatan populasi inang
atau mangsa. Peningkatan populasi inang akan ditanggapi secara
numerik (respon numerik) dengan meningkatkan jumlah predator dan
secara fungsional (respon fungsional) dengan meningkatkan daya makan
per musuh alami (Ardiawan, 2010).

2.3.1. Komponen-Komponen Pengendalian Hayati


Menurut Habibi (2012) komponen-komponen pengendalian hayati
terbagi menjadi 3, yaitu:
2.3.1.1. Parasit
Parasit adalah binatang atau organisme yang hidup didalam atau
pada organisme lain yang lebih besar yang merupakan inangnya. Karena
memakan atau menghisap cairan inangnya (Habibi, 2012).

11
Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga lain. Pada
parasitoid yang bertindak sebagai parasit adalah stadia pradewasa,
sedangkan imagonya hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya
(Habibi, 2012).
Adapun faktor-faktor yang mendukung efektivitas pengendalian
dengan parasitoid, yaitu:
1. Daya kelangsungan hidupnya baik.
2. Hanya satu atau sedikit individu inang yang diperlukan untuk
melengkapi siklus hidupnya.
3. Populasi parasitoid dapat bertahan meskipun dalam keadaan populasi
yang rendah.
4. Memiliki inang yang sempit (Habibi, 2012).

Selain memiliki keuntungan,parasitoid sebagai pengendali juga


memiliki kelemahan, yaitu:
1. Daya cari inang seringkali dipengaruhi oleh cuaca
2. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang
melakukan pencarian inang untuk  peletakan telur.
3. Parasitoid yang memiliki daya cari inang biasanya jumlah telurnya
sedikit (Habibi, 2012).

2.3.1.2. Predator
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan
memakan atau memangsa organisme yang lain. Predator berbeda dengan
parasitoid. Perbedaan antara parasitoid dengan predator, yaitu:
1. Parasitoid umumnya nersifat monofag atau oligofag, sedangkan
predator bersifat poliphag.
2. Parasitoid hanya memerlukan satu inang untuk perkembangannya,
sedangkan predator memerlukan banyak mangsa untuk
menyelesaikan siklus hidupnya.
3. Yang mencari inang pada parasitoid adalah imago betina, sedangkan
pada predator yang mencari mangsa adalah jantan dan betina, juga
pradewasanya.

12
4. Predator mematikan mangsa untuk dirinya, sedangkan parasitoid
mematikan inang untuk keturunannya.
5. Parasitoid ukuran tunuhnya lebih kecil dibanding inangnya, predator
ukuran tubuhnya lebih besar dari mangsanya.
6. Metamorfosis parasitoid adalah sempurna, sedangkan predator ada
yang sempurna dan tidak sempurna.
7. Parasitoid memarasit inangya pada stadia tertentu, misalnya larva.
Sedangkan predator memangsa semua stadia perkembangan
mangsanya.
8. Parasitoid mematikan inangya memerlukan waktu yang agak lama,
predator mematikan mangsanya dalam waktu yang singkat (Habibi,
2012).
2.3.1.3. Patogen
Serangga seperti juga organisme lainnya dalam hidupnya juga
diserang oleh banyak patogen atau penyakit yang disebabkan olehn virus,
cendawan, bakteri, nematoda, dan  protozoa (Habibi, 2012).
Beberapa patogen yang dalam kondisi lingkungan tertentu
merupakan faktor mortalitas utama pada populasi serangga. Oleh karena
kemampuannya membunuh serangga hama sehingga sejak lama patogen
digunakan dalam pengendlian hayati (Habibi, 2012)

2.3.2. Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian Hayati


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian hayati
menurut Apriastika (2012), yaitu:
1. Lingkungan
2. Kemampuan musuh alami bertahan hidup pada suatu lingkungan.
3. Tingkat perkembangan musuh alami

2.3.3. Penerapan Pengendalian Hayati


2.3.3.1. Introduksi
Introduksi artinya memasukkan atau mengimpor musuh alami dari
suatu daerah atau negeri ke   daerah lain sering kali cara ini disebut

13
sebagai cara klasik. Contoh : Introduksi Tetrastichus brontispae untuk
mengendalikan Brontispa longissima dari pulau Jawa ke  Sulawesi
Selatan. Introduksi Curinus coreolius dari Hawaii untuk mengendalikan
Heteropsylla cubana (kutu loncat) di Indonesia (Habibi, 2012).

