Berdasarkan penelitian sejarah yang sudah dilakukan oleh para ahli sejarah, ciri-ciri
diatas dapat digunakan untuk mendeskripsikan pola kehidupan manusia pada zaman
neolitikum. Seperti yang sudah kita lihat diatas, kebudayaan dan teknologi manusia pada
masa ini sudah jauh lebih canggih dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Kebudayaan Zaman Neolitikum
Pola kehidupan masyarakat atau kebudayaan-nya pada zaman neolitikum seperti yang
sudah kita bahas diatas jauh lebih canggih dibandingkan dengan paleolitikum ataupun
mesolitikum. Manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah memiliki tempat tinggal yang
tetap, sistem pertanian dan peternakan yang sederhana, serta struktur sosial hierarkis yang
jelas. Selain itu, mereka juga sudah mampu membuat pakaian, perhiasan, serta gerabah
sebagai alat bantu aktivitas sehari-hari.
Berikut ini adalah hal-hal yang menjadi bagian dasar dari kebudayaan manusia purba
pada zaman neolitikum:
Anyaman
Pakaian
Gerabah
Kapak Persegi
Kapak Lonjong
Perhiasan
Mata Panah
Perkapalan
Perdagangan
Kepercayaan Kuno
Agar kalian lebih paham, dibawah ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai
setiap aspek kebudayaan pada masa neolitikum ini.
Anyaman
Seperti yang kita ketahui, teknik menganyam merupakan salah satu teknik dasar untuk
membuat alat-alat rumah tangga dan juga peralatan sehari-hari. Manusia purba pada zaman
batu muda ternyata sudah menguasai teknik menganyam sederhana, sehingga bisa membuat
alat-alat dan perabot anyaman. Umumnya, manusia pada zaman tersebut membuat anyaman
dari bahan dasar bambu, rumput kering, ataupun kayu rotan.
Teknik menganyam yang digunakan masih sederhana dan mengikuti pola-pola alam
yang umumnya merupakan pola geometrik. Selain sederhana dan mudah ditiru, pola ini juga
relatif kokoh dan indah dilihat. Umumnya, hasil anyaman ini digunakan sebagai wadah
penampungan, ataupun peralatan rumah tangga seperti meja dan kursi.
Pakaian
Manusia purba yang hidup pada zaman neolitikum juga ternyata sudah mampu
menguasai teknik pembuatan pakaian sederhana. Asumsi ini diperkuat oleh penemuan pada
daerah Ampah, Kalumpang, Minanga, dan Sippaka, dimana ditemukan alat pemukul kulit
kayu yang diyakini oleh para ahli digunakan untuk mengolah serat dan membuat pakaian.
Pakaian-pakaian sederhana ini dibuat dari serat dan kulit kayu yang sudah diolah dengan
ditumbuk dan dipisah-pisahkan seratnya.
Menurut para ahli dan bukti-bukti sejarah yang tersedia, diyakini bahan dasar yang
digunakan untuk membuat pakaian pada masa itu adalah serat abaka dari tumbuhan sejenis
pisang serta rumput doyo.
Gerabah
Gerabah merupakan salah satu perlengkapan dasar yang sangat membantu dalam
kehidupan sehari-hari, baik sebagai alat penyimpanan maupun sebagai alat-alat penunjang
aktivitas adat. Menurut para ahli sejarah, manusia purba yang hidup pada zaman neolitikum
sudah menguasai cara pembuatan gerabah.
Diyakini, bahan dasar yang digunakan adalah tanah liat yang dicampur dengan pasir
dan diolah. Teknik yang diguankan adalah teknik tangan yang dikombinasikan dengan teknik
tatap. Kombinasi kedua teknik ini menghasilkan gerabah yang tebal dan kokoh namun relatif
kasar.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, gerabah ini memiliki banyak sekali fungsi, baik
untuk penyimpanan ataupun untuk adat. Contoh dari gerabah-gerabah ini adalah periuk,
cawan, dan piring.
