Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KULIAH

EPIDOMOLOGI PENYAKIT DAN KESMAVET

Dosen Pengampu: drh. Made Sriasih, M.Agr.Sc, Ph.D

TELAAH JURNAL

Judul: “Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase Chain


Reaction dalam Mengidentifikasi Avian Influenza dan Newcastle Diseases”

Oleh:

NAMA : KHAIRIL ANWAR

NIM : I2D020002

SEMESTER : 1 (Satu)

MAGISTER MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2020
TELAAH JURNAL

Judul Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase


Chain Reaction dalam Mengidentifikasi Avian Influenza dan
Newcastle Diseases
Penulis Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI

Reviwer KHAIRIL ANWAR (I2D020002)

Publikasi Wartazoa

Tahun 2014

Volume 24

Nomor 1

Hasil Telaah Jurnal


Latar Belakang Penyakit flu burung (avian influenza) merupakan penyakit yang
sangat berbahaya yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang
termasuk famili Orthomyxoviridae. Penyakit flu burung
menyebabkab kematian yang tinggi pada peternakan unggas serta
bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia). Sedangkan
penyakit ND (Newcastle Diseases) adalah salah satu penyakit
infeksious yang disebabkan oleh virus avian paramyxovirus serotipe
1 (APMV 1) dan sangat berbahaya bagi peternakan unggas.
Identifikasi virus dapat dilakukan dengan berbagai teknik
pengujian, baik secara konvensional maupun secara molekuler.
Penggunaan teknologi sebagai alat deteksi dan identifikasi virus
secara cepat dan sensitif telah dikembangkan dan tersedia secara
komersial. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan gold
standar untuk mendeteksi keberadaan agen penyakit. PCR dapat
digunakan untuk mengamplifikasi DNA atau RNA. Untuk
mengamplifikasi RNA, proses PCR didahului dengan reverse
transcriptase untuk mengubah molekul RNA menjadi
complementary DNA (cDNA). Molekul cDNA tersebut kemudian
digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Proses PCR untuk
mengubah RNA menjadi cDNA disebut dengan Reverse
Transciptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Sensitivitas dan spesifisitas RT-PCR konvensional dan real time
dapat ditingkatkan dengan modifikasi pengujian tersebut seperti
multiplex RT-PCR konvensional maupun real time dan nested RT-
PCR. Modifikasi pengujian ini telah banyak diterapkan untuk
mengidentifikasi genom virus di lapangan seperti Avian Influenza
(AI) dan Newcastle Diseases (ND).

Teori yang Penulis menggunakan teori utama mengenai konsep dasar dalam
Digunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dibedakan menjadi dua
yaitu PCR konvensional dan Real Time. Penulis menjelaskan bahwa
kedua metode PCR ini dibedakan pada analisis hasilnya. Pada PCR
konvensional, analisis hasil amplifikasi fragmen DNA dilakukan
dengan visualisasi pada agar elektroforesis, sedangkan pada real
time PCR, hasil amplifikasi DNA dapat dideteksi dan diukur pada
setiap siklusnya karena menggunakan probe DNA fluoresen.
Reaksi PCR konvensional biasanya menggunakan satu pasang
primer oligonukleotida untuk mengamplifikasi bagian tertentu dari
genom agen infeksi serta dilakukan pada suatu tabung. Panjang basa
DNA primer umumnya 15-25 nukleotida dan mempunyai 50-60%
kandungan Guanine ditambah Cytocine. Primer yang digunakan
dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen
yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-
fosfat dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada
ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Enzim polimerase
adalah enzim yang mampu menggabungkan DNA cetakan tunggal,
membentuk untaian molekul DNA yang panjang.
Sedangkan pada Real Time PCR, Prinsip kerja PCR real time
adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter fluoresen. Sinyal
fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya amplifikasi
DNA PCR dalam reaksi. Reaksi selama fase eksponensial dapat
dipantau dengan mencatat jumlah emisi fluoresen pada setiap siklus.
Semakin tinggi tingkat ekspresi target gen, maka deteksi emisi
fluoresen semakin cepat terjadi. Penggunaan teknologi probe novel
fluoresensi dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas PCR
real time. Terdapat tiga tipe metode PCR real time yang sering
digunakan untuk deteksi asam nukleat dalam mikrobiologi klinik,
yaitu TaqMan probe, molecular beacon dan Fluorescence
Resonance Energy Transfer (FRET) probe hibridisasi.

Materi dan Pada jurnal ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai materi dan
Metode
metode yang digunakan, penulis tidak membuat sub-bab khusus
untuk membahas tentang materi dan metode. Walaupun demikian,
setelah ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui materi dan
metode yang digunakan.
Deteksi virus avian influenza menggunakan sampel yang
diambil dari jaringan dan swab kloaka unggas, sedangkan untuk
pemeriksaan virus New Catle Disease, sampel yang digunakan
diambil dari usapan trakea dan orofaring. Untuk memperoleh RNA
sebagai cetakan (template) pada proses RT-PCR, sampel harus
diisolasi atau diekstraksi terlebih dahulu sehingga diperoleh RNA
yang digunakan sebagai template untuk proses RT-PCR.
RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction)
dimulai dengan proses reverse transcriptase (RT) atau transkripsi
balik dari RNA-DNA yang berlangsung pada suhu 42-55 ºC. Proses
PCR dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Denaturasi cetakan cDNA
beruntai ganda pada suhu 90 ºC sehingga menjadi cetakan untai
tunggal, 2) Annealing, proses penempelan primer pada cetakan yang
berlangsung pada suhu 50-60 ºC, suhu dimana primer dapat melekat
pada cetakan disebut dengan melting temperature (Tm), dan 3)
Ekstensi fragmen DNA oleh enzim polimerase untuk menghasilkan
kopi DNA baru yang berlangsung pada suhu 70-78 ºC. Hasil PCR
konvensional divisualisasikan pada gel elektroforesis, sedangkan
pada real time PCR, hasil amplifikasi DNA dapat dideteksi dan
diukur pada setiap siklusnya karena menggunakan probe DNA
fluoresen.