2.3.3.2. Augmentasi
Augmentasi merupakan teknik penambahan musuh alami secara
periodik dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah dan pengaruh musuh
alami (Habibi, 2012).

2.3.3.3. Konservasi
Konservasi merupakan usaha untuk mempertahankan atau
melestrarikan musuh lami yang telah ada di suatu daerah . teknik ini
bertujuan untuk menghindarkan tindakan yang dapat menurunkan
populasi musuh alami (Habibi, 2012).

2.3.4. Kelebihan dan Kekurangan Pengendalian Hayati


Dalam penerapannya, pengendalian hayati memiliki kelebihan dan
kekurangan. Keuntungan pengendalian hayati sendiri yaitu: (a) Selektifitas
yang tinggi, agens hayati hanya membunuh OPT dan tidak membunuh
organisme non OPT ataupun musuh alami. Dengan demikian tidak akan
terjadi resurgensi atau ledakan OPT sekunder, (b) Faktor pengendali
(agens) yang digunakan tersedia di lapangan, (c) Agens hayati (parasitoid
dan predator) dapat mencari sendiri inang atau mangsanya, (d) Agens
hayati (parasitoid, predator, dan patogen) dapat berkembangbiak dan
menyebar, (e) Tidak menimbulkan resistensi terhadap serangga
inang/mangsa ataupun kalau terjadi, sangat lambat, (f) Pengendalian ini
dapat berjalan dengan sendirinya karena sifat agens hayati tersebut, (g)
Tidak ada pengaruh samping yang buruk seperti pada penggunaan
pestisida, (h) Ramah lingkungan (tidak merusak ekosistem pada suatu
lingkungan pertanian), (i) Efisiensi tenaga dan biaya (Steka, 1975 dalam
Mudjiono, 1994).

14
Jumar (2000) menambahkan beberapa keuntungan dari
pengendalian hayati yaitu: (1) Aman artinya tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, (2)
tidak menyebabkan resistensi hama, (3) Musuh alami bekerja secara
selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4) Bersifat permanen
untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan
telah setabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh
alaminya.
Selain memiliki kelebihan, pengendalian secara hayati juga memiliki
kelemahan, yaitu: (a) Pengendalian terhadap OPT berjalan lambat, (b)
Hasilnya tidak dapat diramalkan, (c) Sukar untuk pengembangan dan
penggunaannya, (d) Dalam pelaksanaannya pengendalian hayati
memerlukan pengawasan untuk mengetahui tingkat keberhasilannya.
Pengembangan pengendalian hayati perlu dilakukan pengawalan dengan
teknologi aplikasi yang tepat agar keberhasilannya dapat terlihat dengan
nyata (Steka, 1975 dalam Mudjiono, 1994).