Gerabah pada zaman batu muda ini banyak ditemukan di daerah Kendenglembu,
Banyuwangi (Jawa Timur), Kalumpang, dan Minanga, Sippaka, Danau Poso, dan Minahasa.
Kapak Persegi
Salah satu alat perkakas sehari-hari yang digunakan oleh manusia purba pada zaman
neolitikum adalah kapak persegi. Sesuai dengan namanya, kapak ini berbentuk persegi dan
terbuat dari batu yang sudah dihaluskan dan diasah agar memiliki ujung yang cukup tajam
untuk memotong dan mengiris. Umumnya, kapak ini digunakan untuk memotong dan
mengolah kayu, menggarap tanah, serta melaksanakan upacara-upacara adat.
Di Indonesia, kapak tersebut juga dikenal dengan beliung persegi yang banyak
tersebar di daerah Jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara.
Kapak Lonjong
Kapak lonjong juga merupakan salah satu alat perkakas sehari-hari yang penting bagi
manusia purba neolitikum. Sesuai dengan namanya, kapak ini memiliki bentuk lonjong dan
ukuran yang bervariasi. Kapak ini juga terbuat dari batu yang sudah diolah dan dihaluskan.
Umumnya, kapak lonjong digunakan sebagai cangkul untuk menggarap tanah
pertanian serta untuk memotong kayu dan pohon-pohon besar. Kapak ini banyak ditemukan di
daerah Maluku, Papua, serta Sulawesi Utara.
Perhiasan
Karena sudah mulai terbentuk kelas-kelas masyarakat dan sistem sosial yang hierarkis,
masyarakat pada zaman neolitikum juga sudah mulai mengenal perhiasan. Perhiasan tersebut
antara lain adalah gelang, kalung, serta anting-anting ornamental.
Bahan dasar perhiasan ini bervariasi, tetapi yang banyak ditemukan antara lain adalah
sampah kerang, batu-batuan, kayu, serta tulang belulang. Di Indonesia, perhiasan-perhiasan
zaman purba ini dapat kalian temukan dengan mudah di situs-situs arkeologi daerah Jawa
Barat dan juga Jawa Tengah.
Mata Panah
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, meskipun sudah hidup menetap dan memiliki
sistem pertanian dan peternakan sederhana, manusia purba zaman neolitikum juga masih
berburu hewan liar untuk mendapatkan kulit serta dagingnya. Salah satu kemajuan teknologi
pada saat itu adalah penggunaan mata panah yang tajam dan dapat dengan cepat membunuh
hewan buruan.
Umumnya, mata panah ini terbuat dari batu yang sudah dihaluskan dan diolah
sedemikian rupa sehingga memiliki ujung yang tajam dan permukaan yang halus agar dapat
dengan mudah menembus hewan buruan. Di Indonesia, artefak mata panah ini banyak
ditemukan di daerah Jawa Timur serta Sulawesi Selatan.
Perkapalan
Manusia purba zaman neolitikum juga sudah mengenal cara membuat kapal-kapal
sederhana yang mereka gunakan untuk mengarungi sungai, danau, dan daerah-daerah pesisir.
Teknik yang digunakan untuk membuat perahu-perahu tersebut juga masih sangat sederhana,
sehingga perahu yang dibuat pun sangat sederhana. Bahan yang digunakan antara lain adalah
batang pohon meranti, lanang, serta kedondong.
Umumnya, pohon-pohon dan kayu yang digunakan untuk membuat perahu sebelum
ditebang dan diolah harus dihormati dulu dengan menggelar sejenis upacara.
Pembuatan perahu ini juga dimulai dari bagian luar terdahulu lalu dilanjut ke bagian
dalamnya.
Agar perahu lebih stabil dan tidak mudah terbalik ketika kondisi perairan sedang
buruk, maka dipasangkan cadik yang fungsinya sebagai penyeimbang.
Umumnya, perahu-perahu sederhana ini menggunakan dayung sebagai metode utama
untuk menggerakkan kapal.
