Mikosis Paru PDPI
Mikosis Paru PDPI
PENDAHULUAN
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 1 Jamur Paru di Indonesia
Pneumonia pneumosistis dan mikosis endemik termasuk
histoplasmosis yang prevalensinya sempat menurun dalam dekade
terakhir, dilaporkan meningkat kembali karena meluasnya
penggunaan obat-obat imunosupresan.
Diagnosis mikosis paru masih dianggap sulit sehingga sering
terlambat dalam penatalaksanaan selanjutnya. Perkembangan
pengetahuan tentang mikosis memang belum sepesat penyakit yang
ditimbulkan bakteri atau virus. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal,
di antaranya: mikosis paru jarang menimbulkan kematian mendadak,
gejala klinis dan hasil pemeriksaan seringkali tidak khas serta faktor
risiko yang luput dari perhatian. Pemahaman lebih baik mengenai
epidemiologi, patogenesis termasuk faktor risiko mikosis paru
diharapkan membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis serta
menentukan strategi penatalaksanaan yang lebih baik.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 2 Jamur Paru di Indonesia
BAB II
PROSEDUR DIAGNOSIS
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 3 Jamur Paru di Indonesia
· Pasien dengan manifestasi mikosis kulit berupa lesi eritema
nodosum pada ekstremitas bawah terutama di daerah endemik
· Pasien terpajan atau setelah bepergian ke daerah endemik
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 5 Jamur Paru di Indonesia
Metode laboratorium untuk mendiagnosis mikosis paru
dilakukan melalui tiga pendekatan penting yaitu: pemeriksaan
mikroskopik, isolasi dan identifikasi jamur pada biakan serta deteksi
respons serologis terhadap jamur atau penandanya. Prosedur
diagnostik berdasarkan deteksi deoxyribonucleic acid (DNA) jamur
saat ini sedang dikembangkan. Biakan spesimen maupun hasil biopsi
jaringan masih menjadi baku emas diagnosis mikosis paru.
Pemeriksaan uji kepekaan jamur terhadap obat perlu dilakukan untuk
menentukan pemilihan obat antijamur yang tepat atau evaluasi terapi.
1. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara langsung
maupun dengan pewarnaan harus selalu dilakukan karena
dapat mendiagnosis kemungkinan terdapatnya infeksi jamur
secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai diagnostiknya
sangat bervariasi (10 sampai >90%) bergantung pada spesies
jamur yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung
dilakukan dengan menambahkan larutan garam fisiologis, KOH
10% atau tinta India. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan
Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor, maupun
deteksi antibodi monoklonal dengan pewarnaan
imunofluoresens. Pemeriksaan langsung sputum, bilasan
bronkus, BAL atau spesimen lain dapat mendeteksi elemen
jamur secara umum berupa spora maupun hifa. Pemeriksaan
langsung cairan serebrospinal, bilasan bronkus atau BAL
dengan tinta India sangat bermanfaat dalam mendiagnosis
kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV
dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas
35-60%, sedangkan pemeriksaan BAL menunjukkan sensitivitas
85-95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum dilaporkan
memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL. Pewarnaan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 6 Jamur Paru di Indonesia
imunofluorensens antibodi monoklonal meningkatkan
sensitivitas yang lebih baik dibandingkan pewarnaan biasa.
2. Biakan
Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen
respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung pada
spesies jamur, asal spesimen serta derajat penyakit yang
dialami pasien. Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik
tinggi bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur
tertentu, misalnya biakan darah merupakan baku emas
diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia), tetapi
pemeriksaan biakan tidak bermakna untuk diagnosis PCP
karena P. jiroveci belum dapat dibiak sampai saat ini. Pada
histoplasmosis akut, sensitivitas biakan hanya 15%, sedangkan
pada histoplasmosis diseminata sensitivitasnya >85%. Hasil
pemeriksaan biakan membutuhkan waktu beberapa hari sampai
minggu, tetapi penting dilakukan untuk identifikasi spesies
secara konvensional maupun uji kepekaan jamur terhadap obat-
obat antijamur.
3. Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk mendeteksi
reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-elemen jamur. Nilai
diagnostiknya sangat terbatas, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan interpretasi hasil. Dewasa ini telah
dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik
lebih tinggi. Uji ini didasarkan atas deteksi komponen dinding
jamur yang dilepaskan ke dalam aliran darah atau cairan tubuh
lain pada saat jamur berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus spp
dari serum atau cairan serebrospinal sangat bermanfaat dalam
diagnosis
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 7 Jamur Paru di Indonesia
kriptokokosis karena nilai sensitivitas dan spesifisitasnya tinggi. Uji antigen
Histoplasma spp. dari urin pasien memiliki nilai sensitivitas >90% dan spesivisitas
>95% dalam mendiagnosis histoplasmosis; tetapi hasil uji antigen negatif tidak lantas
menyingkirkan diagnosis. Uji antigen galaktomanan Aspergillus spp menunjukkan
nilai sensitivitas 61-71% dan spesifisitas 89-93% dalam mendeteksi aspergilosis invasif. Perlu
diperhatikan kemungkinan hasil positif palsu pada pasien yang mendapat terapi antibiotik
golongan β -laktam misalnya piperasilin-tazobaktam serta pasien dgn infeksi Pencillium
karena terdapatnya reaktivitas silang. Perkembangan terkini menunjukkan manfaat
pemeriksaan galaktomanan Aspergillus pada spesimen BAL pasien yang diprediksi
akan mengalami aspergilosis invasif. Komponen jamur yang juga sedang dikembangkan
untuk modalitas diagnostik uji antigen adalah β-1,3-glukan (merupakan komponen dinding
sel pada hampir semua jamur) dan kitin, tetapi penggunaannya masih sangat terbatas.
4. PCR
Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang dikembangkan, tetapi masih
digunakan secara terbatas karena belum terdapatnya standarisasi dan validasi.
Diagnosis dini sangat penting untuk memperoleh luaran klinis optimal. Keterlambatan
diagnosis akan mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan yang dapat meningkatkan
mortalitas dan morbiditas. Dalam penegakan diagnosis mikosis paru dikenal beberapa istilah yang
menentukan derajat diagnostik itu sendiri yaitu: proven, probable dan possible. Derajat
diagnostik tersebut ditentukan oleh tiga kriteria yaitu: faktor pejamu (faktor risiko, penyakit yang
mendasari), kriteria klinis (gejala klinis, pemeriksaan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 8 Jamur Paru di Indonesia
radiologi) serta hasil pemeriksaan mikologi. Hal itu dapat dilihat pada
tabel berikut :
Faktor Kriteria
pejamu + klinis
Faktor Kriteria
pejamu + klinis
Faktor Kriteria
pejamu + klinis
Biopsi
+ Mikologi = Probabl
e
Negatif
atau
+ tidak = Possibbl
dilakuka e
n
+ Mikologi = Proven
Fakto aan 9
r Jamur
Gambar 1. Skema pejam Paru di
diagnosis mikosis paru u: Indonesi
(sistemik/invasif) Netro a
penia
(netrof
il
<500/
Definisi diagnosis 3
mikosis invasif proven mm
selam
- Pemeriksaan a >10
histologi atau sitokimiahari).
menunjukkan elemenMener
jamur positif dari hasilima
transp
biopsi atau TTNA dengan
lantasi
bukti disertai kerusakansum-
jaringan (secarasum
mikroskopik atautulang
radiologi). aloge
nik
- ATAU biakan positif _____
dari spesimen yang _____
_____
berasal dari tempat steril
_____
serta secara klinis dan _____
radiologi menunjukkan _____
kelainan lesi yang sesuai _____
_____
dengan infeksi.
_____
- ATAU _____
pemeriksaan _____
_____
mikroskopik/antigen Pedom
Cryptococcus dari LCS an
Diagno
Kriteria diagnosis sis dan
proven Penata
laksan
· Menerima terapi kortikosteroid jangka panjang dengan rerata dosis
minimal setara prednison 0,3 mg/kg/hari selama >3 minggu.
· Menerima terapi imunosupresan sel-T misalnya siklosporin, penyekat
TNF-α, antibodik monoklonal spesifik (misalnya alemtuzumab), atau
analog nukleosida dalam 90 hari terakhir.
· Mengalami imunodefisiensi primer berat (misalnya penyakit
granulomatosa kronik atau imunodefisiensi berat lainnya).
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-
scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam area
konsolidasi.
Minor:
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll).
- Pemeriksaan fisis pleural rub.
- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria mayor.
3. Kriteria mikologi:
· Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan
mikroskopik langsung maupun sediaan pewarnaan) atau biakan jamur positif.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
10
Jamur Paru di Indonesia
kriptokokosis dan zigomikosis) menunjukkan hasil positif.
1. Faktor pejamu:
· Netropenia (netrofil <500/mm3 selama >10 hari).
· Demam persisten selama >96 jam, refrakter terhadap antibiotik
adekuat.
· Suhu tubuh >380C atau <360C DAN terdapat faktor predisposisi
berikut:
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
11
Jamur Paru di Indonesia
- prolonged netropenia (>10 hari) dalam 60 hri terakhir
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CT-
scan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam
area konsolidasi.
Minor:
- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri dada,
sesak napas, hemoptisis, dll).
- Pemeriksaan fisis pleural rub.
Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan
kriteria mayor.
3. Kriteri mikologi:
· Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur pada
pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan pewarnaan)
atau biakan jamur positif.