Hasil dan 1. Aplikasi dan Modifikasi Reverse Transcriptase-Polymerase


Pembahasan Chain Reaction untuk Deteksi Genom Avian Influenza
Desain primer yang spesifik untuk identifikasi subtipe virus
AI berdasarkan pada sekuen gen HA yang konsisten diperoleh
dengan menggunakan informasi sekuen asam amino dari gen HA
dengan variasi antara 20-74% untuk subtipe yang berbeda dan
variasi hanya 0-9% untuk subtipe yang sama. Shankar et al.
(2009) telah berhasil mengidentifikasi virus AI dengan RT-PCR
menggunakan set primer yang spesifik terhadap gen
Nukleoprotein (NP) dan HA (H5, H7 dan H9). Sekuen primer
yang digunakan berdasarkan Lee et al. (2001) yang
menghasilkan amplikon sebesar 488 bp untuk subtipe H9.
Hasil yang diperoleh pada jurnal ini menunjukan bahwa
penggunaan RT-PCR untuk mendeteksi genom virus avian
influenza mampu menghasilkan band positif dengan ukuran 330
bp dengan primer NP (nucleoprotein) dan divisualisasikan
dengan gel elektroforesis. Penggunaan primer gen HA
(hemaaglutinin) pada RT-PCR untuk mendeteksi genom virus
avian influenza mampu menghasilkan band positif dengan
ukuran sebesar 545 bp yang divisualisasikan pada gel
elektroforesis.
Sampel jaringan dan swab kloaka biasanya mengandung
beberapa penghambat PCR sehingga dapat menurunkan
sensitivitas pengujian rRT-PCR virus AI. Untuk menghilangkan
keberadaan zat penghambat PCR, maka prosedur alternatif pada
ekstraksi RNA virus AI sangat diperlukan. Modifikasi
penambahan lyopiliz dalam reagen rRT-PCR untuk deteksi gen
M virus AI menunjukkan hasil yang lebih sensitif dibandingkan
dengan reagen konvensioal.
2. Aplikasi dan Modifikasi Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction untuk Deteksi Genom New Castle Disease
Modifikasi pengembangan RT-PCR telah berhasil dilakukan
dengan menggunakan primer umum untuk mendeteksi semua
tipe virus ND. Hasil yang ditampilkan pada jurnal ini
menunjukkan bahwa RT-PCR standar menggunakan sampel
orofaring mampu menghasilkan amplikon sebesar 365 bp,
sedangkan sampel usapan kloaka tidak mampu menghasilkan
amplikon di 365 bp. Sampel usapan kloakan menunjukkan hasil
positif dengan ukuran amplikon sebesar 216 bp setelah diuji
dengan RT-PCR nested.
Sensitivitas RT-PCR dapat ditingkatkan dengan
pengembangan modifikasi RT-PCR nested. Pada RT-PCR
nested, PCR tahap kedua (second-round) dilakukan dengan
menggunakan primer yang berbeda untuk mengamplifikasi
sekuen nukleotida pada bagian gen tertentu yang sulit
teramplifikasi pada saat RT-PCR tahap pertama (first-round).
Sensitivitas RT-PCR nested sampai 100 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan RT-PCR standar (first-round). Metode ini
menggunakan dua pasang primer. Sepasang primer pertama
untuk RT-PCR tahap pertama dan sepasang primer kedua untuk
RT-PCR tahap kedua. Adi et al. (2008) melaporkan primer yang
digunakan untuk mengamplifikasi target gen phospho protein
(P), matrix protein (M), hemagglutinin-neuraminidase protein
(HN) dan fusion protein (F) dengan RT-PCR tahap pertama
tidak mampu menghasilkan amplikon sepanjang 1500 bp dengan
jelas tetapi primer ini mampu menghasilkan amplikon sepanjang
500 bp dengan jelas setelah melalui RT-PCR tahap kedua (RT-
PCR nested).
Kesimpulan Metode RT-PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi, resiko kontaminasi silang rendah, serta mampu mendeteksi
sampel dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Penulis
pada jurnal ini, penulis telah mampu membuktikan bahwa
modifikasi RT-PCR dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi genom virus AI dan ND.

Kelebihan 1. Jurnal ini mengulas tentang teknologi PCR yang menjadi gold
standard dalam mendeteksi penyakit.
2. Isi jurnal secara keseluruhan menarik untuk dibaca karena
menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti, terutama
dalam menjelaskan istilah-istilah dalam PCR.

Kekurangan 1. Hasil gambar yang ditampilkan hanya berupa hasil visualisasi


RT-PCR konvensional pada gel elektroforesis, sedangkan hasil
Real Time RT-PCR tidak ditampilkan, padahal penulis jurnal ini
banyak sekali membahas tentang Real Time RT-PCR.
2. Kesalahan penulisan pada halaman ke-25, bagian kanan, baris
kedua: amplikon di 356 bp → seharusnya ditulis 365 bp, karena
dari kalimat sebelumnya penulis mencoba membandingkan hasil
RT-PCR antara sampel orofaring dengan sampel usapan kloaka.
3. Kesalahan penulisan pada halaman ke-27, bagian kiri, baris
kedua: spesifitas → seharusnya ditulis spesifisitas

Anda mungkin juga menyukai