Karena kapal yang dibuat masih belum terlalu kokoh dan desainnya sederhana, maka
kapal-kapal ini belum mampu untuk mengarungi lautan yang dalam dan terbatas pada daerah
pesisir serta inland sea seperti laut Mediterania.
Perdagangan
Pada zaman neolitikum, manusia juga sudah mengenal sistem perdagangan sederhana
dengan menggunakan konsep barter atau tukar menukar barang. Dengan konsep ini, kedua
belah pihak mencoba untuk menukar barang yang mereka miliki agar dapat memenuhi
kebutuhan masing-masing.
Nilai dari barang yang ditukar ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak.
Umumnya, barang yang sukar dicari memiliki nilai tukar yang lebih tinggi dari barang-barang
yang mudah ditemukan.
Umumnya, barang yang diperdagangkan adalah hasil hutan, hasil pertanian dan
peternakan, hasil kerajinan, perhiasan, hasil laut, serta ramuan-ramuan tradisional. Namun,
pada masa ini, barter ini bukan digunakan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk bertahan
hidup secara subsisten.
Kepercayaan Kuno
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, masyarakat pada zaman neolitikum sudah
mengenal konsep keagamaan dan spiritualitas kepada ruh nenek moyang serta benda-benda
alam. Konsep ini dikenal sebagai animisme dan juga dinamisme dan merupakan kepercayaan
utama dari manusia purba yang hidup pada zaman ini.
Pada zaman neolitikum, kepercayaan ini sudah mulai berkembang dengan adanya
penguburan ritualistik bagi anggota masyarakat yang meninggal dunia.
Secara umum, terdapat 2 jenis penguburan yang muncul pada zaman neolitikum yaitu
Penguburan langsung
Penguburan tidak langsung
Agar kalian lebih paham, akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai kedua teknik
penguburan tersebut dibawah ini
Penguburan Langsung
Pada penguburan langsung, mayat dikuburkan sekali langsung kedalam tanah atau
ditempatkan dalam wadah/peti yang kemudian akan dikubur serta diikuti dengan wawancara.
Dalam penguburan langsung, terdapat 2 jenis peletakan jenazah mayat dalam liang lahat/peti
matinya yaitu
Membujur
Terlipat/Meringkuk
Sebagai penghormatan kepada roh leluhur dan nenek moyang serta benda-benda alam
yang dikeramatkan, maka mayat dibaringkan mengarah kepada objek-objek tersebut seperti
puncak gunung atau pohon besar.
Terkadang, jenazah juga diberikan bekal tertentu untuk mempersiapkan perjalanan
mereka ke dunia ruh. Bekal ini umumnya berupa manik-manik, perhiasan, dan terkadang
unggas serta anjing.
Di Indonesia, teknik penguburan seperti ini dapat kalian temukan di Anyer,
Plawangan, serta Rembang.
Penguburan Tidak Langsung
Pada penguburan tidak langsung, jenazah manusia yang sudah meninggal ditempatkan
di tempat tertentu selama jangka waktu tertentu, entah di dalam tanah atau dalam peti mati
tertentu.
Setelah itu, jenazahnya akan dibersihkan dan dipindahkan ke tempat lain yang sudah
dipersiapkan oleh komunitasnya. Tempat akhir dari jenazah manusia tersebut akan bergantung
pada perbuatan serta posisinya di dalam kehidupan.
Mayat tetua dan pahlawan tentu saja akan diletakkan pada tempat yang berbeda
dengan masyarakat biasa atau bahkan penjahat serta orang-orang lain yang dianggap rendah
di masyarakat.
Konsep ini sesuai dengan kepercayaan bahwa orang-orang yang meninggal, jiwanya
ditempatkan di tempat yang berbeda, sesuai dengan jasa dan posisi manusia tersebut. Teknik
penguburan seperti ini dapat ditemukan di daerah Gilimanuk, Flores, Melolo, dan Lesung
Batu.