· Pemeriksaan tidak langsung:
- deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2 sampel darah
untuk mendiagnosis aspergilosis menunjukkan hasil positif.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
12
Jamur Paru di Indonesia
- deteksi β-d-glucan dalam serum untuk mendiagnosis infeksi jamur invasif (selain kriptokokosis
dan zigomikosis) menunjukkan hasil positif.
- deteksi antigen kriptokokus positif.
- kelainan paru dan hasil biakan bakteri negatif dari spesimen saluran napas bawah termasuk BAL,
sputum dan darah.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
13
Jamur Paru di Indonesia
BAB III
PENATALAKSANAAN
· golongan polien
· golongan alilamin
· golongan flusitosin
· golongan azol
· golongan ekinokandin
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
14
Jamur Paru di Indonesia
dipertimbangkan embolisasi, atau pemberian antijamur transtorakal-
intrakavitas.
Lama pemberian pengobatan mikosis paru tergantung kepada
jenis jamur dan OAJ yang diberikan. Evaluasi pengobatan harus
dilakukan untuk melihat respons obat dan toksisitas yang ditimbulkan
OAJ. Toksisitas obat dinilai dari klinis, misalnya mual muntah, ikterus
dan pemeriksaan fungsi hati (terutama bila mendapat OAJ golongan
azol), fungsi ginjal (terutama bila mendapat OAJ golongan polien).
Tabel 1 menunjukkan kriteria respons terapi OAJ
Sukses
Respons Membaik selama periode pengamatan, resolusi semua gejala klinis
komplit dan kelainan radiologi, serta bukti mikologi (eradikasi jamur).
Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan gejala klinis dan
parsial kelainan radiologi, serta bukti biakan jamur steril atau penurunan
beban/jumlah jamur yang ditentukan secara kuantitatif dengan
petanda laboratorium.
Gagal
Respons Membaik selama periode pengamatan, perbaikan minor atau tanpa
menetap perbaikan dalam penyakit jamur, tetapi tidak ada bukti progresif
(stable) berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan laboratoris.
Progresif Bukti progresivitas penyakit berdasarkan kriteria klinis, radiologis dan
laboratoris.
Kematian
Kematian dalam periode pengamatan, regardless of attribution
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
15
Jamur Paru di Indonesia
BAB IV
OBAT ANTIJAMUR
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
16
Jamur Paru di Indonesia
14
12 L-Am
ABCD
10 ABLC
Terb
8 Itrakonaz
6 Flukonazol
4 Ketokonazol
Mikonazol
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
17
Jamur Paru di Indonesia
1. Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan
natamisin. Cara kerjanya adalah membuat kerusakan pada
membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas seluler
meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian
jamur (efek fungisidal). Saat ini golongan polien yang tersedia di
Indonesia adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan
nistatin.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
18
Jamur Paru di Indonesia
menurunkan nefrotoksisitas yang diinduksi obat. Untuk
meminimalkan nefrotoksisitas, dapat dipilih Am-B formula lipid,
serta mengoreksi kelainan elektrolit misalnya hipokalemia dan
hipomagnesemia.
Pada pasien dewasa tanpa neutropenia, AmB diberikan sampai
14 hari setelah hasil terakhir kultur darah negatif dan terdapat
perbaikan klinis.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
19
Jamur Paru di Indonesia
ginal atau tidak dapat
menerima toksisitas
amfoterisin- B konvensional
dalam dosis efektif dan pada
pasien dengan aspergilosis
invasif yang mengalami
kegagalan dengan terapi
amforeisin- B konvesional
sebelumnya.
Dikutip dari
Proceeding ATS 2010
2. Golongan allylamines
Terbinafin adalah antijamur allylamine yang memiliki efek
menghambat enzim mono-oksigenase squalene, enzim penting
dalam biosintesis sterol pada jamur. Pemberiannya dapat
dilakukan topikal maupun oral terutama untuk terapi mikosis
superfisialis. Terbinafin yang tersedia di Indonesia adalah dalam
bentuk obat topikal yang biasa digunakan untuk mikosis
superfisial.
3. Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi Candida,
Cryptococcus. Cara kerjanya dengan mengganggu
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
20
Jamur Paru di Indonesia
sintesis asam nukleat. Mudah mengalami resistensi. Absropsi
oral baik, t½ 4 jam, diekskresi dalam urin. Obat ini terdistribusi
baik dalam SSP dan dapat dikombinasikan dengan amfoterisin-
B untuk infeksi jamur sistemik. Efek samping meliputi:
netropenia, trombositopenia. Perlu dilakukan pengawasan
terhadap kemungkinan terjadinya gangguan fungsi ginjal. Obat
ini tidak tersedia di Indonesia.
4. Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah
digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan menjadi
dua kelas yang berbeda:
1. imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan ketokonazol)
Cara kerja obat golongan azol adalah dengan mengganggu sintesis ergosterol, suatu
komponen penting dalam membran sel jamur. Efek ini terjadi melalui penghambatan enzim
lanosterol 14-α demetilase yang berperan mengubah lanosterol menjadi ergosterol, sehingga
terjadi gangguan struktur dan fungsi normal membran sel. Selanjutnya pertumbuhan jamur
akan terhambat (efek fungistatik), meskipun beberapa penelitian in vitro melaporkan efek
fungisidal itrakonazol dan vorikonazol terhadap Aspergillus spp pada dosis standar.
Obat golongan azol pada umumnya ditoleransi baik oleh tubuh. Efek samping yang pernah
dilaporkan adalah gangguan gastrointestinal (misalnya mual, muntah, diare),
hepatotoksisitas (transaminitis sampai hepatitis,
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
21
Jamur Paru di Indonesia
kolestasis). Obat golongan azol tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil (kategori C). Obat golongan azol
dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom P-450, sekaligus
merupakan inhibitor poten sitokrom P-450 yang memungkinkan
terjadinya interaksi dengan berbagai obat terutama
imunosupresan, misalnya statin, benzo-diazepin, dll).
a. Imidazol
2. Triazol
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
23
Jamur Paru di Indonesia
absorpsinya. Efek samping yang dapat ditemukan misalnya
gangguan pengihatan sementara (fotofobia, penglihatan kabur,
atau perubahan warna) serta halusinasi. Ekskresi vorikonazol
tidak terpengaruh pada keadaan gagal ginjal, tetapi sediaan
parenteral memerlukan dosis penyesuaian pada kasus
kerusakan ginjal, dan tidak boleh diberikan pada pasien dengan
bersihan kreatinin (CrCl) <50 ml/menit. Vorikonazol dikaitkan
dengan interaksi beberapa obat (rifampisin, barbiturat,
karbamazepin dapat menurunkan konsentrasi vorikonazol), hal
itu terutama disebabkan oleh inhibisi vorikonazol terhadap
CYP2C19, CYP2C9, dan CYP3A4. Vorikonazol tersedia dalam
bentuk tablet/suspensi oral dan cairan intravena. Metabolisme
obat ini berlangsung di hati, sedangkan eliminasinya di ginjal.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
24
Jamur Paru di Indonesia
Tabel 3.2. Indikasi dan dosis obat golongan azol
5. Golongan ekinokandin
Kaspofungin disetujui pada tahun 2001 untuk terapi aspergilosis invasif yang tidak
dapat menolerir atau yang tidak membaik dengan pengobatan antijamur lainnya. Obat ini
juga disetujui untuk terapi kandidosis
esofagus, abses intra-abdomen, peritonitis, dan infeksi
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
26
Jamur Paru di Indonesia
rongga pleura yang disebabkan Candida spp. Secara empiris,
obat ini digunakan untuk terapi demam yang tidak diketahui
penyebabnya pada pasien neutropenia. Kaspofungin secara
substansial tidak mengganggu sistem enzim CYP450, tetapi
dapat mengalami metabolisme hepatik signifikan. Pada pasien
dengan penyakit hati, diperlukan penyesuaian dosis obat.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
27
Jamur Paru di Indonesia
IV: 35-70
Kaspofungi Candida mg/hari Gangguan sal. Siklosporin, Pen
n , cerna, , hipotensi, rifampin nd
Aspergill rash, demam, dip
us menggigil, sakit pad
kepala, kas
hipokalemia, gan
anemia, hat
peningkatan
kadar sed
enzim hati, flebitis
Candida
Mikafungin , Kandidosis Gangguan sal. Tidak ada T
Aspergill cerna, demam, interaksi dipe
esofagus
us sakit kepala, obat utama d
IV:150 mg/hari. hipokalemia, pen
Profilaksis
HSCT hipomagnesemia,
IV: 50 mg/hari. netropenia
Kandidemia
atau
kandidosis
invasif
IV: 100mg/hari
Candida
Anidulafun , Kandidosis Jarang terjadi Tidak ada T
gin Aspergill adverse reactions interaksi dipe
esofagus IV: 100
us mg hari ke-1, obat utama d
penyesu
dilanjutkan 50
mg/ hari an
· Kandidemia
IV: 200 mg hari
ke- 1, dilanjutkan
100mg/ hari
Dikutip dari Proceeding ATS 2010
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
28
Jamur Paru di Indonesia
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
GEJA
LA /
FAKT
OR
Samp
ai
OAJ
terata
sesuai
si
dengan
jenis
mikologi
2 minggu
setelah
perbaikan
klinis,
radiologi
dan
mikologi
_
P
e
29
______ J
______
______
______
______
______
______
______
______