15
BAB III. PEMBAHASAN

Semut Rangrang (Oecophylla Smaragdina) termasuk serangga


dalam ordo Hymenoptera, family Formicidae. Semut Rangrang
(Oecophyilla smaragdina) adalah semut yang dominan di hutan terbuka
mulai dari India, Australia, Cina dan Asia Tenggara. Tubuh semut terbagi
atas tiga bagian, yakni kepala, mesosoma (dada), dan metasoma (perut).
Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) merupakan serangga eusosial
(sosial sejati), dan kehidupan koloninya sangat tergantung pada
keberadaan pohon (arboreal). Semut rangrang akan berkembang biak
secara maksimal pada pohon-pohon yang tinggi yang jauh dari gangguan
manusia. Pohon yang disukai oleh semut rangrang adalah pohon yang
memiliki daun lebar dan lentur seperti pohon mangga, mahoni, Jambu air
dan lain-lain. Koloni semut rangrang juga akan membuat sarang untuk
bertempat tinggal dan berkembang biak dibeberapa pohon yang banyak
memiliki hama daun seperti jeruk, sirsak dan jambu mete karena hama
hama daun tersebut akan menjadi lumbung makanan bagi koloni semut
rangrang. Hama daun yang sangat disukai oleh koloni semut rang rang
antara lain kepik, kutu perisai, penggerek daun, dan ulat daun. Semut
Rangrang membuat sarang yang terbuat dari lembar-lembar daun yang
mula-mula saling direkatkan oleh semut-semut pekerja, kemudian
diperkuat dengan sutra yang dikeluarkan oleh larvanya.
Meskipun tidak memiliki sengat, semut Rangrang juga terkenal
gigitannya yang terasa pedas, karena racun yang dikeluarkannya mampu
menyerang saraf. Ukuran tubuh semut ini besar memanjang, berwarna
coklat kemerahan atau hijau. Semut ini merupakan serangga sosial, hidup
dalam suatu masyarakat yang disebut koloni. Selain sistem koloninya
yang solid dan kemampuannya menenun sarang, semut Rangrang pun
terkenal sangat kuat. Semut Rangrang mampu mengangkat beban 100
kali lipat dari berat badannya bahkan dalam kondisi terbalik di permukaan
yang licin sekalipun. Sebagai serangga sosial, semut Rangrang
melakukan semua aktivitasnya secara bersama-sama, antara lain

16
penjelajahan wilayah, pengamanan koloni dari predator dan musuh,
pencarian makan, dan pembuatan sarang. Siklus hidup semut Rangrang
atau terbentuknya koloni adalah dimulai dari seekor semut betina yang
sudah dikawini (haplometrosis) atau sekelompok betina yang sudah
dikawini (pleometrosis).
Semut Rangrang yang bersifat predator dan agresif ini sering
digunakan sebagai biokontrol agen pengendali hama pada perkebunan
tropis untuk meningkatkan produksi tanaman, seperti yang dilakukan
petani mete di Australia dan petani kakao di Vietnam. Perilaku agresif
semut Rangrang dalam mempertahankan daerah kekuasaannya menjadi
salah satu pertimbangan bagi para petani untuk menggunakannya
sebagai “penjaga” tanaman terhadap gangguan hama, karrna semut rang-
rang dapat mengganggu, menghalangi atau memangsa berbagai jenis
hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun, serangga, pohon-pohon
kayu dan dapat menghalangi serangan tikus. Semut Rangrang
mempunyai perilaku yang kuat, yaitu pemberani. Semut Rangrang dikenal
berani menyerang organisme lain yang mengganggu meskipun ukuran
tubuhnya 100 kali lebih besar dari mereka. Kelompok semut rangrang
membangun sistem komunikasi di antara mereka dengan mengeluarkan
aroma dan sentuhan tertentu.
Dalam waktu singkat semua anggota kelompok dapat mengetahui
apabila terjadi sesuatu dalam kelompoknya dan mereka akan langsung
melakukan pembagian tugas apa yang harus dilakukan. Setiap saat
mereka akan memberikan peringatan kepada semut lainnya apabila ada
pengacau memasuki daerah kekuasaannya. Ketika mereka menemukan
mangsa, semut prajurit menyebarkan bau dan menyentuh semut lainnya
dengan cara-cara tertentu untuk menunjukkan dimana mereka
menemukan mangsa dan seberapa besar mangsa yang ditemukan.
Sementara itu, beberapa semut ‘mengeksekusi’ mangsa tersebut dengan
cara menjepit menggunakan gigi-giginya. Hal ini lah yang menjadikan
semut Rangrang sebagai spesies semut yang dapat digunakan sebagai
agen pengendali hayati.

17
Menurut Way dan Khoo (1992), semut Rangrang menjadi musuh
alami pada sekitar 16 spesies hama yang menyerang spesies tanaman,
yaitu kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, eukaliptus, dan jeruk.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa semut
Rangrang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati seperti yang
telah dilakukan oleh Lim (2007), membuktikan bahwa pemanfaatan
Oecophylla smaragdina sebagai musuh alami dalam pengendalian hama
di pohon mahogani, mampu mengatasi hama mangga sekitar 70%
pada perkebunan di Australia. Sedangkan merutut hasil uji preferensi
yang dilakukan oleh Falahudin Irham (2012), menyatakan bahwa
pemanfaatan semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) sebagai
pengendali biologis terhadap beberapa hama ulat di perkebunan kelapa
sawit, mampu mengendalikan 83% ulat api dan 17% hama yang lain.
Penelitian Offenberg et al., (2006) juga menunjukan bahwa semut
Rangrang mampu melindungi tanaman mangrove dari serangan kepiting
Episesarma versicolor.

18
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) dapat digunakan
sebagai pengendali hayati tanaman yang terserang hama karena semut
ini bersifat predator dan agresif dalam menjaga wilayahnya dan sudah
terbukti dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu yang mendukung
pemanfaatan semut Rangrang dalam mengendalikan hama tanaman.

4.2. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan semut
Rangrang sebagai pengendali hama pada tanaman.

19
DAFTAR PUSTAKA

Agosti. D. Majer, D., Alonso L.E., Schultz, TR. 2000. Ants Standard
Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity.Washington:
Smithsonian Institution Press. pp. 14.

Andersen, A. N. 1993. Ants as indicators of restoration success at a


uranium mine in tropical Australia. Restoration Ecology. 1 (1):156–
167

Apriastika. 2012. Sekilas Tentang Pengendalian Hayati. Sumber:


https://apriastika.wordpress.com/2012/05/01/sekilas-tentang
pengendalian-hayati/. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2016.

Ardiawan. 2010. Macam Pengendalian Organisme Pengganggu. Sumber:


http://ardiawan-1990.blogspot.co.id/2010/10/macam-pengendalian-
organisme-pengganggu.html. Diakses pada tanggal 23 Oktober
2016.

Borror, C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1992. An Introduction to the


Study of Insect. Philadephia: W.B. Saunders. pp. 875.

Bayu. 2012. Semut Rangrang. Sumber: http://semutkroto.com/semut-


rang-rang/. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2016.

DeBach, P (ed.). 1964. Biological of Insect Pests and Weeds. Reinhold.


New York. pp. 283-304.

Falahudin I. 2012. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


Dalam Pengendalian Biologis Pada Perkebunan Kelapa sawit.
Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah. hal. 2605-2606.

Fitry. 2016. Manfaat Semut Rangrang Sebagai Pengusir Hama Alami.


Sumber: http://www.agrobisnisinfo.com/2016/01/manfaat-semut-
rangrang-sebagai-pengusir.html. Diakses pada tanggal 20
November 2016

Habibi. 2012. Bentuk Bentuk Pengendalian Hama Tanaman. Sumber:


http://infohamapenyakittumbuhan.blogspot.co.id/2012/04/bentuk-
bentuk-pengendalian-hama-tanaman.html. Diakses pada tanggal
23 Oktober 2016.

20
Huang, H.T. & P. Yang. 1987. The ancient cultured citrus ant. BioScience
37(9):665-671.

Ivan. 2013. Nematoda pada tanaman. Sumber:


https://ivandjayach.wordpress.com/2013/07/13/nematoda-pada-
tanaman/. Diakses pada tanggal 20 November 2016.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. hal.


4-8.

Khalsoven. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru - Van


Hoeve. Jakarta. hal 701.

Lim, G.T., L.G. Kirton, S.M. Salom, L.T. Kok, R.D. Fell, & D.G. Pfeiffer. 2008.
Mahogany shoot borer control in Malaysia and prospects for biological control
using weaver ants. Journal of Tropical Forest Science 20(3):147-155.

Lutfi. 2012. Kutu Daun. Sumber: http://saungsumberjambe.blogspot.com/


2011/10/kutu-daun-aphid-sp.html. Diakses pada tanggal 20
November 2016.

Maskoery. 1987. Sistematika Hewan Vertebrata dan Avertebrata. Sinar


Wijaya. Surabaya.

Mersy. 2012. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Sumber:


http://organisme-pengganggu.blogspot.com/2012/04/organisme-
pengganggu-tanaman-opt_6854.html. Diakses pada tanggal 20
November 2016.

Offenberg, J. and D. Wiwatwitaya. 2009. Sustainable weaver ant


(Oecophylla smaragdina) farming: harvest yields and effects on
worker ant density. Asian Myrmecology 3: in press. Sumber:
http://www.asian-myrmecology.org/archive.html. Diakses pada
tanggal 23 Oktober 2016. hal. 55-62

Offenberg, J., D.J. Macintosh, and M.G. Nielsen. 2006. Indirect ant-
protection against crab herbivory: damage-induced susceptibility to
crab grazing may lead to its reduction on ant-colonized trees.
Functional Ecology (20): 52-57.

Peng RK and Christian K, 2005. Integrated pest management in mango


orchards in the Northern Territory Australia, using the weaver ant,
Oecophylla smaragdina(Hymenoptera : Formicidae), as a key
element. International Journal of Pest Management (51): 149-155.

21
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1995 Tentang
Perlindungan Tanaman. hal 6.

Philpott, S.M., & Armbrecht, I. 2006. Biodiversity in Tropical Agroforests


and The Ecological Role of Ants and Ant Diversity in Predatory
Function.Ecological Entomology. Pp. 369-377.

Rhidayanti. 2014. Hama dan Penyakit Pada Tumbuhan. Sumber:


http://heningcahyar99.blogspot.com/2014/09/hama-dan-penyakit-
pada-tumbuhan.html Diakses pada tangga; 20 November 2016.

Regnault-Roger C. 2005. New Insecticides Of Plant Origin For The


Third Millenium. In: Regnault_Roger BJR, Philogene C, Vincent.
C, editors. Biopesticides of plant Origin: Lavoisier Publishing Inc.
pp. 17-35.

Romi. 2015. Siklus Hidup Semut Rangrang. Sumber:


http://bibitkrotosemutRangrang.com/siklus-hidup-semut-Rangrang/.
Diakses pada tanggal 23 Oktober 2016.

Schultz, T. R. and McGlynn, T. P. 2000. The interaction of ants with other


organisms./ In: Agosti, D., Majer, J., Alonso, E. et al. (eds), Ants:
standard methods for measuring and monitoring biodiversity.
Smithsonian Institution Press. hal. 35-44

Sintia,M. 2006. Mengenal Pestisida Nabati Skala Rumah Tangga Untuk


Mengendalikan Hama Tanaman. Sumber:
http://www.kebonkembang.com/Serba serbi rubric 44/161Mengenal
pestisida nabati skala rumah tangga untuk mengendalikan hama-
tanaman.html. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2016.

Steka, 1975 dalam Mudjiono, 1994. Pengendalian Hayati terhadap Hama:


Peranan Serangga Entomofagus. Lembaga Penelitian Universitas
Brawijaya. Malang.

Tampubolon. M.P. 2004. Prospek Pengendalian Penyakit Parasitik


dengan Agen Hayati. Bagian Parasitologi dan Patologi , Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 Tentang


Sistem Budidaya Tanaman. hal 18.

22
Untung, K. 2003. Strategi Implementasi PHT Dalam Pengembangan
Perkebunan Rakyat Berbasis Agribisnis. Risalah Simposium
Nasional Peneltian PHTPerkebunan Rakyat. Bogor, 17-18
September 2002. hal. 1-18

Van Mele dan Cuc. 2004. Semut Sahabat Petani(alih bahasa oleh:
Subekti Rahayu). [ICRAF] World Agroforestry center, 61 PP. CABI
Bioscience. hal 61.

Van Mele, P. & V.T. Truyen. 2002. Observations and farmer


experimentation with predatory ants. LEISA Magazine 28-29.

Vidiyastuti Ari Yustiani. 2016. Semut Rangrang Sang Predator Alami.


Sumber: http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpsurabaya/tinymcpuk/
gambar/ file/semut%20Rangrang%20vidi.pdf. Diakses pada tanggal
23 Oktober 2016.

Warta. 2016. Mengenal Semut Rangrang Untuk Budidaya. Sumber:


http://www.wartatani.com/2016/04/mengenal-semut-rangrang-untuk
-budidaya.html. Diakses pada tanggal 20 November 2016.

Way, M.J. & K.C. Khoo. 1992. Role of ants in pest management. Annual
Review of Entomology (37): 479-503.

Wikipedia. 2012. Hama. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Hama.


Diakses pada tanggal 20 November 2016

23

Anda mungkin juga menyukai